Anda di halaman 1dari 22

KARAKTERISASI FAUNA DALAM EKOSISTEM RIVERINE

MANGROVE DI DESA RAWA MEKAR JAYA SIAK - RIAU

Satrio Nugroho, At-Thahirah, Wilia Mai Roza, Rachmi Yunisa Astari, Melda Jannatul, Hilyana Rahma,
Yuda Oktano Putra, Yory Bago, Mirza Mahallati, Fitri Aulia Kurnia Febi, Anggi Marliana, Nolisa1, Suci
Amelia Putri, Ahmad Musthafa2, Dr.rer.nat.,Radith Mahatma,M.Si, Drs. Khairijon,MS, Drs.Ahmad
Muhammad, Dra.Vanda Julita Yahya3

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau Kampus Bina Widya
Pekanbaru 28293, Indonesia

PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove atau hutan bakau termasuk golongan ekosistem pantai atau
komunitas bahari dangkal yang sangat menarik, sebagai ciri khas perairan tropik dan subtropik.
Penelitian mengenai hutan mangrove lebih banyak dilakukan daripada ekosistem pantai lainnya.
Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang menghubungkan
kehidupan biota daratan dan lautan. Mangrove umumnya tumbuh pada pantai-pantai yang
terlindung atau pantai yang datar. Biasanya pada daerah yang mempunyai muara sungai besar
dan delta dengan aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir. Hutan mangrove
merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan serta
memiliki peranan yang besar untuk keseimbangan alam (Arief 2003).
Substrat yang ada di ekosistem mangrove merupakan tempat yang sangat disukai oleh
biota yang hidupnya di dasar perairan atau bentos. Dan kehidupan beberapa biota tersebut erat
kaitannya dengan distribusi ekosistem mangrove itu sendiri. Fauna yang biasa terdapat di
ekosistem ini diantaranya adalah Ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya
dijalankan di daerah hutan mangrove seperti ikan Gelodok (Periopthalmus sp.). Berbagai jenis
fauna yang relatif kecil dan tergolong dalam invertebrata, seperti udang dan kepiting (Crustacea),
gastropoda dan bivalva (Molusca), Cacing (Polichaeta) hidup di hutan mangrove. Kebanyakan
invertebrata ini hidup menempel pada akar-akar mangrove, atau di lantai hutan mangrove.
Sejumlah invertebrata tinggal di dalam lubang-lubang di lantai hutan mangrove yang
berlumpur. Melalui cara ini mereka terlindung dari perubahan temperatur dan faktor lingkungan
lain akibat adanya pasang surut di daerah hutan mangrove (Sahirman 1997).

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Adapun tujuan dari Praktikum Karakterisasi Fauna Dalam Ekosistem Riverine Mangrove
Di Desa Rawa Mekar Jaya Siak - Riau yaitu adalah Mengamati secara langsung jenis – jenis
crustaceae, Molusca dan Ikan (khusunya Ikan Tembakul) yang terdapat dalam Zona Pasang
Surutnya serta mendeskripsikan karakteristiknya. Dengan tujuan umum diadakannya di
Ekosistem Mangrove untuk Mengenal secara langsung salah satu contoh ekosistem lahan basah
yang berupa ekosistem riverine mangrove Karakteristik Abiotik Ekosistem Mangrove,
keanekaragaman dan Karakteristik Biota Mangrove dan Memahami survey lapangan di daerah
Mangrove.

METODE

Praktikum ini dilakukan pada bulan Desember 2018 yang berlokasi di desa Rawa Mekar
Jaya, kecamatan Sungai Apit, kabupaten Siak. Pengambilan sampel dilakukan pada ekosistem
mangrove sungai (riverine mangrove) pada dua kondisi habitat yaitu pada saat pasang dan saat
surut dengan metode transek. Transek yang dibuat sepanjang 100 meter dengan bagian kanan
dan kiri transek sepanjang dua meter. Titik 0 m memiliki titik koordinat
0052.688’N,102019.503’E dan pada titik 100 m memiliki titik koordinat
0052.663’N,102019.465’E. Penentuan titik pengambilan sampel ditentukan pada saat keadaan air
surut di sekitar bantaran sungai, kemudian dibagi menjadi 10 segmen dengan menandai setiap
segmen menggunakan pancang setiap jarak 10 m. Fauna yang dijumpai diamati secara sistematis
dari segmen satu ke segmen transek berikutnya, Kemudian Fauna yang dijumpai diambil dan
dikenali lebih terperinci dengan bantuan seorang pakar lokal, lalu objek dilakukan pemotretan
pada masing – masing sampel untuk keperluan identifikasi, Kemudian data disalin pada tabel
data yang tersedia.
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah tali rafia sepanjang 100 meter
yang telah ditandai setiap 10 meter, meteran 100 meter, kayu pancang, toples, meteran baju,
nampan, tangguk/jaring ikan, kamera dan ember.

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Fauna pada Tiap Segmen di Riverine Mangrove Desa Rawa Mekar Jaya
Pada pengamatan Karakterisasi Fauna dalam Ekosistem Riverine Mangrove dilakukan
pada saat keadaan air sedang surut dan dimulai dari titik awal yang berada di dekat bantaran
sungai dan titik akhir berada di dekat Lahan terbuka dimana fauna – fauna yang dijumpai lebih
sering pada segmen – segmen yang basah baik itu Ikan Tembakul, Kepiting (Crustaceae) dan
Beberapa jenis Molusca. Pengamatan fauna dilakukan dua kali pengulangan pada saat surut dan
pasang pada transek yang telah dipasang. Sesuai Tabel I dan Tabel II Fauna yang dijumpai saat
surut dan pasang berikut ini.
Tabel 1. Fauna yang dijumpai saat Surut
Segmen Nomor Jenis Fauna
Transek Spesies Nama Lokal Nama Ilmiah
1 Kerang Nenek Cerithidea cingulate
2 Tembakul Periopthalamus modestus
0 - 10 m 3 Kepiting Orange Uca forcipata
4 Kepiting Bakau Scylla serrata
5 - -
1 Tembakul Periopthalamus modestus
2 - -
10 - 20 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Siput Bakau Dostia violacea
2 Tembakul Periopthalamus modestus
20 - 30 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Kepiting Bakau Scylla serrata
2 Tembakul Periopthalamus modestus
30 – 40 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Siput Mangrove Cassidula aurifelis
2 Tembakul Periopthalamus modestus
40 - 50 m
3 - -
4 - -
1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Tabel 1. Fauna yang dijumpai saat Surut (Lanjutan)

Segmen Nomor Jenis Fauna


Transek Spesies Nama Lokal Nama Ilmiah
40 – 50 m 5 - -
1 Kepiting Capit Merah Uca rosea
2 - -
50 – 60 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Kepiting Bakau Scylla serrata
2 - -
60 – 70 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Tembakul Periopthalamus modestus
2 - -
70 – 80 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Siput Mangrove Cassidula aurifelis
2 - -
80 - 90 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Siput Bakau Dostia violacea
2 Siput Belongan Telescopium telescopium
90 - 100 m 3 Kepah Bakau Pelemysoda coaxan
4 - -
5 - -
Pada Tabel 1 diatas mengenai Fauna yang dijumpai saat surut dapat diketahui
bahwasannya pada saat surut fauna yang sering bermunculan adalah jenis molusca bercangkang
dan beberapa jenis kepiting (crustaceae) di tiap – tiap segmennya dan jenis molusca
bercangkang banyak terdapat pada segmen 80 – 100 m. Dimana pada titik 100 m adalah titik
dimana lahan terbuka dan 0 m adalah titik dimana dekat dengan sungai pada lokasi sekitar 0 – 80
m masih terdapat jenis molusca bercangkang dan beberapa ikan tembakul dalam jumlah yang
tidak begitu banyak. Menurut Sahirman 1997, Hal ini disebabkan karena ikan tembakul pada saat
surut biasa masuk kedalam sarang atau lubang untuk melindungi dirinya dan sebagian juga ada

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
yang keluar berjalan menggunakan siripnya di lumpur selain itu substrat yang ada juga menjadi
salah satu faktor pengaruh keberadaan fauna.

Tabel 2. Fauna yang dijumpai saat Pasang


Segmen Nomor Jenis Fauna
Transek Spesies Nama Lokal Nama Ilmiah
1 Kepiting Orange Uca forcipata
2 Kerang Nenek Cerithidea cingulata
0 – 10 m 3 Tembakul Periopthalamus modestus
4 - -
5 - -
1 Tembakul Periopthalamus modestus
2 - -
10 – 20 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Siput Bakau Dostia violacea
2 Tembakul Periopthalamus modestus
20 - 30 m 3 Kepiting Bakau Scylla serrate
4 - -
5 - -
1 Tembakul Periopthalamus modestus
2 - -
30 - 40 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Tembakul Periopthalamus modestus
2 - -
40 - 50 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Tidak ditemukan Tidak ditemukan
2 - -
50 – 60 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Kepiting Bakau Scylla serrate
60 - 70 m 2 - -
3 - -

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Tabel 2. Fauna yang dijumpai saat Pasang (Lanjutan)

Segmen Nomor Jenis Fauna


Transek Spesies Nama Lokal Nama Ilmiah
4 - -
60 – 70 m
5 - -
1 Tembakul Periopthalamus modestus
2 Kepiting Capit Merah Uca rosea
70 – 80 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Siput Mangrove Cassidula aurifelis
2 Tembakul Periopthalamus modestus
80 – 90 m 3 - -
4 - -
5 - -
1 Siput Belongan Telescopium telescopium
2 Kepah Bakau Pelemysoda coaxan
90 – 100 m 3 - -
4 - -
5 - -

Pada tabel II diatas mengenai Pengamatan Fauna pada saat pasang fauna yang didapat
lebih didominasi oleh ikan tembakul dan tidak sedikit pula masih terdapat beberapa jenis
molusca bercangkang di beberapa segmen yang dimana pada saat pasang banyak Molusca
bercangkang yang menempel dibeberapa akar bakau dan kepiting (crustaceae) pada gundukan –
gundukan tanah di dekat mangrove sedangkan pada ikan tembakul sering terlihat di genangan air
untuk membasahi tubuhnya dan berenang seperti hal ikan biasanya. Pada segmen sebelumnya,
segmen yang sudah mendekat 100 m lebih jarang ditemui ikan tembakul karna sudah mendekat
lahan terbuka dan kadar salinitas semakin berkurang sedangkan pada segmen yang mendekat
titik 0 m lebih sering terlihat. Menurut Sahirman 1997, ikan tembakul semakin mendekat ke
sungai atau laut semakin banyak ditemukan karna semakin banyak genangan air, selain itu
substrat menjadi salah satu faktor keberadaan fauna pada suatu segmen.

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Deskripsi Jenis-Jenis Fauna yang Ditemukan di Riverine Mangrove Desa Rawa Mekar
Jaya
Dostia violacea

Gambar 1. Dostia violacea


Menurut Goodwin (2006) Dostia violacea ini adalah ukurannya sekitar dua cm.,
cangkang kokoh, oval dengan puncak yang cekung. Dostia violacea saat hidup, cangkang
ditutupi dengan 'kulit' (periostracum) dan biasanya ditutupi dengan lumpur dan alga. Bagian
bawah datar dapat berkisar dari keputihan dengan semburat oranye ke merah bata terang.
Seringkali dengan lingkaran gelap yang sempit. Tepi lurus pada pembukaan cangkang mungkin
tidak memiliki 'gigi' atau beberapa yang kecil di bagian tengah. Operculum tebal, halus serupa
dalam warna dengan bagian bawah dengan partches gelap dan bercak-bercak. Tubuh dikatakan
oranye dengan bercak hitam tetapi yang terlihat pucat dengan bintik-bintik gelap dan kaki hitam.
Siput ini sangat mirip dengan Nerite mulut-hitam (Neritina cornocupia) dalam bentuk cangkang
dan kadang-kadang dianggap sebagai variasi dari Neritina violacea.
Metode yang dilakukan pengambilan Dostia violacea ini adalah dengan cara memungut
dengan menggunakan tangan (Hand collecting) setelah itu sampel diberi label dan difoto.
Menurut Suwondo 2006, Gastropoda di Ekosistem Mangrove dan Dostia violacea ini berperan
penting dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasi bahan organik terutama yang bersifat
herbivore dan detrivore, dengan kata lain Dostia violacea berkedudukan sebagai dekomposer.
Gastropoda yang hidup di kawasan hutan mangrove sangat ditentukan oleh adanya vegetasi
mangrove. Kelimpahan dan distribusi gastropoda dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
ketersediaan makanan pemangsaan dan kompetisi.
Dostia violacea yang ditemukan di riverine mangrove desa rawa mekar jaya jumlahnya
tidak terlalu banyak, hal ini disebabkan oleh kerapatan mangrove yang rendah menyebabkan
habitat yang optimal bagi siput ini berkurang. Kerapatan mangrove yang tinggi mampu
1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
menghasilkan serasah dan bahan organik yang dibutuhkan oleh gastropoda sebagai sumber
nutrient. Hal ini sesuai dengan pendapat Tis’in 2008, bahwa kerapatan mangrove terkait erat
dengan ketersediaan bahan organik di lingkungan yang mendukung pertumbuhan untuk
melakukan dekomposisi bahan organik. Jika dilihat dari tipe substrat pada transek ini yaitu
substrat berlumpur. Tis’in 2008 menambahkan bahwa habitat gastropoda yang disukainya adalah
dengan tipe substrat lumpur, berair dan terbuka. Menurut Kusrini 2000, juga berpendapat bahwa
gastropoda lebih menyukai permukaan yang berlumpur atau daerah dengan genangan air yang
cukup luas.
Status Dostia violacea, dalam status konservasi dalam IUCN redlist masuk kedalam
kategori kondisi risiko rendah atau Least Concern ( LC ) status LC diberikan untuk flora dan
fauna yang di identifikasikan tidak memiliki tanda terpenuhinya kriteria kepunahan, punah di
alam liar, kritis dan hampir punah.

Cassidula aurisfelis

Gambar 2. Cassidula aurisfelis


Cassidula aurisfelis atau yang lebih dikenal dengan siput mangrove ini merupakan salah
satu spesies dari Famili Ellobiidae. Spesies dari famili ini memiliki cangkang berbentuk konikal
dengan bentuk unit whorl piramida. Pola warna cangkang pada jenis ini tidak menunjukan
adanya garis horizontal. Biasanya menempel pada batang dan akar mangrove. Relatif mudah
ditemukan terutama pada area mangrove bersubstrat lumpur berpasir. Gastropoda jenis ini
memiliki bentuk dan ukuran cangkang menengah, tebal, berbentuk oval dan memiliki arau
putaran cangkang dekstral (berputar kerah kanan). Bentuk apex tumpul, permukaan body whorl
halus, spire berbentuk cembung, suture terlihat kurang jelas dan apeture berbentuk oval. Outer
lip tebal, melebar dan halus dibagian dalamnya. Outer lip dan Inner lip mengkilap. Warna
permukaan luar cangkangnya coklat kehitaman. Ukurannya panjang cangkang 2,95 sampai 2,41
1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
cm dan lebar cangkangnya 1,99 sampai 1,31 cm (n= 50 individu). Habitat dari jenis ini
ditemukan diatas substrat berlumpur pada Ekosistem Mangrove. Namun jenis ini jarang
ditemukan di atas lumpur atau pasir, biasanya menempel pada batang dan akar mangrove
bersubstrat lumpur dan pasir. Siput yang hidup di kawasan mangrove ini seringkali diburu oleh
pada pengunjung ataupun masyarakat sekitar mangrove tersebut. Namun keberadaan siput
dikawasan ini juga berdampak buruk terhadap kondisi lingkungannya, seperti rusaknya kawasan
mangrove dan habitat dari siput , dan berkurangnya jumlah populasi siput mangrove (Kusrini
2000).
Status Cassidula aurisfelis, dalam status konservasi dalam IUCN redlist masuk kedalam
kategori kondisi risiko rendah atau Least Concern ( LC ) status LC diberikan untuk flora dan
fauna yang di identifikasikan tidak memiliki tanda terpenuhinya kriteria kepunahan, punah di
alam liar, kritis dan hampir punah.

Cerithidea cingulata

Gambar 3. Cerithidea cingulata


Kondisi lingkungan pada Rawa Mekar Jaya dimana pengambilan sampel ini dilakukan di
riverine rawa mekar jaya, tempat pengambilan kerang nenek (Cerithidea cingulata) berlumpur,
pengambilan nya menggunakan tangan dengan cara menangkapnya didalam lumpur. Keadaan
lokasi yang berlumpur disebabkan karena mangrove berada ditepi sungai karena ada pasang dan
surut air sungai maka menyebabkan tanahnya berlumpur.
Menurut Budiman 1991, Cerithidea cingulata ini memiliki tinggi cangkang maksimum
4,5 cm dan biasanya hanya sekitar 3,5 cm. Seringkali ditemukan melimpah pada substrat lumpur
di area dekat mangrove, dalam 1 meter persegi kelimpahannya bahkan bisa mencapai 500
individu. Cerithidea cingulate disebut kerang nenek karena dalam keadaan hidup, kerang ini
suka berjalan dan menempel dengan kelompoknya. Kerang nenek (Cerithidea cingulata)

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
bergerak dengan sangat lamban dan memiliki fisik cangkang yang lancip.
Cerithidea cingulata pada umumnya ditemukan lebih melimpah pada permukaan tanah
yang selalu tergenang oleh air. Molusca jenis ini lebih menyukai daerah mangrove terbuka dan
daerah yang memiliki jenis subsrat berlumpur. Cerithidea cingulata merupakan penghuni asli
ekosistem mangrove yang merajai komunitas tersebut. Biota yang semakin mampu beradaptasi
terhadap pengaruh lingkungan baik ketersediaan makanan, predator, perubahan habitat, dan juga
faktor-faktor lingkungan lainnya pada umumnya lebih mendominasi. Perbedaan kelimpahan
gastropoda pada hutan mangrove Rawa Mekar Jaya diduga adanya pengaruh perbedaan vegetasi
mangrove, kontur permukaan tanah, jenis substrat dan lama perendaman oleh pasang surut air
sungai. Setiap gastropoda menyukai habitat yang sesuai dengan jenisnya dan mempunyai cara
yang berbeda-beda dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Gastropoda pada
umumnya akan naik ke pohon mangrove untuk menghindar dari pasang surut tetapi setelah air
surut akan turun kembali untuk mencari makan. Selain itu juga ada yang yang menetap di
substrat lumpur yaitu dengan menguburkan dirinya pada lumpur dengan membuat lubang pada
tanah (Nybakken 1988).
Status Cerithidea cingulata, dalam status konservasi dalam IUCN redlist masuk kedalam
kategori kondisi risiko rendah atau Least Concern ( LC ) status LC diberikan untuk flora dan
fauna yang di identifikasikan tidak memiliki tanda terpenuhinya kriteria kepunahan, punah di
alam liar, kritis dan hampir punah

Telescopium telescopium

Gambar 4. Telescopium telescopium


Menurut Nybakken 1988, cangkang keong bakau berbentuk kerucut, panjang, ramping,
dan agak mendatar pada bagian dasarnya. Warna cangkang coklat keruh, coklat keunguan, dan
coklat kehitaman, lapisan luar cangkang dilengkapi garis spiral yang sangat rapat dan
mempunyai jalur yang melengkung ke dalam.

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Menurut Budiman 1991, berdasarkan morfologi, cangkang berbentuk kerucut, panjang,
ramping, dan agak mendatar pada bagian dasarnya. Warna cangkang coklat keruh, coklat
keunguan, dan coklat kehitaman, lapisan luar cangkang dilengkapi garis spiral yang sangat rapat
dan mempunyai jalur yang melengkung ke dalam. Panjang cangkang berkisar antara 7,5-11 cm.
Telescopium telescopium termasuk deposit feeder, menggunakan extensible snout untuk menelan
lumpur dan detritus dari permukaan endapan lumpur pada saat surut. Moluska ini asli secara
alami memilih hutan mangrove sebagai satu satunya tempat hidup . Genangan air yang cukup
luas ,kaya akan bahan organik dan terbuka sangat di sukai.
Telescopium telescopium hanya ditemukan pada jenis mangrove tertentu saja, yaitu pada
Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia caseolaris.
Beberapa dugaan terkait interaksi ini adalah dikarenakan adanya pemanfaatan tumbuhan
mangrove yang baik oleh T. telescopium pada jenis-jenis mangrove tersebut. Menurut Barnes
1978 bahwa secara umum, tumbuhan mangrove mempunyai potensi sebagai sumber makanan
bagi biota yang hidup di ekosistem mangrove. Sehingga dapat dikatakan bahwa jenis-jenis
tersebut merupakan jenis yang mempunyai potensi yang besar dalam menyumbang nutrisi untuk
T. telescopium. Status Telescopium telescopium, dalam status konservasi dalam IUCN redlist
masuk kedalam kategori kondisi risiko rendah atau Least Concern ( LC ) status LC diberikan
untuk flora dan fauna yang di identifikasikan tidak memiliki tanda terpenuhinya kriteria
kepunahan, punah di alam liar, kritis dan hampir punah

Uca forcipata

Gambar 5. Uca forcipata


Uca forcipata merupakan jenis kepiting yang hidup dalam lubang atau berendam dalam
substart dan merupakan penghuni tetap hutan mangrove. Kepiting Uca forcipata termasuk suku
ocypodidae, tergolong binatang berkaki beruas-ruas atau Arthropoda termasuk kedalam kelas

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Crustaceae, termasuk ke dalam ordo Decada, artinya binatang yang berkaki sepuluh buah atau
lima pasang. Kepiting Uca forcipata memiliki ciri yang unik, hal ini karena adanya dimorfisme
seksual dan asimetri pada capit yang tidak dimiliki oleh jenis kepiting lainnya. Kepiting jantan
memiliki satu capit yang berukuran sangat besar major celiped dan satu capit kecil minor
cheliped. Kepiting betina memiliki sepasang capit yang ukurannya sama dan menyerupai capit
kecil jantan (Barnes 1987).
Murniati & Pratiwi 2014 menyatakan bahwa uca memiliki tubuh yang relatif kecil, lebar
karapaks berkisar antara dua cm sampai dengan lima cm. Memiliki tekstur tubuh yang keras dan
halus, sedangkan capitnya bertekstur keras dan kasar. Warna karapaks dari kepiting ini adalah
hitam dan bercorak biru, warna capitnya kuning kecoklatan, memiliki empat pasang kaki jalan
dan sepasang capit, capit yang sebelah kanan besar dan panjang , sedangkan capit sebelah kiri
kecil. Capit jantan yang besar berfungsi untuk menarik betina dan mengintimidasi jantan
pesaingnya.
Kepiting Uca forcipata banyak ditemukan didaerah transek satu sampai tiga dari sungai.
Menurut Murniati & Pratiwi 2014 kepiting Uca forcipata hidup di dekat mulut laut atau muara
sungai. Oleh sebab itu pada daerah transek yang dekat dengan sungai banyak di temukan
kepiting Uca forcipata. Melimpahnya kepiting uca karena perkembang biakannya cepat dan
menghasilkan telur banyak. Kepiting uca sangat aktif di saat surut, dimana sedimen atau lumpur
mangrove kering sehingga di dalam lubang galiannya kepiting uca dapat bernafas.
Peranan kepiting Uca forcipata pada ekositem riverin mangroove adalah mencegah
hilangnya nutrisi dan membantu dalam proses dekomposisi. Kepiting ini di ekosistem mangrove
sebagai salah satu satwa pembuat liang untuk membuat sirkulasi udara yang memungkinkan
terjadinya perombakan dalam sedimen. perombakan ini mencegah akumulasi mineral di bagian
bawah sedimen. sehingga kandungan unsur hara tetap stabil dan kesuburan sedimen untuk
pertumbuhan vegetasi tetap terjaga. Manfaat kepiting Uca forcipata terhadap ekosistem
mangroove ialah sebagai detritivor.
Capit kepiting ini yang kecil mengambil sepotong sedimen dari tanah dan membawanya
ke mulut, kemudian menyaringnya setelah didapatkan baik itu ganggang, mikroba, jamur atau
detritus membusuk lainnya, sedimen di keluarkan dalam bentuk bola bola kecil. Beberapa ahli
percaya bahwa kebiasaan makan kepiting uca tersebut memainkan peran penting dalam

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
pelestarian lingkungan lahan basah, karena tanah menjadi teraduk dan mencegah kondisi
anaerobik. Namun keberadaan kepiting uca dapat mengurangi jenis serangga di sekitar ekosistem
mangrove (Nyabakken 1988).
Belum ada penelitian terkait status Uca forcipata, tetapi jika di kelompokan menurut
sembilan kategori status konservasi dalam IUCN redlist, maka Uca forcipata masuk kategori
kondisi risiko rendah atau Least Concern ( LC ) status LC diberikan untuk flora dan fauna yang
di identifikasikan tidak memiliki tanda terpenuhinya kriteria kepunahan, punah di alam liar, kritis
dan hampir punah.

Scylla serrata

Gambar 6. Scylla serrata


Menurut Snedaker 1984, kepiting bakau yang merupakan Famili portumudae merupakan
famili kepiting bakau yang mempunyai lima pasang kaki. Pasangan kaki kelima berbentuk pipih
dan melebar pada ruas terakhir. karapas pipi atau cagak cembung berbentuk heksagonal atau
agak persegi. Bentuk ukuran bulat telur memanjang atau berbentuk kebulatan, tapi anterolateral
bergigi lima sampai sembilan buah. Dahi lebar terpisah dengan jelas dari sudut intra orbital,
bergigi dua sampai enam buah, bersungut kecil terletak melintang atau menyerong. Pasangan
kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung. Terutama ruas terakhir, dan mempunyai tiga
pasang kaki jalan. Kepiting bakau Scylla serrata memiliki bentuk morfologi yang bergerigi, serta
memiliki karapas dengan empat gigi depan tumpul dan setiap margin anterolateral memiliki
sembilan gigi yang berukuran sama.

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Kepiting bakau memiliki capit yang kuat dan terdapat beberapa duri. Kepiting merupakan
fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat
beragam dan dapat hidup di berbagai kolom di setiap perairan. Sebagian besar kepiting yang
dikenal banyak hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis
yang hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp. , Mud Lobster dan kepiting bakau.
Kepiting Bakau pada Mangrove Desa Rawa Mekar Jaya sebagian besar ditemukan di gundukan
tanah dekat mangrove dan terdapat lubang – lubang sebagai tempat persembunyiannya. Sebagian
besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari makan di malam hari. Keuntungan adanya
kepiting Bakau menambah nilai ekonomis bagi masyarakat sekitar mangrove karna Kepiting
Bakau memiliki nilai protein yang tinggi untuk Kerugian disekitar lingkungan dengan adanya
Kepiting Bakau yaitu adalah banyaknya yang memburu Kepiting Bakau hingga meninggalkan
jejak di sekitar lingkungan lumpur mangrove dimana mungkin hewan disekitar lokasi
penangkapan menjadi terganggu (Nybakken 1988).
Status Scylla serrata, dalam status konservasi dalam IUCN redlist masuk kedalam
kategori kondisi risiko rendah atau Least Concern ( LC ) status LC diberikan untuk flora dan
fauna yang di identifikasikan tidak memiliki tanda terpenuhinya kriteria kepunahan, punah di
alam liar, kritis dan hampir punah

Uca rosea

Gambar 7. Uca rosea


Menurut Nybakken 1988, kepiting Uca rosea atau sering disebut dengan kepiting biola
merupakan jenis kepiting dari salah satu kelompok ordo Decapoda dan termasuk kedalam family
Ocypodidae. Ocypodidae adalah salah satu jenis kepiting yang tinggal di daerah pasang surut.
1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Salah satu jenis hewan yang merupakan detritivor adalah di ekosistem mangrove adalah Uca sp. .
Uca hidup dengan membuat sarang berupa lubang – lubang tanah pada ekosistem mangrove.
Menurut Barnes 1987, Kepiting biola terdiri dari sekolompok kepiting brachyuran yang
hidup didalam liang pada daerah intertidal lumpur atau pasir. Uca sp. diketahui sebagai
sekelompok kepiting Ocypodidae di intertidal berkuran kecil dengan dimorfisme seksual yang
jelas dan capit asimetri pada jantan dewasa. Uca rosea hidup pada substrat berlumpur dekat
perairan dan vegetasi, ditemukan disekitar tepi perairan/ muara. Memiliki karapaks berwarna
hitam dan capit besar berwarna merah, karapaksnya berbentuk segiempat, dan ujung karapaks
tumpul, bagian dorsal memanjang pada bagian atas, dan bagian bawah sedikit menyempit,
ukuran panjang karapaks 15 mm. T\angkai mata dan bintik matanya berwarna hitam, memiliki
empat pasang kaki jalan dan kaki capit yang kecil.
Menurut Murniati & Pratiwi 2014 Pengaruh pasang surut air laut memberikan pengaruh
secara langsung terhadap pola hidup kepiting, ketika air laut surut maka kepiting Uca rosea akan
keluar dari lubang untuk mencari makan di area terbuka, sedangkan ketika air laut pasang maka
kepiting Uca rosea akan kembali masuk ke dalam lubang serta menutup pintu masuk dengan
substrat, agar air laut tidak masuk secara langsung kedalam lubang. Hutan mangrove menjadi
habitat bagi kepiting uca di karenakan kondisi iklim, suhu, letak geografis yang sangat strategis
dan banyak hutan, laut, dan sungai sangat cocok untuk keberlangsungan hidup bagi kepiting uca.
Menurut Nybakken 1988, kepiting Uca rosea merupakan detritivor. Capit kepiting Uca
rosea yang kecil berfungsi mengambil sepotong sedimen dari tanah dan membawanya masuk
kedalam mulut, kemudian menyaringnya. Setelah didapatkan baik ganggang, jamur, mikrobia,
atau detritus membusuk lainnya, sedimen akan dikeluarkan dalam bentk bola- bola kecil.
Beberapa ahli percaya bahwa kebiasaan makan kepiting Uca rosea tersebut memainkan peranan
penting dalam pelestarian lingkungan lahan basah, karena tanah menjadi teraduk dan mencegah
konsi aeorobik.
Menurut Nybakken 1988, kepiting Uca rosea juga dapat mengubah warnanya ketika
dimalam hari dan siang hari. Pada beberapa spesies, pejantan mencerahkan warnanya ketika
musim kawin, untuk menarik perhatian betina. Fungsi ekologis kepiting Uca rosea yaitu
menjaga keseimbangan ekosistem dan memainkan peranan penting di daerah mangrove. Daun
yang dimangsa kepiting dan dikeluarkan dalam bentuk feaces, terbukti lebih cepat terurai

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
dibangdingkan dengan daun yang tidak dimangsa. Hal ini menyebabkan proses perputaran energi
berjalan cepat di mangrove.
Status Uca rosea, dalam status konservasi dalam IUCN redlist masuk kedalam kategori
kondisi risiko rendah atau Least Concern ( LC ) status LC diberikan untuk flora dan fauna yang
di identifikasikan tidak memiliki tanda terpenuhinya kriteria kepunahan, punah di alam liar, kritis
dan hampir punah

Periopthalamus modestus

Gambar 8. Periopthalamus modestus


Menurut Graham 1997, tembakul merupakan ikan yang bisa hidup di air dan di luar air,
hewan ini tentu mempunyai cara bernapas yang khusus. Di dalam air tembakul bernapas dengan
insangnya seperti ikan biasa, memasukkan air ke dalam mulut, lalu melewatkannya melalui
insang yang mengekstrak oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen tersebut diserap ke dalam
darahnya. Namun berbeda dengan ikan biasa, ikan tembakul tidak bisa tinggal di dalam air untuk
jangka waktu yang lama. Ikan tembakul lebih banyak tinggal di luar air, ia menghabiskan
waktunya 75 sampai 90% berada di luar air.
Menurut Graham 1997, ikan tembakul akan mengisi ruang insangnya dengan campuran
udara dan air saat ia berada di dalam air sebelum keluar ke permukaan air. Dalam hal ini,
insangnya berfungsi sebagai tangki oksigen, sehingga darahnya tetap mendapatkan oksigen saat
ia berada di darat. Ikan tembakul dapat menyimpan air dalam ruang insang yang digembungkan
saat keluar dari air sehingga insangnya cukup basah. Sistem seperti ini membasahi insang selama
tembakul berdiam berjam-jam di udara terbuka.
1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Menurut Harris 1961, saat keluar dari air, insang ikan tembakul mulai mengering dan
lengket satu sama lain, sehingga tembakul memiliki suatu rongga khusus di belakang telinganya
dimana rongga tersebut menyimpan airlaut. Saat ia memutar matanya, ronga tersebut mendapat
tekanan dan ini memberikan oksigenisasi kembali air yang tersimpan tersebut, melumasi kelopak
insangnya dan mengembalikan fungsi normal insangnya. Tetapi, ikan tembakul dapat benar-
benar menghirup udara. Ia dapat menyerap oksigen di udara melalui membrane yang kaya-darah
di belakang mulut dan tenggorokannya (rongga buccopharyngeal).
Menurut Graham 1997, ia juga menyerap udara melalui kulitnya yang memiliki ganyak
pembuluh darah kapiler, selama kulitnya tetap basah. Inilah sebabnya mengapa ia sering
berguling di genangan air dan menjaga ekornya tetap dalam air. tembakul juga harus secara
berkala mengisi kembali air dalam ruang insangnya sehingga ia tidak bisa berada jauh dari air.
Menurut Tytler 1983, ikan tembakul memiliki mata menonjol yang terletak berdekatan di
atas kepalanya. Berbeda dengan ikan lainnya, ikan tembakul suka berenang dekat permukaan air,
matanya dapat melihat ke segala arah. Saat berenang dekat permukaan air, matanya menonjol di
atas permukaan air sedangkan tubuhnya aman di bawah permukaan air, sehingga tembakul dapat
melihat di atas permukaan air dan di bawah permukaan air secara bersamaan. Saat tembakul
keluar dari air, ia menjaga matanya tetap basah dengan menggerakkannya memutar ke belakang
ke rongga mata setiap saat untuk direndam dalam air yang tertampung di bawah lekuk matanya.
Menurut Harris 1961, ikan tembakul mungkin satu-satunya ikan yang memiliki kelopak
mata yang dapat digerakkan. Ikan tembakul berjalan dengan menggunakan sirip dadanya. Sirip
ini mempunyai otot seperti lengan. Ikan tembakul tidak menggerakkan sirip ini secara bergantian
seperti manusia berjalan. Ia melompat kecil dengan tetap menjaga tubuhnya kaku dan
menyentakkan diri ke depan. Ia berjalan meninggalkan jejak tubuh dan siripnya di lumpur. Ikan
tembakul dapat melompat melukkan tubuhnya pada satu sisi dan kemudian dengan tiba-tiba
menjentikkan tubuhnya yang berotot kuat, ikan tembakul dapat melompat sejauh 60 cm sekali
lompatan. Ekornya memberikan kekuatan gerak. Hewan ini juga dapat meluncur di lumpur dan
di atas permukaan air. Sirip digunakan untuk berjalan di lumpur dan di dalam air. Sirip ini
didaratan digunakan untuk berjalan.
Menurut Graham 1997, banyak jenis ikan tembakul memiliki sirip panggul khusus yang
beradaptasi yang bertindak seperti penghisap untuk menahan tubuhnya pada permukaan vertikal,

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
sementara ikan ini menggunakan sirip dadanya yang mirip tangan untuk menarik dan mendorong
tubuhnya saat memanjat. Dengan cara ini hewan ini bisa merangkak naik ke atas akar atau batu.
Mulut yang bentuknya aneh sangat baik untuk menangkap serangga dan bahkan kepiting kecil.
Hewan ini juga mempunyai gigi-gigi yang tajam untuk menangkap mangsa berupa serangga,
cacing pasir, siput, kerang, dan crustacea.
Menurut Harris 1961, ikan tembakul adalah predator atau pemburu, menyambar mangsa
kecil dengan sangat cepat. Saat mengejar siput, ikan ini menunggu sampai molusca tersebut
sepenuhnya keluar dari cangkangnya, lalu hewan ini menarik tubuh mangsanya keluar dari
cangkangnya. Saat ikan tersebut menelan mangsanya, air dan udara yang vital di dalam ruang
insangnya hilang keluar. Ikan tembakul harus masuk ke air untuk mengisi kembali insangnya.
Menurut Harris 1961, ikan tembakul sangat teritorial, jika ada seekor ikan tembakul lain
yang mendekati sarangnya, ia akan mengusirnya dengan membentangkan sirip punggungnya dan
menggembungkan ruang insangnya untuk memaksimalkan ukuran badannya untuk mengusir
pengganggu supaya pergi.
Menurut Graham 1997, saat masa berkembang biak, tembakul membuat sarang yang dalam
di lumpur. ikan ini menggali liang dengan mengeduk lumpur menggunakan mulutnya. Dekat
jalan masuk dibuat dinding sehinga akan selalu ada kolam air di atas jalan masuk pada saat
pasang surut. Besarnya diameter terowongan hampir sama dengan diameter tubuh tembakul
tetapi di permukaan, jalan masuk diameternya dibuat melebar. Liang dapat mencapai kedalaman
satu meter, namun terkadang satu liang dibuat lebih dari satu jalan masuk.
Menurut Harris 1961, telur diletakkan di dalam sarang. Karena tidak ada oksigen di dalam
liang, ikan tembakul mengisi liang tersebut dengan udara dengan menelan udara menggunakan
mulut dan membawanya ke dalam liang. Telur diletakkan di suatu ruangan di ujung liang. Larva
yang telah menetas dari telur tetap berada di dalam liang sampai tubuhnya berubah menjadi
bentuk ikan tembakul sempurna.
Status Periopthalamus modestus, dalam status konservasi dalam IUCN redlist masuk
kedalam kategori kondisi risiko rendah atau Least Concern ( LC ) status LC diberikan untuk
flora dan fauna yang di identifikasikan tidak memiliki tanda terpenuhinya kriteria kepunahan,
punah di alam liar, kritis dan hampir punah

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Pelemysoda coaxan

Gambar 9. Pelemysoda coaxan


Menurut Sahirman 1997, kerang Polymesoda coaxan adalah mollusca kawasan mangrove
yang secara ekologi mempunyai nilai penting yang relatif rendah karena berkaitan dengan pola
hidupnya yang soliter dan menyukai substrat yang berlumpur. Ukuran cangkangnya dapat
mencapai 110 mm, bentuk lonjong bulat bagian posterior terpangkas pada induk dewasa dan tua,
gigi engsel kuat, gigi cardinal tengah dan belakang pada cangkang kanan serta gigi cardinal
tengah dan depan pada cangkang kiri bercabang, hidup di substrat berlumpur, amobil dan
merupakan hewan makrobenthos yang menyaring makanan dengan sistim filter feeder.
Polymesoda coaxans seperti halnya hewan dari kelas Bivalva lainnya mempunyai kemampuan
hidup di daerah intertidal karena memiliki kemampuan untuk mencegah kehilangan air. Kerang
akan menutup rapat cangkangnya yang kedap air, sehingga air tidak keluar dari tubuhnya
(Muslih 2008).
Menurut Nybakken 1988, menyatakan bahwa beberapa jenis kerang, seperti Donax sp.
dan Mytilus edulis, mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena mempunyai
kemampuan untuk mencegah kehilangan air dengan cara membenamkan diri. Pada Polymesoda
coaxans korelasi ini terdapat pada ukuran lebar dan tebal cangkang dengan habitat hidupnya.
Polymesoda coaxans yang hidup pada tempat terbuka memiliki ukuran lebar dan tebal cangkang
yang lebih besar dibandingkan dengan Polymesoda coaxans yang hidup pada tempat tertutup,
sehingga dapat diasumsikan semakin besar dan tebal ukuran cangkang maka kemungkinan untuk
dimangsa predatornya rendah. Hal tersebut dapat diartikan sebagai salah satu upaya
menghindarkan diri dari predasi.

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Status Polymesoda coaxans, dalam status konservasi dalam IUCN redlist masuk kedalam
kategori kondisi risiko rendah atau Least Concern ( LC ) status LC diberikan untuk flora dan
fauna yang di identifikasikan tidak memiliki tanda terpenuhinya kriteria kepunahan, punah di
alam liar, kritis dan hampir punah

Persebaran Jenis Fauna pada Tiap Segmen di Riverine Mangrove Desa Rawa Mekar Jaya

Gambar 10. Birdview Persebaran Fauna di Riverine Mangrove Desa Rawa Mekar Jaya
Pada Gambar 10 dapat dilihat persebaran fauna yang diambil beragam ada yang berjarak
sangat rapat dan adapula yang jaraknya lumayan jauh dari garis transek. Menurut Suwondo
2006, pada umumnya tempat diambilnya berbagai jenis fauna yang ada berbeda seperti pada
Molusca bercangkang yang sering berada di area dekat – dekat akar bakau, kepiting pada
gundukan – gundukan disekitar bakau dan ikan tembakul yang sering berada di dekat genangan
air. Perbedaan pun dapat terlihat pada saat pasang dan surut saat surut didominasi dengan
Molusca bercangkang dan beberapa jenis kepiting (Crustaceae) sedangkan saat pasang

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
didominasi ikan tembakul. Dimana pada saat pasang ada segmen yang tidak didapatkan hewan
apapun hal ini terjadi karna sulitnya mengambil ikan tembakul di daerah kawasan yang banyak
lubang dan area gundukan bakau sehingga susah ditemui ikan tembakul dan pada segmen itu
pula tidak dijumpai Molusca bercangkang dan beberapa jenis kepiting. Semakin mendekat ke
titik 0 m maka makin sering dijumpai ikan tembakul baik itu saat surut maupun pasang
sedangkan semakin mendekat ke titik 100 m makin sulit dijumpai ikan tembakul karena sudah
dekat dengan lahan terbuka yang relative agak kering dan salinitas nya berkurang selain itu
terdapat segmen yang banyak dijumpai fauna karna lokasi yang berair dan substrat lumpur cukup
yang menjadi salah satu faktor penyebab persebaran fauna pada tiap segmen

KESIMPULAN

Kesimpulan pada pengamatan ini ialah Fauna yang ditemui di Riverine Mangrove Desa
Rawa Mekar Jaya beragam dari jenis molusca bercangkang, kepiting dan ikan seperti ikan
tembakul pada titik lokasi yang berbeda-beda. Dimana ikan tembakul lebih ditemukan dititik –
titik yang lebih dekat dengan sungai karna ikan tembakul suka di daerah terendam untuk
membasahi kulitnya sedangkan didekat gundukan tanah bakau lebih sering dijumpai kepiting dan
jenis molusca bercangkang. Semakin kering daerahnya semakin sedikit Fauna yang dijumpai.
Sehingga Ekosistem Mangrove merupakan habitat dimana beberapa fauna yang hidup di daerah
pasang surut sehingga kerusakan Ekosistem Mangrove dapat mengganggu persebaran Fauna
yang ada. Maka dari itu Ekosistem Mangrove perlu dijaga untuk menjaga keseimbangan alam.

DAFTAR PUSTAKA

Arief Arifin. 2003 . Hutan Mangrove . Yogyakarta : Kanisius.


Barnes RD. 1987. Invertebrata Zoology Fifth Edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Bengen DG. 2004 . Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL).
Bogor : IPB Press.
Budiman. 1991. Penelaahan beberapa gatra moluska bakau Indonesia [Disertasi]. Jakarta : UI
Press.
1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah
Goodwin Daniel R. 2006. Notes On Neritina (Dostia) Violacea (Gmelin, 1791) From The
Central Philippines (Gastropoda: Neritidae). Hawaii : Institute of Invertebrate
Research Hawaii (IIRH) Press.
Graham JB. 1997. Air–breathing Fishes. Evolution, Diversity and Adaptation. San Diego
California: Academic Press.
Harris VA. 1961 . On the locomotion of the mudskipper Periophthalmus koelreuteri (Pallas):
Gobiidae. Proceedings of the Zoological Society of London. 134: 107–135.
Kusrini D. M. 2000. Komposisi dan Struktur Komunitas Keong Pottamididae di Hutan
Mangrove Teluk Harun Kecamatan Padang Cermin, Naputen Lampung Selatan.
[Skripsi]. Departemen Sumberdaya Perairan. Bogor : IPB Press.
Murniati DC & Pratiwi R . 2014 . Kepiting Uca di Mangorove Indonesia.Tinjauan aspek Biologi
dan Ekologi untuk Eksplorasi . Jakarta : LIPI Press.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta : PT. Gramedia.

Sahirman. 1997. Keragaman dan Distribusi Mollusca di Kawasan Hutan Mangrove Nusa
Karang Kobar Segara Anakan Kabupaten Cilacap [Skripsi]. Purwokerto : Universitas
Soedirman.

Snedaker CS . 1984. The mangrove ecosystem: research methods On behalf of the Unseco/SCOR
Working Group 60 on Mangrove Eology. Honolulu : East – West Environment and
Policy Institute.
Suwondo, Elya. F, dan Fifi. S. 2006. Struktur Komunitas Gastropoda Pada Hutan Mangrove Di
pulau Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat . Jurnal Biogenesis .
2(1) : 25-29.
Tis’in M. 2008 . Tipologi Mangrove dan Keterkaitannya dengan Populasi Gastropoda Littorina
neritoides (Linne, 1758) di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi
Selatan. Publikasi Ilmiah -Tesis. Bogor : IPB Press.
Tytler VT. 1983. Thermal Ecology of the Mudskippers Periophthalmus koelreuteri (Pallas)
and Boleophthalmus boddaerti (Pallas) . Journal of Fish Biology. 23 (3): 327–337.

1)
Praktikan Ekologi Lahan Basah: Kelompok 3 Riverine Mangrove
2)
Asisten Praktikum Ekologi Lahan Basah
3)
Dosen Pengampu Ekologi Lahan Basah

Anda mungkin juga menyukai