Anda di halaman 1dari 22

REFERAT SEPTEMBER, 2018

TINEA CRURIS

Disusun Oleh :
Nama : Credo Pratama Putra Arief
NIM : N 111 18 035

PEMBIMBING KLINIK
dr. Diany Nurdin, Sp.KK, M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK
KEGIATAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Credo Pratama Putra Arief


No. Stambuk : N 111 18 035
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Referat : Tinea Cruris
Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, September 2018

Pembimbing Klinik Mahasiswa

(dr. Diany Nurdin, Sp.KK., M.Kes.) (Credo Pratama Putra Arief)


NIP. NIM. N 111 18 035

2
BAB I
PENDAHULUAN

Jamur terdiri lebih dari 1,5 juta spesies di seluruh dunia. Dermatophytes
berasal dari bahasa Yunani yaitu "tanaman kulit", terkandung dalam Family
arthrodermataceae dan diwakili sekitar 40 spesies dibagi di antara tiga genera:
Epidermophyton, Microsporum, dan Trichophyton. Di Amerika Serikat, spesies
Trichophyton, dan itu T. rubrum dan T. interdigitale, mewakili yang paling umum
spesies terisolasi. Dermatofit diklasifikasikan lebih lanjut menurut habitat alami
mereka : manusia, hewan, atau tanah. Kemampuan mereka untuk melekat dan
menyerang jaringan keratin hewan dan manusia serta memanfaatkan produk
degradasi sebagai sumber nutrisi dasar molekuler untuk infeksi jamur superfisial
kulit, rambut, dan kuku, disebut dermatophytoses.1
Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis
yang disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi pejamu terhadap
produk metabolit jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan hidup.
Terdapat tiga langkah utama terjadinya infeksi dermatofit, yaitu perlekatan
dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan di antara sel, serta terbentuknya
respon pejamu. Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan,
antara lain iklim yang panas, hygiene perseorangan, sumber penularan, penggunaan
obat-obatan steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas dan kemampuan invasi
organisme, lokasi infeksi serta respon imun dari pasien.2
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang
disebabkan oleh jamur dermatofita dari famili arthrodermataceae dengan lebih dari
40 spesies yang dibagi dalam tiga genus : Epidermophyton, Microsporum, dan
Trichophyton. Kemampuannya untuk membentuk ikatan molekuler terhadap
keratin dan menggunakannya sebagai sumber makanan menyebabkan mereka
mampu berkolonisasi pada jaringan keratin. Pada penamaan infeksi klinis
dermatofitosis, kata tinea mendahului nama latin untuk bagian tubuh yang terkena.3

3
Tinea kruris sebagai salah satu dermatofitosis, disebabkan oleh jamur
golongan dermatofita, terutama suatu kelas Fungi imperfecti, yaitu Genus
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Tinea kruris sering ditemukan
pada kulit lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Penyakit ini
merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal, yaitu sekitar 65-
80% dari semua penyakit kulit di inguinal. Faktor penting yang berperan dalam
penyebaran tinea kruris adalah kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, daerah
pedesaan yang padat, dan kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau lembab.
Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko tambahan oleh karena
keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan infeksi. Penyakit ini dapat
bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung
seumur hidup.4
Distribusi penyebaran spesies penyebab dan karakteristik tinea kruris dan
tinea korporis bervariasi bergantung berbagai faktor, yaitu kondisi geografi, iklim,
populasi, gaya hidup, migrasi, kultur budaya, tingkat pendidikan dan sosioekonomi.
Gambaran klinis yang sering ditemukan pada tinea kruris adalah makula dan papula
eritema, hiperpigmentasi dan skuama, pada tinea korporis adalah makula dan
papula eritema, hiperpigmentasi dan skuama, dan pada tinea kruris et korporis
adalah makula eritema dan skuama. Tidak ditemukan lesi kulit berupa vesikel atau
pustula pada seluruh peserta pasien tinea kruris dan/atau tinea korporis. Hal ini
menunjukkan bahwa gambaran klinis lesi kulit noninflamasi hingga inflamasi yang
ringan. Berdasarkan hal-hal di atas, maka sesuai dengan hasil kultur bahwa
gambaran klinis lesi kulit pada pasien tinea kruris dan/atau tinea korporis
disebabkan oleh golongan jamur antropofilik (T. rubrum dan E. floccosum). 5
Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan penulisan referat ini untuk
menguraikan mengenai penyakit Tinea Kruris. Sehingga dapat memberikan
manfaat mengenai klasifikasi dan tatalaksana yang tepat pada pasien yang
mengalami Tinea Kruris untuk mengurangi keluhan penyakit tersebut.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Tinea Kruris (TK) adalah mikosis superfisial yang termasuk
golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah higiene sanitasi,
iklim panas, lembab, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat yang
berlebihan, trauma kulit, dan lingkungan. Tinea kruris merupakan keadaan
infeksi jamur yang sering terjadi di seluruh dunia dan paling sering di
daerah tropis. Keadaan lembab dan panas berperan pada timbulnya
penyakit. Tinea kruris lebih sering pada pria dibanding wanita, salah satu
alasannya karena skrotum menciptakan kondisi yang hangat dan lembab.6
Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema
marginatum, Dobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin 7. yang
termasuk golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.8

2. EPIDEMIOLOGI
Dermatofitosis memiliki distribusi di seluruh dunia tetapi endemic
daerah tropis seperti pertumbuhan dermatofit difasilitasi oleh kondisi
andmoist hangat. Selain iklim, variabilitas dalam distribusi dermatophyta di
seluruh dunia dikaitkan dengan faktor-faktor lain seperti pola migrasi
penduduk, gaya hidup, kisaran inang primer, kekebalan tuan rumah
sekunder, adanya penyakit kekebalan, dan sikap pasien untuk meminta
perawatan berikut sentation pra klinis dan standar hidup.9
Infeksi penyakit oleh jamur dapat ditemukan hampir di seluruh
daerah Indonesia karena merupakan wilayah yang baik untuk pertumbuhan

5
jamur. Iklim dan kondisi geogafis di Indonesia memudahkan pertumbuhan
jamur sehingga menyebabkan banyaknya kasus infeksi jamur. Insidensi
penyakit yang disebabkan oleh jamur di Indonesia berkisar 2,93-27,6%
untuk tahun 2009-2011.3
Hingga saat ini infeksi jamur superfisial masih umum ditemukan di
seluruh dunia. Iklim tropis di Indonesia dengan suhu dan kelembaban tinggi
membuat suasana yang baik untuk pertumbuhan jamur sehingga
diperkirakan insidens penyakit ini cukup tinggi di masyarakat. Pada data
dari berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran negeri tahun 2009-2011,
Bandung menempati urutan pertama insiden dermatofitosis pada tahun
2009, sedangkan Manado (50,6%) di urutan ke 10. Pada tahun 2011 Manado
masih menempati urutan ke 10 insiden dermatofitosis yaitu 48,5%. 10
Tinea kruris merupakan keadaan infeksi jamur yang sering terjadi
di seluruh dunia dan paling sering di daerah tropis. Keadaan lembab dan
panas berperan pada timbulnya penyakit. Faktor-faktor yang memegang
peranan untuk terjadinya dermatomikosis adalah iklim yang panas, higiene
sanitasi sebagian masyarakat yang masih kurang, adanya sumber penularan
disekitarnya,kontak langsung oleh penderita tinea kruris atau dengan kontak
tidak langsung seperti melalui penngunaan handuk bersama,alas tempat
tidur,dan segala hal yang dimiliki pasien tinea kruris. 11

3. ETIOLOGI
Penyebab dari Tinea kruris adalah Trichophyton rubrum dan
Epidermophyton floccosum. Dapat juga disebabkan oleh Trichopyton
mentagrophytes dan Trichopyton verrucosum. Infeksi Tinea kruris dapat
disebabkan oleh infeksi langsung (autoinoculation) misalnya karena
penderita sebelumnya menderita Tinea manus, Tinea pedis, atau Tinea
unguium. Dapat juga ditularkan secara tidak langsung, misalnya melalui
handuk. 12
Faktor-faktor yang memegang peranan untuk terjadinya
dermatomikosis adalah iklim yang panas, higiene sanitasi sebagian

6
masyarakat yang masih kurang, adanya sumber penularan disekitarnya,
kontak langsung oleh penderita tinea kruris atau dengan kontak tidak
langsung seperti melalui penngunaan handuk bersama,alas tempat tidur,dan
segala hal yang dimiliki pasien tinea kruris. 6

4. PATOGENESIS
A. MEKANISME PENULARAN DERMATOFITOSIS
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia.
Ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau
tanpa reaksi radang (silent “carrier”).2
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia.
Ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung
melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau
sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat
makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah
anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit. 2
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia.
Secara sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi
radang. Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat
mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus
mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu,
serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu
bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu
dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang. 2

B. MEKANISME INFEKSI DERMATOFIT. 2


a. Perlekatan dermatofit pada keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal
setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang

7
memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis
keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum.
Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan
mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator
plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein
ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh
kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara
artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma
atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada
korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.2

Gambar 1. Epidermomikosis dan trikhomikosis. Epidermomikosis (A),


dermatofit (titik dan garis merah) memasuki stratum korneum dengan
merusak lapisan tanduk dan juga menyebabkan respons radang (titik
hitam sebagai sel-sel radang) yang berbentuk eritema, papula, dan
vasikulasi. Sedangkan pada trikhomikosis pada batang rambut (B),
ditunjukkan titik merah, menyebabkan rambut rusak dan patah, jika
infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut, akan memberikan respons
radang yang lebih dalam, ditunjukkan titik hitam, yang mengakibatkan
reaksi radang berupa nodul, pustulasi folikel,dan pembentukan abses.2

8
b. Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum
dengan kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi
menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang
menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam untuk
germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat
pada keratin. Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan
imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa
cara2 :
1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida
yang tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan
yang terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan
dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga
jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.2
2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme
penghambatan imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons
imun mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya
Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan
komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat
aktivasi makrofag akan terhambat.2
3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara
langsung merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan
mensekresi toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan
superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan
barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan
memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang
dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat besi untuk
kehidupan aerobik. Kemampuan spesies dermatofit menginvasi
stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu
yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam melakukan
penetrasi pada stratum korneum.2

9
C. RESPONS IMUN PEJAMU
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang
memberikan respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan
respons lambat. Pada kondisi individu dengan sistem imun yang lemah
(immunocompromized), cenderung mengalami dermatofitosis yang
berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan transplantasi
dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi
oleh dermatofit non patogenik.2
a. MEKANISME PERTAHANAN NON SPESIFIK
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan
alami terdiri dari :
1. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai
barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum secara
kontinyu diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis sehingga
dapat menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya. Proliferasi
epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis,
termasuk proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi
imun yang dimediasi sel T.2
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi
berupa pustul, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis
yang terdiri darikumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat
pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme oksidatif.2
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin
dan 2-makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi
dermatofit.2

b. MEKANISME PERTAHANAN SPESIFIK


Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat
membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated
immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan

10
Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan
penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian
yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon
efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau
berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan antigen dermatofit
dan CMI. 2

a. Antigen Dermatofit
Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik
menunjukkan spesies tertentu. Dua kelas utama antigen dermatofit
adalah: glikopeptida dan keratinase, di mana bagian protein dari
glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida dari
glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Antibodi menghambat
stimulasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh keratinase, yang
dapat memberikan respons DTH yang kuat.2

b. CMI
Pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah
CMI, yaitu T cell-mediated DTH. Kekurangan sel T dalam sistem
imun menyebabkan kegagalan dalam membasmi infeksi dermatofit.
Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada hewan dan manusia, baik
secara alamiah dan eksperimental, berkorelasi dengan pembentukan
respon DTH. Infeksi yang persisten seringkali terjadi karena
lemahnya respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon
DTH, dan peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi
DTH di mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan
proliferasi kulit akibat respon DTH merupakan mekanisme terakhir
yang menyingkirkan dermatofit dari kulit melalui deskuamasi kulit.
Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri pelepasan interferon
gamma (IFN- ), ditengarai terlibat dalam pertahanan pejamu terhadap
dermatofit dan penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis.

11
Respons T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi oleh sel T
(Sitokin Th1) terlibat dalam memunculkan respon DTH, dan IFN-
dianggap sebagai factor utama dalam fase efektor dari reaksi DTH.
Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuclear memproduksi
sejumlah besar IFN- untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini
dibuktikan dengan ekspresi mRNA IFN- pada lesi kulit
dermatofitosis. Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis,
produksi IFN- secara nyata sangat rendah yang terjadi akibat
ketidakseimbangan sistem imun karena respon Th2. Sel Langerhans.
Infiltrat radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T CD4+
dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel
Langerhans CD1a+. Sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T
terhadap trichophytin, serta bertanggung jawab dalam pengambilan
dan pemrosesan antigen pada respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit.
Imunitas humoral. Pejamu dapat membentuk bermacam antibodi
terhadap infeksi dermatofit yang ditunjukkan dengan teknik ELISA.
Imunitas humoral tidak berperan menyingkirkan infeksi, hal ini
dibuktikan dengan level antibodi tertinggi pada penderita infeksi
kronis.2

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis dermatofitosis yang dilakukan secara rutin adalah
pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10-20%. Pada sediaan
KOH tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa penyempitan.
Terdapatnya hifa pada sediaan mikroskopis dengan potasium hidroksida
(KOH) dapat memastikan diagnosis dermatofitosis. Pemeriksaan
mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur
merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah
digunakan secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya
memiliki sensitivitas hingga 40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil

12
negatif palsu dapat terjadi hingga pada l5% kasus, bahkan bila secara
klinis sangat khas untuk dermatofitosis. Sensitivitas, spesifisitas, dan
hasil negatif palsu pemeriksaan mikroskopik sediaan langsung dengan
kalium hidroksida (KOH) pada dermatofitosis sangat bervariasi.
Pemeriksaan mikroskopik sediaan langsung KOH memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih rendah serta hasil negatif palsu sekitar
l5%30%, namun teknik ini memiliki kelebihan tidak membutuhkan
peralatan yang spesifik, lebih murah dan jauh lebih cepat bila
dibandingkan dingan kultur. Dengan alasan ini modifikasi teknik
pemeriksaan sediaan langsung dibutuhkan untuk meningkatkan manfaat
penggunaannya secara rutin. 4
b. Kultur Jamur
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik
namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas
yang rendah, harga yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya
pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik.
Kultur perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua
spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Metode
dengan kultur jamur menurut Summerbell dkk. di Belanda pada tahun
2005 bahwa kultur jamur untuk onikomikosis memiliki sensitivitas
sebesar 74,6%. Garg dkk. pada pada tahun 2009 di India melaporkan
sensitivitas kultur jamur pada dermatofitosis yang mengenai kulit dan
rambut sebesar 29,7% dengan spesifisitas 100%. Sangat penting bagi
masing-masing laboratorium untuk menggunakan media standar yakni
tersedia beberapa varian untuk kultur. Media kultur diinkubasi pada
suhu kamar 26°C (78,8°F) maksimal selama 4 minggu, dan dibuang bila
tidak ada pertumbuhan. 4
c. Punch Biopsi
Punch Biopsi Punch biopsi Dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan spesifisitasnya
rendah. Pada pengecatan dengan Peridoc Acid– Schiff, jamur akan

13
tampak merah muda atau dengan menggunakan pengecatan methenamin
silver, jamur akan tampak coklat atau hitam. 4
d. Lampu Wood
Penggunaan lampu wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm,
(atau sinar “hitam”) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi
penyakit kulit dan rambut. Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan
perbedaan warna pigmentasi melanin yang subtle bisa divisualisasi.
Lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma
dimana akan tampak floresensi merah bata. 4

6. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
anamnesis dapat diketahui dari lokasi awal dan waktu predileksi,
serta hal yang dapat memperparah. Tinea Kruris merupakan
dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Keadaan lembab dan panas berperan pada timbulnya penyakit. Tinea
kruris lebih sering pada pria dibanding wanita, salah satu alasannya
karena skrotum menciptakan kondisi yang hangat dan lembab.6
b. Pemeriksaan Dermatologis
Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya
kelainan kulit berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada
tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya.13 Lesi kulit dapat terbatas
pada daerah genito krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus,
daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.8
Pada sediaan KOH tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa
penyempitan. Terdapatnya hifa pada sediaan mikroskopis dengan
potasium hidroksida (KOH) dapat memastikan diagnosis
dermatofitosis. 4

14
7. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding tinea kruris adalah:
1. Dermatitis seborhoik
Keradangan yang biasanya terjadi pada sebelum usia 1 tahun atau
sesudah pubertas yang berhubungan dengan rangsangan kelenjar
sebasea. Tampak eritema dengan skuama diatasnya sering berminyak,
rambut yang terkena biasanya difus, tidak setempat. Rambut tidak patah.
Distribusi umumnya di kepala, leher dan daerah-daerah pelipatan.
Alopesia sementara dapat terjadi dengan penipisan rambut daerah
kepala, alis mata, bulu mata atau belakang telinga. Sering tampak pada
pasien penyakit syaraf atau immunodefisiensi. 14

Gambar 2. Dermatitis Seborhoik

2. Psoriasis
Merupakan penyakit kulit yang bersidat kronik,residif, dan tidak
infeksius. Efloresensi : plakat eritematosa berbatas tegas ditutupi
skuama tebal, berlapislapis dan berwarna putih mengkilat. Terdapat tiga
fenomena, yaitu bila digores dengan benda tumpul menunjukan tanda
tetesan lilin. Kemudian bila skuama dikelupas satu demi satu sampai
dasarnya akan tampak bintik-bintik perdarahan, dikenal dengan nama
Auspits sign. Adanya fenomena koebner / atau reaksi isomorfik yaitu
timbul lesi-lesi yang sama dengan kelainan psoriasis akibat bekas
trauma / garukan.15

15
Gambar 3. Psoriasis

3. Pitiriasis Rosea (Pitiriasis asbestos)


Merupakan peradangan kulit akut berupa lesi papuloskuamosa pada
badan, lengan atas bagian proksimal dan paha atas. Efloresensi : papul
/ plak eritematosa berbebntuk oval dengan skuama collarette (skuama
halus di pinggir). Lesi pertama ( Mother patch/Herald patch) berupa
bercak yang besar, soliter, ovale dan anular berdiameter 2-6 cm. Lesi
tersusun sesuai lipatan kulit sehingga memberikan gambaran
menyerupai pohon cemara (Christmas tree). 15

Gambar 4. Ptiriasis Rosea

16
8. Penatalaksanaan
A. Non-Medikamentosa
Penatalaksanaan tinea kruris dapat dibedakan menjadi dua yaitu
higienis sanitasi. Melalui higienis sanitasi, tinea kruris dapat dihindari
dengan mencegah faktor risiko seperti celana dalam yang digunakan,
hendaknya dapat menyerap keringat dan diganti setiap hari.
Selangkangan atau daerah lipat paha harus bersih dan kering. Hindari
memakai celana sempit dan ketat, terutama yang digunakan dalam
waktu yang lama. Menjaga agar daerah selangkangan atau lipat paha
tetap kering dan tidak lembab adalah salah satu faktor yang mencegah
terjadinya infeksi pada tinea kruris. 4
B. Medikamentosa
1) Topikal
Pada kebanyakan kasus tinea kruris dapat dikelola dengan
pengobatan topikal. Namun, steroid topikal tidak direkomendasikan.
Agen topikal memiliki efek menenangkan, yang akan meringankan
gejala lokal. Terapi topikal untuk pengobatan tinea kruris termasuk:
terbinafine, butenafine, ekonazol, miconazole, ketoconazole,
klotrimazole, ciclopirox. Formulasi topikal dapat membasmi area
yang lebih kecil dari infeksi, tetapi terapi oral diperlukan di mana
wilayah infeksi yang lebih luas yang terlibat atau di mana infeksi
kronis atau berulang. Infeksi dermatofita dengan krim topikal
antifungal hingga kulit bersih (biasanya membutuhkan 3 sampai 4
minggu pengobatan dengan azoles dan 1 sampai 2 minggu dengan
krim terbinafine) dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis kulit
bersih. 4
2) Sistemik
a. Griseovulfin
Griseovulfin bersifat fungistatik. Secara umum griseovulfin
dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1

17
untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari
atau 10 – 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan
keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di lanjutkan
2 minggu agar tidak residif. 4
b. Butenafine
Butenafine adalah salah satu anti jamur topikal terbaru
diperkenalkan dalam pengobatan tinea kruris dalam dua minggu
pengobatan dimana angka kesembuhan sekitar 70%.4
c. Flukonazol
Flukonazol diberikan (150 mg sekali seminggu) selama 4-6
minggu terbukti efektif dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea
corporis karena 74% dari pasien mendapatkan kesembuhan. 4
d. Itrakonazol
Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari
diberikan sebagai dua dosis harian 200 mg untuk satu minggu.4
e. Terbinafine
Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini
klinis dengan rejimen umumnya 2-4 minggu.4
f. Ketokonazol
Ketoknazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap
griseovulfin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg
perhari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan.
Selama terapi 10 hari, gambaran klinis memperlihatkan makula
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pemeriksaan ulang KOH
10% dapat tidak ditemukan kembali.4

C. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus ini adalah baik karena beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap perjalanan penyakit telah dapat diidentifikasi, selain
itu respon penderita terhadap terapi yang diberikan cukup cepat, tanpa

18
adanya laporan efek samping pengobatan terutama terhadap terapi sistemik.
Selain pemberian terapi, penanganan dermatofitosis pada penderita juga
memerlukan perhatian yang menyeluruh seperti penderita harus selalu
menjaga kebersihan, menghindari pakaian yang basah, lembab atau terlalu
ketat, sebaiknya berganti pakaian jika banyak berkeringat saat bekerja.
Disarankan kepada penderita untuk tidak lagi menggunakan handuk
bersama dan bertukar pakaian.16

19
BAB III
KESIMPULAN

Tinea Kruris adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur golongan


dermatofita, terutama suatu kelas Fungi imperfecti, yaitu Genus Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. Tinea kruris sering ditemukan pada kulit lipat
paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal.
Faktor-faktor yang memegang peranan untuk terjadinya dermatomikosis
adalah iklim yang panas, higiene sanitasi sebagian masyarakat yang masih kurang,
adanya sumber penularan disekitarnya, kontak langsung oleh penderita tinea kruris
atau dengan kontak tidak langsung seperti melalui penngunaan handuk
bersama,alas tempat tidur,dan segala hal yang dimiliki pasien tinea kruris.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldsmith L. A. Et Al. Fitzpatrick Dermatology In General Medicine


Seventh Edition. New York: Mcgraw Hill. 2008
2. Kurniati & SP Cita, Etiopatogenesis Dermatofitosis . Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 . Viewed 15 September 2018.
From Http://Journal.Unair.Ac.Id. 2008.P.243-49
3. Sondakh Et Al. Profil Dermatofitosis Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari-Desember 2013.
Jurnal E-Clinic (Ecl), Volume 4, Nomor 1. Viewed 15 September 2018.
From < Https://Ejournal.Unsrat.Ac.Id>. 2016.
4. Yossela Tanti. Diagnosis And Treatment Of Tinea Cruris. J Majority Vol. 4
No. 2. Viewed 15 September 2018. From < Http://Egyptianjournal.Xyz>.
2015
5. Yuwan Wulan, Et Al. Karakteristik Tinea Kruris Dan/Atau Tinea Korporis
Di RSUD Ciamis Jawa Barat. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin,
Vol. 28, No. 2, Agustus 2016. Viewed 15 September 2018. From <
Https://Journal.Padjadjaran.Ac.Id>. 2016.
6. Putra Diaz Ananta. Pengaruh Higiene Sanitasi Dengan Kejadian Tinea
Kruris Pada Santri Laki-Laki Di Pesantren Rhoudlotul Quran Kauman
Semarang. JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA 2014:. Viewed 15
September 2018. From < Https://Undip.Ac.Id>. 2014.
7. Dorland, Newman WA. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi Ke 29. Jakarta:
EGC; 2002.P.955
8. Asri, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Jilid 1. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2005.P.14.
9. Dogo, Et Al. Prevalence Of Tinea Capitis Among School Children In
Nokcommunity Of Kaduna State, Nigeria. Hindawi Publishing Corporation
Journal Of Pathogens Volume 2016. Viewed 22 Agustus 2018. From
Https://Www.Researchgate.Net. 2016.P-1-6
10. Bertus Et Al. Profil Dermatofitosis Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado Periode Januari - Desember 2012. Jurnal E-Clinic (Ecl), Volume

21
3, Nomor 2. Viewed 15 September 2018. From < Https://Ejournal.Unsrat.Ac.Id>.
2015
11. Havlickova B, Czaika VA, Fried M. Epidemiological Trends In Skin
Mycoses Worldwide. Mycoses [Internet]. 2008 [Cited 2018 Sep 15];
5(14).2-15. Available From:
Http://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pubmed/18783559.
12. Budimulja, U., (2010). Mikosis. Dalam: Djuana, A., (Ed). Ilmu Penyakit
Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 90-7.
13. Mulyaningsih, S. Tingkat Kekambuhan Tinea Kruris Dengan Pengobatan
Krim Ketokonazol 2% Sesuai Lesi Klinis Dibandingkan Dengan Sampai 3
Cm Di Luar Batas Lesi Klinis [Internet].2004 [Cited 2018 Sep 15].
Available From: Http//Eprints.Undip.Ac.Id/14933/
14. Brown & Burns T. Dermatologi. Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga
Medical Series. 2005
15. Herbert, P . Diagnosis Fotografik & Penatalaksanaan Penyakit Kulit . 3rd
Ed. Jakarta: EGC; 2013.P.175.
16. Gadithya I Dewa Gede, Et Al. LAPORAN KASUS TINEA KORPORIS ET
KRURIS. Dilihat 15 September 2018. Dari
(Https://Ojs.Unud.Ac.Id/Index.Php/Eum/Article/View/8512/6373)

22

Anda mungkin juga menyukai