Anda di halaman 1dari 17

BAB I

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : An. NR
Usia : 1 tahun 5 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Rempoa
Agama : Islam
BB : 11 kg
No. RM : 7129*
Tanggal MRS : 27 Desember 2018 (17.30)

B. Anamnesis
Auto-anamnesa
1. Keluhan utama :
Kejang saat 30 menit SMRS

2. Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke RSU Pesanggrahan diantar oleh ibu dan neneknya
dengan keluhan kejang sejak 30 menit SMRS. Kejang kurang lebih 5
menit. Saat kejang, pasien tidak sadar, kedua lengan kelojotan, mata
mendelik ke atas, keluar busa (-). Saat setelah kejang, pasien sadar dan
langsung menangis. Penurunan kesadaran (-), kelemahan sisi tubuh (-). Ini
merupakan kejang pertama kali. Menurut ibu pasien, sebelumnya pasien
tidak pernah seperti ini. Pasien demam sejak 1 hari SMRS, demam tinggi
namun orang tua pasien tidak punya termometer dirumah sehingga tidak
tahu suhu nya. BAB cair (-), batuk (-), pilek (-). Muntah (-). Saat di igd
pasien sudah tidak kejang.

1
3. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat seperti ini pada keluarga disangkal

5. Riwayat pengobatan :
Pasien sudah minum sanmol syr 1 cth namun menurut ibu pasien, demam
masih ada.

6. Riwayat kehamilan dan kelahiran :


Pasien merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara. Lahir usia 37 minggu,
persalinan normal, BB lahir 2.9 kg, langsung menangis

7. Riwayat tumbuh kembang :


Sesuai usia

C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
GCS : E4M6V5

Tanda – tanda Vital :


• BB : 10 kg
• N : 134 x/menit
• RR : 29 x/menit
• S : 39.7 C

2
Kepala
- Mata : SI (-/-), CA (-/-)
- Telinga : serumen tidak ada
- Hidung : sekret tidak ada
- Mulut : mukosa basah, lidah bisa dijulurkan

Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi : simetris kanan dan kiri
Palpasi : vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
b. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba. Thrill tidak ada.
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama regular.

Abdomen
Inspeksi : bentuk abdomen datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas
- Superior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak
ada kelemahan.
- Inferior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak
ada kelemahan

3
Hasil Laboratorium :

Diagnosis Kerja :

Kejang demam sederhana

Penatalaksanaan :

• Dumin supp 125 mg

• IVFD KAEN 3b 41 tpm

• Paracetamol syr 3 x 5 ml

• Kompres hangat

• Observasi

4
BAB II

DAFTAR PUSTAKA

I. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium (1). Kejang demam ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan
– 5 tahun(2). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam(4). Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa
demam(3). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam(1). Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam(4).
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahuluidemam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya infeksi SSP,
atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam(4). Definisi ini menyingkirkan
kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau
ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf
pusat(3).

II. Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat,
Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira 20
% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul
pada tahun kedua kehidupan (17 – 23 bulan) kejang demam sedikit lebih sering
pada laki – laki(2).

III. Etiologi

5
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan
infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan
infeksi saluran kemih(2).

IV. Faktor Resiko


Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam(3). Ada
riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua,
menunjukkan kecenderungan genetik (1,3). Selain itu terdapat faktor perkembangan
terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar
natrium rendah, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat
keluarga epilepsi(1,3).
Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya gangguan
neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga,
lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks(1).

V. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak,
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi,
dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan
ke otak melalui kardiovaskuler(6). Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang
melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air (6). Sel dikelilingi oleh suatu
membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar
adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat
keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari
sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan

6
energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat pada permukaan sel(6).
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b.Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan(6).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %.
Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
(6)
neurotransmitter dan terjadilah kejang . Tiap anak mempunyai ambang kejang
yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38o C,
sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada
suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya
kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga
dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang(6). Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat
merupakan mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia(1).
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
yang akibatnya terjadihipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot
dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian
diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama

7
berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah
yangmengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak(6). Kerusakan
pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga
terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi(6).

VI. Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam(7). Kejang
demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam(6). Suhu yang
tinggi merupakan keharusan pada kejang demam sederhana, kejang timbul bukan
oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di
tempat lain, misalnya pada radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Bila
dalam riwayat penderita pada umur – umur sebelumnya terdapat periode - periode
dimana anak menderita suhu yangsangat tinggi akan tetapi tidak mengalami
kejang; maka pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati – hati, mungkin
kejang yang ini ada penyebabnya(2). Pada kejang demam yang sederhana kejang
biasanya timbul ketika suhu sedang meningkat dengan mendadak, sehingga
seringkali orang tua tidak mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam.
Agaknya kenaikan suhu yang tiba – tiba merupakan faktor yang penting untuk
menimbulkan kejang(2). Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk
umum, biasanya bersifat tonik – klonik seperti kejang grand mal; kadang –
kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika. Kejang dapat juga
berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu,
umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang
demamsederhana masih mungkin(2).
b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang dengan salah satu ciri berikut :

8
1. Kejang lama lebih dari 15 menit.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam(7).
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8 % kejangn demam(4). Kejang fokal adalah kejang parsial satu
sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial(4). Kejang berulang adalah
kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar.
Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara anak yang mengalami kejang
demam(4).

VII. Manifestasi Klinik


Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang disebabkan oleh
infeksi susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media kut, bronkitis,
furunkulosis. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu
demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik,
fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik
atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf(6).
Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2
golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever).
Modifikasi kriteria Livingston(6):
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan.

9
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh
demam(6).

VIII. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah.
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis
adalah 0,6 % - 6,7 %.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitiskarena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
2. Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.
3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis
tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
c. Elektroensefalografi

10
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat
dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.
d. Pencitraan
Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT –
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti :
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema

IX. Diagnosis Banding


Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya :
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak

Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang,
harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan
(6)
saraf pusat (otak) . Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis
meningitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan
meningitis dan jika pasien telah mendapat antibiotik maka perlu pertimbangan
pungsi lumbal (3).

X. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Saat Kejang (4)
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara

11
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB perlahan – lahan
dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam waktu 3 – 5 menit,dengan dosis
maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di
rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75 mg/kgBB
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan
10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5
mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3
tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan caradan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10 – 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau
kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 – 8
mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.Bila dengan fenitoin kejang
belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demamapakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
b. Pemberian Obat Pada Saat Demam (4)
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15
mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5
– 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula
dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C.
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkanataksia, iritabel dan sedasi yang

12
cukup berat pada 25 % - 39 % kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin
pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejangdemam.
3. Pemberian Obat Rumat (4)
a. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai
berikut (salahsatu) :
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
 Kejang demam > 4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya
keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakanindikasi pengobatan rumat.
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik.
b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang
demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping,
maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dandalam jangka
pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan saat ini
adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,terutama yang berumur kurang
dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsihati. Dosis asam
valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2 – 3 dosis, dan fenobarbital 3 –
4mg/kgBB/hari dalam 1 – 2 dosis.

13
XI. Edukasi Pada Orang Tua (4)
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangidengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.

Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang (4)


a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih.

Vaksinasi (4)
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap
anak yang mengalamikejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi
sangat jarang. Angka kejadian pascavaksinasi DPT adalah 6 – 9 kasus per 100.000
anak yang divaksinasi, sedangkan setelahvaksinasi MMR 25 – 34 per 100.000
anak. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral ataurektal bila anak demam,

14
terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter
anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian

XII. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak
menyebabkan kematian.
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembanganmental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Penelitianlain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainanini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal(4). Kejang yang
lebih dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 10 menit,
diduga biasanya telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap(2). Apabila tidak
diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi (3,5) :
1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %.
Umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
2. EpilepsiResiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.
3. Kelainan motorik
4. Gangguan mental dan belajar

b. Kemungkinan mengalami kematian


Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan (4).

c. Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam (4)


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang

15
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam
paling besar pada tahun pertama. (4)

Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :


a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4 % - 6 %, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10 % - 49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak
dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.

16
DAFTAR PUSTAKA

1.Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas. Standar Pelayanan Medik.


Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas Makassar.
2.Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
KesehatanAnak FKUI Jakarta. 1985
3.Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol.
3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000;
4.Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin
Dunia Kedokteran No. 27.1982
5.Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006.
6.Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006

17

Anda mungkin juga menyukai