PENDAHULUAN
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
nefrolitiasis).1
Batu ginjal yang terletak di kaliks selain oleh indikasi umum, perlu
dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu sering harus dikeluarkan
melalui nefrolitotomi yang tidak gampang karena batu biasanya tersembunyi di
dalam kaliks. Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis,
infeksi, atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih
lagi yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal.
Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk
bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended
pyelolitotomi).2
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri
bahkan hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan.
Tujuan anestesi yaitu hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Anestesi dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi umum. Anestesi umum
adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible).7 Cara pemberian anestesi umum
dapat diberikan dengan cara parenteral, perektal maupun inhalasi. Sebagian besar
obat-obat yang diberikan selama anestesi diekresikan di ginjal. Untuk itu, perlu
pertimbangan khusus dalam memilih obat-obat yang akan diberikan selama
anestesi terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2.1 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama:
- Merokok : (+)
- Minum Alkohol : (-)
- Minum jamu-jamuan : (-)
- Riwayat alergi makanan : (-)
c. Tidak menggunakan gigi palsu
a. Vital Sign
LABORATORIUM
RADIOLOGI
d. Rontgen-Thorax PA
Kesan: Cor dan pulmo normal
e. BNO-IVP (28-7-2018)
Kesan: Hidronefrosis dan nefrolithiasis bilateral
Maintenance (M)
M = 2 cc/KgBB/jam
M = 2 x 53 ml 106 cc/jam
P = 106X6 636 cc
Stres operasi (O)
O = BB X 8 (Operasi Besar)
O = 53 X 8 424 ml
EBV : 65 x BB
EBV : 65 x 53 3445 cc
LAPORAN ANESTESI
MONITORING
- Aktifitas :2
- Pernafasan :2
- Warna kulit :2
- Sirkulasi :2
- Kesadaran :2
Jumlah : 10
3. Bivalve Pyelolithotomy
Disebut juga anatrophic nefrolitotomi digunakan paada
pasien dengan Staghorn Calculi dimana bagian terbesar daari batu
berada pada caaliceal dan infundibular. Jika terjadi stenosis pada
infundibular tindakan ini merupakan indikasi utama. Indikasi lain
dilakukan tekhnik ini jika pecahan batu tidak dapat dikeluarkan
dengan pendekatan intrasinusal yang diperluas juga pada penderita
yang sebelumnya telah dilakukan pyelolitotomi dan kemudian
menderita btu cetak ginjal.
Setelah ginjal dipaparkan melalui irisan flank biasanya
menggunakan insisi interkostal antra kosta 11 dan 12. Identifikasi
ureter dan diseksi dilanjutkan keatas untuk memparkan pelvis
renalis. Ginjal seluruhnya dimobilisasi dengan menggunakan
diseksi tajam dan tumpul, pasang pita umbilikal mengelilingi ginjal
yang berfungsi sebagai pegangan. Identifikasi arteri renalis dengan
palpasi dan bebaskan dari jaringan sekitarnya untuk memudahkan
bila akan diklem. Identifikasi arteri segmentalis pesterior dan
anterior melalui diseksi lateral sepanjang arteri renalis, berikan
manitol 12.5 mg secara IV, 5 menit sebelum arteri renalis diklem.
Dengan pita umbilikal sebagai pegangan, tempatkan suatu kantong
mengelilingi ginjal sebagi tempat meletakkan butiran-butiran es
untuk mendinginkan permukaan (surface cooling) segera ginjal
dibungkus dengan es sampai suhu 10-15oC, biasanya dicapai
dengan pendinginan selama 15 menit. Lakukan insissi longitudinal
pada kapsul ginjal pada permukaan posterior tepat pada garis
Broder yang berjarak kira-kira 0,5 cm posterior dari permukaan
terluas cembung ginjal. Irisan ini tidak dianjurkan melewati
segmen apikal maupun basilar ginjal, tetapi bila dibutuhkan, insisi
dapat diperluas ke masing-masing katup ginjaal sehingga akhirnya
ginjal akan terbelah menjadi dua. Insisi yang tepat pada ginjal
dapat dicapai dengan mngklem arteri segmentalis anterior dan
membiarkan a. Segmentalis poserior tetap terbuka, injeksikan
secara IV 20ml methylene blue, maka segmen posterior tetap
terbukaa, injeksikan secara IV 20 ml methylene blue, maka segmen
posterior dari parenkim ginjal akan berwarna biru sehingga bidang
antara segmen anterior dan posterior mudah diidentifikasi.
Sangatlah penting mencapai kaliks posterior melalui bidang yang
tepat sesuai garis Brodel.
Kapsul ginjal kemudian dibebaskan dari parenkim ginjal
dengan diseksi tumpul kemudian parenkim ginjal dibelah secara
tajam sesuai garis inisisi kapsul ginjal, kaliks posterior yang berisi
batu staghorn diidentifikasi dengan palpasi, kemudian dibuka pada
permukaan anteriornya, insisi kemudian diperlua sampai ke pelvis
renalis, insisi dilanjutkan ke kaliks anterior melalui insisi pada
permukaan posterior dari kaliks anterior, maka berangsur-angsur
seluruh batu staghorn dapat dipaparkan. Sebelum ekstraksi batu,
uretero pelvic jungtion diklem untuk mencegah fragmen-fragmen
batu turun ke ureter. Cuci seluruh medan operasi dengan NaCl
sampai bersih, tempatkan kateter kecil melalui ureter ke vesika
urinaria. Roentgenogram intraoperatif dilakukan untuk menjamin
bahwa semua telah diambil. Fragmen-fregmen batu yang kecil bila
ada, dapat diambil dengan nerve hook, dan bila sisa batu terdapat
pada parenkim ginjaal dan dapat dipalpasi, suatu radial nefrotomi
dapat dilakukan. Rekonstruksi internal dari kolekting sistem adalah
bagian yang terpenting pada operasi ini. Bila mungkin lakukan
kalikorafi dengan menjahit tepi-tepi dari kaliks mayor yang
berdekatan secara bersama-sama.
Kemudian dilanjutkan dengan kalikoplasti. Calycoplasti
adalah tindakan untuk memperbesar leher kaliks yang sempit, agar
tidak terjadi sitasisi urin dan mempekecil kemungkinan untuk
timbulnya batu residif pada kaliks tersebut.
Pasang double J stend dengan ujung atas berada pada kaliks
mayor katup bawah ginjal, fiksasi double J stend pada pelvis
renalis dengan jahitan kromik lima nol Lepaskan klem bulldog
beberapa detik untuk identifikasi adanya sumber perdarahan dan
untuk mengetahui hemostasis yang telah dicapai. Nefrostomi
longitudinal ditutup dengan jahitan kromik 4-0 dimulai dengan
jahitan kontinyu pada ujung-ujung dari kolekting sistem sedangkan
bagian sentral dijahit dengan memasang jahitan belum diikat pada
beberapa tempat untuk menjamin aproksimasi yang tepat dari
kolekting sistem kemudian jahitan diikat satu demi satu
Kapsul ginjal ditutup dengan jahitan terputus dengan
menggunakan kromik tiga nol lalu lepaskan klem bulldog dari
a.renalis, kemudian ginjal dihangatkan dengan cairan irigasi,
pasang draine di ruang retroperitonial, lalu luka operasi ditutup
lapis demi lapis
4. PNCL (Percutaneus Nephrolithotomy)
Merupakan cara untuk mengeluarkan batu yang berada
dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke
dalam sistem kalises melalaui insisi pada kulit. Secara umum
PCNL memiliki 4 langkah operasi : percutaneus renal access,
dilatasi traktus, fragmentasi batu dan ekstraksi, dan drainase
postrektraksi. Tiap langkah-langkah ini memerlukan ketelitian dan
dilakukan secara mendetail, dan dalam beberapa kasus dimana satu
metode ini gagal maka tindakan alternative mungkin diperlukan.
Kontraindikasi absolut untuk dilakukannya PCNL adalah
coagulopathy yang belum dikoreki dan pasien harus menghentikan
konsumsi obat-obatan seperti aspirin, dan antiinflamasi nonsteroid
selama 7-10 hri sebelum operasi. Posisi yang digunakan untuk
PNCL adalah posisi prone atau tengkurap dimana bahu dan siku
difleksikan dann membentuk sudut < 90o serta lutut juga
difleksikan lalu kemudiann bantal yang panjang ditempatkan
secara longitudinal dari bahu sampai pangkal iliaka. Batu
kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi
fragmen-fragmen kecil. Tekhnik ini menggunakan tindakan
infasive minimal, PNCL ini diindikassikan untuk batu yang
berukuran lebih dari 2 cm, kira-kira 85% pasien yang diterapi
dengan PNCL akan pulih dalam waktu 3 bulan dan hasil jangka
panjangnya sama dengan operasi terbuka atau open surgery.
5. Kombinasi PCNL dan ESWL
Tindakan ini dilakukan dengan cara pasien terlebih dahulu
diterapi dengan PCNL deulking lalu kemudian diikutii dengan
ESWL (ekstracoporeal shock wave lithotripsi) diamana sisa dari
batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan-pecahan
batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan
hematuri. Prinsip dari ESWL itu sendiri adalah menghasilkan focus
shocked wave berenergi tinggi dimana gelombang yang dihasilkan
iniakan mendeteksi keberadaan batu pada traktus urinarius lalu
kemudian menghancurkannya menjadi fragmen-fragmen kecil.
ESWL diindikasikan untuk terapi batu ginjal yang memiliki
ukuraan < 1,5 – 2 cm. Pemasangan internal stent direkomendasikan
untuk batu yang berukuran > 1,5cm untuk mencegah obstruksi dari
ureter akibat pasase fragmen-fragmen batu yang telah dipecahkan
tadi.
4.3 Anestesi Umum (General Anesthesia)
4.3.1 Definisi7
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri
bahkan hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan.
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias
anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.
4.3.2 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum
Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestisia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu
dikonversikan menjadi anestesia umum.
Keuntungan anestesia umum
Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
Memudahkan kontril penuh ventilasi pasien.
Kerugian anestesia umum
Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan
buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik
tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien > 50 tahun anjuran pemeriksaan EKG
dan foto toraks. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium, dibuat rencana obat dan teknik anestesi yang akan
digunakan.
a. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anesthesia.
b. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (TheAmerican Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5
kelompok atau kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
c. Klasifikasi Mallapati
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang
dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan
menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.
Gambar 4.2 Mallampati Classification and Cormack-Lehanne
Classification
d. Premedikasi10
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2
jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
b. Obat-obat Anestesi
Premedikasi
1. Barbiturat: Kini barbiturat jarang digunakan, kecuali phenobarbital
yang masih dipakai pada pasien epilepsi anak dan dewasa, 24%
phenobarbital dieksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan.
2. Belladonna Alkaloids: 20-50% dosis atrofin ditemukan tanpa
mengalami perubahan di urin atau dalam bentuk metabolit aktif. Hal
yang sama juga ditemukan pada glycopyrrolat. Sehingga dapat terjadi
akumulasi obat-obat tersebut pada pasien dengan gagal ginjal, pada
dosis tunggal tidak menyebabkan masalah klinis. Skompolamin hanya
1/10 yang ditemukan dalam urin dalam bentuk atrofin. Sebagai
premedikasi skopolamin memuaskan untuk pasien gagal ginjal.
3. Senyawa Phenothiazin dan Benzodiazepin: Phenothiazin dan
derivat benzodiazepine dimetabolime di hepar sebelum dieksresi.
Sehingga, setiap peningkatan nyata durasi atau intensitas aksinya yang
berhubungan dengan pemberian adalah karena efek sistemik umum
daripada efek spesifik obat tersebut. Kerugian dari derivat phenotiazin
adalah blokade alpha adrenergik, sehingga dapat menyebabkan
ketidakstabilan kardiovaskular pada pasien yang baru menjalani
dialisa yaitu terjadi hipovolemi.
4. Opioid: Ikatan protein dengan morfin menurun sekitar 10% pada
gagal ginjal. Morfin hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar
menjadi bentuk inaktif yaitu glukoronida, yang diekstresikan lewat
urin. Sehingga pemberian pada pasien dengan gagal ginjal terutama
pada dosis analgesia tidak menyebabkan depresi yang memanjang.
Meskipun demikian, terdapat laporan depresi respirasi dan
kardiovaskular pada pasien dengan gagal ginjal pada pemberian
morfin dosis tunggal 8 mg. Distribusi, ikatan protein dan eksresi
meperidin mirip dengan morfin. Akumulasi metabolit normeperidin
dapat menghasilkan efek eksitasi sistem syaraf pusat yaitu terjadinya
konvulsi. Fentanyl juga dimetabolisme dihepar, hanya 7 % dieksresi
tanpa mengalami perubahan di urine. Ikatan dengan protein plasma
moderat (fraksi bebas, 19%) dan volume distribusinya besar. Sehingga
fentanyl cocok untuk premedikasi pada pasien dengan gagal ginjal.
Induksi
1. Obat-obat anastesi inhalasi: Semua obat anestesi inhalasi mengalami
biotransformasi sampai taraf tertentu, dengan sebagian besar
metabolisme produk non volatil dieksresi oleh ginjal. Akan tetapi,
efek reversibel terhadap sistem syaraf pusat dari obat-obatan inhalasi
ini tergantung pada eksresi paru, sehingga kegagalan fungsi ginjal
tidak akan mempengaruhi respon terhadap obat tersebut.
Methoxyfluran kontra indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal
karena biotransformasinya menajadi nephrotoksik florida inorganik
dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi menjadi
florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya 19 mM
pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang,
secara signifikasn nilainya lebih rendah dari ambang nephrotoksis
yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak menyebabkan
gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar flurida dari isoflurana adalah 3-5
mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan, sehingga obat-obat
tersebut tidak potensial nephrotoksis.
Desfluran dan sevofluran, berbeda dalam stabilitas molekular dan
biotransformasinya. Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap
degradasi soda lime dan hepar. Eksresi dari florida organik dan
inorganik minmal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC
(minimum alveolar concentration)/ jam desflurane adalah kurang dari
1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal
normal.
Sevoflurane, sangat tidak stabil. Soda lime menyebabkan
dekomposisi. Biotranformasinya oleh hepar sama seperti enfluran.
Terdapat laporan konsentrasi inorganik plama mencapai kadar
nephrotoksik (50 mmol/L) setelah dipapar dengan inhalasi sevofluran.
Akan tetapi, tidak ada bukti terjadi perubahan pada fungsi ginjal
manusia. Anastesi inhalasi menyebabkan depresi reversibel pada
fungsi ginjal. GFR, aliran darah ginjal, keluaran urin dan eskresi
sodium di urin menurun. Mekanisme dalam pengurangan aliran darah
ginjal, mungkin karena faktor neurohormonal (hormon antidiuretik,
vasopressin, renin) atau respon neuroendrokrin. Meskipun sebagian
besar anastesi inhalasi mengurangi GFE dan eksresi sodium urin, efek
pada aliran darah ginjal masih merupakan kontroversi. Hal ini dapat
dijelaskan karena perbedaan dari metodologi eksperimental. Data
menyatakan bahwa aliran darah ginjal dipelihara oleh halotan,
isofluran dan desfluran tetapi diturunkan oleh enfluran dan sevofluran.
Pasien dengan penyakit ginjal berat kadar hemoglobinnya 6-8 g/
100mL. Meskipun kapasitas pengangkutan oksigen adekuat pada
keadaan tidak teranastesi, shunt intrapulmonal dan pengurangan
cardiac output dapat terjadi pada anastesi umum. Sehingga untuk
menghidari hipoksemia intra anastesi, di sarankan tidak memberikan
konsentrasi tinggi N2O.
2. Obat-obat anastesi intravena: Efek reversibel terhadap sistem saraf
pusat setelah pemberian ultrashort-acting barbiturat, seperti thiopental
dan methohexital, terjadi sebagai akibat redististribusi, metabolisme
hepar merupakan jalur eliminasi obat-obat tersebut. Thiopental 75-
85% terikat albumin, konsentrasi tersebut berkurang pada uremia.
Karena ikatannya tinggi, pengurangan ikatan dapat menyebabkan
pemberian dosis thiopental yang tinggi untuk dapat mencapai reseptor.
Thiopental merupakan asam lemah dengan nilai pKa pada nilai
fisiologis, asidosis akan terjadi pada keadaan tidak terionisasi, tidak
terikat, thiopental aktif. Pada kombinasi bentuk tersebut dapat
meningkatkan fraksi bebas thiopental dari 15 persen pada pasien
normal menjadi 28 persen pada pasien gagal ginjal. Karena
metabolime thiopental tidak mengalami perubahan pada gangguan
ginjal, jumlah thiopental untuk anastesi dikurangi.
Ketamin terikat dengan protein ikatannya kurang bila
dibandingkan dengan thiopental dan tampaknya gagal ginjal
berpengaruh minimal pada fraksi bebasnya. Redistribusi dan
metabolisme hepar bertanggung jawab untuk terminasi efek
anastesinya, dengan < 3% obat dieksresi tanpa mengalami perubahan
di urin.11
Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk
inaktif yang dieksresi oleh ginjal. Farmakokinetik tampaknya tidak
mengalami perubahan pada pasien dengan gagal ginjal. Induksi
standar dengan propofol aman untuk gagal ginjal. Kelompok
benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Gagal ginjal kronik
meningkatkan fraksi bebas benzodiazepin dalam plasma, berpotensi
meningkatkan efek klinik. Metabolit benzodiazepin tertuntu secara
farmakologik aktif dan potensial diakumulasi dengan pemberian dosis
ulangan obat induk pada pasien anephrik. Sebagai contoh 60-80%
midazolam dieksresi dalam bentuk aktif metabolit hydroxy, yang
dapat terakumulasi selama pemberian lama infus midazolam pada
gagal ginjal.
Obat pelumpuh otot dan antogonisnya
Anastesi umum dengan musle relaksan biasa digunakan pada
pembedahan ginjal terbuka. Suksinilkolon dimetabolisme dengan
bantuan pseudokolinesterase menghasilkan produk non toksik yaitu
asam suksinik dan kolin. Prekusor metabolik dari dua senyawa
tersebut adalah suksinilmonokolin dieksresi oleh ginjal. Sehingga
pemberian dosis tinggi suksinilkolin karena pemberian panjang
perinfus sebaiknya dihindari pada pasien gagal ginjal. Terdapat
laporan bahwa pseudokolinesterase dikurangi pada keadaan uremia.
Akan tetapi nilainya jarang rendah untuk memperpanjang waktu
pemblokan. Hemodialisis dilaporkan tidak mempunyai efek terhadap
kadar kolinesterase. Pemberian suksinilkolin menyebabkan
peningkatan cepat dari konsentrasi potasium serum 0.5 mEq/ L.
Peningkatan serum potasium berbahaya pada pasien uremia dengan
peningkatan kadar potasium, sehingga penggunaan suksinilkolin
adalah tidak dianjurkan kecuali pasien menjalani dialisis dalam 24 jam
sebelum operasi. Apabila pasien telah menjalani dialisis penggunaan
suksinil kolin dilaporkan aman.
Disposisi pelumpuh otot non depolasisasi telah dipelajari akhir-
akhir ini. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, fraksi ekresi dosis
tinggi d-tubokurarun (dTc) ditemukan diurin, eksresi dTc terlambat
pada pasien gagal ginjal, kliren dikurangi dan distribusi volume tidak
berubah. Karena ikatan protein dan sensitivitas neuromuskular juntion
terhadap dTc sehingga tetap pada pasien dengan gagal ginjal.
Konsekuensi dari keterlambatan eksresi adalah memanjangnya aksi
durasi. Tetapi tidak nyata pada pemberian dosis tunggal rendah.
Farmakokinetik dari metocurin dan gallamin berbeda secara
kuantititif daripada kulaitatif dengan dTc. Lebih dari 90 persen dosis
injeksi gallamin dieliminasi tanpa mengalami perubahan diurin dalam
24 jam. Sedangkan hanya 43 persen dosisi metocurin dieksresi tanpa
mengalami perubahan dalam waktu yang sama. Dosis gallamin
ditemukan dalam dosis yang kecil karena redistribusi sehingga secara
teori dapat dipakai pada penderita dengan pengurangan fungsi ginjal.
Sekitar 40 – 50% pancuronum dieksresi diurin. Pancurinium memiliki
waktu paruh eliminasi akhir panjang pada pasien dengan pengurangan
fungsi ginjal, sehingga dalam pemberian harus hati-haru terutama
ketika beberapa dosis dibutuhkan.
Dua pelumpuh otot nondepolarisasi yaitu atracurium dan
vecuronium dikenalkan pada praktek klinik tahun 1980-an.
Atracurium aksinya memanjang pada penurunan fungsi ginjal.
Atracurium dan cisatracurium dirusak oleh enzim ester hidrolisis dam
oleh degradasi alkalin non enzim (eliminasi Hofman) menjadi bentuk
tidak aktif dan tidak tergantung pada eksresi ginjal untuk mengakhiri
aksinya. Dapat diprediksi waktu paruh eliminasi akhir dan tanda blok
neuromuskular (onset, durasi dan recovery) sama pada pasien normal
dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal Farmakokinetik dan
farmakodinamik vecuronium pada pasien normal dan ganguan ginjal
adalah sekitar 30% dosis vecurium dieksresi oleh ginjal sehingga pada
pasien dengan gagal ginjal durasi blokade muskular pada pemberian
vecurium dapat lebih lama. Doxacurium durasi aksinya lebih panjang
pada pasien gagal ginjal. Aksi durasi pelumpuh otot lainnya seperti
pipecuronium bervariasi pada pasien gagal ginjal. Mivacurium bersifat
short acting dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Efeknya
memanjang sekitar 10 sampai 15 menit pada pasien stadium akhir
penyakit ginjal.
Inhibitor kolinesterase yaitu neostigmin, pyridostigmin dan
edrophium. Tidak ada perbedaan menonjol diantara ketiga obat
tersebut. Eksresi ginjal adalah penting dalam mengeliminasi ketiga
obat tersebut. Sekitar 50% neostigmin dan 70% pyridostigmin dan
edrophonium dieksresi dalam urin. Eksresi semua inhibittor kolin
esterase lebih lambat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Digoksin merupakan digitalis glikosida yang digunakan pada pasien
uremia dan non uremia. Sekitar 72% dosis parenteral dieksresi dalam
bentuk yang tetap diurin. Sehingga pemberian pada gangguan fungsi
ginjal potensial berbahaya dan dosis pemeliharaan harus dikurangi
pada penyakit ginjal.
Pemeliharaan
Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi
sebab eksresinya melalui sistem respirasi, adanya gangguan fungsi
ginjal tidak akan mengubah obat tersebut. Isoflouran, halotan dan
terutama desfularan dimetabolisme dihepar sehingga tidak mempunyai
efek nephrotoksis.
3. Posisi
Posisi pasien dalam operasi ginjal khususnya extended
pyelolithotomy umumnya adalah posisi lumbotomy (flank). Dilakukan
dengan posisi pasien fleksi lateral dengan sisi yang dilibatkan terletak
diatas, kepala dan kaki diposisikan lebih rendah sementara regio
lumbal yang akan dibedah lebih tinggi (Gambar 4.3). Posisi
lumbotomy ini akan mempermudah operator dalam melakukan
tindakan pembedahan (extended pyelolithotomi).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri ketok CVA kanan dan kiri.
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium dalam batas
normal.
Pembahasan:
a. Pra Anestesi
Di ketahui bahwa pasien usia 49 tahun mengalami Nefrolitiasis bilateral,
penatalaksanaan yang dilakukakan adalah tindakan pembedahan Extended
Pyelolitotomi yang telah dilakukan pada tanggal 8 Agustus 2018. Sebelum
tindakan pembedahan dilaksanakan, sehari sebelumnya pada tanggal 7 Agustus
2018 telah dilakukan kunjungan pra anestesi. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didapatkan pasien mengalami
nefrolitiasis bilateral dan hidronefrosis maka pasien ini digolongkan ke dalam
ASA II.
b. Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :
f. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena, atau
dengan inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada pasien ini rumatan
anestesi diberikan secara inhalasi dengan N2O dan O2 ditambah dengan sevofluran
1-2 %.
Pada pasien dengan penyakit ginjal, obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk
pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan
adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut.
g. Tindakan intubasi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot. Pada kasus
ini, atracurium di berikan sebanyak 30 mg. Dosis atracurium berdasarkan berat
badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/iv pada pasien ini yaitu 26,5-31,8 mg. Atracurium
besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari
tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskular secara bermakna. Atracurium aksinya memanjang pada penurunan
fungsi ginjal. Atracurium dirusak oleh enzim ester hidrolisis dam oleh degradasi
alkalin non enzim (eliminasi Hofman) menjadi bentuk tidak aktif dan tidak
tergantung pada eksresi ginjal untuk mengakhiri aksinya sehingga bisa digunakan
untuk pasien dengan penyakit ginjal.
Intubasi dilakukan pada operasi yang lebih dari 20 menit. Sementara intubasi
tidak diperlukan jika anestesi hanya dibutuhkan untuk waktu 10 menit atau
kurang. Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit, selain itu
agar lebih mudah mengatur posisi pasien selama operasi (posisi lateral). Pada
pasien ini intubasi berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher tidak
pendek, gigi depan tidak menonjol, dan mallampati 1 karena terlihat uvula,
palatum mole, serta pilar faring).
i. Ekstubasi
Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada pasien.
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali
menimbulkan kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi umumnya
dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan tidak terjadi
spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari
sekret dan cairan lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan
dimana ekstubasi dilakukan ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien sudah
mulai bernafas spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.
1. Sjamsuhidajat R dan Jong WD. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam
Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-dua. Jakarta: EGC; 2010. Hal 756-63.
2. Depkes RI., 2007. Distribusi Penyakit-Penyakit Sistem Kemih Kelamin Pasien
Rawat Inap Menurut Golongan Sebab Sakit, Indonesia Tahun 2006. Jakarta.
Diunduh tanggal 10 agustus 2018 dari URL: http://www.yanmedik-
depkes.net/statistik_rs_2007.
3. Kevin H. Karakteristik penderita batu saluran kemih rawat inap di Rumah Sakit
Haji Medan Tahun 2005-2007. (skripsi). Medan: FK USU; 2008.
4. Guyton dan Hall. Ginjal dan cairan tubuh. Dalam Buku ajar fisiologi
kedokteran. Edisi ke-sembilan. Jakarta: EGC; 2013. Hal 375-524.
5. Stoller MLS. Urinary stone disease. In Smith’s general urology. Editors:
Tanagho EA and McAninch JW. 17th edition. New Yoro: Mc Graw`Hill
Companies; 2008. P 246-75.
6. Sja’bani M. Batu saluran kemih. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor: Tjokronegoro A dan Utama H. Edisi ke-empat. Jilid I. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2013. Hal 563-7.
7. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 197-205
8. Mangku Gde, Senapathi Tjokorda Gde Agung Senapathi. 2010. Buku Ajar
Ilmu Anestesia dan Reaminasi. Bagian Obat Anestetika. Macanan Jaya
Cemerlang. Jakarta. Hal 24-36
9. Latief, S.A. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensife FKUI. Jakarta. Hal :1, 29-32
10. Muhiman muhardi, Thaib Muhadri, Sunatrio S, Dahlan Ruslan.
Anestesiologi. Premedikasi. FKUI. Jakarta. Hal :59-62