Anda di halaman 1dari 172

http://pustaka-indo.blogspot.

com
Tiga belas cerita pendek merentang dari masa pra-
ke datangan Cornelis de Houtman hingga awal
Indonesia merdeka. Masing-masing menggoda kita
untuk berimajinasi tentang sejarah Indonesia dari
sudut pandang yang khas: mantan tentara yang
dibujuk membunuh suami kekasih gelapnya; perwira
yang dipaksa menembak Von Imhoff; wartawan
yang menyaksikan Perang Puputan; inspektur Indo
yang berusaha menangkap hantu pencuri beras;
administratur perkebunan tembakau Deli yang
harus mengusir gundik menjelang ke datangan istri
Eropanya; nyai yang begitu disayang sang suami
tetapi berselingkuh.

Iksaka Banu ‘'peniup ruh' ‘ yang jitu dalam menghidupkan


masa lalu. Di tangannya, kisah berlatar sejarah tersingkap
apik, rinci, dan dramatik.
‘Kurnia Effendi

Cerita-cerita dalam kumpulan ini membawa kita kepada era

Iksaka Banu
kolonialisme yang jarang digali oleh penulis Indonesia modern.
Dengan riset yang serius dan teliti, Iksaka Banu mengisahkan
tentang cinta, keintiman, kemesraan sekaligus pengkhianatan
dan kekejian di antara tokoh-tokoh pribumi dan Belanda.
‘Leila S. Chudori

Iksaka Banu
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Undang-Undang Republik Indonesia Nom or 19 Tahun 20 0 2 tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1.Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumum-
kan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dila-
hirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1.Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2.Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
http://pustaka-indo.blogspot.com

Iksaka Banu

J akarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gram edia)
http://pustaka-indo.blogspot.com

Semua untuk Hindia


© Iksaka Banu

KPG 901 14 0805

Cetakan Pertama, Mei 2014

Perancang Sampul
Yuyun Nurrachman
Ilustrasi
Yuyun Nurrachman
Penataletak
Suwarto

BANU, Iksaka
Semua untuk Hindia
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2014
xiv + 154; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-91-0710-7

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.


Isi di luar tanggung jawab percetakan.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Daftar Isi

Ucapan Terim a Kasih vii


Hindia Tim ur untuk Kita, Hari Ini ix
Selam at Tinggal Hindia 1
Stam bul Dua Pedang 13
Keringat dan Susu 25
Racun untuk Tuan 37
Gudang Nom or 0 12B 49
Sem ua untuk Hindia 60
Tangan Ratu Adil 72
Pollux 79
Di Ujung Belati 92
Bintang J atuh 10 4
Penunjuk J alan 117
Mawar di Kanal Macan 132
Penabur Benih 142
Tentang Penulis 154
http://pustaka-indo.blogspot.com

Untuk kedua orangtuaku,


alm arhum Bapak Rudolf Ignatius Suhartin Tjitrobroto
dan alm arhum ah Ibu Theresia Oerganiati Suhartin
http://pustaka-indo.blogspot.com

Ucapan Terima Kasih

SEKITAR TAHUN 1976, setelah m em baca cerita pendek saya


yang dim uat di rubrik anak beberapa koran dan m ajalah, al-
m arhum ayah saya, Dr. R.I. Suhartin Tjitrobroto, juga seorang
pe nulis buku pendidikan, m em beri nasihat agar saya lebih se ri-
us m e nekuni kebiasaan m enulis. “Tulis. Bikin buku. Sedikitnya
sa tu buah buku selam a hidupm u. Lebih banyak lebih baik,” de-
m ikian kira-kira kata beliau waktu itu. Saya, yang sedang ja tuh
cinta kepada dunia grais hanya meringis, kemudian meneng­
gelam kan diri di antara ratusan kertas gam bar dan cat poster
se lam a belasan tahun. Nyaris m elupakan dunia tulis-m enulis.
Setelah saya dewasa, saat satu cerpen saya dim uat di se bu-
ah m ajalah pria sekitar awal tahun 20 0 0 , Ayah m engulang na-
sihatnya. Kali itu ucapan beliau berhasil m em bakar sem angat.
Se tiap ada kesem patan, selalu saya sem patkan m enulis cerpen
de ngan aneka tem a. Betul, bahwa karena kesibukan pekerjaan,
sam pai hari ini saya belum bisa m enulis novel. Tetapi, cerpen-
cer pen bertem a kolonial yang m ulai saya garap sejak tahun
20 0 4 akhirnya bisa terbit dalam satu antologi. Maka pada
ke sem pat an ini, ucapan terim a kasih paling awal akan saya
viii
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

alam at kan kepada alm arhum Ayah. Sungguh sayang, beliau


tak sem pat m elihat buku ini.
Setelah itu, penghorm atan saya berikan kepada alm arhum -
ah Ibu, Theresia Oerganiati, yang dahulu berwelas asih m enjadi
pendengar aneka keluhan serta m endukung sem ua keputusan
yang saya buat. J uga Raksaka Mahi, kakak tercinta, patron un-
tuk sem ua hal baik (yang jarang saya m iliki).
Pelukan terim a kasih berikutnya saya persem bahkan bagi
pasangan hidup, sum ber sem angat, serta inspirasi saya: Ananta
Prim atia Heska. J uga buah hati kam i tercinta, Dem etrius Dyota
Tigm akara.
Tak lupa jabat terim a kasih yang erat untuk Mas Nirwan
Dewanto, budayawan, penggiat sastra, penjaga rubrik cerpen.
Bidan bagi sebagian besar cerpen saya di Koran Tem po. Mas
Kur nia Effendi dan Mbak Leila S. Chudori, dua orang idola,
sa ha bat, sekaligus m entor saya dalam m enulis. Rekan Endah
Sulwesi, yang tak bosan m enyodorkan pilihan kata setiap kali
saya terbentur EYD atau kaidah bahasa. Alm arhum ah Mbak
Firm iani Darsjaf, redaktur Majalah Matra, yang berani m e-
ne rim a naskah cerpen saya dan dengan dem ikian m em antik
kem bali sem angat m enulis saya pada tahun 20 0 0 . Kang Yuyun
Nurachm an, yang piawai m em ainkan pena gam bar, m em bantu
m enghias halam an dalam serta sam pul buku ini sehingga tam -
pil gem ilang. Mas Candra Gautam a, Mas Ining Isaiyas, dan se-
m ua tim terkait dari Kepustakaan Populer Gram edia yang telah
ber kenan m em ilih, m enyunting, serta m enerbitkan naskah bu-
ku sederhana ini, juga pihak-pihak lain yang tak m ungkin sa ya
sebutkan satu per satu di sini. Saya ucapkan terim a kasih se-
besar-besarnya.

J atiwaringin, April 20 14
Iksaka Banu
http://pustaka-indo.blogspot.com

Hindia Timur untuk Kita,


Hari Ini

SEJ ARAH DATANG KEMBALI kepada kita dengan m anis


m e lalui tiga belas cerita pendek Iksaka Banu yang terhim pun
da lam buku ini. J ika teh m anis tetaplah harus m engandung
pa hit supaya tak kehilangan rasa tehnya, begitu juga cerita-ce-
rita yang kita baca itu. Dalam hal ini si penulis telah m enjadi
pe ram u yang cekatan. Ia m engam bil sejum lah babak dari pra-
Indo nesia kita, yang seringkali pahit dengan untaian kronik
ka lah-m enang, dan m enjadikannya sebentuk nostalgia. Dan
nos talgia, buat saya, ialah tilas m asa lam pau yang berm anis-
m a nis dengan hari ini.
Dem ikianlah si penulis m enghadirkan berbagai latar se ja -
rah Hindia Tim ur seperti pelayaran Cornelis de Houtm an ke
Ke pu lauan Nusantara pada 1596; pem berontakan Untung Su-
ra pati pada awal 1680 -an; pem bantaian orang Cina di Ba ta-
via pada 1740 ; jatuhnya Batavia dari Belanda ke Inggris pada
1811; pem berangkatan Pangeran Diponegoro ke Manado pada
1830 ; gerakan Ratu Adil di Banten pada 1888; Perang Puputan
di Bali Selatan pada 190 6; perkebunan tem bakau di Deli dan
x
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

per ke bunan teh di J awa Barat, keduanya pada awal abad XX;
m asa vakum kekuasaan pasca-penjajahan J epang pada 1945.
Sem ua latar tersaji itu adalah sapuan-sapuan besar se ja-
rah. Historiograi, karena sifatnya yang hendak merangkai ke­
m a juan yang dicapai oleh um at m anusia dan bangsa-bangsa,
m enjadi lukisan raksasa yang m erangkum orang-orang besar
dan berbagai tindakan besar. Ke celah-celah kosong yang tak
tersentuh oleh sapuan-sapuan besar itulah Iksaka Banu m a-
suk menemukan tokoh­tokoh iktifnya. Mereka boleh jadi me­
nyim pang dari arus sejarah yang m enekan m ereka jadi orang
bawahan, boleh jadi bereaksi tajam terhadap peristiwa besar
yang m endam parkan m ereka kepada situasi khusus. Tapi pa da
da sarnya sang penulis berlaku setia kepada tem uan para se ja-
rawan. Dalam beriksi, sikapnya tetap ilmiah.
Dalam setiap cerita, Iksaka Banu langsung m endam parkan
kita ke tengah situasi, seringkali situasi genting. Dalam “Pe-
na bur Benih”, m isalnya, kita begitu saja m enatap m isa arwah
bagi seorang korban penyakit skorbut yang dipim pin seorang
no vis Katolik di kapal “Duyfken”, salah satu dari em pat kapal
Cornelis de Houtm an. Dalam “Penunjuk J alan” kita segera saja
berjum pa dengan tergulingnya sebuah kereta pos ke dasar ju-
rang dalam perjalanan dari Banten ke Batavia; dan seorang
dok ter Belanda (baru tiba berlayar dari negerinya) yang lolos
dari kecelakaan itu. Pem buka “Selam at Tinggal Hindia” adalah
selam atnya seorang wartawan Belanda dari pem eriksaan ge-
rom bolan laskar Republik lantaran ia tercandra tidak bisa ber-
bahasa Melayu.
Pem bukaan yang m engandung suspens, itulah yang m em -
bu at kita terseret ke dalam kisah-kisah Iksaka Banu, sam pai
pada suatu tahap kita tersadar bahwa tokoh-tokoh anggit an-
nya m engajak kita berwacana. Mereka, sang narator dan la-
wan-lawan bicaranya itu, berlaku cerdas seperti halnya si pe-
nga rang. Dalam “Penabur Benih”, m isalnya: sam bil m encoba
xi
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

ber dam ai dengan kem atian, sang novis dan orang-orang di


se kitarnya m em bawa kita ke dalam pem ersoalan tentang
am bisi dan kelem ahan Cornelis de Houtm an, tentang benih-
benih m erkantilism e dan kolonialism e Belanda, tentang fungsi
Katolikism e bagi Belanda yang Kalvinis dan agam a bagi zam an
ilm u pengetahuan, dan seterusnya.
Ketiga belas cerita pendek dalam him punan ini boleh tam -
pak sebagai cerita petualangan, cerita detektif, kisah asm ara,
kisah horor. Nam un, seperti sudah saya katakan, si pengarang
berlaku ilm iah. Ia tidak m enyelundupkan unsur-unsur fantastik
ke dalam pengisahan (seperti dalam prosa “realism e m agis”,
m isalnya). “Hantu perem puan” dalam cerita “Gudang No 0 12B”
ter nyata seorang perem puan penderita lepra yang diperalat
oleh para pencuri beras. Iksaka Banu juga tidak m enam pilkan
parodi terhadap historiograi (seperti A.S. Laksana, misalnya).
Pem berontakan kaum Cina dan persaingan antara Gubernur
J en de ral Adriaan Valckenier dan deputinya, Gustaaf Willem
von Im hoff, yang terpapar dalam cerita “Bintang J atuh”, m isal-
nya, bisa kita dengar secara terang-benderang, tanpa dis torsi.
Tak jarang sang pengarang berindah-indah terlalu. Da lam “Se-
lam at Tinggal Hindia”, m isalnya, sang aku-narator, war ta wan
De Telegraaf, m em bayangkan Geertje, si perem puan Be lan-
da pro-Republik Indonesia (yang pernah dicandranya se ba gai
pengkhianat negerinya sendiri), “duduk di tengah ham par an
sa wah, bernyanyi bersam a orang-orang yang ia cintai: ‘Ini ta-
nah ku. Ini rum ahku. Apapun yang ada di ujung nasib, aku te-
tap tinggal di sini.’”
Narator dalam setiap kisah Iksaka Banu adalah si aku
yang berlaku rasional, sekurang­kurangnya mampu berelek­
si tentang pengalam annya sendiri; bahkan ketika ia m engha-
dapi m aut yang akan m erenggut dirinya sendiri atau orang
ter de katnya. Dem ikianlah, m isalnya, si aku adalah ad m inis-
tratur perkebunan tem bakau di Deli yang terpaksa m engusir
xii
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

gun dik nya m enjelang kedatangan istri resm inya dari Negeri
Be lan da (“Racun untuk Tuan”); inspektur polisi di Cilacap
yang, ketika m enangani pencurian beras di gudang stasiun,
berkonlik dengan atasannya (“Gudang No 012B”); wartawan
De Locom otief peliput Perang Puputan di Bali Selatan, yang
ber em pati kepada kaum Bangsawan Buleleng yang kalah oleh
sia sat Gubernur J enderal Van Heutsz (“Sem ua untuk Hin-
dia”); nyai pem baca buku dan pecinta seni panggung yang
ber cin ta dengan seorang bintang kom edi stam bul yang m an-
tan wartawan (“Stam bul Dua Pedang)”; novis Katolik di an-
ta ra para pelaut Protestan dalam pelayaran m enuju Hindia
Tim ur (“Penabur Benih”); letnan pem im pin pem berontakan
di sekunar “Noordster” yang dijebloskan ke Penjara Stadhuis
dan mampu bersoal jawab tentang konlik Belanda­Belgia
(“Pollux”).
Dengan narator-aku, si penulis tam pak m engendalikan
cerita nya, m enjadikannya sem acam lingkaran sem purna. Sang
aku m elengkapkan dirinya—dan terpancing atau m em ancing
la wan-lawan bicaranya—jadi pem beri inform asi, bahkan fakta
ke ras, dan juga suara m oral kepada kita. Setiap tindakan selalu
je las sebab-m usababnya. Iksaka Banu tidak m em biarkan am -
biguitas atau kekaburan m enyelim uti tokoh-tokohnya dan
ber ba gai peristiwa yang m ereka lakoni. Dan tokoh-tokoh yang
se lalu m em iliki latar belakang sosial-budaya yang terang ben-
de rang ini pun bersoal jawab dengan kebenaran yang berlaku
di se kitar m ereka, juga dengan kekeliruan yang tim bul akibat
ke bijak an besar kolonialism e. Kisah-kisah Iksaka Banu ber ge-
rak m a ju dan terus terdorong m enuju akhir dengan rangkaian
kilas balik.
Buat saya, si aku-narator adalah sam aran sang penulis
sen diri yang hendak m em berikan tanggapan terhadap aneka
kehidupan Hindia Belanda yang penuh paradoks. Meski m e-
nyo dorkan m asa lam pau yang jauh, ia tetap m enggunakan ba-
xiii
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

hasa Indonesia m asa kini yang rapi, tertib, tak bercacat. Ber-
bagai periode dari kehidupan Hindia Tim ur terkem as dengan
langgam bahasa yang sam a dan aneka karakter dari berbagai
zam an itu berujar dengan langgam wicara yang sam a. Dengan
dem ikian, m eski kisah-kisah itu hendak m engharukan dan
m e ne gangkan, kita tetap berdiri di luar sebagai pengam at yang
“obyektif”.
Namun toh iksi tetaplah iksi sekalipun bersandar pada
fak ta sejarah. Iksaka Banu seringkali m em bulatkan kisahnya
de ngan serba-kebetulan, juga untuk m em perkuat latar pe-
ris tiwa. Sang aku-narator diselam atkan oleh sang Pangeran
Ke ba tin an, yang belakangan diketahuinya bernam a Untung
(yaitu Untung Surapati), penyam un budim an yang m em im pin
pem berontakan m elawan Kom peni; kem udian sang aku, di
rum ah sahabatnya, m elihat wajah si Untung dalam sebuah
lukisan yang m enggam barkan Keluarga Pieter Cnoll, yang telah
m engangkat si budak Bali ini sebagai anak (“Penunjuk J alan”).
Sang aku bertem u kem bali dengan Anak Agung Istri Suandari,
si gadis kecil, yang m enewaskan diri dalam Perang Puputan;
si gadis adalah anggota keluarga Puri Kesim an, yang m enjadi
narasum ber si aku ketika m enulis tentang tradisi m esatiy a be-
berapa tahun sebelum nya. Racun dalam m inum an cendol bi-
kinan sang nyai yang hendak diteguk oleh sang adm inistratur
perkebunan tem bakau adalah racun yang pernah diceritakan
oleh atasannya sebelum ia bergundik (“Racun untuk Tuan”).
Ada kalanya serba-kebetulan itu tergarap begitu halus se-
hingga m enjadi sim etri. Dalam “Stam bul Dua Pedang”, dua
pe m ain anggar m em perebutkan si aku: suam inya, ad m inis tra-
tur perkebunan teh, pem ain anggar yang m ahir; kekasihnya,
pendekar anggar di panggung kom edi stam bul, m antan war-
ta wan yang pernah belajar beranggar kepada Kepala Redaksi-
nya. Pun kehidupan asm ara si aku sendiri becerm in-cerm inan
de ngan berbagai kisah cinta di atas panggung yang kerap di-
xiv
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

ton tonnya. Sim etri berganda dem ikianlah yang m engokohkan


“Stam bul Dua Pedang”. Contoh ini juga m enyatakan bahwa
Iksaka Banu m enem ukan bentuk terbaiknya justru apabila ia
“m enyem bunyikan” catatan sejarah.
Sebagian besar cerita yang terbit dalam buku ini telah ter-
m uat di Lem bar Sastra Koran Tem po edisi Minggu dalam be be-
rapa kesem patan di antara 20 0 7-20 12. Selaku pengelola Lem -
bar Sastra tersebut sejak pertengahan 20 0 2 sam pai kini, sa ya
m enyam but baik cerita-cerita yang sanggup m enggarap ane ka
“kem ungkinan lain” dalam penggam baran Indonesia. Ba rang-
kali tidak ada penulis iksi pada generasi saya selain Iksaka
Ba nu yang konsisten m enyingkapkan kem bali kehidupan Oost
Indië. (Di Lem bar Sastra kam i, ia juga m enulis, bersam a Kurnia
Effendi, sejum lah cerita tentang dan di sekitar pelukis Raden
Saleh). Penulis kelahiran Yogyakarta, 1964, ini m enyadarkan
kita bahwa Hindia Tim ur bukanlah m enem pel pada kehidupan
kita hari ini, tapi m erasuk ke dalam nya, m em pengaruhi cara
kita dalam m enerim a dunia luas. Tiga belas cerita pendek da-
lam buku ini m enyangkal praduga um um bahwa sejarah kita
apak, berdebu-sawang, dan berbau kem enyan.

—N irw an D e w an to
http://pustaka-indo.blogspot.com

Selamat Tinggal Hindia

CHEVROLET TUA YANG kutum pangi sem akin m elam bat, se-
be lum akhirnya berhenti di m uka barikade bam bu yang dipa-
sang m elintang di ujung jalan Noordwijk. Sebentar kem udian,
seperti sebuah m im pi buruk, dari sebelah kiri bangunan m un-
cul beberapa orang pria beram but panjang dengan ikat ke pa-
la m erah putih dan aneka seragam lusuh, m enodongkan se-
napan.
“Laskar,” gum am Dullah, sopirku.
“Pastikan m ereka m elihat tanda pengenal wartawan itu,”
bisikku.
Dullah m enunjuk kertas di kaca depan m obil. Salah se-
orang penghadang m elongok m elalui jendela.
“Ke m ana?” tanya orang itu. Ia berpeci hitam . Kum isnya le-
bat, m em belah wajah. Sepasang m atanya m enebar ancam an.
“Merdeka, Pak! Ke Gunung Sahari. Ini wartawan. Orang
baik,” Dullah, dengan raut m uka yang dibuat setenang m ung-
kin, m engarahkan ibu jarinya kepadaku.
“Turun dulu baru bicara, sontoloy o!” bentak si kum is sam -
bil m em ukul bagian depan m obil. “Suruh bule itu turun juga!”
sam bungnya.
2
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Tergesa, Dullah dan aku m enuruti perintahnya. Diban tu


be be rapa rekannya, si kum is m enggeledah seluruh tubuh ka m i.
Se bungkus rokok Davros yang baru kunikm ati sebatang se ge ra
berpindah ke saku bajunya. Dem ikian pula beberapa lem bar
uang m iliter J epang di dalam dom pet. Seorang laskar lain m a-
suk ke dalam m obil, m em eriksa laci, lalu duduk di kur si sopir,
m em utar-m utar roda kem udi seperti seorang anak ke cil.
“Martinus Witkerk. De Telegraaf,” si kum is m em baca su-
rat tugas, lalu m enoleh kepadaku. “Belanda?”
“Tidak bisa bahasa Melayu, asli dari sana,” sergah Dullah.
Tentu saja ia berdusta.
“Aku tanya dia, bukan kam u. Som pret!” si kom andan m e-
nam par pipi Dullah. “Tem an-tem anm u m ati kena peluru, ka-
m u ikut penjajah. Sana, m inggat!” ia m engem balikan dom pet-
ku sam bil m enikm ati rokok ram pasannya.
“Terim a kasih, Dullah,” kataku beberapa saat setelah ken-
daraan kem bali m elaju. “Kam u baik-baik saja?”
“Tak apa, Tuan. Begitulah sebagian dari m ereka. Mengaku
pejuang, tapi m asuk-keluar rum ah penduduk, m inta m akan an
atau uang. Sering juga m engganggu perem puan,” sahut Dullah.
“Un tung saya yang m engem udi. Bila Tuan Schurck yang pe -
gang, saya rasa tuan berdua tidak akan selam at. Mereka suka
m enghabisi orang Eropa yang m udah m arah seperti Tuan
Schurck. Tidak peduli wartawan.”
“J an Schurck memang pandai membahayakan diri,” aku ter -
senyum. “Itu sebabnya majalah Life memberinya gaji tinggi.”
“Tuan yakin alam at si nona ini?”
“Ya, seberang Topograisch Bureau. Tidak mau pergi dari
situ. Si Kepala Batu.”
Kepala batu. Maria Geertruida Welwillend.
Geertje! Ya, itu nam a sebutannya.
Aku bertemu wanita itu di kamp internir Struiswijk, tak la ma
setelah pengumuman resmi takluknya J epang kepada Sekutu.
3
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Waktu itu, di hotel Des Indes, yang sudah kem bali ditangani
oleh m anajem en Belanda, aku dan beberapa rekan war ta wan
te ngah m em bahas dam pak sosial di Hindia seiring ke ka lah an
J epang.
“Proklam asi kem erdekaan serta lum puhnya otoritas se-
tem pat m em buat para pem uda pribum i kehilangan batas logika
antara ‘berjuang’ dan ‘bertindak jahat’. Rasa benci turun- te-
m u run terhadap orang kulit putih serta m ereka yang dianggap
ko la bo ra tor, tiba-tiba seperti m enem ukan pelam piasannya di
ja lan-jalan lengang, di perm ukim an orang Eropa yang ber ba-
tas an langsung dengan kam pung pribum i,” J an Schurck m e-
lem par kan seonggok foto ke atas m eja.
“God Alm achtig. Mayat-m ayat ini seperti daging giling,”
Herm anus Schrijven dari Utrechts Nieuw sblad m em buat tan-
da salib setelah m engam ati foto-foto itu. “Kabarnya, para ja gal
ini adalah jawara atau peram pok yang direkrut m enjadi ten ta-
ra. Sebagian ram pasan dibagikan kepada penduduk. Tapi ke-
rap pula diam bil sendiri.”
“Bandit patriot,” J an m engangkat bahu. “Terjadi pula se-
m a sa Revolusi Prancis, Revolusi Bolshevik, dan di antara para
par tisan Yugoslavia hari ini.”
“Anak-anak haram revolusi,” aku m enim pali.
“Aku benci perang,” Herm anus m em buang puntung ro-
kok nya.
“Warga Eropa tidak m enyadari bahaya itu,” kataku. “Se-
telah lam a m enderita di kam p, tak ada lagi yang m ereka
inginkan ke cuali selekasnya pulang. Mereka tak tahu, si J ongos
dan si Ka cung telah berubah m enjadi pejuang.”
“Kurasa banyak yang tidak mendengar maklumat dari Lord
Mounbatten agar tetap tinggal di kamp sampai pasukan Sekutu
datang,” Eddy Taylor, dari The Manchester Guardian, angkat
bicara.
4
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 28 Oktober 2012.


5
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Ya. Dan para kom andan J epang, yang sudah tidak m e m i-


liki sem angat hidup sejak kekalahan m ereka, cenderung m em -
biarkan tawanannya m inggat. Ini m engkhawatirkan,” J an m e-
nyulut rokok, entah yang keberapa.
“Bisa lebih buruk. Tanggal 15 Septem ber kem arin, pasukan
Inggris tiba di Teluk Batavia,” aku m enunjuk peta di m eja. “Se-
buah cruiser Belanda yang m enyertai pendaratan itu konon te-
lah m em icu keresahan kalangan m ilitan di sini. Bagi m ereka,
hal itu seperti m enguatkan dugaan bahwa Belanda akan kem -
bali m asuk Hindia.”
“W ell, ini di antara kita saja. Menurut kalian, apakah Be-
lan da berniat kem bali?” Eddy Taylor m enatap J an dan aku,
gan ti-berganti.
Mendadak pem bicaraan terpotong teriakan Andrew Wal-
ler, wartawan Sy dney Morning Herald, yang setia m em antau
per kem bangan situasi m elalui radio: “Menarik! Ini m enarik!
Pa ra m antan tentara KNIL dan tentara Inggris pagi ini m e m in-
dah kan para penghuni kam p Cideng dan Struiswijk.”
Tak m em buang waktu, kam i sem ua berangkat pergi. Aku
dan J an m em ilih m engunjungi Kam p Tawanan Struiswijk.
Mayor Adachi, kom andan J epang yang kam i tem ui, m e-
nyam but gem bira upaya pem indahan m assal ini.
“Patroli kam i kerap m enjum pai m ayat orang Eropa yang
m e la rikan diri dari kam p. Tercincang dalam karung di tepi ja-
lan,” katanya.
Aku m engangguk sem bari m encatat. Tetapi sesungguhnya
m ataku terpaku pada Geertje yang berjalan santai m enenteng
ko per. Bukan m enuju rom bongan truk, m elainkan ke jalan
Druk ke rijweg, bersiap m em ilih becak.
“Hei, Martin!” teriak J an Schruck. “Gadis itu m elirikm u se-
jak tadi. J angan tolak keberuntunganm u. Kejar!”
Aku m em ang m engejarnya, tetapi segera m enerim a kejut-
an besar.
6
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Aku tidak ikut,” Geertje m enatapku tajam . “Truk-truk ini


m enuju Bandung. Ke tem pat penam pungan di Kapel Ursulin.
Sebagian lagi ke Tanjung Priok. Aku harus pulang ke Gunung
Sahari. Banyak yang harus kukerjakan,” katanya.
“Maksudm u, sebelum J epang datang, engkau tinggal di Gu-
nung Sahari, dan sekarang hendak kem bali ke sana?” tanyaku.
“Ada yang salah?” Geertje balik bertanya.
“Ya. Salah waktu dan tem pat. Pem bunuhan terhadap
orang kulit putih, Tionghoa, dan orang-orang yang dianggap
ko laborator Belanda sem akin m enjadi. Mengapa ke sana?”
“Karena itu rum ahku. Perm isi,” Geertje m em balikkan ba-
dan, m enenteng kem bali kopernya.
Aku tertegun. Dari jauh kulihat si keparat J an m enjungkir-
kan ibu jarinya ke bawah.
“Tunggu!” aku m engejar Geertje. “Biar kuantar.”
Kali ini Geertje tak m enolak. Dan aku bersyukur, J an ber-
sedia m em injam kan m otornya.
“Hati-hati sinyo satu ini, Nyonya,” J an m engedipkan m ata.
“Di Nederland banyak wanita m erana m enunggu ke da tangan-
nya.”
“Begitukah? Panggil ‘nona’, atau sebut nam aku saja,” sahut
Geertje.
“Oh, kalau begitu panggil aku J an.”
“Dan ini Martin,” aku m enebah dada. “Apakah kau tak ingin
m em buang bakiak kam p itu?” tanyaku sam bil m elirik kaki
Geertje. “Bukankah para tentara di sana m enyediakan sepatu
untuk wanita dan anak-anak? Mereka juga m em bagikan gincu
dan bedak. Kalian akan kem bali rupawan.”
“Belum terbiasa bersepatu lagi, jadi kusim pan di koper.
Di kam p, aku m ahir berlari dengan bakiak,” Geertje tertawa,
m eletakkan tubuhnya di jok belakang.
Mijn God. Tawa renyah dan lesung pipitnya. Betapa ganjil
berpadu dengan sepasang alis curam itu. Wajah yang sarat
teka-teki. Apakah wanita ini m asih m em iliki keluarga? Suam i?
7
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Ta pi tadi ia m inta dipanggil ‘nona’.


“Gunung Sahari sering dilewati Batalion 10 . Mereka m en-
jaga perm ukim an Eropa. Tetapi tentu saja tak ada yang tahu,
kapan serangan datang. Coba pikirkan usulku tadi,” dari kaca
spion, kutengok Geertje. Ia tam pak ingin m engatakan sesuatu,
te tapi suara m otor J an teram at bising. Akhirnya kam i m em -
bisu saja sepanjang perjalanan.
Di perem patan Kwitang aku m eliuk ke kanan, m eninggal-
kan iringan truk berisi wanita dan anak-anak di belakangku. Ah,
anak-anak itu. Riuh bertepuk tangan, m enyanyikan lagu-lagu
gem bira. Tidak m enyadari bahwa kem ungkinan besar tanah
Hin dia, tem pat m ereka lahir, sebentar lagi tinggal kenangan.
“Depan em pang itu,” Geertje m elam bai.
Aku membelokkan motor. Rumah besar itu terlihat menye-
dih kan. Dindingnya kotor. Kaca jendela pecah di sana-sini. Aneh-
nya, rumput pekarangan tampak seperti belum lama dipangkas.
“Sebentar!” kuraih lengan Geertje saat ia ingin berlari ke
te ras. Dari tas di belakang m otor, kukeluarkan belati yang tadi
dipinjam kan oleh J an. Kudorong pintu depan. Terkunci.
“Masih ingin m asuk?” tanyaku.
“Ya,” jawab Geertje. “Singkirkan belatim u. Biar aku yang
m e nge tuk. Sem oga rum ah ini belum diam bil alih keluarga Ero-
pa lain.”
“Atau oleh laskar,” sahutku.
Geertje m engetuk beberapa kali. Tak ada jawaban. Ka m i
ber putar ke belakang. Pintunya terbuka sedikit. Saat hendak
m asuk, terdengar langkah kaki dari kebun. Seorang wanita pri-
bum i. Mungkin berusia lim a puluh tahun.
“Nona!” wanita itu m eraung, m em eluk kaki Geertje.
Geertje m enarik bahu si wanita agar berdiri.
“J epang sudah kalah. Aku pulang, Iyah. Mana suam im u?
Apa kah selam a ini engkau tinggal di sini?” tanya Geertje. “Ini
8
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Tuan Witkerk, tem an saya. Martin, ini Iyah. Pengurus rum ah


tangga kam i.”
Iyah m em bungkuk kepadaku, lalu kem bali m enoleh ke-
pada Geertje.
“Setelah terakhir menengok Nona, rumah ini diambil J epang.
Tempat tinggal para perwira. Saya memasak untuk mereka. Tidak
boleh pergi. Itulah sebabnya saya tidak bisa menengok Nona,”
Iyah kembali terisak. “Mana Tuan, Ibu, dan Sinyo Robert?”
“Mam a m eninggal bulan lalu. Kolera,” Geertje m endorong
pintu lebih lebar, lalu m asuk rum ah. Aku dan Iyah m enyusul.
“Papa dan Robert, dikirim ke Burm a. Sudah kum inta kom an-
dan kam p m encari berita tentang m ereka,” lanjut Geertje.
“Barang berharga disita. Foto-foto di dinding m usnah. Di-
ganti bendera J epang. Tapi belum lam a ini m ereka buru-buru
pergi. Entah ke m ana. Banyak barang tidak dibawa,” kata Iyah.
“Saya am bil alat-alat m asak dulu di gubuk. Sekalian ajak suam i
ke sini. Sejak jadi koki J epang, saya pindah ke gubuk belakang.
Se telah m ereka pergi, saya tetap tidak berani tinggal di sini.
Ta pi setiap ada kesem patan, pasti m enengok, m em bersihkan
yang perlu.”
“Ajak suam im u. Kita bangun rum ah ini. Kalau bank sudah
berjalan norm al, m ungkin aku bisa m engam bil sedikit sim pan-
an,” Geertje m em biarkan Iyah berlari ke luar, lalu m eneruskan
m em eriksa rum ah. Meja-kursi tersisa beberapa, juga lem ari.
Te tapi tak ada isinya. Sebuah kejutan kam i tem ukan di ruang
ke lu arga: Piano hitam yang anggun. Cukup m engherankan, J e-
pang tidak m enyita atau m erusaknya. Mungkin dulu dipakai
se ba gai hiburan.
Geertje m eniup debu tipis, m em buka penutup tuts. Se po-
tong iram a riang m enjelajahi ruangan.
“Lagu rakyat?” tanyaku.
“Si Patoka’an,” Geertje m engangguk, lalu bersenandung
m e nim pali ketukan tuts.
9
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Engkau m enyatu dengan alam dan penduduk di sini. Me-


reka juga m enyukaim u. Mungkin m encintaim u setulus hati,”
ka taku. “Tapi zam an ‘tuan’ dan ‘babu’ ini akan segera berakhir.
Am erika sem akin m em perlihatkan ketidaksukaan m ereka akan
kolonialism e. Dunia luar juga m ulai m engawasi setiap denyut
perubahan yang terjadi di sini. Dan kehadiran kita selam a tiga
ratus tahun lebih sebagai penguasa negeri ini, bahkan m akan
jantung negeri ini, sem akin m em perburuk posisi tawar kita.
Ku rasa Hindia Belanda tak m ungkin kem bali, sekeras apapun
upaya kita m erebut dari tangan para nasionalis pribum i ini.”
“Bila api revolusi telah berkobar, tak ada yang bisa m e na-
han,” Geertje m enghentikan laju jem arinya di atas tuts. “Me-
re ka hanya ingin m andiri, seperti kata ayahku dulu. Ayah pe-
nga gum Sneevliet. Ia siap kehilangan hak-hak istim ewanya di
sini. Aku sendiri seorang guru sekolah pribum i. Lahir, besar di
te ngah para pribum i. Saat J epang berkuasa, kusadari bahwa
Hin dia Belanda bersam a segala keningratannya telah usai. Aku
ha rus berani m engucapkan selam at tinggal kepadanya. Dan
apa pun yang ada di ujung nasib, aku akan tetap tinggal di sini.
Bukan sebagai ‘penguasa’, seperti istilahm u. Entah sebagai apa.
J epang telah m em beri pelajaran, pahitnya m enjadi jongos atau
babu. Setelah kem arin hidup m akm ur, bukankah m em alukan
lari di saat orang-orang ini butuh bim bingan kita?”
“Orang-orang itu….” aku tidak m eneruskan kalim at. Sunyi
se saat.
“Konon, seorang pem buru m enem ukan bayi harim au,”
akhir nya aku m enghela napas. “Dirawatnya hewan itu penuh
ka sih. Ia m enjadi jinak. Makan-tidur bersam a si pem buru
hingga de wa sa. Tak pernah diberi daging. Suatu hari, tangan
si pem bu ru tergores piring kaleng m ilik si harim au. Darah m e-
ngu cur.”
“Si harim au m enjilati darah itu, m enjadi buas, lalu
m ener kam si pem buru,” potong Geertje. “Engkau m encoba
10
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

m engatakan bahwa suatu saat para pribum i akan m enikam ku


da ri be la kang. Betul?”
“Kita ada di tengah pergolakan besar dunia. Nilai-nilai ber-
geser. Setelah berabad, kita m enyadari tanah ini bukan Ibu
Per tiwi kita,” jawabku. “Untuk ketigakalinya kum inta, pergilah
se lagi bisa.”
“Ke Belanda?” Geertje m enurunkan tutup piano. “Aku bah-
kan tak tahu, di m ana letak negara nenek m oyangku itu.”
“Di kam pung halam anku, di Zundert, ada beberapa rum ah
kontrakan dengan harga terjangkau. Sam bil m enunggu kabar
tentang ayahm u, kau bisa tinggal di sana.”
“Terim a kasih,” Geertje tersenyum . “Kau sudah tahu di
m a na aku ingin tinggal.”

Itu jawaban Geertje beberapa bulan lalu. Sem pat dua kali aku
m en em uin ya kem bali. Mem asan g kaca jen dela dan m en g-
an tarn ya ke pasar. Setelah itu, aku ten ggelam dalam pekerja-
an . Geertje juga tak m em ikirkan hal lain kecuali m em ban gun
ru m ah. Sulit m en gharapkan percik asm ara hadir di an tara
kam i.
Lalu datanglah berita tentang pertempuran keras tadi ma-
lam, yang merambat dari Meester Cornelis sampai ke Kramat.
Beberapa kesatuan pemuda melancarkan serangan besar-besar -
an ke pelbagai wilayah secara rapi dan terencana. Di sekitar Se-
nen– Gunung Sahari, sebuah tank NICA bahkan ber hasil dilum-
puh kan.
Aku m engkhawatirkan Geertje. Sebaiknya wanita itu ku-
jem put saja. Biarlah ia tinggal bersam a kam i sem entara waktu.
Sem oga ia tidak m enolak. Schurck sedang ke luar kota. Tak bi-
sa m em injam m otornya. Untunglah, m eski agak m ahal, pihak
hotel bersedia m enyewakan m obil berikut sopirnya.
“Di depan itu, Tuan?” suara Dullah m em bawa diriku kem -
bali berada di dalam kabin Chevrolet yang panas ini.
11
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Betul. Tunggu sini,” aku m elom pat ke luar dengan cem as.
Di m uka rum ah Geertje, beberapa tentara NICA berdiri dalam
posisi siaga. Sebagian hilir-m udik di halam an belakang. Be-
ran da rum ah rusak. Pintu depan roboh, penuh lubang peluru.
Lan tai dan tem bok pecah, m enghitam , bekas ledakan granat.
“Perm isi, wartawan!” sam bil m enerobos kerum unan, ku-
acungkan kartu pengenal. Mataku nyalang. Kum asuki setiap
kam ar dengan perasaan teraduk, seolah berharap m elihat tu-
buh Geertje tergolek m andi darah di lantai. Tetapi tak kunjung
kutem ui pem andangan m engerikan sem acam itu. Seorang ten-
tara m endekat. Agaknya kom andan m ereka. Kusodorkan kartu
pengenal.
“Apa yang terjadi, Sersan…Zwart?” tanyaku sam bil m elirik
nam a dada tentara itu. “Korban serangan tadi m alam ? Di m ana
penghuni rum ah?”
“Kam i yang m enyerang. Penghuninya lari. Anda warta-
wan? Kebetulan sekali. Kita sebarkan berita ini, agar sem ua
was pada,” Sersan Zwart m engajak berjalan ke arah dapur.
“Ini tem pat para pem berontak berkum pul. Banyak bahan pro-
paganda anti-NICA,” lanjutnya.
“Maaf,” aku m enyela. “Setahuku rum ah ini m ilik Nona
Geer tje, seorang warga Belanda.”
“Anda kenal? Kam i akan banyak bertanya nanti. Ada du ga-
an bahwa Nona Geertje alias ‘Zam rud Khatulistiwa’ alias ‘Ibu
Pertiwi’, yaitu nam a-nam a yang sering kam i tangkap dalam si-
ar an radio gelap belakangan ini, telah berpindah haluan.”
Geertje? Aku ternganga, siap protes. Nam un Sersan Zwart
ter la lu sibuk m enarik pintu besar yang terletak di tanah, de kat
gudang. Sebuah bunker. Luput dari perhatianku saat m e ngun-
jungi Geertje tem po hari. Kuikuti Sersan m enuruni tangga.
Tak ada yang aneh. Warga Belanda yang sejahtera biasa nya
m em iliki ruangan sem acam ini. Tem pat berlindung saat ter-
ja di serangan udara di awal perang kem arin. Sebuah ruangan
12
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

lem bap, kira-kira em pat m eter persegi. Ada m eja panjang, kur-
si, serta lem ari usang berisi peralatan m akan dan tum puk an
ker tas. Benar, kertas itu berisi propaganda anti-NICA.
Sersan Zwart m em buka kain selubung sebuah obyek di ba-
lik lem ari. Pem ancar radio!
“Warisan J epang,” kata Sersan.
Aku m em bisu. Sulit m em percayai ini sem ua. Tetapi yang
m em bu at tubuhku m em beku sesungguhnya adalah pe m an -
dangan di dinding sebelah kiri. Pada dinding lapuk itu, ter-
gan tung satu set wastafel lengkap dengan cerm in. Di atas per-
m u ka an cerm in, tam pak sederetan tulisan. Digores berge gas,
m enggu na kan pem erah bibir: ‘Selam at tinggal Hindia Be lan-
da. Se lam at datang Repoeblik Indonesia’.
Aku m em bayangkan Geertje dan lesung pipitnya, duduk
di te ngah ham paran sawah, bernyanyi bersam a orang-orang
yang ia cintai: “Ini tanahku. Ini rum ahku. Apapun yang ada di
ujung nasib, aku tetap tinggal di sini.”
Sejak awal Geertje tahu di m ana harus berpijak. Perlahan-
lahan kuhapus kata ‘pengkhianat’ yang tadi sem pat hinggap di
benak.

J akarta, 12 Oktober 20 12
http://pustaka-indo.blogspot.com

Stambul Dua Pedang

PUKUL ENAM PETANG. Hujan belum sepenuhnya berhenti.


Di sekeliling rum ah, suara air dari teritisan yang terem pas di
atas ham paran kerikil seolah m elengkapi pentas orkes senja
ha sil kerja sam a serom bongan katak, cengkerik, dan burung
m a lam . Tetapi sungguh, sejauh ini tak ada kejernihan artikula-
si se ta ra suara tokek yang bertengger di salah satu dahan po-
hon jati di kebun depan. Satu tarikan panjang berupa ketukan,
disusul em pat ledakan pendek. Keras. Tegas. Dilantunkan be-
be rapa ka li dalam iram a yang terjaga. Kurasa m alam ini dialah
sang penguasa panggung.
Ah, ya, panggung. Panggung itu.
Alangkah m enyita pikiran belakangan ini. Tenda besar,
pa pan dengan tulisan m enyolok ‘Opera Stam boel Tjahaja Boe-
lan’, kerum unan penonton, orkes Melayu yang fasih m em ain-
kan Walsa atau Polska Mazurka, lem bar libretto berisi ringkas-
an cerita, dan akhirnya: pem bacaan nam a para anak wayang.
Nam anya!
Aku di sana. Selalu di sana. Di baris terdepan. Sehingga bi-
sa kutegaskan bahwa bukan hanya aku, melainkan selu ruh pe-
nonton merasakan betapa setiap kali nama itu diperdengarkan,
14
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

terlebih bila disusul kehadiran sang pemilik nama di atas pang-


gung, akan menciptakan kekuatan besar yang memaksa kami
membuka mulut, mendorong udara keluar dari tenggorokan,
melafalkan namanya berulang kali.
Kulirik am plop cokelat yang sejak tadi berada dalam geng-
gam an ku. Isinya sudah kubaca lebih dari sekali. Ditulis de ngan
tinta bak pekat. Ada tekanan kuat di beberapa tem pat. Nya-
ris m em buat lubang pada perm ukaan kertas. Aku tahu, tentu
dibutuhkan usaha keras dari si pem egang pena untuk m e na-
han sem buran am arah saat m enuliskan nam a itu. Nam a yang
m uncul terlalu cepat di antara kam i di rum ah ini.
Agak tergesa, kututup jendela. Menjelang petang udara
per ke bunan teh Tanara di m usim hujan selalu m engirim rasa
dingin yang m engiris. Bahkan bagi penduduk yang sudah lam a
tinggal di sini, seperti aku. Tetapi bukan itu yang m em buatku
m enggigil. Bukan itu.
“Nyai! Nyai!” terdengar suara Mang Ihin, sais bendi langgan-
anku, di antara rentetan ketukan. Kubuka pintu samping. Ku sak-
sikan wajah tegang Mang Ihin. Baju dan kopiah nya basah.
“Berangkat sekarang?” Mang Ihin m enarik lintingan klo-
bot dari saku celana. Sorot m atanya gelisah. “Bagaim ana kalau
Tuan….”
“Tak usah dibicarakan,” kuangkat telunjuk ke depan bibir.
“Bereskan barang-barang saya, lalu boleh bikin kopi dulu. Saya
perlu ganti baju.”
“Cepatlah, Nyai. Kita harus putar arah. Mustahil lewat
Suka luyu. Lum purnya pasti sudah di atas m ata kaki,” gerutu
Mang Ihin. “Apakah Uyan dan Siti sudah tahu? Apakah aman?”
Tak kujawab pertanyaan itu. Seharusnya Mang Ihin ta hu, jo-
ngos dan babu di rumah ini ada di bawah kendaliku sepenuh nya.
Kuputar kunci pintu kam ar. Kulucuti kebaya putih be-
ren da berikut seluruh pakaianku, tapi tak segera beranjak
m engenakan baju ganti. J ustru kuraih lagi am plop cokelat itu.
15
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Kutatap kesekian kalinya dengan berlaksa perasaan.


Bulan lalu, di kabin rias pria, di belakang tobong yang ge-
lap, aku juga duduk telanjang dengan am plop di tangan. Beda-
nya, isi am plop itu bukan surat m elainkan lem baran uang dan
ada sepasang tangan cokelat kokoh m elingkar di bahuku.
Itu perjum paan kam i yang kelim a. Seperti yang sudah-su-
dah, harus kusuap tem an-tem annya agar tidak m elaporkan ke-
datanganku kepada Tuan Steenwijk, sep m ereka.
“Terim a kasih bingkisanm u untukku dan tem an-tem an.
Se ka rang ceritakan, bagaim ana engkau m enjadi seorang nyai,”
bibir dengan lekuk tegas yang m elahirkan suara penuh kha ris-
m a itu bergerak m enyusuri tepian telingaku.
Wahai, suara itu. Suara yang beberapa m inggu sebelum nya
hanya kunikm ati dari bawah panggung, saat si pem ilik bibir
m enyanyikan m antra sihir J in Tom ang atau berseru m enan-
tang m usuh beradu anggar sebagai Pangeran Monte Cristo.
Suara yang telah m em buat banyak wanita m abuk kepayang.
Lucunya, belum lam a tadi, bukan suara gagah m acam itu
yang kudengar, m elainkan sebuah lenguhan panjang m irip sa-
pi yang disem belih, saat kam i berdua m em asuki ujung pen je-
la jahan ragawi.
“Ceritakan,” ia m engulang kalim at. Nadanya setengah m e-
m aksa.
“Untuk apa?” kutatap wajah lelaki itu lewat cerm in. Cahaya
sepasang lilin di atas m eja rias m em buat garis wajahnya ber-
ubah-ubah. Menam bah kesan m isterius. Seperti peran-peran
yang ia bawakan selam a ini.
“Aku suka m endengarkan perem puan bercerita. Apalagi
da ri jenism u,” kem bali suara itu m engalun. Kali ini disertai
asap ro kok, m eliuk-liuk di udara serupa naga silum an.
“J enisku? Raden Adang Kartawiria, jaga mulutmu,” dengan
kepalan tangan, kusentuh lem but sisi kanan bibirnya. Ia m e-
nangkap, lalu m engecup satu per satu ujung jem ariku.
16
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 7 April 2013.


17
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Aku tak bergurau. Kehidupan seorang nyai adalah naskah


panggung yang paling banyak m enghasilkan uang. Lihat sa ja
rom bongan Dardanella dan Riboet Orion. Selalu padat pe non-
ton setiap m em bawakan lakon ‘Nyai Dasim a’. Tuan Steenwijk
juga tahu. Apa m au dikata, agaknya sepku ini hidup di m asa
lam pau.”
“J angan tergesa beralih ke tonil. Aku m asih suka m elihat-
m u m enjadi pendekar anggar,” kurebut rokok dari bibirnya,
ku isap beberapa kali. “Apakah kau sungguh-sungguh bisa ber-
silang anggar?”
Adang tergelak. “Waktu m asih m enjadi wartawan Berita
Pang goeng, aku sering diajak berlatih oleh Monsieur Thibaut,
kepala redaksiku. Ia punya ruang anggar di rum ah nya, dekat
Harm onie.”
“Menurutku, kau lebih pandai berm ain anggar dibanding-
kan Astam an atau Tan Tjeng Bok.”
“Terim a kasih,” Adang m em bungkukkan badan seperti se-
orang bangsawan Inggris. “Sayangnya, kom edi stam bul tak pu-
nya m asa depan. Orang sudah jenuh dengan jum lah ba bak yang
ke le wat banyak dan peran ksatria palsu sem acam itu. Se te lah
la m a dibuai m im pi, akhirnya m ereka ingin m elihat diri m e re-
ka sen diri. Menonton kehidupan yang sesungguhnya. Aku se-
dang m em pertim bangkan untuk bergabung dengan salah satu
ke lom pok tonil, m enguji bakat aktingku m enjadi tokoh biasa.
Dok ter, pedagang, bahkan m ungkin tukang sado. Pem im pin
tonilnya sudah tiga kali m engirim orang, m em bujukku ha-
bis-ha bis an. Kukatakan pada m ereka agar m em beri sedikit
tem po.”
“Tuan Steenwijk tidak akan suka rencanam u.”
“Kalau begitu, dia punya dua pilihan: Mengubah opera
stam bul ini m enjadi tonil atau m enahanku di sini dengan ke-
naikan gaji sepadan,” Adang m em icingkan sebelah m ata nya.
18
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Tapi sesungguhnya aku tak hendak berlam a-lam a m en jadi


anak wayang. Aku ingin m enekuni penulisan naskah. Me nulis
kisah nyai yang lebih hebat dari ‘Nyai Dasim a’. Tentu tidak
akan terjadi dalam waktu dekat. Apalagi saat ini kam i sedang
sibuk m em persiapkan opera ‘Pranacitra-Rara Mendut’.”
“Oh, itu kisah yang bagus. Aku harus m enonton. Apakah
akan dipentaskan di Tanara juga?”
“Kam i tak pernah tinggal di satu tem pat lebih dari sebulan.
Kem ungkinan besar akan dim ainkan di depan hotel Belleuve,
Buitenzorg. Duabelas babak, delapan lagu. Kalau penonton
m a sih berm inat, akan kam i pentaskan juga J in Tom ang atau
Pangeran Monte Cristo di sana. Setelah itu, kam i harus m em -
persiapkan diri baik-baik, agar bisa ikut Pasar Malam Gam bir
bulan Agustus tahun depan. Doakan sem oga saat itu aku naik
panggung bukan dalam kostum jin atau m usketier.”
“Aku belum m engerti. Apa bagusnya kisah nyai untuk
orang-orang itu?” tanyaku.
Adang mendorong kedua bahunya ke atas. “Mungkin me-
reka ingin tahu, seperti apa wanita Melayu yang menjadi mulia
setelah tinggal serumah dengan lelaki lain bangsa. Si cantik da-
lam sangkar emas. Seperti kataku tadi, dahulu penonton gemar
dongeng khayalan, kini mereka suka dongeng nyata. Lagipula
tidak semua kisah nyai berakhir sedih seperti Dasima, bukan?”
“Cukup, Adang. Sekarang dengar dan pastikan kau m e-
m aham i ini, sebab aku takkan m engulang lagi,” kali ini tak
kututupi rasa kesalku. “Aku-bukan-perem puan-sem barangan.
Ayahku tidak kaya, tapi dia juru tulis perkebunan. Mengerti? Di
luar itu, terutam a yang m enyangkut diriku saat ini, sem ata soal
nasib. Apakah wanita bisa m engelak dari nasib yang dipilihkan
lingkungan untuknya?”
“Gelar ‘Raden’ di depan nam aku juga asli, tetapi keluarga
m em utus hubungan setelah tahu aku bergabung dengan ke lom -
pok stam bul ini,” Adang tersenyum sinis. “Dan bicara nasib,
19
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Sar ni, kurasa kau benar. Di luar garis darah itu, kita berdua
se sungguhnya sam a. Sundal dan orang m elarat, yang karena
baju dan peran panggung, lalu dipandang terhorm at.”
“Bedebah!” kulecutkan telapak tangan ke pipi kiri Adang dan
sudah kususun serangan berikutnya dengan tangan yang lain.
Teta pi lelaki itu justru menarik tubuhku. Kemudian, ber sa maan
dengan gerak mengayun ke bawah yang indah, sebuah pagutan
ber gelora hinggap di bibir. Aku tidak melawan, bah kan bibir kami
baru terurai saat ia berbisik perlahan: “Akuilah, kau memang
sun dal. Berkhianat pada suami saat ia sedang tugas lu ar. Ber cinta
dengan pemain stambul. Tapi aku tak peduli. Aku ter gila-gila pa-
da mu sejak kau nekat naik ke panggung pa da hari keduabelas,
melem parkan bungkusan berisi bros emas kepadaku.”
“Apakah kau m encintai hatiku, tubuhku, atau bros em as
itu?” tanyaku.
Adang m enjawab dengan belaian, cium an, dan entakan tu-
buh yang m em abukkan, m em buat kam i kem bali m elayari la ut-
an luas, m enyusuri lekuk-teluk dan sem enanjung yang ganjil.
Berangkat. Berlabuh. Berulangkali. Hingga segalanya usai da-
lam satu tarikan napas panjang.
Sam bil m enanti peluh m engering, di atas kasur keras de-
ngan seprai berm otif daun zaitun yang sulit disebut bersih itu,
ka m i m enatap langit-langit kam ar yang terbuat dari jalinan
rum bia. Pada bibir kam i m asing-m asing terselip sebatang ro-
kok.
Kam ar rias itu m erupakan sebuah bangunan darurat. Bilik
bam bu em pat sisi, tak lebih luas dari 3 x 4 m eter, yang dijejali
barang-barang keperluan pentas. Sebagai sripanggung, Adang
m em iliki hak untuk tidur di losm en kecil di Gadok, tak jauh da-
ri lokasi tobong ini. Tetapi ia tahu, m enjum paiku di kam ar ini
akan m em buat hidupnya jauh lebih am an.
“Suatu pagi, aku sedang m em bantu ibu m enjem ur kain
di de pan rum ah ketika rom bongan besar itu lewat,” aku
20
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

m enggum am , seolah bercakap dengan diriku sendiri. “Anjing-


anjing pem bu ru, sekelom pok pria dengan parang, tom bak, ge-
ro bak, be be ra pa ekor celeng m ati, serta seekor kuda hitam be sar
de ngan tuan Belanda berbaju putih-putih di atas punggungnya.
Tu an itu m em asukkan senapan ke sarung kulit di sisi pelana,
m e na tap ku cukup lam a sebelum turun dari kudanya. Kulihat
Ayah ter go poh keluar, bicara dengan si Tuan. Nam aku disebut
be be rapa kali.”
“Lalu Ayah m engajak tam unya m asuk rum ah. Kegem paran
segera terjadi. Ibu m enjerang air, m enyiapkan peralatan m i-
num , m em bentakku agar berpakaian lebih rapi, dan m em inta-
ku m enyuguhkan kopi berikut kudapan ke ruang tam u. Tuan
itu m e nanyakan um urku, serta m enjelaskan dalam bahasa Me-
la yu yang fasih bahwa ia adalah deputi adm inistratur per ke-
bun an Tanara, atasan Ayah.”
Adang m enyim ak ceritaku, nyaris tak berkedip.
“Sebulan kem udian, aku resm i m enjadi Nyonya Cornelia
van Rijk, berpisah rum ah dengan orangtuaku. Ibuku sedih,
te ta pi Ayah kelihatan m enikm ati kedudukan barunya. Naik
ja bat an, dari juru tim bang m enjadi juru tulis. Sewaktu aku
hen dak diboyong ke rum ah dinas perkebunan, Ayah datang
m enengok. Tetapi aku m enolak bicara dengannya. Sam pai kini
Ayah juga tetap tidak m au m enjelaskan, bagaim ana Adelaar,
sua m iku itu, bisa sangat kebetulan lewat depan rum ah kam i
se pu lang berburu. Tidak lewat Pulosari yang sesungguhnya le-
bih dekat ke jalan raya.”
Hening.
“Menjadi Nyonya Van Rijk di usia em patbelas tahun bukan
perkara m udah,” aku m elanjutkan. “Banyak perbedaan cara hi-
dup yang sulit kuseberangi, bahkan sam pai sekarang. Adelaar
sa ngat keras, tapi bukan jenis Belanda sontoloyo. Kegem aran-
nya m em baca serta m enonton acara panggung m enular cepat
ke pa daku. Kam i sudah m enyaksikan pertunjukan dari seluruh
21
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

ke lom pok opera stam bul di Hindia. Dia pula yang m em bawaku
ke sini, m enonton pertunjukan perdana kalian tem po hari.”
“Ya, dan m alam ini aku bercinta dengan istrinya,” Adang
m enyeringai.
“Aku m em ang bukan istri yang baik.”
“Sarni,” suara Adang m endadak berubah. “Sam pai kem arin,
kau bisa m engelabui dirim u m enjadi Nyonya Van Rijk. Tetapi
m alam ini, kau adalah bagian tubuhku, bagian jiwaku. Bagian
dari tanah air ini. Lihat warna kulitm u. Lihat caram u bertutur.
Orang Belandakah engkau? Bukan kem ewahan yang akan ku-
antar kepadam u, m elainkan sum ber kekuatan dari sem ua im -
pian, yaitu cinta. Tuhan telah m enuntun kita untuk bertem u
dan saling m em iliki. Menikahlah denganku.”
Oh, sem ua kalim at itu sungguh picisan. Barangkali sering
pula diucapkan oleh Adang dalam beberapa lakon panggung.
Tapi entah m engapa, m alam itu aku berurai air m ata m en-
dengarnya.
Itu terjadi bulan lalu. Aku ingat, tiba di rum ah sekitar pukul
sebelas m alam . Tak bisa m em icingkan m ata. Suam iku, ten tu
saja, m asih bertugas di Malang. Ah, seorang suam ikah dia?
Orang kulit putih, dengan suara dan bau tubuh yang asing. Tu-
juh tahun kam i satu atap tanpa keturunan. Sejak m alam per ta-
m a, Adelaar tak bisa m enunaikan tugasnya sebagai lelaki. Ku-
anggap itu sebuah berkah, karena hidup sebagai nyai seperti
ber judi. Tak ada yang pasti. Tak ada yang abadi. Sering kudengar
nasib m alang para nyai, harus angkat kaki dari rum ah bersam a
anak-anak m ereka setelah sang suam i m enikah dengan wanita
Eropa. Sering kali m ereka turun pangkat m enjadi m oentji di
tangsi-tangsi tentara. Itu tidak terlalu buruk. Setidaknya ada
yang m enjam in hidup m ereka. Sungguh m ati, aku tak ingin
hidup ku berakhir seperti itu. Sayangnya doaku tak terkabul.
Kem arin sore, datanglah surat dalam am plop cokelat ini. Mes-
ki teram at sulit, pilihan harus kutentukan.
22
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Nyai! Nyai!” terdengar lagi suara cem as Mang Ihin.


Lekas aku berpakaian. Saat m em buka pintu kam ar, kulihat
Uyan dan Siti bersim puh m enungguku di lantai ruang m akan.
Gurat kecem asan terpahat di dahi dan bibir m ereka. Aku m en-
dekat.
“Silakan pilih, tetap di sini dan dipecat oleh Tuan, atau se-
ce patnya pergi ke rum ah sepupuku di Banjarsasi?” tanyaku.
“Apa pun pilihannya, kalian tetap tanggung jawabku. Segera
ku ka bari alam at baruku. Tentu saja Tuan tidak boleh tahu. Se-
tidak nya un tuk sekarang ini. Paham ilah. Keadaan tidak lagi
sam a. Ta pi jangan takut. Ini sem ata kesalahanku. Untuk itu
aku m in ta m aaf sebesar-besarnya.”
Ternyata keduanya m em ilih tetap tinggal di rum ah ini. Apa
boleh buat. Kuselipkan beberapa benggol ke tangan m ereka.
Lalu kuayun langkah gegas m enuju bendi. Tam pak sem ua ko-
por ku sudah tersusun rapi.
“Bukan ke tem pat opera, Mang. Ke penginapan di Gadok.
Nanti saya tunjukkan tem patnya,” kataku. Mang Ihin m enja-
wab dengan anggukan kepala. Sekilas kutangkap air m uka tak
se nang di wajahnya, tetapi hal itu tidak m em buatnya m enunda
lecutan tali kekang. Perlahan roda bendi berputar m enem bus
gerim is dan kolam lum pur.
Masih dua hari lagi suam iku datang, nam un isi suratnya
te lah lebih dahulu m enyiksa gendang telinga dan jantungku.
Menghun jam berkali-kali, seperti palu penem pa senjata yang
diayunkan oleh Dewa Vulcan dalam sebuah opera yang dahulu
kutonton bersam anya:

Sarni istriku,

Tentu kau tahu, tak bany ak orang Belanda m em anggil


pa sang an pribum iny a dengan sebutan ‘istri’. Kupanggil kau
‘istri’ karena sejak aw al aku m encari istri. Seorang w anita
23
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

y ang bisa m enjadi tem pat berbagi, di m eja m akan, di tem pat
tidur, dan di tem pat-tem pat di m ana dukungan dan per tim -
bang anny a kuperlukan. Kuabaikan pandangan m eng ha kim i
dari para sejaw atku. Aku tahu pilihanku. Dan di an ta ra ba-
ny ak alasan lain y ang lebih serius, aku m encintaim u ka rena
engkau m eny ukai buku dan opera. Pem aham anm u m engenai
dunia panggung jauh m elebihi ny ony a-ny ony a ku lit putih itu.
Sungguh, aku m erasa tidak ada y ang keliru dengan m u. Sam -
pai datang surat dari seorang sahabat, pem ilik rom bong an
stam bul, y ang m erasa tidak ny am an karena seorang anak
w a y ang ny a, bintang w ay ang itu, Adang Kartaw iria itu, be-
berapa kali terlihat pergi bersam a seorang ny ai. Sahabatku
tidak m eny ebut nam a, tetapi di seantero perkebunan, adakah
ny ai lain y ang gem ar m enonton stam bul?
Aku akan tiba Kam is sore. Kuharap kita bisa segera m e-
nuntaskan urusan rum ah tangga ini dalam w aktu sem alam ,
karena keesokan hariny a, saat fajar, aku harus pergi ke ta-
nah lapang di dekat Gadok. Beberapa w aktu lalu, setelah m e-
nerim a berita itu, kulay angkan surat kepada Tuan Adang
Kar ta w iria, berisi perm intaan pengem balian kehorm atan.
Kau tahu? Sebuah tantangan duel. Aku berada di pihak y ang
m em in ta, m aka ia berhak m em ilih tem pat dan senjatany a.
Aku gem bira bahw a kekasihm u seorang lelaki berny ali. Ia
m enerim a tantanganku dan tam pakny a ingin terlihat seper ti
bangsaw an dalam peran-peran stam bul y ang sering ia ba-
w a kan. Ia m em ilih anggar dibandingkan pistol. Mungkin ia
ber m ak sud m enjadikan peristiw a ini sebagai judul operany a
bila selam at. Kupikir bagus juga, “Stam bul Dua Pedang”.
Eng kau boleh m enontonny a jika m au.
Bicara soal hidup atau m ati, jangan khaw atir, akan ada
notaris, saksi, serta petugas m edis y ang m enentukan apakah
salah satu dari kam i m asih berny aw a atau tidak. Dokum en
dan surat w asiat juga sudah diurus. Pendek kata, siapa
24
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

m engetuk pintu rum ahm u siang hariny a, tentulah y ang pa-


ling berhak m enjadi suam im u.

Malang, 7 Novem ber 1927


Suam im u,
Matthijs Adelaar van Rijk

Angin m alam bercam pur titik hujan m enerpa tubuh, m em -


basahi kebaya hingga ke pangkal lengan dan sebagian dadaku.
Mem icu gigil yang bersum ber dari rasa dingin sekaligus takut
yang teram at sangat. Tak guna m enebak siapa anggota opera
yang berkhianat walau telah m enelan uang suapku. Yang je-
las, Adelaar adalah juara pertam a lom ba anggar di klubnya
ta hun lalu. Adang tak akan sanggup m enahan satu peluang
passado* darinya. Teringat kem bali opera klasik “Pranacitra-
Rara Mendut”, yang akan dipentaskan oleh Adang dan tem an-
tem annya di Pasar Gam bir. Apakah kam i akan bernasib sam a
se per ti kedua tokoh dongeng itu? Sem oga pahlawan stam bul
itu tidak keras kepala dan bersedia pergi bersam aku.
Entah ke m ana.

J akarta, 1 J uli 20 12

* Serangan m enusuk dalam pertandingan anggar.


http://pustaka-indo.blogspot.com

Keringat dan Susu

“LETNAN PIETER VERDRAGEN, Sir!” sebuah seruan m em -


buatku menunda menyalakan rokok. “Pesan radio dari Bravo!”
“Godverdom m e. Sam pai m ana m ereka, Rufus?” kutatap
ko pral tam bun di seberang m eja yang tam pak sibuk dengan ra-
dio nya. “Seharusnya m ereka sudah di sini setengah jam yang
lalu.”
“Masih di sekitar Meester Cornelis,” sahut Rufus. “Pecah
ban.”
Kualihkan pandangan kepada keduabelas anak buahku.
Per siap an patroli m alam ham pir tuntas. Kendaraan sudah
diba ris kan di depan ruang brieing. Sebuah truk m ini Dodge
ber atap kanvas, serta sebuah jip Willys terbuka, yang bangku
bela kangnya dibongkar untuk menempatkan sepucuk Browning
M 1919 kaliber 7.62 m m . Ini perubahan besar yang m elegakan.
Minggu lalu, jatah kendaraan kam i hanya em pat buah zijspan*
J e pang.
“Rufus,” kulirik arloji. “Katakan, kita tidak m enunggu. Si-
la kan lurus ke Senen. Kita bertem u di depan jem batan Passer
* Motor gandeng sam ping.
26
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Baroe pukul 23.0 0 . Kita akan m enyusuri jalur yang biasa di-
tem puh oleh Batalion 10 : Weltevreden, Molenvliet, Stadhuis,
pu tar balik, Noordwijk, lalu Passer Baroe.”
“Tapi, Sir?” Rufus kelihatan ragu. Ia m em ang belum per-
nah patroli m alam dan tahu betapa berbahaya jalur yang akan
kam i lewati.
“Hei, Inggris,” J oris Zonderboots, si kopral Indo-Belanda,
m en dekati Rufus. “Takut pertem puran jarak dekat di jalanan
be cek? Tenanglah. Belum tentu bersua dengan bandit-bandit
itu. Ka laupun m ereka m enghadang, apa boleh buat,” ia m eniru
ge rak an m enggorok leher dengan telunjuknya. “Percayalah,
dua be las orang kita setara dengan seratus cecunguk itu.”
“Bahasa Inggrism u buruk, Mestizo,”* Rufus tam pak ter-
singgung. “Bukan jum lah orang, tapi senjata. Sejak para Nippon
bo doh itu m em biarkan gudang senjata m ereka diram pok, kita
tak pu nya gam baran pasti seberapa besar kekuatan lawan,”
Rufus m engge rutu, tetapi wajahnya kem bali cerah m elihat
rokok yang ku angsurkan ke bawah hidungnya. “Betul, Letnan?”
ia m e no leh kepadaku, seolah m inta dukungan.
“Kau orang radio, m estinya kau yang bercerita,” aku m en-
co ba m enyalakan kem bali rokokku. “Mereka banyak, tapi ti-
dak utuh. Ada tiga unsur yang saling berebut pengaruh. Per ta -
m a, pa ra nasionalis. Ini tanggung jawab para diplom at, bu kan
urus an kita. Lalu para bandit, tukang pukul, jawara, yang ter-
ga bung da lam laskar. Ada banyak kelom pok. Mereka ter bia sa
m enggu na kan senjata, tapi tidak terarah. Tak jarang m e nye -
rang un tuk m eram pok. Terakhir, yang m enam akan diri Ten ta-
ra Ke am anan Rakyat.”
“Dan Resim en Tangerang term asuk yang terakhir?” Die-
derik Kjell, kopral Belgia yang m alam ini bertugas m enjadi so-
pir ku, angkat bicara.

* Orang berdarah cam puran—bahasa Spanyol.


27
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 14 November 2010.


28
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Hati-hati dengan yang itu,” kuhirup rokokku dalam -da-


lam . “Tangguh, rapi, dan idealis. Banyak m antan tentara PETA
di situ.”
“Bagaim ana m em bedakan laskar dan tentara republik?
Wa jah m ereka sam a dungunya,” Dam ien Shaun, si penjinak
bom da ri Irlandia, m engangkat tangan.
“Kau akan tahu saat berhadapan dengan m ereka, Kopral.”
“Baiklah, m ereka boleh berhadapan dengan veteran Ant-
werp ini,” Diederik m enepuk dada dengan pistolnya.
“Oh, pernah di Antwerp?” Kopral Geerd de Roode yang ba-
ru selesai m em asang senapan di m obil m em buka kaus hijau-
nya yang basah keringat. “Sebagai pem bebas atau yang dibe-
bas kan?” lanjut De Roode, diikuti gelak tawa serdadu lain.
“Kusobek m ulutm u,” Diederik m em buru De Roode. Tapi
se ge ra ditarik oleh rekan-rekannya. Mau tak m au aku ter se-
nyum pa hit. Pecundang-pecundang ini tak tahu, di balik ke-
elok an alam Hindia, m aut m engintai dari seluruh pelosok.
Beberapa bulan lalu pada acara wejangan pem bekalan un-
tuk para perwira m enengah yang baru tiba dari Eropa, Ko lo nel
Agerbeek, kepala divisi pasukan spesial Hindia, juga m e ne gas-
kan betapa berbahaya hidup di Batavia saat ini. Bahkan untuk
tentara.
“Kita tahu, pem icunya adalah kekosongan kekuasaan se-
te lah J epang takluk,” katanya. “Ditam bah kedatangan kapal
pe rang Sekutu yang tertunda. Dan puncaknya, berita tentang
ber dirinya Republik Indonesia. Sejak itu, kita m enyaksikan se-
de ret kejahatan yang belum pernah terjadi di Hindia. Pe ram -
pas an harta orang Eropa atau tuan tanah Tionghoa, pem bu-
nuhan keji sepanjang jalur Molenvliet– Risjwijk. Anda tahu?
Me re ka m encincang orang Eropa dan m em asukkannya dalam
ka rung. Pria m aupun wanita.”
“Mengapa Nippon diam saja, Heer?” tanyaku waktu itu.
“Entahlah,” jawab Kolonel Agerbeek. “Tam paknya m ereka
29
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

diam -diam bersim pati kepada pergerakan pribum i. Terbukti


hanya sedikit yang m em pertahankan diri ketika dilucuti oleh
tentara republik.
“Untunglah ada Batalion 10 , yang anggotanya kebanyakan
man tan tentara KNIL,” sambungnya. “Begitu dibebaskan dari
pen ja ra J epang, m ereka m enyatukan diri, m enyusun ke kuat-
an, dan m enguasai keadaan. Kita bisa m eniru cara m ereka.
Mem ba las teror dengan teror. Berkeliling kota tengah m alam ,
ber te riak-teriak sam bil m elepas tem bakan ke atas dan m en cu-
lik orang yang dicurigai sebagai tentara republik.”
Aku m anggut-m anggut.
Ya, tentu saja. Menguasai m edan bukan persoalan sulit bila
anggota pasukan berasal dari satu bangsa dan m em ang diran-
cang sebagai kekuatan penggem pur. Sayangnya, kam i adalah
pa su kan antarbangsa, yang diharapkan m am pu m e redam ge-
jo lak revolusi m elalui pendekatan yang cerdik, berm artabat,
ser ta m enghasilkan kem enangan berskala besar. Bahkan kalau
bisa, m enang tanpa harus m enum pahkan sebutir pelor pun.
Bagaim anapun, rencana awal tetap kam i jalankan. Setiap
m alam , sepuluh regu patroli disebar. Selain rutin m enjaga ke-
am an an , juga m elatih koordin asi an tarsatuan sebelum hari-H
Operasi Sergap yan g ren can an ya akan digelar se rem pak di se-
luruh Batavia akhir Desem ber nanti.
“Letnan, kita berangkat?” Sersan J am es Richm ond, orang
kedua dalam rom bongan, m enepuk pundakku, m engem bali-
kan pikiran ke ruang brieing. Aku m engangguk, lalu bangkit
dari kursi diikuti yang lain.
“Mengapa tertawa? Angkat pantatm u!” bentakku kepada
J oris.
“Oi, Sersan!” J oris melambai, memanggil Richmond. “Kurasa
benar, Letnan Verdragen m elam un. Teringat gadis Sunda ke-
m arin sore itu agaknya.”
“Gadis Sunda? Oh, tem an si pencuci baju?” Rufus m em utar
30
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

tas radionya ke punggung. Pem bicaraan m enyangkut wanita


pribu m i selalu m enarik perhatiannya. “Aku tak pernah bisa
m e nye but nam anya. Seperti m engatakan ‘ace’,* bukan?”
“Euis,” kata J oris. “Lihat m ulutku. E-uis. Tahan sebentar di
rahang, lalu lepaskan. E-uis. Mudah bukan? Seperti m e nga ta-
kan ‘huis’, tapi huruf awalnya diganti dengan ‘e’.”
“Mudah bagim u, lidahm u sebengkok kelakuanm u,” Rufus
m enggerutu.
“Tidak perlu lidah untuk m enyebut nam a itu, tolol!” J oris
terbahak.
“Hati-hati, jangan ganggu gadis-gadis itu,” kuem buskan
asap rokok terakhir, lalu kuinjak puntungnya.
“Anda terdengar sangat serius, Letnan,” Sersan Richm ond
mengokang Lee Enield­nya.
“Aku serius. Bisa saja m ereka m ata-m ata yang disusupkan.
Ke cua li itu, tem an-tem an m ereka, para fanatik, akan m enjagal
ga dis-gadis itu bila tahu m ereka punya kisah asm ara dengan
sa lah satu dari kita,” aku m em batalkan niat m engail rokok
ke dua. “Ah, tapi hukum an berat untuk warga yang dianggap
m em ban tu tentara pendudukan tak hanya terjadi di sini. Ta-
hun la lu aku ikut Divisi Infanteri ke-30 m em bebaskan Paris.
Ke tika m asuk kota, selain hujan bunga dan cium an, kam i disu-
guhi pe m an dangan m engenaskan. Serom bongan wanita diarak
te lan jang. Ram but m ereka tak bersisa. Wajah m ereka lebam .”
“Kolaborator Nazi?” tanya Rufus.
“Ya,” sahutku. “Walau m ungkin juga hanya tukang cuci,
atau perem puan biasa, yang tidur dengan Nazi karena suam i
m e re ka m ati setelah m ewariskan anak-anak yang sedang ke-
la par an di rum ah. J adi sekali lagi, jangan sentuh m ereka. Bila
kita sopan, m ereka akan senang, lalu m enyam paikan hal-hal

* Kartu As—bahasa Inggris.


31
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

baik tentang kita. Dan bila berita kebaikan itu tersebar ke se-
luruh desa, kita sudah m enang satu langkah.”
“Anda pandai dan m urah hati, Letnan. Kalau gadis Sunda
itu m endengar, ia tentu bersedia m enikah denganm u,” Rufus
terpingkal-pingkal, disusul yang lain.
“Euis! Nam anya Euis. Lihat m ulutku. E-uis,” sergah J oris.
“Aaah, tutup saja m ulutm u, Indo keparat!” Rufus m enyepak
kaki J oris, m em buat tawa kam i sem akin keras.
“Cukup. Kita sudah sangat terlam bat. Rufus, terus buka
kon tak dengan Bravo dan m arkas,” aku m em eriksa pistol, m e-
m as tikan kam ar pelurunya terisi penuh.
Sebentar kem udian kam i telah m em belah m alam , m e nyu-
suri Water looplein, m engarah ke kota lam a Batavia. Aku, J oris,
dan Diederik m engisi kabin depan truk yang m em bawa en am
ser da du di bagian belakan g. Sem en tara Sersan Richm on d,
Ru fus, dan Geerd de Roode m em buntuti kam i dengan jip.
“Anda lahir di sini, Letnan?” Diederik m em ecah kesunyian.
Kedua tangannya lebih sering dipakai m em egang botol bir dan
rokok dibandingkan roda kem udi.
“Di sini? Hindia Belanda, m aksudm u? Ya, aku lahir di
Bandung.”
“Keluarga tentara?”
“Bukan. Ayahku kepala perkebunan teh. Akrab dengan
pen du duk pribum i. Seorang dari m ereka bahkan m enjadi ibu
susu ku sam pai aku berusia lim a tahun, karena ibu kandungku
m e ninggal tak lam a setelah m elahirkanku.”
“Maksudmu, sampai usia lima tahun kau masih menetek?”
“Pertanyaanm u m em buktikan bahwa kau m em ang bukan
orang Hindia, Kopral,” aku tersenyum . “Wanita pribum i punya
cara cepat untuk m endiam kan anak asuh yang rewel. Pertam a,
m engusap kem aluan si anak. Terutam a anak lelaki.”
“Itu betul,” J oris yang duduk dekat pintu kiri, m enim pali.
32
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Whoa,” Diederik terbahak. “Aku suka itu. Lanjutkan.”


“Yang kedua, menyodorkan puting susu mereka. Ada atau
tidak air susunya, akan menenangkan si anak. Dalam ka sus ku,
air susu ibuku tetap keluar. W ell, setidaknya itu yang ku ingat.”
“Pantas bahasa Melayu dan Sundam u begitu fasih,” potong
J oris. “Lim a tahun m enelan susu pribum i.”
Kam i sem ua tertawa.
“Ya. Masa lalu yang m anis. Aku ingat, ayahku pernah m e-
nye lengga ra kan pesta tahun baru. Yang hadir sekitar lim a pu-
luh orang. Meja-m eja besar disusun keliling halam an. Kam i
m a kan m a lam , m enunggu peralihan tahun, dilayani jongos-jo-
ngos ber baju putih dan bersarung.”
“Sebaiknya aku m erokok lagi. Ceritam u m em buatku la-
par,” J oris m enepuk perut sam bil m encari pem antik di saku
ja ket. “Kau beruntung lahir di tengah keluarga kaya, Letnan.
Aku anak kolong. Lim a bersaudara. Lahir dari seorang gun dik
J a wa. Ayahku m ati dalam perang Aceh dan tak ada tu an Be-
lan da yang m au m eneruskan m enjadi suam i ibuku. Akhir nya
ibu ke lu ar dari tangsi, kem bali kepada orangtuanya se te lah
m e nitip kan kam i, anak-anaknya, di sebuah rum ah pan ti asuh-
an. Be la kangan kam i m endengar, ibu m ati dirajam pen du duk
desa. Yah, seperti ceritam u tadi, ia dianggap pelacur, pengkhi-
anat, karena pernah hidup bersama kair Belanda. Masa kecil
yang sulit. Di kalangan Belanda, kam i tidak pernah dite rim a
utuh. Se m en tara di lingkungan pribum i m enjadi ba han ce-
m ooh,” api dari pem antik m em buat sepasang m ata J oris se-
per ti berkobar.
“Aku tahu. Masuk dinas ketentaraan Belanda adalah lang-
kah tepat. Setidaknya kau sudah m em ilih sisi berpijak,” aku
m en co ba m enunjukkan sim pati, walau terus terang tetap tidak
pa ham , bagaim ana seharusnya m enjaga sikap kepada para
Indo. Barangkali karena aku terlalu percaya pendapat um um ,
bah wa m ereka licin, perengek, dan sulit diatur.
33
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Anda lam a di Eropa, tidak keberatan ditem patkan di sini?”


Diederik m encoba m engalihkan pem bicaraan.
“J ustru aku yang m inta. Bagiku, Hindia Belanda seperti ne-
ge ri ajaib yang senantiasa m enawarkan penjelajahan spiritual.
Mem buatku ingin kem bali m eski aku punya istri dan rum ah di
Beziers,” sam bungku.
Perlahan-lahan kam i m em asuki kawasan Molenvliet. Se-
m a sa kecil aku beberapa kali ikut ayah m enonton festival lam -
pion di atas kali Ciliwung. Betapa berubah keadaannya saat ini.
Sepi dan gelap. Seperti daerah yang ditinggalkan penduduknya
karena terjangkit wabah cacar. Wakil peradaban m odern se ka-
ligus penanda kehidupan di sekitar situ hanyalah sorot lam pu
dan derum m esin kendaraan kam i.
“Viva Indonesian Republic. Freedom once and forever.
Awas, an jing NICA,” Diederik m em baca coretan pada beberapa
din ding bangunan lalu m enoleh padaku. “Anjing?” dahinya
ber kerut.
“Wuf-wuf,” sahutku.
Ham pir saja pecah tawa kam i seandainya J oris tidak ber-
teriak tiba-tiba: “Sebelah kiri! Dua atau tiga orang!”
Diederik m em banting kem udi ke kiri. Beberapa sosok ba-
yangan tam pak berkelebat di dinding sebuah depot listrik.
“Hati-hati. Mungkin pancingan!” seruku.
Derit rem m em buat jip di belakang kam i ikut waspada dan
berputar ke sisi berlawanan. Agaknya m ereka lebih beruntung.
Sebentar kem udian kam i m endengar rentetan senapan.
“God! Mengapa harus m elepas tem bakan?” aku m enggeleng,
tapi tak urung kubuka pengam an Vickers-ku.
Para serdadu di belakang truk berlompatan turun, lalu ber-
pen car di sekelilng lokasi. Aku, J oris, dan Diederik mengham -
piri jip. Tam pak De Roode dan Sersan Richm ond m e nodong-
kan pistol pada seseorang yang tertelungkup di tanah dengan
34
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

kaki dan tangan terbuka lebar, sem entara Rufus tetap di dalam
jip.
“Yang satu lolos,” ujar Richm ond.
Aku m engangguk. “J oris, Diederik, geledah dia.”
J oris m enjam bak orang itu, m em aksanya duduk. Ia m asih
be lia. Mungkin usianya sekitar 14 atau 16 tahun. Selem bar ikat
kepala m erah putih m elingkar di kepalanya. Wajahnya m e nyi-
rat kan ketakutan teram at sangat. Bibirnya yang tebal bergetar
hebat.
“Godverdom m e! Si bodoh ini kencing di celana,” pekik
J oris, sam bil m engayun telapak tangan. Pem uda itu m enjerit,
m eraba pipinya.
“Tangan di kepala!” bentak J oris dalam bahasa Melayu. Pe-
m u da itu m erintih berlarat-larat, seolah J oris baru saja m en-
cam buknya dengan seutas cem eti raksasa.
“Kow e tentara republik?” cecar J oris.
Lagi-lagi hanya terdengar rintihan.
“Apa kow e bisu? Mengapa pakai ikat kepala dan seragam ?
Apa kow e m au bikin onar? Mau sabotase?”
“Ia bersih, tapi apa ini?” Diederik m em utar senter ke dada
si pem uda.
“Lencana m erah putih,” kataku.
J oris m erenggut lencana itu, lalu dijejalkannya ke m ulut si
pem uda. “Kalau tidak bicara juga, kow e telan ini saja. Telan!”
Si pem uda m enggeliat-geliat. Air m ata m em banjiri wa-
jah nya. Ada darah di bibirnya. Barangkali tergores peniti len-
cana.
Tiba-tiba terdengar lolongan nyaring. Ham pir saja sena pan
kam i m eletus. Entah dari m ana, m uncul seorang wanita ber ba-
dan tam bun dalam balutan kebaya dan kain lusuh, lalu ber su-
jud m encium i kaki J oris sam bil berteriak-teriak histeris. Bebe-
rapa tentara yang sem ula m enjaga lokasi bersiap m engham piri,
tapi segera kuberi tanda agar tetap di tem pat.

pustaka-indo.blogspot.com
35
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Apa katanya?” agak gugup, J oris melirik ke arahku seraya


ber usaha membebaskan kakinya dari cengkeraman wanita itu.
“Tidak jelas,” aku m em asang telinga. “Bahasa J awa. Hanya
sedikit yang tertangkap. Pem uda itu anak sulung. Kurang
waras. Mim pi jadi tentara.”
“Nonsense. Pasti dia kurir penghubung. Kalau bukan, dari
m a na seragam nya?” J oris m endorong wanita itu. “Tolong
enyah kan m onster ini, sebelum kuledakkan kepalanya.”
Diederik m enitipkan senternya kepadaku, kem udian m e-
narik tubuh wanita itu hingga nyaris terjengkang. Kam i bisa
m e lihat bahwa di balik kebayanya yang longgar, wanita itu tidak
berkutang. Buah dadanya m enggantung bebas, seperti pepaya
raksasa dengan sepasang puting besar berwarna cokelat gelap.
Agak ke bawah, perutnya yang lebar terlilit kencang oleh kain
putih dengan banyak tali.
“Tam paknya ia baru saja punya bayi,” kataku.
Sem entara kam i tertegun, si pem uda m elepaskan diri dari
jepitan tangan J oris, lalu m enubruk ibunya. Meraung-raung.
“Biarkan,” aku m enahan langkah J oris.
Sunyi. Tak ada suara lain kecuali isak tangis wanita dan
pem uda tadi. Angin m alam yang lem bap berputar sejenak di
antara kam i, m engantarkan sejum put arom a yang sungguh tak
asing bagiku.
“J oris, kem balikan lencana bocah itu,” gum am ku. “Kita
pergi.”
“Tapi, Letnan,” J oris m enatap wajahku.
“Lebih baik kita cari yang lolos tadi,” aku m em utar badan,
lalu m elangkah m enuju truk diikuti Diederik.
Di antara ayunan kaki, berangsur hadir kem bali ingatan
m a sa kecil itu, m em enuhi relung pikiran, seolah baru terjadi
ke m a rin: Bangku bam bu di kam ar belakang rum ah Ayah, wa-
jah ram ah seorang wanita Melayu, arom a m inyak kelapa pe-
licin ram but, dan terakhir yang paling kuat adalah bau asam

pustaka-indo.blogspot.com
36
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

keringat bercam pur susu yang berkum pul di sekitar puting


buah dada cokelat yang ranum .
Usai bersisir, wanita itu m engikat ram butnya yang hitam
berkilau, m engatur bantal, kem udian berbaring m iring di si-
siku. Entah, berapa usiaku kala itu. Sam bil bersenandung, ta-
ngan yang lem but itu m endorong kepala, m engarahkan bibir
ke cilku m enem ukan ujung puting.
Manakala tercecap olehku rasa asam itu, kuketatkan jepit-
an bibir, lalu perlahan-lahan kutarik dengan ujung lidah.

J akarta, 24 Oktober 20 10

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Racun untuk Tuan

BERANDA BERBENTUK SETENGAH lingkaran, dan perem -


pu an kecil di hadapanku. Sudah ratusan kali aku duduk di be-
ran da ini bersam anya. Biasanya m ulai pukul lim a, sepulangku
bekerja. Persis seperti saat ini. Ia akan datang dengan kopi serta
kudapan dalam stoples. Lalu kam i bercakap sedikit tentang pe-
ris tiwa hari itu, atau sekadar term angu m enatap kaki bukit, m e-
m er hatikan galur-galur ladang tem bakau yang tam pak seperti
perm ukaan kasur berwarna hijau tua. Pem andangan luar biasa
yang tak pernah kujum pai di tanah kelahiranku. Nam un karena
sejak pagi berkutat di tengah ladang tem bakau, seringkali aku
lebih tertarik m em benam kan diri di balik lem baran koran.
Apabila itu yang terjadi, ia m em ilih diam , atau m enisik
baju sam bil sesekali ikut m enikm ati kudapan. Itulah sebagian
be sar hariku bersam anya, sebelum sem ua hal kem bali surut
se per ti awal kedatangannya di rum ah ini. J auh, asing, bahkan
lebih parah lagi: ham pa.
Dan sore ini, keham paan itu m enem ukan wujudnya: Kopor
besar, buntalan kain berisi barang-barang pribadi, serta kebaya
ungu yang dengan kesadaran m engharukan dipakainya untuk

pustaka-indo.blogspot.com
38
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

m enggantikan kebaya putih berenda yang telah akrab dengan


lekuk tubuhnya selam a enam tahun terakhir.
Sesungguhnya telah kum inta ia m em bawa seluruh ke-
ba ya putihnya. Aku tak m au istriku kelak m elihat tum puk an
ka in itu di dalam lem ari. Tapi ia m enolak. Takut dianggap
m enyalahgunakan sim bol status, yang kini tak lagi disan dang-
nya. Pernyataan itu ibarat tam paran keras di wajah. Mem bu at-
ku ber pikir, siapa pecundang gila horm at yang dulu m em buat
per atur an aneh bahwa seorang nyai harus bisa dibedakan se-
cara kasat m ata lewat warna bajunya?
Mengapa sehelai kebaya—dan m aksudku m em ang benar-
benar kain kebaya—yang berwarna putih m em iliki nilai lebih
diban dingkan warna lain? Apakah karena dianggap paling de-
kat dengan warna kulit orang Eropa?
“Im ah,” aku berhenti sebentar seolah baru sadar, selam a ini
aku tak pernah m em anggil nam a Belandanya. Ya, kurasa nam a
yang ia ucapkan saat tiba pertam a kali dulu m em ang lebih co-
cok untuknya dibandingkan Maria Goretti Aachenbach.
“Im ah, dengarkan.”
“Saya, Tuan,” jawabnya lirih dalam bahasa Melayu. Di wa jah-
nya, kesedihan terpahat jelas meski berusaha disem bunyikan.
“Sekali lagi, aku tidak m encam pakkanm u. Engkau m asih
anggota keluarga,” kugigit pangkal cerutu, lalu kusulut ujung-
nya dengan korek api. “J adi, kalau ada m asalah, terutam a ke -
u angan….” aku m engangkat bahu, berusaha m enem ukan ka li-
m at lanjutan, tapi tak ada yang hinggap di benak.
“Tuan tak usah m em ikirkan saya,” sahutnya. “Tetapi se se-
kali jenguklah Sinyo dan Nona.”
“Tentu, itu toh rumahku juga,” gumamku. “Katakan kepada
anak-anak, mereka boleh menginap di sini setiap akhir bulan.”
Im ah m engangguk. Kini air m atanya benar-benar ter ge lin-
cir. Ingin sekali kuraih kepala berhias bunga m elur itu, sem bari

pustaka-indo.blogspot.com
39
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

m eletakkan tanganku di pipinya seperti tahun-tahun kem arin,


atau m em bisikkan sesuatu ke cuping telinganya. Bahkan se-
sungguh nya, ingin sekali kucium bibirnya perlahan untuk
m em be rinya ketenangan, bila m em ang itu yang ia perlukan
sa at ini. Sayangnya, tak tersedia lagi pilihan yang lebih baik
un tuk m enyelam atkan sesuatu yang hanya kupinjam sebentar
un tuk m enggenapi kekosongan hidupku tem po hari.
Aku m enghela napas. Kuham piri tum pukan barang di sisi
m eja. Kutarik sebuah papan berbingkai keem asan. Potret anak
lelaki dan perem puan, tertawa girang dalam baju seragam pe-
laut. Anak-anakku. Lahir dari rahim Im ah.
“Mereka punya wajah Belanda. Mereka akan baik-baik saja.
Hanya saja….” lagi-lagi aku tak berhasil menuntaskan kalimat.
Im ah m enyeka m ata.
“Ini dunia yang m ustahil kaupaham i, Im ah. Akupun sering
kesulitan m em aham inya,” gum am ku.
Ya, m ana m ungkin ia, dan barangkali seluruh penduduk
Hin dia Belanda ini paham , betapa seorang pegawai swasta se-
perti aku sanggup hidup terpisah ratusan kilom eter dari tanah
air di Eropa. Lepas dari bangsanya, lepas dari peradaban, un-
tuk ditem patkan di sebuah perkebunan tem bakau terpencil di
De li? Aku m em ang tak akan sanggup… bila hanya sendirian.
Minggu-m inggu awal sebagai asisten adm inistratur m e ru-
pa kan m asa tersulit dalam hidupku. Ada perasaan ter ku cil, se-
pi, gelisah, yang sangat m engganggu sebelum ber ha sil m e m i-
cingkan m ata setiap m alam . Mungkin lantaran m a sih terbawa
sisa m asalah dalam sehari: Menghukum kuli pem be ron tak,
m em be ri sanksi kepada m andor atau tandil yang m a las bekerja.
Me m as tikan bahwa siklus pekerjaan berputar sem pur na agar
pa sar tem bakau di Eropa m endapat pasokan cukup.
Sesungguhnya aku tidak benar-benar sendiri. Ada seorang
jongos yang m em bersihkan rum ah serta m enyiapkan m akanan
sederhana untuk sarapan. Ia datang subuh, pulang m enjelang

pustaka-indo.blogspot.com
40
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

pustaka-indo.blogspot.com
Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 27 Februari 2011.
41
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

pukul tujuh petang. Ada juga seorang tukang kebun m erangkap


tukang kayu yang tidur di ruang belakang.
Saat aku m ulai terbiasa dengan pola hidup seperti itu, da-
tanglah undangan m akan m alam di kediam an sepku, sang ke-
pa la adm inistratur perkebunan, Tuan Dirk van Zaandam . Se le-
sai santap m alam , Tuan Van Zaandam m enepuk bahuku.
“Sudah waktunya engkau punya pengurus rum ah tangga,
Fred. Di negeri ini, akan terlihat aneh bila urusan rum ah tangga
kaukerjakan sendiri.”
“Aku sudah punya, Heer. Anda sudah bertem u Unang,
yang tem po hari m em perbaiki m eja kerjaku, bukan?”
Jawabanku membuat Tuan Van Zaandam terpingkal-pingkal.
“God Alm achtig,” serunya di antara tawa. “Bersembunyi di
ma na engkau selama ini, Fred? Apakah mereka tidak pernah me-
nga ta kan hal ini kepadamu? Tak ada lagikah orang baik ha ti yang
membagikan brosur ‘Tata Cara Hidup di Hindia’? Itu brosur yang
sangat bagus. Tuntunan lengkap menyesuaikan hidup di sini.”
“Pernah kubaca, m eski tak yakin apakah brosur itu yang
An da m aksud. Tapi aku tahu kebutuhan rum ah tangga di sini
agak berbeda. Itulah sebabnya aku m em elihara jongos dan tu-
kang kebun untuk….”
“Fred, Fred, Fred,” Tuan Van Zaandam m enggeleng-ge-
lengkan kepala. “Lupakan brosur itu.”
Ia m asuk sebentar ke dapur, kem udian keluar lagi m eng-
gan deng seorang wanita pribum i, yang tadi sepintas kulihat
m e nyiap kan m eja m akan.
“Fred, ini pengurus rum ah tangga. Nam anya Mina,” Tuan
Van Zaandam m erangkul bahu wanita itu, m em buatku sedikit
tercengang.
“Mina, sedikit salam m anis untuk Tuan Aachenbach?” Tu-
an Van Zaandam m endorong Mina ke hadapanku.
Wanita berkulit cokelat itu cekikikan, mencubit bahu Tuan
Van Zaandam, lalu membungkuk kepadaku. “Selamat petang. Se-
moga Tuan suka hidangan tadi,” sapanya dalam bahasa Melayu.

pustaka-indo.blogspot.com
42
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Aku berusaha m em asang senyum walau dalam pikiran


ber ke ca m uk seribu satu hal yang saling bertentangan. Sudah
ten tu perkara m oral tidak term asuk di dalam nya, karena sejak
ber angkat dari Holland telah kutetapkan bahwa pekerjaan
yang akan kugeluti di Hindia ini tidak banyak m em butuhkan
per tim bangan m oral. Apalagi cinta kasih.
Beberapa hari kem udian, atas rekom endasi Tuan Van
Zaan dam dan Mina, aku m em ilih Im ah, seorang wanita yang
ber angkat bersam a rom bongan kuli wanita dari J awa untuk
m en ja di pem etik daun tem bakau. Tubuhnya kecil, kulitnya co-
ke lat m uda. Wajahnya, m enurutku, tidak buruk untuk ukuran
re kan sebangsanya, apalagi untuk daerah perkebunan ini. Di-
tam bah lagi, saat datang ke rum ah ia sudah didandani habis-
habisan oleh Mina, sehingga tam pak bersinar di balik kebaya
putih berendanya.
“Dia sudah digem bleng m atang untukm u,” Tuan Zaandam
m engedipkan m ata.
Aku tak m enyangkal. Kehadiran Im ah m enghasilkan ru-
tin itas baru yang terasa janggal tapi menyenangkan. Mungkin
karena ia cukup cerdas, tidak seperti kebanyakan wanita pri-
bum i lain yang sulit sekali diajak bicara.
Pagi-pagi buta, seluruh pelosok ruangan sudah rapi dan
ber sih. Di m eja m akan terhidang kopi panas kental, lengkap
de ngan roti panggang, selai, dan telur rebus. Tengah hari, ia
m e nyu ruh Unang m engantar m akan siang dalam rantang. Ma-
lam nya, setelah seluruh rangkaian kegiatan tuntas dikerja kan,
Im ah akan m engham piriku di ranjang. Menuang m inyak go-
sok, lan tas m em ainkan jem arinya dari ujung kepala hingga
ujung kakiku. Meluruhkan kepenatan yang m enggelayuti tu-
buh se lam a satu hari. Seringkali kegiatan ini berujung pada ge-
lin jang perem puan itu di pelukanku. Ya, aku dan Im ah. Tuan
dan pengurus rum ah. Agak aneh pada m ulanya, tapi kam i m e-
lakukannya cukup sering.

pustaka-indo.blogspot.com
43
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Biasanya setelah gelora besar itu, untuk m enit-m enit yang


cukup lam a, kam i berbaring saling hadap, tanpa busana. Ma-
sing-m asing dengan serpih pikiran, yang jarang sekali kam i
ba gi. Untuk apa berbagi? Sem akin lam a bersam anya, sem akin
ku ke ta hui bahwa wanita Hindia sangat piawai m em baca pikir-
an. Sekali m elihat raut wajah, m ereka tahu persis apa yang ki-
ta bu tuh kan. Bagaim ana dengan sem ua berita buruk tentang
gundik jahat, pem alas, boros, keras kepala, yang akhirnya ter-
pak sa m enanggung siksa tubuh dari pasangannya? Ah, tidak
per nah. Tak ada itu di dalam rum ah tanggaku.
“Tetapi kau harus tetap waspada,” kata Tuan Zaandam pa-
da suatu kesem patan. “Sekali kausakiti, atau kaubuat cem bu-
ru, saat itu pula kau harus hati-hati terhadap m akanan dan m i-
num an yang m ereka hidangkan.”
“Pil nom or 11?” tanyaku yang segera disam but derai tawa
Tuan Zaandam . Aku m engingatnya selalu.
Pada tahun kedua dan ketiga, lahirlah anak-anakku. Se per-
ti keluarga lain, kegem biraan m enjadi seorang ayah tak bisa
ku sem bu nyikan. Apalagi m enem ukan kenyataan bahwa de-
ngan separuh darah pribum i m engalir di tubuh m ereka, J oost
dan Kaatje tum buh sehat. Tidak m udah sakit seperti anak-anak
Be landa totok yang kukenal.
Barangkali lantaran tak lagi m em ikirkan urusan rum ah,
aku bisa m em usatkan perhatian sepenuhnya pada pekerjaan.
Se jum lah bonus berhasil kuraih sebagai im balan naiknya tar-
get produksi serta rendahnya kasus perlawanan kuli di dalam
kelom pok kerjaku.
Mem asuki tahun kelim a, aku naik pangkat m enjadi ad m i-
nis tra tur dan berhak m engam bil cuti selam a sebulan ke Be lan-
da. Mula-m ula aku singgah ke Rotterdam , m enyerahkan la por-
an kerja kepada induk perusahaan, lalu pulang ke Spijkenisse,
m enengok ibuku yang hidup seorang diri.
Penuh sukacita, Ibu m engundang sejum lah tetangga

pustaka-indo.blogspot.com
44
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

m asa kecilku m enikm ati m akan siang sederhana di halam an


belakang. Di situlah, di antara gelak tawa antrean hidangan, aku
bersua dengan Helena Huberta Theunis, putri Tuan J ohannes
Theunis, tem an Ayah.
Helena terpaut usia lim a tahun denganku. Aku m e nge-
nangnya sebagai gadis kecil yang kelaki-lakian. Selalu ikut m a-
in perang-perangan bersam a kam i, gerom bolan anak lelaki.
Te linga nya lebar, sehingga dulu kam i juluki dia ‘si gajah’. Si-
a pa sangka kini m enjelm a m enjadi gadis jelita yang anggun.
Ka m i banyak berbincang, m enjahit kem bali perca kenangan,
dan m enjadi sangat akrab.
Keesokan harinya, kutegarkan hati bertandang ke rum ah
keluarga Theunis m enem ui Helena. Seperti kem arin, sam butan
kedua orangtuanya dem ikian terbuka. Aku m em ang bukan
orang asing. Dulu Mam a Theunis kerap m engundang pasukan
anak lelaki m enikm ati panekuk buatannya. Lagipula orangtua
m ana yang keberatan anak gadisnya didekati seorang ke pa la
perkebunan tem bakau Hindia? Kulakukan beberapa kun jung-
an susulan yang sem akin m enguatkan hati. Ya, sebuah ke pu-
tusan besar harus kubuat.
Tepat di akhir bulan, kuajak Helena berkeliling kota dengan
kereta kuda milik almarhum ayahku. Ia membawa serta Anneke,
seorang tem an karib yang juga berperan sebagai chaperon. Se-
jak pagi, tak putus kam i bercakap di antara gedung-gedung
la m a sepanjang Oostkade, Noordkade, dan Westkade. Dilan-
jut kan ke Voorstraat, m enyusuri Veerweg yang berujung pa da
derm aga feri, sebelum akhirnya duduk m elepas penat, m em -
bongkar bekal piknik kam i di rerum putan tepi sungai di sekitar
Oude Maaspad, dekat pintu air.
Langit Spijkenisse beranjak m erah, cuaca dingin berangin.
Di seberang sungai, sebuah kincir angin tua berputar pelahan
m enim bulkan derak berulang yang m encem askan. Itulah se-
dikit gam baran tentang keadaan sekitar kam i, saat aku m inta

pustaka-indo.blogspot.com
45
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

kepada Anneke dan Helena untuk berhenti sebentar dari ke si-


buk an m ereka m em bereskan bekal m akanan.
“Anneke,” kataku. “Aku ingin engkau m enjadi saksi per-
nya ta anku kepada Helena sebentar lagi.”
“Pernyataan apa?” ham pir bersam aan, Anneke dan Helena
m enoleh. Aku m erangkak m endekati Helena, kujem put ujung
telapak tangannya perlahan. “Menikahlah denganku, Leen.”
Anneke m em ekik m endengar kalim atku, sem entara Helena
tergelak, m enyem bunyikan wajahnya yang m em erah.
“Ini sangat m endadak,” ujar Helena. “Apakah aku harus
tinggal di Hindia?”
“Apakah itu sebuah kalim at persetujuan?” dalam genggam -
an ku, tangan Helena terasa dingin. Dapat kurasakan pula ge-
tar keraguan di situ. Di belakang Helena, Anneke tak putus
m engucap ‘m ijn God’, sehingga dengan sedikit kesal perlu ku-
te nangkan.
“J adi, bagaim ana?” kuburu m ata Helena.
“Fred, aku belum bisa m em beri jawaban,” Helena m e nun-
duk. “Terutam a karena aku tak yakin bisa bertahan di sana.
Ku de ngar kehidupan di perkebunan tem bakau sangat keras.
Ba nyak pem berontakan kuli. Entah di m ana, pernah kubaca
kritik seorang pengacara atas perlakuan kejam para pengelola
per ke bu nan terhadap kuli.”
“Van den Brand?” tanyaku. “Sebelum berangkat ke Hindia
su dah kubaca brosurnya. Siapa pun akan berontak bila diper-
la ku kan kasar. Sejauh ini kam i berusaha bersikap adil. Na m un
takkan kusangkal bahwa di lapangan bisa saja terjadi pe nye le-
wengan m oral yang m em icu penyerangan terhadap orang Ero-
pa. Bukankah sem ua jenis pekerjaan m em iliki risiko?”
Ada jeda sebentar yang kam i gunakan untuk bersitatap.
“Akan kubicarakan dengan orangtuaku. Bersediakah m e-
nunggu?” terdengar kem bali suara Helena.
Aku m em ang harus m enunggu. Bukan karena orangtua

pustaka-indo.blogspot.com
46
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

kam i tak setuju, m elainkan karena jatah cutiku habis. Padahal


tak m ungkin m em bawa Helena ke Hindia sebelum m eresm ikan
hubungan kam i dalam sebuah pernikahan. Mustahil pula m e-
langsungkan hal ini secara tergesa.
“Kirim saja sarung tanganm u,” tulis ibuku, tak lam a setelah
aku tiba kem bali di Deli. “Bulan depan kam i nikahkan Helena
dengan sarung tanganm u. Setelah itu ia boleh m enyusul ke
Hindia.”
Menikah dengan sarung tangan atau keris sebagai wakil
m em pe lai pria, sudah sering kudengar. Sejujurnya aku tidak
m en du kung praktik sem acam itu. Bagaim ana m ungkin Tuhan,
yang diper caya hadir m enjadi saksi utam a dalam sakram en
su ci, bersedia m em beri berkat kepada benda m ati, m eskipun
ben da itu dipegang oleh wakilku di sana? Tapi itulah yang ku-
la ku kan. Sebagai balasannya, m inggu lalu kuterim a sebuah
te le gram dari Helena: tiba di genoa stop dua m inggu lagi be-
la w an stop sarung tangan kubaw a stop segenap cinta stop
leen tje stop.
Suara langkah kaki kuda diakhiri dentang panjang lonceng
delm an m eruntuhkan lam unanku.
“Im ah pergi dulu, Tuan,” perem puan di depanku bangkit
dari duduk, m eraih barang-barangnya. Gerakan tubuhnya ter-
lihat kaku, seperti di perbatasan antara hendak lekas pergi atau
diam di tem pat. Pada saat yang sam a, ada sem acam tekanan
keras m engim pit dadaku. Mem buat kedua kakiku goyah. Aku
tahu, ini perasaan yang biasa berkecam uk m anakala kita m e-
nya dari akan kehilangan orang yang kita sayangi selam anya.
Perasaan yang dahulu juga hadir saat liang lahat ayah tercinta
m ulai ditim buni tanah.
“Im ah,” kedua tanganku terjulur, nyaris m em bentuk se-
bu ah pelukan kalau saja Unang tak berlari keluar m em bantu
Im ah m engangkat barang-barang ke atas delm an. “Cium sa-
yang untuk Sinyo dan Nona,” akhirnya kuloloskan sepotong

pustaka-indo.blogspot.com
47
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

kalim at. “Dan kow e Unang, lekas kem bali setelah antar Nyai.”
Nyaris serem pak Im ah dan Unang m engangguk. Delm an
m em utar arah. Ketika m em intas kem bali di depanku, Im ah
berseru: “Sudah Im ah siapkan m akan m alam di m eja.”
Aku m elam bai. Kubiarkan m ataku m engikuti laju delm an
hingga lenyap ditelan tikungan, lantas dengan gontai kuseret
kaki m enuju ruang m akan.
Di balik tudung saji kujum pai m akanan kegem aranku:
sam bal goreng tem pe, rendang balado, sayur lodeh, telur dadar,
ser ta sem angkuk besar cendol. Kuisi gelas dengan cendol, san-
tan, dan gula kelapa hingga penuh. Sejengkal sebelum m en-
darat di bibir, aku tersentak. Terngiang kem bali nasihat Tuan
Zaandam . Pil nom or 11! Larutan pheny l, arsenik, atau air liur
ular kobra. Oh, baru saja aku m enyakiti hati Im ah, bukan? Ya,
bahkan telah kubuat rem uk hatinya dengan m engusirnya dari
rum ah agar istri Eropaku yang cantik bisa m asuk dan tidur di
sisiku.
Aku term angu sejenak. Kutebar pandangan. Berharap m e-
lihat se buah tanda, isyarat, atau hal lain yang bisa ku gu na-
kan un tuk… ah, entah untuk apa. Yang jelas, segera ter tang-
kap oleh ku jendela kaca ruang tam u yang jernih, be bas de bu,
dengan gorden berlipit-lipit yang dikelantang sem pur na se-
hingga terlihat berkilau terkena cahaya lam pu. Agak ke ka nan,
ter pam pang lem ari perpustakaanku. Aku m en de kat. Bu ku-bu-
ku itu disusun rata sesuai ketinggiannya, dan ku pas tikan tak
ada de bu di perm ukaan setiap buku. Di seberang le m a ri, ter bu-
jur m eja panjang bertaplak putih tem pat aku bia sa m e ne rim a
ta m u. Sisi luar m eja tam pak lurus tan pa cela m engikuti per m u-
ka an tem bok di belakangnya. Di se ke lilingnya, sebuah so fa ber-
ikut tiga buah kursi dibariskan dengan ke ter atur an jarak satu
sam a lain yang seim bang. Tepat di su dut ruangan, terham par
sebuah kursi m alas dilengkapi se lim ut serta bantal kecil yang
dahulu digunakan Im ah untuk m erawatku selam a sebulan

pustaka-indo.blogspot.com
48
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

saat terserang m alaria. Sungguh, dibutuhkan ketulusan hati


m engerjakan itu sem ua.
Kutim ang sekali lagi gelas di tanganku. Lantas kureguk
habis isinya.

Kepada Reggie Baay,


J akarta, 25 Novem ber 20 10

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Gudang Nomor 012B

MESKI TERPENCIL, GUDANG abu-abu ini serupa dengan


lu sin an gudang lain di sekitar stasiun. Beratap seng, dengan
pin tu geser dua kali tinggi orang dewasa. Sebetulnya nom or
urut nya 0 13, nam un m engikuti petunjuk para tetua Belanda,
digan ti m enjadi 0 12B.
Gudang itu nyaris kosong, sehingga bila kita berdiri persis
di pintu depan, akan terbaca dengan m udah tulisan ‘ANNO
1887’ di dinding belakang. Sebuah penegasan bahwa tem pat ini
didirikan tiga puluh delapan tahun yang lalu, bersam aan waktu
dengan bangunan induk stasiun yang m erupakan perhentian
terakhir jalur kereta api Yogya– Cilacap sebelum ke pelabuhan.
Mengamati padatnya lalu-lintas barang, kubayangkan tulisan
itu di hari-hari kem arin pastilah lenyap, tertutup tum pukan
ka rung kopi, tapioka, gaplek, gula, serta beras.
Beras! Ya, itulah hal teraneh dari gudang ini. Di bawah
angka ‘1887’, dekat anglo yang m enebarkan wangi kem enyan,
dua pu luh karung beras disusun dalam posisi tidur. Satu ka-
rung berdiri terpisah. Isinya sudah berkurang separuh. Di be-
la kangnya, terpuruk tujuh karung yang benar-benar sudah

pustaka-indo.blogspot.com
50
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

kosong. Beras itu sum bangan gudang-gudang lain. Sem acam


se saji. J atah Nyai Icalan Beas atau Nyai Sade Uwos, Nyai Pen-
jual Beras, dem ikian yang kudengar dari para kuli.
Kisah ajaib ini m uncul bulan lalu. Saat gudang hendak diisi
ulang, sekelom pok kuli m em ergoki sosok beram but panjang,
ber gaun putih, duduk di antara tum pukan karung, seperti se-
dang m enakar beras. Saat beradu tatap, m akhluk yang konon
berwajah m enyeram kan tadi lenyap disertai suara m elengking.
Sejak itu, gudang 0 12B dijauhi para kuli.
Aku telah m engirim agen untuk m engum pulkan data, se-
ka ligus m enjadi penengah antara pengelola dan penyewa gu-
dang. Sam bil m enunggu kedatangan orang pintar dari Wono-
sobo yang katanya sanggup m engusir setan, pengelola gudang
m enawarkan tem pat lain sebagai pengganti m eski ukurannya
lebih kecil, ditam bah potongan harga lum ayan banyak. Pihak
penyewa setuju walau m asih harus m em injam beberapa gu-
dang perusahaan lain untuk m enyim pan sisa barang yang tak
ter tam pung. Sepintas sem ua m asalah telah teratasi. Ternyata
di be la kang hari m enjadi sandungan karierku.
Sekali lagi kuam ati pintu utam a. Tergem bok rapat seperti
ta di siang. Ketika aku m em utar badan, hawa dingin m eruap di
sekitar tengkuk. Terlalu! Aku Hans Peter Verblekken, seorang
inspektur polisi, m enggigil di tengah gerahnya udara m alam
Cila cap. Kupadam kan lam pu, lalu keluar lewat pintu kecil di
su dut kanan, berkejaran dengan ketukan sepatu lars yang m e-
m an tul ke seluruh perm ukaan ruangan. Sepatuku.
Sam pai di luar baru kusadari, m alam ini langit begitu pe-
kat. Kebetulan sekali. Sangat m em bantu rencana kam i. Ku lam -
baikan tangan ke arah sosok tegap berkalung sarung dengan
peci dan celana hitam di seberang rel.
“Mang Acim ,” panggilku setengah berbisik.
Tanpa m enyahut, orang itu berjalan ke arahku sam bil m en-
ja ga wajahnya dari siram an cahaya lam pu yang berjajar se pan-
jang rel. Naluri seorang pendekar.

pustaka-indo.blogspot.com
51
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Am bil lagi ini dan jangan jauh-jauh dari pintu,” ku sorong-
kan sepucuk revolver.
“Apa kata Kanjeng Kom isaris nanti, Gan?” dengan teram pil
Mang Acim m em buka ruang peluru, m em eriksa isinya, lalu
m e nye lipkan senjata itu di depan perut. “Ia tak suka m elihat
Ma m ang bawa ini, bukan?”
“J angan sebut lagi nam a itu,” kukibaskan tangan. “Mana
Irus dan Sueb?”
“Irus di atap gudang, siap turun kalau diperlukan. Atap ka-
ca nya sudah kita buka. Sueb dekat kandang kuda.”
Kuam ati tem pat-tem pat yang disebutkan Mang Acim . Cu-
kup m em adai untuk tugas pengintaian dan penyergapan. Tapi
m engintai apa? Menyergap apa? Untunglah aku m engajak pa-
ra jawara ini. Mereka bukan pegawai Gubernem en. Artinya,
apa pun yang terjadi atas diri m ereka, tak ada keharusan m e-
nu lis kannya ke dalam laporan resm i.
Pukul duabelas. Derik cengkerik serupa roda tim ba yang
alpa dim inyaki, m enyayat gendang telinga. Dari perum ahan
penduduk, lolong anjing bersahutan. Kurapatkan kerah baju.
Apakah hanya aku yang sedari tadi m erasa dingin?
“Piaraan Babah Gwan Sin,” gerutu Mang Acim . “Berisik.
Besok biar Mam ang tegur si Babah.”
“Kalau anjingnya tak berkalung, kita bahkan boleh m e ngu-
tip denda dari pemiliknya, Mang. Di luar itu, biarkan saja.”
Kuam bil teropong. Di pelataran stasiun, em pat petugas ja-
ga m a lam tam pak bergerom bol m ain kartu. Kurasa m ereka tak
pu nya nyali untuk jalan berkeliling secara terpisah. Apalagi ber-
ke liaran di sekitar gudang tem pat kam i m engintai ini. Padahal
sejak staatsspoorw egen jurusan Yogya– Cilacap diresmikan
penggunaannya, stasiun ini tak pernah senyap. Ham pir sem ua
ba rang dari dan m enuju pelabuhan singgah di sini.
“Mang,” kutarik kantong tem bakau dan papier dari saku
celana, kupilin m enjadi sebatang rokok kecil. “Percaya hantu,
dem it, setan?”

pustaka-indo.blogspot.com
52
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Percaya, Agan Inspektur,” di kegelapan, Mang Acim m e-


nyahut.
“Term asuk setan yang setiap hari m engam bil beras?”
“Saya, Gan.”
“Mana ada setan doyan beras?”
“Kalau ada setan yang doyan darah, tentu ada juga yang
doyan beras.”
“Setan pengisap darah cum a dongeng, Mang. Setan tidak
bisa m engam bil apapun dari dunia kita. Itu sebabnya kita
m en co ba m engepungnya m alam ini.”
“Tidak tahu, Gan. Yang jelas, Mam ang tidak pernah takut
sa m a yang gaib. Banyak jawara am bil ilm u kabedasan justru
da ri yang gaib. Bagi Mam ang, yang penting bukan aliran hi-
tam .”
“Aku tak percaya setan atau yang lain,” kuem buskan asap
rokok. “Tapi terus terang, aku agak gelisah m alam ini.”
“Gelisah karena perkataan Kanjeng Kom isaris?”
Lagi-lagi Kanjeng Kom isaris! Tapi m ungkin Mang Acim
be nar. Kom isaris Gijs Tim m erm an. Si congkak itu. Tubuh ge-
m uk nya terus m enari di benakku, bersam a rasa m uak dan har-
ga diri yang terluka.
Kem arin siang Gijs m endadak berkunjung ke kantorku.
Ma sih di pelataran, telah diserunya nam aku berulang kali,
m em bu at anak buahku yang sem uanya pribum i kalang-kabut.
Se orang opas yang terlam bat m enjauh dari pintu, tersungkur
ke na tendang.
Gijs Tim m erm an beserta sem ua hal buruk yang m enem pel
pada sosoknya bukanlah hal baru bagiku. Di Maos, kam i per-
nah sekantor. Kala itu aku dan Gijs sam a-sam a berpangkat in-
spektur. Gijs pem urung, gem ar m em aksakan kehendak, ringan
tangan, dan pandai berm ain politik.
Senyum pertam a sekaligus terakhir yang kulihat m e ngem -
bang di wajahnya tanpa dibuat-buat adalah saat ia berjabat

pustaka-indo.blogspot.com
53
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

pustaka-indo.blogspot.com
54
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

tangan dengan Heer Langestok, si tua baik hati, pada hari ter-
akhir m asa tugas beliau sebagai kom isaris. Mulai hari itu, Gijs
Tim m erm an naik jabatan, m enggantikan Langestok, m e nga-
lahkan aku dan seorang calon lain dari Batavia yang m enurut-
ku jauh lebih pantas. Sejak itu pula setiap pergi ke kantor, otot
perutku sering tegang, m em bayangkan harus berbagi m asalah
dan m enenggang rasa dengan m anusia biadab ini.
Syukurlah tak lam a kem udian Gubernem en m enam bah
pos di sepanjang jalur Maos– Cilacap lantaran sem akin tinggi-
nya aksi kejahatan seiring m eningkatnya pengangkutan hasil
bum i dengan kereta listrik.
Aku ditugaskan m enjadi kepala kantor kecil dengan wila-
yah operasi sekitar Cilacap dan Gum ilir, nam un tetap ha rus
m e lapor kepada Yang Mulia Kanjeng Kom isaris Gijs Tim m er-
m an di kantor pusat Maos. Meski banyak kendala, aku suka
pe ker ja an ku. Sem ua berjalan lancar. Sam pai kedatangan Gijs
ke m arin.
“Duduk saja, Hans,” Gijs m engham piri m ejaku. “Tuan
Stam m ler datang lagi. Ia bertanya, m engapa Polisi Hindia
Belanda sulit m enertibkan kuli-kuli? Berapa lam a ia m esti pin-
jam gudang orang? J angan lagi kaujual bualan tentang setan
perem puan itu, Hans. Ini sepenuhnya soal pem bentukan
disiplin. Kalau m enertibkan kuli saja tak becus, bagaim ana
orang percaya kau bisa kerja untuk urusan yang lebih besar?”
Masyarakat? Maksudm u pundi-pundi uang Tuan Stam m ler
dan pengusaha-pengusaha lain y ang telah kautelan selam a
ini? aku m engum pat dalam hati.
“Tuan Stam m ler seharusnya lebih sabar,” aku bicara pelan,
nyaris seperti m engeja, berupaya m engem balikan kehorm atan
yang terinjak. “Para kuli bukan m ilik gubernem en. Bebas m e-
nga is rejeki di sana.”
“Kau m enguliahiku, Hans?” Gijs m enatap m ataku.
“Tidak. Hanya ingin lapor, bahwa m eski orang pintar dari

pustaka-indo.blogspot.com
55
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Wonosobo itu sudah berusaha berdam ai dengan si m akhluk


ga ib, para kuli m asih m elihatnya berkeliaran di gudang hing-
ga saat ini. Dan selam a ia m asih di sana, kuli tak m au m asuk.
J a di kukira, pilihan kita hanya dua: Menyelidiki, kalau per lu
m enangkap m akhluk itu bagaim anapun caranya, atau m e m e-
nuhi perm intaan para kuli untuk m enyelenggarakan upacara
se la m at an, sem bari m em biarkan kisah ini berlalu dengan sen-
dirinya, seperti berita tentang gadis cantik yang m uncul m a-
lam hari di jem batan Ancol beberapa tahun lalu.”
Gijs m em bisu.
“Anda punya pendapat sendiri,” lanjutku. “Tapi sekali la-
gi, se ba ik nya kita bersabar, seraya m enunjukkan bahwa kita
m enghor m ati adat setem pat. Pengelola gudang bersedia m e-
nanggung biaya selam atan, tetapi karena upacara itu akan
m e libat kan sekitar seratus lim a puluh orang kuli dan petugas
sta siun, aku butuh dana tam bahan untuk opas penjaga ke ter-
tib an. Itulah sebabnya dalam laporan kem arin aku m inta izin
m engam bil sedikit anggaran.”
Hening sejenak. Tiba-tiba aku m enyadari, tarikan wajah
Gijs berubah m enjadi sangat kendur dan berujung pada le dak-
an tawa. Tentu saja bukan tawa m urni.
“Hans, engkau seorang Indo?” Gijs m elipat kedua tangan-
nya. Bahunya sesekali m asih berguncang m elepas tawa kecil.
“Ibu saya anak mandor kopi Limbangan. Ya, saya Indo. Lalu?”
“Itu sebabnya pilihan ketiga tak m uncul di benakm u!” tawa
Gijs berakhir. Matanya kem bali nyalang. “Seorang totok akan
m e m ilih cara lebih cepat, m urah, dan m asuk akal: Paksa m ere-
ka berbaris. Katakan, yang m enolak m engangkat barang akan
dicam buk oleh tem an-tem annya sendiri. Betul, m ereka peker ja
lepas. Tapi m ereka m encari m akan di atas lahan Gubernem en.
Kita punya hak bikin rapi sem ua urusan di sana!”
Aku enggan m enanggapi, khawatir tak m am pu m engen-
dalikan hawa panas yang m ulai berletupan di badan.

pustaka-indo.blogspot.com
56
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Begini,” Gijs m enyeka m ulut. “Aku kenal dua m acam In do.


Yang bisa berubah m enjadi totok dan yang tidak. Ra sa nya aku
tahu, term asuk golongan m ana dirim u,” Gijs bangkit m eng-
am bil topinya. “Silakan laksanakan rencanam u. Ta pi awas,”
te lun juk nya m elam bai kepadaku. “Kalau Tuan Stam m ler ber-
pa ling dariku, akan kubuka sepetak ruang kecil di kan tor Ma os
un tuk m u. Lengkap dengan jerujinya. Aku bisa m e nyu sun ra-
tus an alasan untuk m engantarm u ke sana. Oh ya, so al da na.
Kau bisa m em biayainya dengan uangm u sendiri. Se la m at si-
ang, Inspektur.”
Bedebah! Sem ua tahu, aku bukan Belanda totok. Sejak ke-
cil, di bawah tatapan setengah hati, aku belajar sangat ke ras
su pa ya diterim a oleh lingkaran ‘beradab’ itu. Belajar se m ua hal
yang m ereka pelajari. Belakangan, aku bahkan ja uh m engung-
guli m ereka. Mem buatku paham bahwa se sungguh nya tidak
dibu tuh kan setetes pun darah Belanda untuk m en ja di ‘orang
ber adab’. Sering terjadi sebaliknya. Ayahku to tok, ta pi tanpa
be ban m engham ili tujuh gadis pribum i la gi setelah m e ning-
galkan ibuku tanpa sepeser pun uang un tuk m em be sar kan ku.
Itukah yang disebut ‘beradab’? Ingin ku ka ta kan sem ua itu ke-
pada Gijs Tim m erm an. Tapi seperti yang sudah-sudah, tak se-
potong kalim at pun berhasil tiba di ujung lidah.
Di depan pintu, Gijs bertubrukan dengan Mang Acim . Pen-
de kar itu buru-buru m engangkat sem bah. Gijs berteriak. Ta-
ngan nya terayun. Tapi ia tahu, pantang m em ukul seorang pen-
de kar. Maka, tangannya diarahkan ke perut Acim . Ditarik nya
re volver yang terselip di situ.
“Hei, Indo. Dia bukan opas!” Gijs m elem parkan revolver itu
ke arahku. “J angan sam pai kulihat lagi pem andangan seperti
ini,” lanjutnya.
Kugertakkan gigi. Percum a m enjelaskan kepada Gijs bahwa
Mang Acim bukan sekadar centeng. Ia sepupu ibuku. Seorang
jawara terpandang, yang dengan hati terbuka m em bantu ibu

pustaka-indo.blogspot.com
57
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

m enanggung keperluanku sejak kecil. Mengam bil alih pekerja-


an yang seharusnya m enjadi tanggung jawab seorang totok
yang kusebut Ayah. Kerendahan hati Mang Acim dan kebangga-
an m em besarkan seorang keturunan Eropa, m em buatnya
m en jaga jarak denganku. Seolah ingin m engingatkan bahwa
derajatku setingkat di atasnya. Sungguh berlebihan. Tetapi aku
tahu diri. Setelah aku m enjadi polisi, kubiarkan Mang Acim
m enikm ati balas jasaku.
“Agan Inspektur,” bisikan Mang Acim m engem balikan
diriku ke lokasi pengintaian. “Lihat talinya.”
Kuikuti telunjuk Mang Acim . Bendera kecil yang terikat
di salah satu tali kasur yang kam i rentangkan di sekeliling ka-
rung hingga m enjulur ke luar gudang tam pak bergoyang. Se se-
orang di dalam sana telah m enyentuh tali itu. Seseorang atau
sesuatu.
“J aga sini, Mang. Saya m asuk. Beri tanda kepada yang lain
supaya bersiap,” kuhunus FN-ku, lalu kudekati pintu.
Detak jantungku m eningkat. Kubuka sepatu untuk m ere-
dam langkah. Di tengah suasana berarom a gaib yang m ence kam ,
gagasan ini tam pak m enggelikan, m em buatku m erasa kurang
waras. Maksudku, seandainya berita itu benar, beberapa detik
lagi aku akan berhadapan dengan seseorang, atau lebih tepat,
suatu wujud dari dunia lain. Suatu bentuk, yang seharusnya
tak lagi terikat belenggu hukum ragawi seperti pendengaran
atau penglihatan. J adi, buat apa lepas sepatu?
Atau, m ungkinkah ini pesan dari bagian lain otakku yang
le bih waras? Ya, kurasa bagian otak ini pula yang siang tadi
te lah m enuntunku m eneliti sebuah lorong sederhana di lantai
gudang. Sebuah lubang kecil di bawah tikar pandan yang
dipakai sebagai alas karung. Lubang hasil gangsiran. Artinya,
sangat m ungkin Nyai Icalan Beas adalah m akhluk berdaging
yang perlu m engisi perut dengan nasi. Sekarang tinggal
berharap, sem oga m akhluk ini tak bersenjata. Kutarik tuas

pustaka-indo.blogspot.com
58
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

pengam an FN-ku. Dapat kurasakan getaran halus di punggung


tangan m anakala sebutir tim ah m erayap naik ke ruang peluru.
Siap dilontarkan.
Perlahan kudorong daun pintu. Sam bil m enghindari tali
yang centang-perenang di m ulut pintu, kupanggil bait-bait doa
yang pernah kupelajari di sekolah m inggu sem asa kecil:

Onze Vader,
die in de hem elen zijt,
geheiligd zij Uw naam .
Uw rijk kom e,
Uw w il geschiede op aarde als in de hem el.

Tanganku gem etar m eraih tom bol saklar.

Geef ons heden ons dagelijks brood,


en vergeef ons onze schulden,
gelijk ook w ij vergeven aan onze schuldenaren.

Satu sentakan, ruangan langsung terang benderang.

En leid ons niet in bekoring,


m aar verlos ons van het kw ade.*

Dengan m oncong FN m engarah ke depan, aku m enyerbu


m asuk. Pada saat yang sam a, seutas tam bang jatuh dari atap.
Irus, anak buah Mang Acim , m eluncur turun. Berdiri di antara
aku dan... m akhluk itu!
Mijn God. Makhluk itu jelas bukan hantu, setan, atau de-
m it m elainkan seorang wanita. Kurus kering. Merapat di sudut
tem bok. Ram butnya kotor, panjang hingga ke pangkal paha.

* Doa Bapa Kam i dalam bahasa Belanda.

pustaka-indo.blogspot.com
59
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Dan persis seperti cerita para kuli, ia m engenakan gaun putih.


Gaun tidur wanita Belanda. Mungkin hasil curian. Mungkin ju-
ga dahulu ia m em ang seorang nyai yang m erana ditinggal sua-
m i Belandanya. Seperti ibuku.
“Ada nam a? Mengapa m encuri dan m enakut-nakuti
orang?” kucoba m em buka percakapan dalam Bahasa Melayu.
Wa nita itu tak m enjawab. Cahaya lam pu m em buatnya panik.
Ia m e nyem bunyikan wajah di balik lengan gaun. Sewaktu Irus
m e na rik gaunnya, wanita itu m eronta sam bil berteriak-teriak.
Ba rangkali ia gagu atau terbelakang m ental. Ia lari ke pintu,
te ta pi segera jatuh ke tangan Mang Acim .
Saat ditelikung, ram but depan wanita itu tersingkap. Aku
m e lom pat m undur. Aku seperti m enyaksikan segum pal lilin
rak sasa yang m eleleh. Sulit m engenali m ata, hidung, m aupun
m ulutnya. Lepra! Lepra di tahap yang paling parah. Wanita ini
sedang sekarat.
Kuturunkan pistolku.
“Mang Acim , besok kita ke sini lagi bersam a para opas. Tak
m ungkin dia m am pu m enggangsir tanah dengan kondisi tu buh
sem acam itu. Pasti ada kom plotan yang m em anfaatkan wa nita
ini. Cari tahu, siapa di antara para kuli yang tem po hari punya
gagasan m em beri sajen beras,” aku m enghela napas, m em ba-
yangkan rum itnya m enulis kejadian m alam ini ke dalam lem -
bar-lem bar laporan. “Dan Irus, tolong bikin tandu. Biarkan
wa nita ini m enginap di penjara. J angan lupa bersihkan tangan
ka lian. Besok akan kuhubungi Dokter Willem .”

J akarta, 3 Mei 20 11

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Semua untuk Hindia

Om Sw asty astu.

Tuan De W it y ang baik, telah say a terim a tiga pucuk su-


rat Tuan. Beribu m aaf tak lekas m em balas. Saat ini sulit ke
luar Puri. Terlebih bagi rem aja putri seperti say a. Bujang
y ang biasa m engantar surat ke kantor pos juga tak ada lagi.
Ia telah m endaftar m enjadi pasukan cadangan. Akan say a
ca ri cara agar surat ini tiba selam at ke tangan Tuan, w alau
m ung kin m akan w aktu lam a.
Tuan De W it y ang baik, sejak kapal-kapal Belanda ada
di pantai kam i, hari berputar lam bat. Kaki ibarat berpijak
di atas tungku. Dan lidah para lelaki tak lagi m anis. Ujung
pem bica ra an m ereka selalu ‘perang’. seolah segalany a akan
selesai dengan perang.
Kem arin Raja m inta akhir m inggu ini anak-anak dan
w anita m engungsi. Bagi kam i, ini adalah penegasan bahw a
titik tem u antara Raja dan Belanda sem akin jauh. Tapi per-
lukah senapan bicara?
Tuan De W it y ang baik, say a tak takut kehilangan jiw a.
Mem iliki atau kehilangan jiw a kuasa Hy ang W idhi sem ata.

pustaka-indo.blogspot.com
61
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Say a hany a sulit m em bay angkan keadaan seusai perang,


ter lebih bila kam i di pihak y ang kalah. Adakah kehidupan bi-
la kem erdekaan teram pas?
Jika Tuan berniat datang lagi ke Puri, seperti y ang Tu an
ka barkan dalam surat terakhir, bantulah doakan agar pe-
rang ini dibatalkan sehingga kita bisa berbincang lagi ten -
tang Ny am a Bajang dan Kandapat. Atau m endengarkan ibu-
ku m en dongeng petualangan Hanum an si kera sakti.
Om Santi, Santi, Santi, Om .

Tabik.

Adik kecilm u.
Anak Agung Istri Suandani.

Kum asukkan surat itu ke tem patnya sem ula: Sejengkal


bam bu kecil yang diserut halus. Kubayangkan, pastilah berliku
perjalanan benda ini sebelum akhirnya m endarat di atas nam -
pan sarapanku, di penginapan Toendjoengan Surabaya bulan
lalu.
Pengantar nam pan, seorang pem uda Bali, m engaku tak ta-
hu asal-usul bam bu tersebut dan segera m engunci m ulutnya.
Ditolaknya pula lim a sen yang kujejalkan ke dalam genggam an
ta ngannya.
Anak Agung Istri Suandani, adik kecilku. Sebetulnya tak
ada rahasia di dalam surat itu, bukan? Hanya dirim u, yang ha-
dir dalam bentuk tulisan, serta lapis dem i lapis kenangan yang
kem bali terbuka seiring tuntasnya setiap patah kata yang ku-
baca. Tapi barangkali m em ang bisa m em bawa bencana apa bila
jatuh ke tangan orang Bali atau Belanda yang curiga ter ha dap
kem ungkinan pengkhianatan dari kedua belah pihak, sebab
surat itu dikirim dari Puri Kesim an, nam un ditulis dalam

pustaka-indo.blogspot.com
62
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

bahasa Belanda yang nyaris sem purna oleh seorang putri


keraton. Olehm u.
Adik kecilku. Lim abelas tahun usiam u saat kutem ui bersa-
m a ibu dan kakakm u, jauh sebelum peristiwa terdam parnya
kapal “Sri Koem ala” di pantai Sanur yang m em icu ketegangan
besar ini. Kujadikan keluargam u narasum ber tulisanku ten-
tang tradisi Mesatiya, yang m em perbolehkan para janda Raja
m elem parkan diri ke dalam kobaran api saat upacara pem -
bakaran jenazah suam i m ereka sebagai tanda setia.
Tradisi kuno ini, ditam bah tuduhan bahwa Raja Badung
m e no lak denda serta m elindungi pelaku peram pokan kapal
lan tas dibesar-besarkan m enjadi isu pem bangkangan terhadap
Pem erintah Hindia yang harus dijinakkan dengan aksi m iliter.
Entah bagaim ana sikap dunia. Sem oga m ereka yang cerdas se-
gera m elihat ketidakberesan besar ini.
“Dari m ana belajar bahasa Belanda begini baik?” ku lon tar-
kan pertanyaan itu kepadam u suatu sore.
“Dari Tuan Lange dan dari koranm u,” engkau tersenyum
m anis. “De Locom otief. Mijn beste nieuw sblad.”
Aku tertawa. Tuan Lange adalah pedagang Belanda yang
ke rap ke Puri. Fasih berbahasa Bali. Aku belum penah bertem u,
nam un m endengar betapa takzim orang Bali m enyebut na m a-
nya, kusim pulkan ia berada satu biduk denganku: Biduk pa ra
penentang arus yang berusaha m engem balikan harta dan m ar-
tabat bum iputra yang telah kam i isap tanpa m alu selam a tiga
ratus tahun.
Adik kecil. Dua bulan di Puri m em buatku jatuh cinta pada
sem ua hidangan yang kau m asak. Dan m elihatm u berlatih
m enari, m enyatukan diri dengan alam , adalah anugerah yang
tak putus kusyukuri hingga kini. Mem buatku kem bali tersudut
dalam tanda tanya besar: Benarkah kehadiran kam i di sini,
atas nam a pem bawa peradaban m odern, diperlukan?

pustaka-indo.blogspot.com
63
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

pustaka-indo.blogspot.com
64
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Lam unanku terpotong dengking peluit tanda ganti jaga


m alam . Kulayangkan pandangan ke sekeliling Puri Kesim an,
tem pat kam i m em buat bivak petang ini. Tak ada lagi kobaran
api m aupun letusan bedil. Sore tadi, setelah tiga jam bentrok
dengan laskar Badung di sekitar Tukad Ayung, istana ini ber-
hasil kam i duduki.
Adik Kecil, aku teringat Pedanda Wayan, ayahm u, yang
sabar m enjelaskan bahwa Kerajaan Badung m ungkin satu-
satunya kerajaan di dunia yang diperintah oleh tiga raja yang
tinggal di tiga puri terpisah, Puri Pam ecutan, Puri Denpasar,
dan Puri Kesim an, rum ahm u yang ram ah. Sedem ikian ram ah,
m em buatku nyaris tak percaya m endengar kabar bahwa Gusti
Ngurah Kesim an kem arin m alam dibunuh seorang bangsawan
yang tak setuju sikapnya m enentang Belanda. Kukira engkau
benar. Tak ada hal baik dari perang. Perang m erusak segalanya.
Term asuk kesetiaan dan kasih sayang.
Engkau m em intaku berdoa agar perang dibatalkan? Wa hai
Adik Kecil, telah berabad kam i terjangkit penyakit gila ke be-
sar an. Kurasa Tuhan pun enggan m endengar doa kam i. Sudah
la m a pula kam i tak bisa m enghorm ati kedaulatan orang lain.
Sa at m enerobos puri bersam a pasukan siang tadi, anggota tu-
buh ku seolah ikut berguguran setiapkali para prajurit m e ne-
m u kan sasaran perusakan: Payung-payung tam an, tem pat kita
pernah duduk berbincang, penyekat ruang, guci-guci suci. Per-
cu m a berteriak m elarang. Penjarahan dilakukan bukan oleh
ten tara pribum i saja, para perwira Eropa pun terlibat.
Ya, tadi siang aku ikut m endobrak puri. Bukan dengan
ke gem bira an seorang penakluk, m elainkan kecem asan se-
orang sahabat. Harus kupastikan, tak ada prajurit yang be ra-
ni m eletakkan jari di atas tubuhm u. Entah, bagaim ana se be-
nar nya suasana hatiku sewaktu m engetahui bahwa puri telah
kosong. Kecewa karena tak m elihatm u, ataukah gem bira,
ka re na m em beriku harapan bahwa di suatu tem pat di luar

pustaka-indo.blogspot.com
65
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

sana, engkau berkum pul bersam a keluargam u dalam keadaan


selam at?
Ah, m engapa m iliter selalu kuanggap tak berm oral? Mereka
hal terbaik yang dim iliki Hindia Belanda. Beberapa di antara
m ereka bahkan baru saja m enunaikan tugas di Tapanuli atau
Bone. Belum sem pat bertem u anak-istri. J angan pertanyakan
kesetiaan mereka. Pertanyakan yang memberi perintah gila ini.
Kucerm ati lagi catatan wawancara dengan Mayor J enderal
Rost van Tonningen, Panglim a Kom ando Ekspedisi, sehari se-
be lum berangkat ke Bali: Seluruh arm ada tem pur terdiri da ri
92 perwira dan bintara, 2.312 prajurit gabungan Eropa-Bu m i-
putra, 741 tenaga nonm iliter, enam kapal perang besar dari
eskader Angkatan Laut Hindia Belanda, enam kapal angkut,
sa tu kapal logistik, satu detasem en m arinir, em pat m eriam ka-
liber 3,7 cm , em pat how itzer kaliber 12 cm . Belum lagi kuda-
kuda Arab untuk para perwira, puluhan tenaga kesehatan, ra-
dio, serta beberapa oditur m iliter.
“Tentu kau sedang berpikir takjub, buat apa kekuatan se-
besar itu didatangkan ke sini, bukan?” terdengar suara serak,
m e ngiringi sem ak yang tersibak. Aku m enoleh. Seorang pria
ber jenggot lebat dengan kam era Kodak tua di lehernya berdiri
m elem par senyum . Wajahnya lepas, tanpa tekanan, seolah ia
lahir dan besar di atas tanah yang dipijaknya itu. Di dadanya
ter sem at tanda pengenal wartawan, sem entara sebuah ransel
rak sasa berisi plat em ulsi dalam jum lah besar tergantung di
punggung, m em buat tubuhnya doyong ke depan. Kedua ta-
ngan nya repot m engangkat tas kulit berisi tripod dan kain ter-
pal, tapi diulurkannya juga yang kanan kepadaku.
“Baart Rom m eltje. Dokum entasi Negara,” ia tak berusaha
sedikit pun m engubah air m ukanya agar tam pak lebih ber wi-
bawa. Pastilah ia seorang pegawai pem erintah yang bandel.
“Engkau punya tenda sendiri,” sam bungnya. “Boleh m e-
num pang tidur? Para prajurit m ain kartu dekat tenda logistik.
Gaduh! Padahal aku punya jatah ruangan luas di situ.”

pustaka-indo.blogspot.com
66
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Tidurlah di sini. Aku Bastiaan de Wit. De Locom otief,” ku-


sentuh kam era di dadanya. “Cartridge No. 4? Belum m au lepas
dari fosil ini?”
“Lalu beralih ke Brownies bersam a para am atir?” sergah-
nya. “Pasti kau luput m em baca nam aku di daftar penerim a
penghargaan nasional tahun lalu,” ia m enyeringai. “Aku butuh
satu lagi yang seperti ini. Cadangan. Untuk ketajam an gam bar,
plat emulsi masih unggul dibandingkan ilm gulungan. Sayang,
dana pem erintah terkuras m elulu untuk perang. Aceh, Ta pa-
nuli, Bone. Sekarang Bali.”
“Sem ua Gubernur J enderal Hindia gila perang,” kubantu
Baart m enurunkan ransel. “Terutam a Van Heutsz. Kem enangan
di Aceh m endorongnya m enjadi fasis tulen.”
“Bicaram u sudah seperti Pieter Brooshooft,” Baart tergelak
sam bil m engam ati prajurit jaga m alam . “Kurasa Raja Denpasar
takkan m enyerang m alam ini. Ia bukan petarung.”
“Mem ang,” aku m engangguk. “Ia negarawan dengan harga
diri yang kelewat tinggi, sehingga m udah dipancing dengan hal-
hal berbau kehorm atan tradisi, seperti pelarangan Mesatiya
atau ganti rugi kapal ini.”
“Hola, m endadak kita terseret m em perbincangkan isu ter-
panas bulan ini,” Baart terbatuk. “J adi kau juga tak percaya ka-
pal itu dijarah?”
“Ini kelicikan kecil yang ditunggangi Pem erintah untuk
m e lo los kan sebuah rencana raksasa,” kusorongkan secangkir
ko pi. Baart m enggeleng.
“Apa yang baru? Sem ua orang liberal akan berpikir de m i-
kian, sem entara yang pro pem erintah berpikir sebaliknya,” gu-
m am nya.
“Begini,” aku menghela napas. “Kwee Tek Tjiang, si pemilik
kapal, m elapor kepada Residen bahwa peti berisi uang se-
be sar 7.50 0 gulden di dalam kapal diram pok penduduk, se-
m en tara m uatan lain, yaitu terasi dan m inyak tanah, berhasil

pustaka-indo.blogspot.com
67
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

diam ankan ke tepi pantai,” kusulut rokok kedua. “Andai punya


har ta sebesar itu dalam sebuah kapal yang beranjak karam , bu-
kan kah sebaiknya kauselam atkan lebih dahulu uang itu se be-
lum berpikir m engenai terasi atau m inyak yang harganya tak
se berapa? Aku yakin cita-cita pem ilik kapal pada awalnya pas-
tilah sederhana saja: Memperoleh ganti rugi besar dari Raja.”
“Di m ana persinggungan kejadian ini dengan Pem erintah
Hindia?” potong Baart.
“Pax Neerlandica,” dengusku. “Sem ua untuk Hindia Raya.
Mim pi erotis Van Heutsz. Bajingan itu sadar, perjanjian antara
Hindia dengan para raja Bali tahun 1849, m em buat pulau ini
m enjadi satu-satunya wilayah di Hindia yang m asih m em iliki
beberapa kerajaan berdaulat, tidak tunduk pada adm inistrasi
Hindia. Kurasa jauh sebelum m enjadi Gubernur J enderal, Van
Heutsz telah m erencanakan untuk m encari gara-gara dengan
Ba li. Maka ia m enyam but gem bira peristiwa kapal karam ini
ka re na m em iliki peluang lebih besar dalam m em ancing ke m a-
rah an penguasa Bali dibandingkan rekayasa politik ciptaannya
terdahulu, yaitu pelarangan upacara Mesatiya.”
“Pem beritaan sepihak m em buat ekspedisi ini m endapat
res tu dunia. Sebaliknya, penolakan Raja m em bayar denda ke-
pa da pem ilik kapal, yang kebetulan warga Hindia, dianggap
pem bangkangan terhadap Gubernem en yang telah bertekad
m e nye lesaikan lewat jalur hukum .” Baart m engangguk.
“Sebuah peradaban tinggi akan m usnah,” kuceritakan ke-
pa da Baart betapa aku sangat m engkhawatirkan Bali. Meng-
kha wa tir kan sahabat kecilku. Kam i bicara sam pai kantuk m e-
nyer gap. Begitu m asuk tenda, Baart langsung pulas, sem entara
di m ataku hadir sosok Anak Agung Istri Suandani. Lengkap
dengan senyum m anisnya. Gigi putih yang dikikir rapi. Se pa-
sang bola m ata yang bergerak cepat m engikuti kalim at-kalim at
cer das dari bibirnya.
Pernah ia m enari, khusus untukku. Ah, tak ingat nam a tari-
annya. Ham pir seluruh anggota badan tam pil m ewakili suatu

pustaka-indo.blogspot.com
68
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

suasana hati. J ongkok, berdiri, m enelengkan kepala, berputar.


Ram but panjangnya, kali itu tak diikat, sehingga terbawa pu-
tar an tubuhnya. Berputar. Berputar. Masuk dalam sebuah
pu sar an hitam ! Tidak, jangan ke sana! Pusaran itu m enelan
se m ua benda di jagat raya. Kuulurkan tanganku. Terlam bat.
Ha nya jeritannya yang kudengar.
Tuan De W it, tolong!
Aku m elonjak. Tubuhku m enggigil. Kulirik arloji. Pukul li-
m a. Melalui pintu tenda yang terkuak, kulihat Baart m e lam bai-
kan tangan di depan api unggun. Tercium wangi daging pang-
gang dan kopi. Mem buat usus perutku m erintih.
“Teriakanm u tadi tak m ungkin berasal dari m im pi indah,
bukan?” ia m engangsurkan segelas kopi panas. “Berkem aslah.
Pasukan berangkat pukul tujuh.”
“Kau antek pem erintah, dekat dengan intel,” kutarik se-
ba tang rokok. “Batalion m ana yang akan bertem u balatentara
Raja hari ini?”
“Antek pem erintah?” Baart terpingkal. “Tolol, keterangan
m acam itu m udah sekali kauperoleh dari Kom andan Batalion.
Tapi baiklah. Seperti kem arin, Batalion 11 m enjadi sayap ka nan.
Batalion 18 sayap kiri. Batalion 20 di tengah, bersam a artileri
dan zeni. Raja tidak akan m enyerang. Mereka m enunggu. Di-
per kirakan pasukan akan berhadapan dengan balatentara Raja
di sekitar Tangguntiti atau satu desa sesudahnya. Kalau m au
bertem u gadism u, sebaiknya ikut Batalion 18 lewat Desa Kayu-
m as. Sebuah sum ber m engatakan rom bongan pengungsi ber-
kum pul di sekitar desa itu.”
Aku m engangguk. Pukul tujuh aku telah m em baur di antara
pasukan, m enyusuri jalan setapak dan lorong-lorong desa.
Pada saat yang sam a, m eriam di kapal-kapal perang m aupun
di m arkas besar kam i di Pabean Sanur kem bali m em untahkan
pelurunya ke arah Puri Denpasar dan Pam ecutan. Lebih dari
lim a puluh kali desingan keras m elintas di atas kepala kam i.

pustaka-indo.blogspot.com
69
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Kuperkirakan, sepertiga dari peluru itu pastilah m engenai sa-


sar an. Sem oga keluarga keraton benar-benar m em atuhi pe rin-
tah Raja untuk pergi jauh dari neraka ini.
Kam i terus m aju. Sekelom pok laskar Badung yang m elulu
berbekal keberanian m encoba m enghadang di tepi barat Desa
Sum erta. Syukurlah m ereka bisa dihalau tanpa banyak korban
jiwa. J am delapan, persis seperti keterangan Baart, pasukan
kam i dipecah tiga. Aku ikut Batalion 18 belok ke kiri m enuju
Desa Kayum as, sem entara Baart dan beberapa wartawan lain
ikut Batalion 11 ke kanan, m enuju batas tim ur Denpasar.
Dua jam kem udian, kam i tiba di sebuah dataran yang m em -
bebaskan pandangan sejauh 40 0 m eter ke arah kanan. Da pat
kam i saksikan sam ar-sam ar di ujung kanan Batalion 11 de ngan
seragam biru m ereka berbaris m engular
Sekonyong-konyong dari arah berlawanan m uncul iringan
panjang. Tam paknya bukan tentara, m elainkan rom bongan pa-
wai atau sejenis itu. Seluruhnya berpakaian putih dengan ane-
ka hiasan berkilauan. Tak ada usaha m em perlam bat langkah,
bahkan ketika jarak sudah dem ikian dekat, m ereka berlari se-
olah ingin m em eluk setiap anggota Batalion 11 dengan hangat.
Segera terdengar letupan senapan, silih ber ganti dengan aba-
aba dan teriak kesakitan.
“Awas, tunggu tanda!” Kom andan Batalionku m engam ati
dengan teropongnya. J antungku bertalu kencang. Tiba-tiba
ber edarlah kabar m engejutkan dari m ata-m ata kam i: Rom -
bongan itu adalah seluruh isi Puri Denpasar. Mulai dari raja,
pe danda, punggawa, serta bangsawan-bangsawan lain, beserta
anak istri m ereka.
Seisi puri? Bagaim ana dengan pengungsi? Kucari m ata-
m ata tadi. Menurutnya, tak ada desa pengungsi di sepanjang
jalur yang akan kam i lalui. Otot perutku langsung m engencang.
Anak Agung Istri Suandani, gadis kecilku. Ia pasti ada dalam
barisan itu!

pustaka-indo.blogspot.com
70
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Aku m elom pat ke punggung kuda m ilik seorang perwira


yang sedang dituntun pawangnya. Binatang itu m eradang, na-
m un berhasil kupacu ke m edan perang. Sem pat kudengar te ri-
ak an Kom andan Batalion, disusul satu-dua tem bakan ke arah-
ku. Tapi serangan itu tak berlanjut. J ustru kini kulihat seluruh
Batalion 18 perlahan-lahan bergerak ke kanan m engikutiku.
Setiba di sisi Batalion 11, kutahan tali kekang. Nyaris aku
terkulai m enyaksikan pem andangan ngeri di m ukaku: Puluhan
pria, wanita, anak-anak, bahkan bayi dalam gendongan ibunya,
dengan pakaian term ewah yang pernah kulihat, terus m erangsek
ke arah Batalion 11 yang dengan gugup m enem bakkan Mauser
m ereka sesuai aba-aba kom andan batalion.
Rom bongan indah ini tam paknya m em ang m enghendaki
ke m a tian. Setiap kali satu deret m anusia tum bang tersapu pe-
lu ru, segera terbentuk lapisan lain di belakang m ereka, m e ne-
rus kan m aju m enyam but m aut. Seorang lelaki tua, m ungkin
se orang pendeta, m erapal doa sam bil m elom pat ke kiri-kanan
m enusukkan kerisnya ke tubuh rekan-rekannya yang sekarat,
m em astikan agar nyawa m ereka benar-benar lepas dari raga.
Setelah itu ia m em benam kan keris ke tubuhnya sendiri. Kurasa
ini m alapetaka terburuk dalam hidup sem ua orang yang ada di
sini.
Setengah jam kem udian, sem ua sunyi. Kabut m esiu m e-
nipis. Aku kem bali teringat satu nam a, lalu seperti kesetanan
lari ke arah tum pukan m ayat. Mem ilah-m ilah, m encocokkan
pu luh an daging dengan sebentuk paras yang tersangkut dalam
ingatanku. Tak satupun kukenali. Sem ua rem uk.
Di ujung putus asa, aku tersentak. Di sana, dari tum pukan
sebelah kanan, perlahan-lahan m uncul suatu sosok. Seorang
wanita m uda. Merah kental darah dari kepala sam pai perut.
Buah dadanya yang rusak tersem bul dari sisa pakaian di tu-
buh nya. Ia m enatap sebentar dengan bola m ata yang tak lagi
utuh, lalu m elem par sesuatu ke arahku. Tepat ketika tangan

pustaka-indo.blogspot.com
71
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

kananku bergerak m enangkap, terdengar letusan keras. Seperti


air m ancur, darah m enyem bur dari sisa kepala wanita itu. Aku
m enoleh. Seorang tentara pribum i m enurunkan bedilnya. Ku-
tatap benda yang tersangkut di antara jem ariku dan m endadak
aku jadi kehilangan kendali. Kuhantam tentara tadi sam pai ja-
tuh, kutindih dadanya dengan lutut, lalu kulepaskan tinju ke
wa jahnya berkali-kali.
“Uang kepeng! Ia m elem parku dengan uang kepeng dan
kau tem bak kepalanya! Pem bunuh!”
“Cukup!” sesuatu m enghantam tengkukku. Aku terkapar.
“Beginilah kalau wartawan ikut perang,” sam ar-sam ar
kulihat J enderal Rost van Tonningen m enyarungkan pistolnya
seraya m em andang sekeliling sebelum kem bali m enatapku.
“Berhentilah m enulis hal buruk tentang kam i, Nak. Aku dan
tentaraku tahu persis apa yang sedang kam i lakukan. Sem ua
untuk Hindia. Hanya untuk Hindia. Bagaim ana denganm u?
Apa panggilan jiwam u?”
Aku tidak m enjawab. Tak sudi m enjawab.

J akarta, 1 J uli 20 0 8

Pieter Brooshooft (1845– 1921) w artaw an, pem im pin redaksi De Locom otief.
Tokoh Politik Etis bersam a Conrad van Deventer.

Pada peristiw a Puputan 20 Septem ber 190 6, sejum lah besar w anita sengaja
m elem par uang kepeng atau perhiasan sebagai tanda pem bay aran bagi ser-
dadu Belanda y ang bersedia m encabut ny aw a m ereka.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Tangan Ratu Adil

… di dalam sana di atas tikar, aku segera tertidur


dan tidak tahu apa m im piku.

AKU TERGAGAP BANGUN. Max Havelaar! Ya, itu potongan


sa jak dalam buku yang berulangkali kubaca sebelum berangkat
ke Cilegon. Melintas begitu saja di kepala. Kuperiksa perban
yang m em balut pinggang. Tak ada infeksi. Kurasa aku kelelah-
an dan tertekan, sehingga tertidur sam pai pagi m em eluk leher
kuda. Untung tidak terpelanting di jalan. Kutarik kekang. He-
wan yang sem ula berjalan sangat lam bat itu kini berhenti. Agak
ceroboh, kujatuhkan diri ke atas rerum putan yang m asih ber-
em bun. Gerakan itu ternyata m em buat pinggangku terasa se-
per ti disobek oleh tangan raksasa. Luka kem bali terbuka. Aku
m encoba berdiri. Kepala terasa berputar. Mungkin karena cu-
kup banyak darah yang keluar, m ungkin juga lantaran belum
terisi m akanan sejak kem arin m alam . Tapi, tak bisa kutunda
le bih lam a. Aku harus ke Serang m engabarkan peristiwa ini.
Perlahan kutata kembali ingatanku: Alun-alun Cilegon, 9 J uli
1888. Tepatnya sore kemarin. Mesiu, darah, neraka! Alangkah
ajaib menyadari bahwa aku bisa lolos dari maut sedekat itu.

pustaka-indo.blogspot.com
73
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Sem ua berawal dari kunjungan perdana ke pos baruku so-


re kem arin: Kepolisian Sektor III, m erangkap penjara di jalan
Tan jung Kurung. Setelah berbasa-basi dengan Dirk Zware
Laar zen, pejabat sem entara yang kini resm i m enjadi wakilku,
aku ber keliling ke ruang tahanan.
“Salam , Anda Ustaz Rakhim ?” aku m elongok sel paling de-
pan, sebuah ruang sem pit dengan lubang angin bundar ber te-
rali di dinding belakang. Sinar m entari sore m asuk dari situ,
m em buat sekeliling kepala pria kurus berkopiah putih yang
ber ada di balik pintu jeruji itu seolah berpendar seperti cahaya
orang suci pada lukisan gereja abad pertengahan. Ada suara
ga duh yang berasal dari rantai di kedua tangan dan kakinya
saat ia m endekat. Sepasang m atanya tajam m engiris. Kucoba
m engulangi pertanyaan. Bibir kehitam an di antara kum is serta
jenggot lebat orang itu tak bergerak. Agaknya ia terbiasa bicara
dengan m ata. Tapi pandangan bengisnya ternyata lebih tertuju
kepada orang di belakangku.
“Nam a tak punya arti di sini, Inspektur,” Dirk Zware Laar-
zen m enggerutu dari balik punggungku. “Ia bisa bernam a
Rakhim , Wasid, atau Ism ail. Yang jelas, ia dan gerom bolannya
nya ris m erobek perut Hendriek Minggu sore di pasar. Sayang,
ha nya ia yang tertangkap.”
“Lalu tawanan di belakang itu?” aku m elangkah ke ruang
ja ga. Dari tem pat itu terlihat beberapa kam ar tahanan yang
ukur annya lebih kecil.
“Pencopet biasa. Minggu depan kulepas.”
“Jadi sudah tiga hari orang tarekat itu di sini? Apakah ran tai itu
diperlukan di dalam sel? Mengapa pula pipinya memar?” tanyaku.
“Ia m enyerang saat pintu sel kubuka. Terpaksa popor bedil
bicara. Baru kem arin rantai kupasang. Betul, Usep?” Dirk
m engge rak kan kedua tangan, m em peragakan pem asangan
rantai sam bil m enoleh kepada seorang opas berkulit cokelat
yang se dang m eletakkan secangkir kopi panas untukku.

pustaka-indo.blogspot.com
74
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Sum uhun, Tuan,” Usep m em andang Dirk dan aku sekilas


sebelum kem bali ke dapur.
Aku m enghela napas. “Orang tarekat harus didekati secara
halus. Sekarang ia telanjur di sini. Hanya ada dua pilihan: Ia
pindah ke penjara kabupaten secepatnya atau penjagaan tem -
pat ini diperkuat,” kutarik sebatang cerutu dari saku jas seraya
m engem paskan badan ke atas sofa.
“Telah kubaca sem ua arsip kepolisian Banten. Kota-kota di
daerah ini sejak dahulu bergiliran berontak,” asap cerutu ber-
keliaran dari sela bibirku. “Dan ciri pem berontakan itu sangat
khas, bersifat spiritual. Mulai dari kerusuhan di Cikandi Udik,
Kolelet, kasus J ayakusum a, serta tragedi dua tahun lalu, yaitu
pem bantaian di Ciom as. Sasaran m ereka bukan hanya m iliter,
melainkan semua yang mereka anggap kair. Musuh Allah.”
“Kebetulan aku ikut membereskan sisa huru-hara itu. Me-
reka mencincang para pejabat Eropa dan pangreh praja be ser-
ta seluruh keluarga yang hadir dalam Upacara Sedekah Bu mi,”
Dirk meneguk kopinya. “Koran De Locom otief pernah meng-
ulas. Konon, semua kegilaan ini berkaitan dengan Gu nung Kra-
ka tau. Ledakan besar lima tahun lalu itu memicu ge lom bang
raksasa yang menyapu banyak desa, penyakit pes, ser ta ra mal-
an kedatangan Imam Mahdi, Ratu Adil yang konon akan mem-
bebaskan orang-orang ini dari tekanan pemerintah Hindia.”
“Mereka terlalu miskin untuk memahami perbaikan,” aku
menggeleng. “Kita perlu juru bicara, mungkin orang setempat,
yang bisa menjelaskan bahwa tiga puluh tahun terakhir ini pe-
merintah telah menghapus banyak pajak, bahkan meniada kan
hukuman cambuk rotan. Mengenai bencana Krakatau, bu kan-
kah kita tidak alpa menyalurkan bantuan pangan, mengirim
penggali kubur, serta mendirikan pos kesehatan?” kugigit ce rutu
agak lama. “Tetapi sungguh, popor bedil itu agak ber lebih an.
Ia mungkin seorang pemimpin agama. Pikirkan murid-murid
orang ini di luar sana bila tahu pemimpin mereka dianiaya.”

pustaka-indo.blogspot.com
75
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Mijn God!” Mendadak Dirk m em ukul m eja, m em buat


Usep yang berdiri di dekatku tersentak. “Engkau lam a ber tu-
gas di Aceh, Inspektur. Itu daerah para jantan. Aku berharap
ke da tanganm u m em bawa perubahan. J anganlah m enjadi
per pan jangan tangan para birokrat liberal di Batavia, yang
de ngan m udah term akan cerita picisan karya Multatuli atau
sia pa pun itu. Sungguh, m ereka yang duduk di kursi dewan
ber sam a om ong kosong tentang kem anusiaan itu telah m em -
bu at kita m enjadi tuan-tuan yang bingung dan lem ah di sini.
Di Ciom as, anak perem puan Heer J ansen yang berusia em pat
ta hun ditikam , lalu digantung bersam a kakak lelakinya. Ke tika
aku datang, wajah anak itu sudah m em bengkak hitam , dike ru-
m uni lalat seperti kism is yang ditaburkan di atas selai stroberi.
Dan kita m asih saja dim inta m enahan diri,” sekali lagi Dirk
m enghan tam m eja. “Sesungguhnya bukan cum a popor se na-
pan. Aku ingin sekali jahanam di sana itu ditem bak tepat di
ke pa la,” Dirk m enyerukan kalim at terakhir dalam bahasa Me-
la yu. Kurasa ia sengaja berbuat dem ikian.
“Kair!” Seperti yang telah kuduga, terdengar teriakan ke­
ras dari sel. Dirk terlonjak m engham piri sum ber suara.
“Oh, terganggu suaraku? Kair, eh? Tidak bertuhan, begitu
kira-kira m aksudm u?” Dirk m eraih tom bak di sudut ruangan.
“Dan kalian penggorok leher wanita serta anak kecil, m erasa
bertuhan? Biar kuperlihatkan kepadam u, seperti apa orang tak
bertuhan itu!”
Dirk m enyabetkan tom bak berulangkali pada terali sel
sam bil berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal.
“Cukup Hoofdagent * Dirk!” Aku membentak. Dirk meno-
leh. Napasnya naik-turun. Wajahnya m erah seperti iblis. Ia
m em buang tom bak, lalu m enarik botol wiski dari saku ce la-
na nya. Diteguknya beberapa kali sam bil m engibaskan tangan,

* Polisi senior.

pustaka-indo.blogspot.com
76
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

pustaka-indo.blogspot.com
77
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

m engusir beberapa agen polisi yang tadi sem pat berkerum un


m endengar keributan.
“Sam bil pulang, aku ingin m elihat Cilegon di m alam hari.
Sekalian m engenal rum ah-rum ah penting di sini,” kuam bil to-
pi dan pistol, pura-pura tak terpengaruh kegilaan Dirk. “Besok
kutem ui asisten residen dan jaksa, bicara soal pem indahan ta-
hanan itu.”
“Yah, kurasa tak ada alasan bagi m ereka untuk tidak setuju.
Nah, itu Agen J aap m enunggu di luar. Ia akan m em andum u
jalan-jalan sore,” Dirk yang sudah kem bali tenang, m em buka-
kan pintu untukku.
“Tak usah,” aku m enggeleng. “Aku tak lam a.”
“Baiklah,” Dirk m engangkat bahu.
Pukul tujuh petang kunaiki kuda dan m ulai m encongklang
ke kota. Lam pu-lam pu gas di sekeliling alun-alun m em buatku
mudah mengamati segala penjuru. Walau banyak warung masih
buka, tapi suasana keseluruhan cenderung sepi. Seperti yang
sem pat dijelaskan oleh Agen J aap, rum ah Asisten Residen
Gubbels terletak di Utara alun-alun, terletak satu deret dengan
kantor pos dan rum ah Asisten Kontrolir Van Rinsum . Aku
ingin m enengok ke sana dan untuk itu seharusnya aku bisa
langsung belok ke kanan, m elewati rum ah jaksa, ajun kolektor,
dan setiba di ujung alun-alun belok lagi ke kiri. Tapi jalan itu
penuh kubangan lum pur. Kuputuskan m em utari alun-alun m e-
le wati kabupaten dan penjara besar yang rencananya akan ku-
tengok juga esok hari. Aku sudah tiba di m uka m asjid, bersiap
m engarahkan kuda ke kanan ketika terdengar keributan luar
biasa dari selatan. Tak begitu jelas apa yang terjadi, tetapi ba-
nyak orang berlari m em bawa obor sam bil berteriak-teriak. Pa-
ra pem ilik warung berham buran m enyelam atkan dagangan.
Di beberapa titik terlihat sem burat m erah api m em angsa atap
ru m ah. Ada letupan senapan berkali-kali disusul jeritan silih-
ber ganti.

pustaka-indo.blogspot.com
78
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Kuam bil teropong. Segerom bolan besar orang dipim pin


oleh be berapa sosok berbaju putih m engham bur dengan tom -
bak dan parang, m em asuki rum ah-rum ah pejabat, ter m a suk
ke diam an Patih Penna. Mereka m enyeret ke luar dan m eng-
han tam kan aneka senjata ke tubuh penghuni rum ah. Da ri arah
belakang m asjid, ratusan orang juga m ulai terlihat m e nyer bu.
Tam paknya m ereka m asuk dari jalan kecil yang m enghu bung-
kan Desa Seneja dengan perum ahan elite ini.
Salah seorang dari m ereka berada sangat dekat dengan ku.
Kutarik revolver. Orang itu terjengkang. Tapi ujung tom bak nya
sem pat hinggap di pinggangku. Para rekannya berseru m eng-
acungkan parang. Ini benar-benar perkara hidup-m ati. Apa-
kah tragedi Ciom as akan terulang? Kupacu kuda kem bali ke
tem pat asal m elalui jalan berlum pur. Sem pat kuletupkan lagi
revolver dua kali sebelum tiba di depan kantor yang ternyata
sudah berubah menjadi lautan api. Beberapa agen polisi tampak
bergelim pangan tanpa nyawa di pelataran. Di pintu depan, ku-
lihat tubuh Dirk tergantung layu. Lidahnya terjulur. Sebuah pi-
sau lengkung tertanam di dada kirinya seperti cula badak.
“Sim pan pistolm u dan pergilah selagi bisa, Tuan. Tangan
Ratu Adil telah jatuh ke atas kota ini,” terdengar suara yang
cukup kukenal, m enyertai bunyi kokangan senapan.
“Usep?” aku m engerutkan kening m elihat opas yang sore
tadi m engantarkan kopi dengan ram ah, kini berdiri beringas
dengan Mauser terarah kepadaku. Di belakangnya, tawanan
berkopiah putih itu. Rantai di tangannya sudah lenyap, diganti-
kan parang.
Usep m elem parkan tas perbekalan kepadaku, lalu tanpa
ber kata lagi m enepuk paha kudaku yang segera berjingkrak,
m e le sat m eninggalkan tem pat itu.

J akarta, Awal Februari 20 14

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pollux

MEMASUKI LORONG LEMBAP ini, yang berm inat m erusak


tu buhku tam paknya bertam bah satu. Kalau tidak keliru na-
m a nya J aap Willenkens, Kepala Sipir. Seorang pria gem uk
ber se ragam sersan infanteri, dengan dagu yang ham pir setiap
saat terangkat ke atas. Ia m enunggu sam pai kedua serdadu di
belakang berhasil m em aksaku berlutut di hadapannya, barulah
tatapannya beralih ke bawah.
Kam i beradu m ata dan aku sedikit terkejut. Tak ada titik
hitam pada bola m ata kiri orang ini, sem entara yang berwarna
pu tih itu pun sam asekali tidak m enyerupai daging. Kurasa se-
jenis kelereng pualam . Dekat rongga m ata itu, hadir sebatang
hidung serupa paruh kakaktua. Sedem ikian bengkok hingga
m e nyen tuh kulit bibir bagian atas yang tam pak m enebal, m eng-
ikuti jahitan m enyilang ke pipi kanan. Mungkin sese orang per-
nah m enebaskan parang ke situ dengan penuh kebencian dan
boleh jadi pada peristiwa yang sam a m encongkel m ata kirinya.
Ma nu sia m alang. Tetapi, m em ikirkan kecongkakannya ser-
ta kenyataan pahit bahwa sebentar lagi ia akan berkuasa pe-
nuh atas hidupku di tem pat ini, m em buatku ingin pula meng-
ayunkan parang padanya. Ke arah leher. Sepenuh tenaga.

pustaka-indo.blogspot.com
80
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Orang ini yang akan m enginap sebelum ikut ‘Pollux’ ke


Manado besok, Heer,” penjaga di sisi kananku angkat bicara.
“Berkasnya telah kuletakkan di m eja Anda kem arin, bukan?”
Tak ada jawaban. Api obor m em besar tertiup angin. Saat
itu lah aku m elihat puncak segala keburukan lelaki di depanku
ini: Bintik-bintik keringat berukuran besar yang bersem bulan
di wajah serta di lipatan lem ak lehernya. Seperti deretan ja-
m ur di atas daging busuk. Seiring datangnya rasa m ual, aku
m e nunduk.
“Letnan Renard. Coba pandang lagi wajahku.”
Itukah suaranya? Kecil. Seperti tercekik. Kuangkat kepala.
Se konyong-konyong kepalan tangannya m enggocoh. Tepat
m e nge nai pelipisku sebelah kiri. Aku terjengkang.
“Maaf,” seringainya m elebar. “Begitulah cara kenalan di si-
ni, Letnan. Barangkali sekaligus peringatan: Meski pangkatku
hanya sersan, jangan sekali-kali m em andang wajahku dengan
jijik!”
Bisa kurasakan, darah turun m erayapi m ata dan pipi. Ru-
panya Willenkens sengaja m em balut jari-jari tangannya de-
ngan cincin besi. Am arahku tersulut. Masih dalam posisi te len-
tang, kulecutkan tendangan ke selangkangan Willenkens ke-
ras-keras. Pria tam bun itu m eraung, sebelum tum bang dengan
ta ngan terkem pit di antara paha.
Sentakan m endadak tadi m em buat dua petugas yang m e-
m e gang rantai tanganku tunggang-langgang. Kutubruk sa lah
seorang. Ia terbatuk-batuk, berusaha m elepaskan diri da ri
be lit an rantai borgolku di lehernya, dan sudah m ulai m en-
dengkur kehabisan napas ketika popor senapan Willenkens
tiba-tiba m endarat di atas tem purung kepalaku. Disusul hujan
pu kulan serta gem puran tongkat kayu pada bagian tubuh lain.
Aku terkulai.
Di antara kesadaran yang m enipis, terasa tubuhku diseret
lebih jauh ke dalam lorong berbau belerang bercam pur kotoran

pustaka-indo.blogspot.com
81
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

m anusia tadi m elewati beberapa gerbang besar dan berakhir di


sebuah ruangan berlantai basah. Terdengar keriut engsel besi,
disusul sepasang putaran kunci.
“Hati-hati, Piet. J ahanam ini kokoh seperti kerbau liar,” te-
lingaku menangkap suara Willenkens. Sebentar-sebentar ia me-
rintih. Bekas tendanganku agaknya masih menyisakan ngilu.
“Habisi saja, Sersan. Godverdom m e! Leherku nyaris remuk,”
tim pal seseorang, disusul sem buran batuk.
“Ia m em ang petarung,” sahut suara lain. “Mahir berbahasa
Tim ur. Pernah tinggal di Guangzhou dan sem pat belajar bela
diri kepada beberapa pendekar Cina.”
“Itu sedikit m enjelaskan, m engapa pem berontak yang ber-
etnis Cina tidak m enyentuh iblis ini.”
“Mereka m em buang kaptennya ke laut?”
“Hanya setelah dicacah-cacah seperti m akanan babi.”
“Mijn God! Dan orang ini diam saja? Ia orang nom or dua
di kapal, bukan?”
“Ada dua puluh awak kapal Eropa, term asuk si tolol ini.
Delapan orang ikut memberontak tapi berhasil ditembak mati.”
“Kem arin di persidangan terbukti dia bukan ‘terperangkap’
di tengah pem berontakan seperti yang dikatakan pem belanya.
J ustru dialah penyulut pem berontakan itu. Tapi tak heran. Ia
lahir di Herstal. Seorang Walloon. Sem entara kaptennya se-
orang Belanda. Harusnya sem ua tahu apa yang bakal terjadi.”
“Selalu orang Belgia! Harusnya kita gantung m ereka sem ua
selagi ada kesem patan.”
“Aku tak ingin repot m enahan orang ini,” suara Willenkens
m eninggi. “Pengadilan m iliter Manado akan m em utuskan na-
sib nya. Awasi dia dengan bedil terkokang, Piet. Melihat po lah-
nya tadi, m ungkin Hendriek benar, jangan-jangan kita tak per lu
m enunggu keputusan hakim untuk m enceraikan nyawanya.”
Itulah percakapan yang kudengar sebelum pandanganku
m enjadi sangat redup. Ketika terjaga, m ula-m ula kusangka ada

pustaka-indo.blogspot.com
82
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

yang keliru dengan m ataku, karena sekelilingku tetap hitam


m es ki telah kubuka m ata lebar-lebar. Tapi kem udian aku pa-
ham . Aku tengah terbaring di sebuah ruangan yang teram at
ge lap. Sulit m em perkirakan waktu. Tengah m alam kah ini?
Kuraba kepala bagian belakang. J ejak popor senapan Wil-
len kens telah berubah m enjadi sobekan daging yang berdenyut
m enyakitkan. Aku berusaha bangkit, tapi seluruh jaringan otot
yang ada dalam tubuhku m enjerit, m enolak keinginan itu.
“Tetaplah berbaring. Suhu tubuhm u seperti neraka dan
lu ka-lukam u cukup m engkhawatirkan. Tapi engkau akan se la-
m at. Hidup Belgia!” kudengar bisikan. Bahasa Prancis, bukan
Belanda. Seorang Walloon? Kuedarkan pandangan. Tetap ge-
lap. Beberapa lubang udara berterali di sisi belakang ruangan
tak m am pu m engantar cahaya m asuk, karena terhalang tem -
bok pengam an yang cukup tinggi. Mendadak sepasang tangan
dingin m enyentuh m ukaku, m em eriksa nadi leher. Tangan se-
orang pria. Kecil tapi kukuh. Lalu kesadaranku lenyap lagi.
Aku terbangun karena perbedaan suhu dan cahaya. Mata-
hari! Aku bisa m elihat cukup banyak kini: Atap beton yang sa-
ngat rendah, dinding tem bok kum uh, tum pukan jeram i alas
tidur ku, lantai berlum ut, dan… lelaki berjenggot itu.
“Selam at pagi. Selam at datang di Stadhuis Batavia. Kita
ber ada kira-kira sepuluh kaki di bawah lantai dasar, tidak ja-
uh dari Raad van J ustitie. Pusat keadilan,” lelaki tadi m e na-
bur senyum jenaka. Ia duduk bersila di seberangku. Lagi-lagi
m enyapa dalam bahasa Prancis. Ram but peraknya sebahu, m e-
nyatu dengan kum is dan jenggot. Tak ada apapun di badannya
kecuali selem bar cawat. “Sulit m elihat? Dalam sem inggu, orang
akan terbiasa,” tam bahnya.
Aku m enggeliat, berusaha tegak di atas kedua kaki. Tapi
ternyata atap ruangan ini lebih rendah dari dugaanku. Aku
harus m enundukkan kepala dalam -dalam . Akhirnya aku m e-
m ilih ber sila seperti lelaki itu. Kupandangi m em ar di tubuhku.

pustaka-indo.blogspot.com
83
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Sem ua tertutup tanah liat bercam pur jeram i. Rasanya m e nye-


juk kan. Lalu kusadari, ada sebuah bola besi terkait pada per-
gelangan kakiku.
“Mereka pasti takut padam u sam pai perlu m engikatkan
bo la besi, m eski kudengar kau cum a satu m alam di sini. Aku
diikat kalau pergi kerja bakti ke atas saja. Dan kupilih sendiri
bo la nya. Oh m aaf, aku terpaksa m enggunakan baju dalam m u
un tuk m em bebat yang itu,” kata lelaki tadi ketika m elihatku
m e m e gang pelipis dan kepala. “Ada sobekan panjang di kedua
tem pat itu.”
Aku m engangguk. “Terim a kasih banyak, Monsieur....”
“Phillipe Lecroix. Letnan Kelas Tiga. Eskader pertahanan
pantai, Banten. Anda m em im pin pem berontakan di sekunar
‘Noordster’? Salute. Anda Letnan Satu, bukan? Sayang kita tak
sem pat bertem u.”
Aku tidak segera m enanggapi. Tiba-tiba dia seperti m e-
nyadari sesuatu, lalu terbahak-bahak.
“Tenang, aku bukan m ata-m ata. Lihat,” ujarnya seraya m e-
nunjukkan bilur-bilur panjang di punggungnya. “Tak m ungkin
m ereka m erusak punggung seorang perwira kalau bukan ka-
rena rasa perm usuhan yang luar biasa, bukan?”
Aku m engangguk. Kurasa dia m em ang di pihakku. “Seku-
nar itu sarat opium . Van der Weert, si Kapten, sudah lam a m a-
in m ata dengan beberapa saudagar Inggris. Ia m em peroleh dua
persen kom isi untuk 40 ton opium yang bisa diselundupkan ke
Cina. Dalam sekejap, kapal m iliter kam i berubah m enjadi ka-
pal kargo pribadi.”
“Kaisar Cina telah m engeluarkan larangan m em per da-
gangkan barang itu, bukan?” Phillipe m enyela.
“Semua tahu, semakin dilarang semakin banyak penggemar-
nya, semakin tinggi harganya. Pendek kata, kami untung besar.
Nam un saat bagi hasil, keculasan Kapten dan kelom poknya
m u lai tam pak. Dengan dalih asuransi, ia m em angkas upah

pustaka-indo.blogspot.com
84
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

pustaka-indo.blogspot.com
85
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

awak kapal non-Belanda yang terlibat pekerjaan ini. Term asuk


sekelom pok orang Cina yang ikut berlayar sebagai agen per-
an tara. Suatu hari, seorang pem uda dari kelom pok tadi m eng-
am uk m enuntut haknya. Ia ditelikung, lalu dijem ur di ge la dak
kapal selam a 12 jam setelah terlebih dahulu dihukum cam -
buk.”
“Sejak itu, desas-desus untuk memberontak mulai merebak.
Kapten waspada. Semua senjata disita. Aku mencoba menjadi
pe nengah. Tetapi, seisi kapal telanjur terbelah dua. Van der We-
ert belakangan malah mencurigai kefasihanku berbahasa Cina
sebagai upaya penggalangan kekuatan. Di Selat Malaka, pem -
beron takan meletus. Senjata api melawan tinju dan ten dangan.
Kalau sidangnya jujur, seharusnya aku bebas. Bu kan gagasanku
membelokkan kapal militer menjadi kapal pe nyelun dup.”
“Tabiat asli orang-orang Oranje, bukan? Mem aksa orang
Belgia m endukung hal-hal yang m enguntungkan m ereka. Se-
m oga Tuhan m engam puni para pem urtad agam a, penipu, dan
pezina itu.”
“Sudah berapa lama di sini, Letnan? Bagaimana kisahmu?”
“Phillipe saja. Tak ingin kuingat pangkat atau hal lain yang
berhubungan dengan Belanda. Mereka toh sudah m eram pas
semuanya,” wajahnya menjadi keruh. “Tadi kau bertanya sudah
berapa lam a, bukan? Lim a tahun enam bulan lim abelas hari.
Aku m enghitungnya dengan cerm at. Geser kem ari,” ia m em beri
isyarat dengan tangannya.
Aku m endekat. Kuikuti telunjuknya. Di dinding kusam itu
aku m elihat goresan-goresan tanah liat, disusun rapi setiap
lim a goresan, m em enuhi ham pir seluruh perm ukaan dinding.
Pagi ini, di hadapanku, ia m em buat satu goresan baru.
“Lim a tahun enam bulan enam belas hari. Asal jangan kau
tanyakan nam a harinya,” ia terkekeh. “Supaya tetap waras,
harus ada kegiatan di sini. Bulan-bulan pertam a aku nyaris gila

pustaka-indo.blogspot.com
86
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

kesepian. J arang ada orang Eropa m asuk sini. Kebanyakan in-


lander. Itupun tidak pernah satu sel dan cepat sekali dihukum
m ati. Sarapan?” ia m engangsurkan gum palan lunak sebesar
ke palan tangan, berwarna putih dengan bintik-bintik biru.
“Itu keju Roquefort asli,” ia m elihat keraguan di wajahku,
“Upah m em bersihkan kakus para sipir.”
“Keju Roquefort untuk upah? Mulia sekali,” aku m encubit
gum palan itu, lalu m em asukkannya ke m ulut. Mem ang keju
dan terasa sangat nikm at. Mungkin karena dua hari aku tak
ber tem u m akanan. Kucubit sekali lagi. Dan lagi.
“Habiskan. Aku bosan m akan keju,” ia m engangkat bahu.
Tiba-tiba m eledaklah tawanya.
“Kau betul-betul berpikir m ereka m em beriku keju? Mon
Dieu! Lihat,” ia m engangkat sebuah bola besi, lalu m em utar
ba gian bawahnya. Ternyata bola besi itu berlubang.
“Paku,” katanya. “Pekerjaan setahun. Dapur letaknya di
se be rang kakus. Bila sedang kubersihkan, bau kakus nyaris
tak tertahankan. Penjaga m enyingkir. Diam -diam kuam bil se-
genggam keju dari m eja. Kujejalkan ke sini.”
“Pandai sekali,” kusodorkan senyum lebar, tetapi diam -
diam aku m ulai m ual m em bayangkan bagaim ana ia m erem as
keju dengan tangan yang dipakai untuk m em bersihkan kakus.
“Kau belum m enjawab. Bagaim ana bisa ke sini?”
“Tidak sehebat kisahm u,” Phillipe m enghela napas. “Tapi
juga berkaitan dengan orang Belanda.”
“Tak perlu bercerita bila m em buatm u terluka.”
“Sudah lam a berlalu. Tidak m asalah,” ia m enggeleng.
“Hari itu kunci lem ari kantor tertinggal. Aku bergegas pulang.
Ke tika pintu kam ar kubuka, sepasang pendurhaka itu sedang
te lanjang di atas tem pat tidurku. Dan istriku, belum pernah
ku lihat wajahnya dipenuhi rona kenikm atan seperti itu.
Kuam bil sekop. Kubuat kepala pria itu dem ikian rusak. Lalu

pustaka-indo.blogspot.com
87
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

kupatahkan leher istriku. Sejak itu aku paham , Belanda tak


m ungkin bersatu dengan Belgia.”
“Istrim u Belanda?”
“J uga pezina prianya,” ia m engangguk. “Anda m engikuti
Perang J awa, Letnan?”
“Sedikit,” jawabku. “Saudaraku di kavaleri berkisah, perang
itu banyak m akan korban prajurit Eropa.”
“Pelaut m acam kita m em ang cum a m endengar kabar. Tapi
Pangeran J awa ini, ah aku selalu sulit m engucapkan nam anya.
Dia sungguh luar biasa. Mam pu m enandingi pasukan Eropa
pim pin an Letnan Kolonel Sollewijn, Cochius, Michiels, bahkan
Mayor J enderal Van Geen. Sayang, kudengar Pangeran itu
akhir nya berhasil dikalahkan. Aku hanya ingin m engatakan,
se ha rus nya rakyat Belgia m em iliki hati sekeras Pangeran ini.
Vercingetorix dulu juga m am pu m enahan balatentara Rom awi
yang perkasa. Kita butuh revolusi. Merekalah yang tinggal di
tanah kita, bukan sebaliknya!”
Aku baru saja m em buka m ulut untuk m endukung ucapan
Phillipe sewaktu pintu sel terkuak. Willenkens m asuk, diiringi
tiga pengawal.
“Letnan Renard, ucapkan selam at tinggal pada rekanm u.
Terhitung pagi ini, 3 Mei 1830 , kau bukan lagi tanggung jawab
kami,” ia menoleh kepada pengawal-pengawalnya. “Ikat tangan-
nya. Sertakan bola besinya. Nanti di pelabuhan baru kita buka.”
Sehelai baju putih dilem parkan kepadaku. Selesai kupakai,
m ereka m em asang borgol pada tanganku seperti kem arin m a-
lam . Tetapi ketika aku m enunduk untuk m engangkat bola besi,
seorang penjaga m enam parku.
“Tidak diangkat,” serunya. “Kau harus m enyeretnya.”
Kutatap m ata pengawal tadi. Wajahnya kekanak-kanakan.
Bibirnya m erah seperti bibir sundal yang sering kutem ui di
jem batan pasar burung Shanghai.

pustaka-indo.blogspot.com
88
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Rantainya sangat pendek. Tak m ungkin kulem parkan ke


wajahm u, Nak,” kataku.
Penjaga itu m enjawab dengan ayunan tangan. Tapi gerak
bahunya sudah terbaca, jadi aku tinggal m enggeser kepalaku.
Ia tersuruk terbawa tenaganya sendiri. Melihat itu, dua re kan-
nya m aju, m engayunkan penggada. Sekali lagi aku dapat m eng-
hindar. Nam un berkelahi dengan kedua belah tangan terpilin
ke belakang, ditam bah beban dua puluh kilogram besi di kedua
kaki, jelas bukan gagasan bagus. Sebentar kem udian penggada-
penggada tadi berhasil hinggap di kepalaku, m engirim rasa
nye ri yang m em abukkan. Aku jatuh berlutut sam bil terus m e-
ne rim a pukulan dan tendangan.
“Jongens, jongens!” Willenkens cem as m elihat aku m ulai
re bah. “Kalau dia m ati, kalian celaka. Lupakan bola besinya. Se-
ret saja. Banyak pejabat negara akan m engantar keberangkat-
an corvette istim ewa itu pagi ini. Kita tak boleh terlam bat.”
Serangan berhenti. Sewaktu m ereka m ulai m enyeret tu-
buh ku, suara Phillipe terdengar. Kali ini dia tidak berbisik, m e-
la in kan berteriak sekuat tenaga: “Hidup Belgia!”
“Hidup Belgia. Hidup kemerdekaan,” aku menyahut lemah.
Ya, hidup Belgia. Hidup kem erdekaan. Di atas kereta bak
ter buka tem pat aku diikat telentang, kata-kata itu terus ku gu-
mam kan, seolah mantra kuno Celtic yang dirapal sebelum m a ju
perang.
Aku Antoinne Pascale Renard, orang Galia. Anak-cucu
Vercingetorix. Di Manado atau di sini, aku tak takut m ati. Te-
tapi m engapa corvette itu begitu istim ewa?
Tiba-tiba kereta berhenti. Para prajurit m enuntunku tu run.
Kubuka m ata. Pelabuhan Sunda Kelapa. Ketika m enoleh ke
arah laut, aku tersentak. Di depanku terbentang pem andangan
luar biasa: Iring-iringan pejabat tinggi, lengkap dengan payung
ke em asan, berjalan perlahan m engikuti alunan aubade yang
dilantunkan korps m usik tentara yang berdiri berjajar di kiri-

pustaka-indo.blogspot.com
89
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

kanan rom bongan, m em bentuk lorong m enuju sebuah corvette


bertiang tiga yang bersandar anggun di derm aga. Pada lam bung
depannya, terbaca tulisan besar: POLLUX.
Dengan susah payah, aku berdiri. Keringat m em buat pedih
luka-luka yang terbuka. Kem eja putihku juga telah berubah
warna m enjadi m erah karena cucuran darah dari kepala.
“Paksa dia berjalan. Masuk dari pintu kedua,” Willenkens
m em beri perintah. “Tapi tutupi dulu badannya dengan selim ut
atau kain lebar. J angan sam pai J enderal De Kock dan pejabat
lain, apalagi pangeran J awa itu, m elihat pem andangan buruk
ini.”
Anak buah Willenkens m endorong-dorongku ke tem pat
yang dim aksud. Rupanya pintu palka kedua ada di balik deret-
an pe m usik sebelah kiri. Begitu rapatnya pagar hidup itu, se-
hingga rom bongan agung di sana rasanya tak bakal m elihat
kam i.
Seorang taruna m em bentangkan selim ut ke atas kepalaku,
tepat pada saat tubuhku didorong keras ke depan. Tak ter-
hin dar kan, dagunya terhantam bahuku. Ia roboh begitu saja.
Rekan-rekannya, sesam a taruna m uda, m enjadi m ata gelap.
Aku kem bali m enuai hujan pukulan.
Sesungguhnya pukulan anak-anak ini berkualitas rom -
bengan. Sayangnya, rasa lapar serta luka-luka m em buat daya
tahan tubuhku tak bisa dipertahan kan lagi. Aku m elan gkah
lim bung, sebelum jatuh ke kanan m enubruk deretan pem usik,
lalu terguling. Tepat di depan iringan!
Musik terhenti seketika. Segala suara lenyap, seolah dite lan
angin. Setidaknya bagi telingaku. Dan di lantai dermaga ini, aku
terbaring tengadah dengan mulut terbuka, menatap la ngit pagi
Batavia yang, tidak seperti biasanya, berwarna biru cerah.
Biru langit yang sam a pernah kusaksikan di Beauvechain
saat aku berbaring di sam ping ayahku. Hanya saja waktu itu

pustaka-indo.blogspot.com
90
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

kam i ada di padang rum put, bukan di tepi pantai. Di sekeliling


kami, berkeliaran sapi-sapi Friesland gemuk milik Tuan Bas-
tiaan de J onge, orang Belanda, tetangga sekaligus m ajikan ka-
m i. Dan aku, rem aja berusia tigabelas tahun, bertanya penuh
selidik kepada ayahku: “Mengapa orang Belanda selalu bicara
dengan nada m em erintah kepada kita?”
J awaban Ayah senantiasa terngiang, karena diucapkan de-
ngan bentakan: “Tanya m ereka. Tanyakan juga, m engapa orang
Belanda m enerapkan perdagangan bebas, sehingga harga roti
kita rendah.”
Setelah itu, tak pernah lagi aku bertem u Ayah. Kata ibu,
ia disergap di sebuah gudang kopi di Liège bersam a rekan-
rekannya, sesam a penggiat kem erdekaan Belgia.
Kucoba m enghilangkan bayangan Ayah dengan m e m an -
dang langit biru di atasku sekali lagi. Aneh, aku tak bisa m e-
lihat langit. Seluruh bingkai m ataku tertutup warna putih.
War na putih dengan banyak kerutan. Sehelai jubah putih! Aku
m en do ngak. Tertangkap seraut wajah lelaki berkulit coklat. Di
kepalanya: Sorban putih yang ekornya berkibar tertiup angin
pagi. Penam pilannya sederhana. Sedikit jangkung bagi orang
se bangsa nya. Berbibir agak tebal, seperti bibir para inlander
um um nya. Tetapi m atanya teram at tajam . Mem buatku sulit
m e nebak, apakah ia sedang m enyusun sebuah senyum atau
m e na han am arah.
Ia berlutut di depanku. Menggenggam selim ut penutup
tubuhku. Lantas dengan sangat terlatih m em bersihkan wajah ku
dari noda darah. Setelah selesai, ia m enoleh kepada pem besar
Belanda di belakangnya. Kem udian bicara dalam bahasa yang
tak kum engerti sam bil m enunjuk borgol di lenganku.
Willenkens yang sejak tadi berdiri ketakutan, m engham piri
pem besar itu. Tak lam a kem udian, ia m elepas borgolku. Lalu
tubuhku dinaikkan ke atas tandu.

pustaka-indo.blogspot.com
91
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Kau beruntung, bangsat,” Willenkens berbisik di telingaku.


“J enderal De Kock bersedia m em enuhi perm intaan Sang Pa-
nge ran. Kau akan dirawat dokter kapal dan tidur di kam ar atas.
Tapi aku yakin pengadilan Manado akan m engulitim u.”
Pangeran? Aku teringat cerita Phillipe tadi pagi. Mungkin-
kah dia Pangeran J awa berhati singa itu?
Aubade terdengar lagi. Iringan kem bali bergerak. J uga
tanduku. Perlahan-lahan kuputar kepalaku. Pangeran itu ber -
jalan di sam pingku. Masih dengan bibir dan tatapan yang sa-
m a. Dan tetap tak bisa kutebak, apakah ia sedang tersenyum
atau m arah. Tapi setidaknya kini aku tahu: Aku tidak sendiri.

J akarta, 14 Desem ber 20 0 6

Sebelum diasingkan ke Manado, Pangeran Diponegoro ditaw an di lantai


dua Balai Kota (Stadhuis) Batavia. Di gedung ini m aupun saat dilepas di pe-
labuhan (3 Mei 1830 ) dan di pengasingan, Diponegoro m endapat perlakuan
istim ew a, karena Belanda m em ang sangat m enghorm atiny a.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Di Ujung Belati

AUCHMUTY. SAMUEL AUCHMUTY. Itu nam a Skotlandia


biasa. Aku pernah m endengar nam a yang lebih aneh. Sem ula
kubayangkan ia gemar berkebun atau menyimpan uang, seperti
kebanyakan orang Skotlandia. Tetapi petang kem arin, dalam
rapat darurat perwira, J enderal J ean-Marie J um el terlihat sa-
ngat gelisah saat m enceritakan sepak terjang pem ilik nam a itu
kepada kam i. Ya, Auchm uty yang ini seorang m ayor jenderal.
Pem im pin arm ada Inggris di India.
Segera setelah Prancis, yang kem udian dibantu Belanda,
ber silang senjata dengan Inggris, nam a Sam uel Auchm uty
m e lesat naik, m eninggalkan jejak panjang m esiu dan darah di
se tiap tem pat yang disinggahinya. Menggentarkan kawan dan
lawan.
Celakanya, m akhluk m engerikan inilah yang sebentar lagi
akan datang m enyerbu kam i di Weltevreden. Lebih celaka lagi,
ternyata dua hari yang lalu ia bersam a Lord Minto dan delapan
ribu tentaranya berhasil m endarat di pantai Cilincing tanpa
m en dapat perlawanan. Mem alukan! Belum pernah terjadi da-
lam sejarah m iliter m anapun bahwa di pagi hari yang terang-

pustaka-indo.blogspot.com
93
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

benderang, delapan ribu pasukan m usuh bisa m enepi ke pantai


dalam sekoci-sekoci kecil dengan santai tanpa diganggu sebutir
peluru pun. Bahkan pukul tiga sore, seluruh kekuatan kam i di
Batavia m enyerah tanpa syarat. Aku yakin banyak serdadu ka-
m i yang terkencing di celana. Term asuk para perwira.
“Letnan Fabian Grijs, Heer,” sebuah panggilan m em buatku
m enengok ke kanan. Seorang pria kurus dalam seragam in-
fan teri m uncul dari ujung tangga m enara, m em beri horm at.
Aku tahu, ia tidak serius dengan protokoler itu. Sebulan lalu ia
m asuk kom piku. Kam i m enjadi sangat akrab. Kebetulan saja
pangkatku lebih tinggi sedikit.
“Manfaatkanlah jatah tidurm u, Sersan Sterk,”* setiap m e-
nyebut nam anya aku selalu geli, karena sangat berlawanan de-
ngan keadaan tubuhnya.
“Sebentar lagi, Letnan. Hanya ingin tahu, m engapa kita di-
pindah ke atas m enara? Siapa m enjaga sayap kiri benteng?”
“J angankan aku, Brigadir Von Rantzau pun tak tahu alas an-
nya,” kuedarkan pandangan ke seluruh dinding benteng. Ba gian
kanan terlindung oleh kanal lebar. Tapi sisi kiri memang tampak
menganga. “Tanyakan pada J enderal J umel,” sam bungku.
“Ah, Prancis pandir itu,” Sterk m enekan tawanya sehingga
terdengar seperti orang tercekik. “Tak m au belajar bahasa Be-
lan da. Padahal jum lah tentara Belanda di sini jauh lebih ba-
nyak daripada Prancis.”
“J angan m encibir. Baru tiba dari Eropa, ia langsung di-
jebloskan ke sini. Tentu agak gam ang. Soal bahasa, jangan lu-
pa, saat ini Belanda dan Prancis adalah satu negara. Sem ua be-
bas m enggunakan kedua bahasa itu.”
“Ya, aku hanya ingin m engatakan, kita butuh pem im pin
berwibawa. Kalau tidak, habislah kita kali ini. Gubernur

* Sterk: kekar—bahasa Belanda.

pustaka-indo.blogspot.com
94
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

J anssens pun tam paknya tak punya kharism a,” wajah Sterk
ber ubah m endung. “Aku sudah m enulis surat wasiat untuk is-
triku sore tadi.”
“Hati-hati. Aku bisa m elaporkanm u untuk pernyataan-
per nyataan yang sangat tidak patriotik tadi,” aku m enggeleng.
“Tapi, hei, istrim u pribum i?”
“Ya. Gadis Kem ayoran. Manis,” Strek m eringis, m em am er-
kan sepasang gigi em asnya. “Tak pernah tahu nam a aslinya.
Yang jelas, J anuari kem arin ia resm i m enjadi J ohanna Maria
Krets setelah m elahirkan anakku.”
“Krets? Ah ya, tentu saja. Pem balikkan nam am u, bukan?”
Aku m engangguk paham . “Kau tergila-gila padanya?”
“Letnan, ia m ahir bercinta dan tidak rewel seperti para be-
tina palsu dari Holland itu,” Sterk m endengus. “Mereka m e ngi-
rim gadis pem erah sapi yang di sini berubah m enjadi nyonya
besar. Engkau tidak m engam bil gundik, Letnan? Ada istri di
Belanda?”
“Belum m em ikirkan istri,” kuhela napas panjang. “Soal
gun dik, terus terang aku term asuk pihak yang kurang setuju.”
“Ooh,” Sterk m anggut-m anggut. “Seperti juga kau tak suka
ini?” Sterk m engeluarkan kantong kecil, lalu dengan cekatan
m enata daun sirih, pinang, kapur, dan tem bakau, sebelum
m en dorongnya ke dalam m ulut. Tak lam a kem udian, m ulutnya
tam pak berlum ur cairan m erah. Aku m em alingkan m uka.
Sterk terbahak.
“Bagaim ana kauisi hidupm u, Letnan, bila sem ua kauang-
gap buruk?” sam bung Sterk.
“Sersan, orang Inggris m em ang congkak, tetapi kurasa
m e re ka benar. Dengan m enjaga kem urnian tradisi Barat yang
tinggi, penduduk asli akan m enaruh horm at pada kita. Lihat
pa su kan Inggris. Berapa banyak prajurit Eropa di sana? Hanya
se per tiga. Sisanya adalah laskar Bengal dan Madras dari India,
yang setia kepada Raja Inggris,” kataku. “J adi, bukan kita

pustaka-indo.blogspot.com
95
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

pustaka-indo.blogspot.com
Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 8 Agustus 2010.
96
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

yang turun, m erekalah yang perlahan kita naikkan derajatnya


m enjadi bangsa beradab.”
“Sem oga kau tidak sedang m encoba m engatakan bahwa
aku sudah turun derajat lantaran hidup bersam a perem puan
biadab,” dagu Sterk m enegang.
“J angan potong kalim atku, bisa salah tangkap walau ga-
gas an nya m em ang ada di situ. Maksudku, lihat laskar J ayeng-
sekar di sana. Aku yakin m ereka akan kabur pada kesem patan
pertam a. Tak ada kesetiaan dan terim a kasih. Mengapa? Kare-
na m ereka m elihat, tuan-tuan m ereka bukan orang terhorm at
yang bisa m enjadi teladan. Tuan-tuan m ereka m em elihara
gundik, m elakukan kawin cam pur, serta segala bentuk ke be-
jat an m oral lain.”
Sterk ingin m engatakan sesuatu, nam un aku terus bicara:
“Hal lain, coba katakan, di m ana keagungan sebuah pesta dan-
sa, pertunjukan opera, atau ibadat gereja bila wanitam u datang
dengan sarung sebagai pengganti petticoat, sem entara dari
m u lut m ereka m engalir cairan m erah seperti ini?” kusenggol
bibir Sterk dengan telunjuk kanan. Pria itu m enepis tanganku.
“Tak ada yang berani m enyentuh m ulutku, Letnan. Kau
ha rus m ati untuk itu. Sungguh!” Sterk m encabut belati dari
pinggangnya. “Ini Batavia. Negeri yang panasnya bisa m e m a-
tangkan telur. Kau ingin m em akai pakaian pesta seperti di
Versailles atas nam a peradaban? Pergilah ke neraka bersam a
para borjuis itu!” teriaknya. “Bukan soal siapa yang turun atau
naik. Mereka tidak setia, karena selam a ini kita perlakukan
m e re ka seperti hewan. Itu saja!”
Cepat kuhunus belatiku. Menara tem pat kam i berdiri ini
sepi, terpisah agak jauh dari tenda peleton. Walau dem ikian,
bentakan Sterk m em buat beberapa serdadu lari m em anjat
tangga, nam un segera berhenti m elihat isyarat dariku.
Kem bali kuarahkan m ata kepada Sterk. Kam i berputar-
putar cukup lam a, m encari peluang untuk m enusuk atau

pustaka-indo.blogspot.com
97
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

m enebas, sam pai akhirnya bahu kam i m ulai bergerak na ik-


turun. Mula-m ula pelan, kem udian berubah m enjadi gun cang-
an keras m engiringi tawa lebar kam i.
“Setan!” m akiku sam bil m asih tergelak. “Besok perang
besar, kita ribut soal perem puan dan sirih.”
“Besok kiam at. Sebaiknya cari perem puan m alam ini, Let-
nan,” diiringi tawa panjang Sterk menjauh, bergabung dengan
pra jurit-prajurit lain yang sejak tadi bertepuk tangan untuk
ka m i. “Tapi aku serius soal kesetiaan pribum i tadi!” teriaknya.
“Pergi!” aku m engibaskan tangan, kem udian m enyusul tu-
run dari menara. Enam serdadu bersenjata menunggu sampai
ka kiku m enginjak anak tangga terakhir, m em beri horm at, ke-
m u dian naik ke atas benteng. Mereka akan berjaga sam pai pa-
gi di sana.
Di dalam tenda, m ataku tak kunjung terpicing. Ada lapor an
bahwa jem batan Ancol yang kam i hancurkan telah dibangun
kem bali dan pasukan Inggris sedang m enuju ke sini dalam
jum lah besar. Mam pukah m enahan m ereka? Sterk benar, bu-
tuh pem im pin m acam Napoleon atau Auchm uty untuk m eng-
atur gerom bolan kacau yang m enam akan diri pasukan Hindia
Belanda ini.
Sebenarnya kam i pernah punya orang seperti itu. Sayang,
baru saja ia pulang ke Belanda. Kutarik lagi belati tadi dari sa-
rungnya. Bukan sem barang belati. Hadiah dari orang itu. Le-
laki yang sungguh ingin kuteladani dalam hal disiplin dan stra-
tegi. Terutam a di saat genting seperti ini.
Tiga tahun lalu, tak lam a setelah m enjadi letnan, aku m e-
nem ani Majoor van Ijzerhard m engawasi pem bangunan ruas
jalan pos dari Meester Cornelis sam pai Kwitang.
Siang itu, para mandor bekerja setengah hati. Ratusan ku-
li terbawa menjadi tidak disiplin. Bentakan dan makian tak
mem bawa hasil. Padahal kami sudah jauh di belakang jad wal
dibandingkan peleton lain yang bekerja di ruas jalan berikutnya.

pustaka-indo.blogspot.com
98
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Maka lepas tengah hari, atas perintah Majoor Ijzerhard,


pa ra serdadu diturunkan. Cam buk berm ata sem bilu segera
ber pu tar-putar m encari korban. Dalam tem po singkat satu
kilo m eter jalan ram pung dipadatkan. Sayangnya tak ber lang-
sung lam a.
Di dekat Paseban, seorang kuli m enarik cam buk yang di-
le cut kan ke atas tubuhnya, m em buat si pem ilik cam buk ter-
lem par dari punggung kuda, disam but tinju dan tendangan
oleh kuli-kuli lainnya. Rekan-rekan serdadu malang itu datang,
m engayunkan popor senapan m em babi-buta. Seorang kuli re-
tak kepalanya. Keadaan sem akin rusuh. Senapan m ulai m e nya-
lak di sana-sini. Tubuh-tubuh kuli bergelim pangan. Tetapi se-
ge ra terlihat bahwa kam i kalah jum lah. Beberapa kuli berhasil
m e ngu asai senapan, lantas m em balas tem bakan, m em buat
para serdadu yang jum lahnya hanya satu peleton m undur.
Aku terkepung di antara puluhan kuli. Kudaku entah ke
m ana. Wajahku kuyup oleh darah akibat lem paran batu. Dan
m ereka terus m elem par, m em buatku perlahan-lahan rubuh,
nyaris kehilangan kesadaran.
Mendadak kerum unan itu cerai-berai. Ada bias ketakutan
di wajah m ereka, m enem ani sepenggal kalim at yang diserukan
berulangkali: “Tuan Besar Guntur!”
Aku m endengar banyak letusan senapan serta teriakan da-
lam bahasa Belanda. Setelah itu, suasana kem bali tenang. Apa-
kah kuli-kuli berhasil dijinakkan? Ingin sekali tahu apa yang
terjadi, tapi pandanganku telanjur gelap.
Aku terlonjak bangun setelah m erasakan sem buran dingin
di wajah. Seseorang m elem parkan kantung air dan m em biar kan
aku m eneguk rakus sisa isinya. Ketika aku m endongak, tam pak-
lah orang dahsyat ini di atas kuda putihnya. Ia m engenakan
seragam m arsekal warna biru laut, dengan epolet keem asan
di kedua bahunya. Kerah bajunya penuh bordir sam pai batas
perut. Di dada kirinya: lencana perak berbentuk bintang besar.

pustaka-indo.blogspot.com
99
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Ia m elepas topi dan ram but palsunya, sehingga cam bang yang
hitam m elengkung terukir jelas di kedua pipinya, sangat ber-
lawanan dengan ram but depannya yang dipotong lurus di atas
dahi. Ini bukan perjum paan pertam a kam i. J adi aku tahu, si-
apa dia.
“Marsekal Daendels,” sekuat tenaga aku berdiri. “Selam at
siang, Heer!”
“Catatan karierm u bagus. Tapi tak sepadan dengan kerjam u
hari ini, Letnan. Kau kelihatan seperti baru kembali dari neraka,”
Marsekal m enunjuk dahiku. Rupanya seseorang telah berbaik
hati m em balut lukaku dengan kain selagi aku pingsan tadi.
“Enam serdadu dan Majoor Ijzerhard luka parah. Tapi hu-
kum harus tetap ditegakkan. Semua, termasuk engkau, harus
ma suk bui. Belajar mengendalikan massa,” sambung marsekal.
“Siap!” jawabku, sam bil berpikir, akan berm uara di m ana
percakapan ini.
“Lihat,” m arsekal m enoleh. Kuikuti arah dagunya. Di de-
pan barisan kuli dan serdadu berdiri Sabeni, kepala m andor,
de ngan tangan terikat ke belakang. Wajahnya lebam . Di ujung
ka kinya, terbaring sekitar dua puluh m ayat kuli.
“Si penghasut,” kata m arsekal sam bil m elem parkan sebi-
lah belati kepadaku. “Buatlah pelajaran yang sulit dilupakan
sem ua yang ada di sini, agar m ereka m enghorm ati orang yang
sudah m em beri m ereka hidup.”
Kuam ati belati itu. Palangnya dari kuningan. Pegangannya
berlapis keram ik. Bukan jenis yang biasa dipakai prajurit se-
bagai sangkur.
“Segera tem ui atasanm u,” Marsekal m em utar kuda, lantas
m enghilang bersam a rom bongannya di balik pekatnya debu.
Kudekati Sabeni yang dijaga oleh dua orang serdadu.
“Sabeni,” desisku dalam bahasa Melayu. “Kuangkat kau
dari tum pukan sam pah, kusantuni keluargam u, kuperbolehkan
kau m enarik upeti. Inikah ucapan terim a kasihm u? Begitu

pustaka-indo.blogspot.com
10 0
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

sulitkah untuk setia? Sadarkah kau, hidupm u ada di tanganku?


Di ujung belati ini?”
Hening.
Seluruh m ata tertuju pada belati di tanganku, yang siap
ter ayun. Sabeni tidak berkedip. Matanya m engunci m ataku.
Anjing! Seharusnya kukeluarkan ususnya, tapi ternyata belati
itu justru m enyilang ke atas, m enyobek pipi Sabeni, m em bong-
kar m ata kanannya. Masih terngiang teriakan Sabeni m eng-
iringi darah yang tum pah dari luka itu. Dan kini, teriakan juga-
lah yang m em buat aku tergeragap bangun.
“Inglitir! Inglitir!”*
Itu teriakan anggota laskar J ayengsekar.
Aku belari m enuju posku di atas benteng. Kuraih teropong.
Belum tam pak apapun sejauh m ata m em andang.
“Berapa lama?” kutengok Sterk yang berdiri di belakangku.
“Sudah sam pai Molenvliet,” jawabnya. “Baru saja m asuk
ka bar dari m ata-m ata.”
“J angan takut. Tandai hari ini dalam hidupm u. Hari ini, 10
Agustus 1811, kita berperang untuk Tuhan dan harga diri kita!”
kutarik pedangku, sam bil m encari posisi terbaik agar suaraku
terdengar jelas.
Anggota peletonku lima puluh orang. Bersama dua peleton
lain, kami menjaga dinding sepanjang seratus meter yang meng-
hadap ke jalan raya. Em pat puluh orang akan m e nem bak dan
m engisi m esiu bergantian. Sepuluh orang sisanya berdiri paling
belakang, siap m engganti yang gugur. Pada latihan terakhir
bu lan lalu, kecepatan tem bak kam i boleh dibanggakan.
Di luar itu, secara um um pertahanan kam i cukup kuat.
Me reka harus berjuang keras bila ingin m enyentuh benteng.
J em batan tarik sudah kam i hancurkan. Di belakang kanal, ada
kubangan lum pur, ditam bah em pat lapis barikade abatis dari
batang jati besar dan tiga ratus m eriam yang berfungsi baik.

* Inglitir: Inggris—dari bahasa Portugis ‘Inglaterra’.

pustaka-indo.blogspot.com
10 1
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Sepanjang siang, tak terjadi apa-apa. Sekitar jam enam pe-


tang, kem bali hadir teriakan m encekam : “Inglitir! Inglitir!”
Kini bisa kulihat barisan m erah di batas cakrawala, ber-
gerak ke arah kam i disertai suara genderang. J antungku ber-
de gup kencang. J em ariku yang basah dan gem etar berusaha
m em per tahankan genggam an pada hulu pedang. Tidak. J angan
sekarang. Mereka belum m asuk jangkauan. Sebentar lagi.
Tiba-tiba terdengar dua ledakan. Lalu sekali lagi. Dinding
sebelah kiri tam pak m enyala. Inggris keparat! Mereka tahu ke-
le m ah an kam i dan langsung m enggem pur titik itu dengan m e-
riam . Syukurlah, sebentar kem udian artileri kam i m em balas
ber tubi-tubi. Kam i m elihat lum pur dan air di bawah sana ber-
gantian terdorong ke atas, diikuti jerit kem atian.
Mana Auchm uty? Mana m eriam m ereka? Tak ada lagi le-
tus annya. Kupasang teropong. Ternyata m asih utuh. Hanya
dua? Aku yakin sedikitnya m ereka m em bawa lim a m eriam ja-
rak jauh. J elaslah, ini baru pasukan pelopor.
Di garis depan, laskar sepoy * India terus m aju m enerobos
barikade dan lum pur. Dua orang berhasil m erusak barikade de-
ngan dinam it. Sisanya m em buat form asi pendobrak gerbang,
tepat di batas jarak tem bak kam i. Inilah saat yang kunanti.
“Siap!” Aku m em beri aba-aba. Dem ikian juga em pat letnan
lain sepanjang sisi atas benteng.
“Bidik!” kuangkat pedangku rata dengan dagu, lalu kuayun
ke bawah sam bil berseru:
“Tem bak!”
Letusan senapan yang nyaris serem pak m em buat sekitar
seratus prajurit baju m erah di bawah sana berjatuhan seperti
kartu dom ino.
“Isi!” keduapuluh prajuritku m undur selangkah, berlutut
m engisi senapan dengan bubuk m esiu, sem entara tem an m e-
re ka di baris kedua ganti m aju.
* Unit m iliter Inggris yang beranggotakan penduduk asli; kebanyakan dari
India.

pustaka-indo.blogspot.com
10 2
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Bidik! Tem bak! Isi!” Entah sudah berapa puluh kali ku-
serukan kalim at itu sewaktu datang sebuah goncangan besar
yang m em buatku terlem par.
Saat sium an, yang pertam a kulihat adalah wajah Sterk. Ma-
tanya m elotot. Cairan m erah di m ulutnya. Kali ini tentu bukan
karena sirih. Di sekelilingku, puluhan serdadu Belanda dan
Pran cis bergeletakan. Banyak yang tak berlengan atau berkaki.
Suara erangan m inta tolong m enyiksa telinga.
Kucoba bangkit, tapi kedua kakiku sulit m enapak. Nyeri lu-
ar biasa. Kurasa tulang kakiku patah di banyak tem pat. Kuam ati
sekeliling. Di bawah selim ut m alam , Benteng Weltevreden te-
rang oleh kobaran api. Mijn God! Mereka berhasil m em bongkar
sisi kiri benteng. Agaknya, untuk m elindungi regu penyerang
itulah m ereka m enghujani bagian tengah benteng, tem patku
ber tugas tadi, dengan peluru m eriam .
Kutarik tubuhku ke sebuah istal kosong yang selam at da ri
am uk api. Dari balik tum pukan jeram i, kulihat pasukan dra-
goners* Inggris m enyerbu m asuk, m em buru sisa pasukan
ka m i yang tunggang-langgang. Pedang m ereka m enyam bar-
nyam bar. Bukan hanya prajurit, perwira m enengah pun m en-
ja di korban. Benarlah berita yang kudengar, tentara Inggris ja-
rang m enawan m usuh.
Seorang dragoner tiba-tiba m em belokkan kudanya ke
arah ku. Mustahil ia m elihatku, jeram i ini cukup tinggi. Tak
urung hatiku kecut. Beringsut aku m asuk lebih ke dalam .
Mendadak seseorang m enekuk leherku dari belakang, lalu
m enyeretku ke ruang penyim panan dedak yang m iskin cahaya.
Aku berontak. Sayang tak ada tenaga. Orang itu m em banting
tu buh ku ke sudut ruang, kem udian bergegas keluar. Tak sem -
pat kulihat wajahnya. Tapi seragam nya m enjelaskan bahwa ia
seorang sepoy atau sejenis itu. Sam ar-sam ar kudengar ia bicara

* Pasukan pem usnah.

pustaka-indo.blogspot.com
10 3
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

dengan seseorang, disusul langkah kuda m enjauh. Dragoner


tadikah lawan bicaranya?
Tak lam a ia m asuk lagi m engham piriku. Dengan lutut kanan
ditekannya dadaku, sem entara tangan kiri m encengkeram ke-
dua pipi, nyaris m em buatku m untah. Aku m endengar suara
ge sek an, setelah itu kurasakan logam dingin m enem pel di
daguku. Belati!
Sekarang barulah tam pak bahwa ia m em akai penutup m a-
ta kanan. Wajahnya tidak m irip orang India. Hawa m ulutnya
seperti arom a yang biasa m enyapa hidung setiap m em buka
pin tu jam ban.
“Tuan, sadarkah kau bahwa hidupm u ada di tanganku? Di
ujung belati ini?” terdengar suaranya. Berat dan datar. Suara
yang pernah akrab di telingaku.
“Sabeni?”
Ia m em bisu. Belatinya diputar ke atas. Kem udian lewat
sebuah sentakan, benda itu dibawa m eluncur turun. Kupejam -
kan m ata. Terdengar bunyi m elesak dan getaran di leher. Aku
m enunggu, syaraf m ana yang sebentar lagi m engirim rasa sakit
ke otak. Tenyata tak ada. Kubuka m ata. Belati itu m enancap di
kerah jaketku. Sejengkal dari leher.
Sabeni m engendurkan tekanan lututnya lalu m enam par
wa jah ku satu kali sebelum beranjak pergi. Di am bang pintu ia
m em balikkan badan. Dalam gelap, terasa olehku bahwa m a-
ta nya yang tinggal satu m enatap lurus kepadaku, m engiringi
su a ranya yang berat dan datar: “Terim a kasih telah m engang-
katku dari sam pah.”

J akarta, 18 J uli 20 10

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bintang Jatuh

DINI HARI. SISA ketegangan m asih m elekat di setiap sudut


ben teng, m enghadirkan rasa sesak yang m enekan dari segala
arah. Sesekali arom a busuk air Kali Besar tercium , bergantian
de ngan bau barang terbakar. Ingin sekali aku berendam te lan-
jang di dalam bak m andi setelah enam jam berteriak m em beri
ko m ando serta m elepaskan tem bakan.
Para pem berontak Tionghoa itu bukan lawan sem barang-
an. J um lah m ereka besar, pandai bersiasat pula. Sejak pukul
sem bilan, m ereka m enggedor sem ua pintu m asuk. Tetapi ben-
teng Batavia tetaplah m asih yang terkuat, asalkan seluruh pa-
su kan m em iliki disiplin tinggi serta m am pu m enjaga ke utuh-
an delapanbelas m eriam yang dipasang di seputar benteng.
Sa ngat m elegakan bahwa tengah m alam tadi, m ereka berhasil
ka m i pukul m undur.
Kulepas pandangan ke sekeliling benteng sekali lagi: Di
pin tu besar selatan, para prajurit tam pak terduduk letih se te-
lah berhasil m em adam kan tenda peleton yang terbakar he bat
sejam yang lalu. Agak ke kanan, di kanal-kanal seputar ben-
teng, sederet sam pan berisi tiga atau lim a m usketier m asih

pustaka-indo.blogspot.com
10 5
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

ber siaga sebagai lapis kedua bila gerbang bobol. Dan akhirnya,
pa ling belakang, di antara atap rum ah penduduk, terlihat silu et
m enara Balai Kota, bersisian dengan kubah gereja Niuwe hol-
land sche, seakan berlom ba m em beri peneguhan bahwa ka m i
m asih berkuasa penuh atas kota ini. Ya, sem ua tam pak be res.
Aku bisa tidur sebentar. Tentunya setelah m em enuhi panggil-
an atasanku, Kapten J an Twijfels.
Aku tak pernah m enyem bunyikan kekagum anku pada
Kap ten Twijfels. Dua puluh tahun lalu, pada usia 18, ia sudah
m em per oleh bintang penghargaan karena tetap bertahan di
pos m es ki luka parah dalam perang Sepanjang, m elawan las-
kar ga bungan Surabaya dan Bali. Soal m oral, ia sepaham de-
ngan ku: antipergundikan. Istrinya orang Belanda. Diboyong
ke J a wa bersam a kedua anaknya yang m asih kecil. Sebagai
anggo ta de wan, suaranya juga cukup didengar.
Begitu pintu tenda tersibak, terlihatlah sosoknya. Tinggi
langsing, duduk tanpa wig, m enghadap sebuah m eja yang sarat
ber kas laporan. Seragam m iliternya lusuh. Terlebih jabot* pu-
tih nya yang tak lagi terkancing rapi. Di lantai, terserak pedang,
pistol, serta kantung m esiu, seolah dilem par begitu saja dari
bahu.
“Letnan Goedaerd,” Kapten Twijfels m enyorongkan botol
dan gelas pendek. “Seteguk arak Cina untuk kem enangan ki-
ta?” suaranya terdengar serak.
“Arak pada pukul satu pagi?” aku terkekeh sam bil m enarik
kursi. “Hasil m em eras atau upeti dari Kapten Nie Hoe Kong
lagi?”
“Apa bedanya?” Kapten Twijfels m engangkat bahu. “Mi-
num lah. Selain cukup enak, topik yang sebentar lagi ku bica-
ra kan denganm u m em erlukan ram uan penguat jiwa sem acam
ini.”
* Hiasan leher; renda atau kain berwiru-wiru yang m enjuntai dan m elingkar
pada bagian depan kerah.

pustaka-indo.blogspot.com
10 6
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

pustaka-indo.blogspot.com
Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 26 Februari 2012.
10 7
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Anda m em buatku gelisah.” Kuisi seperem pat bagian gelas-


ku dengan arak. Kutandaskan sekali teguk. “Apakah ini tentang
penduduk Tionghoa yang ada di dalam benteng, Kapten? Te lah
kam i um um kan, bahwa sejak tadi pagi, 8 Oktober 1740 , pen-
du duk Tionghoa dilarang pergi ke luar benteng. Dan setelah
pu kul 18.30 , sem ua harus tinggal di rum ah, tanpa lam pu, serta
se ce pat nya m enyerahkan segala senjata kepada petugas. Tak
ada perayaan Im lek tahun ini.”
“Baguslah itu,” Kapten Twijfels bangkit dari kursi, berjalan
dengan tangan terkait ke belakang. “Nah, m eski berkaitan de-
ngan orang Tionghoa, bukan itu tujuanku m em anggilm u.”
“Bacalah,” Kapten m enunjuk tum pukan kertas. “Ke ru suh-
an sem akin m eluas sejak letusan pertam a di bulan Fe bru ari,
sementara kontak isik di banyak tempat justru semakin mem­
be ri gam baran suram tentang kem am puan kita m e nge lo la kon -
lik ini. Akhir September lalu, pos De Qual di Bekasi diserang
oleh lim a ratus orang. Tanggal 7 Oktober kem arin, penjagaan
di Dientspoort serta pasukan yang dikirim ke Tangerang juga
diserang. Dua perwira berikut em patbelas tentara tewas.”
“Mengam ati sem ua ini, kekhawatiran Gubernur J enderal
bah wa penduduk Tionghoa yang ada di dalam benteng akan
ter ha sut dan bangkit m elawan kita, kiranya bukan om ong ko-
song,” lanjut Kapten Twijfels. “Apalagi Nie Hoe Kong ini tidak
be cus m enjadi Kapten Cina. Tak punya wibawa m engatur war-
ga nya. Aku bahkan curiga, dia ada di belakang ini sem ua. Bu-
kan kah pem berontakan ini berm ula dari persekongkolan bu-
ruh tebu m iliknya?”
“Ya,” kataku. “Hanya saja, akhir-akhir ini aku sering ber pi-
kir, bagaimana semua ini bisa terjadi? Hubungan kita dengan
mereka cukup akrab di masa lalu, bukan?” kuamati piring ma kan
Kapten yang terbuat dari keramik biru dengan motif naga api.
“Tionghoa. Mereka m enguasai segalanya sejak kota ini
ber diri seratus tahun lalu. Coba, sebut satu saja pekerjaan

pustaka-indo.blogspot.com
10 8
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

yang tidak m ereka pegang. Tentunya di luar struktur pegawai


pem erintah,” Kapten Twijfels m em buru m ataku. “Pandai be si,
penyuling arak, tukang sepatu, tukang roti, bandar judi, ren te-
nir, penarik pajak, m andor gula. Dan sem ua m ereka kerjakan
dengan tuntas. Mem buat orang-orang kita tam pak seperti se-
kum pulan pecundang bodoh.”
“Lalu, kesuksesan mengelola pabrik gula akhirnya memicu
kedatangan sanak-saudara mereka dari Tiongkok,” Kapten mera-
ih pipa dari atas meja, menjejalkan tembakau, lalu menyu lut api.
“Para pendatang baru ini rata-rata tak punya keahlian. Sa at
industri gula bangkrut, m ereka berkeliaran di jalan, m enam bah
jum lah orang jahat,” lanjut Kapten sam bil m em bebaskan se-
kum pulan asap dari bibirnya. “Kita m em erlukan m ereka un tuk
m em utar roda ekonom i, tetapi tentunya sudah m enjadi ke wa-
jib an kita juga untuk m enyingkirkan sam pah dari kota. Se pa-
kat, Letnan?”
Aku m engangkat alis. “Mereka m enghasilkan uang. Tetapi
uangnya m asuk ke saku pribadi para pegawai pem erintah. Kas
negara terlantar, sem entara para oknum hidup m ewah. Ber-
tahun-tahun seperti itu. Dan kini kita ingin para Tionghoa ini
pergi, karena tak sanggup lagi bersaing dengan m ereka, yang
tetap bertahan walau sudah kita jegal dengan aneka pajak serta
surat izin tinggal.”
“Kau hendak m engatakan bahwa sem ua salah kita?”
“Hanya m encoba m elihat sisi lain,” aku m enggaruk kepala.
“Sim pul m asalahnya rum it dan telah m engeras, tetapi bisa kita
cari di sebelah m ana sim pul itu m ulai tersangkut. Kalau ke ku-
sutan ada di sisi dalam , m engapa repot m engurai yang ada di
luar?”
“Bisa diperjelas?”
“Hei, Kapten,” aku tertawa. “Anda m encecarku?”
“Hanya ingin tahu pendapat pribadim u.”
“Aku sudah m engatakannya, bukan?”

pustaka-indo.blogspot.com
10 9
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Kapten Twijfels m engurut dahi. “Agaknya catatan ke priba-


dian dari m antan atasanm u benar.”
“Apakah itu berarti aku masuk kualiikasi tugas yang akan
Anda berikan?”
“Sudut pandangm u agak berbeda. Tapi tak m asalah.”
“Aku tersesat dalam pem bicaraan ini, Kapten.”
“Baiklah. Kem bali ke topik awal. Kalau m em ang ini salah
kita, m enurutm u siapa yang paling bertanggung jawab?”
“Tentunya pejabat tertinggi di Hindia Tim ur.”
“Gubernur J enderal Adriaan Valckenier?”
“Anda baru saja m enyebut nam anya,” aku m engangguk.
Kapten Twijfels lam a terdiam dan m asih m em erlukan se-
dikit waktu lagi untuk m eneguk sisa arak dalam gelasnya se-
belum kem bali duduk di kursi.
“Sejujurnya aku tak ingin m enyertakanm u, Letnan, te ta pi
karena kau yang terbaik di dalam kesatuanku dan dem i ke se la-
m atan jiwam u juga…,” Kapten tidak m elanjutkan kalim atnya,
m elainkan m enyodorkan sehelai poster.
“Kenal orang ini?” Kapten Twijfels m enyentuh gam bar di
poster.
“Aku bersalam an dengan beliau saat parade tahun baru ke-
m arin,” sahutku seraya m engam ati poster. “Tapi apa hubung-
an Gustaaf Willem von Im hoff dengan keselam atan jiwaku?”
“Letnan, kita ada di tengah pertem puran dua raksasa. Bu-
kan sem ata m elawan pem berontak Tionghoa,” bisik Kapten
Twijfels. “Dua raksasa: Kubu Valckenier m elawan Von Im hoff.
Per se te ru an yang sudah dim ulai sejak pem ilihan gubernur jen-
deral baru pengganti Abraham Patras.”
“Oh, aku tak tahu itu. Apakah Von Im hoff terang-terangan
m enjegal Valckenier?”
“Kubu Von Im hoff sudah m em enangi opini um um di se lu-
ruh Dewan Hindia. Entah m engapa, akhirnya yang ditetapkan
m enjadi gubernur jenderal adalah Valckenier.”

pustaka-indo.blogspot.com
110
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Sejak itu, Von Im hoff, yang m enjadi wakil sekaligus pe na-


sihat gubernur jenderal, m enghujani Valckenier dengan aneka
tuduhan yang harus dipertanggungjawabkan selaku pem im pin
tertinggi. Mulai dari kekalahan persaingan dengan EIC,* ko-
rup si, kesalahan kuota ekspor gula, serta praktik penjualan su-
rat izin tinggal para Tionghoa baru-baru ini. Valckenier balas
m enyebut Von Im hoff sebagai orang yang tidak tegas, lem ah,
dan plin-plan”
“Siapa yang lebih layak dipercaya?”
“Nanti kita akan tiba di titik itu juga, Letnan.”
“Dan kaitannya denganku?”
Mata Kapten Twijfels tam pak redup saat bertukar tatap
de nganku. “Suatu kelom pok rahasia yang berdiri di belakang
Valckenier m enghubungiku m inggu lalu. Minta agar kesatuan
elite kita m em bantu. Kau m endapat kehorm atan untuk m e lak-
sa na kannya,” Kapten Twijfels m eraih pistol dari lantai, m e na-
ruh nya di m eja, kem udian m em utarnya, sehingga gagangnya
m enghadap ke arahku. “Lenyapkan Baron von Im hoff.”
Aku terlonjak, nyaris jatuh dari kursi.
“Gila. Mengapa harus dilenyapkan, dan m engapa aku?”
“Mereka m em beri perintah. Dan kita adalah alat m ereka,”
Kap ten Twijfels kem bali m enuang arak. Kali ini ham pir m e-
m e nuhi gelas. “Soal m engapa kau yang terpilih, sebaiknya de-
ngarkan dulu hal-hal baik yang akan segera kauterim a,” kata nya.
“Pertam a, kau tak sendirian. Ada tiga orang dari kesatuan elite
lain yang akan m em bantu. Maaf, aku hanya tahu nam a palsu
m ereka: Letnan J an de Zon, Sersan Van Ster, dan Sersan Maan.
Kedua, identitas kita dilindungi secara m aksim al. Ketiga, pu kul
sepuluh pagi nanti, ada kurir yang akan m engantar bingkisan
upah ke rum ahm u. J um lahnya cukup untuk m em beli sebidang
tanah kelas m enengah di Tangerang. Setelah tugas selesai,

* East India Com pany, persekutuan dagang Inggris

pustaka-indo.blogspot.com
111
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

kirim an dalam jum lah sam a kem bali diantar, ditam bah bonus
tiga puluh persen.”
Aku m enggeleng. “Perlu satu detasem en dan latihan se-
m inggu penuh untuk m elaksanakannya.”
“Tak ada waktu. Walau dem ikian, satu kom pi tentara elite
ba yangan telah disiapkan untuk berangkat ke lokasi. Me re ka
pa ra loyalis Valckenier. Sudah diatur untuk tutup m u lut.” Kap-
ten Twijfels m engepulkan asap terakhir sebelum m em bu ang
abu dari pipa.
“Ke lokasi m ana?”
Kapten m enunjuk satu titik pada peta di dinding. “Tena-
bang!” serunya. “Tanggal 5 Oktober kem arin, Von Im hoff ber-
sa m a sejum lah pasukan di bawah Letnan Herm anus van Such-
telen dan Kapten J an van Oosten pergi ke Tenabang, m enem ui
Tan Wan Soey, salah seorang pem im pin pem berontak. Valc-
kenier m enduga, perundingan akan sia-sia. Von Im hoff sendiri
sudah m em persiapkan kem ungkinan terburuk, bahkan telah
ber pesan agar bantuan tentara dipercepat, karena enam pucuk
m eriam yang dibawa kuli dari Batavia, hilang di sawah bersam a
kotak am unisinya. Tentu ia tak m enyadari, bahwa keteledoran
para kuli itu bukan tanpa sebab.”
“Diatur dari sini?” tanyaku ragu. J auh di lubuk hati, aku
m erasa seperti tikus tolol yang m asuk ke dalam perangkap.
Kapten m engangguk. “Letnan, di Batavia kita hidup bagai
di negeri dongeng. Orang yang datang dari Belanda sebagai
pe m e rah susu, di sini m endadak kaya raya, m asuk ke dalam
lingkar an berpengaruh. Tetapi kita harus siap m enghadapi ke-
ba lik annya: Bintang yang sem ula bersinar di ketinggian, bisa
saja jatuh ke dalam perm ainan gila para penguasa.”
“Bagaim ana bila tugas ini kutolak?”
Kapten Twijfels melepas jabot, lalu membuangnya ke lantai.
“Istrim u kelahiran Friesland, Letnan? Berapa usia anak-
m u? Kurasa lebih kecil dari anakku. Kau baru m enikah tiga

pustaka-indo.blogspot.com
112
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

tahun lalu, bukan? O, ya. Cicilan rum ahm u sudah jatuh tem po,
apakah akan kauulur lagi?”
“Bajingan! J angan sentuh anak-istriku!” kuterkam leher
Kap ten Twijfels. Tetapi pria itu lebih gesit. Ia m elom pat m undur
sam bil m eraih pistol, lalu m enodongkannya kepadaku.
“Tenang, Letnan. Apa kaukira aku bebas dari ancam an se-
m acam itu? Mereka bahkan sudah tiga kali m enjum pai anak-
istriku. Pikirkan, seperti apa hidupku? Seorang pahlawan ter-
hor m at, ditekan tanpa bisa berbuat banyak. Aku telah m e le-
wati m asa-m asa gundah dengan pikiran sehat seperti dirim u.
Di benakku kini hanya ada satu hal: Sesegera m ungkin m e nye-
le saikan tugas ini. Aku ingin tenang, m enikm ati hari tua ber-
sam a keluarga.”
Aku lunglai. Sem ua yang kujalani sebelum titik ini, ter-
m asuk pem ujaanku terhadap Kapten Twijfels m endadak sirna.
“Katakan rencanam u,” akhirnya aku pasrah.
“Maafkan aku, Letnan.” Kapten Twijfels m enurunkan pis-
tolnya. “Pulanglah. Biar kuurus yang di sini. Pukul tiga so re
nanti, bersiaplah di depan Toko Oen. Lupakan seragam m ili-
ter, juga kudam u. Dan ikatkan ini di lengan kiri.” Kapten m e-
lem par pita putih. “Seseorang beruluk sandi ‘bintang jatuh’
akan m enjem put. J awablah: ‘Cahayanya telah pudar.’ Ia akan
m em ba wam u m enem ui pasukan bayangan di J ati Pulo.”
“Lalu m alam n ya, Letn an De Zon akan m en em ui Von Im -
hoff. Kau dan kedua sersan siap di tiga titik tak jauh dari m e-
re ka. Seorang tentara akan m elakukan provokasi agar orang
Tionghoa m enyerang. Dengan dalih perlindungan, Let nan
De Zon akan m em isahkan Von Im hoff dari pasukan asli, lalu
m em ba wa nya m undur bersam a pasukan bayangan m e le wati
ko or dinatm u. Itulah saat m alaikat m aut m enjem put. Tem bak-
an m u harus dari arah belakang, seolah dilepaskan m usuh. Ka-
lau m e leset, m asih ada dua sersanm u. Selam at bertugas. Nam a
palsu m u: Hendriek van Aarde. Dokum en telah siap di sana.”

pustaka-indo.blogspot.com
113
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Aku m em bisu dan terus m em bisu setiba di rum ah. Ku pan-


dangi istri serta anakku yang tergolek pulas. Kuberi m ereka ke-
cup an di dahi. Kusesali karierku. Kusesali kem am puan m iliter-
ku yang jauh di atas rekan-rekanku, sehingga m em buat diriku
m udah terlihat, kem udian disalahgunakan oleh pe ngu asa. Ya,
aku, J acob Maurits Goedaerd, bukan lagi prajurit. Aku pem -
bu nuh bayaran. Lebih rendah daripada peram pok. Pe ram pok
m enatap m ata korbannya, sedang aku m enem bak da ri be la-
kang. Tetapi bonus itu m ungkin bisa m enebus dosaku. Aku
akan keluar dari dinas, m em ulai hidup baru. Entah apa. Ku-
am ati gerak pendulum jam di sudut kam ar sam pai terlelap.
Pukul dua tiga puluh. Setelah tadi pagi m em bohongi ke-
lu argaku soal bonus yang kuterim a dari kurir, kini aku telah
ber diri di depan Toko Oen, di tepi jalan Kali Besar Barat, dekat
jem batan . Di bahu kan an , terbun gkus rapi sen apan pem beri-
an Kapten Twijfels. Modiikasi dari donderbusche, dengan
bu tir an peluru tem baga. Biasa digunakan oleh pem berontak
Tionghoa. Tentu saja ini bagian dari rencana kam i.
Satu jam berlalu. Di tepi jalan, kedai kudapan sore m ulai
dige lar, m enebar arom a, m enggugah selera. Mana jahanam
itu? Ku lirik lenganku. Kupastikan bahwa pita putih itu terlihat
da ri ja rak jauh. Nam un hingga pukul em pat tiga puluh tak ada
yang datang.
Kuputuskan m engisi perut dahulu di sebuah kedai bebek
panggang di sisi kanan jem batan, dekat pasar ikan. Pem ilik se-
ka ligus juru m asaknya seorang wanita Tionghoa tua, dibantu
anak lelakinya. Wajah m ereka m enyim pan kegelisahan. Pasti
m e re ka telah m endengar perihal pertem puran kam i kem arin
m a lam . Orang-orang ini m em ang serbasalah. Tinggal bersam a
ka m i, pasti diperas habis. Sem entara bila m em ilih keluar dari
ben teng, m ereka akan dipaksa bergabung oleh gerom bolan
pem be rontak.
“Sore, Heer,” kusapa orang yang duduk di sebelahku. Ia

pustaka-indo.blogspot.com
114
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

seorang Belanda juga. Mungkin opsir yang sedang cuti. Tu buh-


nya dem ikian tam bun, m em buat hulu pedang di pinggangnya
nyaris tak terlihat. Porsi m akannya banyak, sehingga belum ju-
ga ia ram pung saat aku beranjak pergi ke tem patku sem ula.
Aku en ggan berdiri lam a seperti tadi. J adi, kupin jam ban g-
ku kedai untuk duduk. Saat itulah tiba-tiba terdengar olehku
beberapa ledakan keras dari arah selatan, kem ungkin an besar
berasal dari satu seri tem bakan m eriam , disusul kegaduhan
yang sem ula tak begitu jelas bentuknya. Sem akin lam a sem akin
nyata. Itu adalah suara yang berasal dari tenggorokan m anusia.
J eritan orang di am bang m aut. Keras dan m em ilukan.
Belum sem pat m enyim pulkan apa yang sesungguhnya ter-
jadi, sekonyong-konyong kusaksikan gelom bang besar orang
Tionghoa tum pah-ruah m em enuhi jalan raya Kali Besar, Tij-
gers gracht, J onkersgracht, bahkan hingga ke lorong-lorong se-
kitar Gudang Tim ur, tiga blok di belakang tem patku berada.
Ke m u dian, entah m engapa, di m ulut gang atau jem batan m e re-
ka jatuh bergelim pangan, seperti boneka panggung yang pu tus
tali. Sisanya saling desak dan injak. Sebagian lainnya, da lam
keadaan luka parah, m enceburkan diri ke sungai untuk ke m u-
dian tim bul kem bali ke perm ukaan sebagai raga tanpa nyawa.
Beberapa saat setelah itu, seperti m em asuki babak akhir
se bu ah pentas tragedi, hadirlah pem andangan yang se m akin
m en ja uhkan benakku dari batas kewarasan: Orang Belanda,
le bih dari seratus jum lahnya, bersam a para kelasi dan kuli pri-
bu m i, berlari di belakang gerom bolan besar orang Tionghoa
tadi. Tidak, bukan berlari beriringan. Mereka m em buru. Se-
per ti sekawanan singa gunung m enggiring gerom bolan bison
di padang prairi. Di tangan orang-orang itu, tergenggam pe-
dang atau kapak. Pada setiap ayunan lengan, m elayanglah
nya wa buruan di depan m ereka. Beberapa kelasi ada juga yang
m e le paskan tem bakan m em babi-buta. Berteriak-teriak seperti
orang kerasukan.

pustaka-indo.blogspot.com
115
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Dalam hitungan m enit, di kiri-kanan jalan, di selokan,


serta terutam a di sungai, berjejal lapis dem i lapis tubuh kuning
pucat. Luluh-lantak.
Di Tijgersgracht, lingkungan term ewah di Batavia yang
berjarak sepelem paran tom bak dari tem patku berdiri, kulihat
rum ah dan toko Tionghoa dibakar. Pem iliknya dibariskan ter-
le bih dahulu di tepi sungai sebelum m ata pedang m encium
ba tang leher m ereka satu per satu. Sungguh, hari ini dinding
neraka telah jebol. Para iblis turun ke bum i dalam wujud m a-
nu sia haus darah. Aku kerap m elihat tubuh rem uk di m edan
pe rang, tetapi belum pernah kusaksikan cara m ati seperti ini.
Meski sasaran am uk cukup jelas, dem i rasa am an, kutarik
pistol dari pinggang.
“Bagus, lebih cepat m ati dengan pistol!” seorang pria Be-
lan da yang lewat di dekatku berteriak sam bil m enyeret dua ba-
bi gem uk hasil jarahan.
“Apa yang terjadi?” teriakku berulang kali, entah kepada si-
apa. Sem ua telah m ati. Bahkan wanita tua penyaji bebek pang-
gang tadi kulihat telah terkapar di bawah m eja, di antara piring
dan ceceran nasi. J uga anak lelakinya. Di depan m ereka, pria
tam bun yang belum lam a m akan bersam aku, tegak m em atung.
Pedangnya sem erah wajah dan sekujur tubuhnya.
“Kau gila! Ia baru saja memberimu makan!” bentakku. Si
tam bun tersentak, seolah baru terjaga dari mimpi. Tanpa bica ra,
dibu angnya pedang ke tengah sungai, lalu ia menyingkir. Aku ber-
maksud mengikuti langkahnya, pergi jauh dari tempat ter kutuk
ini, ketika mendadak terdengar suara parau: “Bintang jatuh!”
Oh, itu kata sandi yang sejak pagi kutunggu.
“Cahayanya telah pudar!” Agak gugup, kujawab sam bil
ber pa ling ke sum ber suara. Seorang pria tua, dengan codet
pan jang di pipi kanan, berdiri dalam m antel hitam . Tak begitu
je las, apa yang berkilat di tangan kirinya. Mungkin belati kecil,
bisa juga sebatang garpu. Yang jelas, ada bercak darah di situ.

pustaka-indo.blogspot.com
116
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Rencana ditunda. Von Im hoff pulang awal. Siang tadi


m en da dak Valckenier m em erintahkan pem usnahan orang-
orang ini. Tunggu kabar selanjutnya,” ia m em betulkan letak
to pi be ludrunya sebelum lenyap di tengah kerum unan.
Pem usnahan? Aku ternganga.
Perlahan, pistol kusarungkan kem bali. Hari m ulai gelap,
ta pi tak jua aku beringsut dari tem patku berdiri. Barangkali
ka rena tak tahu harus berbuat apa. Di sekelilingku, api m ulai
ber kobar. Angin m alam berem bus perlahan, m enitipkan bau
sa ngit bercam pur anyir darah. Tiba-tiba aku m erasa m ual.

210 112—Epitaf bagi para korban Tragedi Mei 1998.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Penunjuk Jalan

PAGI ITU SEMUA berlangsung cepat, m em buatku sulit m en-


cerna hal lain kecuali suara gaduh dan rasa nyeri di sekujur
tu buh akibat tekanan atau em pasan. Yang kulihat terakhir kali
ada lah gerum bul sem ak yang berlari kencang ke arahku. Lalu
sem ua gelap.
Mataku kem bali terbuka setelah kulit tubuh yang tergores
dan lebam ini m erasakan jilatan m entari siang. Kutem ukan di-
riku tersangkut belukar di tubir jurang. Syukurlah sem ua ang-
gota badanku m asih utuh. Perlahan-lahan kucoba m e nyim pul-
kan apa yang baru saja terjadi.
Rupanya kusir gagal m engem balikan keseim bangan se te-
lah m enikung tajam dari atas bukit, sehingga kereta pos yang
kam i tum pangi jatuh ke jurang curam berundak, lalu ter ban-
ting beberapa kali ke atas padas sebelum salah satu poros ro-
da nya terlepas m enjadi sem acam penggada raksasa yang m e-
re m uk kan kepala kusir sekaligus m enggilas kaki portir. Sung-
guh, lim a m enit yang ingar-bingar. Penarik garis tegas antara
kehidupan dan kem atian.

pustaka-indo.blogspot.com
118
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Dan kini, sebuah erangan lem ah m enjadi isyarat bahwa


m a sih ada yang harus kukerjakan di bawah sana. Portir itu. Sa-
m a seperti yang kualam i, sisi tebing bertabur sem ak lebat telah
m en jadi jala penyelam at tubuhnya.
Kudekati dia. Kuraba lutut kirinya yang m enggem bung. Ia
m enjerit seperti perem puan. Ketika kusobek celananya, ter li-
hat pangkal tulang keringnya pecah, m engoyak daging, ber ton-
jolan seperti gigi-gigi serigala.
“Nam am u J ozep, bukan?” kudekatkan bibirku ke telinga-
nya.
Anak m uda itu m engangguk di sela deritanya.
“Nah, J oep, jangan lihat kakim u. Kukatakan sejujurnya: ke-
ada an nya sangat buruk. Mungkin tulang pinggulm u juga ber ge-
ser, jadi jangan banyak bergerak. Biar kubebat kakim u. Setelah
itu, aku akan m em buat tandu. Kita pergi ke perkam pungan
terdekat, m encari bantuan agar tiba di Batavia esok pagi.”
Mudah m engatakannya, tapi butuh lebih dari dua jam m e-
laksanakannya. Yang tersulit adalah m enarik tandu m e lewati
undakan tebing. Meski landai, tetap saja gesekan tali yang ter-
ikat antara bahu dan pinggang terasa bagai sekawanan pisau
jagal. Mem buatku m enyesal m em iliki tubuh tam bun.
Sam pai di atas, aku berbaring m engatur napas sebelum
m e m eriksa J oep. Ia dem am tinggi. Kuanggap itu pertanda ba-
gus m engingat tak kujum pai isyarat kehidupan yang lebih jelas
di na di leher m aupun di pupil m atanya.
Kem bali kupasang tali, lalu m ulai berjalan. Sesaat sebelum
peristiwa nahas tadi, J oep sem pat berseru bahwa kam i telah
m em asuki daerah Balaraja. Masih jauhkah Batavia? Benar-
benar tak punya gam baran, m esti kuayun ke m ana kaki ini.
Aku baru tiba dari Rotterdam m inggu lalu. Dan karena
Bandar Sunda Kelapa sedang diperbaiki, kapalku harus m e-
ra pat di Banten. Perlu tiga hari perjalanan kereta pos untuk
ke Batavia. Lusa aku harus m enghadap Gubernur J enderal

pustaka-indo.blogspot.com
119
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Speelm an, m em bicarakan jabatan baruku sebagai Ketua De-


wan Kesehatan Batavia. Siapa sangka tertahan di sini.
Kulirik arloji rantaiku. Setengah enam petang. Belum ter-
lalu lam a m elangkah saat kusadari bahwa tanah berkerikil,
yang m enjadi penanda bahwa daerah ini pernah dilalui orang,
m ulai tam pak m engabur tertutup rerum putan. Lebih parah la-
gi, kem am puan pandangku juga terganggu seiring m em udar-
nya sinar m atahari.
Aku m ulai cem as. Seorang kawan pernah berkisah tentang
gerom bolan penyam un yang banyak berkeliaran di hutan J awa.
Mereka gem ar m eram pok dan m em bantai saudagar Belanda
atau Tionghoa yang kebetulan m em intas hutan. Tapi apa yang
hendak m ereka ram pok? Sem ua hartaku ada di dasar jurang.
Kupilih satu arah, lalu kutem puh beberapa kelokan se-
belum akhirnya tunggang-langgang terganjal akar pohon. Sia-
sia m eram bah kegelapan. Lebih baik m encari sudut am an un-
tuk berm alam . Sebuah gua atau pohon. Mungkin dekat sungai,
agar aku bisa terus m engom pres dahi J oep.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Lebih dari seekor dan
semakin keras bertukar tempat dengan kesunyian alam. Tak la-
ma, belukar di depanku terkuak. Pepohonan menyala oleh ca ha ya
obor. Aku bergegas berdiri. Dua penunggang terdepan yang agak-
nya merupakan pemimpin barisan, membelokkan ku da mereka
ke arahku sampai tinggal berjarak dua atau tiga langkah.
J antungku berdebar. Inikah gerom bolan penyam un itu?
Be lasan penunggang kuda di belakang kedua orang itu m em ang
cukup m ewakili gam baran um um penyam un: Berkum is te-
bal, berkulit legam , serta m enyim pan kelewang panjang di
punggung.
Mereka m em bawa sejum lah kuda yang dipasangi penarik
beban. Di atas penarik-penarik itu terikat beberapa ekor m en-
jangan. Ada pula gerobak berisi m akanan dan senjata. Rupanya
m ereka baru selesai berburu.

pustaka-indo.blogspot.com
120
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Kam i sam a-sam a terpaku. An gin petan g m en gan tarkan


bau anyir leher m enjangan yang tergorok, m em buat hatiku se-
m a kin ciut. Ah, m ungkin aku berlebihan. Lihatlah kedua pe-
m im pin m ereka. Terutam a si pria berm ata harim au yang se dang
m engam atiku dari atas ke bawah. Ia seorang pem uda tam pan
berkulit terang, dengan bayang-bayang kum is di atas bibirnya
yang tipis. Bibir bangsawan. Ram butnya sebahu. Menjulur liar
dari him pitan ikat kepala m erah bersulam benang em as.
“Selam at petang, Tuan,” kuangkat topi seraya m enyapa da-
lam bahasa Melayu yang kupelajari susah-payah selam a se ta-
hun perjalananku ke Hindia. “Aku J orijs Handlanger. Dokter.
Sem acam tabib dalam adat Anda m ungkin? Sem oga aku tidak
keliru m em ilih kata. Keretaku m asuk jurang. Portir ini butuh
bantuan kesehatan. Kam i akan sangat berterim a kasih bila Tu-
an bersedia m enunjukkan jalan ke Batavia.”
Si pem uda m elepaskan tatapannya. Ketegangan m encair.
“Aku pernah tinggal bersam a keluarga Belanda yang kerap
berurusan dengan chirurgijnen.* Aku tahu benar pekerjaan m u,
Tuan Dokter,” ujarnya dalam bahasa Belanda. Ya, Belanda!
“Donder en bliksem !” aku m elom pat m undur. “Betapa fa-
sih. Pujianku untuk Anda,” lanjutku. Kali ini sepenuhnya da-
lam bahasa Belanda.
Barangkali tubuh tam bunku tam pak tolol saat m elom pat
ta di. Kedua penunggang itu tertawa, diikuti yang lain. Saat itu-
lah baru kusadari bahwa si tam pan berkulit langsat yang sejak
tadi m em bisu di sam ping si m ata harim au, ternyata seorang
wanita. Ia juga m engenakan ikat kepala lebar. Mengam ati ben-
tuk yang tercipta dari balutan baju lengan panjang hitam serta
celana pendekar berlapis sarung biru itu, kupastikan ada tubuh
yang lencir tapi kokoh di sana.
“Mereka m em anggilku Pangeran Kebatinan,” si pem uda

* Tenaga kesehatan, juru bedah; sering m erangkap m enjadi tukang cukur.

pustaka-indo.blogspot.com
121
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

pustaka-indo.blogspot.com
122
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

m enunjuk barisan belakangnya dengan ibu jari kanan. Warna


suaranya berada di batas anggun dan kasar. “Kam i sedang m e-
nyiapkan bekal perjalanan ke Cirebon saat m elihat puing kere-
ta di sana. Sebaiknya Anda ikut kam i. Biarkan portir itu m en-
dapat perawatan. Besok pagi kam i tunjukkan jalan tersingkat
ke Batavia.”
“Betapa budim an,” aku m em bungkuk. “J oep dan aku akan
selalu m engingat kebaikan Tuan.”
Pangeran m elem par senyum . Kutangkap kem bali sorot
gan jil lewat tarikan bibir dan m atanya, seperti saat pertam a
m e lihatku tadi. Berhati-hatilah dengan pribum i, kepala m ere-
ka penuh m uslihat. Terngiang lagi nasihat tem anku. Tapi ada-
kah tawaran yang lebih baik? J oep sekarat dan saat ini aku tak
lebih dari seorang gelandangan sial yang sedang dipenuhi rasa
syukur karena tak jadi tersesat di hutan. Ya, aku akan selam at.
Adakah penyam un fasih berbahasa Belanda?
Seseorang m enyerahkan kudanya kepadaku, yang lain m e-
m indahkan J oep ke atas gerobak. Pangeran m em beri isyarat
agar aku berkuda di sam pingnya, lalu kam i bergerak m enem -
bus jan tung hutan.
“Apa yang akan Anda lakukan di Batavia?” Pangeran m e-
noleh kepadaku.
“Pim pinan Kom peni m em intaku m eneruskan pekerjaan
yang telah dirintis J acobus Bontius. Pernah dengar? Ia dokter
res m i pertam a di Batavia,” aku m enundukkan wajah. Sepasang
pisau pada m ata orang ini benar-benar tak terbendung. “Me-
nurut laporan, belakangan ini Batavia didera penyakit perut
dan beri-beri parah, sem entara m utu para chirurgijnen se m a-
kin m erosot. Banyak pendahulu m ereka yang lebih teram pil
tu rut m enjadi korban penyakit-penyakit itu,” lanjut ku. “Itulah
tu gas ku di Batavia, Pangeran. Menyiapkan tenaga berm utu da-
lam waktu singkat. Kuharap dokter-dokter lain segera m e nyu-
sul. Mustahil kukerjakan sendiri.”

pustaka-indo.blogspot.com
123
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Tuan!” Sang Pangeran m enggeleng. “Kuhabiskan m asa


ke cilku di Batavia. Aku m elihat sem uanya. Kurasa penduduk
di sa na pun m elihat, bahwa sejak direbut Kom peni enam puluh
ta hun silam , kota itu m enjelm a m enjadi kota terkutuk. Sungai
Ciliwung dicabik m enjadi puluhan kanal sehingga arusnya m e-
le m ah. Lum pur m engendap di sana-sini, m enciptakan din ding-
dinding parit yang becek. Kalau sedang pasang, seisi laut m e-
nerjang kota. Saat surut, bangkai ikan serta kotoran m anusia
terperangkap di selokan dan parit-parit tadi. Menebarkan uda-
ra tak sehat.”
“Anda sangat jeli. Udara busuk dan lumpur sampah memang
dibahas Bontius dalam jurnalnya. Dan kurasa Anda benar,
pem be sar Batavia m ungkin orang-orang rom antis yang rindu
kam pung halam an. Berm im pi m em indahkan Negeri Belanda
ke sini. Padahal iklim dan tanahnya sangat berbeda. Kanal yang
se m ula digali untuk kepentingan pengairan dan lalu-lintas jus-
tru m em percepat penyebaran penyakit ke seluruh kota.”
“Itulah yang terjadi. Belanda m em bawa kebiasaan buruk
be laka. Makan banyak daging, m inum banyak arak, saling sikut
m engejar kem uliaan. Celakanya, bangsawan pribum i bukan ti-
dak sedikit yang terpengaruh. Kerajaan Mataram yang dulu di-
takuti, kini sibuk berebut m ahkota. Raja-raja m ereka pun tak
lagi gem ar olah kanuragan. Malas, tam bun. J elas bukan tan-
dingan Panem bahan Senopati atau Sultan Agung.”
“Orang kota m em ang kurang bergerak. Terutam a di negeri
sepanas ini,” agak tersipu kulirik perutku yang m enggunung.
“Apakah Anda putra m ahkota Cirebon?”
Pangeran tak segera m enjawab. Di depan hutan karet yang
luas tiba-tiba ia m enahan tali kekang.
“Tuan Dokter,” ujarnya. “Pengikutku banyak, tapi aku
bu kan raja atau putra m ahkota m ana pun. Kam i ke Cirebon
ha nya m am pir sebentar ke kerabat dekat. Nah, di balik sana

pustaka-indo.blogspot.com
124
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

kam i tinggal. Tak banyak orang luar yang bisa m asuk dengan
m udah. Tapi kam i juga tidak bisa m em biarkan tem an Anda
seperti itu bukan?”
Kutoleh J oep. Masih terbaring layu.
“Pangeran sungguh berhati m ulia,” aku m engangguk, lalu
bergegas m engejar kudanya yang dipacu kencang.
Saat pepohonan terlewati, segugus panoram a m encengang-
kan m elanda m ataku: perkam pungan luas. Tenda-tenda. Kan-
dang ternak. Tercium wangi m asakan bercam pur arom a kopi
yang baru diseduh, m em buat perutku m eronta. Lebih ke da-
lam , di antara nyala obor dan api unggun, kulihat sejum lah
be sar m anusia. Para lelaki dengan tom bak dan parang, pria
lan jut usia, wanita-wanita yang nyaris tidak m enutupi bagian
atas tubuhnya, serta gerom bolan anak kecil yang berlarian
m e nyam but kedatangan kam i. Beberapa anak m enarik baju
atau m enepuk kakiku sam bil terkikik. Sangat berbeda dengan
orangtua m ereka yang berdiri tanpa suara. Ada aura tak ber sa-
habat pada m ata dan lengkung bibir m ereka.
Di m uka tenda kulit yang besar nam un bersahaja, Pangeran
turun. Ada banyak bilik di dalam tenda itu. Punggawa m em -
baringkan J oep ke dalam sebuah bilik. Seorang lelaki tua sigap
m engom pres dahinya dengan dedaunan yang ditum buk halus.
Agaknya ia seorang tabib. Aku sungguh m erasa ter tantang. Na-
m un ajakan Pangeran untuk berkum pul di bilik depan m e ngu-
rungkan niatku m enyaksikan si tabib beraksi.
Kutem ani Pangeran duduk di atas tikar. Beberapa pria da-
lam rom bongan berburu tadi juga hadir. Tapi lebih banyak pa ra
lanjut usia. Mungkin penasihat Pangeran. Mereka m e ngu nyah
sirih sam bil berbisik-bisik, m em buatku salah tingkah. Syu kur-
lah sebentar kem udian disuguhkan kopi, air, dan m akan m a-
lam . Aku m enyantap sem uanya dengan lahap, nam un se ge ra
ber hen ti dem i m enyaksikan kecilnya porsi yang diam bil Pa-
nge ran dan pengikutnya.

pustaka-indo.blogspot.com
125
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Teruskan,” Pangeran tergelak. “Anda m em butuhkannya.”


Aku ingin m engatakan sesuatu, nam un jeritan m engerikan
dari bilik tidur J oep m em buatku m elom pat ke sana tanpa pe-
duli tata kram a. Pangeran tergopoh m engejarku.
Dalam bilik, kusaksikan J oep m enggelepar seperti ayam
disem belih. Air m ata dan keringat m em banjiri wajahnya, se-
m en tara si tabib dengan beringas m engurut kakinya.
“Apa yang Anda lakukan? Ia bisa lum puh,” kurenggut ta-
ngan si tabib seraya m em aki dalam bahasa Melayu. Kutum pah-
kan pula am arahku kepada Pangeran. Ia diam , tapi m endadak
jarinya m em atuk bahuku, m em buat lenganku gontai.
“Anda harus percaya kepada Kyai Ebun,” kata Pangeran.
“Telah ratusan kali ia m elakukan pengobatan sem acam ini.
Me m ang sakit. Tapi lihat hasilnya.”
“Pengobatan?” kutatap wajah-wajah dalam ruangan itu.
Gila, aku seorang sarjana. Penjaga nyala api Prom etheus. Pe-
ne rus sum pah Hippocrates. Mati kutu di hadapan para duta
dari lorong tergelap ilm u pengetahuan.
“Sudah, Anda tidur saja!” Pangeran m em bentak. “Biarkan
Kyai bekerja.”
Kuhela napas panjang.
Keesokan harinya, kujenguk J oep. Wajahnya pucat, tapi
m atanya m ulai bersinar.
“Aku m erasa lebih sehat, Heer Doctor,” bisiknya. Kuraba
kakinya yang dibebat. Tulang-tulang pecah itu tak bertonjolan
lagi. Bagaim ana m ereka m elakukannya?
“Orang Belanda m engobati sakit dari luar. Kam i m em biar-
kan tubuh m enyem buhkannya dari dalam ,” Pangeran berdiri
di belakangku dengan dua gelas kopi panas. Diangsurkannya
se gelas. “Sebentar lagi Anda berangkat ke Batavia.”
Kuperiksa situasi perkemahan. Seluruh penghuninya sibuk
ber kem as. Sejum lah tenda sudah dibongkar. Ternak dikum -

pustaka-indo.blogspot.com
126
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

pulkan dan puluhan gerobak telah rapi dibariskan. Sungguh,


orang-orang ini bekerja dengan kecepatan m engagum kan.
“Gerobakm u di belakang. Kurasa sebelum m alam kalian
akan tiba di sana.”
“Apakah Anda tidak lelah berkelana?” tanyaku.
“Siapa m au tua di jalan?” m ata Pangeran m enerawang ja-
uh. “Aku ingin m enetap di sebuah rum ah sederhana. Melihat
anak- anakku tum buh. Menyiapkan m ereka m enjadi pengikut
agam a Allah, m enjauhi kem uliaan palsu. Sayang, tak m ungkin
ter laksana.”
“Mengapa? Gadis perkasa itu istrim u, bukan?”
Pangeran m enggeleng perlahan, “Dia Raden Gusik. Kerabat
Sultan,” gum am nya, lalu m elangkah pergi, dan tak pernah
m un cul lagi sam pai saat keberangkatanku.
Setiba di Batavia, sekitar pukul sepuluh m alam , kuketuk
pintu rum ah sobat lam aku, Vuijborn. Ia kini hidup m entereng
se bagai Asisten Sekretaris Dewan Hindia. Kuceritakan pe tu-
a langan dahsyatku di hutan. Atas nam a Kom peni, Vuijborn
berjanji m enanyakan jati diri Pangeran kepada Sultan Cirebon.
Vuijborn juga m engizinkanku m enum pang di rum ahnya sam -
pai Kom peni m em beriku jatah tem pat tinggal. Dua kam ar se-
gera disiapkan untukku dan J oep.
“Maaf sempit. Ada barang-barang titipan pengadilan.” Vuij-
born menyalakan lampu kamar. “Tapi ranjangnya cukup be sar,
bukan?”
Kuedarkan pandangan. Benar, ruangan ini dipenuhi pel-
bagai m acam barang. Dan bukan barang biasa. Perabot J epang
yang dipernis halus, lam pu-lam pu kristal, ratusan peralatan
m a kan dari perak, serta beberapa lukisan ukuran besar. Ku-
rasa pem iliknya bisa m em beli satu kastil besar di Gelderland
kalau m au.
“Barang-barang siapakah ini?” tanyaku.

pustaka-indo.blogspot.com
127
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Barang-barang siapa?” Vuijborn melepas kacamata, tatap an-


nya seolah mengatakan ‘bodoh sekali kau tidak mengetahui ini’.
“Doctor, ini kisah pertengkaran rum ah tangga terdahsyat
yang pernah terjadi di tanah Hindia, m ungkin bahkan di Be-
lan da. Cornelia van Nijenroode, janda jutawan besar Pieter
Cnoll, m elawan suam i keduanya, J ohann Bitter. Kini sem akin
jelas, Bitter hanya m enginginkan harta istrinya. Padahal ia su-
dah m em peroleh lebih dari 30 .0 0 0 ringgit sebagai jam inan
nafkah nya ketika m enikahi Cornelia.”
Aku m enautkan alis. “Pengadilan sudah turun tangan?”
“Ya. Mereka saling serang dan semakin lama semakin ba-
nyak yang dilibatkan menjadi saksi. Membuat Batavia ter belah
dua. Tapi aku pribadi mendukung Cornelia. Si Bitter ini, menurut
kesaksian para budak, gemar menyiksa istrinya. Di sidang ter-
akhir kemarin, keputusan Cornelia sudah bulat: Menun tut cerai.
Sementara Bitter jelas tidak menginginkan hal itu terjadi.”
Aku tak begitu tertarik m endengarkan cerita Vuijborn.
Adakah hal baru dalam kehidupan berkeluarga? Lajang atau
bukan, bila kau m em ilih pasangan yang tepat, kau boleh m ati
tenang di rum ahm u sendiri, dikelilingi orang-orang tercinta.
Tetapi sekali salah pilih?
Kuam ati lukisan di depanku. Alangkah bagus. Menggam -
bar kan keluarga kaya di Hindia, terdiri dari seorang pria gagah,
dengan topi dan jas hitam berkancing em as, dikelilingi tiga wa-
nita. Mungkin istri dan anak-anaknya. Aku kerap m en de ngar
bahwa pelukis-pelukis yang dikirim ke Hindia kebanyakan pe-
cundang. Tetapi kurasa yang ini punya kelas.
“Perkenalkan: Keluarga Cnoll, dilukis oleh J acob J ansz
Coe m an, pelukis term ahal Hindia,” Vuijborn m em egang bing-
kai lukisan. “Yang bergaun hitam itu Cornelia.”
Kuam ati lebih dekat. Tiba-tiba aku tersentak. Di sana, di
belakang Cornelia. Dilukis dalam nuansa hijau kecokelatan.
Seorang pem uda beram but panjang m em anggul payung m i-

pustaka-indo.blogspot.com
128
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

liter di bahu kanan, sem entara tangan kirinya dengan jenaka


m engutil jeruk yang dibawa seorang budak wanita.
“Mijn God! Tak salah!” aku nyaris histeris. “Sang Pangeran.”
Vuijborn m enyorongkan wajahnya m endekati kanvas. “Ka-
lau benar, ajaib sekali kau bisa lolos,” gum am nya. “Ia pemim pin
penyamun. Pembenci Belanda. Membunuh banyak tentara se-
jak lolos dari Stadhuis. Buronan Kom peni nom or satu. Minggat
dari rum ah Cnoll karena tak boleh lagi m enjadi pem egang
pa yung oleh anak lelaki Pieter. Konon ia lalu dipelihara oleh
Edeleer Moor,* dan m em buat skandal cinta dengan Suzanna,
anak gadis Moor.”
“Betapa berwarna hidupnya,” entah mengapa, aku tersenyum
geli. “Bagaim ana keluarga Cnoll m em anggil nam anya?”
“Oentoeng atau sem acam itu. Entahlah, ia seorang budak,”
Vuijborn m engangkat bahu. “Kau bisa m em anggilnya siapa
saja.”
* Edeleer: pangkat dalam Dewan Hindia.

Keluarga Cnoll, karya Janz Jacob Coeman [1632–1676].


Sosok Untung Suropati terlukis di latar belakang: mem-
bawa payung sambil menimang jeruk.

pustaka-indo.blogspot.com
129
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Ya, tentu saja,” aku m enghela napas panjang. Kusim ak


lagi sosok kecil dalam lukisan itu. Sepasang alis yang kuat,
m ata yang tajam , dan segelas kopi panas tadi pagi.
Tiba-tiba aku m erasa kesepian.

J akarta, Desem ber 20 0 7

Rom an Surapati kary a Abdoel Moeis m aupun Van Slaaf tot Vorst kary a N ico-
lina Maria Sloot m eny ebutkan bahw a Untung Surapati sejak kanak-ka nak
dipelihara keluarga Moor. Tetapi catatan dari Leonard Blusse, y ang diper-
kuat surat w asiat Pieter dan lukisan Coem an, m eny atakan bahw a Untung
m enghabiskan m asa kecil hingga rem aja bersam a keluarga Cnoll.

Selepas kunjungan ke Cirebon, Untung m enikah dengan Raden Gusik, y ang


resm i bercerai dari suam iny a, Pangeran Purbay a .

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Mawar di Kanal Macan

BEGITU MASUK KEDAI, bau busuk dari selokan-selokan kecil


yang m engalir ke Leeuwinnegracht berangsur lenyap, digan ti-
kan arom a alkohol yang m enyengat. Sem ula tak ada yang pe-
du li kehadiranku, baik orang-orang Tionghoa di kam ar judi,
m aupun para pria Eropa setengah m abuk di deretan kur si
ini. Tetapi setelah aku m elepas topi, m endadak penjaga bar
berbadan tam bun di depanku tersentak, lalu m erangkul le her-
ku kuat-kuat.
“Letnan Dapper! Godverdom m e! Engkau kem bali lagi ke
negeri terkutuk ini!” teriaknya disam bung tawa lepas. Lalu
ba gai kesurupan ia m enggebrak-gebrak m eja, berseru kepada
se lu ruh pengunjung kedai m inum nya: “Satu gelas bir atau ale
gra tis untuk sem ua! Kita bersulang untuk Pahlawan Batavia di
depanku ini, Letnan J an Nicholas Dapper!”
“Roelf, sudahlah,” aku m engibaskan tangan. “Ini benar-
benar tidak perlu.”
Nam un seisi ruangan telanjur berdiri khidm at, m enyerukan
nam aku sam bil m engangkat gelas m ereka yang kem bali terisi
penuh. Kubalas dengan m em bungkuk sekadarnya.

pustaka-indo.blogspot.com
131
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Ayo, Letnan. Ceritakan kepada kam i sem ua, bagaim ana


engkau dan orang-orang Monsieur J acques Lefebre m enahan
ser bu an pasukan Mataram ,” Roelf m engam bil seguci bir un-
tuk ku sam bil m enuang segelas untuk dirinya sendiri.
Kam i sem ua? Kupandang sekeliling. Yang sedang ber bin-
cang dengan pikiran utuh m ungkin tinggal aku dan Roelf. Sisa-
nya setengah sadar atau m endengkur di atas m eja. Tapi ada juga
yang berusaha keras untuk terlihat waras. Ia m enatapku seraya
berseru lantang: “Ceritakan, Letnan! Kam i m endengarkan.”
“Sudah lam a berlalu. Banyak tem pat, tokoh, dan jabatan
yang berubah. Aku akan kerap bertanya di sela ceritaku untuk
m e nya m akan sudut pandang. Pasti sangat m em bosankan un-
tuk didengar,” aku m encoba berkelit. “Lagipula sebutan tadi
sa lah alam at. Menurutku, sem ua penduduk Batavia kala itu
ada lah pahlawan. Teristim ewa, Sersan Madelijn.”
“Hans Madelijn!” Roelf m enyem burkan sisa bir di m ulutnya
sebelum tertawa terbatuk-batuk. “Tuan-tuan, terutam a Anda,
para pendatang baru. Kukatakan sejujurnya: Pria rendah hati
ini m em ang layak disebut pahlawan. Kalau bukan karena dia
dan Sersan Madelijn, benteng Hollandia tak m ungkin bisa ber-
ta han. Malam itu Letnan Dapper, ah, dulu ia m asih sersan. Ya,
m alam itu berbekal ketenangan dan disiplin tinggi, Sersan Dap-
per m enem baki m usuh dengan satu senapan dan satu pis tol
bergantian. Akulah petugas am unisinya. Di ujung lain Sersan
Madelijn yang panjang akal m em erintahkan pasukan m enguras
tong kakus, lalu m enyiram kan isinya ke bawah. Anda harus
lihat wajah para pem anjat tem bok itu. Mereka rontok seperti
keong terkena garam . Muntah-m untah dan m engutuk.”
Sejum lah pengunjung tertawa.
“Kuasa Tuhan semata,” gumamku. “Mereka berlapis-lapis.
Be la kangan kita tahu, jum lah m ereka sekitar delapan puluh
ribu. Keberanian m ereka pun m engerikan. Tapi sejak awal
kita su dah m elihat, jalur perbekalan m ereka tidak dijaga

pustaka-indo.blogspot.com
132
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

dengan baik sehingga m udah kita pangkas. Agaknya rasa la par


m em buat serangan m ereka kurang terarah. Seandainya m e re-
ka m eneruskan pengejaran, tak bakal kita bertem u di sini. Di
dalam kota hanya ada wanita, anak-anak, dan puluhan orang
yang sedang terserang roode loop.”*
“Tahi yang m enolong, tahi pula yang m em bunuh kita,”
Roelf m engangguk. Kini benar-benar tinggal aku dan dia yang
ter jaga. “Setelah itu Anda ikut Tuan Specx ke Hirado?” tanya
Roelf.
“Aku penyelia dagang salah satu irmanya yang berurusan
langsung dengan keluarga Shogun.”
“Dan Nona Saartje?” Roelf m enatap m ataku dalam -dalam ,
seperti seorang polisi yang sedang m engorek keterangan dari
tahanannya.
“Saartje Specx m eninggal tiga tahun lalu di Form osa. Sem -
pat m enikah dengan Georgius Candidus, seorang pendeta.”
“Wanita m alang. Syukurlah, ia m eninggal di tengah rum ah
tangga yang diberkati Tuhan. Rupanya cam buk yang dijatuh-
kan Gubernur Coen ke atas tubuhnya berhasil m em buatnya
ber tobat. Bayangkan bila dulu ia ikut dihukum m ati bersam a
serdadu m uda itu. Hah! Aku lupa nam a si keparat itu.”
“Cortenhoeff. Pieter Cortenhoeff.”
“Itu dia.”
“Mungkin dia keparat, tetapi bukankah begitu hidup ini,
Roelf? Cinta dan norm a sosial kerap berjalan tak seiring ka re-
na gosokan itnah, terutama di kota sesibuk Batavia ini,” aku
m engangkat bahu.
“Bicara soal kesibukan, selain rindu bir buatanm u yang
terkenal di seantero Batavia ini, aku datang untuk berjum pa
se orang calon rekan dagang,” aku m enebar pandang ke sem ua
sudut ruang.

* Istilah awam untuk penyakit disentri pada abad XVII.

pustaka-indo.blogspot.com
133
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Dekat pintu m asuk, tatapanku berhenti. Ia di sana. Du duk


m elipat tangan. Sarung tangan dan topi lebarnya tetap dike na-
kan m eski di dalam ruangan. Di sekeliling leher, kerah putih
yang berenda pada keem pat sisinya tam pak dikanji sem purna.
Lu rus, kaku, dan lebar. Menutupi sebagian doublet-nya yang
ter buat dari satin, sekaligus m enjadi latar belakang bagi ram but
pan jangnya yang ikal bergelom bang. Dari balik m eja, gagang
pe dang peraknya berkilauan. Muka orang itu tak terlihat jelas.
Tapi aku tahu, pandangannya lurus m enghunjam ke arahku.
“Si kaya itukah calon m itra dagangm u?” Roelf m enoleh.
“Se jak kedai buka, ia sudah datang. Mem esan ham dan segelas
Claret yang tam paknya belum disentuh hingga kini. Wajahnya
m ulus. Seperti pria-pria congkak dari Tijgersgracht.”
“Ia m em ang tinggal di Tijgersgracht,” aku m elem par se-
nyum lebar. Sangat lebar. Bukan untuk Roelf sebenarnya.
“Nah, m aaf Roelf. Aku harus ke sana,” aku bangkit, m e nye-
be rangi separuh ruangan, lalu m enarik kursi di depan orang
itu.
“Selam at petang, Nyonya Adelheid Ewald,” setengah ber-
bisik, kuletakkan gelas dan guci birku di m eja. “Pakaianm u
hebat. Aku terkecoh.”
Tak ada jawaban.
“Aalt?” kupanggil lagi nam anya. Kali ini lebih intim .
“Ini tidak adil. Sangat tidak adil,” akhirnya terdengar suara
lem but, agak tertekan. Orang itu m engangkat m ukanya. Ada
ga ris hitam di kedua pipinya. Berawal dari m ata, turun ke da-
gu. Rupanya air m ata telah m enghanyutkan riasan di bawah
kan tong m ata yang sem ula dirancang untuk m em beri kesan
jan tan. Sesungguhnya aku ingin tertawa.
“Hapus itu, Aalt. Nanti m ereka kira kita sepasang kekasih
sejenis,” aku m enoleh ke kiri dan ke kanan.
“Penjaga bar di depan itu lelaki tulen. Bau tubuhnya pun

pustaka-indo.blogspot.com
134
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

pustaka-indo.blogspot.com
135
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

serupa keju basi. Tapi dia bisa m em elukm u sam bil tertawa ba-
ha gia tadi. Sem entara aku harus puas duduk di sini dengan ba-
ju dan rias ram but tolol, sem ata agar bisa m enatapm u m e ner-
tawai kedukaanku.”
“Aalt,” aku m enghela napas. “Kita bisa kem bali berbagi ki-
sah, saling m enguatkan hati. Tapi untuk sekarang kurasa sulit
berharap bahwa hal itu bisa dilakukan dalam keadaan yang le-
bih intim daripada perjum paan singkat dan aneh sem acam ini.
Sem ua harus direncanakan dengan tabah, m atang, dan hati-
hati. Orang-orang belum lupa kisah Saartje Specx dan Pieter
Cortenhoeff. Pikirkan dirim u. Pikirkan hidupm u yang begitu
m ulia.”
“Hidupku? Dapper, kekasih. Alangkah sulit m enjaga hidup
ini selam a tujuh tahun terakhir. Setiap m em baca surat atau
m em bu ka bingkisan darim u, seluruh pikiran ini, seluruh per-
m u kaan tubuh laknat ini, m em bara seperti api neraka. Rindu
kaujelajahi,” sepasang bibir wanita itu bergetar begitu hebat,
se hingga aku m erasa perlu m enyentuhnya dengan jariku untuk
m em buatnya diam . Syukurlah tak ada yang m elihat.
“Aaltje,” aku tertegun sejenak. “Kita hidup di zam an m e-
nye dihkan. Di m asa ketika seseorang dengan kem akm uran
atau garis darah tertentu bisa m em iliki kedudukan, kehorm at-
an, dan hak lebih tinggi dari yang lain. Orang-orang sem acam
ini kem udian berkum pul, m em bentuk lem baga pem erintahan
sem bari m em injam hukum , kisah-kisah lam a, kesepakatan la-
m a, bahkan agam a atau hal-hal lain yang bisa m em persatukan
orang banyak untuk dibelokkan m enuju pencapaian cita-cita
m e reka, yaitu: m engatur hidup orang lain. Apakah aku ter de-
ngar berbelit-belit?”
“Mungkin aku bisa m enyederhanakan,” Adelheid m e nyan-
dar kan tubuh ke kursi. “Cinta, agam a, dan norm a sosial se ha-
rus nya bukan urusan pem erintah, begitukah? Sem akin diatur

pustaka-indo.blogspot.com
136
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

semakin banyak pelanggaran, itnah, persekongkolan, peng­


khianatan. Akhirnya semua tenggelam dalam kemunaikan.”
Aku tersenyum , “Aku lupa, kadangkala kau bisa sangat
langsung, kasar, dan liar. Tetapi aku tidak akan m enyanggah
pen da patm u.”
“Aku bukan wanita bermoral tinggi. Terlebih setelah tahu bah-
wa di Hindia, pria-pria terhormat seperti suamiku ternyata bisa me-
melihara, bahkan mengawini satu atau dua orang gun dik. Semen tara
istri-istri mereka di Belanda yang kesepian dan mencoba mencari hi-
buran diancam hukuman mati atas nama perzinahan.”
“Kau sudah m enceritakan ini kepadaku. J uga di beberapa
suratm u.”
“Sekadar penekanan agar kau m engerti, betapa rem uk hi-
dup ku sebelum bersua denganm u. Maka, hati-hatilah kau de-
ngan cinta ini. Aku bisa kalap.”
“Aalt, biar kuluruskan.”
“Shhh, dengarkan dulu,” rahang Adelheid m engeras. “Dari
Delft, kususul ia ke Batavia, ke istananya di Tijgersgracht,
di m ana ia tinggal bersam a gundik dan seorang anaknya. Ia
m e rangkak m inta am pun. Mencium i ujung kakiku. Berjanji
m engusir si gundik dan anak itu jauh-jauh,” Adelheid m engusap
m atanya. “Mijn God. Anak dan ibunya itu sangat... cokelat!
Dan m ereka tidur di atas sarung bantal sulam anku.”
“J angan m enyiksa diri dengan m engulang-ulang kisah ini,
Aalt.”
“Shhh! Dengan bantuan seorang tem an ahli hukum , kasus
ini kubawa ke pengadilan. Intinya, aku m enolak pem otongan
harta keluarga untuk dijadikan pesangon si gundik. Di luar du ga-
an, aku m em enangkan sebagian besar harta yang diper kara kan.
Tapi tak ada sanksi apapun bagi suam iku. Entah, apakah aku
harus gem bira atau sedih m endengarnya. Yang kutahu, iklim
tropis bekerja sam a dengan hukum kolonial telah m engubah
suam iku m enjadi orang asing yang m enjijikkan.”

pustaka-indo.blogspot.com
137
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

“Sekarang Kompeni memintanya menjadi duta dagang di


Banda. Aku tahu, semua akan terulang. Tapi kali ini aku me-
milih tinggal di Batavia, asalkan separuh hasil penjualan ru-
mah di Delft jadi milikku, ditambah ongkos hidup yang harus ia
kirimkan kepadaku setiap tahun dan surat persetujuan bah wa
aku boleh mengupayakan uang itu melalui keputusanku sen diri.
Sekali lagi pengadilan memenangkan perkara ini untukku.”
“Keteguhan hati telah m enuntunm u m em peroleh kehidup-
an lahiriah yang berkecukupan m eski dalam hal kewarasan ba-
tin engkau ada di pihak yang dirugikan,” kutandaskan bir di
ge lasku. “Tapi, apa yang bisa kita perbuat? Nasib kita serupa
dengan para im igran Inggris di Am erika: Dari negara kecil di
Eropa, tiba-tiba m em iliki m asa depan tanpa batas di tem pat
ba ru. Kita jadi gam ang. Nilai-nilai hidup yang biasa diterapkan
un tuk m engatur wilayah kecil bertubrukan dengan banyak hal
ba ru. Celakanya, seperti kataku tadi, golongan garis keras yang
ke be tulan m em iliki kuasa m enghakim i cenderung m elihat se-
m ua nya m elalui sudut pandang sem pit yang dalam banyak hal
m em enangkan pria.”
“Apakah kau sedang berusaha m engatakan bahwa kau
m en du kung pergundikan?”
“Apakah kau juga sedang berusaha m engatakan bahwa
yang kita lakukan ini benar?” aku m enghela napas. “Dengar
Aalt, kita boleh m enyebut hubungan ini cinta. Tapi di m ata m e-
reka, ini tetap skandal. Meski sudah tujuh tahun tinggal sendiri
di istanam u, engkau m asih Nyonya Ewald.”
“J adi, apa m aum u?”
Aku tak m enjawab. Dari saku baju, kutarik bingkisan ke cil
berpita biru. Kuletakkan di atas telapak tangannya yang ke be-
tulan terkem bang di atas m eja.
“J angan buka di sini, akan terlihat aneh,” kataku.
Adelheid m erintih. “Sungguh, aku m uak dengan norm a-
norm a susila ini.”

pustaka-indo.blogspot.com
138
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Kau harus pulang sekarang. Batavia di m alam hari ber ba-


haya, bahkan untuk pria. Terutam a ‘pria’ dari Tijgersgracht.”
Adelheid m engangguk. Matanya kem bali berkaca-kaca.
“Kapan bertem u lagi? Lekaslah berbuat sesuatu, agar aku
tak perlu berpakaian seperti ini lagi.”
Aku terdiam . Selesai pam it kepada Roelf, kuantar Adelheid
ke pintu kereta kuda, dan aku m asih term angu sam pai kereta
lenyap di tikungan, setelah itu barulah aku pergi ke penginapan
kecil yang kem arin kusewa di Slingerland, Sunda Kelapa. Aku
harus menyiapkan banyak hal. Besok, sekunar milik irma
Specx yang bertolak ke Banten akan m engangkat sauh sebelum
tengah hari.
Sam bil m engem asi pakaian dan dokum en dagang, dengan
berat hati kubayangkan apa yang kira-kira terjadi dengan Adel-
heid segera setelah ia m em buka bingkisan itu. Di dalam bing-
kis an ada sebuah bros em as berbentuk hati dan sepucuk su rat
yang m enerangkan beberapa hal: Pertam a, sebagai m an tan
ten ta ra yang m em ulai karier dagang dengan keuangan m o rat-
m a rit, aku sangat berterim a kasih diberi kesem patan m e nge-
nal, bah kan m asuk ke dalam kehidupan pribadi seorang wa ni-
ta m u lia dengan kecerdasan tinggi seperti dirinya. Lewat per-
ga ulan nya pula aku bisa m asuk ke dalam kongsi dagang Specx.
Bah kan kini m em egang jabatan penting di Hirado.
Kedua, kuucapkan terim a kasih pula atas ketulusan hati
ser ta ungkapan cintanya yang m enggelora. Penuh petualangan
ragawi. Yang bahkan sering kam i tuangkan dalam lem bar-lem -
bar surat selam a tujuh tahun. Sem ua ini lam bat-laun justru
m em bu at ku sadar, betapa tidak layak m em im pikan hidup se-
atap dengannya.
Aku lelaki sederhana, yang sedang berusaha m enjadi war-
ga negara baik-baik. Mencoba bersahabat dengan keganjilan
hu kum kolonial, yang untuk sem entara waktu telah berm urah
ha ti m engangkatku dari lem bah kem iskinan. Sungguh tak

pustaka-indo.blogspot.com
139
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

m ungkin bagiku m elakukan tindakan yang bisa m engacaukan


banyak pihak. Terutam a bila hal itu m erugikan m asa depanku.
J adi, takkan m ungkin kupenuhi perm intaan Adelheid untuk
m elaksanakan rencana pem bunuhan atas diri suam inya. Kalau
ia terus m em aksakan kehendaknya, lebih baik aku m enjauh.
Dem ikianlah isi surat yang kuakhiri dengan pesan pendek
bahwa bros yang dahulu m enyebabkan kam i berkenalan, akan
m enjadi saksi betapa aku tetap bersedia m enjadi sahabat ter-
ba ik nya sekaligus m enjadi saksi utam a juga apabila kelak, si-
apa tahu, dengan dukungan nasib dan tanpa harus berbuat ke-
ji, kam i bisa bersatu dalam ikatan perkawinan resm i.
Aku m enguap. Udara panas Batavia dan sisa alkhohol m e-
nerbitkan rasa kantuk yang sulit dilawan. Kupadam kan lam pu
kam ar, lalu kurebahkan badan. Nam un saat m ata benar-benar
hendak terpejam , m endadak pintu kam arku digedor kencang.
Bu kan hanya itu, sam ar-sam ar kudengar nam aku diserukan
de ngan nada yang jauh dari kesan bersahabat.
Kuraih pedangku. Saat itulah, palang pintu kam arku patah
berham buran. Mula-m ula sulit m encerna apa yang sedang ter -
jadi, lantaran m ataku m endadak harus m enentang cahaya te-
rang dari puluhan obor. Tapi sebentar kem udian, aku bisa m e-
lihat bahwa di depanku telah berdiri pem ilik penginapan serta
seorang kapten dari regu jaga m alam yang terdiri dari sepuluh
orang klovenier.*
“Letnan J an Nicholas Dapper?” tanya si Kapten. “Aku Kapten
De Lange. Selam at m alam , m enjelang pagi.”
“J an Dapper saja,” jawabku. “Sudah lama aku tak ber dinas.”
“Maaf, pintu kam i dobrak. Anda tak m enjawab ketukan
tadi.”
“Silakan bicara dengan pem ilik rum ah. Aku tak m au bayar
kerusakannya.”

* Tentara berbedil laras panjang.

pustaka-indo.blogspot.com
140
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“J angan m elucu, Letnan. Turunkan pedangm u, lalu ikut


ka m i. Jongens!” Kapten De Lange m enoleh ke belakang. Tiga
orang serdadu berlom patan m enelikung tanganku.
“Tunggu!” Aku m encoba berontak. Tapi jepitan para ser-
dadu tadi begitu ketat.
“Aku warga terhorm at Hirado dan penerim a gelar Pahla-
wan Batavia. Apa tuduhanm u?”
“Persekongkolan jahat,” sahut Kapten De Lange. “Petang
ta di Nyonya Ewald dengan penuh penyesalan datang kepada
ka m i, m engaku bahwa bersam am u ia telah m enyusun ren ca-
na pem bunuhan bagi Lam bertus Ewald, suam inya. Ia juga m e-
nan datangani pernyataan bahwa sebutan ‘Elang’ dan ‘Mawar’
yang m uncul dalam surat-m enyurat antara sebuah nam a palsu
beralam at di Tijgersgracht dengan seseorang di Puri Hirado
selam a tujuh tahun sesungguhnya adalah jatidiri Anda berdua.
Saat ini barang bukti telah kam i sim pan.”
Kepalaku m endadak pening. Adelheid? Mungkinkah ia se-
bodoh itu? Merusak m asa depan kam i. Masa depanku, tepat-
nya. Inikah arti pesan petang tadi bahwa aku harus berhati-ha-
ti dengan cintanya?
Tubuhku menggigil. Segera terbayang Sidang Dewan Yus-
tisi yang miskin keadilan. Tuduhan perzinahan. Ayat-ayat Kitab
Suci yang dipelintir untuk memperkuat tuduhan. Pengucilan dari
Perjamuan Suci. Penjara. Cap panas di kening. Entah apa lagi.
“Fitnah!” teriakku. “Pertem ukan aku dengan jalang itu! Ki-
ta lihat siapa yang berm ain air. Ini bukan persekongkolan. Ia
sendiri yang berniat m em bunuh suam inya! Anda harus lihat
su rat-suratnya kepadaku. Ia…,” aku terdiam .
Beberapa bulan lalu di Hirado, setelah tiba pada keputus an
untuk m enyelesaikan hubungan asm ara, sem ua surat Adelheid
kum usnahkan. J uga surat terakhir yang berisi perm intaan un-
tuk m enyudahi riwayat suam inya.

pustaka-indo.blogspot.com
141
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Aku terduduk lem as. Di ufuk tim ur, m entari m ulai m em bi-
as kan bercak-bercak m erah di langit Batavia. Aneh sekali, aku
teringat warna leher Pieter Cortenhoeff, sesaat setelah pe dang
algojo terayun.

480 tahun Kota J akarta, 22 J uni 20 0 7

Saartje Specx, putri Jacques Specx, sahabat Gubernur Jenderal Jan Pieters-
zoon Coen, dituduh berbuat m esum dengan kekasihny a, Pieter Cortenhoeff,
di kediam an Coen. Pengadilan m em utuskan, Saartje dihukum cam buk, se-
m en tara Cortenhoeff dipancung.

Tijgersgracht atau Kanal Macan: daerah elite di Batavia abad XVII. Diam bil
dari nam a kanal y ang m em belah pem ukim an itu. Letakny a sekitar jalan
Lada, dekat Stasiun Kota sekarang.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Penabur Benih

SESUAI ARAHAN PATER Albrecht van der Gracht, doa arwah


ku bawakan dalam bahasa Latin sepenuhnya sebelum tubuh
ka ku yang diberi pem berat itu dengan tergesa diluncurkan ke
la ut lewat sebilah papan. Tak ada kain linen yang tersisa untuk
m em bungkus jenazah. Si m ati tam pil apa adanya. Menganga,
de ngan gusi dan bibir yang hancur dikikis sariawan. Masih ter-
lihat noda kecokelatan, sisa m untah, bercak darah, dan air seni
di beberapa bagian baju yang dikenakan alm arhum . Sepintas
ta di, ka mi seperti sedang menghukum seorang pem berontak
de ngan cara membuangnya hidup-hidup ke laut. Orang-orang
di ka pal ini memang keterlaluan. Tak kujumpai wajah berduka,
be las kasih, ataupun penghargaan. Padahal sebelum menjadi
ma yat, ia adalah Letnan Meeus van Scheveningen, legenda pe-
rang Antwerp yang selam a ini kam i horm ati.
Barangkali kem atian cepat dan beruntun akibat penya kit
scheurbuik* sejak keberangkatan dari pelabuhan Texel ta hun la-
lu, serta wabah zw arte dood** pada perhentian di Madagaskar,
* Kurang vitam in C; gusi bengkak, bibir dan rongga m ulut terkelupas, luka
bernanah, dem am kuning, kelum puhan, kem atian.
** Wabah pes (Black Death).

pustaka-indo.blogspot.com
143
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

telah m engubah hati kam i m enjadi tawar, dingin, dan keras.


Be berapa orang yang terbaring di kabin sakit bahkan berharap
secepatnya sirna dari m uka bum i, karena tahu tak ada yang
sanggup m erawat m ereka lagi. Adapun kam i yang m asih bisa
ber diri ini, tam paknya juga tinggal m enunggu giliran sebelum
ter tular dan m ati.
“J angan turun dulu, J acob. Tem ani aku m elihat pe m an -
dangan di belakang,” Pater Van der Gracht m endadak m en-
cengkeram tanganku.
“Bukankah kem arin Anda dem am , Pater? Lagipula angin
sore sangat jahat,” sahutku.
“Tak ada angin jahat, J acob. Setidaknya belum pernah ku-
baca di Kitab Suci,” Pater m enggeleng. “Sebentar saja.”
Dasar keras kepala. Kubim bing ia m enuju buritan. Tem pat
itu sem pit dan lan tain ya m irin g. Dalam keadaan sehat, Pa ter
Van der Gracht m am pu m endaki pergi-pulang bukit ke cil di se-
kitar biara kam i di Zeeland. Tetapi kini ia tam pak be gitu ringkih.
Luka bernanah yang sem akin m eluas dan tak kun jung ke ring
di paha nyaris m elum puhkan kaki kanannya. Walau dem ikian
ia tabah m enapaki undakan, m elewati atap kabin. Sam pai di
atas, kupastikan ia tak m em peroleh kesulitan m elangkah di an-
tara centang-perenang tali layar dengan jubah cokelatnya yang
panjang. Dan setelah yakin m endapat pegangan kukuh di tiang
kapal, kubiarkan pastor berusia lim a puluh tahun itu berdiri
m e m atung bersam a tongkatnya, m engikuti alunan gelom bang
laut.
Di depan kam i, agak terhalang oleh lentera besar yang dipa-
sang di ujung pagar, terlihat tiga kapal raksasa, m asing-m asing
dengan lim a tum puk layar berwarna putih, bergerak lam bat
m engikuti kapal kecil kam i seperti anjing-anjing peliharaan
yang setia. Seandainya ada teropong, tentu bisa kubaca tu-
lis an yang tertera pada setiap haluan kapal: “Hollandia”,
“Am sterdam ”, dan “Mauritius”.

pustaka-indo.blogspot.com
144
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

Ya, sebagai novis* bau kencur berusia enam belas tahun, se-
kaligus asisten pribadi Pater Albrecht van der Gracht, teram at
girang hatiku saat m em peroleh kabar harus m enem ani beliau
dalam pelayaran jarak jauh ini. Sem ula aku berharap bisa ikut
salah satu dari tiga kapal m egah berbobot satu-dua ton itu. Ter-
nyata kapal-kapal tersebut sudah m em iliki pendoa. Para im am
Calvin.** Maka aku dan Pater Van der Gracht, satu-satunya
im am Katolik, harus puas ditem patkan di “Duyfken”, sebuah
ka pal pelopor kecil bertiang tiga, yang hanya berisi sekitar 20
orang.
“Siapa sangka arm ada sem egah itu berisi gerom bolan m a-
yat hidup. Begitukah pikiranm u m elihat kapal-kapal itu, Pa-
ter?” terdengar suara besar, bersaing dengan debur om bak.
Ka m i m em utar tubuh. Kutangkap wajah tirus Tuan Guilliam
Elias Goeswijn, salah seorang kepala urusan dagang. Ia tidak
m e nge na kan topi. Ram but panjangnya berkibar tertiup angin.
Sepasang bibir yang m enyem bul dari gerum bul kum is dan jeng-
got nya terlihat rusak akibat sariawan, seperti isi m ulut ke ba-
nyak an penum pang kapal ini. Tetapi tentu saja m asih terlacak
jejak kem akm uran di sekujur pakaian yang dikenakannya.
“Selam at sore, Heer Goeswijn,” ham pir bersam aan, aku
dan Pater m enggum am .
“J angan terlalu lam a di sini. Sebentar lagi tem pat ini akan
dipenuhi para kelasi yang sibuk dengan urusan tali-tem ali dan
layar,” Elias Goeswijn m endekat.
“Tidak lam a,” sahutku.
Tuan Goeswijn m engangguk, m atanya lurus ke arah kapal-
kapal di belakang kam i.
“Seandainya para petinggi Compagnie van Verre tahu bah-
wa ratusan ribu gulden yang mereka tanamkan hanya ber akhir
seperti ini….” Elias Goeswijn tidak merampungkan kalimatnya.
* Sebutan untuk anggota baru tarekat im am / biarawan/ biarawati Katolik.
** Calvin, Calvinis: salah satu aliran dalam gereja Kristen Protestan.

pustaka-indo.blogspot.com
145
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

pustaka-indo.blogspot.com
146
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

“Belum berakhir, Heer. Cobalah m iliki sedikit im an. Tuhan


m asih bersam a kita,” Pater Van der Gracht m enyentuh pundak
Elias Goeswijn. “Aku tidak m elihatm u di m isa arwah tadi, pa-
dahal aku dan J acob tidak m em buat tanda salib dan doa yang
kupilih cukup um um . Seharusnya Anda hadir.”
“Sulit mengikuti misa dalam bahasa yang tidak kumenger-
ti, Pater. Lagipula aku harus m enyusun laporan. Perm intaan
Kap ten Sim on Lam brecht Mau. Tak bisa ditunda,” Elias Goes-
wijn m engangkat bahu. “Maafkan aku.”
“Ya, ya. Aku bisa m elihat. Pelan-pelan Kapten pun m ulai
m urtad. Dan soal laporan itu, m ijn God. Sudah berapa lam a
kita terkatung di sini, Heer? Bukankah Anda punya waktu se-
um ur hidup untuk m enulis laporan? J angan lupa, yang baru
saja berangkat ke dasar laut adalah Letnan Van Scheveningen,
sahabat kita sem ua.”
“J angan lem par kem arahanm u padaku, Pater. Terlalu lam a
di atas kapal, terjerang m atahari, kelaparan, kena penyakit
m en jijik kan, perkelahian berdarah, dan tersesat di atas ko lam
raksasa ini m em ang m em buat sem ua orang kehilangan akal
sehat. Hari ini yang m ati genap 70 orang. Sem entara pe la-
buh an Ban tam * itu, en tah di m an a letakn ya. Seharusn ya kita
beron tak!” Elias Goeswijn m engepalkan tangannya.
“Belum cukupkah yang m ati berkelahi dan m asuk penjara
itu?” sela Pater.
“Aku lelah dengan sem ua ini,” sam bung Goeswijn. “Dari
Texel, cuaca sangat bagus. Tetapi lantaran m endengarkan pe-
rintah orang bodoh, kita harus berjalan m elam bung sebelum
tiba di Afrika. Lalu di Isla de Mayo, tiba-tiba saja angin ber hen-
ti. Aku sudah m em baca gejala. Kusarankan m engisi logistik de-
ngan buah-buahan sebanyak m ungkin, sem bari m enunda ke-
ber angkatan sebentar. Anda tahu, m enurut catatan Hernando
Cortés, suku Aztec tak pernah m enderita scheurbuik, karena
* Banten.

pustaka-indo.blogspot.com
147
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

setiap hari m ereka m akan buah-buahan. Kapten setuju, tetapi


usulku ditolak oleh si bajingan pelagak di sana itu untuk alasan
yang tidak jelas,” Elias Goeswijn m enunjuk kapal “Mauritius”.
“Tuan Cornelis de Houtm an?” tanyaku.
“Siapa lagi? Tak sudi aku sekapal dengannya. Lebih baik
pin dah ke sini,” sepasang m ata buas Elias Goeswijn m am pir
seben tar di wajahku, sebelum kembali beradu tatap dengan Pa-
ter Van der Gracht. “Begitu tinggi kepercayaan para pe ja bat
ke pa da nya. Padahal orang itu tidak m engerti apa pun ten tang
na vigasi. Betul, ia berhasil m engem bangkan pe ta per ja lan an
ver si Plancius dan Van Linschoten dengan te m u an nya selam a
m e nyu sup di Lisbon, tetapi soal m em im pin eks pe disi se ha-
rus nya m ereka m endengarkan orang yang lebih te pat: Pieter
Dirks zoon Keijzer, jurum udi dengan segudang pengalam an
m e laut. Bukan begitu, Pater?”
“Ira Dei. Murka Tuhan,” Pater Van der Gracht m enarik
napas panjang.
“Mengapa Ia m urka?”
“Karena m isi ini telah diselewengkan dari tujuan sem ula
dan karena kapal-kapal ini dijejali orang m urtad, pem abuk,
pe zina, serta pedagang tak bertuhan seperti Anda,” Pater Van
der Gracht m enyandarkan tubuh ke tiang layar. “Sem ula ku ki-
ra keem pat kapal ini sarat dengan dom inee,* predikant,** pen-
doa, apapun sebutan kalian, yang berniat am bil bagian da lam
pewartaan im an Kristiani di dunia baru. Ternyata hanya aku,
ditam bah ketiga im am itu. Bagaim ana tanggung jawab tuan-
tuan terhadap Raja dan Gereja? Ini persis tulisan di dalam Ki-
tab Suci, ‘Messis quidem m ulta operarii autem pauci—panen
m elim pah, tetapi pekerjanya sedikit.’ Ah, jangankan un tuk ne-
geri baru. Tengoklah kapal ini. Hanya enam orang yang ikut
m isa arwah. Reform asi? Kurasa Tuhan akan senang bila aku

* Pastor, im am Kristen Katolik.


** Pendeta, pem im pin agam a atau jem aat Kristen Protestan.

pustaka-indo.blogspot.com
148
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

bisa m engem balikan kalian sem ua m enjadi Katolik. Mereka


lebih taat. Dan ketaatan m em buahkan keberhasilan. Lihatlah
peran Gereja m endukung Colum bus m enem ukan dunia baru
seabad lalu.”
“J angan bicara agam a, Pater. Tak ada satu pun pastor da-
lam pelayaran pertam a Colum bus ke Guanahani. Klub para pe-
dagang punya laporan lengkap tentang hal itu. Soal reform asi,
apa lagi yang harus kita bicarakan? Sem ua tahu, penyebabnya
adalah pem aksaan doktrin Katolik dalam kehidupan sosial oleh
badan inkuisisi Spanyol untuk m enekan rakyat Nederland, ter-
uta m a para pejuang Oranje yang kebanyakan reform is Pro tes-
tan. Mereka jugalah yang m enutup jalur rem pah dari Lisbon
se hingga kita terpaksa berpetualang seperti ini.”
“Aku tahu.”
“Baik. Mestinya Anda juga tahu, bahwa yang kita perangi
bukan agam a, m elainkan tindakan brutal Spanyol di bawah
ko m ando Felipe II bersam a m esin-m esin perang m ereka se-
m a cam Pangeran Alba atau Pangeran Parm a. Lalu, apa kata
Anda tadi? Pedagang tak bertuhan? Negeri Belanda sudah
m er deka. Dem ikian pula warganya. Dan seperti Guillaum e van
Ora nje, aku m em ilih sendiri agam aku. Menolak segala sesuatu
yang dipaksakan.”
“Kalau bukan sesuatu yang dipaksakan, m engapa Dewan
Ne gara berpangku tangan saat para pengikut Calvin m enekan
pen duduk Walloon, Hainault, dan Artois di selatan seraya
m enghancurkan lukisan dan patung-patung di dalam gereja
m e reka? Apakah Anda term asuk barisan yang bersuka cita m e-
m enggal kepala Kristus, Bunda Maria, dan m enganggap kam i
m enyem bah patung? O, dim itte nobis debita nostra.”*
“Pater, Anda orang Zeeland. Mengapa kerap m engutip
ba ha sa Latin? Apakah Tuhan hanya bicara bahasa Latin?

* Am punilah kesalahan kam i—petikan doa Bapa Kam i dalam bahasa Latin.

pustaka-indo.blogspot.com
149
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Sejujurnya, yang kusuka dari kaum reform is adalah, m ereka


m e m iliki kitab dalam bahasa ibu sendiri. Mudah dipaham i
hingga ke kalangan bawah. Ah, sangat m elelahkan bicara aga-
m a. Satu topik belum selesai, berputar ke topik lain,” Elias
Goes wijn m enepuk dahi. “Yang ingin kusam paikan sederhana
sa ja, Pater. Ini kapal dagang biasa. Misi dagang biasa. J angan
m e ngu tuk. J angan m enyum pahi isi kapal ini. Karena, seperti
halnya para im am Calvin di sana, kehadiran Anda di sini sebatas
m en ja di pendoa kam i. Itu saja. J anganlah m engacaukan m isi
da gang kam i dengan pesan agam a. Biarkan kam i m em buka la-
han nya terlebih dahulu.”
“Anak m uda!” Pater m em ukulkan tongkatnya ke geladak.
“Pesan itu ada di dalam surat yang ditandatangani Raja, Dewan
Negara, dan Uskup. Dengan atau tanpa bantuan Anda sem ua,
bila m asih hidup, setiba di sana aku akan tetap m elakukannya.
Menjadi penabur benih. Mengikuti jejak Fransiskus Xaverius
di Am bonia. Pasti Anda tahu bahwa Portugis sudah tiba lebih
dahulu di sana. Dan m ereka bukan pengikut reform is.”
“Ya, dan Anda pasti tetap tidak akan percaya bila kukatakan
bahwa usulan pewartaan im an di dunia baru itu ditam bahkan
oleh Kam ar Dagang sem ata untuk m em perlancar restu dari
Raja, yang sedang tergila-gila segala hal berbau agam a.”
“Oh, aku percaya. Dan sem oga dengan perbuatan itu, kalian
sem ua terbakar di neraka!” Pater m em buat tanda salib. “Nah,
perm isi, Heer. Langit sudah m ulai gelap. Ayo, J acob.”
Kam i tinggalkan Tuan Goeswijn sendirian di buritan.
Selam a m enuju perut kapal, baru kusadari betapa keras
tadi m ereka berbicara. Mengalahkan derak kayu geladak yang
saling berim pit diterjang om bak. Bunyi yang biasanya m e ne-
m ani hari-hari sepi kam i di atas “Duyfken” ini.
Tiba di kabin, Pater m endadak terkulai. Kuangkat ia ke
ranjang. Kunyalakan sebatang lilin besar. Wajah Pater jauh

pustaka-indo.blogspot.com
150
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

lebih pucat dibandingkan tadi siang. Suhu badannya tinggi.


Dan bengkak di gusinya kelihatan sem akin buruk. Kuam bil
segelas anggur dan cuka apel, tetapi ia m enggeleng. Akhirnya
kutuang m inum an itu ke atas sehelai kain, lalu kuletakkan di
dahinya, berharap bahwa dengan cara itu suhu tubuhnya bisa
turun. Kali ini ia tidak protes.
“J acob, setelah sem ua percakapan tadi, aku m erasa diriku
seperti Kristus, yang sedang m enanti waktu di Tam an Zaitun.
Berdoalah untukku dan seisi kapal ini.”
Aku m em ejam kan m ata m encoba berdoa, tetapi hatiku
sungguh ham pa. Kalau Pater m erasa seperti Kristus, barangkali
aku boleh m enganggap diriku sebagai Santo Petrus. Orang ter-
dekat Kristus, yang tak sanggup m elakukan apapun untuk m e-
nye lam atkan gurunya.
“Dunia berubah, Nak,” bisik Pater setelah melihatku mem -
bu ka mata kembali. “Ilmu pengetahuan berlari cepat. Orang me-
nemukan pengukur waktu, pistol, lensa, kacamata, mikroskop,
teleskop. Pernah dengar kisah Galileo Galilei, bukan?”
Aku m engiyakan, sam bil terus m enekan kain ke dahinya.
“Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei m em buka rahasia
benda-benda langit, m enunjukkan bentuk bum i yang seperti
bola. Mem beri jalan bagi para petualang untuk berlayar jauh,
m e ne m ukan dunia baru. Tetapi m enuju ke m ana sem ua ini?
Apalagi ditam bah kehadiran kaum reform is. Apa yang Tuhan
inginkan dengan segala perubahan besar, perbedaan, dan per-
pecahan ini?”
“Agar kita sem akin setia kepada-Nya?” tanyaku.
“Entahlah. Seperti kisah Menara Babel, kurasa Ia m uak
m elihat kesom bongan Gereja, sehingga akhirnya m em bagikan
berkat-Nya kepada bangsa-bangsa lain. Lihatlah orang-orang
Moor itu. Dulu aku selalu berpikir bahwa m ereka adalah utus-
an kegelapan. Mem buat onar di Tanah Suci, m enyulut pe-
rang besar, m engajak orang m engakui nabi m ereka. Tetapi

pustaka-indo.blogspot.com
151
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

m ungkinkah utusan kegelapan m em iliki hati yang peka, m eng-


ajar kan kebajikan, dan m enguasai peradaban tinggi? Bah kan
Spanyol, yang lam a berkuasa atas negeri kita, sem pat tun duk
selam a tujuh abad kepada m ereka. Sesuatu yang hanya m ung-
kin dilakukan oleh bangsa yang diberi restu oleh surga.”
“Istirahatlah, Pater,” kuberanikan diri m em otong kalim at-
nya.
“Para reform is, orang-orang Moor, dan kita sendiri. Sem ua
adalah pekerja kebun Tuhan. Biarkan Ia m engam bil yang ter-
baik,” bisik Pater sebelum tertidur.
Barangkali aku terlalu letih, m ungkin juga m ulai terjangkit
dem am kuning, sehingga ikut terlelap di kursi, dan baru m e-
lonjak bangun saat m endengar teriakan keras yang diulang be-
berapa kali: “Daratan! Daratan!”
Seketika, aku larut dalam kegem paran itu. Mengham bur ke
dek atas. Agak sulit, karena banyak penghuni kapal berlom ba
m enaiki anak tangga. Begitu m uncul di atas, arom a aneh yang
m enyegarkan m elanda cuping hidungku. Hari belum la m a ber-
ganti. Di sisi barat, ujung langit m asih m enyisakan war na biru
kem erahan, tetapi di tim ur sana, kira-kira berjarak kurang dari
seperem pat hari perjalanan, berlatar langit biru jingga dengan
beberapa gum pal awan tipis, kusaksikan siluet sebuah dataran.
Sem ula kukira tiga buah pulau terpisah, tetapi sem akin jelas
bahwa itu adalah sebuah pulau tunggal berbukit-bukit dengan
m ulut teluk yang lebar.
J uru isyarat merangkai bendera-bendera kecil lalu menge-
reknya di antara tiang-tiang layar. Ternyata langsung mem per-
oleh jawaban. Mula-mula dari kapal “Mauritius”, yang selama ini
men ja di markas Tuan Cornelis de Houtman, si pemimpin ekspe-
disi. Disusul kedua kapal lain. J awaban mereka sama: Lempar
jangkar.
Sorak-sorai terdengar di segala penjuru. Menurut Kapten,

pustaka-indo.blogspot.com
152
http://pustaka-indo.blogspot.com
Semua untuk Hindia

sesuai peta Van Linschoten, nam a pulau itu adalah Enggano.


Dalam bahasa Portugis, ‘engano’ berarti ‘kecewa’. Sem oga hal
itu tak berlaku di sini, karena cahaya sukacita justru sedang
m e landa kam i saat ini.
Kuam ati sekeliling kapal. Kapten Sim on Lam brecht Mau
adalah m anusia yang terlihat paling sibuk. Dari m ulutnya m e-
nyem bur banyak perintah. Dan untuk pertam a kali setelah
ham pir dua tahun berlalu, aku m elihat lagi sosok tentara ke-
ra jaan . J um lahn ya tin ggal delapan oran g di kapal in i. Mereka
berbaris di dek, lengkap dengan ketopong, baju besi, dan se-
nap an yang dim inyaki penuh sem angat sehingga kem bali ber-
kilat. Pendeknya, pagi ini, 5 J uni 1596, aku m enyaksikan pawai
harapan, garis-garis senyum yang lebar, hawa riang yang
m enggairahkan. Lupa bahwa sebagian dari m ereka sedang di-
dera dem am kuning dan sariawan parah.
Dem am kuning? Aku tersentak, lalu berlari ke kabin ba-
wah, nyaris tersungkur di ujung anak tangga. Kuham piri ran-
jang Pater Van der Gracht. Kusaksikan Tuan Elias Goeswijn
ber sa m a Tuan Blasius Reijr, tabib kapal, berdiri khidm at di te-
pi ranjang. Segera aku paham apa yang terjadi.
“Ada pesan akhir dari beliau, Heer?” tanyaku sam bil m e-
natap wajah Pater. Kedua m ata pastor itu tertutup. Mulutnya
yang bengkak terdorong ke kanan m em bentuk sebuah senyum
jenaka, m em buatku ingin m enangis. Tetapi tak ada air m ata
yang terbit. Mengapa ia kutinggalkan begitu lam a tadi?
“Kutem ukan, tubuhnya sudah dingin,” sahut tabib Reijr.
Aku kem bali m engangguk.
“Kita segera berlabuh,” Elias Goeswijn m enengok jam pasir
di m eja Kapten. “Akan kum inta seseorang m em buat peti m ati.
Kita bisa m enyelenggarakan upacara pem akam an yang layak
di darat. Tentunya engkau bisa m em im pin doa, Nak?”
“Ya, Heer,” jawabku. “Dalam bahasa Latin maupun Belanda.

pustaka-indo.blogspot.com
153
http://pustaka-indo.blogspot.com
Iks a ka Ba nu

Tetapi sebaiknya Belanda, agar sem ua ikut berdoa.”


Kam ar itu sunyi, tetapi dari jendela kabin aku m elihat ke-
ram aian luar biasa di sekeliling kapal: Sekelom pok m anusia de-
ngan hiasan m eriah di kepala, m engham piri kam i dengan ka no.
Mereka hanya m em akai selem bar cawat. Tubuh m ereka ke cil,
kekar, berwarna cokelat. Berseru m enggunakan kalim at-ka li-
m at pendek dan nyaring, m irip suara kalkun. Segera terbayang
kisah Colum bus dan suku asli Taino di Hispaniola yang gem ar
m em angsa m anusia. Di antara rasa gentar dan gem bira, diam -
diam aku bertanya kepada diriku sendiri, inikah kebun Tuhan
yang harus kugarap?

J akarta, 23 J uni 20 12

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Tentang Penulis

Iks aka Ban u lahir di Yogyakarta, 7 Oktober 1964. Me na-


matkan kuliah di Jurusan Desain Grais, Fakultas Seni Rupa
dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Bekerja di bidang
per iklanan di J akarta hingga tahun 20 0 6, kem udian m e m u-
tus kan m en jadi praktisi iklan yang bekerja lepas.
Sem asa kanak-kanak (1974– 1976), ia beberapa kali m e ngi-
rim tulisan ke rubrik Anak Harian Angkatan Bersenjata. Kar-
ya nya pernah pula dim uat di rubrik Anak Kom pas dan m ajalah
Kaw an ku. Nam un, kegiatan m enulis terhenti karena tertarik
un tuk m encoba m elukis kom ik. Lewat kegiatan m elukis kom ik
ini, ketika duduk di bangku sekolah m enengah pertam a, ia
m em per oleh kesem patan m em buat cerita bergam bar berjudul
“Sam ba si Kelinci Perkasa” di m ajalah Ananda selam a 1978.
Se te lah dewasa, kesibukan sebagai seorang pengarah seni di
be be ra pa biro iklan benar-benar m em buatnya seolah lupa du-
nia tulis-m enulis.
Pada tahun 20 0 0 , dalam jeda cuti panjang, ia m encoba
m enulis cerita pendek dan ternyata dim uat di m ajalah Matra.
Sejak itu ia kem bali giat m enulis. Sejum lah karyanya dim uat
di m ajalah Fem ina, Horison, dan Koran Tem po. Dua buah
cerpennya, “Mawar di Kanal Macan” dan “Sem ua untuk
Hindia” berturut-turut terpilih m enjadi salah satu dari 20
cerpen terbaik Indonesia versi Pena Kencana tahun 20 0 8 dan
20 0 9.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Semua untuk Hindia


Tiga belas cerita pendek merentang dari masa pra-
ke datangan Cornelis de Houtman hingga awal
Indonesia merdeka. Masing-masing menggoda kita
untuk berimajinasi tentang sejarah Indonesia dari
sudut pandang yang khas: mantan tentara yang
dibujuk membunuh suami kekasih gelapnya; perwira
yang dipaksa menembak Von Imhoff; wartawan
yang menyaksikan Perang Puputan; inspektur Indo
yang berusaha menangkap hantu pencuri beras;
administratur perkebunan tembakau Deli yang
harus mengusir gundik menjelang ke datangan istri
Eropanya; nyai yang begitu disayang sang suami
tetapi berselingkuh.

Iksaka Banu ‘'peniup ruh' ‘ yang jitu dalam menghidupkan


masa lalu. Di tangannya, kisah berlatar sejarah tersingkap
apik, rinci, dan dramatik.
—‘Kurnia Effendi

Cerita-cerita dalam kumpulan ini membawa kita kepada era


kolonialisme yang jarang digali oleh penulis Indonesia modern.
Dengan riset yang serius dan teliti, Iksaka Banu mengisahkan
tentang cinta, keintiman, kemesraan sekaligus pengkhianatan
dan kekejian di antara tokoh-tokoh pribumi dan Belanda.
—‘Leila S. Chudori

KUMPULAN CERPEN
ISBN: 978-979-91-0710-7

KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA)


Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3351, 3364 9 789799 107107
Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com KPG: 901 14 0805
Facebook: Penerbit KPG; Twitter: @penerbitkpg
pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai