Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem sensoris merupakan suatu sistem kompleks yang saling


berhubungan. Sistem sensoriss menempatkan manusia berhubungan dengan
sekitarnya (sensasi). Untuk menggerakkan otot yang tidak hanya melibatkan
sistem motorik saja tetapi juga sistem sensoris dan reflek,misal ketika seseorang
menginjak batu yang runcing atau perasaan yang tidak nyaman lainnya seperti
memegang atau mengangkat secangkir kopi yang sangat panas. Maka informasi
tersebut dikirim ke otak , kemudian otak mengirim pesan ke otot tentang
bagaimana otot tersebut merespon. Perpindahan/pertukaran infomasi semacam ini
melibatkan terutama dua jalur syaraf yang kompleks yaitu jalur sensoris ke otak
dan jalur motorik ke otot, selain itu suatu gerakan reflek juga dapat terjadi.
Dengan kata lain dapat di katakan bahwa masukan dari sistem sensorik
memainkan peranan dalam mengontrol fungsi motorik melalui koneksi-koneksi
didalam korteks sensoris atau jaras-jaras serebelum, sebaliknya impuls dari
korteks sensoris melaui jaras descenden mempengaruhi fungsi neuron sensorik
dalam sum-sum tulang, batang otak, thalamus.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Sensoris

Sistem sensoris atau dalam bahas inggris Sensory System berarti

yang berhubungan dengan panca indera. Sistem ini membahas tentang

organ akhir yang khusus menerima berbagai jenis rangsangan tertentu.

Rangsangan tersebut dihantarkan oleh saraf sensoris dari berbagai organ

indra menuju ke otak untuk ditafsirkan. Reseptor sensoris merupakan sel

yang dapat menerima informasi kondisi dalam dan luar tubuh untuk

direspon oleh saraf pusat. Impuls listrik yang dihantarkan oleh saraf akan

diterjemahkan menjadi sensasi yang nantinya akan diolah menjadi persepsi

di saraf pusat.

Konsep persepsi tidak akan lepas dari sistem sensoris. Pada

manusia terdapat lima macam sistem sensoris (panca indra atau

exteroceptyve sensory system) yang menginterpretasikan stimulus dari luar

tubuh, yaitu penglihatan, peraba, pendengaran, penghidu/penciuman, dan

perasa.

3
2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Indera

2.2.1 Indera Penglihatan (Mata)

Mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit,

yang memungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan

warna yang dipantulkan objek. Mata terletak dalam struktur bertulang

yang protektif di tengkorak, yaitu rongga orbita. Setiap mata terdiri atas

sebuah bola mata fibrosa yang kuat untuk mempertahankan bentuknya,

suatu sistem lensa untuk memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif,

dan suatu sistem sel dan saraf yang berfungsi mengumpulkan, memproses,

dan meneruskan informasi visual ke otak.

Gambar 2.1 Anatomi Mata

4
Mekanisme Penglihatan

Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada

retina dan menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika

dilatasi maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih

banyak dibandingkan ketika sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil

ini sendiri diatur oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary

constrictor yang terdiri dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator.

Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan

melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata.

Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya

berubah dan ketika kita memindahkan arah pandangan kita ke benda atau

objek yang dekat atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya

memasuki mata, pembentukan bayangan pada retina bergantung pada

kemampuan refraksi mata.

Beberapa media refraksi mata yaitu kornea, aqueous humour, dan

lensa. Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan lensa. Lensa

hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata

terfokus pada benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya mengalami

refraksi, melewati pupil dan mencapai retina, tahap terakhir dalam proses

visual adalah perubahan energi cahaya menjadi aksi potensial yang dapat

diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini terjadi pada retina.

5
Setelah aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal

yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, optic chiasm, optic

tract, lateral geniculate dari thalamus, superior colliculi, dan korteks

serebri.

Proses Masuknya Cahaya

6
Jaras Penglihatan

7
2.2.2 Indera Pendengaran (Telinga)

Telinga adalah organ sensorik yang berhubungan dengan

pendengaran dan keseimbangan, dan dapat dibagi menjadi tiga bagian.

1. Telinga luar (auris externa) meliputi daun telinga dan Liang telinga

(canalis / meatus acusticus externus)

2. Telinga tengah (auris media) merupakan ruang (cavum tympani) yang

berisi tiga tulang pendengaran

3. Telinga dalam (auris interna) adalah bagian yang paling penting karena

mangandung reseptor-reseptor pendengaran dan keseimbangan.

Anatomi Telinga

8
Mekanisme Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh

daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau

tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani yang

kemudian diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang

pendengaran yang akan mengaplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang

pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan

tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan

ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada

skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner

yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif

antara membran basilaris dan tektoria. Proses ini merupakan rangsang

mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,

sehingga kanal ion terbukan dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik

dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,

sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan

menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke

nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus

temporalis.

9
Mekanisme Pendengaran

10
Jaras Pendengaran

11
2.2.3 Indera Pengecap

Lidah terletak pada dasar mulut. Bagian tepinya bersentuhan

dengan gigi. Terdiri dari otot serat lintang. Otot intrinsik melakukan gerak

halus & otot ekstrensik melakukan gerak kasar saat mengunyah dan

menelan.

Lidah terbagi menjadi :

a. Radiks lingua (pangkal lidah)

b. Dorsum lingua (punggung lidah)

c. Apeks lingua (ujung lidah)

Bila lidah digulung ke belakang tampak permukaan bawah yg disebut

frenulum lidah. Permukaan lidah ditutupi papil-papil, yaitu :

a. Papil sirkumvalata

b. Papil fungiformis

c. Papil filiformis

Anatomi Lidah

12
Lidah berfungsi dalam proses pengecapan (pahit, manis, asin, dan

asam). Pengecapan diperankan oleh kuncup kecap (taste bud) yang

terletak pada papil-papil lidah. Papil yang mengandung kuncup kecap ini

yaitu papil sirkumvalata dan papil fungiformis. Papil sirkumvalata terletak

pada pangkal lidah, dan membentuk susunan seperti huruf V. Sedangakn,

papil fungsiformis terletak pada bagian ujung anterior lidah. Selain itu,

kuncup kecap ini juga terdapat pada palatum, tonsila, epiglotis, dan

esofagus proksimal. Kuncup kecap ini mengandung sel kecap dan sel

sustentakular. Sel kecap tersebut beregenerasi setiap 10 hari, digantikan

oleh sel sustentakular yang menjadi sel kecap. Pada usia di atas 45 tahun,

terjadi degenerasi kuncup kecap sehingga terjadi penurunan dari

kemampuan mengecap.

Pembagian Rasa Pada Lidah

13
Jaras Pengecapan

Sinyal pengecapan diteruskan ke sistem saraf pusat melalui tiga jalur

berbeda, yaitu:

a. Dua pertiga anterior lidah dipersarafi oleh saraf fasialis, yang awalnya

melewati saraf lingualis, menuju korda timpani, lalu ke N. fasialis.

b. Satu pertiga posterior lidah dipersarafi oleh N. glosofaringeus.

c. Epiglotis, tonsila, proksimal esofagus dipersarafi oleh N. vagus.

Ketiga jaras tersebut kemudian bersinaps di nukleus traktus

solitarius dan diproyeksikan oleh sel saraf orde kedua. Kemudian, sel saraf

ini menuju nukleus talamus bagian ventral posterior medial dan bersinaps

dengan sel saraf orde ketiga. Sel saraf tersebut kemudian menuju korteks

serebral, yaitu pada area insular opercular yang terletak pada bagian bawah

girus postsentralis pada korteks parietalis serebral. Selain ke talamus,

beberapa jaras saraf ini menuju sistem limbik dan hipotalamus.

Sedangkan, jaras untuk refleks terhadap pengecapan, seperti

sekresi saliva selama ingesti makanan, diperankan oleh jaras saraf yang

menuju nukleus salivatorius superior dan inferior setelah melewati nukleus

traktus solitarius.

14
Jaras Pengecapan

2.2.4 Indera Peraba (Kulit)

Kulit terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan epidermis dan lapisan

dermis. Lapisan Epidermis adalah lapisan luar yang terus berganti, tipis

dan tidak mempunyai pembuluh darah ataupun sel saraf. Lapisan dermis

terletak di bawah epidermis terdiri atas sel-sel yang longgar dengan letak

yang berjauhan, serta banyak mengandung pembuluh darah. Pada bagian

kulit terdapat reseptor khusus untuk dapat membedakan sentuhan, tekanan,

temperatur (panas dan dingin),serta rasa sakit atau nyeri.

15
Tipe-Tipe Reseptor Sensoris Pada Kulit

1. Mekanoreseptor

Mekanoreseptor, berkaitan dengan indera peraba, tekanan, getaran

dan kinestasi (gerakan).

2. Thermoreseptor

Thermoreseptor, berkaitan dengan penginderaan yang mendeteksi

panas dan dingin.

3. Reseptor Nyeri

Reseptor nyeri berkaitan dengan mekanisme protektif bagi kulit.

Reseptor Pada Kulit

a. Lapisan Epidermis (Mendeteksi Sentuhan)

1. Merkel’s disc

Berfungsi untuk mendeteksi sentuhan yang belum atau

tidak dikenali.

2. Meisner’s corpuscle

Berfungsi untuk mendeteksi sentuhan yang sudah dikenali.

b. Lapisan Dermis

1. Reseptor Ruffini’s

Reseptor yang berfungsi untuk mendeteksi panas

2. Reseptor Paccini’s

Reseptor yang berfungsi untuk mendeteksi tekanan atau

biasa berupa pijatan

16
3. Reseptor free nerve ending

Reseptor yang berfungsi untuk mendeteksi rasa sakit.

Jangkauan reseptor ini lebih luas dibandingkan reseptor lainnya

karena tersebar diseluruh permukaan kulit.

Reseptor Pada Kulit

17
Jaras Indra Peraba

Jalur Propriopatis

18
Jalur Protopatis

19
2.2.5 Indera Penciuman / Penghidu (Hidung)

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari

nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung

dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam

menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah

dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris

dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan

nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus

externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita : sinus

maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygo palatina, fossa pterigoides.

Anatomi Hidung

20
Jaras Olfaktorius

Neuron pertama jaras olfaktorius adalah sel-sel olfaktorius bipolar

neuron kedua adalah sel mitral dan tufted cell bulbus olfaktorius. Neurit

sel-sel tersebut membentuk traktus olfaktorius (neuron kedua), yang

terletak didekat dan tepat dibawah korteks fontobasalis (orbitofrontalis).

Traktus olfaktorius terbagi menjadi stria olfaktoria lateralis dan medialis

di depan substansia perforata anterior; bagian lainnya berakhir di trigonum

olfaktorium, yang juga terletak di depan substansia perforata anterior.

Serabut-serabut stria lateralis berjalan melalui limen insulae ke amigdala,

girus semilunaris dan girus ambiens (area prepiriformis). Tempat ini

merupakan lokasi neuron ketiga, yang berproyeksi di bagian anterior girus

parahipokampalis (area brodmann 28, mengandung lapangan proyeksi

kortikal dan area asosiasi sistem olfaktorius). Serabut stria medialis

berakhir di nuklei area septalis dibawah genu korpus kalosum (area

subkalosa) dan didepan komisura anterior. Serabut yang keluar dari nuklei

ini kemudian berproyeksi di hemisfer kontralateral dan ke sistem limbik.

Jaras olfaktorius ini merupakan satu-satunya jaras sensorik yang mencapai

korteks serebri tanpa melalui relay di thalamus.

21
Nervus Olfaktorius dan Traktus Olfaktorius Serta Jaras Olfaktorius

22
2.3 Kelainan Sistem Sensoris

a. Indera Penglihatan

Lesi N.Opticus

23
ICD

Code : H47.4 Disorders of optic Chiasm

1. Lesi N.opticus di anterior Chiasma Opticum, misalnya yang

disebabkan oleh cedera kepala dan atau otak akibat trauma,

menyebabkan kebutaan dimata yang terkena gangguan.

2. Lesi di lateral N. Opticus setinggat Chiasma Opticum (serabut

nasalis kanan telah menyilang ke sisi kontralateral), misalnya

akibat tumor, menyebabkan hemianopsia nasal kanan dan anopsia

kuadran temporal kiri atas.

3. Lesi di median Chiasma Opticum, kebanyakan disebabkan oleh

tumor hypophisis, menyebabkan hemianopsia bitemporal.

4. Lesi di sisi kanan Traktus Opticus, misalkan akibat perdarahan,

menyebabkan hemianopsia homonimus sisi kiri.

5. Lesi dibagian anterior Radiatio optica kanan, tepatnya di lobus

temporalis kanan, misalnya akibat iskemia, menyebabkan anopsia

kuadran atas kiri.

6. Lesi diseluruh Radiatio optica kanan, misalnya disebabkan oleh

perdarahan hebat, menyebabkan hemianopsia homonimus sisi kiri.

24
b. Indera Pendengaran (Telinga)

Terdapat tiga jenis gangguan pendengaran, yakni:

ICD

Code : H90.0 Conductive Hearing Loss, Bilateral

Code : H90.1 Conductive Hearing Loss, unilateral with unrestricted

hearing on the contralateral side

Code : H90.2 Conductive Hearing Loss Unspecified

1. Tuli konduktif

Pada gangguan jenis tuli konduktif terdapat gangguan

hantaran suara yang disebabkan oleh kelainan/penyakit di telinga

luar atau di telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif

biasanya pada tingkat ringan atau menengah dan bersifat

sementara. Gangguan pendengaran konduktif dapat diatasi dengan

alat bantu pendengaran.

ICD

Code : H90.3 Sensorineural Hearing Loss, Bilateral

Code : H90.4 Sensorineural Hearing Loss, unilateral with unrestricted

hearing on the contralateral side

Code : H90.5 Sensorineural Hearing Loss Unspecified

2. Tuli Sensorineural

Ganguan jenis sensorineural disebabkan oleh kerusakan sel

rambut pada organ korti yang terjadi akibat suara keras, infeksi

virus, meningitis dan proses penuaan. Gangguan pendengaran

25
sensorineural biasanya pada tingkat ringan hingga berat dan

bersifat permanen. Pada tingkat ringan dapat diatasi dengan alat

bantu dengar atau implan telinga tengah. Sedangkan implan rumah

siput seringkali merupakan solusi atas gangguan pendengaran berat

atau parah.

ICD

Code : H90.6 Mixed Conductive Sensorineural Hearing Loss, Bilateral

Code : H90.7 Mixed Conductive Sensorineural Hearing Loss,

unilateral with unrestricted hearing on the contralateral side

Code : H90.8 Mixed Conductive Sensorineural Hearing Loss

Unspecified

3. Tuli Campuran

Tuli campuran merupakan kombinasi dari tuli konduktif

dan tuli sensorineural dan kedua gangguan tersebut bis terjadi

secara bersamaan seperti pada radang telinga tengah dengan

komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang

berlainan, misalnya tumor nervus VIII (sensorineural) dengan

radang telinga tengah (konduktif).

c. Indera Pengecapan (Lidah)

Lesi pada N.glossopharyngeus (IX) dapat menyebabkan kesulitan

menelan, deviasi uvula ke sisi sehat, gangguan sensibilitas di daerah

faring, hilangnya sensasi pengecapan di sepertiga posterior lidah.

Gangguan pada pengecapan

26
ICD

Code : R43.2 Parageusia

1. Ageusia

Ageusia adalah kehilangan kemampuan mengecap

2. Hipogeusia

Hipogeusia adalah penurunan kemampuan dalam mengecap

3. Disgeusia

Disgeusia adalah adanya persepsi rasa pada mulut, dimana

tidak terdapat molekul yang merangsang sel kecap. Gangguan ini

biasanya disertai dengan sindrom mulut terbakar dan biasanya

terdapat pada orang tua.

d. Indera Peraba (Kulit)

Gejala sensorik dapat diklasifikasikan dalam 5 golongan, yaitu:

ICD

Code : R20.0 Anaesthesia of skin

1. Hilang perasaan kalau di rangsang (anestesia)

ICD

Code : R20.1 Hypoaesthesia of skin

2. Berkurangnya sensitivitas atau penurunan sensasi normal terhadap

sentuhan atau raba (hipoestesia)

ICD

Code : R20.2 Paraesthesia of skin

27
3. Perasaan yang timbul secara spontan, tanpa adanya perangsangan

(parestesia)

ICD

Code : R20.3 Hyperaesthesia of skin

4. Perasaan terasa berlebihan jika dirangsang (hiperestestesia)

ICD

Code : R20.8 Other and unspecified disturbances of skin sensation

5. Gangguan sensasi kulit lainya dan tidak spesifik

Anestesia dapat terjadi kalau reseptor impuls protopatik

musnah atau penghantaran perifer dan sentralnya terhalang atau

terputus.

Somestesia yang berlebihan atau hiperestesia biasanya berupa

perasaan tidak enak dan tidak menyenangkan pada suatu daerah tubuh

bila terangsang secara wajar. Jika reseptor impuls protopatik atau

serabut saraf perifer atau lintasan spinotalamiknya mengalami

gangguan sehingga ambang rangsangnya menurun, maka

perangsangan yang wajar menghasilkan persaan yang berlebihan.

Gangguan itu dapat bersifat mekanik, toksik atau vaskular yang

ringan.

Gangguan perasaan protopatik yang timbul spontan, tanpa

perangsangan khusus dinamakan parestesia. Di dalam klinik arti

istilah parestesia itu sudah mantap, yakni perasaan yang dinyatakan

sebagai kesemutan. Namun, arti parestesia sesungguhnya ialah

28
terasanya perasaan pada daerah permukaan tubuh tertentu yang tidak

dibangkitkan oleh perangsangan khusus dunia luar. Tercakup dalam

makna parestesia itu ialah perasaan dingin atau panas setempat,

kesemutan, rasa berat atau rasa dirambati sesuatu.

e. Indera Penciuman

Beberapa gangguan pada sistem penghidu yaitu:

ICD

Code : R43.0 Anosmia

a) Anosmia

Anosmia adalah hilangnya kemampuan untuk menghidu dan

dapat bersifat partial atau total. Hal ini dapat disebabkan oleh

kongesti nasal atau tersumbatnya hidung untuk membaui, sehingga

udara yang berisi odoran tidak dapat larut dalam membran mukus

dan berikatan dengan reseptor pada silia sel olfaktorius.

b) Hiposmia

Hiposmia adalah penurunan sensitivitas menghidu.

Biasanya hiposmia merupakan gejala awal dari penyakit parkinson.

c) Disosmia

Disosmia adalah kesalahan persepsi dari odoran yang

dihirup, terdapat 2 jenis disosmia, yaitu:

29
1. Troposmia, yaitu kesalahan persepsi terhadap suatu odoran.

Kesalahan persepsi bisa terjadi karena adanya gangguan fungsi

pada sel olfaktori atau gangguan interpretasi pada sistem saraf

pusat.

2. Pantosmia, yaitu adanya persepsi terhadap odoran tetapi

molekul odoran tersebut tidak ada. Pantosmia dapat disebabkan

oleh sel saraf abnormal yang menimbulkan sinyal abnormal

yang menuju otak sehingga terjadi persepsi adanya odoran, atau

adanya gangguan fungsi sel inhibisi olfaktori. Biasanya

pantosmia merupakan tanda-tanda sebelum munculnya kejang.

2.4 Pemeriksaan Sistem Sensoris

Prinsip Pemeriksaan

1. Mencari defisit sensibilitas (daerah-daerah dengan sensibilitas yang

abnormal, bisa hipestesi, hiperestesi, hipalgesia atauhiperalgesia)

2. Mencari gejala-gejala lain di tempat gangguan sensibilitas tersebut,

misalnya atrofi, kelemahan otot, refleks menurun/negative, menurut

distribusidermatom.

3. Keluhan-keluhan sensorik memiliki kualitas yang sama, baik mengenai

thalamus, spinal, radix spinalis atau saraf perifer. Jadi untuk

membedakannya harus dengan distribusi gejala/keluhan dan

penemuanlain.

30
4. Lesi saraf perifer sering disertai berkurang atau hilangnya keringat,

kulit kering, perubahan pada kuku dan hilangnya sebagian jaringan di

bawah kulit.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk pemeriksaan sensoris meliputi:

1. Jarum berujung tajam dan tumpul (dapat digunakan jarum pentul

atau jarum pada palu refleks) untuk rasa nyeri superficial.

2. Kuas halus, kapas, bulu, tissue, atau bila terpaksa dengan ujung jari

tangan yang disentuhkan ke kulit secara halus sekali untuk rasa

raba/taktil.

3. Tabung yang diisi air dingin atau air panas untuk sensasi suhu. Lebih

baik menggunakan tabung dari metal daripada tabung gelas karena

gelas merupakan konduktor yang buruk. Untuk sensai dingin

menggunakan air bersuhu 5-10ºC dan sensasi panas diperlukan suhu

40-45ºC. suhu kurang dari 5ºC dan lebih dari 45ºC dapat

menimbulkan rasanyeri.

4. Garpu tala berfrekuensi 128 atau 256 Hz untuk sensasi getar.

5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif),seperti:

 Jangka untuk two point tactile discrimination

 Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan lain-lain)

untuk pemeriksaan stereognosis.

 Pensil untuk pemeriksaangraphestesi.

31
6. Untuk pemeriksaan sensasi gerak dan posisi tidak diperlukan alat

khusus

Cara Pemeriksaan

1. Pemeriksaan modalitas

Modalitas primer dari sensasi somatik (seperti rasa nyeri, raba,

posisi, getar dan suhu) diperiksa lebih dulu sebelum memeriksa fungsi

sensorik diskriminatif/kortikal.

a. Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial

Nyeri merupakan sensasi yang paling baik untuk

menentukan batas gangguan sensorik. Alat yang digunakan adalah

jarum berujung tajam dan tumpul.

Cara Pemeriksaan:

1) Mata penderita ditutup

2) Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum pada dirinya sendiri.

3) Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin, jangan

sampai menimbulkan perlukaan.

4) Rangsangan terhadap terhadap kulit dilakukan dengan ujung

runcing dan ujung tumpul secara bergantian. Penderita diminta

menyatakan sensasinya sesuai yang dirasakan. Penderita jangan

ditanya: apakah anda merasakan ini atau apakah ini runcing?

5) Bandingkan daerah yang abnormal dengan daerah normal yang

kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah volar kanan

dengan kiri)

32
6) Penderita juga diminta menyatakan apakah terdapat perbedaan

intensitas ketajaman rangsang di derah yang berlainan.

7) Apabila dicurigai daerah yang sensasinya menurun/meninggi

maka rangsangan dimulai dari daerah tadi ke arah yang normal.

Pemeriksaan Nyeri Superficial

b. Pemeriksaan sensasi nyeri tekan dalam

Pemeriksaan dilakukan dengan cara menekan tendo

Achilles, fascia antara jari tangan IV dan V atau testis.

Pemeriksaan Nyeri Tekan Dalam

33
c. Pemeriksaan Sensasi Taktil atau Raba

Alat yang dipakai adalah kapas, tissue, bulu, kuas halus,

dan lain-lain. Cara pemeriksaan :

1) Mata penderita ditutup

2) Pemeriksa terlebih dahulu mencoba alat pada dirinya sendiri.

3) Stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan

tekanan terhadap jaringan subkutan. Tekanan dapat ditambah

sedikit bila memeriksa telapak tangan atau telapak kaki yang

kulitnya lebihtebal.

4) Mulailah dari daerah yang dicurigai abnormal menuju daerah

yang normal. Bandingkan daerah yang abnormal dengan daerah

normal yang kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah

volar kanan dengan kiri)

5) Penderita diminta untuk mengatakan “ya” atau “tidak” apabila

merasakan adanya rangsang, dan sekaligus juga diminta untuk

menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang dirangsang

Pemeriksaan Sensasi Raba

34
d. Pemeriksaan sensasi getar/vibrasi

Alat yang digunakan adalah garpu tala berfrekuensi 128

atau 256 Hz.

Cara pemeriksaan:

1) Garpu tala digetarkan dengan memukulkan pada benda

padat/keras.

2) Kemudian pangkal garpu tala diletakkan pada daerah dengan

tulang yang menonjol seperti ibu jari kaki, pergelangan tangan,

maleolus lateralis/medialis, procc. spinosus vertebrae, siku,

bagian lateral clavicula, lutut, tibia, sendi-sendi jari dan

lainnya. (Gambar1)

3) Bandingkan antara kanan dan kiri.

4) Catat intensitas dan lamanyavibrasi.

5) Untuk penentuan lebih cermat, garpu tala kemudian

dipindahkan pada bagian tubuh yang sama pada pemeriksa.

Apabila pemeriksa masih merasakan getaran, berarti rasa getar

penderita sudah menurun.

35
Pemeriksaan Sensasi Getar / Vibrasi

e. Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi

Tujuannya adalah memperoleh kesan penderita terhadap

gerakan dan pengenalan terhadap arah gerakan, kekuatan, lebar

atau luas gerakan (range of movement) sudut minimal yang

penderita sudah mengenali adanya gerakan pasif, dan kemampuan

penderita untuk menentukan posisi jari dalam ruangan. Tidak

diperlukan alat khusus.

Pemeriksaan Sensasi Gerak

36
f. Pemeriksaan sensasi suhu

Alat yang dipakai adalah tabung berisi air bersuhu 5-10ºC

untuk sensasi dingin dan air 40-45ºC untuk sensasi panas.

Cara pemeriksaan:

1) Penderita lebih baik pada posisi berbaring. Mata penderita

ditutup.

2) Tabung panas/dingin lebih dahulu dicoba terhadap diri

pemeriksa.

3) Tabung ditempelkan pada kulit penderita dan penderita diminta

menyatakan apakah terasa dingin atau panas.

Pemeriksan Sensasi Suhu

37
2. Pemeriksan sensorik diskriminatif/kortikal

Syarat pemeriksaan ini adalah fungsi sensorik primer (raba,

posisi) harus baik dan tidak ada gangguan tingkat kesadaran, kadang-

kadang ditambah dengan syarat harus mampu memanipulasi objek

atau tidak ada kelemahan otot-otot tangan (pada tes barognosis)

Macam-macam gangguan fungsi sensorik kortikal:

a. Gangguan two point tactile discrimination

Gangguan ini diperiksa dengan dua rangsangan tumpul

pada dua titik di anggota gerak secara serempak, bisa memakai

jangka atau calibrated two point esthesiometer. Pada anggota gerak

atas biasanya diperiksa pada ujung jari. Orang normal bisa

membedakan dua rangsangan pada ujung jari bila jarak kedua

rangsangan tersebut lebih besar dari 3 mm. Ketajaman menentukan

dua rangsangan tersebut sangat bergantung pada bagian tubuh

yang diperiksa, yang penting adalah membandingkan kedua sisi

tubuh.

Gangguan Two Point Tactile Discrimination

38
b. Gangguan Graphesthesia

Pemeriksaan graphesthesia dilakukan dengan cara menulis

beberapa angka pada bagian tubuh yang berbeda-beda dari kulit

penderita. Pasien diminta mengenal angka yang digoreskan pada

bagian tubuh tersebut sementara mata penderita ditutup. Besar

tulisan tergantung luas daerah yang diperiksa. Alat yang

digunakan adalah pensil atau jarum tumpul. Bandingkan kanan

dengan kiri.

Gambar 2.4 Gangguan Grapesthesia

Gangguan Grapestesia

c. Gangguan stereognosis =astereognosis

Diperiksa pada tangan. Pasien menutup mata kemudian

diminta mengenal sebuah benda berbentuk yang ditempatkan pada

masing-masing tangan dan merasakan dengan jari-jarinya.

Ketidakmampuan mengenal benda dengan rabaan disebut sebagai

tactile anogsia atau astereognosis. Syarat pemeriksaan, sensasi

proprioseptik harus baik.

39
Gambar 2.5Gangguan Stereognosis

d. Gangguan topografi/topesthesia =Topognosia

Kemampuan pasien untuk melokalisasi rangsangan raba

pada bagian tubuh tertentu. Syarat pemeriksaan, rasa raba harus

baik.

e. Gangguan Barognosis =Abarognosis

Membedakan berat antara dua benda, sebaiknya diusahakan

bentuk dan besar bendanya kurang lebih sama tetapi beratnya

berbeda. Syarat pemeriksaan, rasa gerak dan posisi sendi harus

baik.

Tes Barognosis

40
BAB III

KESIMPULAN

Sistem sensoris atau dalam bahas ainggris Sensory System berarti yang

berhubungan dengan panca indera. Sistem ini membahas tentang organ akhir yang

khusus menerima berbagai jenis rangsangan tertentu. Rangsangan tersebut

dihantarkan oleh saraf sensoris dari berbagai organ indra menuju ke otak untuk

ditafsirkan. Mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit,

yang memungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan warna

yang dipantulkan objek. Telinga adalah organ sensorik yang berhubungan dengan

pendengaran dan keseimbangan, dan dapat dibagi menjadi tiga bagian. Lidah

terletak pada dasar mulut. Bagian tepinya bersentuhan dengan gigi. Terdiri dari

otot serat lintang. Lidah berfungsi dalam proses pengecapan (pahit, manis, asin,

dan asam). Kulit terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan epidermis dan lapisan

dermis. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares

anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari

nasofaring.

Kelaianan sensoris pada mata antara lain : Lesi N.opticus di anterior

Chiasma Opticum, Lesi di lateral N. Opticus setinggat Chiasma Opticum, Lesi di

median Chiasma Opticum, Lesi di sisi kanan Traktus Opticus, Lesi dibagian

anterior Radiatio optica kanan, Lesi diseluruh Radiatio optica kanan. Kelaianan

sensoris pada Telinga antara lain : Tuli konduktif, Tuli Sensorineural, Tuli

41
Campuran. Kelaianan sensoris pada Telinga antara lain : Ageusia, Hipogeusia,

Disgeusia. Gejala sensoris pada kulit antara lain : Hilang perasaan kalau di

rangsang (anestesia), Perasaan terasa berlebihan jika dirangsang (hiperestestesia),

Perasaan yang timbul secara spontan, tanpa adanya perangsangan (parestesia),

Nyeri , dan Gerakan yang canggung serta simpang siur. Kelaianan sensoris pada

Penghidu antara lain : Anosmia, Hiposmia, Disosmia, Troposmia, Pantosmia.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Chusid, GJ. Neurologi Anatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional.

Gajah Mada University Press : 1990

2. Duus, P. Diagnosis Topik Neurologi. EGC : 1996

3. Lumbantobing. Neurologi Klinik. Penerbit FKUI : 1998

4. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. 1989

43

Anda mungkin juga menyukai