Sanitasi
Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan
lingkungan dari subjeknya, misalnya menyediakan air bersih untuk keperluan mencuci
tangan, menyediakan tempat sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).
Sanitasi sering juga disebut dengan sanitasi lingkungan dan kesehatan lingkungan, sebagai
suatu usaha pengendalian semua faktor yang ada pada lingkungan fisik manusia yang
diperkirakan dapat menimbulkan hal-hal yang mengganggu perkembangan fisik,
kesehatannya ataupun kelangsungan hidupnya (Adisasmito, 2006).
Menurut UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa
kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air, dan udara, penanganan limbah padat,
limbah cair, limbah gas, radiasi, dan kebisingan, pengendalian faktor penyakit, dan
penyehatan atau pengamanan lainnya. Melihat luasnya ruang lingkup kesehatan
lingkungan, sangatlah diperlukan adanya multi disiplin kerja agar kegiatannya dapat
berjalan dengan baik. Misalnya diperlukan tenaga ahli di bidang air bersih, ahli kimia, ahli
biologi, ahli teknik dan sebagainya (Mukono, 2006).
Hygiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial
dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna
ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan
(Entjang, 2000). Kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit,
memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan melalui usaha-usaha
pengorganisasian masyarakat untuk perbaikan sanitasi lingkungan, pemberantasan
penyakit menular, pendidikan kesehatan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
C. Sanitasi dasar
Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan
lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitik beratkan pada
pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia
(Azwar, 1995).
Upaya sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, pembuangan kotoran manusia,
pengelolaan sampah, dan pengelolaaan air limbah.
1. Penyediaan air bersih
Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Kebutuhan
manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi,
mencuci, dan sebagainya. Menurut perhitungan WHO di negara-negara maju
tiap orang memerlukan air antara 60-120 liter per hari. Sedangkan di negara-
negara berkembang, termasuk Indonesia tiap orang memerlukan air antara 30-
60 liter per hari (Mubarak dan Chayatin, 2009).
Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air
bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air
bersih yang terbatas yang memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat.
Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 150-
200 liter atau 35-40 galon. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung
pada keadaan iklim, standart kehidupan, dan kebiasaan masyarakat (Chandra,
2007).
Air yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia harus berasal dari
sumber yang bersih dan aman. Batasan-batasan sumber air yang bersih dan
aman tersebut, antara lain (Mubarak dan Chayatin, 2009) :
- Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit.
- Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun.
- Tidak berasa dan tidak berbau.
- Dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan rumah
tangga.
- Memenuhi standart minimal yang ditentukan oleh WHO atau Departemen
Kesehatan RI.
Persyaratan tersebut juga tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No.416 Tahun 1990 . Penyediaan air bersih harus memenuhi dua syarat yaitu
kuantitas dan kualitas ( Depkes RI, 2005).
D. Status gizi
1. Pengertian balita
Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik
pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun, dimana umur 5 bulan berat badan naik 2
kali berat badan lahir dan berat badan naik 3 kali dari berat badan lahir pada umur
1 tahun dan menjadi 4 kali pada umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada
masa pra sekolah kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg per tahun, kemudian
pertumbuhan konstan mulai berakhir (Soetjiningsih, 2001).
Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam
pencapaian keoptimalan fungsinya, pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi
serta menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran
sosial, emosional dan intelegensia (Supartini, 2004).
2. Pengertian Gizi
Pengertian gizi dalam kesehatan reproduksi adalah bagaimana seoarang
individu, mampu untuk mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan oleh
tubuhnya, agar individu tersebut tetap berada dalam keadaan sehat dan baik secara
fisik atau mental. Serta mampu menjalankan sistem metabolisme dan reproduksi,
baik fungsi atau prosesnya secara alamiah dengan keasan tubuh yang sehat
(Marmi, 2013).
3. Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara
jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh
tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan,
aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya) (Suyanto, 2009). Status gizi dapat
pula diartikan sebagai gambaran kondisi fisik seseorang sebagai refleksi dari
keseimbangan energy yang masuk dan yang dikeluarkan oleh tubuh (Marmi,
2013).
Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat
keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang
dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk
ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya
(Nix, 2005). Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh
semua orang (Apriadji, 1986).
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan
keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi
yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih
sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007).
Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana
jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang
dikeluarkan (Nix, 2005). Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk
melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan
zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang
menjadi gemuk (Apriadji, 1986).
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
a. Faktor external
Faktor external yang mempengaruhi status gizi antara lain (Marmi, 2013):
1) Pendapatan
Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya dalah taraf ekonomi
keluarga, yang hubungannya dengan daya beli keluarga tersebut.
2) Pendidikan
Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan, sikap
dan perilaku orang tua atau masyarakat tentang status gizi yang baik.
3) Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupan keluarganya. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan keluarga.
4) Budaya
Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku dan
kebiasaan.
b. Faktor internal
Faktor internal yang mempengaruhi status gizi anatara lain (Marmi,
2013):
1) Usia
Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang dimiliki
orang tua dalam pemberian nutrisi pada anak dan remaja.
2) Kondisi
fisik Seseoarang yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang
lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status kesehatan
mereka yang buruk. Anak dan remaja pada periode hidup ini kebutuhan zat
gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat.
3) Infeksi
Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau
menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan.
5. Indikator Status Gizi
Balita Masa balita merupakan masa yang menentukan dalam tumbuh
kembangnya, yang akan menjadikan dasar terbentuknya manusia seutuhnya.
Karena itu pemerintah memandang perlu untuk memberikan suatu bentuk
pelayanan yang menunjang tumbuh kembang balita secara menyeluruh terutama
dalam aspek mental dan sosial. Pertumbuhan dan perkembangan saling
mendukung satu sama lain perkembangan seorang anak tidak dapat maksimal
tanpa dukungan atau optimalnya pertumbuhan. Misalnya seorang anak yang
kekurangan gizi akan mempengaruhi perkembangan mental maupun sosialnya,
oleh karena itu keduanya harus mendapat perhatian baik dari pemerintah,
masyarakat maupun orang tua. Salah satu indikator untuk melihat pertumbuhan
fisik anak adalah dengan melihat status gizi anak dalam hal ini balita. Sebagai alat
ukur untuk mengetahui tingkat perkembangan seorang anak dengan menggunakan
kartu menuju sehat (KMS) (Soetjiningsih, 2002).
Semua kejadian yang berhubungan dengan kesehatan anak sejak lahir sampai
berumur lima tahun, perlu dicatat dalam KMS, misalnya identitas anak, tanggal
lahir dan tanggal pendaftaran, serta penyakit yang pernah dideritanya. KMS berisi
pesan-pesan penyuluhan tentang penanggulangan diare, makanan anak. Sehingga
ibu senantiasa membawa KMS pada semua kegiatan kesehatan dan cenderung
ingin kontak dengan petugas kesehatan untuk merujuk anaknya. Hal ini dapat
digunakan sebagai pengamatan status gizi anak, disamping mempunyai kelebihan
maupun kekurangannya (Soetjiningsih, 2002).
Indikator status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut umur ada
kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan tersebut diantaranya dapat lebih mudah
dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, dapat mendeteksi kelebihan
maupun kekurangan gizi, sensitivitas untuk melihat perubahan status gizi,
sedangkan kekurangannya adalah dapat mengakibatkan interprestasi status gizi
yang keliru bila terdapat oedem, memerlukan data umur yang akurat, sering
terjadi dikesalahan dalam pengukuran, misal karena pengaruh pakaian atau
gerakan anak pada saat penimbangan.
6. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang
diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu
populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih
(Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Penilaian status gizi terdiri dari dua jenis, yaitu :
1) Penilaian Langsung
a. Antropometri
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang
berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan
tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi
dan komposisi tubuh seseorang (Supariasa, 2001). Metode antropometri
sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein.
Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi
zat-zat gizi yang spesifik (Gibson, 2005).
b. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan
perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan
maupun kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada
jaringan epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan
organ yang dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid) (Hartriyanti
dan Triyanti, 2007).
c. Biokimia
Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium. Pemeriksaan
biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya
defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan
pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat
gizi atau adanya simpanan di jaringan yang paling sensitif terhadap
deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis. Cara lain adalah dengan
menggunakan uji gangguan fungsional yang berfungsi untuk mengukur
besarnya konsekuensi fungsional daru suatu zat gizi yang spesifik Untuk
pemeriksaan biokimia sebaiknya digunakan perpaduan antara uji
biokimia statis dan uji gangguan fungsional (Baliwati, 2004).
d. Biofisik Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan
struktur jaringan yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti
kejadian buta senja (Supariasa, 2001).
2) Penilaian Tidak Langsung
a. Survei Konsumsi
Makanan Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status
gizi dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh
individu maupun keluarga. Data yang didapat dapat berupa data
kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui jumlah
dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat
diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga dalam
memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi (Baliwati, 2004).
b. Statistik Vital
Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui
data-data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi,
seperti angka kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan
dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi
yang berkaitan dengan kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c. Faktor Ekologi
Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah
gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor
biologis, faktor fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor
ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah
(malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna
untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2001).