PRESENTASI KASUS
Disusun oleh :
Farissa Utami G4A015117
Pembimbing :
2016
2
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................ ....iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ ....v
I.PENDAHULUAN ..................................................................... ........1
II. LAPORAN KASUS
A.Identitas Pasien ........................................................................ ....2
B. Anamnesis ............................................................................... ....2
C. Pemeriksaan Fisik ................................................................... ....4
D. Pemeriksaan Penunjang .......................................................... ....7
E. Diagnosis ............................................................................... ....10
F. Terapi ..................................................................................... ....10
G. Prognosis ............................................................................... ....11
H. Usulan Pemeriksaan Penunjang ............................................ ....11
I. Follow Up di Bangsal Mawar ................................................ ....12
III.TINJAUAN PUSTAKA
A.Definisi................................................................................... ....14
B.Etiologi ................................................................................... ....14
C.Patomekanisme ...................................................................... ....15
D.Gejala dan Tanda ....................................................................... 19
E.Penegakkan Diagnosis............................................................ ....23
F.Tatalaksana ............................................................................. ....26
G Prognosis ................................................................................ ....28
IV. PEMBAHASAN ...................................................................... ....29
V. KESIMPULAN ......................................................................... ....39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... ....40
3
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama : Sdr. WAS
Umur : 15 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pamulihan 04/03 Karangpucung
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tgl masuk RS : 29 Juli 2016
Tgl periksa : 31 Juli 2016
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Muntah darah, BAB hitam sejak 9 hari
2. Keluhan tambahan
Lemas, perut kembung, BAB tidak lancar, gatal di sela-sela jari,
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 29 Juli 2016 pukul 23.10
rujukan dari RS Dadi Keluarga dengan hematemesis, melena, dan anemia
gravis. Pasien dirujuk setelah rawat inap sekitar 7 hari Hemoglobin (Hb)
menurun progresif setiap hari, curiga adanya perdarahan intraabdomen.
Pasien mengalami muntah dan BAB warna hitam sejak sekitar 9 hari yang
lalu. Muntah darah berwarna kehitaman seperti kopi dan berhenti sejak 1
hari sebelum masuk RS Margono. BAB berwarna hitam seperti aspal
konsistensi lembek. Pasien juga mengeluh perut membesar dan terasa
kembung, nyeri perut (-), demam (-), BAK lancar, sulit BAB, dan sulit
kentut.
Pasien sering merasa mudah lelah, lesu, dan lemas saat aktivitas
sehari-hari, pasien belum pernah ditransfusi darah sebelumnya. Pasien
merupakan seorang pelajar SMP, mengaku tidak pernah minum alkohol.
7
b. Home
Pasien tinggal bersama orangtuanya dan satu orang adiknya.
c. Occupational
Pasien seorang pelajar di salah satu SMP di Karangpucung
d. Personal habit
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum-minuman
beralkohol. Pasien terbiasa mengkonsumsi makanan dari masakan
ibunya. Jenis makanan yang biasa dikonsumsi adalah sayur dengan
protein nabati, seperti tahu tempe.
C. Obyektif
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda vital
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Nadi : 120 x/menit
c. Pernafasan : 32 x/menit
d. Suhu (peraksiller) : 37oC
4. Status antropometri
a. BB : 42 kg
b. TB : 155 cm
c. IMT : 17,5 kg/m2
D. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : mesocephal
b. Rambut : alopesia (-), distribusi normal berwarna
hitam
c. Venektasi temporal : (-)
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva anemis : (+/+)
b. Sklera ikterik : (+/+)
9
angkat
3) Perkusi : Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas kiri bawah SIC V LMCS
4) Auskultasi : A1>A2, P2>P1, T1>T2, M1>M2
Reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Cembung, caput medusa (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Palpasi : Distended, nyeri tekan (-) , undulasi (+)
d. Perkusi : Timpani, pekak alih (+), pekak sisi (+)
9. Pemeriksaan hepar
Hepatomegali (-)
10. Pemeriksaan lien
Splenomegali (+) schuffner 2
11. Pemeriksaan ekstremitas
Tabel 2.1 Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Pemeriksaan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - + +
Sianosis - - - -
Kuku ikterik - - - -
Akral hangat Hangat hangat hangat
Eritema Palmaris - -
UKK Papul eritema pada regio
interdigiti manus
11
Ureum 29.1
Creatinin 0.6 (L)
GDS 90
Natrium 130 (L)
Kalium 3.4 (L)
Klorida 101
Kalsium
Anti HCV Non reaktif
HbsAg Non reaktif
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Rontgen thorax PA
Tanggal pemeriksaan 28 Juli 2016 di RS Umum Dadi Keluarga
Hasil:
- Corakan vaskuler pulmo meningkat kasar
- Tampak perselubungan semi opak relative homen di hemithorax
dextra
- Sinus costofrenicus dextra tumpul, sinistra lancip
- Diafragma dextra tertutup perselubungan, sinistra licin tak
mendatar
- Cor: CTR tak valid dinilai
- Sistema tulang intact tak tampak lesi litik maupun sklerotik pada
foto saat ini
Kesan:
- Efusi pleura dextra
- Besar cor tak valid dinilai
- Sistema tulang yang tervisualisasi baik
b. USG Abdomen
Tanggal pemeriksaan 25 Juli 2016 di RS Dadi Keluarga:
Kesan:
- Splenomegali
- Asites
13
3. Pemeriksaan Esophagogastroduodenoscopy
Gaster
- Cardia: mosaic (+)
- Corpus: mosaic (+)
- Angulus: mosaic (+), ulkus (+)
Duodenum: dbn
Kesimpulan:
- Varises esofagus stadium III
- Gastritis
- Ulkus ventrikuli
Tindakan: ligasi sudah dilakukan pada lokasi tersebut
Saran: ligasi 2 minggu lagi
F. Diagnosa Kerja
Sirosis Hepatis Child Pugh C
Hematemesis melena e.c varises esofagus dan ulkus ventrikuli
Asites
Anemia gravis e.c blood loss
Skabies
G. Terapi
1. Farmakologi
a. IVFD D5: aminofusin = 1:1 20 tpm
b. Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
c. Inj. Omeprazole 2 x 1 ampul
d. Inj. Cefotaxim 1 amp/12 jam
e. Sucralfate syr 3 x 1 C
f. Bisacodil 0-0-1 (rutin)
g. Inj. Furosemid 1 gr/12 jam
2. Non farmakologi
a. O2 nasal kanul 3 lpm
b. Transfusi PRC sampai Hb ≥ 9 mg/dl
15
H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sirosis hepatis merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya diawali
dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan
jaringan ikat dan usaha regenerasi dengan terbentuknya nodul yang
mengganggu susunan lobulus hati. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Chung et al., 2005; Tarigan,
2009).
B. Etiologi
Penyebab terbanyak sirosis hati di Asia Tenggara adalah akibat
komplikasi infeksi (hepatitis) virus hepatitis B dan C, demikian juga di
Indonesia (Gultom, 2003).
Tabel 3.1. Penyakit yang dapat menjadi penyebab sirosis (Con, 1993)
Penyakit infeksi Kelainan bilier
Hepatitis kronik aktif Atresia bilier
Hepatitis virus Sindrom alagile
Ascending cholangitis Kista koledukus
Sepsis neonatal Fibrosis hepatis kongenital
Kelainan metabolik Kelainan vaskuler
Defisiensi α1-antitripsin Sindrom Budd-Chiari
Cystic fibrosis Gagal jantung kongestif
Fruktosemia Perikarditis kongestif
Galaktosemia Veno-occlusive liver disease
Hemokromasitosis
Glicogen storage
Hepatic porphyria Bahan toksik
Histiosis X Bahan organik
Nieman Pick disease Obat-obatan
Penyakit Wilson Idiopatik
Kelainan Nutrisi
Total parental alimentation
Malnutrisi
19
Tabel 3.2 Penyakit atau kelainan penyebab terjadinya sirosis hepatis pada anak
dan remaja (Pinto et al., 2015).
Obstruksi Biliar Toksik dan obat-obatan
Atresia biliar Nutrisi parenteral total
Kista koledukus Isoniazid
Stenosis duktus biliaris Methotrexate
Batu empedu Intoksikasi Vitamin A
Kolestasis intrahepatik familial Penyakit autoimun
Sindrom Allagiel Hepatitis autoimun
FIC1 deficiency (ATP8B1) Kolangitis sklerosis primer
BSEP deficiency (ABCB11) Kelainan Vaskular
MDR3 deficiency (ABCB4) Sindrom Budd-Chiari
Defek sintesis asam empedu Gagal jantung kongestif
Hepatotropic viral infections Perikarditis konstriktif
Hepatitis B and D Veno-occlusive liver disease
Hepatitis C Kongenital kardiopati
Hepatitis E Lain-lain
Kelainan genetik metabolik Fatty liver diseases
Defisiensi α1-antitripsin Hepatitis Neonatal
Cystic fibrosis Penyakit Zellweger
Fruktosemia
Galaktosemia
Hemokromatosis
Glikogenosis tipe III & IV
Tirosinemia tipe 1
Hepatopati mitokondria
Late cuteneous porphyria
Penyakit Wolman
Penyakit Wilson
C. Patomekanisme
Terbentuknya fibrosis hepar merupakan suatu perubahan dari proses
normal produksi matriks ekstraseluler dan degradasi yang seimbang. Matriks
ekstraseluler normalnya sebagai penyokong untuk hepatosit, sangat penting
untuk proses penyelamatan dan pemeliharaan fungsi sel hepar karena dapat
memelihara keseimbangan lingkungan sel, matriks ekstraseluler terdiri dari
kolagen (khususnya tipe I, III, dan V), glikoprotein, dan proteoglikan. Sel
stelata, yang terletak di ruang perisinusoid, berperan untuk produksi matriks
ekstraselular (Wolf, 2015).
20
Sel-sel stelata atau disebut juga sel-sel Ito, liposit, atau sel
perisinusoid, dapat teraktivasi menjadi sel yang membentuk kolagen oleh
beberapa faktor parakrin. Faktor-faktor yang dikeluarkan oleh hepatosit, sel-
sel Kupffer, dan endotel sinusoid akibat injury liver. Proses perlukaan sel hati
dapat disebabkan karena suatu agen infeksi, bahan racun (toksin) ataupun
proses iskemia dan hipoksia. Proses ini awalnya menyerang dinding sel yang
menyebabkan keluarnya berbagai enzim dan elektrolit dari dalam sel serta
dapat menyebabkan kematian sel. Pada sirosis terdapat perubahan kualitas
dan kuantitas matriks ekstraseluler sehingga terdapat penyimpangan dan
pengorganisasian pertumbuhan sel dan jaringan hati. Pada kondisi yang
stimultif karena infeksi virus, iskemia ataupun karena keadaan lain yang
dapat menyebabkan nekrosis hepatosit maka hepatosit mengadakan proses
proliferasi yang lebih cepat dari biasanya. Peningkatan deposit kolagen di
ruang Disse (ruang antara sinusoid dan hepatosit) dan pengurangan ukuran
endotel menyebabkan kapilarisasi sinusoid. Sel stelata yang teraktivasi juga
memiliki sifat kontraktil. Kapilarisasi dan konstriksi sinusoid oleh se-sel
stelata menyebabkan hipertensi portal (Wolf, 2015).
Sirosis merupakan fase akhir dari penyakit hati kronis yang paling
sering menimbulkan hipertensi portal Tekanan vena porta merupakan hasil
dari tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran darah pada portal bed. Pada
sirosis, tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran porta keduanya sama-sama
meningkat (Dite et al.,2007).
Hyperdinamic
Portal hypertension
circulation •adrenergic system
•Deranged (vascular) (increased cardiac
•vasoconstrictor/ index) •increased portal
architecture
dilator imbalance blood flow
•renin - angiotensin
system (renal Na⁻ •increased resistance
and water to portal flow
CIRRHOSIS retention)
Counterregulatory
mechanism
Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun penyebabnya, akan
mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan vena porta yang tinggi
merupakan penyebab dari terbentuknya kolateral portosistemik, meskipun
faktor lain seperti angiogenesis yang aktif dapat juga menjadi penyebab.
Walaupun demikian, adanya kolateral ini tidak dapat menurunkan hipertensi
portal karena adanya tahanan yang tinggi dan peningkatan aliran vena porta.
Kolateral portosistemik ini dibentuk oleh pembukaan dan dilatasi saluran
vaskuler yang menghubungkan sistem vena porta dan vena kava superior dan
inferior. Aliran kolateral melalui pleksus vena-vena esofagus menyebabkan
pembentukan varises esofagus yang menghubungkan aliran darah antara vena
porta dan vena kava (Dite et al., 2007; Netiana & Juniati, 2012).
Pleksus vena esofagus menerima darah dari vena gastrika sinistra,
cabang-cabang vena esofagus, vena gastrika short/brevis (melalui vena
splenika), dan akan mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos.
Sedangkan vena gastrika sinistra menerima aliran darah dari vena porta yang
terhambat masuk ke hepar (Blok et al., 2004). Sistem vena porta tidak
mempunyai katup, sehingga tahanan pada setiap level antara sisi kanan
jantung dan pembuluh darah splenika akan menimbulkan aliran darah yang
retrograde dan transmisi tekanan yang meningkat. Anastomosis yang
menghubungkan vena porta dengan sirkulasi sistemik dapat membesar agar
aliran darah dapat menghindari (bypass) tempat yang obstruksi sehingga
dapat secara langsung masuk dalam sirkulasi sistemik (Azer et al., 2010).
Hipertensi portal paling baik diukur secara tidak langsung dengan
menggunakan wedge hepatic venous pressure (WHVP). Perbedaan tekanan
antara sirkulasi porta dan sistemik (hepatic venous pressure gradient, HVPG)
sebesar 10–12 mmHg diperlukan untuk terbentuknya varises. Pengukuran
tunggal berguna untuk menentukan prognosis dari sirosis yang kompensata
maupun yang tidak kompensata, sedangkan pengukuran ulang berguna untuk
memonitoring respon terapi obat-obatan dan progresifitas penyakit hati (Dite
et al., 2007).
22
Bila tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi pecahnya
varises. Seiring waktu dan peningkatan sirkulasi hiperdinamika, aliran darah
melalui varises meningkat, sehingga meningkatkan tengangan di dindingnya.
Perdarahan varises dihasilkan dari ruptur yang terjadi ketika gaya mengembang
melewati tegangan maksimal dinding (WGO, 2O12). Kemungkinan pecahnya
varises dan terjadinya perdarahan akan meningkat sebanding dengan
meningkatnya ukuran atau diameter varises dan meningkatnya tekanan varises,
yang juga sebanding dengan HVPG. Sebaliknya, tidak terjadi perdarahan varises
jika HVPG di bawah 12 mmHg. Risiko perdarahan ulang menurun secara
bermakna dengan adanya penurunan dari HVPG lebih dari 20% dari baseline.
Pasien dengan penurunan HVPG sampai <12 mmHg, atau paling sedikit 20% dari
baseline, mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk terjadi perdarahan
varises berulang, dan juga mempunyai risiko yang lebih rendah untuk terjadi
asites, peritonitis bakterial dan kematian (Dite et al., 2007).
Beberapa penelitian menunjukkan peranan endotelin-1 (ET-1) dan nitric
oxide (NO) pada patogenesis hipertensi porta dan varises esofagus. Endotelin-1
adalah vasokonstriksi kuat yang disintesis oleh sel endotel sinusoid yang
diimplikasikan dalam peningkatan tahanan vaskuler hepatik pada sirosis dan
fibrosis hati. Nitric oxide adalah vasodilator, yang juga disintesis oleh sel
23
E. Penegakkan Diagnosis
Penyakit hati kronis dapat ditemukan tidak hanya dari penyakit hati
sebelumnya, tapi juga dari riwayat transfusi darah atau plasma, penggunaan
obat-obatan dan kondisi neonatus seperti kolestasis, infeksi, operasi, dan
nutrisi parenteral yang berkepanjangan. Kolestasis neonatus ditemukan pada
pasien dengan defisiensi alfa antitipsin-1. Parenteral nutrisi jangka waktu
lama dapat menyebabkan beberapa kerusakan hepar yang dapat berprogres
menjadi sirosis, khususnya pada pasien dengan kegagalan intestinum.
Penyakit sistemik ibu seperti hepatitis B atau C selalu dicari tahu. Sebagai
tambahan, pada orang dewasa, keberadaan tato atau tindik harus dicari tau
untuk ditelaah karena berhubungan dengan infeksi virus hepatitis C (Pinto et
al, 2015).
Hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan
melena (tinja seperti aspal/tar) merupakan tanda dan gejala tersering dari
perdarahan saluran cerna bagian atas. Sekitar 30% pasien dengan perdarahan
ulkus datang dengan hematemesis, 20% dengan melena dan 50% dengan
keduanya. Hematoskezia (darah segar di tinja) biasanya menunjukkan sumber
perdarahan saluran cerna bawah. Darah dari saluran cerna atas berubah hitam
dan serupa aspal pada saat melewati saluran cerna karena konversi Hb
menjadi hematin oleh bakteri setelah 14 jam, sehingga menghasilkan melena
(WGO, 2012).
Gejala klinis sirosis tergantung dari penyebab primer penyakit hati
dan apakah sirosis kompensasi atau dekompensasi. Hampir 40% kasus,
pasien tidak memiliki keluhan sebelum terjadi kegagalan sel hati. Pada sirosis
28
Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Marker untuk Infeksi Virus Hepatitis C (CDC,
2013).
F. Tatalaksana
Terapi sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati
dan hipertensi portal. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang cukup baik
memerlukan istirahat yang cukup, makanan yang adekuat dan seimbang.
Protein diberikan dengan jumlah 1 -1,5 g/kgBB. Lemak antara 30% - 40 %
jumlah kalori dan sisanya adalah hidrat arang. Bila timbul tanda-tanda
ensefalopati jumlah protein diturunkan. Untuk asites diberikan diit rendah
garam 0,5 g/hari dan total cairan 1,5 liter/hari. Spironolakton (diuretik bekerja
pada tubulus distal) dimulai dengan dosis 4 x 25 mg/hari dinaikkan sampai
total dosis 800 mg/hari. Bila perlu dikombinasi dengan furosemide dengan
dosis 20 mg/hari dengan dosis maksimum 120 mg/hari.
Restriksi cairan sangat direkomendasikan terutama pada kasus
hiponatremi dengan kadar serum natrium dibawah 125 mEq/L. Ketika
diuretik dibutuhkan, spironolakton (1-6 mg/kg/hari) harus dipertimbangkan,
jika perlu dikombinasikan dengan diuretik kuat seperti furosemid (1-6
mg/kg/hari). Kombinasi furosemid menurunkan risiko hiperkalemia karena
peningkatan ekskresi kalium. Diuretik thiazide juga bisa digunakan untuk
terapi maintenance. Selama terapi diuretik dan pasien stabil, cek laboratorium
harus dilakukan untuk memantau serum ektrolit, creatinin, BUN, dan
natrium. Kehilangan banyak cairan dapat menyebabkan kehilangan plasma
dan memburuknya fungsi ginjal.
Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan
melena atau melena saja). Pasien dirawat di rumah sakit sebagai kasus
perdarahan saluran cerna atas. Pertama kali yang dilakukan adalah
pemasangan NGT tube untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari
saluran cerna, disamping melakukan aspirasi cairan lambung yang berisi
darah dan untuk mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau belum.
Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik di bawah 100 mmHg, nadi di atas
100x/ menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan pemberian IVFD dekstrosa
atau salin dan tranfusi darah secukupnya.
Penggunaan air es tidak direkomendasikan sebagai bilas lambung.
Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan
31
suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat
dibutuhkan. Batasan transfusi bergantung kepada kondisi medis umum dan
tanda vital pasien, namun biasanya ditetapkan pada hemoglobin ≤ 7.0 g/dL
kecuali bila perdarahan masih terus berlangsung atau masif serta adanya
penyakit jantung koroner, gangguan hemodinamik (hipotensi dan takikardi)
dan usia lanjut. Kadar hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi
adalah 8 mg/dL dan jika akan dilaksanakan endoskopi terapeutik maka kadar
hemoglobin minimal adalah 10 mg/dL dengan catatan pasien juga dalam
keadaan hemodinamik stabil (Simadibrata et. al., 2012). Untuk mencegah
rebleeding dapat diberikan obat beta bloker secara oral dalam dosis yang
dapat menurunkan denyut nadi sampai 25%.
Perdarahan varises akut sering berhubungan dengan infeksi bakteri
karena translokasi bakteri usus dan gangguan motilitas. Terapi antibiotik
profilaksis menunjukkan berkurangnya infeksi bakteri, rebleeding varises,
dan peningkatan harapanan hidup. Kegunaan antibiotik pada sirosis dengan
perdarahan juga meningkat karena berhasil mencegah peritonitis bakterial
spontan dan bakteremia spontan (WGO, 2013; Lee, 2014).
Semua guideline dan konsensus sepakat bahwa antibiotik profilaksis
adalah bagian dari terapi medis pada sirosis dengan perdarahan
gastrointestinal akut. Quinolone oral, diberikan untuk jangka waktu pendek (7
hari) pada penyakit hati ringan dan digunakan pada tempat yang tidak
mengalami masalah resistensi quinolon. Ceftriaxone intravena (atau
sefalosporin generasi ketiga lainnya) berguna pada penyakit hati yang lebih
parah dan pada daerah yang mengalami masalah resistensi quinolone (Lee,
2014).
Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti
pemberian KCl pada hipokalemia, mengurangi pemasukan protein makanan,
aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises,
pemberian neomisin per oral untuk strerilisasi usus dan pemberian antibiotik
pada keadaan infeksi sistemik.
32
G. Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, diantaranya etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan
penyakit yang menyertai. Beberapa tahun terakhir, metode prognostik yang
paling umum dipakai pada pasien dengan sirosis adalah sistem klasifikasi
Child-Turcotte-Pugh. Child dan Turcotte pertama kali memperkenalkan
sistem skoring ini pada tahun 1964 sebagai cara memprediksi angka kematian
selama operasi portocaval shunt. Pugh kemudian merevisi sistem ini pada
1973 dengan memasukkan albumin sebagai pengganti variabel lain yang
kurang spesifik dalam menilai status nutrisi. Beberapa revisi juga dilakukan
dengan menggunakan INR selain waktu protrombin dalam menilai
kemampuan pembekuan darah (Nurdjanah, 2009).
Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh dapat dilihat pada tabel 3.5.
Sistem klasifikasi Child Turcotte-Pugh dapat memprediksi angka
kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut. Dimana angka
kelangsungan hidup selama setahun untuk pasien dengan kriteria Child-Pugh
A adalah 100%, Child-Pugh B adalah 80%, dan Child-Pugh C adalah 45% .
Berikut merupakan tabel klasifikasi sirosis hepatis menurut Child-Turcotte-
Pugh (CTP) (Cholongitas, 2012):
Tabel 3.5. Klasifikasi sirosis hepatis Child-Turcottte-Pugh (CTP)
Parameter/Skor 1 2 3
Bilirubin serum (mg/dl) < 2,0 2,0 – 3,0 > 3,0
Albumin serum (gr/dl) > 3,5 3,0 – 3,5 < 3,5
Protrombin time (detik) 1,0 – 4,0 4,0 – 6,0 > 6,0
atau INR* <1,7 1,7 – 2,3 > 2,3
Asites Tidak ada Minimal-sedang Banyak
Ensefalopati hepatikum Tidak ada Stage I-II Stage III-IV
BAB IV
PEMBAHASAN
Sirosis hepatis merupakan stadium akhir penyakit kronis hepar dan terkait
dengan komplikasi hipertensi porta yang menimbulkan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi akibat perdarahan varises. Penyakit sirosis hepatis pada
anak jarang dilaporkan. Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan sirosis hepatis
dengan hipertensi portal dan terjadi komplikasi perdarahan varises esofagus,
gastritis, ulkus ventrikuli, dan anemia. Diagnosis sirosis hepatis dengan
komplikasinya hipertensi portal ditegakkan berdasarkan adanya riwayat perut
membesar, kaki bengkak, splenomegali, dan hematemesis melena.
Berat badan yang rendah merupakan gejala awal yang umum pada pasien
anak yang menderita sirosis, diikuti oleh gejala tidak spesifik seperti anoreksi,
kelelahan, lemah otot, mual, dan muntah. Biasanya juga mengeluhkan nyeri perut
sebagai akibat dari ulkus, gastritis, atau batu empedu (Pinto et al, 2015). IMT
pasien ini adalah 17,5, termasuk berat badan kurang, sehingga sejalan dengan
teori bahwa gejala awal anak dengan sirosis adalah berat badan yang turun.
Demam yang tidak terlalu tinggi dikeluhkan sejak awal sakit. Sepertiga dari
kasus sirosis dekompensata menunjukan demam tetapi jarang yang lebih dari
38ºC dan tidak dipengaruhi oleh pemberian antibiotik. Keadaan ini mungkin
disebabkan oleh sitokin seperti tumor nekrosis factor yang dibebaskan pada
proses inflamasi. Pasien ini mengaku sempat demam ketika dirawat di RS Dadi
Keluarga. Nausea dan vomitus adalah gejala yang umum pada pasien sirosis
hepatis tetapi pada pasien ini tidak didapatkan keluhan tersebut. Pasien hanya
mengeluh perut terasa kembung. Dari pemeriksaan fisik terdapat konjungtiva
anemis, sklera ikterik, asites, splenomegali, edema ekstremitas inferior. Asites
merupakan tanda terbanyak pada penderita sirosis yaitu 85,79%, sedangkan
edema 58,28%, splenomegali 43,16%, hepatomegali 39,76%, venektasi 32,46%,
ikterik 22,55% dan jari tabuh 2.09%.
Kerusakan parenkim hepar (sirosis) di mana pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan dari laboratorium tanda-tanda gangguan faal hepar yaitu
terdapat ikterik, hipoalbuminemia, namun tidak terdapat peninggian SGOT dan
SGPT. Tanda-tanda karakteristik adanya obstruksi saluran biliaris (riwayat feses
34
Tatalaksana pada pasien ini antara lain penderita dirawat inap, diinfus
dengan D5: aminofusin 1:1 20 tpm, Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg, Inj.
Omeprazole 2 x 1 ampul, Inj. Cefotaxim 1 amp/12 jam, Sucralfate syr 3 x 1 C,
Bisacodil 0-0-1 (rutin), Inj. Furosemid 1 gr/12 jam.
Pada hari keperawatan ke-7 kondisi pasien sudah membaik, tidak BAB
hitam, NGT jernih, tidak muntah darah, Hb 11, perut mulai mengecil, kaki tidak
bengkak. Hasil endoskopi menyatakan adanya varises esofagus, gastritis, dan
ulkus ventrikuli. Varises esofagus stadium III-IV diligasi di arah jam 9-5 di 1/3
distal esofagus. Pasien dipulangkan pada hari tersebut dan mendapat terapi pulang
sebagai berikut: Cefixim 2 x 100 mg, Omeprazole 1 x 1, Sucralfate syr 3 x 1 C,
Propanolol 2 x 10 mg, Vitamin K 3 x 1, Spironolakton 1 x 100 mg, Laktulosa syr
2 x II C, Terapi Sp.KK lanjut. Danjurkan untuk kontrol ke poliklinik penyakit
dalam dua minggu kemudian.
Karena sirosis adalah tahap akhir dari beberapa tipe penyakit hati yang
progresif, klasifikasi etiologi merupakan hal yang penting untuk rencana terapi.
Meskipun ada banyak kemungkinan penyebabnya seperti pada Tabel 3.1 dan
Tabel 3.2.
Pada bayi, sirosis sering disebabkan oleh atresia biliar dan gangguan
genetik metabolik, sementara pada anak yang lebih dewasa, cenderung disebabkan
oleh hepatitis autoimun, penyakit Wilson, defisiensi alfa-1-antitripsin dan
kolangitis sklerosis primer (Pinto et al, 2015). Defisiensi alfa 1 antitripsin adalah
penyebab genetik paling umum pada penyakit hepar neonatus dan anak-anak (de
Serres et al., 2003).
Defisiensi alfa 1 antiripsin adalah gangguan metabolik genetik, gangguan
terletak pada mutasi urutan coding dari inhibitor protease, alfa 1 antripsin,
mencegah keluar dari hepatosit. Sehingga, terdapat defisiensi pada konsentrasi
alfa 1 antitripsin di sirkulasi. Akumulasi abnormal dari glikoprotein di hepatosit
menyebabkan kematian sel terprogram, inflamasi hepatosit, fibrosis, dan sirosis.
Pemeriksaan histopatologi dari spesimen hepar dengan defisiensi alfa 1 antitripsin
menunjukkan butiran intraseluler klasik dengan pewarnaan PAS (Fairbanks &
Tavill, 2008).
Serum bilirubin pasien ini tidak diketahui secara pasti. Secara klinis pasien
menunjukkan ikterik, hal ini terlihat pada sklera pasien. Namun, ikterik tidak
terlalu jelas pada kulit maupun ujung jari-jari pasien. Sehingga poin untuk serum
bilirubin pada skor Child-Pugh dianggap 1.
Albumin pasien ini adalah 2,53 mg/dl sehingga berdasarkan kriteria Child-
Pugh termasuk kategori dengan 3 poin, sama seperti kriteria protrombin time dan
asites yang mendapat 3 poin. Protrombin time pasien 10,7 detik dan asites sedang.
Sedangkan ensefalopati hepatikum tidak ada, sehingga skornya 1. Total skor
adalah 9 poin tanpa serum bilirubin. Jika serum biliribun dianggap poin 1, maka
total poin 10 sehingga disimpulkan untuk sementara pasien ini termasuk Sirosis
hepatis Child-Pugh Class C. Prognosis pada pasien ini dengan menggunakan
criteria Child, kemungkinan Child C dengan 1-year survival 45%.
43
BAB V
KESIMPULAN
1. Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya penibentukan jaringan ikat disertai nodul
2. Penyebab terbanyak sirosis hati di Indonesia adalah akibat komplikasi infeksi
virus hepatitis B dan C.
3. Manifestasi klinis dari sirosis hepatis yaitu kegagalan hepatoselular dan
hipertensi portal.
4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
5. Tatalaksana sirosis hepatis berdasarkan derajat dan komplikasinya.
Penatalaksaan hipertensi portal dibagi menjadi pengobatan emergensi
perdarahan dan profilaksis terjadinya perdarahan awal dan profilaksis
perdarahan lanjutan.
6. Prognosis sirosis hepatis dinilai berdasarkan skor Child-Pugh yang terdiri dari
serum bilirubin, serum albumin, protombine time, asites, dan esefalopati
hepatikum
44
DAFTAR PUSTAKA
Pugh, R. N., Murray-Lyon, I.M., Dawson, J.L et al. 1973. Transection of the
oesophagus for bleeding oesophageal varices. Br J Surg 60: 646–649.
Uetake, S., Yamauchi, M., Itoh, S., Kawashima, O., Takeda, K., Ohata, M. 2003.
Analysis of risk factors for hepatocellular carcinoma in patients with HBs
antigen- and anti-HCV antibody-negative alcoholic cirrhosis: Clinical
significance of prior hepatitis B virus infection. Alcoholism: Clinical and
Experimental Research. Vol. 27: 47S–51S.
Wolf, D.C. 2015. Cirrhosis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#a5 (diakses
tanggal 27 Agustus 2016).