Anda di halaman 1dari 19

Penyalahgunaan aset dan Asset tracing

Disusun Oleh :

1. Mita Wahyu Waluyo 17062020013


2. Arief Rachman 17062020030

PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
2018
A. Penelusuran Aset (Asset Tracing)

Penelusuran Aset (Asset Tracing) adalah suatu teknik yang digunakan oleh seorang
investigator/auditor forensik dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi
keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan asset hasil perbuatan TPK dan atau tindak
pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk dapat diidentifikasikan,
dihitung jumlahnya, dan selanjutnya agar dapat dilakukan pemblokiran/pembekuan dan
penyitaan untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan pelaku TPK dan atau tindak pidana
pencucian uang tersebut.
Sedangkan menurut BPKP dalam Modul Audit Forensik (2007) yang dimaksud dengan
penelusuran aset adalah merupakan suatu teknik yang digunakan oleh seorang
investigator/auditor forensik dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi
keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan aset hasil perbuatan tindak pidana korupsi
dan atau tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk dapat
diidentifikasikan, dihitung jumlahnya, dan selanjutnya agar dapat dilakukan
pemblokiran/pembekuan dan penyitaan untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan pelaku
tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang tersebut.

Penelusuran asset merupakan bagian dari audit forensik. Penelusuran asset dilakukan oleh
auditor forensik dari pihak BPK, BPKP dan KPK beserta pihak-pihak dari penegak hukum.
Beberapa peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia memungkinkan dilakukannya
penarikan kembali atas hasil kejahatan dan merampas sarana yang digunakan untuk
melaksanakan kejahatan. Namun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada
tersebut, upaya mengambil kembali aset hasil tindak pidana umumnya hanya dapat
dilaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.
Kegiatan Pelacakan Aset adalah serangkaian kegiatan yang meliputi Penelaahan Data Awal,
Penyusunan Rencana Kegiatan,Pengumpulan Informasi, Analisis dan Verifikasi, Pemeriksaan
Fisik serta Penilaian Aset dalam rangka mendapatkan data aset yang dimiliki oleh Tersangka,
Terdakwa, Terpidana dan pihak terkait.
Dalam rangka pengembalian kerugian negara kegiatan penelusuran aset ini adalah salah satu
tahap kegiatan yang sangat penting untuk mendapatkan pembuktian ada atau tidaknya tindak
pidana pencucian uang terkait dengan tindak pidana asa
Selain untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana pencucian uang, penelusuran aset
dalam kegiatan penyidikan berfungsi sebagai berikut:
 Mendukung pembuktian unsur-unsur pasal yang dipersangkakan seperti unsur
“memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu kooperasi“ dan unsur “merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”;
 Mengamankan aset tersangka sedini mungkin dalam proses penyidikan untuk
kepentingan pembayaran uang pengganti atau denda, dalam rangka pengembalian kerugian
negara yang diakibatkan oleh terjadinya tindak pidana asal atau TPPU;
 Memperkuat keyakinan hakim terhadap pemenuhan unsur, perbuatan tersangka dan
akibat yang ditimbulkan dalam rangka pengambilan putusan hukum;
 Mendukung pengembangan perkara dan pengungkapan tindak pidana asal dan TPPU
lainnya.

Kegiatan pelacakan aset meliputi beberapa tahap, yaitu:


1. Penelaahan data awal: adalah kegiatan mempelajari, menelaah informasi yang sudah
tersedia dalam rangka mencari keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya.
2. Penyusunan Rencana Kegiatan: adalah rancangan kegiatan pelacakan aset yang disusun
sebelum melakukan kegiatan pelacakan aset.
3. Pengumpulan Informasi: adalah kegiatan atau cara mencari, mengumpulkan,
mendapatkan informasi dari sumber internal maupun eksternal. Pengumpulan informasi terdiri
dari empat jenis yaitu:
a. Permintaan Data Resmi adalah upaya untuk mendapatkan data atau informasi dari
instansi pemerintah dan pihak swasta;
b. Pengumpulan data atau informasi yang dilakukan secara mandiri yaitu upaya pencarian
atau pengumpulan data dari berbagai sumber;
c. Penggeledahan, yaitu adalah tindakan Penyidik untuk memasuki rumah tinggal dan
tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakanpemeriksaan dan/ataupenyitaan dan/atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang no 8 Tahun 1981
tentang KUHAP;
d. Pengumpulan informasi lainnya.
4. Analisis dan Verifikasi: adalah serangkaian kegiatan meliputi pemeriksaan,
pengecekan, pengklasifikasian, dan pemilihan informasi untuk mendapatkan data yang valid
dan relevan;
5. Pemeriksaan Fisik: adalah kegiatan mengidentifikasikan secara visual terhadap aset
yang dilacak untuk memastikan keberadaan dan/atau penguasaan aset;
6. Penilaian Aset: adalah kegiatan menentukan, memperkirakan nilai ekonomis suatu aset
berdasarkan nilai jual, harga pasar, nilai jual objek pajak atau kombinasinya.

B. Kerugian Negara dan Pemulihan Kerugian Negara


1. Kerugian Negara
Penelusuran Aset dilakukan karena adanya tindak pidana korupsi atau pencucian uang yang
mengakibatkan adanya kerugian Negara. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara, memberikan definisi tentang kerugian negara/ daerah yaitu
dalam Pasal 1 ayat (22) Undang-undang ini berbunyi: Kerugian Negara/Daerah adalah
kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Sedangkan pengertian kerugian negara
(BPK RI:1983) adalah berkurangnnya kekayaan negara yang disebabkan oleh sesuatu tindakan
melanggar hukum/ kelalaian seseorang dan/atau disebabkan suatu keadaan di luar dugaan dan
di luar kemampuan manusia (force majeure).
Kerugian Keuangan Negara menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam
pasal 2-3 sebagai berikut:

Pasal 2
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidanakan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 2 ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam keadaan
tertentu, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara”
menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu ada tidaknya tindak
pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat.
Pasal 2 ayat (2) yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan
yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila
tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Undang-
undang memberikan penjelasan sebagai berikut:.
Pasal 3 Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan penjelasan Pasal 2. Perumusan
dalam pasal-pasal di atas berkenaan dengan kerugian keuangan dan perekonomian negara,
sangat tegas. Perumusannya menggunakan frasa potensi (“dapat”) terjadi.

2. Pemulihan Kerugian Negara


Tuanakotta dalam bukunya Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (2007) menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan pemulihan kerugian adalah merupakan proses untuk mengubah
aset yang sudah ditemukan lewat penelusuran aset, menjadi aset untuk diserahkan kepada pihak
yang dimenangkan dalam penyelesaian sengketa. Proses ini bisa terjadi di dalam maupun di
luar negeri, antara lain meliputi penyelidikan atas bukti-bukti mengenai kepemilikan harta,
pembekuan atau pemblokiran rekening di perbankan dan lembaga keuangan lainnya serta
pemblokiran. Dengan demikian dapat disimpulkan apabila terjadi tindak pidana pencucian
uang ataupun tindak pidana korupsi dalam hal ini yang dirugikan negara, maka pemulihan
kerugian akan diserahkan kepada negara.
Banyak pihak yang sependapat bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) lebih efektif untuk
memulihkan keuangan negara dalam hal pengembalian aset (asset recovery), jika dibandingkan
dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR). Alasannya
karena UU PPTPPU menggunakan paradigma baru dalam penanganan tindak pidana, yaitu
dengan pendekatan follow the money (menelusuri aliran uang) untuk mendeteksi TPPU dan
tindak pidana lainnya. Dasar hukum pemulihan kerugian negara dari hasil penelusuran aset
antara lain terdapat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) dan Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001).
Dalam UU PPTPPU masalah pemulihan kerugian negara antara lain terdapat dalam pasal 3 dan
4 sebagai berikut:
Pasal 3
Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena
tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Dalam konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui
penelusuran aset. Selanjutnya aset hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau
dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta kekayaan hasil tindak pidana tadi milik
negara, maka harta tersebut akan dikembalikan kepada negara. Penelusuran harta kekayaan
hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting
khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa dan melaporkan transaksi
tertentu kepada otoritas sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada
penyidik. Berdasarkan data tersebut penyidik akan menindaklanjuti data tersebut secara hukum
sampai dengan aset tersebut jelas nilainya dan keberadaannya yang pada akhirnya dapat
digunakan untuk penggantian kerugian kepada yang berhak.
Sedangkan dasar hukum penggantian kerugian negara dalam Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001) yang diuraikan
dalam Pasal 17 dan Pasal 18 sebagai berikut:

Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18.

Pasal 18 ayat (1) huruf b


Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Maksud diterapkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah untuk
mengembalikan kerugian uang negara yang dikorupsi oleh pelakunya, sehingga dengan
demikian keuangan negara diharapkan dapat dipulihkan, diselamatkan atau dikembalikan
nilainya seperti dalam keadaan semula.
Pasal 18 ayat (2)
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat
disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Pasal 18 ayat (3)


Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara
yang lamanya tidak melebihi ancaman maksirnum dari pidana pokoknya sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam
putusan pengadilan.

C. Audit Forensik dan Penelusuran Aset Melalui Informasi Penyembunyian


dan/atau Pengkonversian Aset
Penelusuran aset adalah prosedur pelacakan aset atau dana untuk mencari asal usul maupun
keberadaannya baik itu yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri Penelusuran aset
biasanya terjadi ketika ada kecurigaan atau tindakan penipuan, pencucian uang, dan
penggelapan, dan lain-lain.
Penyembunyian aset oleh pelaku kejahatan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana
pencucian uang, dapat menggunakan sarana perbankan yang mana uang hasil tindak pidana
tersebut disembunyikan ke bank-bank lokal maupun bank luar negeri dan bisa juga uang dari
hasil tindak pidana tersebut dikonversi dalam bentuk barang, jadi tersangka melakukan
pembelian barang dagangan, membuka restaurant, usaha hiburan atau pembelian aset tetap
lainnya seperti; mesin-mesin, kendaraan, bangunan, tanah dll.
Untuk mengetahui tempat persembunyian tersebut, pihak penegak hukum yang dibantu oleh
auditor forensik akan dapat memperoleh informasi penyembunyian tersebut dari sumber-
sumber berikut ini:
1. Penyedia Jasa Keuangan
Laporan Transaksi Keuangan yang mencurigakan (Suspicius transaction report) dan transaksi
keuangan tunai (Cash transaction report) yang dikirim Penyedia Jasa Keuangan kepada
PPATK. Laporan ini mencantumkan detail dari jumlah yang ditransfer, nama bank, dan nomor
rekening bank pengirim (kalau transfer bukan berasal dari setoran tunai) dan penerima.
Informasi ini bermanfaat untuk pembekuan rekening bank dan penelusuran lebih lanjut dari
arus dana berikutnya.
2. Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK)
PPATK juga mempunyai jaringan kerjasama dengan lembaga serupa di luar negeri seperti
Financial Inteligence Service (FIS) di Inggris, yang menjadi counterpart-nya maupun pihak
interpol. Informasi dari dalam dan luar negeri dapat digunakan untuk maksud penelusuran aset
sesuai dengan peraturan perundang-undangan tindak pidana pencucian uang, misalnya oleh
Tim Pemburu Koruptor.
3. Hasil Penelitian Akademisi dan LSM
Informasi lain adalah dari hasil penelitian dari orang-orang yang mengkhususkan diri dalam
”perburuan harta haram”,. Biasanya ada beberapa sumber dari LSM yang melakukaan
wawancara terhadap mereka yang mengetahui pelanggaran yang telah terjadi, tetapi lebih suka
identitas diri mereka tidak diungkapkan. Dengan kondisi semacam ini, mereka lebih bebas
berbicara tanpa perlu khawatir dengan tuntutan pencemaran nama baik.
4. Persengketaan di Pengadilan
Informasi penyembunyian aset juga dapat diperoleh dari sangketa-sangketa yang sedang
disidangkan di pengadilan baik dalam negeri mapun luar negeri. Sangketa bisa terjadi antara
keluarga maupun antar perusahaan atau organisasi yang bisa diikuti, mungkin harta yang
dipersengketakan diduga berasal dari tindakan pidana.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dalam rangka untuk menjalankan perintah undang-undang serta untuk menguji integritas dan
tranparansI, maka setiap pejaba/penyelenggara Negara diwajibkan menyampaikan Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN ke KPK. LHKPN dapat memberikan
informasi kepada KPK tentang harta kakayaan dan KPK akan menelusuri harta kekayaan yang
telah dilaporkan dan jika ditemukan kejanggalan makan akan dilakukan pemeriksaan dan
penyedikan,
6. Kantor Pelayanan Informasi Untuk Publik
Di banyak negara dan macam-macam kantor pendaftaran (registrasi) yang informasinya
terbuka untuk umum karena memang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum.
Contoh di Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, Bapepam dan Bursa Efek merupakan
sumber informasi mengenai perusahaan yang menjual surat berharga (efek-efek) di pasar
modal. Kelemahannya adalah untuk pemegang saham yang tercatat di negara-negara yang
disebut tax haven countries, tidak jelas siapa pemegang saham sesungguhnya. Departemen
Perdagangan mempunyai Direktorat Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan (Kantor
Pendaftaran Perusahaan Tingkat Pusat) kemana laporan keuangan perusahaan yang diaudit
(baik perusahaan tertutup maupun perusahaan TBK), dikirimkan. Ada kantor pengacara yang
mengkatalog anggaran dasar perseroan terbatas yang sudah mendapat pengesahan Departemen
Kehakiman. Kantor polisi yang mengelola pendaftaran kendaraan bermotor juga merupakan
sumber informasi penting (apakah ada mobil mewah atas nama pejabat
negara atau keluarganya).
7. Pembocoran informasi oleh orang dalam.
Alasannya bermacam-macam ,mulai dari kekecewaan atau sakit hati dengan partner
dagangannya, sampai harapan untuk memperoleh keringanan hukum karena bekerja sama
dengan penegak hukum untuk membongkar suatu kasus. Dalam beberapa kasus,usia yang
lanjut juga membawa dampak terhadap keinginan ” mengaku dosa”.
8. Kerjasama International
Kerjasama internasional dibidang penegakan hukum telah terbukti sangat
menentukan keberhasilan penegakan hukum nasional terhadap kejahatan transnasional.
Kerjasama Internasional tersebut akan sia-sia jika tidak ada kerjasama melalui perjanjian
bilateral atau multilateral dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Prasyarat perjanjian tsb
tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat
dilaksanakan berlandaskan asas yang dikenal dan diakui oleh masyarakat internasional yang
dikenal dengan asas resiprositas (timbal balik) .
Kerjasama penegakan hukum tersebut secara lengkap diatur dalam Konvensi PBB
Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption) tahun 2003 telah diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UN Convention Against Corruption;
dan Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against
Transnational Organized Crime) tahun 2000, sudah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada
bulan Desember tahun 2000.
UN Model Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters (1990) menegaskan antara lain,
dalam Pasal 1 angka 3, Ketentuan Pasal 2 Asean Treaty on Mutual Legal Assistance (2004)
juga memuat ketentuan tsb sehingga secara a contrario, perjanjian ekstradisi juga tidak dapat
memuat ketentuan mengenai pembekuan,penyitaan dan pengembalian aset.
UN Model (1990) tsb juga dilengkapi dengan Optional Protocol yang antara lain menegaskan
kewajiban negara diminta (requested state) untuk memenuhi permintaan penelusuran,
penetapan lokasi aset yang disembunyikan, melakukan penyidikan ransaksi keuangan dari
pemilik aset dimaksud, dan melakukan upaya untuk memperoleh informasi atau bukti untuk
“mengamankan” aset tersebut. Selain hal tersebut, optional protocol juga mewajibkan negara
diminta untuk membolehkan putusan pengadilan di negara peminta (requesting state) dapat
dilaksanakan di negara diminta untuk membekukan dan menyita aset hasil kejahatan dimaksud.
Dalam kerjasama international ini terdapat kelemahan yaitu tidak semua Negara mengikuti
perjanjian Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters, sehingga tidak semua Negara
yang dapat di ajak kerja sama dalam pemberantasan tindak pidana, bahkan ada beberapa
Negara yang membantu pelaku tindak pidana dalam menyembunyikan asset pelaku karena bagi
Negara tersebut, asset pelaku dapat mereka gunakan untuk membangun Negara mereka.
Contohnya, seperti antara Inonesia dengan Singapura yang tidak memiliki kerjasama extradisi
dengan Singapura sehingga banyak koruptor Indonesia yang menyembunyikan harta
kekayaanya di Singapura.

9. Lain-lain
a. Mengetahui kebiasaan etnik tertentu akan sangat membantu dalam penelusuran aset.
Pada umumnya ,etnik perantau akan mengembalikan hasil jerih payah mereka ke kampung
halaman. Hasil korupsi atau kejahatan lain yang menghasilkan uang dalam jumlah besar, akan
dikonversikan dalam bentuk tanah-tanah yang serba luas, bangunan yang serba megah dan
mewah, resort yang serba wah. Etnis lain membangun pabrik, bank, universitas, dan macam-
macam proyek mercu suar ditanah leluhur. Ini adalah cara manusia menyatakan kepada
masyarakat di kampung halamannya. Tingkah lakunya ini diamati penyidik dengan dugaan
bahwa ia membenahi dokumen kepemilikan tanah.
b. Psikologi manusia yang mendadak kaya, atau mendadak kaya dengan jalan pintas
terlihat dari pola pengeluaran. Disamping keinginan untuk ”diakui” di kampung halaman atau
negeri leluhur, juga pola hidup pelaku. Semuanya serba wah (besar, mewah, mahal, dengan
kecendrungan mengada-ada) properti di negeri asing yang serba wah dilokasi orang kaya
tingkat dunia, kapal pesiar, intan berlian dan perusahaan. Pola konsumsi mewah ini seharusnya
merupakan tanda-tanda untuk indikasi fraud. Lebih dari itu, sang pelaku bahkan memamerkan
kekayaannya. Pada waktu kekayaan ini akan disembunyikan, semua orang sudah
mengetahuinya. Karena itu di negara maju, lembaga-lembaga seperti PPATK kita membuat
kaitan antara uang hasil kejahatan dengan pembelian mobil, intan-berlian, tanah dan bangunan
melalui teknik data mining.

c. Advertensi mengenai perusahaan-perusahaan dalam iklan kematian.


Dalam etnis ini, iklan tentang berita duka cita dan iklan turut berduka cita diiringi dengan daftar
perusahaan yang dimiliki almarhum (ah) beserta anggota keluarga dapat menjadi sumber
informasi bagi auditor forensik dalam menelusuri aset. Keterkaitan pemilikan di berbagai
perusahaan yang tidak terungkap dalam laporan keuangan, justru terungkap dalam iklan
kematian dan turut berbela sungkawa. (Kehadiran pejabat negara dipemakaman sang
konglomerat, dan kehadiran konglomerat dan karangan bunganya di pemakaman pejabat juga
merupakan bagian yang menarik).

Penyalah gunaan aset (Aset Misappropriation)

Penyalahgunaan aset merupakan kecurangan yang melibatkan pencurian atas aset milik
suatu entitas. Dalam banyak kasus, namun tidak senuanya, jumlah nominal yang terlibat tidak
material terhadap laporan keuangan. Namun demikian, pencurian aset perusahaan sering kali
menjadi perhatian penting manajemen, tanpa melihat tingkat meterialitasnya, karena
pencurian-pencurian kecil dapat dengan mudah meningkat ukurannya setiap saat.
Aset misappropriation atau “pengambilan” aset secara ilegal dalam bahasa sehari-hari disebut
mencuri. Di dalam istilah hukum, “mengambil” aset secara ilegal (tidak sah, atau melawan
hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau
mengawasi aset tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree disebut
larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggris nya adalah embezzlement.

Aset misappropriation dalam bentuk penjarahan kas atau cash appropriation dilakukan dalam
tiga bentuk : skimming, larceny, fraudulent disbursements. Klasifikasi penjarahan kas dalam
tiga bentuk disesuaikan dengan arus uang masuk.

Dalam skimming, uang dijarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke perusahaan. Cara
ini terlihat dalam dalam fraud yang sangat dikenal para auditor, yakni lapping. Kalau uang
sudah masuk kedalam perusahaan dan kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut larceny
atau pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam (atau sudah masuk ke) sistem, maka
penjarahan ini disebut fraudulent disbursements yang lebih dekat dengan istilah penggelapan.

Penjarahan atas dana-dana yang yang tidak masuk ke perusahaan secara fisik atau secara
administratif, dengan cara menghimpun dana-dana tersebut dari berbagai sumber, misalnya
komisi resmi dari perusahaan asuransi atau kickback dari penyuplai. Dana-dana ini disebut
dana taktis; dalam bahasa Belanda, tactishe fonds; dalam bahasa Inggris, slush funds. Dalam
fraud tree, baik pembentukan maupun pengeluaran dari dana taktis ini didefinisikan sebagai
corruption bukan asset misappropriation. Corruption seperti ini mengandung ciri skimming.
Larceny atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal
peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan
lemahnya sistem pengendalian intern, khususnya yang berkenaan dengan perlindungan
keselamatan aset (safeguarding of assets).

Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent disbursements) sebenarnya satu
langkah lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap pencurian, ada tahap perantara. Terdapat
lima kolom (sub ranting) pada fraudulent disbursements, yaitu : billing schemes, payroll
schemes, expense reinbursement schemes, check tampering, dan register register
disbursements.

Billing schemes adalah skema permainan (schemes) dengan menggunakan proses billing atau
pembebanan tagihan sebagai sarananya. Pelaku fraud dapat mendirikan perusahaan
“bayangan” (shell company) yang seolah-olah merupakan penyuplai atau rekanan atau
kontraktor sungguhan. Perusahaan bayangan ini merupakan sarana untuk mengalirkan dana
secara tidak sah ke luar perusahaan.

Payroll schemes adalah skema permainan melalui pembayaran gaji. Bentuk permainannya
antara lain dengan pegawai atau karyawan fiktif (ghost employee) atau dalam pemalsuan
jumlah gaji. Jumlah gaji yang dilaporkan lebih besar dari gaji yang dibayarkan.

Expense reinbursement schemes adalah skema permainan melalui pembayaran kembali biaya-
biaya, misalnya biaya perjalanan. Seorang pemasar mengambil uang muka perjalanan, dan
sekembalinya dari perjalanan, ia membuat perhitungan biaya perjalanan. Kalau biaya
perjalanan melampaui uang muka nya, ia meminta reinbursement atau penggantian. Ada
beberapa skema permainan melalui mekanisme reinbursement ini. Rincian biaya menyamarkan
jenis pengeluaran yang sebenarnya (mischaracterized expense).

Check tampering adalah sekema permainan melalui pemalsuan cek. Hal yang dipalsukan bisa
tanda tangan orang yang mempunyai kuasa mengeluarkan cek, atau endorsemennya, atau nama
kepada siapa cek dibayarkan, atau cek nya disembunyikan (concealed checks).

Register disbursments adalah pengeluaran yang sudah masuk dalam cash register. Skema
permainan melalui register disbursements pada dasarnya ada dua, yakni false refunds
(pengembalian uang yang dibuat-buat) dan false voids (pembatalan palsu).
Dalam false refund ada berbagai cara penggelapan, di antaranya, penggelapan dengan seolah-
olah ada pelanggan yang mengembalikan barang, dan perusahaan memberikan refund. False
voids hampir sama dengan false refund. Hal yang dipalsukan disini adalah pembatalan
penjualan. Penjualan yang sudah terekam di pita cash register dibatalkan, seolah-olah pembeli
urung melakukan pembelian. Jumlah yang sudah diterima perusahaan seolah-olah juga
dibatalkan.

Skimming merupakan penjarahan sebelum uang secara fisik masuk ke perusahaan. Contoh
yang sangat populer adalah praktik gali lubang tutup lubang dalam penagihan piutang
(lapping). Contoh lain, piutang dihapusbukukan, namun tetap ditagih dari pelanggan. Hasil
tagihan tidak masuk ke perusahaan, dan dijarah oleh si penagih.

Sasaran lain dari penjarahan adalah persediaan barang (inventory). Dalam situasi tertentu,
persediaan barang menjadi barang menarik untuk dijadikan sasaran pencurian. Contoh,
penjualan BBM bersubsidi secara ilegal pada waktu ada disparsitas harga yang tinggi antara
BBM bersubsidi dan yang tidak.

Aset lainnya (yang bukan kas dan inventory) juga bisa menjadi sasaran adalah aset tetap,
misalnya kendaraan bermotor yang dimiliki perusahaan.

Modus operan di dalam penjarahan aset yang bukan uang tunai atau uang di bank adalah misuse
da larceny. Misuse adalah penyalahgunaan, misalnya penggunaan kendaraam bermotor
perusahaan atau aset tetap lainnya untuk keperluan pribadi. Contoh, alat transportasi
perusahaan atau lembaga pemerintah yang dipakai untuk mengangkut barang-barang pribadi
atau inventaris kantor atau instansi pemerintah yang “dipinjam” selama seseorang memegang
jabatan (misuse) dan tidak mengembalikan nya sesudah ia tidak lagi menjabat (larceny).

Fraudulent Statement

Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label “Fraudulent Statements”
dapat dilihat di sisi kanan dari fraud tree. Jenis fraud ini sangat dikenal oleh auditor yang
melakukan general audit (opinion audit). Fraud yang berkenaan dengan penyajian laporan
keuanga, sangat menjadi perhatian auditor, masyarakat atau para LSM/NGO, namun tidak
menjadi perhatian akuntan forensik.

Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini berupa
salah saji (misstatements baik overstatements maupun understatements). Cabang dari ranting
ini ada dua. Pertama, menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya
(aset/revenue understatements). Kedua, menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari
yang sebenarnya (aset/revenue understatements).

Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-keuangan. Fraud ini
berupa penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan
yang sebenarnya, dan sering kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa
tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun eksteren. Contoh,
perusahaan minyak besar didunia yang mencantumkan cadangan minyak nya lebih besar secara
signifikan dari keadaan yang sebenarnya apabila diukur dengan standar industrinya.

AKUNTAN FORENSIK DAN JENIS FRAUD

Dari tiga cabang fraud tree, yakni corruption, misappropriation of asset, dan fraudulent
statements akuntan forensik memusatkan perhatian pada dua cabang pertama. Cabang
fraudulent statements menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan (general audit
atau opinion audit).

Akuntan forensik atau audit investigatif hampir tidak pernah menyentuh fraud yang
menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan, dengan dua pengecualian.

Pertama, ketika “regulator” seperti Bapepam, Securities and Exchange Commission, atau
Financial Services Authority (OJK, Otoritas Jasa Keuangan) mempunyai dugaan kuat bahwa
laporan audit suatu kantor akuntan publik mengandung kekeliruan yang serius (atau kantor
akuntan publik yang bersangkutan mengakui hal tersebut). Regulator dapat meminta kantor
akuntan lain melakukan pendalaman, atau mereka sendiri melakukan penyidikan. Dalam hal
ini akuntan forensik melakukan audit investigatif. Mengapa? Kasusnya bisa dibawa ke
pengadilan atau diselesaikan di luar pengadilan dan auditnya harus lebih luas dan mendalam
karena harus jelas siapa yang bertanggungjawab untuk hal apa.

Kedua, ketika fraudulent statements dilakukan dengan pengolahan data secara elektronis,
terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan komputer yang dominan dalam penyiapan
laporan. Selain pertimbangan penyelesaian kasus di dalam atau diluar pengadilan, juga ada
pertimbangan diperlukannya keahlian khusus, yakni computer forensics.

MANFAAT FRAUD TREE


Fraud tree yang dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud tree memetakan fraud dalam
lingkungan kerja. Peta ini membantu akuntan forensik mengenali dan mendiagnosis fraud yang
terjadi. Ada gejal-gejala “penyakit” fraud yang dalam auditing dikenal sebagai red flags.
Dengan memahami gejala-gejala ini dan menguasai teknik-teknik audit investigatif, akuntan
forensik dapat mendeteksi fraud tersebut.

Kondisi kita yang berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat dapat menjadi alasan untuk tidak
sepenuhnya mengikuti fraud tree diatas. Koruptor atau pelaku fraud di Indonesia sering kali
lebih kreatif. Juga iklim bisnis dan pemerintahan yang koruptis mengharuskan akuntan forensik
berpikir mengenai dunia nyatanya. Akuntan forensik sebaiknyamembuat sendiri fraud tree atau
peta dari tindak pidana yang diperiksanya.

Fraud Triangle

Bermula dari penelitian Donald R. Cressey yang tertarik pada embezzlers yang disebutnya
“trust violators” atau pelanggra kepercayaan, yakni mereka yang melanggar kepercayaan atau
amanah yang dititipkan kepada mereka. Penelitian nya diterbitkan dengan judul Other People’s
Money : Study in the Social Psychology of Embezzlement.

PERCEIVED OPPORTUNITY

FRAUD

TRIANGLE

PRESSURE RATIONALIZATION

Dalam perkembangan selanjutnya, hipotesis dari penelitian tersebut dikenal sebagai fraud
triangle atau segitiga fraud.

Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul pressure yang merupakan perceived non-shareable
financial need. Sudut keduanya, perceived opportunity. Sudut ketiga, rationalization.

PRESSURE
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan (pressure) yang
menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak, yang tidak dapat
diceritakan nya kepada orang lain. Konsep yang penting di sini adalah, tekanan yang
menghimpit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi (sharing)
dengan orang lain. Konsep ini di dalam bahasa inggris disebut perceived non-shareable
financial need.

Cressey menemukan bahwa non-shareable problem timbul dari situasi yang dapat dibagi dalam
enam kelompok :

1. violation of ascribed obligation


2. problems resulting from personal failure
3. business reversals
4. physical isolation
5. status gaining
6. employer-employee relation

Keenam kelompok situasi tersebut, pada dasarnya berkaitan dengan upaya memperoleh status
lebih tinggi atau mempertahankan status yang sekarang dipunyai.

Violation of Ascribed Obligation

Suatu kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan, membawa konsekuensi
tertentu bagi yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan atau majikannya. Di samping
harus jujur, ia dianggap perlu memiliki perilaku tertentu.

Orang dalam jabatan seperti itu merasa wajib menghindari perbuatan yang dapat merendahkan
martabatnya. Inilah kewajiban yang terkait dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, ini
adalah ascribed obligation baginya. Kalaui ia menghadapi situasi yang melanggar kewajiban
terkait dengan jabatannya, ia merasa masalah yang dihadapinya tidak dapat diungkapkannya
kepada orang lain.

Problems Resulting from Personal Failure

Kegagalan pribadi juga merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang mempunyai
kedudukan serta dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahan nya menggunakan akal
sehatnya, dan karena itu menjadi tanggungjawab pribadinya.
Seorang pengacara yang kehilangan tabungan hasil kerjanya bertahun-tahun. Ia menderita rugi
karena menanamkan uang nya dalam bisnis yang bersaing dengan bisnis para pelanggannya.
Ia percaya, kalau ia mengungkapkan masalahnya kepada para pelanggannya, mereka akan
bersedia membantu. Namun, ia merasa tidak mampu mengungkapkan masalah tersebut karena
telah menghianati para pelanggannya dengan berusahan dalam bisnis “rahasia” yang
bersaingan dengan mereka. Ia bahkan tidak berani mengungkapkan kerugian tersebut kepada
istrinya, dan memilih mencuri uang perusahaan.

Ia takut kehilangan status nya sebagai orang yang dipercaya dalam bidang keuangan, karena
itu ia takut mengakui kegagalannya. Kehormatan pada diri sendiri menjadi awal kejatuhannya.

Business Reversals

Cressey menyimpulkan bahwa kegagalan bisnis merupakan kelompok situasi yang juga
mengarah kepada non-shareable problem. Masalah ini berbeda dari kegagalan pribadi yang
dijelaskan diatas, karena pelakunya merasa bahwa kegagalan itu berasal dari luar dirinya atau
luar kendalinya. Dalam persepsinya, kegagalan itu karena inflasi yang tinggi, atau krisis
moneter, tingkat bunga yang tinggi, dan lain-lain.

Physical Isolation

Situasi ini dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam kesendirian. Dalam situasi ini,
orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan dengan orang lain. Ia tidak mempunyai orang lain
tempat ia berkeluh dan mengungkapkan masalahnya.

Status Gaining

Situasi ini tidak lain dari kebiasaan buruk untuk tidak mau kalah dengan “tetangga”. Orang lain
punya harta tertentu, ia juga harus seperti itu atau lebih dari itu. Orang lain punya jabatan
tertentu, ia juga harus punya jabatan seperti itu atau bahkan lebih baik. Dalam situasi yang
dibahas di atas, pelaku berusaha mempertahankan status. Di sini, pelaku bersedia
meningkatkan statusnya.

Cressy mencatat, “masalahnya menjadi non-shareable ketika orang itu menyadari bahwa ia
tidak mampu secara financial untuk naik ke status itu, untuk menikmati simbol-simbol
keistimewaan yang dijanjikan status itu secara wajar dan sah, dan pada saat yang sama ia tidak
bisa menerima kenyataan untuk tetap berada dalam status itu, apalagi kalau harus turun status.”
Employer-Employee Relation

Situasi ini mencerminkan kekesalan (atau kebencian) seorang pegawai yang menduduki
jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada saat yang sama ia merasa tidak ada pilihan
baginya, yakni ia tetap harus menjalankan apa yang dikerjakannya sekarang.

Menurut Cressey, masalah yang diahadapi orang menjadi non-shareable karena kalau ia
mengusulkan solusi untuk masalah yang dihadapinya, ia khawatir statusnya di organisasi itu
menjadi terancam. Juga ada motivasi yang kuat baginya untuk “membuat perhitungan” dengan
majikannya ketika ia merasa diperlakukan tidak adil.

PERCEIVED OPPORTUNITY

Cressey berpendapat, ada dua komponen dari persepsi tentang peluang. Pertama, general
information, yang merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung trust atau
kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang dia
dengar atau lihat, misalnya dari pengalaman orang lain yang melakukan fraud dan ketidak
tahuan atau tidak dihukum atau terkena sanksi. Kedua, technical sklill atau
keahlian/ketrampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya
keahlian atau keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia mendapat
kedudukan tersebut.

General information dan technical skills yang dibahas Cressey bukan semata-mata dipunyai
oleh orang yang punya kedudukan, pegawai biasa juga mempunyainya. Namun, mereka yang
mempunyai posisi dengan kepercayaan di bidang keuangan, ketika menghadapi non-shareable
financial problem, akan melihat general information dan technical skills sebagai jalan keluar
dari masalah itu. Posisi mereka yang mendapat kepercayaan atau trust, khususnya di bidang
keuangan, memungkinkan mereka memanfaatkan general information dan technical skills yang
mereka miliki.

Anda mungkin juga menyukai