Anda di halaman 1dari 46

1

PRESENTASI KASUS

SIROSIS HEPATIS CHILD-PUGH C DENGAN HIPERTENSI PORTAL

Disusun oleh :
Farissa Utami G4A015117

Pembimbing :

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2016
2

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................ ....iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ ....v
I.PENDAHULUAN ..................................................................... ........1
II. LAPORAN KASUS
A.Identitas Pasien ........................................................................ ....2
B. Anamnesis ............................................................................... ....2
C. Pemeriksaan Fisik ................................................................... ....4
D. Pemeriksaan Penunjang .......................................................... ....7
E. Diagnosis ............................................................................... ....10
F. Terapi ..................................................................................... ....10
G. Prognosis ............................................................................... ....11
H. Usulan Pemeriksaan Penunjang ............................................ ....11
I. Follow Up di Bangsal Mawar ................................................ ....12
III.TINJAUAN PUSTAKA
A.Definisi................................................................................... ....14
B.Etiologi ................................................................................... ....14
C.Patomekanisme ...................................................................... ....15
D.Gejala dan Tanda ....................................................................... 19
E.Penegakkan Diagnosis............................................................ ....23
F.Tatalaksana ............................................................................. ....26
G Prognosis ................................................................................ ....28
IV. PEMBAHASAN ...................................................................... ....29
V. KESIMPULAN ......................................................................... ....39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... ....40
3

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pemeriksaan Ekstremitas........................................................... ....6


Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium ........................................................... 7
Tabel 2.3 Follow Up Pasien di Bangsal Mawar .......................................... 12
Tabel 3.1 Penyakit yang dapat menjadi penyebab sirosis ........................... 14
Tabel 3.2 Penyebab sirosis hepatis pada anak dan remaja .......................... 15
Tabel 3.3 Interpretasi Marker Serologis Hepatitis B................................... 24
Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Marker untuk Infeksi Virus Hepatitis C ....... 25
Tabel 3.5.Klasifikasi sirosis hepatis Child-Turcottte-Pugh (CTP) ............. 28
Tabel 3.6 Klasifikasi Skor dan Prognosis Child-Turcottte-Pugh (CTP) ..... 28
Tabel 4.1 Indeks Eritrosit pada Pemeriksan Darah Lengkap ...................... 30
Tabel 4.2 Analisa Marker Serologis Hepatitis B ........................................ 35
Tabel 4.3 Analisa marker hepatitis C .......................................................... 35
Tabel 4.4 Klasifikasi sirosis hepatis Pasien................................................. 37
Tabel 4.5 Klasifikasi Skor dan Prognosis Pasien ........................................ 38
4

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambaran UKK pasien ........................................................... 7


Gambar 2.2 Hasil Esophagogastroduodenoscopy ...................................... 9
Gambar 3.1 Mekanisme Hipertensi Portal ............................................... 16
Gambar 3.2 Anastomosis portocaval pada hipertensi porta ..................... 17
Gambar 3.3 Grade Varises Esofagus ........................................................ 21
Gambar 4.1 Ligasi Varises Esofagus ........................................................ 31
Gambar 4.2 Perjalanan Infeksi Hepatitis B .............................................. 33
Gambar 4.3 HistoPA Hepar pasien Defisiensi Alfa 1 Antitripsin ............ 36
5

BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis hepatis merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai


dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya diawali
dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan
jaringan ikat dan usaha regenerasi dengan terbentuknya nodul yang mengganggu
susunan lobulus hati. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan
sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat
dan nodul tersebut.
Insiden sirosis hepatis meningkat secara bermakna sejak perang Dunia II
sehingga menyebabkan sirosis menjadi salah satu penyebab kematian yang cukup
menonjol. Peningkatan ini sebagian diakibatkan oleh insiden hepatitis virus yang
meningkat, namun yang lebih bermakna agaknya karena peningkatan nyata dari
asupan alkohol.
Kondisi klinisnya sering berupa gangguan fungsi hati akibat menghilangnya
hepatosit dan hipertensi portal serta dapat berkembang menjadi karsinoma
hepatoselular. Hipertensi portal adalah komplikasi sirosis hepatis yang merupakan
penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada anak dengan penyakit hati
kronis tersebut. Perdarahan akut varises pada hipertensi portal menyebabkan
mortalitas antara 5%-50%. Kejadian sirosis hepatis pada anak jarang dilaporkan
tetapi komplikasinya berupa hipertensi portal dengan manifestasi perdarahan
varises sangat berkaitan dengan angka morbiditas dan mortalitas pada anak.
6

BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Sdr. WAS
Umur : 15 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pamulihan 04/03 Karangpucung
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tgl masuk RS : 29 Juli 2016
Tgl periksa : 31 Juli 2016
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Muntah darah, BAB hitam sejak 9 hari
2. Keluhan tambahan
Lemas, perut kembung, BAB tidak lancar, gatal di sela-sela jari,
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 29 Juli 2016 pukul 23.10
rujukan dari RS Dadi Keluarga dengan hematemesis, melena, dan anemia
gravis. Pasien dirujuk setelah rawat inap sekitar 7 hari Hemoglobin (Hb)
menurun progresif setiap hari, curiga adanya perdarahan intraabdomen.
Pasien mengalami muntah dan BAB warna hitam sejak sekitar 9 hari yang
lalu. Muntah darah berwarna kehitaman seperti kopi dan berhenti sejak 1
hari sebelum masuk RS Margono. BAB berwarna hitam seperti aspal
konsistensi lembek. Pasien juga mengeluh perut membesar dan terasa
kembung, nyeri perut (-), demam (-), BAK lancar, sulit BAB, dan sulit
kentut.
Pasien sering merasa mudah lelah, lesu, dan lemas saat aktivitas
sehari-hari, pasien belum pernah ditransfusi darah sebelumnya. Pasien
merupakan seorang pelajar SMP, mengaku tidak pernah minum alkohol.
7

Pasien juga merasa gatal di sela-sela jarinya sejak beberapa minggu


yang lalu, gatal dirasakan terutama ketika menjelang malam hari. Gatal
tersebut sangat mengganggu hingga pasien merasa sulit tidur dan
menggaruk-garuk. Pasien sering main dan tidur bersama kakak sepupunya
yang juga mempunyai keluhan gatal serupa. Pasien tidak sedang
‘mondok’ atau tinggal dalam asrama.
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat anemia : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat konsumsi obat anti nyeri
dalam jangka waktu lama : disangkal
Riwayat muntah darah : disangkal
Riwayat sering BAB hitam : disangkal
Riwayat BAB seperti dempul : disangkal
Riwayat transfusi darah : disangkal
Riwayat penyakit hepatitis : disangkal
Riwayat demam kejang saat bayi : diakui
Riwayat imunisasi dasar : diakui tidak lengkap
Riwayat ASI Eksklusif : diakui
5. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit kuning/hepatitis : disangkal
Riwayat anemia : disangkal
Riwayat kelainan empedu : disangkal
Riwayat kelainan hati : disangkal
Riwayat kelainan darah : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk bukan perumahan.
Hubungan pasien dengan tetangga sekitar baik, pasien aktif dalam
kegiatan sosial setempat.
8

b. Home
Pasien tinggal bersama orangtuanya dan satu orang adiknya.
c. Occupational
Pasien seorang pelajar di salah satu SMP di Karangpucung
d. Personal habit
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum-minuman
beralkohol. Pasien terbiasa mengkonsumsi makanan dari masakan
ibunya. Jenis makanan yang biasa dikonsumsi adalah sayur dengan
protein nabati, seperti tahu tempe.

C. Obyektif
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda vital
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Nadi : 120 x/menit
c. Pernafasan : 32 x/menit
d. Suhu (peraksiller) : 37oC
4. Status antropometri
a. BB : 42 kg
b. TB : 155 cm
c. IMT : 17,5 kg/m2

D. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : mesocephal
b. Rambut : alopesia (-), distribusi normal berwarna
hitam
c. Venektasi temporal : (-)
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva anemis : (+/+)
b. Sklera ikterik : (+/+)
9

c. Edem palpebra : (-/-)


d. Reflek cahaya langsung : (+/+)
Cahaya tidak langsung : (+/+)
3. Pemeriksaan telinga
a. Simetris : (+)
b. Kelainan betuk : (-)
c. Discharge : (-/-)
4. Pemeriksaan hidung
a. Discharge : (-/-)
b. Nafas cuping hidung : (-)
5. Pemeriksaan mulut
a. Bibir sianosis : (-)
b. Lidah sianosis : (-)
c. Lidah kotor : (-)
6. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), spider nevi (-)
Palpasi : JVP 5+2 cmH2O
7. Pemeriksaan thorax
a. Pulmo
1) Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak
(-), spider nevi (-)
2) Palpasi : Vokal fremitus apex kanan sama dengan apex kiri
Vokal fremitus basal kanan sama dengan basal kiri
3) Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V linea midclavicula
dextra
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
Wheezing (-/-)
b. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V LMCS, pulsasi
epigastrium (-)
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS dan tidak kuat
10

angkat
3) Perkusi : Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas kiri bawah SIC V LMCS
4) Auskultasi : A1>A2, P2>P1, T1>T2, M1>M2
Reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Cembung, caput medusa (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Palpasi : Distended, nyeri tekan (-) , undulasi (+)
d. Perkusi : Timpani, pekak alih (+), pekak sisi (+)
9. Pemeriksaan hepar
Hepatomegali (-)
10. Pemeriksaan lien
Splenomegali (+) schuffner 2
11. Pemeriksaan ekstremitas
Tabel 2.1 Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Pemeriksaan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - + +
Sianosis - - - -
Kuku ikterik - - - -
Akral hangat Hangat hangat hangat
Eritema Palmaris - -
UKK Papul eritema pada regio
interdigiti manus
11

Gambar 2.1 Gambaran UKK pasien


E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 30/07/16 31/07/16 02/08/16 05/05/16
01.00 19.27 16.30
Hemoglobin 6.1 (L) 7.4 (L) 8.4 (L) 11 (L)
Leukosit 12660 8020 3550 (L) 2580 (L)
Hematokrit 19 (L) 24 (L) 26 (L) 34 (L)
Eritrosit 2.2 (L) 2.7 (L) 3.0 (L) 4 (L)
Trombosit 185.000 91.000 (L) 151.000 116.000 (L)
MCV 85.3 87.2 85.2 84
MCH 27.2 27 27.6 27.5
MCHC 31.9 (L) 31 (L) 32.4 32.7
PT 10.7
APTT 33.6
Total protein 4.6 (L) 4.95 (L)
Albumin 2.53 (L) 2.57 (L)
Globulin 2.07 (L) 2.38 (L)
SGOT 32
SGPT 33
12

Ureum 29.1
Creatinin 0.6 (L)
GDS 90
Natrium 130 (L)
Kalium 3.4 (L)
Klorida 101
Kalsium
Anti HCV Non reaktif
HbsAg Non reaktif

2. Pemeriksaan Radiologi
a. Rontgen thorax PA
Tanggal pemeriksaan 28 Juli 2016 di RS Umum Dadi Keluarga
Hasil:
- Corakan vaskuler pulmo meningkat kasar
- Tampak perselubungan semi opak relative homen di hemithorax
dextra
- Sinus costofrenicus dextra tumpul, sinistra lancip
- Diafragma dextra tertutup perselubungan, sinistra licin tak
mendatar
- Cor: CTR tak valid dinilai
- Sistema tulang intact tak tampak lesi litik maupun sklerotik pada
foto saat ini
Kesan:
- Efusi pleura dextra
- Besar cor tak valid dinilai
- Sistema tulang yang tervisualisasi baik
b. USG Abdomen
Tanggal pemeriksaan 25 Juli 2016 di RS Dadi Keluarga:
Kesan:
- Splenomegali
- Asites
13

- Tak tampak kelainan pada: hepar, pankreas, vesika fellea, ren


dextra et sinistra, protat, dan vesika urinaria
- Tak tampak limfadenopati paraaorticy
c. BNO
Pemeriksaan X-Foto Abdomen AP/LLD:
- Gambaran meteorismus
- Tak tampak batu opak di proyeksi traktus urinarius
- Tak tampak ileus/pneumoperitoneum

3. Pemeriksaan Esophagogastroduodenoscopy

Gambar 2.2 Hasil Esophagogastroduodenoscopy


Tanggal pemeriksaan 5 Agustus 2016
Esofagus
- 1/3 proximal: varises (+)
- 1/3 medial: varises (+)
- 1/3 distal: varises (+), lokasi jam 9-5, stadium III-IV
14

Gaster
- Cardia: mosaic (+)
- Corpus: mosaic (+)
- Angulus: mosaic (+), ulkus (+)
Duodenum: dbn
Kesimpulan:
- Varises esofagus stadium III
- Gastritis
- Ulkus ventrikuli
Tindakan: ligasi  sudah dilakukan pada lokasi tersebut
Saran: ligasi 2 minggu lagi
F. Diagnosa Kerja
Sirosis Hepatis Child Pugh C
Hematemesis melena e.c varises esofagus dan ulkus ventrikuli
Asites
Anemia gravis e.c blood loss
Skabies

G. Terapi
1. Farmakologi
a. IVFD D5: aminofusin = 1:1 20 tpm
b. Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
c. Inj. Omeprazole 2 x 1 ampul
d. Inj. Cefotaxim 1 amp/12 jam
e. Sucralfate syr 3 x 1 C
f. Bisacodil 0-0-1 (rutin)
g. Inj. Furosemid 1 gr/12 jam

2. Non farmakologi
a. O2 nasal kanul 3 lpm
b. Transfusi PRC sampai Hb ≥ 9 mg/dl
15

H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

I. Usulan Pemeriksaan Penunjang


1. Bilirubin : untuk menentukan derajat sirosis hepatis menggunakan skor
Child-Pugh, untuk melihat billirubin direk atau indirek yang meningkat,
untuk memastikan adanya peningkatan bilirubin karena secara klinis
pasien ikterik namun kulit tidak terlalu ikterik.
2. IgM anti Hbc dan IgG anti Hbc: untuk mencari tau etiologi dari sirosis
hepatis, membedakan hepatitis akut dan kronis. Secara klinis memang
hampir dipastikan bahwa pasien tersebut menderita hepatitis kronis,
namun HbsAg dan antiHCV tidak mendukung etiologi adanya infeksi
virus hepatitis B maupun hepatitis C, sehingga masih perlu dicari
kemungkinan adanya infeksi hepatitis B kronis yang tidak terdeteksi
melalui pemeriksaan HbsAg.
3. Pemeriksaan HbsAg, HbeAg dan anti HCV pada ibu penderita.
Penyebab hepatitis kronis maupun sirosis hepatitis paling sering di
Indonesia adalah hepatitis B dan hepatitis C, sedangkan penularannya
melalui serum darah. Salah satu yang harus dilacak adalah penularan
melalui dari ibu ke anak saat persalinan. Hal ini harus dicari tau karena
jika memang ibu pasien positif HbsAg, HbeAg atau anti HCV (carrier
atau infeksi aktif), kemungkinan saudara kandung dari pasien berpotensi
tertular juga dan diantisipasi untuk tidak berkembang menjadi sirosis
hepatis.
4. Biopsi Hati: biopsi hati merupakan gold standard untuk menegakkan
diagnosis sirosis hepatis. Namun, pemeriksaan ini bersifat invasif.
16

J. Follow Up Pasien di Bangsal Mawar


Tabel 2.3 Follow Up Pasien di Bangsal Mawar
Hari/Tgl Subjektif Objektif Assesment Plan
30/07/16 Perut membesar TD 110/70 Hematemesis a. Terapi IGD lanjut
Kaki bengkak mmHg, dan melena b. Tambah Inj.
Muntah darah (-) N 84x/m, Asites Cefotaxim 1 amp/12
BAB kuning- RR 28x/m, Anemia jam
kecoklatan T 37.1ºC c. Transfusi PRC
BAK lancar, warna sampai Hb ≥10 mg/dl
kuning, banyak. d. Sucralfate syr 3 x 1 C

31/07/16 Perut buncit dirasa TD: 120/80 Hematemesis a. Bisacodil 0-0-1


berkurang, masih mmHg dan melena (rutin)
kembung N 84x/m, Asites b. Transfusi PRC
Kaki bengkak RR 25x/m, Anemia sampai Hb ≥ 9 mg/dl
dirasa berkurang T 36.4 ºC c. Lacak bacaan BNO 2
Muntah darah (-) posisi
BAB kuning
kecoklatan
BAK lancar, warna
kuning, banyak.

01/08/16 Perut buncit TD 120/80 Hematemesis a. Bisacodil 0-0-1


berkurang mmHg, dan melena (rutin)
Kaki bengkak N 92x/m, Asites b. Inj. Furosemid 1
Muntah darah (-) RR 25x/m, Anemia gr/12 jam
BAB kuning- T 37.2ºC c. Transfusi PRC
kecoklatan sampai Hb ≥ 9 mg/dl
BAK lancar, warna d. Cek total protein,
kuning, banyak. albumin

02/08/16 Perut buncit dan TD 120/70 Hematemesis a. Evaluasi darah rutin


kaki bengkak mmHg, dan melena b. Inj. Alinan F 1 gr/12
dirasa berkurang N 112x/m, Asites jam
Perut masih terasa RR 30x/m, Anemia
kembung T 37.2ºC Meteorismus
BAB kuning-
kecoklatan
BAK lancar
Muntah darah (-)
Mual (-)
Gatal di sela-sela
jari terutama ketika
malam hari
17

03/08/16 Perut buncit dan TD 110/70 Hematemesis a. Daftar endoskopi


kaki bengkak mmHg, dan melena b. Konsul kulit
dirasa semakin N 96x/m, Asites
berkurang RR 26x/m, Anemia
Perut masih terasa T 37.1ºC Meteorismus
kembung
BAB kuning-
kecoklatan
BAK lancar
Muntah darah (-)
Mual (-)
Gatal di sela-sela
jari terutama ketika
malam hari
04/08/16 Perut buncit dirasa TD 110/70 Hematemesis a. Spooling NGT
berkurang, masih mmHg, dan melena sampai jernih
terasa kembung N 88x/m, Asites b. Bisacodil supp 0-0-1
Kaki bengkak (-) RR 26x/m, Anemia (rutin)
Belum BAB sejak T 37.1ºC Meteorismus
kemarin
BAK lancar Jawaban
Muntah darah (-) spesialis kulit:
Mual (-) Kesimpulan:
Gatal di sela-sela skabies
jari terutama ketika
Terapi:
malam hari loratadin 2 x
10 mg
Scabimite
salep s.u.e
05/08/16 Perut membesar Hasil Sirosis BLPL
BAB kuning- Endoskopi (+) hepatis Terapi:
kecoklatan Varises Cefixim2 x 100 mg
BAK lancar, warna esofagus Omeprazole 1 x 1
kuning, banyak. Gastritis Sucralfate syr 3 x 1 C
Muntah darah (-) Ulkus Propanolol 2 x 10 mg
Kaki bengkak ventrikuli Vitamin K 3 x 1
Spironolakton 1 x 100
mg
Laktulosa syr 2 x II C
Terapi Sp.KK lanjut
18

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sirosis hepatis merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya diawali
dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan
jaringan ikat dan usaha regenerasi dengan terbentuknya nodul yang
mengganggu susunan lobulus hati. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Chung et al., 2005; Tarigan,
2009).

B. Etiologi
Penyebab terbanyak sirosis hati di Asia Tenggara adalah akibat
komplikasi infeksi (hepatitis) virus hepatitis B dan C, demikian juga di
Indonesia (Gultom, 2003).
Tabel 3.1. Penyakit yang dapat menjadi penyebab sirosis (Con, 1993)
Penyakit infeksi Kelainan bilier
Hepatitis kronik aktif Atresia bilier
Hepatitis virus Sindrom alagile
Ascending cholangitis Kista koledukus
Sepsis neonatal Fibrosis hepatis kongenital
Kelainan metabolik Kelainan vaskuler
Defisiensi α1-antitripsin Sindrom Budd-Chiari
Cystic fibrosis Gagal jantung kongestif
Fruktosemia Perikarditis kongestif
Galaktosemia Veno-occlusive liver disease
Hemokromasitosis
Glicogen storage
Hepatic porphyria Bahan toksik
Histiosis X Bahan organik
Nieman Pick disease Obat-obatan
Penyakit Wilson Idiopatik
Kelainan Nutrisi
Total parental alimentation
Malnutrisi
19

Tabel 3.2 Penyakit atau kelainan penyebab terjadinya sirosis hepatis pada anak
dan remaja (Pinto et al., 2015).
Obstruksi Biliar Toksik dan obat-obatan
Atresia biliar Nutrisi parenteral total
Kista koledukus Isoniazid
Stenosis duktus biliaris Methotrexate
Batu empedu Intoksikasi Vitamin A
Kolestasis intrahepatik familial Penyakit autoimun
Sindrom Allagiel Hepatitis autoimun
FIC1 deficiency (ATP8B1) Kolangitis sklerosis primer
BSEP deficiency (ABCB11) Kelainan Vaskular
MDR3 deficiency (ABCB4) Sindrom Budd-Chiari
Defek sintesis asam empedu Gagal jantung kongestif
Hepatotropic viral infections Perikarditis konstriktif
Hepatitis B and D Veno-occlusive liver disease
Hepatitis C Kongenital kardiopati
Hepatitis E Lain-lain
Kelainan genetik metabolik Fatty liver diseases
Defisiensi α1-antitripsin Hepatitis Neonatal
Cystic fibrosis Penyakit Zellweger
Fruktosemia
Galaktosemia
Hemokromatosis
Glikogenosis tipe III & IV
Tirosinemia tipe 1
Hepatopati mitokondria
Late cuteneous porphyria
Penyakit Wolman
Penyakit Wilson

C. Patomekanisme
Terbentuknya fibrosis hepar merupakan suatu perubahan dari proses
normal produksi matriks ekstraseluler dan degradasi yang seimbang. Matriks
ekstraseluler normalnya sebagai penyokong untuk hepatosit, sangat penting
untuk proses penyelamatan dan pemeliharaan fungsi sel hepar karena dapat
memelihara keseimbangan lingkungan sel, matriks ekstraseluler terdiri dari
kolagen (khususnya tipe I, III, dan V), glikoprotein, dan proteoglikan. Sel
stelata, yang terletak di ruang perisinusoid, berperan untuk produksi matriks
ekstraselular (Wolf, 2015).
20

Sel-sel stelata atau disebut juga sel-sel Ito, liposit, atau sel
perisinusoid, dapat teraktivasi menjadi sel yang membentuk kolagen oleh
beberapa faktor parakrin. Faktor-faktor yang dikeluarkan oleh hepatosit, sel-
sel Kupffer, dan endotel sinusoid akibat injury liver. Proses perlukaan sel hati
dapat disebabkan karena suatu agen infeksi, bahan racun (toksin) ataupun
proses iskemia dan hipoksia. Proses ini awalnya menyerang dinding sel yang
menyebabkan keluarnya berbagai enzim dan elektrolit dari dalam sel serta
dapat menyebabkan kematian sel. Pada sirosis terdapat perubahan kualitas
dan kuantitas matriks ekstraseluler sehingga terdapat penyimpangan dan
pengorganisasian pertumbuhan sel dan jaringan hati. Pada kondisi yang
stimultif karena infeksi virus, iskemia ataupun karena keadaan lain yang
dapat menyebabkan nekrosis hepatosit maka hepatosit mengadakan proses
proliferasi yang lebih cepat dari biasanya. Peningkatan deposit kolagen di
ruang Disse (ruang antara sinusoid dan hepatosit) dan pengurangan ukuran
endotel menyebabkan kapilarisasi sinusoid. Sel stelata yang teraktivasi juga
memiliki sifat kontraktil. Kapilarisasi dan konstriksi sinusoid oleh se-sel
stelata menyebabkan hipertensi portal (Wolf, 2015).
Sirosis merupakan fase akhir dari penyakit hati kronis yang paling
sering menimbulkan hipertensi portal Tekanan vena porta merupakan hasil
dari tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran darah pada portal bed. Pada
sirosis, tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran porta keduanya sama-sama
meningkat (Dite et al.,2007).

Hyperdinamic
Portal hypertension
circulation •adrenergic system
•Deranged (vascular) (increased cardiac
•vasoconstrictor/ index) •increased portal
architecture
dilator imbalance blood flow
•renin - angiotensin
system (renal Na⁻ •increased resistance
and water to portal flow
CIRRHOSIS retention)

Counterregulatory
mechanism

Gambar 3.1 Mekanisme Hipertensi Portal (Dite et al.,2007).


21

Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun penyebabnya, akan
mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan vena porta yang tinggi
merupakan penyebab dari terbentuknya kolateral portosistemik, meskipun
faktor lain seperti angiogenesis yang aktif dapat juga menjadi penyebab.
Walaupun demikian, adanya kolateral ini tidak dapat menurunkan hipertensi
portal karena adanya tahanan yang tinggi dan peningkatan aliran vena porta.
Kolateral portosistemik ini dibentuk oleh pembukaan dan dilatasi saluran
vaskuler yang menghubungkan sistem vena porta dan vena kava superior dan
inferior. Aliran kolateral melalui pleksus vena-vena esofagus menyebabkan
pembentukan varises esofagus yang menghubungkan aliran darah antara vena
porta dan vena kava (Dite et al., 2007; Netiana & Juniati, 2012).
Pleksus vena esofagus menerima darah dari vena gastrika sinistra,
cabang-cabang vena esofagus, vena gastrika short/brevis (melalui vena
splenika), dan akan mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos.
Sedangkan vena gastrika sinistra menerima aliran darah dari vena porta yang
terhambat masuk ke hepar (Blok et al., 2004). Sistem vena porta tidak
mempunyai katup, sehingga tahanan pada setiap level antara sisi kanan
jantung dan pembuluh darah splenika akan menimbulkan aliran darah yang
retrograde dan transmisi tekanan yang meningkat. Anastomosis yang
menghubungkan vena porta dengan sirkulasi sistemik dapat membesar agar
aliran darah dapat menghindari (bypass) tempat yang obstruksi sehingga
dapat secara langsung masuk dalam sirkulasi sistemik (Azer et al., 2010).
Hipertensi portal paling baik diukur secara tidak langsung dengan
menggunakan wedge hepatic venous pressure (WHVP). Perbedaan tekanan
antara sirkulasi porta dan sistemik (hepatic venous pressure gradient, HVPG)
sebesar 10–12 mmHg diperlukan untuk terbentuknya varises. Pengukuran
tunggal berguna untuk menentukan prognosis dari sirosis yang kompensata
maupun yang tidak kompensata, sedangkan pengukuran ulang berguna untuk
memonitoring respon terapi obat-obatan dan progresifitas penyakit hati (Dite
et al., 2007).
22

Gambar 3.2 Anastomosis portocaval pada hipertensi porta (Blok et al.,


2004)

Bila tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi pecahnya
varises. Seiring waktu dan peningkatan sirkulasi hiperdinamika, aliran darah
melalui varises meningkat, sehingga meningkatkan tengangan di dindingnya.
Perdarahan varises dihasilkan dari ruptur yang terjadi ketika gaya mengembang
melewati tegangan maksimal dinding (WGO, 2O12). Kemungkinan pecahnya
varises dan terjadinya perdarahan akan meningkat sebanding dengan
meningkatnya ukuran atau diameter varises dan meningkatnya tekanan varises,
yang juga sebanding dengan HVPG. Sebaliknya, tidak terjadi perdarahan varises
jika HVPG di bawah 12 mmHg. Risiko perdarahan ulang menurun secara
bermakna dengan adanya penurunan dari HVPG lebih dari 20% dari baseline.
Pasien dengan penurunan HVPG sampai <12 mmHg, atau paling sedikit 20% dari
baseline, mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk terjadi perdarahan
varises berulang, dan juga mempunyai risiko yang lebih rendah untuk terjadi
asites, peritonitis bakterial dan kematian (Dite et al., 2007).
Beberapa penelitian menunjukkan peranan endotelin-1 (ET-1) dan nitric
oxide (NO) pada patogenesis hipertensi porta dan varises esofagus. Endotelin-1
adalah vasokonstriksi kuat yang disintesis oleh sel endotel sinusoid yang
diimplikasikan dalam peningkatan tahanan vaskuler hepatik pada sirosis dan
fibrosis hati. Nitric oxide adalah vasodilator, yang juga disintesis oleh sel
23

endotelial sinusoid. Pada sirosis hati, produksi NO menurun, aktivitas endothelial


nitric oxide synthase (eNOS) dan produksi nitrit oleh sel endotelial sinusiod
berkurang (Azer et al., 2010).

D. Gejala dan Tanda


Manifestasi klinis dari sirosis hepatis merupakan akibat dari dua tipe
gangguan fisiologis, yaitu gagal sel hati dan hipertensi portal (Chung, 2005;
Sherlock, 2007; Tarigan, 2009):
1. Gagal sel hati
Manifestasi gagal hepatoseluler diantaranya adalah:
a. Ikterus
Suatu keadaan dimana plasma, kulit dan selaput lendir menjadi
kuning yang disebabkan kegagalan sel hati membuang bilirubin dari
darah. Keadaan ini mudah dilihat pada sklera.
b. Spider nevi
Terlihat pada kulit khususnya sekitar leher, bahu dan dada.
Merupakan pelebaran arteriol-arteriol bawah kulit yang berbentuk titik
merah yang agak menonjol dari permukaan kulit dengan beberapa
garis radier yang merupakan kakikakinya sepanjang 2-3 mm dengan
bentuk seperti laba-laba. Bila pusatya ditekan, maka kaki-kakinya
akan ikut menghilang. Spider nevi merupakan salah satu tanda
hiperestrogenisme akibat menurunnya kemampuan sel hati mengubah
estrogen dan derivatnya
c. Eritema palmaris
Ditemukan pada ujung-ujung jari tangan serta telapak tangan
daerah tenar dan hipotenar. Merupakan tanda hiperestrogenisme
dengan dasar yang sama seperti spider nevi.
d. Ginekomasti, alopesia daerah pektoralis, aksila dan pubis serta dapat
terjadi atropi testis pada laki-laki merupakan kelainan lain akibat
hiperestrogenisme. Sedangkan pada wanita berupa mengurangnya
menstruasi hingga amenore.
24

e. Ensefalopati hepatikum hingga koma hepatikum


Gangguan neurologi berupa penurunan kesadaran diduga akibat
kelainan metabolisme amonia dan peningkatan kepekaan otak
terhadap toksin.
2. Hipertensi portal
Hipertensi portal merupakan peningkatan tekanan vena porta yang
menetap di atas normal akibat peningkatan resistensi aliran darah melalui
hati dan peningkatan aliran arteri splangnikus, dimana kedua hal tersebut
mengurangi aliran keluar melalui vena hepatika dan meningkatkan aliran
masuk secara bersama-sama sehingga menghasilkan beban berlebihan
pada sistem portal (Tarigan, 2009).
Hepatic venous pressure gradient (HVPG) adalah perbedaan tekanan
antara vena porta hepatika dan vena cava inferior. Jadi, HVPG merupakan
Wedged hepatic venous pressure (WHVP) dikurangi Free hepatic venous
pressure (FHVP). Normal HVPG adalah 3-6 mmHg. HVPG 8 mmHg
merupakan ambang batas dimana berpotensi terjadi asites. HVPG 12
mmHg merupakan ambang batas berpotensi terbentuknya varises (Azer,
2015). Hipertensi portal akan menimbulkan beberapa kelainan berikut
yaitu (Chung, 2005; Sherlock, 2007; Tarigan, 2009):
a. Varises esofaagus
Varises esofagus merupakan suatu kolateral porto-sistemik-
jalur pembuluh darah yang berhubungan dengan vena porta dan
sirkulasi vena sistemik. Terbentuk sebagai akibat dari hipertensi portal
(komplikasi progresif yang berhubungan dengan sirosis). Ruptur dan
perdarahan dari varises esofagus adalah komplikasi mayor dari
hipertensi portal dan berhubungan dengan tingginya angka kematian.
dimana dengan meningginya tekanan vena porta, tekanan dalam
pembuluh darah kolateral juga akan meninggi sehingga jelas terlihat
pembuluh darah esofagus menjadi lebar dan berkelok-kelok.
Varises esofagus biasanya dimulai dari esofagus bagian distal dan
akan meluas sampai ke esofagus bagian proksimal bila lebih lanjut.
Adanya varises gastroesofagus berhubungan erat dengan keparahan
25

penyakit hati. Korelasi antara adanya varises dan keparahan penyait


hepar adalah:
- Child-Pugh A: 40% terdapat varises
- Child-Pugh C: 85% terdapat varises
- Beberapa pasien mengalami varises dan perdarahan awal
- Pasien dengan hepatitis C dan fibrosis: 16% mengalami varises
esofagus
Paquet (1982) membagi varises esofagus ke dalam 4 klasifikasi, yaitu:
Grade 1: varises kecil dan datar
Grade 2 varises sedikit lebih besar dan tidak mendatar
Grade 3 varises lebih besar tapi tidak menyentuh di tengah lumen
Grade 4 varises besar dan saling bersentuhan di tengah lumen.

Gambar 3.3 Grade Varises Esofagus (Paquet, 1982).


26

b. Gastropati hipertensi portal


Evaluasi endoskopi selanjutnya adalah gaster dan duodenum.
Varises gaster atau duodenum dideskripsikan edema, ptekie pada
submukosa, dan gambaran kulit ular di gaster menjelaskan adanya
gastropati hipertensi portal.
Untuk diagnosis perdarahan akut akibat gastropati hipertensi
portal (GHP), dibutuhkan pembuktian secara endoskopik adanya lesi
yang berdarah aktif. Bila ditemukan varises esophagus atau lambung,
endoskopi dapat diulang dalam waktu 12-24 jam. Untuk klasifikasi
GHP, Konsensus Baveno II sepakat untuk menggunakan system
skoring. Kriteria untuk menetapkan perdarahan kronik akibat GHP,
adalah adanya fecal blood loss, penurunan Hb ≥ 2 gr% dalam 3 bulan,
dan saturasi transferin yang rendah, dengan diseratai adanya GHP
pada pemeriksaan endoskopi, tanpa adanya kolopati, duodenopati,
supresi sumsum tulang, penyakit ginjal kronik, maupun pemakaian
obat-obat anti-inflamasi (OAINS).
c. Caput medussa
Kotateral dan kaput medussae, merupakan dilatasi vena-vena
superfisial dinding abdomen dan dilatasi vena sekitar umbilikus.
d. Splenomegali
Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan berdasarkan
kongesti pasif kronik akibat bendungan dan tekanan darah yang
meningkat pada vena lienalis.
e. Asites
Asites merupakan penimbunan cairan intraperitoneal. Terdapat
beberapa faktor pembentuk cairan asites, antara lain hepatic venous
outflow block yang mengakibatkan tekanan sinusoid intrahepatik
meningkat, dilanjutkan dengan keluarnya cairan sinusoid menjadi
cairan limfe hati, yang akan dibawa ke duktus torasikus menuju sistem
vena. Aliran memasukkan cairan limfe ke duktus torasikus sangat
terbatas, sehingga terjadi kelebihan cairan limfe hati menembus
kapsul hati menuju rongga peritoneum sebagai asites. Faktor lain
27

akibat peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi


portal) dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat
hipoalbuminemia.
f. Edema perifer
Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites, dan
dapat dijelaskan sebagai berikut hipoalbuminemia dan retensi garam
serta air

E. Penegakkan Diagnosis
Penyakit hati kronis dapat ditemukan tidak hanya dari penyakit hati
sebelumnya, tapi juga dari riwayat transfusi darah atau plasma, penggunaan
obat-obatan dan kondisi neonatus seperti kolestasis, infeksi, operasi, dan
nutrisi parenteral yang berkepanjangan. Kolestasis neonatus ditemukan pada
pasien dengan defisiensi alfa antitipsin-1. Parenteral nutrisi jangka waktu
lama dapat menyebabkan beberapa kerusakan hepar yang dapat berprogres
menjadi sirosis, khususnya pada pasien dengan kegagalan intestinum.
Penyakit sistemik ibu seperti hepatitis B atau C selalu dicari tahu. Sebagai
tambahan, pada orang dewasa, keberadaan tato atau tindik harus dicari tau
untuk ditelaah karena berhubungan dengan infeksi virus hepatitis C (Pinto et
al, 2015).
Hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan
melena (tinja seperti aspal/tar) merupakan tanda dan gejala tersering dari
perdarahan saluran cerna bagian atas. Sekitar 30% pasien dengan perdarahan
ulkus datang dengan hematemesis, 20% dengan melena dan 50% dengan
keduanya. Hematoskezia (darah segar di tinja) biasanya menunjukkan sumber
perdarahan saluran cerna bawah. Darah dari saluran cerna atas berubah hitam
dan serupa aspal pada saat melewati saluran cerna karena konversi Hb
menjadi hematin oleh bakteri setelah 14 jam, sehingga menghasilkan melena
(WGO, 2012).
Gejala klinis sirosis tergantung dari penyebab primer penyakit hati
dan apakah sirosis kompensasi atau dekompensasi. Hampir 40% kasus,
pasien tidak memiliki keluhan sebelum terjadi kegagalan sel hati. Pada sirosis
28

dekompensasi, terdapat kaskade komplikasi yang progresif seperti perdarahan


gastrointestinal, asites, dan ensefalopati hepatikum. Gejala sirosis pada anak
dan remaja mirip pada dewasa. Berat badan yang rendah merupakan gejala
awal yang umum pada pasien anak yang menderita sirosis, diikuti oleh gejala
tidak spesifik seperti anoreksi, kelelahan, lemah otot, mual, dan muntah.
Biasanya juga mengeluhkan nyeri perut sebagai akibat dari ulkus, gastritis,
atau batu empedu (Pinto et al, 2015).
Hati dapat berukuran normal atau mengecil, konsistensi keras atau
bernodul-nodul. Asites dapat menyebabkan perut distensi. Pembuluh darah
kolateral terlihat pada perut sebagai akibat dari hipertensi portal. Hipertensi
portal harus difikirkan bila pada anak terjadi perdarahan saluran cerna,
terutama jika didukung data splenomegali. Pemeriksaan fisik harus diarahkan
untuk melihat tanda-tanda penyakit kronis yaitu gagal tumbuh, kelemahan
otot, telengiektasis dan caput meduse, ikterik, asites atau ensepalopati.
Laboratorium termasuk darah lengkap, trombosit, faal hepar, PT-APTT,
albumin dan amonia. Pada pemeriksaan laboratorium darah tepi sering
didapatkan anemia normositik normokrom, leukepenia dan trombositopenia.
Waktu protrombin sering memanjang. Tes fungsi hati dapat normal terutama
pada penderita yang masih tergolong kompensata-inaktif. Pada stadium
dekompensata ditemui kelainan fungsi hati. Kadar alkali fosfatase sering
meningkat terutama pada sirosis billier.
Pada kasus dewasa radiologi secara akurat bisa menunjang diagnosis
hipertensi portal, namun pada anak sedikit penelitian tentang pemeriksaan
radiologi. Ultrasonografi bisa menentukan bila terdapat hipertensi porta. CT
scan memberi informasi yang sama dengan USG (Deghani et al., 2013).
Esophagogastroduodenoscopy merupakan gold standard untuk mendiagnosis
varises esofagus. Jika pemeriksaan tersebut tidak tersedia, langkah diagnosis
selanjutnya bisa digunakan ultrasonografi Doppler sirkulasi darah. Alternatif
lainnya adalah radiografi/menelan barium esofagus dan lambung, angiografi
vena portal, dan manometri (WGO, 2012).
Pemeriksaan marker Hepatitis B mapun Hepatitis C diperlukan untuk
mencari tau etiologi sirosis hepatis pada pasien.
29

Tabel 3.3 Interpretasi Marker Serologis Hepatitis B (William et al., 2015).

HBsAg Anti- IgM IgG HBeAg Anti- HBV Interpretasi


HBs anti- anti- HBe DNA
HBc HBc (IU/ml)
+ - + - + - + Infeksi akut atau lebih
jarangnya eksaserbasi
akut pada hepatitis B
kronik
- + - + - ± - Infeksi sebelumnya
dengan imunitas
- + - + - - - Vaksinasi dengan
imunitas
+ - - + - + <104 Hepatitis B inactive
carrier state
+ - - + + - >104 Hepatitis B kronik
4
+ - - + - + >10 HbeAg-negatif Hepatitis
B kronik

Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Marker untuk Infeksi Virus Hepatitis C (CDC,
2013).

Hasil tes Interpretasi Langkah selanjutnya


Antibodi HCV Tidak ada antibodi Sample menunjukkan antibodi HCV yang
non reaktif HCV yang terdeteksi nonreaktif. Tidak ada langkah selanjutnya
yang diambil.
Jika sangat dicurigai baru saja terpapar
virus hepatitis C, tes HCV RNA
Antibodi HCV Diduga infeksi HCV Hasil anti HCV ulangan yang reaktif dan
reaktif konsisten merupakan infeksi HCV saa ini
atau infeksi masa lampau yang telah
sembuh. Selanjutnya tes RNA HCV
untuk mengidentifikasi infeksi saat ini.
Anti HCV reaktif, Infeksi HCV saat ini Konseling dan terapi
HCV RNA
dideteksi
Anti HCV Tidak ada infeksi Tidak diperlukan langkah selanjutnya
reaktif, RNA HCV saat ini
HCV tidak
terdeteksi
30

F. Tatalaksana
Terapi sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati
dan hipertensi portal. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang cukup baik
memerlukan istirahat yang cukup, makanan yang adekuat dan seimbang.
Protein diberikan dengan jumlah 1 -1,5 g/kgBB. Lemak antara 30% - 40 %
jumlah kalori dan sisanya adalah hidrat arang. Bila timbul tanda-tanda
ensefalopati jumlah protein diturunkan. Untuk asites diberikan diit rendah
garam 0,5 g/hari dan total cairan 1,5 liter/hari. Spironolakton (diuretik bekerja
pada tubulus distal) dimulai dengan dosis 4 x 25 mg/hari dinaikkan sampai
total dosis 800 mg/hari. Bila perlu dikombinasi dengan furosemide dengan
dosis 20 mg/hari dengan dosis maksimum 120 mg/hari.
Restriksi cairan sangat direkomendasikan terutama pada kasus
hiponatremi dengan kadar serum natrium dibawah 125 mEq/L. Ketika
diuretik dibutuhkan, spironolakton (1-6 mg/kg/hari) harus dipertimbangkan,
jika perlu dikombinasikan dengan diuretik kuat seperti furosemid (1-6
mg/kg/hari). Kombinasi furosemid menurunkan risiko hiperkalemia karena
peningkatan ekskresi kalium. Diuretik thiazide juga bisa digunakan untuk
terapi maintenance. Selama terapi diuretik dan pasien stabil, cek laboratorium
harus dilakukan untuk memantau serum ektrolit, creatinin, BUN, dan
natrium. Kehilangan banyak cairan dapat menyebabkan kehilangan plasma
dan memburuknya fungsi ginjal.
Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan
melena atau melena saja). Pasien dirawat di rumah sakit sebagai kasus
perdarahan saluran cerna atas. Pertama kali yang dilakukan adalah
pemasangan NGT tube untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari
saluran cerna, disamping melakukan aspirasi cairan lambung yang berisi
darah dan untuk mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau belum.
Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik di bawah 100 mmHg, nadi di atas
100x/ menit atau Hb di bawah 9 g% dilakukan pemberian IVFD dekstrosa
atau salin dan tranfusi darah secukupnya.
Penggunaan air es tidak direkomendasikan sebagai bilas lambung.
Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan
31

suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat
dibutuhkan. Batasan transfusi bergantung kepada kondisi medis umum dan
tanda vital pasien, namun biasanya ditetapkan pada hemoglobin ≤ 7.0 g/dL
kecuali bila perdarahan masih terus berlangsung atau masif serta adanya
penyakit jantung koroner, gangguan hemodinamik (hipotensi dan takikardi)
dan usia lanjut. Kadar hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi
adalah 8 mg/dL dan jika akan dilaksanakan endoskopi terapeutik maka kadar
hemoglobin minimal adalah 10 mg/dL dengan catatan pasien juga dalam
keadaan hemodinamik stabil (Simadibrata et. al., 2012). Untuk mencegah
rebleeding dapat diberikan obat beta bloker secara oral dalam dosis yang
dapat menurunkan denyut nadi sampai 25%.
Perdarahan varises akut sering berhubungan dengan infeksi bakteri
karena translokasi bakteri usus dan gangguan motilitas. Terapi antibiotik
profilaksis menunjukkan berkurangnya infeksi bakteri, rebleeding varises,
dan peningkatan harapanan hidup. Kegunaan antibiotik pada sirosis dengan
perdarahan juga meningkat karena berhasil mencegah peritonitis bakterial
spontan dan bakteremia spontan (WGO, 2013; Lee, 2014).
Semua guideline dan konsensus sepakat bahwa antibiotik profilaksis
adalah bagian dari terapi medis pada sirosis dengan perdarahan
gastrointestinal akut. Quinolone oral, diberikan untuk jangka waktu pendek (7
hari) pada penyakit hati ringan dan digunakan pada tempat yang tidak
mengalami masalah resistensi quinolon. Ceftriaxone intravena (atau
sefalosporin generasi ketiga lainnya) berguna pada penyakit hati yang lebih
parah dan pada daerah yang mengalami masalah resistensi quinolone (Lee,
2014).
Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti
pemberian KCl pada hipokalemia, mengurangi pemasukan protein makanan,
aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises,
pemberian neomisin per oral untuk strerilisasi usus dan pemberian antibiotik
pada keadaan infeksi sistemik.
32

G. Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, diantaranya etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan
penyakit yang menyertai. Beberapa tahun terakhir, metode prognostik yang
paling umum dipakai pada pasien dengan sirosis adalah sistem klasifikasi
Child-Turcotte-Pugh. Child dan Turcotte pertama kali memperkenalkan
sistem skoring ini pada tahun 1964 sebagai cara memprediksi angka kematian
selama operasi portocaval shunt. Pugh kemudian merevisi sistem ini pada
1973 dengan memasukkan albumin sebagai pengganti variabel lain yang
kurang spesifik dalam menilai status nutrisi. Beberapa revisi juga dilakukan
dengan menggunakan INR selain waktu protrombin dalam menilai
kemampuan pembekuan darah (Nurdjanah, 2009).
Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh dapat dilihat pada tabel 3.5.
Sistem klasifikasi Child Turcotte-Pugh dapat memprediksi angka
kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut. Dimana angka
kelangsungan hidup selama setahun untuk pasien dengan kriteria Child-Pugh
A adalah 100%, Child-Pugh B adalah 80%, dan Child-Pugh C adalah 45% .
Berikut merupakan tabel klasifikasi sirosis hepatis menurut Child-Turcotte-
Pugh (CTP) (Cholongitas, 2012):
Tabel 3.5. Klasifikasi sirosis hepatis Child-Turcottte-Pugh (CTP)
Parameter/Skor 1 2 3
Bilirubin serum (mg/dl) < 2,0 2,0 – 3,0 > 3,0
Albumin serum (gr/dl) > 3,5 3,0 – 3,5 < 3,5
Protrombin time (detik) 1,0 – 4,0 4,0 – 6,0 > 6,0
atau INR* <1,7 1,7 – 2,3 > 2,3
Asites Tidak ada Minimal-sedang Banyak
Ensefalopati hepatikum Tidak ada Stage I-II Stage III-IV

Tabel 3.6 Klasifikasi Skor dan Prognosis Child-Turcottte-Pugh (CTP)


Class A Class B Class C
Total poin 5-6 7-9 10-15
1-year survival 100% 80% 45%
33

BAB IV
PEMBAHASAN

Sirosis hepatis merupakan stadium akhir penyakit kronis hepar dan terkait
dengan komplikasi hipertensi porta yang menimbulkan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi akibat perdarahan varises. Penyakit sirosis hepatis pada
anak jarang dilaporkan. Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan sirosis hepatis
dengan hipertensi portal dan terjadi komplikasi perdarahan varises esofagus,
gastritis, ulkus ventrikuli, dan anemia. Diagnosis sirosis hepatis dengan
komplikasinya hipertensi portal ditegakkan berdasarkan adanya riwayat perut
membesar, kaki bengkak, splenomegali, dan hematemesis melena.
Berat badan yang rendah merupakan gejala awal yang umum pada pasien
anak yang menderita sirosis, diikuti oleh gejala tidak spesifik seperti anoreksi,
kelelahan, lemah otot, mual, dan muntah. Biasanya juga mengeluhkan nyeri perut
sebagai akibat dari ulkus, gastritis, atau batu empedu (Pinto et al, 2015). IMT
pasien ini adalah 17,5, termasuk berat badan kurang, sehingga sejalan dengan
teori bahwa gejala awal anak dengan sirosis adalah berat badan yang turun.
Demam yang tidak terlalu tinggi dikeluhkan sejak awal sakit. Sepertiga dari
kasus sirosis dekompensata menunjukan demam tetapi jarang yang lebih dari
38ºC dan tidak dipengaruhi oleh pemberian antibiotik. Keadaan ini mungkin
disebabkan oleh sitokin seperti tumor nekrosis factor yang dibebaskan pada
proses inflamasi. Pasien ini mengaku sempat demam ketika dirawat di RS Dadi
Keluarga. Nausea dan vomitus adalah gejala yang umum pada pasien sirosis
hepatis tetapi pada pasien ini tidak didapatkan keluhan tersebut. Pasien hanya
mengeluh perut terasa kembung. Dari pemeriksaan fisik terdapat konjungtiva
anemis, sklera ikterik, asites, splenomegali, edema ekstremitas inferior. Asites
merupakan tanda terbanyak pada penderita sirosis yaitu 85,79%, sedangkan
edema 58,28%, splenomegali 43,16%, hepatomegali 39,76%, venektasi 32,46%,
ikterik 22,55% dan jari tabuh 2.09%.
Kerusakan parenkim hepar (sirosis) di mana pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan dari laboratorium tanda-tanda gangguan faal hepar yaitu
terdapat ikterik, hipoalbuminemia, namun tidak terdapat peninggian SGOT dan
SGPT. Tanda-tanda karakteristik adanya obstruksi saluran biliaris (riwayat feses
34

dempul maupun tanda-tanda penumpukan garam empedu yaitu pruritus) tidak


ditemukan. Hal ini juga didukung oleh pemeriksaan USG yang menunjukan tidak
ada tanda-tanda gangguan pada saluran bilier. USG merupakan prosedur
pemeriksaan yang dapat secara akurat memperlihatkan karakteristik morfologi
sirosis hepatis pada anak. Namun diagnosis pasti harus didapatkan dari biopsi.
Pasien ini juga didiagnosis anemia. Anemia sering ditemukan pada sirosis
hati sekitar 60%-70%. Banyak faktor yang dapat menyebabkan anemia pada
sirosis hepatis di antaranya defisiensi (asam folat, besi), hipersplenisme, hemolisis
dan faktor penyakit hati sendiri. Pada sirosis hepatis dengan komplikasi hipertensi
portal akan terjadi penambahan volume plasma yang menyebabkan hemodilusi.
Jika dilihat berdasarkan indeks eritrosit, yaitu MCV, MCH, dan MCHC. Pada
kasus ini, jenis anemia berdasarkan morfologinya adalah anemia normokromik
normositik, pada pemeriksaan darah lengkap serial sebagai berikut:
Tabel 4.1 Indeks Eritrosit pada Pemeriksan Darah Lengkap
HP-1 HP-2 HP-4 HP-7
MCV 85.3 87.2 85.2 84
MCH 27.2 27 27.6 27.5
MCHC 31.9 (L) 31 (L) 32.4 32.7

Penyebab anemia pada kasus ini kemungkinan besar adalah pasca


perdarahan akut (hematemesis dan melena) e.c varisases esofagus dan ulkus
ventrikuli. Selain itu anemia normokromik normositik pada kasus ini juga bisa
disebabkan penyakit kronik akibat fungsi hepar yang terganggu karena sirosis.
Hal yang membedakan antara anemia pasca perdarahan akut atau karena penyakit
kronik adalah pemeriksaan retikulosit. Retikulosit pada anemia pasca perdarahan
akut meningkat, sedangkan pada penyakit kronis bisa normal maupun menurun
(Sudoyo et al., 2009). Selain anemia, ditemukan juga penurunan kadar trombosit
atau trombositopenia pada pasien.
Diagnosis pasti sirosis adalah biopsi hepar. Pada pasien ini tidak
dilakukan, karena tanda-tanda klinis dari kegagalan fungsi hati dan hipertensi
porta sudah terlihat jelas. Selain itu, pemeriksaan biopsi yang invasif juga dapat
menimbulkan resiko perdarahan dan infeksi peritoneal pada pasien (Suryadarma,
2011).
35

Tatalaksana pada pasien ini antara lain penderita dirawat inap, diinfus
dengan D5: aminofusin 1:1 20 tpm, Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg, Inj.
Omeprazole 2 x 1 ampul, Inj. Cefotaxim 1 amp/12 jam, Sucralfate syr 3 x 1 C,
Bisacodil 0-0-1 (rutin), Inj. Furosemid 1 gr/12 jam.
Pada hari keperawatan ke-7 kondisi pasien sudah membaik, tidak BAB
hitam, NGT jernih, tidak muntah darah, Hb 11, perut mulai mengecil, kaki tidak
bengkak. Hasil endoskopi menyatakan adanya varises esofagus, gastritis, dan
ulkus ventrikuli. Varises esofagus stadium III-IV diligasi di arah jam 9-5 di 1/3
distal esofagus. Pasien dipulangkan pada hari tersebut dan mendapat terapi pulang
sebagai berikut: Cefixim 2 x 100 mg, Omeprazole 1 x 1, Sucralfate syr 3 x 1 C,
Propanolol 2 x 10 mg, Vitamin K 3 x 1, Spironolakton 1 x 100 mg, Laktulosa syr
2 x II C, Terapi Sp.KK lanjut. Danjurkan untuk kontrol ke poliklinik penyakit
dalam dua minggu kemudian.

Gambar 4.1 Ligasi Varises Esofagus

Pemberian diit lunak tinggi protein ditujukan untuk menjaga keadaan


umum pasien tetap baik, dimana kita ketahui bahwa terjadi gangguan
pembentukan protein pada penderita sirosis hati. Jika tidak ada koma hepatikum
diberikan asupan protein 1 g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari. Diit
rendah garam sangat penting karena kadar Na pada tubuh penderita sirosis hati
cukup tinggi. Seperti yang diketahui bahwa pada penderita sirosis hati terjadi
aktivasi sistem aldosteron yang menyebabkan retensi garam dan terjadi aktivasi
angiotensin yang menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan
meningkatkan reabsorbsi garam pada tubulus proksimal, yang pada akhirnya
mengakibatkan retensi garam.
36

Perdarahan akibat pecahnya varises esofagus merupakan komplikasi


terpenting hipertensi portal. Perdarahan akut varises pada hipertensi portal akibat
sirosis menyebabkan mortalitas antara 5%-50%. Komplikasi perdarahan pecahnya
varises esophagus pada pasien ini dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi.
Diagnosis perdarahan saluran cerna atas dengan endoskopi mempunyai akurasi
yang sangat tinggi (90%) pada 12-24 jam setelah episode perdarahan. Fase
perdarahan akut diterapi dengan menggunakan analog somatostatin (octreotide)
dengan terapi ini perdarahan dapat dihentikan. Dengan penggunaan analog
somatostatin yang dapat menghentikan perdarahan akut maka jarang sekali
diperlukan endoskopi emergensi. Pada pasien ini tidak diberikan analog
somatostatin, melainkan dilakukan endoskopi sebagai alat diagnostik dan
tatalaksana ligasi pada varises esofagus. Menurut Suryadarma (2011), ligasi
esofagus merupakan penanganan non farmakologi yang memberikan hasil
memuaskan dan lebih rendah komplikasinya.
Untuk mengatasi perdarahan diberikan injeksi asam tranexamat 3 x 500
mg sebagai antifibrinolytic yang kompetitif menghambat aktivasi plasminogen
menjadi plasmin, vitamin K juga diberikan sebagai vitamin untuk pembekuan
darah. Beta bloker (propanolol) diberikan pada pasien ini sebagai upaya preventif
perdarahan primer maupun sekunder. Diberikan transfusi sebagai terapi anemia
sampai dengan kadar Hb mencapai 10 mg/dl untuk mencegah terjadinya
kegagalan sirkulasi dan mencukupi suplai oksigen ke jaringan (Dalton, 2007).
Semua guideline dan konsensus sepakat bahwa antibiotik profilaksis
adalah bagian dari terapi medis pada sirosis dengan perdarahan gastrointestinal
akut. Ceftriaxone intravena (atau sefalosporin generasi ketiga lainnya) berguna
pada penyakit hati yang lebih parah dan pada daerah yang mengalami masalah
resistensi quinolone (Lee, 2014). Pada pasien ini diberikan antibiotik injeksi
cefotaxim ketika rawat inap dan cefixime peroral ketika pulang. Hal ini karena
resistensi quinolone di Indonesia cukup tinggi, sehingga lebih dipilih antibiotik
sefalosporin generasi ketiga.
Sucralfate diberikan sebagai pelindung pada ulkus mukosa lambung,
diminum saat lambung kosong (1 jam sebelum makan dan tidur), sedangkan
omeprazole merupakan obat golongan proton pump inhibitor (PPI) yang
37

menghambat sekresi HCL dengan cara menghambat pompa H+/K+ATPase di sel


parietal gaster. Pemberian Sucralfate dan omeprazole dimaksudkan untuk
mengurangi keluhan kembung pada pasien dan melindungi mukosa lambung agar
tidak terbentuk ulkus yang lebih parah. Enzim pompa proton bekerja memecah
KH+ ATP yang kemudian akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan
antara bentuk aktif obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini menyebabkan
terjadinya penghambatan terhadap kerja enzim, kemudian terhentinya produksi
asam lambung. (Hadi, 2002; Hastings, 2005). Laktulosa diberikan untuk
mencegah terjadinya konstipasi pada pasien ini dan untuk mencegah kesempatan
lewatnya zat-zat beracun dari usus menuju ke hati yang pada akhirnya dapat
menyebabkan ensefalopati hepatikum
Penyebab sirosis hepatis pada pasien ini kemungkinan virus Hepatitis B,
terdapat kemungkinan bahwa pasien mendapat infeksi hepatitis B dari ibu
penderita sejak lahir. Namun, hal tersebut belum dapat dibuktikan secara jelas
karena keterbatasan pemeriksaan. Alasan kemungkinan penyebab sirosis hepatis
pasien ini didasarkan dari data epidemiologis penyebab sirosis hepatis terbanyak
di Indonesia dan perjalanan penyakit hepatitis B. Selain itu, pasien tidak
mempunyai faktor risiko lain, seperti penggunaan alkohol jangka panjang, riwayat
gangguan saluran empedu sejak kecil, riwayat dari keluarga maupun sejak kecil,
dan riwayat transfusi darah.

Gambar 4.2 Perjalanan Infeksi Hepatitis B


38

Usia terjadinya penyakit mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila


penularan terjadi saat bayi, maka 95% akan menjadi hepatitis B kronis.
Sedangkan bila penularan terjadi saat balita 20-30% menjadi penderita hepatitis B
kronis, jika terinfeksi saat dewasa maka hanya 5% menjadi hepatitis B kronis.
Risiko progres hepatitis B kronik menjadi sirosis (rata-rata 2%-5% per tahun) dan
karsinoma hepatoselular (sekitar >2% per tahun pada pasien sirosis). Hal ini
berhubungan dengan level HBV DNA baseline (William et al., 2015).
Virus Hepatitis B dan Virus Hepatitis C adalah penyebab mayor chronic
liver disease (CLD) di dunia. Tiga jenis chronic liver disease (CLD) adalah
hepatitis kronis, sirosis hepatis, dan karsinoma hepatoseluler (Jaint et al., 2009).
Berdasarkan persetujuan, antigen permukaan virus Hepatitis B (HbsAg)
digunakan sebagai suatu marker untuk mendiagnosis infeksi virus Hepatitis B,
namun hal ini dapat melewatkan beberapa kasus penting yang mendasar.
Pemeriksaan tambahan seperti IgG anti-HBc dan HBV DNA diketahui dapat
membantu mengidentifikasi etiologi dalam beberapa kasus (Uetake et al., 2003).
Pemeriksaan IgG Anti HBc perlu dilakukan karena walaupun pada pasien
ini ditemukan HbsAg dan Anti HCV non reaktif, tidak menyingkirkan
kernungkinan pasien ini terinfeksi virus tersebut. Pada tingkat lanjut, HbsAg sukar
ditemukan dalam darah, namun IgG Anti HBc bisa positif (Suryadarma, 2011).
Hal ini sejalan dengan Sim et al. (2005), diagnosis dari infeksi Hepatitis B
tergantung dari HbsAg yang positif, tapi pada 10-20% pasien hanya terdeteksi
IgG anti-HBc yang mengindikasikan infeksi virus hepatitis B yang self limiting di
masa lampau. Jika ditemukan kasus dengan gejala klinis chronic liver disease,
namun HbsAg dan anti HCV negatif maka IgG anti-HBc sering menjadi satu-
satunya marker untuk penanda infeksi HBV di masa lampau. Keberadaan marker
IgG anti-HBc harus diuji pada semua pasien CLD karena sebagai pasien dengan
IgG anti-HBc terisolasi positif dapat mengembangkan penyakit hati dan harus
dipantau secara ketat tes fungsi hatinya (Jaint et al. 2009).
39

Tabel 4.2 Analisa Marker Serologis Hepatitis B (William et al., 2015).


HBsAg Anti- IgM IgG HBeAg Anti- HBV Interpretasi
HBs anti- anti- HBe DNA
HBc HBc (IU/ml)
+ - + - + - + Infeksi akut atau
eksaserbasi akut pada
hepatitis B kronik
(jarang)
- + - + - ± - Infeksi sebelumnya
(masa lalu) dengan
imunitas
- + - + - - - Vaksinasi dengan
imunitas
+ - - + - + <104 Hepatitis B inactive
carrier state
4
+ - - + + - >10 Hepatitis B kronik
+ - - + - + >104 HbeAg-negatif Hepatitis
B kronik

Tabel 4.3 Analisa marker hepatitis C


Hasil tes Interpretasi Langkah selanjutnya
Antibodi HCV Tidak ada antibodi Sample menunjukkan antibodi HCV yang
non reaktif HCV yang terdeteksi nonreaktif. Tidak ada langkah
selanjutnya yang diambil.
Jika sangat dicurigai baru saja terpapar
virus hepatitis C, tes HCV RNA
Antibodi HCV Diduga infeksi HCV Hasil anti HCV ulangan yang reaktif dan
reaktif konsisten merupakan infeksi HCV saa ini
atau infeksi masa lampau yang telah
sembuh. Selanjutnya tes RNA HCV
untuk mengidentifikasi infeksi saat ini.
Anti HCV reaktif, Infeksi HCV saat ini Konseling dan terapi
HCV RNA
dideteksi
Anti HCV Tidak ada infeksi Tidak diperlukan langkah selanjutnya
reaktif, RNA HCV saat ini
HCV tidak
terdeteksi
40

Karena sirosis adalah tahap akhir dari beberapa tipe penyakit hati yang
progresif, klasifikasi etiologi merupakan hal yang penting untuk rencana terapi.
Meskipun ada banyak kemungkinan penyebabnya seperti pada Tabel 3.1 dan
Tabel 3.2.
Pada bayi, sirosis sering disebabkan oleh atresia biliar dan gangguan
genetik metabolik, sementara pada anak yang lebih dewasa, cenderung disebabkan
oleh hepatitis autoimun, penyakit Wilson, defisiensi alfa-1-antitripsin dan
kolangitis sklerosis primer (Pinto et al, 2015). Defisiensi alfa 1 antitripsin adalah
penyebab genetik paling umum pada penyakit hepar neonatus dan anak-anak (de
Serres et al., 2003).
Defisiensi alfa 1 antiripsin adalah gangguan metabolik genetik, gangguan
terletak pada mutasi urutan coding dari inhibitor protease, alfa 1 antripsin,
mencegah keluar dari hepatosit. Sehingga, terdapat defisiensi pada konsentrasi
alfa 1 antitripsin di sirkulasi. Akumulasi abnormal dari glikoprotein di hepatosit
menyebabkan kematian sel terprogram, inflamasi hepatosit, fibrosis, dan sirosis.
Pemeriksaan histopatologi dari spesimen hepar dengan defisiensi alfa 1 antitripsin
menunjukkan butiran intraseluler klasik dengan pewarnaan PAS (Fairbanks &
Tavill, 2008).

Gambar 4.3 Pemeriksaan Histopatologi Hepar pada Defisiensi Alfa 1 Antitripsin


41

Konsentrasi serum alfa 1 antitripsin biasanya diukur oleh neflometri,


menggantikan immunoassays yang telah lama digunakan. American Thoracic
Society and the European Respiratory Society menentukan bawah analisis fenotip
oleh isoelektrik yang terfokus, ditetapkan sebagai gold standard mendiagnosis
defisiensi alfa 1 antripsin (Fairbanks & Tavill, 2008).
Namun, penyebab sirosis hepatis tidak mungkin selalu bisa ditentukan,
sehingga terdapat kondisi yang disebut sebagai kriptogenik, yang ditemukan pada
5%-15% kasus. Sirosis kriptogenik pada pasien anak dapat karena progresi
penyakit fatty liver atau dari efek sindrom metabolik kompleks, seperti
mitokondriopati. Penyebabnya bervariasi tergantung dari faktor yang berbeda,
seperti umur pasien dan prevalensi spesifik pada daerah yang berbeda. Pada
praktik klinis, mayoritas kasus terjadi karena atresia bilier, ganguan genetik
metabolik, virus, dan autoimun hepatitis (Pinto et al, 2015).
Pada kasus ini penyebab sirosis pada pasien Sdr. WAS usia 15 tahun
belum diketahui secara pasti. Kemungkinan penyebabnya selain infeksi virus
hepatitis B di masa lampau/sejak lahir, bisa juga karena kelainan genetik.
Kelainan genetik yang paling banyak ditemui pada praktik di beberapa negara
adalah defisiensi alfa 1 antitripsin. Sementara, penelitian tentang penyebab sirosis
hepatis pada anak dan remaja di Indonesia masih belum banyak dilakukan,
begitupun juga dengan kasus yang belum banyak dilaporkan.

Prognosis pasien sirosis hepatis dinilai berdasarkan skor Child-Turcottte-


Pugh (CTP). Berikut ini merupakan penilaian skor pada pasien tersebut:

Tabel 4.4 Klasifikasi sirosis hepatis Child-Turcottte-Pugh (CTP) Pasien


Parameter/Skor 1 2 3
Bilirubin serum (mg/dl) < 2,0 2,0 – 3,0 > 3,0
Albumin serum (gr/dl) > 3,5 3,0 – 3,5 < 3,5
Protrombin time (detik) 1,0 – 4,0 4,0 – 6,0 > 6,0
atau INR* <1,7 1,7 – 2,3 > 2,3
Asites Tidak ada Minimal- Banyak
sedang
Ensefalopati hepatikum Tidak ada Stage I-II Stage III-IV
42

Tabel 4.5 Klasifikasi Skor dan Prognosis Child-Turcottte-Pugh (CTP) Pasien


Class A Class B Class C
Total poin 5-6 7-9 10-15
1-year survival 100% 80% 45%

Serum bilirubin pasien ini tidak diketahui secara pasti. Secara klinis pasien
menunjukkan ikterik, hal ini terlihat pada sklera pasien. Namun, ikterik tidak
terlalu jelas pada kulit maupun ujung jari-jari pasien. Sehingga poin untuk serum
bilirubin pada skor Child-Pugh dianggap 1.
Albumin pasien ini adalah 2,53 mg/dl sehingga berdasarkan kriteria Child-
Pugh termasuk kategori dengan 3 poin, sama seperti kriteria protrombin time dan
asites yang mendapat 3 poin. Protrombin time pasien 10,7 detik dan asites sedang.
Sedangkan ensefalopati hepatikum tidak ada, sehingga skornya 1. Total skor
adalah 9 poin tanpa serum bilirubin. Jika serum biliribun dianggap poin 1, maka
total poin 10 sehingga disimpulkan untuk sementara pasien ini termasuk Sirosis
hepatis Child-Pugh Class C. Prognosis pada pasien ini dengan menggunakan
criteria Child, kemungkinan Child C dengan 1-year survival 45%.
43

BAB V
KESIMPULAN

1. Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya penibentukan jaringan ikat disertai nodul
2. Penyebab terbanyak sirosis hati di Indonesia adalah akibat komplikasi infeksi
virus hepatitis B dan C.
3. Manifestasi klinis dari sirosis hepatis yaitu kegagalan hepatoselular dan
hipertensi portal.
4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
5. Tatalaksana sirosis hepatis berdasarkan derajat dan komplikasinya.
Penatalaksaan hipertensi portal dibagi menjadi pengobatan emergensi
perdarahan dan profilaksis terjadinya perdarahan awal dan profilaksis
perdarahan lanjutan.
6. Prognosis sirosis hepatis dinilai berdasarkan skor Child-Pugh yang terdiri dari
serum bilirubin, serum albumin, protombine time, asites, dan esefalopati
hepatikum
44

DAFTAR PUSTAKA

Azer SA, Katz J. 2015. Esophageal varices. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/175248-overview (diakses tanggal
20 Agustus 2016).
Block, B., Schachschal, G., Schmidt, H. Esophageal varices. In: Block, B.,
Schachschal, G., Schmidt, H, eds. 2004. Endoscopy of the upper GI
Tract. Germany: Grammlich, p. 85-150.
CDC.2013. Testing for HCV infection: An update of guidance for clinicians and
laboratorians. MMWR; 62(18).
Cholongitas, E., Papatheodoridis, BV., Vangeli, M., Terreni, N. 2012. Systematic
review: The model for end-stage liver disease should it replace Child-
Pugh’s Classiification for assessing prognosis in chirrosis?. Alimentary
pharmacology&Therapeutics. Vol. 22: 1079-1089.

Chung R,Daniel K. Podolsky. 2005. Cirrhosis And Its Complications. In


Harrison's Principles of Internal Medicine. 16thed. New York:
McGrawHill.
Con HO dan Atterburry. 1993. Cirrhosis. Dalam: Schif L and Schif ER,
penyunting. Diseases of the liver, edisi ke-7. Philadelphia: J.B. Lippincot
Company.
Dalton, D. 2007. Comparative Audit of Gastrointestinal Bleeding and the Use of
Blood. UK: National Blood Services.
de Serres, F.J., Blanco, I., Fernandez-Bustillo, E. 2003. Genetic epidemiology of
alpha-1 antitrypsin deficiency in North America and Australia/New
Zealand: Australia, Canada, New Zealand and the United States of
America. Clin Genet Vol. 64: 382–397.
Dehghani, S.M., Imanieh, M.H., Haghighat, M., Malekpour, A., Falizkar, Z. 2013.
Etiology and Complications of Liver Cirrhosis in Children: Report of a
Single Center from Southern Iran. Middle East Journal of Digestive
Diseases. Vol.5 (1): 41-46.
Dite, P., Labrecque, D., Fried, M., Gangl, A., Khan, A.G., Bjorkman, D., et al.
2007. Esophageal varices. World gastroenterology organisation practise
guideline. Available at: http://www.worldgastroenterology.org/graded-
evidence-access.html (diakses tanggal 24 Agustus 2016).
Fairbanks, K.D., Tavill, A.S. 2008. Liver Disease in Alpha1-Antitrypsin
Deficiency: A Review. American Journal of Gastroenterology. Vol.
103:2136–2141.
Gultom, I.N. 2003. Hubungan beberapa parameter anemia dengan derajat
keparahan sirosis hati. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, USU
digital library.
45

Hadi, S. 2002. Perdarahan Saluran Makan: dalam Gastroenterologi. Bandung: PT


Alumni.
Hastings, G.E. 2005. Hematemesis & Melena. Dalam: Kedaruratan Medik.
Jakarta: FKUI.
Jain, M., Chakravarti, A., Kar, P. 2009. Clinical Significance of Isolated Anti-
HBc Positivity in Cases of Chronic Liver Disease in New Delhi, India.
Journal of Global Infectious Diseases. Vol. 1(1): 29–32.
Lee, Y.Y., Tee, H.P., Mahadeva, S. 2014. Role of prophylactic antibiotics in
cirrhotic patients with variceal bleeding. World Journal of
Gastroenterology. Vol. 20 (7): 1790-1796.
Netiana & Juniati. 2012. Varises Esofagus. Surabaya: SMF Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Universitas
Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Nurdjanah, S. 2009. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata, M.K., Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th
ed. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia.

Paquet, K.J. 1982. Prophylactic endoscopic sclerosing treatment of the esophageal


wall in varices—a prospective controlled randomized trial. Endoscopy;
14: 4-5.
Pinto, R.B., Schneider, A.C.R., Silveira, T.R. 2015. Cirrhosis in children and
adolescent. World Journal of Gastroenterology. Vol. 7 (3): 393-394.

Pugh, R. N., Murray-Lyon, I.M., Dawson, J.L et al. 1973. Transection of the
oesophagus for bleeding oesophageal varices. Br J Surg 60: 646–649.

Sherlock, S. 2007. Hepatic Cirrhosis.In:Diseases of The Liver and Biliary System.


11thed. London: Blackwell Scientific Publications.
Shim, J., Kim, B.H., Kim, N.H., Dong, S.H., Kim, H.J., Chang, Y.W, et al. 2005.
Clinical features of HBsAg-negative but anti-HBc-positive hepatocellular
carcinoma in a hepatitis B virus endemic area. Gastroenterology
Hepatology. Vol. 20: 746–751.
Simadibrata, M., Syam, A.F., Abdullah, M., Fauzi, A., Renaldi, K. 2012.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Atas
non Varises di Indonesia. Jakarta: Perkumpuluan Gastroenterologi
Indonesia (PGI).
Suryadarma, M.A. 2011. Manejemen Sirosis Hepatis dengan Varises Esofagus:
Sebuah Laporan Kasus.
Tarigan P. 2009. Sirosis Hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. edisi
ketiga. Gaya Baru. Jakarta;hal:271-279.
46

Uetake, S., Yamauchi, M., Itoh, S., Kawashima, O., Takeda, K., Ohata, M. 2003.
Analysis of risk factors for hepatocellular carcinoma in patients with HBs
antigen- and anti-HCV antibody-negative alcoholic cirrhosis: Clinical
significance of prior hepatitis B virus infection. Alcoholism: Clinical and
Experimental Research. Vol. 27: 47S–51S.
Wolf, D.C. 2015. Cirrhosis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#a5 (diakses
tanggal 27 Agustus 2016).

World Gastroenterology Organisation (WGO). 2013. Esophageal varices. World


Gastroenterology Organisation Global Guidelines

Anda mungkin juga menyukai