Anda di halaman 1dari 48

LER I I u

Alergi Obat ....................................... :... ;........ .


Asma Bronkial ............................................ >.. , ... , _ _ . _ __
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS}- .. ,, ..... :;: ..... ,,.12
Renjatan Anafilaksis.............................................. ..... ,......... 22
Urtikaria ................................................................... .. ... :..•. :,)29/
Vaksinasi Pada Orang Dewasa ........................ :.... :...... .. .... 33
HIV I AIDS Tanpa Komplikasi. ............... ,.. :; .. :.. ,... :.,..... ...40.
ALERGI OBAT

PENGERTIAN
Alergi obat merupakan reaksi simpang obat yang tidak diinginkan akibat adanya
interaksi antara agen farmakologi dan sistem imun manusia. Terdapat empat jenis
reaksi imunologi menurut Gel! dan Coombs, yaitu hipersensitivitas tipe 1 (reaksi dengan
IgE), tipe 2 (reaksi sitotoksik), tipe 3 (reaksi kompleks imun) dan tipe 4 (reaksi imun
selular). 1
Manifestasi alergi obat tersering adalah di kulit, yang terbanyak yaitu berupa ruam
makulopapular. Selain di kulit, alergi obat dapat bermanifestasi pada organ lain, seperti
hati, paru, ginjal, dan darah. Reaksi alergi obat dapat terjadi cepat a tau lam bat, dapat
terjadi setelah 30 menit pemberian obat hingga beberapa minggu. 2

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Riwayat obat-obatan yang sedang dipakai pasien, riwayat obat-obatan mas a lampau,
lama pemakaian dan reaksi yang pernah timbul, lama waktu yang diperlukan mulai
dari pemakaian obat hingga timbulnya gejala, gejala hilang setelah pemakaian obat
dihentikan dan timbul kembali bila diberikan kembali, riwayat pemakaian antibiotik
topikal jangka lama, keluhan yang dialami pasien dapat timbul segera ataupun beberapa
hari setelah pemakaian obat (pasien dapat mengeluh pingsan, sesak, batuk, pruritus,
demam, nyeri sendi, mual) 1· 3-4

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, hipotensi, limfadenopati, ronki, mengi, urtikaria, angioedema,
eritema, makulopapular, eritema multiforme, bengkak dan kemerahan pada sendP· 4·5

Pemeriksaan Penunjang: 1•3 • 6


• Pemeriksaan hematologi: darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati
• Urinalisis lengkap
• Foto toraks

Panduan Praktik llinis


Perhlrnr)!)nan Dokter Spesialis Peoyakit Dt:J!arn !ndonesfct
~~"~~~~!~!!~!!~,~o!~!~~~Q A·l~t9J .• ,m.t.J·nolog.i

• Pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test)


• Pemeriksaan Coombs indirek
• Pemeriksaan fiksasi komplemen, reaksi aglutinasi
• Uji tusuk kulit (skin prick test)
• Uji kulit intradermal
• Uji tempel(patch test)

DIAGNOSIS BANDING 4
• Sindrom karsinoid • Penyakit graft-versus-host
D • Gigitan serangga • Penyakit Kawasaki
• Mastositosis • Psoriasis
• Asma • Infeksi virus
• Alergi makanan • Infeksi Streptococcus
• Keracunan makanan
• Alergi lateks
• Infeksi

TATALAKSANA

Non Farmakologis 1
Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai.

Farmakologis
• Terapi tergantung dari manifestasi dan mekanisme terjadinya alergi obat.
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala
ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. 1 Pada kasus yang berat,
kortikosteroid sistemik dapat mempercepat penyembuhan. 4
• Pada kelainan kulit yang be rat seperti pad a SSJ, pasien harus menjalani perawatan.
Pasien memerlukan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat. Perawatan kulit juga
memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari hitungan hari hingga minggu. Hal
lain yang harus diperhatikan adalah terjadinya infeksi sekunder yang membuat
pasien perlu diberikan antibiotika. 1
• Tata laksana anafilaksis dapat dibaca pada bagian anafilaksis.
• Pada kasus urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya
sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih be rat seperti vaskulitis, penyakit
serum, kelainan darah, hepatitis, atau nefritis interstisial biasanya memerlukan
Alergi Obat

Berikut ini adalah algoritma penatalaksanaan alergi obat: 4

Anamnesis: gejala, daftar obat yang


sedang digunakan, temporal sequence
Pemeriksaam fisik
Pemeriksaan laboratorium

Ya
1
Merujuk pada reaksi obat----.. Tidak

1
Kecurigaan terhadap
1
Cari Etiologi lain
hipersensitivitas terhadap
obaUreaksi imunologi

Ya I Tidak 1
J l Evaluasi dan terapi
etiologi tersebut
Mekanisme imunologis: Mekanisme non imun:
- Diperantarai lgE - Efek samping obat
- Sitotoksik - Toksisitas obat
- Kompleks imun - lnteraksi antar obat
- Reaksi tipe lambat - Overdosis obat
- Mekanisme imun lain - Pseudoalergi
- ldiosinkrasi
- lntoleransi

1
Evaluasi
Manajemen:
- Modifikasi dosis
dengan melakukan - Substitusi obat

'" '1"'"; - Atasi efek samping


- Lakukan pemberian
obatbertahap
- Edukasi pasien
Apakah tes mendukung
diagnosis alergi obat
karena reaksi imunologi?

Ya I Tidak

J l
Apakah tes memiliki

'I' "'o
Diagnosis alergi
nilai kemaknaan tinggi
ob•t Tidak I Ya
Berikan obat
dengan
J observasi

Manajemen:
- Desensitisasi atau uji bertahap sebelum obat diberikan
- Reaksi anafilaksis diberikan terapi emergensi
- Hindari pemakaian obat
- Pemberian profilaksis sebelum pemakaian obat
- Waspada pad a penggunaan obat di masa mendatang
- Edukasi pasien

Gombar 1. Algoritma Penatalaksanaan Alergi Obat4


! .~PerhtrimUnan Dokter-Spe:s:iofis PenY9kifoqrOm'tnd0nesla

kortikosteroid sistemik dosis tinggi ( 60-100 mg prednison a tau setaranya) sampai


gejala terkendali. Kortikosteroid terse but selanjutnya diturunkan dosisnya secara
bertahap selama satu sampai dua minggu. 1

KOMPLIKASI
Anafilaksis, anemia imbas obat, serum sickness, kematian 3·5 · 6

PROGNOSIS
Alergi obat akan membaik dengan penghentian obat penyebab dan tatalaksana
~
yang tepat. Apabila penghentian pemberian obat yang menjadi penyebab alergi segera
dilakukan, maka prognosis akan semakin baik. 3· 5

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi-lmunologi- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam,
Bagian Kulit dan Kelamin
• RS non pendidikan : Departemen Kulit dan Kelamin

REFERENSI
1. Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, Sukmana N. Alergi obat. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B. Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'" ed. Jakarta: Pusat lnformasi dan
Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI. 2009 p. 387-91.
2. Baratawidjaja KG. Rengganis I. Alergi Dasar edisi ke-1. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit
Dalam. 2009. h. 457-95.
3. Shinkai K, Stern R, Wintroub B. Cutaneous drug reactions. In: Fauci A, Kasper D. Longo D, Braunwald
E. Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18"' ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2012 p. 432-9.
4. Riedl M, Casillas A. Adverse drug reactions: types and treatment options. Am Fam Physician 2003;
68(9):1781-91.
5. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011; 7(Suppl1 ):S10
6. Greenberger PA. Drug allergy. J Allergy Clin lmmunol2006; 117(2 Suppi):S464-70
ASMA BRONKIAL

PENGERTIAN
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemen selular. lnflamasi kronik ini terkait dengan hiperreaktivitas
saluran napas, pembatasan aliran udara, gejala respiratorik dan perjalanan penyakit
yang kronis. Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi aliran udara dalam paru
yang reversibel baik secara spontan ataupun dengan pengobatan.l-3
Asma disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang
berpengaruh adalah riwayat keluarga dan atopi. Obesitas juga terkait dengan
peningkatan prevalensi asma. Beberapa pemicu serangan asma antara lain alergen,
infeksi virus pada saluran napas atas, olahraga dan hiperventilasi, udara dingin, polusi
udara (asap rokok, gas iritan), obat-obatan seperti penyekat beta dan aspirin, serta
stres. 2
Pada asma, terdapat inflamasi mukosa saluran napas dari trakea sampai bronkiolus
terminal, nam un predominan pad a bronkus. Sel-sel inflamasi yang terlibat pad a asma
antara lain sel mast, eosinofil, limfosit T, sel dendritik, makrofag, dan netrofil. Sel-sel
struktural saluran napas yang terlibat an tara lain sel epitel, sel otot polos, sel endotel,
fibroblas dan miofibroblas, serta sel saraf. Penyempitan saluran nafas terutama terjadi
akibat kontraksi otot polos saluran napas, edema saluran napas, penebalan saluran
napas akibat remodeling, serta hipersekresi mukus. 2

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Asma dapat didiagnosis dari gejala yang dialami dan riwayat penyakit pasien.

Anamnesis 1•3
Episode berulang sesak napas, mengi, batuk, dan rasa be rat di dada, terutama saat
malam dan dini hari. Riwayat munculnya gejala setelah terpapar alergen a tau terkena
udara dingin atau setelah olahraga. Gejala membaik dengan obat asma. Riwayat asma
pada keluarga dan penyakit atopi dapat membantu diagnosis.
l. PPrhlmnrrht'ft'< l!n\tt.::li.l\~-~!nlk Penyoklt Daram lndonesla

Pemeriksaan Fisik 1•3


Temuan fisis paling sering adalah mengi pada auskultasi. Pada eksaserbasi berat,
mengi dapat tidak ditemukan namun pasien mengalami tanda lain seperti sianosis,
mengantuk, kesulitan berbicara, takikardi, dada hiperinflasi, penggunaan otot
pernapasan tambahan, dan retraksi interkostal.

Pemeriksaan Penunjang 1· 3
Spirometri (terutama pengukuran VEP1 [volume ekspirasi paksa dalam 1 detik]

• dan KVP [kapasitas vital paksa]) serta pengukuran APE (arus puncak ekspirasi) adalah
pemeriksaan yang penting.
• Spirometri: peningkatan VEP1 <::12% dan 200cc setelah pemberian bronkodilator
menandakan reversibilitas penyempitan jalan napas yang sesuai dengan
asma. Sebagian besar pasien asma tidak menunjukkan reversibilitas pada tiap
pemeriksaan sehingga dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan ulang.
• Pengukuran APE Idealnya dibandingkan dengan nilai terbaik APE pasien sendiri
sebelumnya, dengan menggunakan alat peak flow meter sendiri. Peningkatan
60 Ljmenit (atau <::20% dari APE prebronkodilator) setelah pemberian inhalasi
bronkodilator atau variasi diurnal APE lebih dari 20% (lebih dari 10% dengan
pemeriksaan dua kali sehari) mendukung diagnosis asma.
Pemeriksaan IgE serum total dan IgE spesifik terhadap alergen hirup
[radioallergosorbent test (RAST)] dapat dilakukan pada beberapa pasien. Foto toraks
dan uji tusuk kulit (skin prick testjSPT) dapat membantu walaupun tidak menegakkan
diagnosis asma. Selain itu, dapat pula dilakukan uji bronkodilator atas indikasi, tes
provokasi bronkus atas indikasi, dan analisis gas darah atas indikasi.

KLASIFIKASI ASMA BERDASARKAN TINGKAT KONTROL


Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan tingkat kontrol asma 3
Terkonfrol Terkonfrol sebagian Belum
Karakteristik
(semua yang di bawah ini) (ada keadaan di bawah ini) terkontrol
Gejala harian Tidak ada(:> 2x/ minggu) >2x/ minggu Tiga atau lebih
Pembatasan aktivitas Tidak ada Ada dari keadaan-
Gejala malam/ Tidakada Ada keadaan pada
terbangun saat asma terkontrol
malam hari sebagian

Penggunaan obat Tidak ada(:> 2x/ minggu) > 2x/ minggu


penghilang sesak
Fungsi paru (APE atau Normal < 80% prediksi atau nilai
VEPl) terbaik pribadi (jika
diketahui)
Asma Bronkial

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom hiperventilasi dan serangan panik, obstruksi saluran napas atas dan
terhirupnya benda asing, disfungsi pita suara, penyakit paru obstruktifkronik (PPOK),
penyakit pan! parenkim difus, gaga! jantung

TAT ALAKSANA

Nonfarmakologis 2
Menghindari paparan terhadap alergen dan penggunaan obat yang menjadi pemicu
asma, penurunan berat badan pada pasien yang obese.

Farmakologis
Tahap-tahap tatalaksana untuk mencapai kontroJ3:
1. Obat penghilang sesak sesuai kebutuhan
Menggunakan agonis-(32 inhalasi kerja cepat. Alternatifnya adalah antikolinergik
inhalasi, agonis-j32 oral kerja singkat dan teofilin kerja singkat.
2. Obat penghilang sesak ditambah satu obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kortikosteroid
inhalasi dosis rendah (budesonid 200-400 11g atau ekivalennya). Alternatif obat
pengendali adalah leukotriene modifier teofilin lepas-lambat, kromolin.
3. Obat penghilang sesak ditambah satu atau dua obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan agonis-(32 inhalasi kerja-
panjang (LABA). Alternatifpengendali adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang
(budesonide 400-800 11g a tau ekivalennya) a tau kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis rendah dengan leukotriene modifier a tau kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis rendah dengan teofilin lepas-lambat.
4. Obat penghilang sesak ditambah dua atau lebih obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis sedangjtinggi (budesonide 800-1600 ~tg atau
ekivalennya) dengan LABA. Alternatifpengendali adalah kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis sedang/tinggi dengan !eukotriene modifier atau kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis sedangjtinggi dengan teofilin lepas-lambat.
5. Obat penghilang sesak ditambah pilihan pengendali tambahan
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali tahap 4 ditambah
kortikosteroid oral. Alternatifnya adalah ditambah terapi anti-lgE
Panduan Praldik Klinis
Perhtfr1punor._Ookter Spe$-lalis: Pe'nYokit Oolam lndoriesio

Tingkat kontrol a. Tatalaksana


;;:
Terkontrol !:; pertahankan dan lakukan penurunan tahap
.,"",.,. secara perlahan sampai ditemukan tahap
paling rendah yang masih dapat mengontrol
~"Z
Terkontrol sebagian pertimbangkan peningkatan tahap sampai
~
:r
terkontrol

Belum terkontrol "",.,.,.,.~


., peningkatan tahap sampai asma terkontrol
Eksaserbasi - "
Tala laksana sebagai eksaserbasi

t I
I
ditu runkan I ditingkatkan

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 I Tahap 5


Edukasi asma, pengendalian lingkungan
Uika peningkatan tahap dipertimbangkan untuk mengendalikan asma yang tidak terkontrol, pertama-
tama periksa cara pemakaian inhaler, periksa adherens, dan konfirmasi apakah gejala benar
disebabkan oleh asma)
agonis-~2 kerja agonis-~2 kerja cepat sesuai kebutuhan
cepat sesuai
kebutuhan
Pilihan obat Pilih satu Pilih satu Selain terapi Selain terapi
pengendali* pada tahap 3, pada tahap 4,
pilih satu atau tambahkan
lebih dari terapi salah satu dari
berikut terapi berikut
kortikosteroid kortikosteroid kortikosteroid kortikosteroid
inhalasi dosis inhalasi dosis inhalasi dosis oral (dosis
rendah rendah sedang/ tinggi terendah)
ditambah ditambah
agonis-~2 agonis-~2
inhalasi kerja- inhalasi kerja-
panjang panjang
leukotriene kortikosteroid /eukotriene terapi anti-lgE
modifier** inhalasi dosis modifier
sedang atau
tinggi
teofilin lepas-
kortikosteroid lam bat
inhalasi dosis
rendah
ditambah
leukotriene
modifier
kortikosteroid
inhalasi dosis
rendah
ditambah teofilin
lepas-lambat
Keterangan:
'Kotak yang diarsir merupakan terapi yang direkomendasikan berdasarkan data rerata kelompok. Harus
dipertimbangkan kebutuhan dan kondisi pasien
*"antagonis reseptor atau inhibitor sintesis

Gambar 1. Pendekatan tatalaksana asma berdasarkan tingkat kontroP


Asma Bronkial

Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut: 3


1. Oksigen (target saturasi oksigen 95%)
2. Menggunakan agonis-~2 inhalasi kerja cepat dengan dosis adekuat (pemberian
tiap 20 menit selama satu jam pertama, selanjutnya setiap jam)
3. Dapat juga menggunakan kombinasi ipratropium bromida dengan agonis-~2

inhalasi kerja cepat.


4. Kortikosteroid oral dengan dosis 0,5-1 mg prednisolonjkg atau ekivalen dalam
periode 24 jam.
5. Metilsantin tidak dianjurkan. Namun teofilin dapat digunakan jika agonis-~2

inhalasi tidak tersedia.


6. Dapat menggunakan 2 g magnesium sulfat IV pacta pasien dengan eksaserbasi
berat yang tidak respons dengan bronkodilator dan kortikosteroid sistemik
7. Antibiotika bila ada infeksi sekunder
8. Pasien diobservasi 1-2 jam kemudian. Jika res pons baik dan tetap baik 60 menitsesudah
pemberian agonis-~2 terakhir; tidak ada distres pernapasan, APE> 70%, saturasi oksigen
>90%, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 hari): inhalasi agonis-~2

diteruskan, steroid oral dipertimbangkan, penyuluhan dan pengobatan lanjutan,


antibiotika diberikan bila ada indikasi, perjanjian kontrol berobat.
9. Bila setelah observasi 1-2 jam respons kurang baik a tau pasien termasuk golongan
risiko tinggi, gejala dan tanda tetap ada, APE <60% dan tidak ada perbaikan saturasi
oksigen, pasien harus dirawat.
10. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan a tau pasien termasuk go Iongan
risiko tinggi, gejala bertambah be rat, APE <30%, PC02 >45 mmHg, P02 <60 mmHg,
pasien harus dirawat di unit perawatan intensif.

Tabel 4. Derajat keparahan eksaserbasi asma 3


Respiratory arrest
Ring an Sedang Be rat
imminent
Sesak napas Berjalan Berbicara Saat istirahat

Dapat Lebih memilih Badon condong


berbaring duduk ke depan
Berbicara dalam Kalimat Frase Kat a
Kesadaran Dapat agitasi Biasanya agitasi Biasanya agitasi Mengantuk atau
bingung
Frekuensi napas Meningkat Meningkat Sering > 30 menit
Otot aksesoris dan Biasanya tidak Biasanya ya Biasanya yo Gerakan
retraksi suprasternal torakoabdominal
paradoksikal
Panduan Praktik Klinis
?erliimpunan Dokter Speskd!s Penyaldt Da!am Indonesia

Respiratory arrest
Ringan Sedang Berat
imminent
Mengi Sedang Keras Biasanya keras Tidak ada
Frekuensi nadi per < 100 100-120 > 120 Bradikardi
men it
Pulsus paradoksus Tidakada Dapatada Sering ada Tidak ada
< 10mmHg 10-25mmHg > 25 mmHg menunjukkan
adanya
kelelahan otot
pernapasan
APE setelah >80% 60-80% <60%
bronkodilator inisial
I % prediksi atau %
nilai terbaik pribadi
Pa02 Normal > 60mmHg < 60mmHg
Kemungkinan
dan atau sianosis
PaC02 <45 mmHg <45 mmHg >45mmHg
Kemungkinan
gaga! napas
Sa02 >95% 91-95% <90%

KOMPLIKASI
Penyakit paru obstruktifkronik (PPOK), gaga! jan tung. Pada keadaan eksaserbasi
akut dapat terjadi gaga! napas dan pneumotoraks.

PROGNOSIS
Keadaan yang berkaitan dengan prognosis yang kurang baik antara lain asma
tidak terkontrol secara klinis, eksaserbasi sering terjadi dalam satu tahun terakhir,
menjalani perawatan kritis karena asma, VEP1 yang rendah, paparan terhadap asap
rokok, pengobatan dosis tinggi. 2

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi-Imunologi, Divisi Pulmonologi- Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICU/Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU
Asma Bronkial

REFERENSI
1. Sundoru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati
S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: lnternaPublishing, 2009. H. 404-14
2. Barnes PJ. Asthma. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J,
penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies, 2012.
h. 2102-15
3. Global initiative for asthma. Global strategy for asthma management and prevention. 2011
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME (AIDS)

D PENGERTIAN
AIDS adalah infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus yang
menyebabkan suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh
yang meliputi infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik,
hingga stadium lanjut).1.2
Stadium AIDS menurut WHO yaitu: 2
• Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata
• Stadium 2
Berat badan turun kurang dari 10%
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur
kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran napas atas rekuren
• Stadium 3
Berat badan turun lebih dari 10%
Diare yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan) kurang dari 1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leucoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
HIVwasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplasmosis serebral
Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan
Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)

[~!~!!!!s!t!~!!~·Kiinis
1
0Acquired.lmmunodeficiencySyncfrorne (AIDS}

Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau viseral


Progressive multifoca/leucoencephalopathy
Mikosis endemik diseminata
Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
Septikemia salmonela non-tifosa
Tuberkulosis ekstrapulmonar
Limfoma
Sarkoma kaposi
Ensefalopati HIV

DIAGNOSIS 1· 4

Anamnesis
• Kemungkinan sumber infeksi HIV
• Gejala dan keluhan pasien saat ini, termasuk untuk mencari adanya infeksi
oportunistik, an tara lain demam, batuk, sakit kepala, diare
• Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik
• Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan
kontak dengan TB sebelumnya
• Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
• Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
• Riwayat penggunaan terapi anti retroviral (Anti Retroviral Therapy (ART)) termasuk
riwayat regimen untuk PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission)
sebelumnya
• Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
• Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
• Kebiasaan merokok
• Riwayat alergi
• Riwayat vaksinasi
• Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda-tanda yang
mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang
Panduan Praltik·Kiinis
Perhtmpunaf1 Qokter Spesiof!S penyakit Do!a~·n lndonesig

terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari
faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA
suntik, dan tanda-tanda !MS.

Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan penyaring: enzyme immunoassay (EIA) atau rapid tests (aglutinasi,
immunoblot) dengan tiga metode yang berbeda
• Pemeriksaan konfirmasi: metode Western Blot (WB) bila diperlukan
• Pemeriksaan Darah lainnya
D DPL dengan hitung jenis
Total lymphocye count (TLC) atau hitung limfosit total: [o/o limfosit x jumlah
Leukosit] (dengan catatan jumlah leukosit dalam batas normal)
Hitung CD4 absolut
Pemeriksaan HIV RNA viral load dengan polymerase chain reaction

Pemeriksaan HIV sebaiknya ditawarkan pada:


• lbu hamil
• Pasien tuberkulosis
• Pasien yang menunjukkan gejala infeksi oportunistik
• Kelompok berisiko (pengguna narkoba suntik, pekerja seks komersial (PSK), Lelaki
seks dengan lelaki (LSL)
• Pasangan atau anak dari orang yang terinfeksi HIV
• Infeksi menular secara seksual (IMS)

Konseling untuk tes anti-HIV dapat dilakukan dengan cora:


1. Voluntary Counseling and Testing (VCT)/Konseling dan Tes Sukarela (KTS)
Konseling yang dilakukan atas dasar permintaan dan a tau kesadaran seorang klien
untuk mengetahui faktor risiko dan status HIV-nya.
~
2. Provider-initiated Testing and Counseling (PITC)/Konseling dan Tes Atas Inisiasi
Petugas (KTIP)
Konseling yang dilakukan atas dasar inisiasi tenaga kesehatan, terutama berdasarkan
hasil pemeriksaan fisik yang dicurigai berhubungan dengan infeksi HIV.

DIAGNOSIS BANDINGu
Penyakit imunodefisiensi primer
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

Pemeriksaan Lanjutan 1· 4
• Serologi Hepatitis B dan Hepatitis C
• Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik
L Tuberkulosis
a. Pemeriksaan BTA sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) dan atau foto toraks
b. Diagnosis definitif dengan kultur BTA, tetapi hal ini membutuhkan waktu
yang lama
2. Diare: pemeriksaan analisis feses
3. Infeksi otak: ensefalitits toksoplasma, meningoensefalitis tuberkulosis, atau
kriptokokkus. Diagnosis dan tata laksana bekerja sama dengan Departemen
Neurologi.

TATALAKSANA 1-4
• Konseling
• Suportif
• Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik
• Profilaksis kotrimoksasol:
• Profilaksis kotrimoksasol diberikan sebagai pencegahan terhadap pneumonia
Pneumocystis jirovecii dan infeksi toxoplasmosis pada pasien dengan CD4 kurang
dari 200 seljmm 3· Profilaksis primer menggunakan kotrimoksasol double strength
(OS) 1 tabletjhari.
• Terapi antiretroviral (ART) dengan pemantauan efek sam ping dan adherens minum
obat. Pada tabel 1 dapat dilihat indikasi untuk memulai ART. Pada tabel 2 dapat
dilihat rekomendasi regimen lini pertama ART pada target populasi yang belum
pernah terapi ARV. Dosis ART dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 1. lndikasi untuk memulai ART


Ka.rakteristik pasien Klinis Rekomendasi
Asimtomatik WHO stadium 1 CD4 <350/J-IL
Simtomatik WHO stadium 2 CD4<350/J-1L
WHOstadium 3 atau 4 CD4 berapapun
TB TB aktif CD4 berapapun, diberikan secepatnya setelah
obat anti tuberkufosis (dalam 8 minggu)
Hepatitis B Hepatitis B yang membutuhkan terapi CD4 berapapun
lbu hamil WHO stadium apapun CD4 berapapun
Panduan Praldik llinis
rerhlmpur\an DOlder Spes1af1s Penyakit Da!cim !ndon6sia

Tabel 2. Obat ARV yang digunakan 2 · 4


No Nama Generik Formulasi Dosis
l. Zidovudin (ZDV) NRTI Tablet: 300 mg/dosis, 2x/hari
300mg

2. Lamivudin (3TC) NRTI Tablet: 150 mg/dosis,2x/hari


150mg
3. Kombinasi fetap NRTI Tablet: 1 tablet/dosis, 2x/hari
ZDV + 3TC 300 mg ZDV
plus 150 mg 3TC
4. Nevirapin (NVP) NNRTI Tablet: duo minggu pertama sekali sehari.
200mg Selanjutnya duo kali sehari.

D 5. Efavirenz (EFV) NNRTI 600mg 33- < 40 kg: 400 mg sekali sehari
Dosis maksimal:
:?: 40 kg: 600 mg sekali sehari
6. Sfavudin (d4T) NRTI Tablet: 30 mg 30 mg/dosis, 2x/hari
7. Abacavir (ABC) NRTI Tablet: 300 mg 300 mg/dosis, 2x/hari,
8. Tenofovir NRTI Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam
disoproxil fumaraf lnteraksi obat dengan didanosine
(TDF) (ddl), tidak lagi dipadukan
dengan ddl
9. Tenofovir + NRTI Tablet: 200 mg/ 300 1 tablet/dosis, 1x/hari
Emtricitabin mg
Lini kedua
l. Lopinavir/ritonavir Inhibitor Tablet tahan suhu 400 mg/100 mg setiap 12jam-
(LPV/r) protease panas, 200mg untuk pasien naive
lopinavir + 50 mg
ritonavir
2. TDF NRTI Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam
lnteraksi obat dengan ddl, tidak
lagi dipadukan dengan ddl
keterangan:
NRTI=nuc/eoside reverse transcriptase inhibitor
NNRTI=nonnuc/eoside reverse transcriptose inhibitor

~ Pada ODHA yang mengalami resistensi pada lini pertama maka kombinasi obat
yang digunakan adalah :

(TDF atau ZDV) + 3TC atau FTC+(LPV /RTV)

Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC
atau FTC) sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini pertama
menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini
kedua.
Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

Tabel 3. Rekomendasi regimen lini pertama pada target populasi yang belum pernah terapi ARVH
Target Populasi Rekomendasi Catatan
Dewasa dan ZDV atau TDF + 3TC • Pilih regimen yang bisa diberikan untuk mayoritas
Remaja atau FTC + EFV atau ODHA
NVP • Gunakan fixed dose combination
• Kombinasi awol yang digunakan bagi pasien HIV
dengan hasillab normal adalah ZDV+3TC (Duviral )+
NVP (Neviral)
Perempuan ZDV + 3TC + EFV atau • Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester
Hamil NVP pertama
• TDF bisa merupakan pilihan
Koinfeksi HIV/TB ZDV atau TDF + 3TC • Mulailah terapi ARV dalam 8 minggu pertama setelah
atau FTC + EFV memulai terapi TB.
• Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
Koinfeksi HIVI TDF + 3TC atau FTC + • Pertimbangkan screening HBsAg sebelum memulai
HBV EFVatau NVP terapi ARV
• Diperlukan penggunaan 2 terapi ARV yang memiliki
aktivitas anti-HBV
Keterangan: ZDV: zidovudine; TDF=tenofovir; 3TC: lamivudine: FTC: emtricitabine; EFV: efavirenz: NVP: nevirapine.
Bila pasien memiliki Hb<9 maka regimen yang digunakan adalah TDF+3TC. Jika TDF belum tersedia, d4T (stavudine)+3TC selama
6-12 bulan kemudian regimen diganti menjadi AZT +3TC otau TDF+3TC

Bila terdapat indikasi memulai ART, dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai
dengan ART yang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi.
• ZDV : pemeriksaan kadar hemoglobin
• NVP : pemeriksaan SGPT
• TD : pemeriksaan fungsi ginjal (kreatinin darah)
• LPV /r : pemeriksaan profillipid dan kadar gula darah puasa
• Bagi perempuan usia subur yang akan mendapat efavirenz dilakukan tes kehamilan
sebelum mendapat ARV.
Tabel4. Rekomendasi pemeriksaan laboratorium untuk memonitor terapi ARV (modifikasi Depkes)3
Tes yang
Tahap Terapi ARV Tes yang Dianjurkan
Direkomendasikan
Pad a saat diagnosis HIV CD4 HbsAg
Sebelum memulai ARV CD4
Pada saat memulai ARV CD4 • Hb untuk ZDV
• Kreatinin Klirens untuk TDF
• SGPT untuk NVP
Pada saat menjalani ARV CD4 • Hb untuk ZDV
• Kreatinin Klirens untuk TDF
• SGPT untuk NVP
Pada saat kegagalan klinls (tabel 5) CD4 Viral load
Pada saat kegagalan imunologis Viral load
(tabel5)
Tes yang
Tahap Terapi ARV Tes yang Dianjurkan
Direkomendaslkan
Wanifa yang menjalani PMTCT Viral load enam
dengan NVP dosis tunggal dengan bulan setelah
lanjutan dalam 12 bulan memulai terapi ARV

Tabel 5. Kriteria Gaga! Terapi


Kegagalan Terapi Keferangan
Kegagalan klinis Kondisi stadium 4 WHO baru atau Kondisi horus dibedakan dari sindrom
berulang pulih imun
Kondisi WHO stadium 3 tertentu (TB
paru, infeksi bakteri berat) dapat
~
merupakan tanda kegagalan
pengobatan
Kegagalan - Penurunan CD4 kembali seperti Tanpa infeksi penyerta lain yang
imunologis awol sebelum pengobatan (atau menyebabkan penurunan CD4
~ lebih rendah) ATAU sementara
- Penurunan sebesar 50% dari nilai
tertinggi CD4 yang pernah dicapai
ketika pengobatan AT AU
- Jumlah CD4 tetap <100 sel/mrn3
Kegagalan - Viral load plasma >5000 kopi/ml Am bang batas viral load optimal untuk
virologis mendeflnisikan kegagalan virologis
belum ditentukan. VL >5000 kopi/ml
berhubungan dengan perkembangan
klinis dan penurunan CD4

Tabel 6. Efek Samping ARV dan Subsitusinya 1·2


Nama Obat Efek Samping Subsifusi
Zidovudin • Supresi sumsum tulang Jika digunakan pada terapi lini
• Anemia makrositik atau neutropenia pertama, TDF (atau d4T jika tidak ada
• lntoleransi gastrointestinal, sa kit kepala, pilihan lain)
insomnia, asthenia Jika digunakan pada terapi lini kedua,
• Pigmentasi kulit dan kuku d4T
• Asidosis laktat dengan steatosis hepar
Stavudin • Pankreatitis, neuropati perifer, asidosis ZDV atau TDF
laktat dengan steatosis hepatitis

• Lamivudin
(jarang), lipoatroft
• Toksisitas rendah
• Asidosis laktat dengan steatosis
hepatitis (jarang)
Abacavir • Reaksi hipersensitif (dapat fatal) ZDVatauTDF
• Demam, ruam, kelelahan, mual,
muntah, tidak nafsu makan
• Gangguan pernafasan (sakit
tenggorokan, batuk)
• Asidosis laktat dengansfeatosis
hepatitis (jarang)
uired lm,munodeficiency Syndrome (AIDS)

Nama Obat Efek Samping Subsitusi


Tenofovir • Asthenia, sakit kepala, diare, mual, • Jika digunakan pada lini pertama,
muntah, sering buang angin, ZDV (atau d4T jika tidak ada
insufisiensi ginjal, sindrom Fanconi pilihan)
• Osteomalasia • Jika digunakan pada lini kedua,
• Penurunan densitas tulang Secara pendekatan kesehatan
• Hepatitis eksaserbasi akut berat pada masyarakat, maka tidak ada pilihan
pasien HIV dengan koinfeksi Hepatitis lain jika pasien telah gaga! ZDV I
B yang menghentikan TDF d4T pada terapi lini pertama. Jika
memungkinkan, dipertimbangkan
merujuk ke tingkat perawatan yang
lebih tinggi dim ana terapi individual
tersedia.
Emtricitabine Ditoleransi dengan baik
Efavirenz • Reaksi hipersensitivitas • NVP
• Sindroma Steven-Johnson • bPI jika tidak toleran terhadap
• Ruam kedua NNRTI
• Toksisitas hepar • Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain
• Toksisitas sistem saraf pusat yang
berat dan persisten (depresi dan
pusing)
• Hiperlipidemia
• Ginekomastia (pada loki-loki)
• Kemungkinan efek teratogenik (pada
kehamilan trimester pertama atau
wanita yang tidak menggunakan
kontrasepsi yang adekuat)
Nevirapin • Reaksi hipersensitivitas EFV
• Sindroma Steven-Johnson bPI jika tidak toleran terhadap kedua
• Ruam NNRTI
• Toksisitas hepar Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain
• Hiperlipidemia
Ritonavir Hiperlipidemia Jika digunakan pada lini kedua, tidak
Lopinavir • lntoleransi gastrointestinal, mual, ada pilihan lain*
muntah, semutan, hepatitis, dan pan-
kreatitis, hiperglikemia, pemindahan
lemak dan abnormalitas lipid

Tabel 7. Jadwal vaksin pada pasien HIV dewasa


Pemberian CD4
Vaksin lndikasi Booster Keterangan
awal (sel/mm3)
Antraks RS 4 dosis pertahun berapapun
Kolera RS 2 dosis 2tahun berapapun
Hepatitis A RS 2-3 dosis Stahun berapapun 3 dosis jika CD4
<300 sel/mm 3
Hepatitis B R 3-4 dosis jika anti-HBs <10 berapapun periksa kadar
anti-HBs tiap
tahun
Panduan Praktik llinis
Perhimpunan Ooktet Spesia!fs Penyakit Da!am Jndoneskt

Pemberian CD4
Vaksin lndikasi Booster Keterangan
awal (sel/mm3 )
HPV r 3 dosis tidakada berapapun
lnfiuenza R 1 dosis tiap tahun berapapun
Japanese rS 3-4 dosis 3tahun berapapun
encephalitis
MMR RS 1-2 dosis tidak ada >200 2 dosis jika /gG
measles negatif
Meningokok rS 1 dosis 5 tahun berapapun
Pneumokok R 1 dosis 5-10 tahun berapapun
Rabies RS 3 dosis 1 tahun pertama, berapapun
3-5 tahun
berikutnya
Tetanus-difteri R 1-5 dosis 10tahun berapapun
Tifoid RS 1 dosis 2-3 tahun berapapun
& Varisela RS/CS 2 dosis tidak ada >200
Yellow fever cs 1 dosis 100 tahun >200 kontraindikasi
jika usia >60
tahun
R = rekomendasi; RS =rekomendasi pada orang tertentu; CS = dipertimbangkan pada orang tertentu

KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain. 1-4

PROGNOSIS
Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV I AIDS (ODHA) dapat menurunkan
penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus (HIV) hingga 92%. 1 -4

UNIT YANG MENANGANI


" RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Alergi lmunologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
~
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Sub Bagian di Lingkungan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam
" RS non pendidikan

REFERENSI
1_ Fauci AS, Lane HC Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Fauci A.
Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-
Hill; 2009: 1138-1204
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

2. HIV. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.
3. Departemen Kesehatan Rl. Toto Laksana HIV /AIDS. 2012
4. World Health Organization. Antiretroviral therapy for hiv infection in adults and adolescent. 2010
revision. [Update 2010; cited 2011 Mar 11] Available from http://www.who.int
5. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infections in Infants:
Guidelines on care, treatment and support for women living with HIV 1AIDS and their children in
resource-constrained settings. World Health Organization. Switzerland. 2004
6. Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Adult Immunization Schedule. United
States. 2012. Diunduh dari http:/ /www.cdc.gov/vaccines/recs/schedules/downloads/adult/
adult-schedule.pdf pada tanggal 2 Mei 2012.
RENJATAN ANAFILAKSIS

PENGERTIAN
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang beronset cepat, sistemik, dan
mengancam nyawa. Jika reaksi terse but he bat dapat menimbulkan syokyang disebut
syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Untuk
itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik
Insidens syok anafilaktik 40-60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40
persen akibat zat kontras radiografi, dan 10-20 persen akibat pemberian obat
penisilin. Belum ada data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok
anafilaktik di Indonesia. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari
10 juta masyarakat pertahun. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500
kematian akibat reaksi anafilaksis.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Menegakkan diagnosis penyakit alergi diawali dengan anamnesis yang teliti.
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
dengan tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok
anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi.
Kedua gangguan terse but dapat timbul bersamaan a tau berurutan yang kronologisnya
~ sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya, makin
cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja
yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas.
Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada
reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidakmematikan namun gejala ini amatpenting
untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
gejala yang lebih be rat berupa gangguan nap as dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu
setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan

Panduan Praktik Klinis


Perhknpunon Dokier SP'~'Siall~ ?t;r)ydkH Dotorn !ndonesl<::
Renjatan Anafilaksis

timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa
perut kram, mual, muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala gangguan napas dan sirkulasi.

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya anafilaksis antara lain usia, jenis kelamin, rute pajanan,
maupun riwayat a to pi. Anafilaksis lebih sering terjadi pad a wan ita dewasa ( 60%) yang
umumnya terjadi pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak-anak usia di bawah 15
tahun, anafilaksis lebih sering terjadi pada laki-laki. Rute pajanan paraenteral biasanya
menimbulkan reaksi yang lebih berat dibanding oral.

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring
dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik.
Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda
prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hi tung eosinofil darah tepi dapat normal a tau meningkat,
demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit kulit (skin prick testjSPT) untuk mencari
faktor pencetus yang disebabkan oleh alergen hirup dan makanan dapat dilakukan
setelah pasiennya sehat.

Penegakan Diagnostis
Diagnosis Klinis
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization telah
membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat mungkin
bila (Simons et al. 2011):
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan
mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan kemerahan,
pembengkakan bibir /lidahjuvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini:
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, strido1~
penurunan arus puncak ekspirasi/ APE, hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).
PanduanPraktik Klinis
Pefhimpvrwn DokterSpesla!is: Penyaldf Datam Indonesia

3. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga
beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu:
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
b. Gangguan respirasi
c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target
d. Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri kram abdomen, muntah)
5. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa me nit a tau jam) setelah terpapar
alergen yang telah diketahui (known allergen), sesuai kriteria berikut:
a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau
terjadi penurunan >30% dari tekanan darah sistolik semula
b. Dewasa : Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi penurunan
c. >30% dari tekanan darah sistolik semula.

DIAGNOSIS BANDING
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut
b. Sinkop
c. Gangguan cemasjserangan panik
d. Urtikaria akut generalisata
e. Aspirasi benda asing
f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru)
g. Kelainan neurologis akut (kejang, strok)
2. Sindrom flush
a. Peri-menopause
b. Sindrom karsinoid
c. Epilepsi otonomik
~ d. Karsinoma tiroid meduler
3. Sindrom pasca-prandial
a. Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan, misalnya tuna, yang
disimpan pada suhu tinggi.
b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah a tau sayuryang mengandung
protein tanaman yang telah bereaksi silang dengan alergen di udara
c. Monosodium glutamat atau Chinese restaurant syndrome
d. Sulfit
e. Keracunan makanan
Renjatan Anafilaksis

4. Syok jenis lain


a. Hipovolemik
b. Kardiogenik
c. Distributif
d. Septik
5. Kelainan non-organik
a. Disfungsi pita suara
b. hiperventilasi
c. Episode psikosomatis
6. Peningkatan histamin endogen
a. Mastositosisjkelainan klonal sel mast
b. Leukemia basofilik
7. Lainnya
a. Angioedema non-alergik, misal: angioedema herediter tipe I, II, atau III,
angioedema terkait ACE-inhibitor)
b. Systemic capillary leak syndrome
c. Red man syndrome akibat vancomycin
d. Respon paradoksikal pada feokromositoma

TATALAKSANA
1. Posisi trendelenburg a tau berbaring dengan kedua tungkai diangkat ( diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah
ikut meningkat.
2. Pemberian Oksigen 3-5 liter jmenit harus dilakukan, pada keadaan yang amat
ekstrim tindakan t29
3. rakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
4. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama
guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti.
Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali
optimal dan stabil.
5. Adrenalin 0,3-0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler yang
dapat diulangi 5-10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang
efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spuit 10 ml dengan NaCI fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian
subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lam bat bahkan
mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak
terjadi.
6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme bel urn
hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan
selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg Iagi melalui drips infus bila
dianggap perlu.
7. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua
obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan
setelah gejala klinik mulai membaikguna mencegah komplikasi selanjutnya berupa
serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HCI 5-20 mg IV dan untuk go Iongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 5-10 mg IV atau hidrokortison 100-250 mg IV.
8. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac
arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai
dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti
jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang
praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus
dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan
tindakan secepatnya.
9. Penatalaksanaan reaksi anafilaksis
Renjatan Anafiloksis

HINDARKAN I HENTIKAN paparan alergen yang diketahui I dicurigai !

NILAI CAB- MSW dengan segera dan secepat mungkin !


Circulation, Airway, Breathing, Mental Status. Skin, Body Weight

~ • ELEVASI!
CARl BANTU AN ! EPINEFRIN!
Hubungi 118 (ambulans) - Segera injeksikan Epinefrin IM pad a f--- Telentangkan pasien dengan fungkai
atau RS terdekat mid-anterolateral paha. bawah dielevasi. Posisi pemulihan bila
Dosis 0.01 mglkgBB (sediaan ampul terjadi dis ires atau pasien muntah.
I mglml); maksimal pad a dewasa 0,5 JANGAN BIARKAN PASIEN DUDUK
mg. maksimal pada anak 0.3 mg. ATAU BERDIRI!

OBSERVASI!
Ulangi Epinefrin 5- 15 menif kemudian
bila belum ada perbaikan

OKSIGEN! INTRA VENA! RJP!


Bila ada indikasi. beri Pasang infus (dengan jarum ukuron 14- 16 Di setiap soot. apabila perlu, lakukan
Oksigen 6- 8 liter I menit gauge). Bila syok. berikan NaCI 0.9% I -2 Resusitasi Jan tung Paru (RJP) dengan
dengan sungkup muka atau lifer secara eepat (pada 5- I 0 menif kompresi jantung yang kontiniu (Dewasa:
oro~pharyngeal airway pertama. do pat diberikan 5- I 0 mllkgBB 100 120 x/menit. ked olamon 5-6 em.
(OPA). untuk dewasa dan I 0 mllkgBB untuk anak) Anak: 100 x/menit. kedalaman 4-5 em).

MONITOR!
Nilai dan eatat TANDA VITAL STATUS MENTAL. dan OKSIGENASI setiap 5- 15 menit sesuai kondisi pasien.
Observasi I - 3 x 24 jam a tau rujuk ke RS terdekat.
Untuk kasus ringan. observosi cukup dilakukon selomo 6 jam

TERAPI TAMBAHAN
Kortikosteroid untuk semuo kasus berat. berulang. dan posien dengan asma
o Methyl prednisolone 125- 250 mg IV
Dexamethasone 20 mg IV
o Hydrocortisone I 00 500 mg IV pelan
lnhalasi short acting {32-agonist pada bronkospasme berat
Vasopressor IV
Anfihistamin IV
Bila keadaan stabil. dapat mulai diberikan kortikosteroid dan antihistamin PO
selama 3 x 24 jam

(Simons et al. 2011)

Gam bar 1. Algoritma Penanganan Reaksi Anafilaktik


Panduan Praktik Klinis . '~rer::~klmHnel~
Perhirnpunan Dolder Spe-si9!is PenyakH Da!am !ndonesio

Rencana Tindak Lanjut


Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta
memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk menghindari alergen penyebab
agar tidak terjadi reaksi anafilaktik lagi.

Konseling dan Edukasi


Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya terutama
obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi lokal, dll)
harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko
tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, a tau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih
diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obat yang sam a bila sebelumnya pernah
ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang
lebih aman.
&

Kriteria Rujukan
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak
terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.

KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian.

PROGNOSIS
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam.

UNITY ANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi-Imunologi Klinik- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. Simons FER, et.al. 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines for the assessment and
management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin lmmunol 20 12; 12:389-99
2. Simons FER, et.al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and Management
of Anaphylaxis. WAO Journal 2011; 4:13-37
3. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Reaksi Anafilaksis dan Anafilaktoid. Dalam: Alergi Dasar. Jakarta:
lnterna Publishing. 2009. Hal. 67-94 ..
URTIKARIA

PENGERTIAN
Urtikaria adalah suatu kelainan yang terbatas pada superfisial dermis berupa
ben to! (wheal) yang terasa gatal, berbatas jelas, dikelilingi daerah eritematous, tampak
kepucatan di bagian tengahnya, bersifat sementara, gejala puncaknya selama 3-6 jam
dan menghilang dalam 24 jam, lesi lama berangsur hilang sejalan dengan munculnya lesi
baru, serta dapat terjadi di mana pun pada permukaan kulit di seluruh tubuh, terutama
ekstremitas dan wajah. Episode urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu disebut
urtikaria akut, sedangkan yang menetap lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronik.l-4

2
Klasifikasi
1. lgE-dependent: Sensitifitas terhadap alergen seperti tungau debu rumah, serbuk
sari, makanan, obat, jamur udara, bulu binatang peliharaan, venom Hymenoptera)
2. Fisik: dermografisme, dingin, cahaya, kolinergik, getaran, berhubungan dengan
olahraga
3. Autoimun
4. Perantaraan bradikinin
a. Angioedema herediter, defisiensi inhibitor Cl: null (tipe 1) dan disfungsional
(tipe 2)
b. Angioedema didapat: defisiensi inhibitor Cl: anti idiotipe dan anti-Cl inhibitor
c. Angiotensin-converting enzyme(ACE) inhibitor
5. Perantaraan komplemen
a. Vaskulitis nekrotikans
b. Serum-sickness
c. Reaksi produk darah
6. Non imunologis
a. Zat pelepas langsung sel mast ( opiat, antibiotik, kurare, D-tubocurarin, media
radiokontras)
b. Zat pengubah metabolisme as am arakidonat (aspirin, NSAID, azo-dyes, benzoat)
7. Idiopatik

Panduan Praktik Klinis


Panduan Praktik llinis
Perhimpunan Dokter Spesiatis Penyoldt Dalom tndonesia

PENDEKATAN DIAGNOSIS

16
Anamnesis -

• Onset dan lamanya keluhan, apakah sudah pernah berulang a tau baru pertama kali
• Faktor pencetus; misalnya zat farmakologis (seperti antibiotik, analgetik,
antikonvulsan, cairan infus, imunisasi), makanan tertentu, bahan pengawet, bahan
kimia (contact urticaria), rangsang tekanan (pressure urticaria) atau rangsang
fisik (physical urticaria) seperti paparan dingin, air (aquagenic urticaria), cahaya
(solar urticaria), dan trauma ringan.
• Faktor yang memperberat: seperti stres, temperatur panas, alkohol.
• Riwayat infeksi terutama karena virus (infeksi saluran napas atas, hepatitis, rubela)

Pemeriksaan Fisik 1-6


• Bentuk, distribusi, dan aktivitas lesi urtikaria pada kulit
• Adakah angioedema pada profunda dermis dan jaringan subkutan, keterlibatan
mukosa a tau submukosa, me mar; keterlibatan jaringan ikat, dan edema kulityang luas
• Kemungkinan kelainan sistemik a tau metabolik, seperti gangguan tiroid, ikterus,
artritis
• Urtikaria yang ditemukan di tungkai saja dan tidak hilang dalam 24 jam dicurigai
adanya urtikaria vaskulitis.

Pemeriksaan Penunjang 1- 6
• Pemeriksaan dasar: darah perifer lengkap, urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal
• Tes Alergi
• lgE Atopi

DIAGNOSIS BANDING
Mastositosis (urtikaria pigmentosa), mastositosis sistemik, vaskulitis kulit
(cutaneous vasculitis), Episodic Angioedema Associated with Eosinophilia (EAAE),
angioedema herediter, urtikaria papular, dermatitis atopik, eritema ultiformis,
23
pemfigoid bulosa.t ·

TAT ALAKSANA
• Paliatif, edukasi untuk mengurangi gejala, menghindari pencetus
" Urtikaria akut akan sembuh sendiri dan memberikan respons yang baik dengan
pemberian antihistamin generasi pertama. 5
Urtikaria

• Medikamentosa: 1
Lini 1: Antihistamin generasi pertama (klorfeniramin, hidroksizin, difenhidramin),
antihistamin generasi kedua (setirizin, loratadin), antagonis HZ (simetidin,
ranitidin) per oral
Lini 2 : Kortikosteroid per oral jangka panjang, pada beberapa kasus yang berat,
kalau perlu dilakukan biopsi bila dicurigai adanya vaskulitis untuk klasifikasi
histopatologis. Bila disertai angioedema yang berat, injeksi adrenalin
intramuskular dapat diberikan.

KOMPLIKASI
• Sumbatan jalan napas akibat angioedema akut pada faring atau laring
• Gangguan tidur dan aktivitas sehari-hari

PROGNOSIS
Belum ada data pasti mengenai kasus urtikaria, tapi diperkirakan 15-23% individu
pernah mengalami urtikaria, dan sebagian besar menjadi kronik dan sering kambuh.
Pada 25 % kasus urtikaria seringkali disertai angioedema. Diperkirakan wanita dua
kali lebih sering mengidap urtikaria dari pada laki-laki. 4

UNITY ANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi-Imunologi- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif
• RS nonpendidikan : Bagian Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif

REFERENSI
1. Baskoro A Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan Angioedema. Dalam: Setiati S, Alwi
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, eds. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi VI
Jilid I. Jakarta: lnterna Publishing; 2014. h495-503.
2. Sundaru Heru. Urtikaria. Dalam :Setiati Siti, et al editor. Lima Puluh Masalah Kesehatan Di Bidang
llmu Penyakit Dalam. jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI;
2008. h. 245-50
3. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Urtikaria dan Angioedema dalam Alergi Dasar edisi ke-1. Jakarta:
Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam;2009. Hal95-123.
4. Bernstein JA, et.al. The diagnosis and management of acute and chronic urticaria: 2014 update.
J Allergy Clin lmmunol. 2014;133(5):1270-7.
Panduan Praktik Klinis
Perhi[Ylpunaft Dokter Spesia!!s Penyakit Dalom rn.dqnesio

5. Mtynek A et al. How to assess disease activity in patients with chronic urticaria? Allergy.
2008;63( 6) :777-80.http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/ 18445192
6. Mathias SD,etal. Evaluating the minimally important difference of the urticaria activity score
another measures of disease activity in patients with chronic idiopathic urticaria. Ann Allergy
Asthma lmmunol1 08 (2012) 20-24.http: I /marcus-maurer.info/ fileadmin/documents/ publications/
original/ 121_ Mathias _et _a I Evaluating _UAS_CIU_AAAI_20 12.pdf

t
VAKSINASI PADA ORANG DEWASA

PENGERTIAN
Imunisasi adalah induksi yang bertujuan untuk membentuk suatu imunitas dengan
berbagai cara, baik secara aktif maupun pas if. Sebagai contoh imunisasi pas if adalah
pemberian imunoglobulin, sedangkan vaksinasi merupakan imunisasi aktif dengan
cara pemberian vaksin. 1

JENIS VAKSIN
2
Tabell. Jenis-jenis vaksin'
Tipe Vaksin Contoh
Virus yang dilemahkan {live attenuated virus) Polio sabin, measles, mumps, rubela,
varicella, yellow fever
Bakteri yang dilemahkan {live attenuated BCG*, TY21 a (vaksin oral tifoid)
bacterium)
Virus yang telah dimatikan (killed whole virus) Polio salk, influenza, hepatitis A
Sel bakteri yang dimatikan (killed whole cell Pertusis, kolera, antraks
bacterium)
Toxoid Difteri, tetanus
Molecular vaccine: protein Acellular pertusis, subunit influenza, Hepatitis B,
HPV**
Molecular vaccine: carbohydrate Haemophilus influenza type B (Hib), Vi tifoid,
meningokok, pneumokok
Molecular vaccine: carbohydrate-protein Hib, meningokok, pneumokok
conjugate
Combination vaccine Difteri, pertusis, tetanus (DPT); measles-
mumps-rubella (MMR); DPT-Hib
Keterangan:
'BCG =Bacillus Calmette-Guerin, vaksin antituberkulosis
"HPV = Human Papilloma Virus

Beberapa vaksin dapat diberikan secara bersamaan pada satu waktu. Bila dua atau
lebih vaksin hid up diberikan secara terpisah, maka sebaiknya pemberian pertama dan
kedua berjarak lebih daripada 28 hari. Apabila pemberian vaksin hid up (MMR, MMRV,
varicella zoster, yellow fever) dilakukan kurang daripada 28 hari, maka pemberian
vaksin hidup kedua perlu diulang untuk mencegah menurunnya efektivitas vaksin

Panduan Praktik Klinis


P.erhimpurldn Doklei s~:>lall:> Penyoklf DokJ'rn fndonesio
hidup yang kedua. Namun terdapat pengecualian, misalnya pemberian vaksinyel/ow
fever dapat dilakukan kurang daripada 28 hari setelah pemberian vaksin campak.U
Memperpanjang interval pemberian vaksin tidak mengurangi efektivitas vaksin
sehingga dosis tidak perlu diulang atau ditambah. Sebaliknya, mempercepat interval
pemberian vaksin dapat mempengaruhi proteksi dan respons antibodi. Oleh karena
itu, vaksin tidak boleh diberikan lebih cepat daripada interval minimum, kecuali ada
dukungan data uji klinik. Selain itu, vaksin juga tidak boleh diberikan lebih cepat dari
usia minimum yang telah ditentukan, misalnya pada vaksinasi di sekolah yang perlu
diperhatikan adalah usia, bukan kelas siswa. Jadi, bila usia siswa belum mencapai usia
yang diindikasikan pada pemberian vaksin, meski ia satu kelas dengan temannya, ia
tidak divaksin. Meski demikian, berdasarkan rekomendasi Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP), pemberian vaksin empat hari sebelum interval dari
usia minimum diperbolehkan. 3

JADWAL IMUNISASI YANG DIREKOMENDASIKAN


Setiap orang dewasa yang ingin mendapatkan kekebalan terhadap penyakit infeksi
dapat dilakukan pencegahan dengan pemberian vaksinasi. Jadwal Imunisasi Dewasa
D telah direkomendasikan oleh PAPDI, dan dibawah ini dapat rekomendasi tahun 2014.
Tabel 2. Jadwallmunisasi Dewasa yang Direkomendasikan oleh PAPDI Tahun 2014
Vaksin J9:~.tahun 22·~6tabun) . 27~49 tal'ttln SO•S?J(Ihun 6()£64 fa hun· ~6$f(lhl.!!l
Influenza 1 dosis setiap tahun
(Td/Tdap) lmunisasi primer diberikan 3 dosis (bulan ke-0, 1, 7-13) selanjutnya 1 dosis booster Td/Tdap diberikan setiap 10
tahun
Varicella
Human Papilloma Virus (HPV)
2 dosis (bulan ke-0 & 4-8 minggu kemudian)
3 dosis HPV bivalent/quadrivalent (bulan ke-0, 1 atau 2, dan 6)
<
Q
untuk perempuan
Human Papilloma Virus (HPV) HPV quadrivalent 3 dosis {bulan ke-0,
untuk laki-laki 2, dan 6)
I ~
:J
Zoster 1 dosis Q
MMR
Pneumokokal konjugat
1 atau 2 dosis (jeda minimum 28 hari)

V>

13-valent (PCV-13)
1 dosis "'0
Pneumokokal polisakarida Q
(PPSV23) 1 atau 2 dosis (pengulangan diberikan setelah 5 tahun) j 1 dosis
Q..
Meningitis Meningokokal Wajib untukjemaah haji dan umrah (1 dosis untuk 2 tahun) Q
Hepatitis A 2 dosis (bulan ke-0, & 6-12)
0
Hepatitis B
3 dosis (bulan ke-0, 1 & 6) a
:J
Hepatitis A & B (kombinasi) 3 dosis (bulan ke-0, 1 & 6)
(Q
Demam Tifoid 1 dosis untuk 3 tahun
Yellow Fever Wajib bila akan berpergian ke negara tertentu ( 1 dosis untuk 10 tahun) CJ
({)
~
Q
V>
Q
Panduan Praktik llinis .-·~r.
Perhimpvnon Dokfer Spesktlis PerrYaklt Do!arn Indonesia

USIA LANJUT
Orang yang berusia di atas 60 tahun memiliki kekebalan tubuh yang menurun.
Produksi dan proliferasi limfosit T berkurang sesuai usia sehingga imunitas selular
dan produksi antibodi berkurang sehingga lebih mudah terserang penyakit. 4 Menurut
American Geriatrics Society, vaksinasi yang dianjurkan bagi individu;::: 65 tahun yaitu,
seperti tercantum pada tabel 3.

Tabel 3. Vaksinasi yang dianjurkan pada usia lanjut5


Dosis dan Cara Kontraindikcsi dan
Nama Vaksin lndikasl
Pemberlan Peringatan
Influenza 1 dosis (0,5 ml) IM Usia 2 50 tahun. termasuk Riwayat reaksi anafilaksis
deltoid (setiap risiko tinggi (asma. terhadap vaksin atau
tahun) PPOK. penyakit jantung, komponennya (mis. telur)
ginjal. hati, gangguan Jangan memberikan
metabolik, imunosupresi) vaksin hidup pada usia
~50 tahun
Sindrom Guillain-Barre
dalam 6 minggu dari
dosis terakhir
Pneumococcal 1 dosis (0,5 ml) IM Usia~ 65 tahun yang Riwayat reaksi anafilaksis
Polysaccharide atau SC belum pernah divaksin terhadap PPSV atau
Vaccine (PPSV) sebelumnya komponennya
Sakit ringan dengan/

• tanpa demam bukan


kontraindikasi
Gunakan dengan hati-
hati pada penyakit akut
sedang/berat
PCV tidak dianjurkan
untuk lansia
Herpes Zoster 1 dosis (0,65 ml) SC Usia~ 65 tahun tanpa Riwayat reaksi anafilaksis
deltoid melihat riwayat infeksi terhadap vaksin atau
2 dosis serial bila VZV zoster sebelumnya komponennya (gelatin,
seronegatif neomisin)
lmunokompromis (infeksi
HIV dengan <200 CD4
cells/IJI)
Gunakan dengan hati-
hati pada penyakit akut
sedang/berat
Tetanus, difteri 3 dosis Td toksoid (2 Vaksin seriallengkap Riwayat reaksi anafilaksis
(Td) dosis pertama selang diindikasikan pada terhadap vaksin Td
4 minggu, dosis ke-3 dewasa tua dengan Penyakit akut
6-12bln kemudian. riwayat vaksin tidak jelas
booster tiap 10 atau kurang dari 3 dosis
tahun*)
*Catatan: dapat
diberikan lebih sering
pada luka resiko tinggi
(luka bakar, luka tusuk.
luka jaringan lunak
ekstensif)
Vaksinasi pada Orang Dewasa

HAMIL
Pada wanita hamil terjadi perubahan pada tubuhnya termasuk sistem imun. Pada
kehamilan, sistem imun mengalami pergeseran dari imunitas selular menjadi imunitas
humoral sehingga wanita hamil rentan terkena infeksi. 6
Rekomendasi vaksinasi untuk wanita hamil dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel4. Rekomendasi vaksin bagi wanita hamil'- 26


Sebelum Selama Setelah Jenis Cora
Vaksin
Kehamilan Kehamilan Kehamilan Vaksin Pemberian
Hepatitis A Jika ada risiko Jika ada risiko Jika ada risiko inaktif IM
Hepatitis B Yo, Jika ada Yo, Jika ada Yo, Jika ada inaktif IM
risiko risiko risiko
Human Papiloma Yo, usia 9-24 Tidak Yo, usia 9-24 inaktif IM
Virus (HPV) to hun to hun
Influenza (inaktif) Yo, hindari Yo Yo inaktif IM
konsepsi
selama 4
minggu
Meningokok Jika ada Yo, Jika ada Jika ada
• konjugat indikasi indikasi indikasi inaktif IM
• Polisakarida inaktif sc
Pneumokok Jika ada Jika ada indikasi Jika ada inaktif IM atau SC
polisakarida indikasi indikasi
Polio (IPV) Jika ada Dihindari, kecuali Jika ada inaktif sc
indikasi ada risiko indikasi
Tetanus- Yo, Tdap lebih Jika ada indikasi Yo, Tdap lebih toxoid IM
Diptheria(Td) dipilih dipilih
Tetanus- Yo Yo, Jika risiko Yo toxoid IM
Diptheria- tinggi pertusis
Pertusis(Tdap)
Varicella Yo, hindari Tidak Yo, hindari hidup sc
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu
Influenza (LAIV) Yo, jika <50 Tidak Yo, jika <50 hidup Nasal spray
tahun dan tahun dan
sehat; hindari sehat; hindari
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu
MMR Yo, hindari Tidak Yo, hindari hidup sc
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan Ookter $pes1o1is Pen_yakit Dck:ir,n !Odoneslo

PEMBERIAN VAKSIN PADA IMUNODEFISIENSI SEKUNDER


lmunodefisiensi sekunder merupakan bagian dari imunokompromais
(gangguan sistem imun). Infeksi sering menjadi penyebab kematian pada pasien
imunokompromais, karena itu vaksinasi dibutuhkan untuk mencegah risiko terkena
infeksi. 7 Dibawah ini terdapat rekomendasi pemberian vaksin pada pasien dengan
imunodefisiensi sekunder.

Tabel 5. Rekomendasi Pef"!lberian Vaksin pad? lmunodefisiensi sekunder 7


lmurio~efisi~nsi. Spes.ifik Va~s{n yaf1g V<SI<sin y~ng
Dikontraindik<Ssi Dianjud<an
HIV/AIDS OPV' 2 lnfluei1Za (TIV)'" MMR, varicella, dan
BCG Pneumokok yellow fever diberikan
LA IV*"* Hepatitis A dan B bila hitung CD4 >200

HAJ!l· 8
Kementerian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi, sejak tahun 2002 telah mewajibkan
negara-negara yang mengirimkan jemaah haji untuk memberikan vaksinasi
meningokok tetravalen (A/C/Y /W-135) sebagai syarat pokok pemberian visa haji dan
umroh, dalam upaya mencegah penularan meningitis meningokokus. Cara pemberian
vaksin berupa dosis tunggal 0,5 mL disuntikkan subkutan di daerah deltoid atau gluteal.
Respons antibodi terhadap vaksin dapat diperoleh setelah 10-14 hari dan dapat
bertahan selama 2-3 tahun. Vaksin diberikan pad a jemaah haji minimall 0 hari sebelum
berangkat ke Arab Saudi dan bagi jemaah yang sudah divaksin sebelumnya (kurang
dari tiga tahun) tidak perlu vaksinasi ulang.
Di sam ping vaksin meningokok dianjurkan juga pemberian vaksin influenza dan
pneumokok mengingat lingkungan tempat tinggal yang berdesakkan dan usia jemaah
yang sebagian besar termasuk usia lanjut.

UNITY ANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi-lmunologi, Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
Vaksinasi pada Orang Dewasa

REFERENSI
1. Winulyo EB. lmunisasi Dewasa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam AF (ed). Buku Ajar llmu Penyakit Do lam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: Intern a Publishing: 2014.
h. 951-7.
2. Yunihastuti E. Vaksinasi pada Kelompok Khusus. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
M, Setiyohadi B, Syam AF (ed.). Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: lnterna
Publishing; 2014. h. 958-62.
3. Center for Disease Control & Prevention. Recommended immunization schedule, United States.
Washington DC: Center for Disease Control & Prevention; 2014.
4. The American Geriatrics Society. A Pocket Guide To Common Immunization for the Older Adults.
Centers for Disease Control and Prevention. USA, 2009.
5. Wahyudi ER. Yasmin E. Vaksinasi pada Usia Lanjut. Dalam: Pedoman lmunisasi pada Orang
Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed). Tahun2012. Jakarta: Badon Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.261-7.
6. Ocvyanti D, Novianti H. Vaksinasi pada Kehamilan. Dalam: Pedoman lmunisasi pada Orang
Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed). Tahun20 12. Jakarta: Badon Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.268-79.
7. Yunihastuti E. Winulyo BE, Sukmana N, Yogani I. Vaksinasi pada Pasien lmunokompromais.
Dalam: Pedoman lmunisasi pad a Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (Ed).
Tahun2012. Jakarta: Badon Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.331-41.
8. Koesnoe S, Novianti H. Vaksinasi untuk Jemaah Umroh dan Haji. Dalam: Pedoman lmunisasi
pada Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed). Tahun2012. Jakarta: Badon
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.320-6.
HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI

PENGERTIAN
Masalah HIV1AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan ban yak
negara di dunia serta menyebabkan krisis multi dimensi. Berdasarkan hasil estimasi
Departemen Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000- 216.000
orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan WHO
memperkirakan sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Keluhan
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu.
Pasien datang dapat dengan keluhan:
1. Demam (suhu>37,5°C) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
2. Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat badan dasar.
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.

Faktor Risiko
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama lal<i-lal<i dan transgender
4. Hubungan seksual yang berisikoltidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
7. Pembuatan tato dan atau alat medislalat tajam yang tercemar HIV
8. Bayi dari ibu dengan HIV I AIDS
9. Pasangan serodiskor (yang satu terinfeksi HIV, lainnya tidak) dan salah satu
pasangan positif HIV

Panduan Praktik Klinis


t>erhimp!Jnon DrJk!er Spesio!is Penyokil D(Jlorn !ndonesl(l
HIV I AIDS Tanpa Komplikasi

Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
b. Demam
2. Kulit
a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering, dermatitis
seboroik.
b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes
zoster.
3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasi oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru
6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa.
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra
8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis.

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Hitung jenis leukosit :
Limfopenia, dan CD4 hitung <500 (CD4sekitar 30% dari jumlah totallimfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yaitu menggunakan 3 macam tes dengan titik
tangkap yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western Blot
c. Pemeriksaan DPL
2. Radiologi: Rontgen toraks

Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya. Terdapat dua
macam pendekatan untuk tes HIV :
1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT =Voluntary Counseling & Testing)
2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK - PITC = Provider-
Initiated Testing and Counseling)

Penegakan Diagnostis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil tes
HIV. Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan.
Panduan Praktik Klinis
P9rhlmpvnan Dokter Spesloll~ penya~Jf Dalarn !ndones!a

Tabel 1. Stadium Klinis HIV


Stadium 1 Asimtomatik
I. Tidak ada penurunan BB
2. Tidak ada gejala atau hanya limfa denopati generalisata persisten
Stadium 2 Sakit Ringan
I. Penurunan BB bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (< 10% dari perkiraan BB a tau
BB sebelumnya)
2. ISPA berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis)
3. Herpes zosterdalam 5 tahun terakhir
4. Keilitis Angularis
5. Ulkus mulut yang berulang
6. Ruam kulit yang gatal (Papular pruritic eruption)
7. Dermatitis seborolik
8. lnfeksi jamur pada kuku
Stadium 3 Sakit Sedang
I. Penurunan berat badan yang takdiketahui penyebabnya (> 10% dariperkiraan BB atau BB sebelumnya)
2. Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
3. Demam menetap yang tak diketahui penyebab
4. Kandidiasis pada mulut yang menetap
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tuberkulosis paru
7. lnfeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang
at au sendi, bakteriemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)
8. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, gingivitis atau periodontitis
9. Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb<8g/dl), neutropeni (<0.5 x 10 g/1) dan/atau
trombositopenia kronis (<50 x 10 g/1)
Stadium 4 Sakit Berat (AIDS}
1. Sindrom wasting HIV
2. Pneumonia pneumocystis jiroveci
3. Pneumonia bakteri berat yang berulang
4. lnfeksi herpes simpleks kronis (orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan atau
viseral di bagian manapun)
5. Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
6. Tuberkulosis ekstra paru
7. Sarkoma kaposi
8. Penyakit cytomegalovirus (retinitis a tau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar
getah bening)
9. Toksoplasmosis di sistim saraf pusat
10. Ensefalopati HIV
11. Pneumonia kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
12. lnfeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar
13. Leukoencephalopathy multifocal progresif
14. Cyrptosporidiosis kronis
15. lsosporiasis kronis
16. Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
17. Septikemi yang berulang(termasuk Salmonella non-tifoid)
18. Limfoma {serebral atau Sel B non-Hodgkin)
19. Karsinoma serviks invasif
20. Leishmaniqsis diseminata atipikal
21. Nefropati ataukardiomiopati terkait HIV yang simtomatis
HIV/AIDSTdnpa Komplikasi

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit gangguan sistem imun.

TATALAKSANA

Prosedur
Untuk memulai terapi anti retroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV.
1. Dokter melakukan workup kemungkinan adanya infeksi oportunistik, seperti
tuberkulosis dan ensefalitis toksoplasma. Bila di temukan infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis dan ensefalitis toksof!asma, lakukan terapi untuk infeksi oportunistik
terse but dahulu.
2. Dilakukan pemeriksaan CD4 dan viral load (bila memungkinkan)
3. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Penentuan mulai terapi ARVdidasarkan pada penilaian klinis.
4. Pada pasien dengan CD4 <200 pada orang dewasa dan tidak ditemukan toksoplasma
ensefalitis, berikan profilaksis untuk toksoplasma ensefalitis, yaitu kortimoksasol.
Indikasi pada anak sesuai bagian profilaksis pencegahan kortimoksasol diatas.
5. Dokter mengidentifikasi apakah terdapat indikasi untuk memulai ARV seperti pada
tabel 2.
6. Bila terdapat indikasi memulai ARV dilakukan pemeriksaan yang menunjangyang
sesuai dengan ARVyang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi
sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium pada tabel 2.
7. Identifikasi dan tatalaksana fk+ctor yang dapat mempengaruhi adherens.
8. Sebelum memulai ARV, pasien diberikan konseling sebelum memulai ARV
(konseling pra ARV)
Tabel 2. Rekomendasi lnisiasi ARV pada anak dan Dewasa
Populasi Rekomendasi
Dewasa dan lnisiasi ARV pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4
anak 25 tahun :5350 sel/mm 3
lnisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4
• Koinfeksi TB"
• Koinfeksi hepatitis 8
• lbu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
o Orang terinfeksi HIV yang pasanganya HIV negative (pasangan
serodiskordan), untuk mengurangi risiko penularan
• LSL, PS, atau Penasuno
• Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas
•Pengobalan TB horus di rnulai terlebih dahulu, kernudian obat ARV diberikan dalarn 2-8 minggu sejak mulai TB, tanpa menghentikan
lerapai TB. Pado ODHA dengon CD4 kurang dari 50 sel/mm', ARV horus dimulai dalam 2 minggu selelah mulai pengobalan TB.
Sedangkan untuk ODHA dengan rneningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobaton kriptokokus.
: Dengan memperhatikan kepatuhan.
Panduan Pmktik llinis
PerhimpuMon Dokter Spesio!is Penyokif Da!om 1ndonesia:

Tabel 3. Panduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang Belum
Mendapat Terapi ARV (Treatment Nai've)
Populasl Target Pilihan yang Direkomendasikan Catatan
Dewaso don AZT at au TDF + 3TC (at au FTC) + Merupokon pilihan paduan yang sesuoi
onak EVF otou NVP untuk sebagion besar posien
Gunokan FDC jika tersedia
Perempuon hamil AZT + 3TC + EFV otou NVP TDF biso merupokon pilihan
Ko-infeksi HIV /TB AZT a tau TDF + 3TC (FTC) + EFV Muloi teropi ARV segoro seteloh teropi
TB dapat ditoleronsi (on taro 2 minggu
hingga 8 minggu)

Gunokan NVP atau tripe! NRTI bilo EFV


tidok depot digunokon
Ko-infeksi HIVI TDF + 3TC (FTC) + EFV atou NVP Pertimbongkan pemeriksaan HbsAG
Hepatitis B kronik terutoma bila TDF merupokon poduon lini
aktif pertomo. Diperlukon penggunaon 2 ARV
yang memiliki oktivitos onti-HBV
Jongon rnemulai dengan TDF pado pemakaion terapi ARVav.'al. jika CCT hitung <SO mi/menit otou poda penderito diabetes
lama. hipertensi yang tidak terkontrol dan gagal ginjal.
Jangon memuloi dengan AZT sei)eium teropi ARV i)ilo Hi) <IOgr/dl.

Tabel 4. Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa


Golongan/ Nama Obat Dosis"
Nucleoside RTI
Abocavir (ABC) 300 mg setiop 12 jam
Lamivudine (3TC) 150 mg setiop 12 jam at au 300 mg sekolisehori
Stavudine (d4T) 40 mg setiop 12 jam (30 mg setiop 12 jam bila BB<60 kg)
Zidovudine (ZDV otou AZT) 300 mg setiap 12 jam
Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF) 300 mg sekolisehori,
(Catalan: interoksi obot dengon ddl perlu mengurangi dosis ddl)
Non-nucleoside RTis
Efavirenz (EFV) 600 mg sekalisehari
Nevirapine (NVP) (Neviral®) 200 mg sekolisehariselamo 14 hari, kemudion 200 mg setiop 12
jam
Protease inhibitors
Lopinovir/ritonavir (LPV /r) 400 mg/100 mg setiop 12 jam, (533 mg/133 mg setiop 12jom bilo
dikombinosi dengon EFV otou NVP)
ART kombinasi
AZT -3TC {Duvirol ®) Diberikon 2x sehoridengon interval 12 jam

Rencana Tindak lanjut


1. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV
Monitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.
2. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral
HIV/AIDS Tanpa Komplikasi

a. Pemantauan klinis
Dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV
dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.
b. Pemantauan laboratorium
• Pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada
indikasi klinis.
• Pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pad a minggu
ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
• Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 an tara 250-350 self
mm 3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu
2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan
dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis.
" Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF.

Konseling dan Edukasi


1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan kelompok
risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga ten tang penyakit HIVI AIDS.
Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok penanggulangan HIV I AIDS
untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi pengobatan penyakitnya.

Kriteria Rujukan
1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan
Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi.
2. Pasien HIV I AIDS dengan komplikasi.

Sarona Prasarana
Layanan VCT

PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi
hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan terapi
definitif, sehingga prognosis pada umumnya buruk.
PanduansPesiaJfs
Praktik Klinis
~lerblmPunan Dokter Penyaklf Oa!dm lnd0!19:iia

UNITY ANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi-lmunologi Klinik- Departemen Penyakit Dalam,
Divisi Tropik Infeksi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Divisi Pulmonologi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Departemen Neurologi, Departemen Kulit dan Kelamin
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi, Bagian Kulit dan Kelamin

REFERENSI
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Tatalaksana lnfeksi HIV dan Terapi Antiretrovira/ pada Orang Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011.
2. Djoerban Z. Djauzi S. HIV/AIDS di lndonesia.Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata
M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. 411'Ed. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal. 1825-30.
3. Yunihastuti. E, Karjadi TH, Suroyo Yudianto. B. Nelwan JE, Ujainah ZN, Kurniati N, lmran D, dkk
Pedoman Layanan HIV RSCM 2014.

Anda mungkin juga menyukai