Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.

Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat


beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan
persiapan pada pada hari operasi.

Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa


anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.

Vulnus Laseratum merupakan luka terbuka yang terdiri dari akibat


kekerasan tajam yang kuat sehingga melampaui elastisitas kulit atau otot.

Vulnus laseratum dapat di sebabkan oleh Trauma mekanis yang disebabkan


karena tergesek, terpotong, terbentur dan terjepit, trauma elektris dan penyebab
cidera karena listrik dan petir, trauma termis, disebabkan oleh panas dan dingin,
trauma kimia, disebabkan oleh zat kimia yang bersifat asam dan basa serta zat iritif
dan berbagai korosif lainnya

1
BAB II

LAPORAN KASUS DAN ANESTESI

II.1. IDENTITAS

Nama : Tn. Y

Umur : 64 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : RT 14 Telanai Pura

Berat badan : 70 kg

No. RM : 569969

Golongan darah : B+

Ruangan : Kelas II

Tanggal Masuk : 24 November 2018

Tanggal Operasi : 25 November 2018

II.2. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama : Luka terbuka pada leher sebelah kanan sejak ± 14


jam SMRS
B. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD Rumah sakit Raden Mattaher dengan keluhan
luka terbuka pada leher sebelah kanan sejak ± 14 jam SMRS. Luka
terjadi di akibatkan pasien terjatuh saat memegang piring. Saat itu kaki
pasien terasa nyeri. Pada luka terjadi perdarahan aktif dan terasa nyeri,
luka berukuran 5 cm dengan kedalaman 3 cm.

2
± 2 tahun lalu, pasien sering mengeluhkan sering terbangun tengah
malam karena BAK, warna jernih, frekuensi > 6x, BAK nyeri (-),
darah (-). Pasien juga mengeluhakan sering haus dan lapar. Kemudian
dokter berobat ke pukesmas, dan di diagnosis diabetes melitus tipe II,
dan I di anjurkan mengurangi berat badan dan minum obat tetapi
pasien tidak teratur minum obatnya.

C. Riwayat penyakit dahulu :

 Riwayat hipertensi :-
 Riwayat Asma :-
 Riwayat DM : + (Saat di IGD GDS = 407 mg/dl)
 Riwayat Batuk Lama :-
 Riwayat Operasi :-
 Riwayat Alergi Obat :-
 Riwayat Penyakit Lain :-

D. Riwayat social/kebiasaan : Pasien bekerja sebagai pegawai negeri sipil


dan memiliki status ekonomi cukup.

E. Pemeriksaan Fisik :
1. Tanda Vital
 Kesadaran : Compos mentis
 TD : 130/80 mmHg
 Suhu : 36,90C
 RR : 20 kali/menit
 Nadi : 86 kali/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
2. Kepala
a. Mata : CA (-/-), SI (-/-), RC (+/+), pupil isokor
b. THT : Tidak ada kelainan

3
c. Leher : Pembesaran KGB (-), terdapat luka terbuka
dengan ukuran 4x 0,5 x 3 cm, berbatas tegas, perdarahan
aktif, edem (-), nyeri tekan (+).
3. Thorax
Paru :
 Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
 Palpasi : nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/- , wheezing -/-

Jantung:

 Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat


 Palpasi : Ictus cordis ICS V linea midclavikula
sinistra.
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

4. Abdomen :
 Inspeksi : datar
 Palpasi : soepel, nyeri tekan (-) nyeri lepas (-), massa
(-) hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : BU (+) normal
5. Genitalia : tidak dilakukan
6. Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-/-), CRT<2 detik

4
II.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 24 November 2018

Darah Rutin

Hb : 10,4 g/dl (11,0-16,5 g/dl)

Leukosit : 10,88 x 103/mm3 (3,5-10,0 x 103/mm3)


Hematokrit : 30,6 % (35,0-50%)

Eritrosit : 3,74 x 106/mm3 (3,80-5,80 x 106/mm3)

Trombosit : 289 x 103/mm3 (150-390 x 103/mm3)

Masa Pendarahan : 1,5 (1-3 menit)


Masa Pembekuan :3 (2-6menit)

Kimia Darah Lengkap


Bilirubin Total : -mg/dl
Bilirubin Direk : -mg/dl
Bilirubin Indirek : -mg/dl
Protein Total : -g/dl
Albumin : - g/dl
Globulin : - g/dl
SGOT : - u/l
SGPT : - u/l
Ureum : 25 mg/dl (15-39 mg/dl)
Kreatinin : 1,1 mg/dl (0,9-1,3 mg/dl)

Pemeriksaan Elektrolit
Natrium (Na) : 138,63 mmol/L (N: 135-148 mmol/L)
Kalium (K) : 4,54 mmol/L (N: 3,5-5,3 mmol/L)
Chlorida (Cl) : 102,64 mmol/L (N: 98-110 mmol/L)
Calcium (Ca) : 1,24 mmol/L (N: 1,19-1,23mmol/L)

5
X-Ray Thorax
Cor dan pulmonal normal

II.4. PRA ANESTESI

 Penentuan Status Fisik ASA: 1 / 2 / 3 / 4 / 5


 Mallampati: grade 2
 Persiapan Pra Anestesi:
- Pasien telah diberikan Informed Consent
- Persiapan operasi :
a. Puasa 6 jam
b. Surat persetujuan tindakan operasi
c. Lab darah rutin, masa pembekuan, masa perdarahan
d. Persiapan darah 2 kolf PRC

II.5 RENCANA TINDAKAN ANESTESI

a) Diagnos Pra bedah : Vulnus Laceratum regio colli dextra


b) Jenis pembedahan : Explorasi+ debridement + repair muscle
c) Status ASA : III EMG
d) Jenis anestesi : Anestesi Umum (General Anestesi)
e) Premedikasi anestesi :
i. Metode : Anestesi Umum (Intubasi)
ii. Premedikasi :
Gol Antimetik : Ondansentron (0,05-0,2 mg/kgBB) = 2,5 -
10 mg = 8 mg
Gol H2 histamine blocker : Ranitidin (1 mg/KgBB) = 50 mg
Gol Antifibrolitik : Asam Traneksamat (20 mg/KgBB) =
1000 mg
Gol Kortikosteroid : Dexametason 5 mg
iii. Analgetik Pre Induksi
Gol Analgetik : Phentanyl (1-2 mcg/KgBB) = 70-140 mcg
 100 mcg

6
iv. Induksi :
Recofol (Propofol) (2-2,5 mg/KgBB) = 140-175 mg  150
mg
v. Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop dewasa
Tube : ETT no 7,5
Airway : Goodle No 3
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrin 1 buah
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction No 12
vi. Relaksan : Roculax (0,5-0,6 mg/KgBB) = 35-42 mg
35 mg
vii. Intubasi : Insersi ETT no.7,5
viii. Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2

Kebutuhan Cairan Perioperatif

 Maintenance (M)
M = 2 cc/KgBB/jam

M = 2 x 70 Kg  140 cc/jam

 Pengganti Puasa (P)


P = M X Lama puasa

P = 140 X 7 940 cc

 Stres operasi (O)


O = BB X 6 (Operasi sedang)

O = 70 X 6  420 ml

7
 EBV : 75 x BB
EBV : 75 x 70  5250 cc

 EBL : 20% x EBV


EBL : 20% x 2600 cc  4200 cc

Kebutuhan cairan selama operasi :

 Jam I :1/2 pengganti Puasa + Manintanace + Stres Operasi


= ½ (840 ml) + 140 ml + 420 ml
= 980 ml
 Jam II : 1/4 ( 840 ml) + 140 ml + 420 ml = 600 ml
 Total cairan  1580 ml

8
BAB III

LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 25 November 2018

Ahli bedah : dr. Ade Tan, Sp. B

Ahli anestesi : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

Asisten anestesi : DP Anestesi

3.1 TINDAKAN ANESTESI


- Metode : Anestesi umum (intubasi)
- Premedikasi : Antiemetik : Ondansetron 8 mg
H2 Antagonis Blocker: Ranitidin 50 mg
Antifibrolitik : Asam Traneksamat 1000 mg
Kortikosteroid : Dexametason 5 mg
Analgetik : Fentanyl 100 µg
- Induksi : Recofol (propofol) 150 mg
- Relaksasi : Roculax 35 mg
- Insersi ETT ukuran 7,5 dengan balon
- Pemeliharaan : sevofluran 1-2 % + N2O 50% : O2 100%
- Pemulihan diberikan O2
- Medikasi tambahan : -
- Respirasi: nafas kendali
- Ekstubasi : setelah pasien sadar

3.2 KEADAAN SELAMA OPERASI


- Keadaan selama operasi
1) Posisi Penderita : terlentang dengan kepala menoleh ke kiri
2) Penyulit waktu anestesi : tidak ada
3) Lama Anestesi : 1 jam 15 menit

9
4) Jumlah Cairan
Input : RL 3 Kolf  1500 ml
HES 1 Kolf 500 ml
` PRC 1 kolf  250 ml
Total  2250 ml
Output : ± 200 cc
Perdarahan : ± 200 cc

MONITORING

TD awal: 110/70 mmHg, N: 82 x/I, RR: 20/i


 Pukul 10.00
- Pasien dibaringkan dengan posisi terlentang
- Dilakukan pemasangan tensi, elektroda, oksimetri
- Melakukan pemantauan melalui monitor
- Diberikan cairan RL dan obat premedikasi
 Pukul 10.15
- Pasien mulai dilakukan general anestesi, pemberian obat-obatan
untuk induksi
- Tes bulu mata
- Oksigenasi dan penguasaan jalan napas
- Melakukan intubasi
- Pemberian maintance
 Pukul 10.30
- Operasi Dimulai
- Cairan dipantau, hemodinamika dipantau

10
Jam Tindakan TD Nadi RR SPO2 Keterangan
10.00 Pasien baring posisi 100/85 83 20 99%
terlentang
pemasangan tensi,
elektroda, oksimetri
Pemantauan melalui
monitor
Diberikan obat premedikasi

10 : 15 Pasien mulai dilakukan 100/80 84 19 98% RL 500 ml


general anestesi
HES 500 ml
Oksigenasi dan penguasaan
jalan napas 2-3 menit

Masukkan obat Fentanyl


100 µg

Masukan obat Induksi


Recofol (propofol) 150 mg
Cek bulu mata
Pasang face mask + goodle
Masukan obat Relaksasi
Roculax 35 mg
Melakukan intubasi

Pemberian maintance

10 : 30 Operasi di mulai 90/59 88 18 100% PRC 250 ml

10 : 45 90/60 90 17 99%

11 : 00 100/59 96 19 99% RL 500 ml

11 : 15 110/82 87 20 99%

11
11 : 30 130/90 92 18 99% RL 500 ml +
ketorolac 30 mg +
tramadol 50 mg

3.3 RUANG PEMULIHAN


a. Masuk jam : 11 : 05 WIB
b. Keadaan umum : Kesadaran : Compos Mentis, GCS : 15
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 84 x/mnt, isi dan tegangan cukup
Respirasi : 19 x/mnt
c. Pernafasan : Baik
Skoring alderette

- Aktifitas :2
- Pernafasan :2
- Warna kulit :2
- Sirkulasi :2
- Kesadaran :2
Jumlah : 10

Instruksi anestesi post operasi :

- Observasi keadaan umum, vital sign, dan perdarahan tiap 15 menit


selama 24 jam
- Tirah baring tanpa menggunakan bantal 1x24 jam
- Puasa sampai sadar penuh
- Cek Hb post operasi, jika Hb ≤ 10 mg/dl tranfusi 1 kolf PRC
- Terapi selanjutnya disesuaikan dengan : dr. Ade Tan, Sp.B

12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 VULNUS LACERATUM


4.1.1 Pengertian
Vulnus Laseratum merupakan luka terbuka yang terdiri dari akibat kekerasan
tajam yang kuat sehingga melampaui elastisitas kulit atau otot.1
Vulnus Laseratum ( luka robek ) adallah luka yang terjadi akibat kekerasan
benda tajam , robekan jaringan sering diikuti kerusakan alat di dalam seperti patah
tulang.2

4.1.2 Etiologi
Luka dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu:1
a) Trauma mekanis yang disebabkan karena tergesek, terpotong, terbentur dan
terjepit.
b) Trauma elektris dan penyebab cidera karena listrik dan petir.
c) Trauma termis, disebabkan oleh panas dan dingin.
d) Truma kimia, disebabkan oleh zat kimia yang bersifat asam dan basa serta
zat iritif dan berbagai korosif lainnya.

4.1.3 Patofisiologi1,2
Vulnus laserrratum terjadi akibat kekerasan benda tajam, goresan, jatuh,
kecelakaan sehingga kontuinitas jaringan terputus. Pada umumnya respon tubuh
terhadap trauma akan terjadi proses peradangan atau inflamasi.reaksi peradangan
akan terjadi apabila jaringan terputus.dalam keadaan ini ada peluang besar
timbulnya infeksi yang sangat hebat. Penyebabnya cepat yang di sebabkan oleh
mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi peradangan itu sebenarnya
adalah peristiwa yang di koordinasikan dengan baik yang dinamis dan kontinyu
untuk menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan harus hidup dan harus di
mikrosekulasi fungsional. Jika jaringan yang nekrosis luas maka reaksi peradangan
tak di temukan di tengah jaringan yang hidup dengan sirkulasi yang utuh terjadi
pada tepinya antara jaringan mati dan hidup.

13
Nyeri timbul karena kulit mengalami luka infeksi sehingga terjadi kerusakan
jaringan.sek-sel yang rusak akan membentuk zat kimia sehingga akan menurunkan
ambang stimulus terhadap reseptormekano sensitif dan hernosenssitif. Apabila
nyeri di atas hal ini dapat mengakibatkan gangguan rasa nyaman nyeri yang
berlanjut istirahat atau tidur terganggu dan terjadi ketertiban gerak.

4.1.4 Manifestasi Klinis2


1. Luka tidak teratur
2. Jaringan rusak
3. Bengkak
4. Pendarahan
5. Akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasanya di daerah rambut
6. Tampak lecet atau memer di setiap luka.

4.1.5 Pemeriksaan Diagnostik1


a) Pemeriksaan diagnostik yang perlu di lakukan terutama jenis darah
lengkap.tujuanya untuk mengetahui tentang infeksi yang
terjadi.pemeriksaannya melalui laboratorium.
b) Sel-sel darah putih.leukosit dapat terjadi kecenderungan dengan kehilangan sel
pada lesi luka dan respon terhadap proses infeksi.
c) Hitung darah lengkap.hematokrit mungkin tinggi atau lengkap.
d) Laju endap darah (LED) menunjukkan karakteristik infeksi.
e) Gula darah random memberikan petunjuk terhadap penyakit deabetus melitus

4.1.6 Pengobatan Luka

Pengobatan umum

Dalam melakukan pengobatan umum yang terlebih dahulu dilakukan adalah


mengatasi syok dan mengatasi perdarahan. Mengatasi syok primer dengan
memberikan suntikan morfin, petidin atau narkotika analgetik lainnya untuk
mengatasi nyeri. Mengatasi syok sekunder dengan memberikan terapi cairan. Infus
segera dengan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Bila perdarahannya banyak, lakukan

14
transfusi darah dan bila transfusi belum mungkin dilakukan untuk sementara
berikan ekspander plasma, misalnya Dextran L. Mengatasi perdarahan dilakukan
dengan tranfusi secepatnya dan bantuan obat-obat hemostatika seperti
Karbazokram (Adona ®, Anaroxyl®), Transamin, dsb.3
Setelah itu dilakukan tindakan pembersihan luka, luka dan sekitarnya
dilakukan antiseptik, kalau perlu dicuci dengan air sebelumnya. Bahan yang
digunakan adalah larutan yodium 1% dan larutan klorheksidin 0,5%. Larutan
yodium 3% atau alkohol 70% hanya digunakan untuk membersihkan kulit disekitar
luka.3
Kemudian daerah disekitar lapangan kerja ditutup dengan kain steril dan
secara steril dilakukan kembali pembersihan luka secara mekanis dari kontaminan,
yaitu pembuangan jaringan mati dengan gunting atau pisau (debrideman) dan
dibersihkan dengan bilasan, guyuran atau semprotan cairan NaCl untuk
membersihkan luka dari benda-benda asing. Akhirnya dilakukan penjahitan dengan
rapi. Bila diperlukan akan terbentuk atau dikeluarkan cairan yang berlebihan perlu
dibuat penyaliran. Luka ditutup dengan bahan yang dapat mencegah lengketnya
kasa, misalnya kasa yang mengandung vaselin, ditambah dengan kasa penyerap,
dan dibalut dengan pembalut elastic.3

Pengobatan lokal
Dilakukan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan). Mula-mula tutup
luka dengan pembalut steril (dressing). Jangan menaruh antiseptik, salep, obat
tepung, pada luka karena akan memperbesar kemungkinan kontaminasi dan
kerusakan jaringan oleh bahan-bahan kimia. Perdarahan diatasi dengan pembalut
tekan, bila luka terdapat pada ekstremitas maka ekstremitas dielevasi (ditinggikan).
Perdarahan arteri diatasi dengan:
- Kompresi dengan jari, bila peradarahn tidak berhenti, tekan arteri bagian
proksimal dengan jari (bila perlu jari dimasukkan ke dalam luka). Untuk arteri
karotis dilakukan penekanan ke arah kolumna vertebra, arteri subklavia dilakukan
penekanan pada fosa subklavikularis, arteri brakhialis ditekan pada fosa bisipitalis,
arteria iliaka dialkuakan penekan aorta ke arah kolumna vetebra, arteria femoralis
ditekan pada bagian bawah ligamentum Pouparti.3

15
- Kompresi dengan membengkokkan badan/bagian tubuh. Untuk arteri
subklavia yaitu dengan menarik lengan kebawah belakang, untuk arteri brakhialis
lengan ditarik ke belakang dalam keadaan aduksi, untuk arteri radialis/ulnaris
dilakukan fleksi siku maksimum, arteri tibialis dilakukan fleksi lutut maksimum,
untuk arteri femoralis pasien ditidurkan, tungkai ditekankan pada perut.3
- Kompres proksimal arteri yang luka. Dapat digunakan torniket, Knevel
verband. Dengan cara ini luka harus sering dibuka. Biasanya setiap 5-15 menit. Bila
lebih dari dua jam, maka dapat terjadi nekrosis atau iskemia kontraktur.

Pengobatan Defenitif
Luka Terbuka, pada prinsipnya adalah mengubah luka terkontaminasi menjadi
luka bedah yang bersih. Pemeriksaan luka dilakukan dengan menarik tepi luka dan
membukanya lebar-lebar, kemudian dilihat apakah terdapat organ dibawahnya yang
terpotong seperti otot, tendon, pembuluh darah. Periksa juga keadaan luka tersebut
apakah keadaanya bersih, kotor, terkontaminasi, ada benda asing. Apakah masih
terdapat perdarahan. Bila terdapat perdarahan dapat dihentikan dengan pembalut
tekan, tampon dengan obat vasokontriksi, diklem lalu ligasi atau
diathermi/koagulasi (menggunakan alat khusus). Prinsip hemostasis (penghentian
perdarahan) harus baik. Luka berdarah sukar sembuh. Jadi bila terlihat perdarahan
harus sedapat mungkin dihentikan. Luka-luka di kepala tak usah diklem/diikat,
sebab dengan penjahitan yang rapat dan tepat, perdarahan akan berhenti sendiri.

4.2 Anestesi Umum (General Anesthesia)


4.2.1 Definisi
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri
bahkan hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan.
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias
anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. 5,6

16
4.2.2 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum
Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestisia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu dikonversikan
menjadi anestesia umum. 5,6
Keuntungan anestesia umum
 Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
 Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
 Memudahkan kontril penuh ventilasi pasien.
Kerugian anestesia umum
 Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
 Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
 Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
 Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
 Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

4.2 3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum


a. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial
b. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:

17
1. Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
c. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
2. Koefisien partisi jaringan/darah
3. Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit
pembuluh darah/JSPD)
d. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang
rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
e. Faktor Lain
 Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
 Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
 Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman
anestesia semakin cepat.

4.2.4 Jenis Anestesi Umum


1. Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan berupa
gas.Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran.Agen ini dapat diberikan dan diserap
secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru
(alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas
dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat

18
anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar,
koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi. 5,6
a. N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida): Pemberian anestesia
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.Gas ini bersifat anestesi lemah,
tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi
dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir anestesia setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pegenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindarinya,
berikan O2 100% selama 5-10 menit.
b. Halotan: Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada
nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon
klinis pasien. Halotan menyebbakan vasodilatasi serebral, meninggikan
aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia
hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak. Kebalikan dari
N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi
keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.
c. Enfluran: Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek
depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih
iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia.Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.
d. Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e. Sevofluran: Merupakan halogenasi eter.Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan isofluran.Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi
di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebbakan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti

19
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.
2. Anestesi Intravena
Anestesi intravena merupakan suatu tindakan pemberian anestesi dengan
memasukkan obat melalui intravena. Keuntungan anestesi intravena lebih dapat
diterima pasien, kurang perasaan klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah
ditutupi topeng), tahap tidak sadar yang lebih cepat dan lebih menyenangkan
bagi ahli anestesi.Oleh karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk
menimbulkan anestesi.
Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-
kadang sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada
gangguan pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan ketidak-
stabilan hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan bersama
dengan anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang memadai dan
dengan relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang optimum.
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia,
induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis
pada anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada
beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya
tiopental, ketamin dan propofol. 5,6
Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol. Anestesi
intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam
obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat,
lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek
analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah
dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau
sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh
farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping
(mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan di
atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain.

20
Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu
obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.
a. Barbiturate: Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat
anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting).9 Bekerja
menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi (perangsangan)
di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat pernafasan di medula
oblongata.Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat
oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen
badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak
menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.
b. Propofol: Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Onset cepat, lama
kerja pendek.Efek kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit,
lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan
cepat. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.10Efek
hipnotik 1,8 kali pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan
pentothal. Efek anti emetik positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan
efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA (gamma-
aminobutyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP.
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan
juga tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi
simpatik.Efek negative inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium
intraseluler. Tergantung dosis, propofol dapat menyebabkan depresi nafas
dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah induksi IV. Pemberian
opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat menurunkan
volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP dapat
menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan TIK.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0,2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%.Pada

21
manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil
tidak dianjurkan.
c. Ketamin: Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan
tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat,
kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula kerja
30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit,
tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu
paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5
menit.6 Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik
0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).
d. Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
e. Benzodiazepin: yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi
pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi
yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional. Digunakan
untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan tidur,
mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah
pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada
SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.
1.) Midazolam: Obat induksi jangka pendek atau premedikasi,
pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya
cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan
induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30 detik-1

22
menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM 15-30 menit.
Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma maksimum dicapai
dalam 30 menit. Midazolam menyebabkan tekanan darah menurun, lebih
rendah dari diazepam, penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan
oleh vasodilatasi perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi 0,03-
0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV.
2.) Diazepam: obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi
liver. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi
(menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama),
meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti
berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada
penderita dengan penyakit kardiovaskular.Diazepam juga digunakan
untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi.
Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus
dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik.9Dosis premedikasi 10-
20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1
jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung
indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan
secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat
menimbulkan apnoe.

4.2.5 Macam-Macam Obat Keseimbangan Anestesi


I. Efek Analgesia
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri
hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti
inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan nyeri
dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan,
intramuscular, intravena atau perinfus).

23
1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengann
reseptor morfin.Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya tersebar
luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah
yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi
reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di
pleksus saraf usus. Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan
kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular.Penggolongan lain menjadi
natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin,
dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil,
sufentanil dan remifentanil).
a. Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain
dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak, morfin lebih larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi
lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa,
Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan

24
karena iritasi.Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan
untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB.
c. Fentanil: Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin.
Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan
dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara
kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika
pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.Efek depresi
napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB
analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.Dosis
besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot
punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
d. Sufentanil: Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih
cepat dari fentanil.Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya
0,1-0,3 mg/kgBB.
e. Alfentanil: Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil.Insiden mual-muntahnya
sangat besar.Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
f. Tramadol: Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan
kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol dapat diberikan
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.

II. Efek Relaksasi Otot


Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum
inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh
otot.Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade
saraf terbatas penggunaannya.Anesthesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya
tidak sadar, analgesinya dapat diberikan opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat
relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan
sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot.Pelumpuh

25
otot disebut juga sebagai obat blockadeneuro-muskular.Akibat rangsang terjadi
depolarisasi pada terminal saraf.Influks ion kalsium memicu keluarnya asetil-kolin
sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada
reseptor nikotinik-kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan
terjadi depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan ion
kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh
asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin,
sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi.
a) Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerja seperti
asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup
lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh
fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik.Termasuk golongan pelumpuh otot
depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma,
pseudo-kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
Dampak samping suksini ialah (1) nyeri otot pasca pemberian, dapat dikurangi
dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya.Dapat
terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria, (2) peningkatan tekanan intraocular
akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot, (3)
Penigkatan tekanan intracranial, (4) peningkatan tekanan intragastrik, (5)
peningkatan kadar kalium plasma, (6) aritmia jantung berupa bradikardi atau
‘ventricular premature beat’, (7) Salivasi akibat efek muskarinik, (8) alergi,
anafilaksis akibat efek muskarinik.
b) Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetil-kolin, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Berdasarkan
susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.

26
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik: gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi menjadi
kerja panjang, sedang, dan pendek. Gallamin ada yang memasukkan sebagai
panjang yang lainnya kerja sedang.
Pilihan pelumpuh otot:
1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
2. Gangguan faal hati : atrakurium
3. Miasternia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium
5. Kasus obstetri : semua dapat digunakan, kecuali gallamin
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot
1. Cegukan (hiccup).
2. Dinding perut kaku.
3. Ada tahanan pada inflasi paru.

Penawar Pelumpuh Otot


Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan
saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat
bekerja.Asetilkolinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmine
(prostigmin), piridostigmin dan edrophonium.Physostigmine (eserin) hanya untuk
penggunaan per-oral. Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4
mg/kg, edrophonium 0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar
pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalifasi, keringatan,
bradikardia, kejang bronnkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga
pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02
mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.

27
4.3.7 Prosedur Anestesi Umum
a. Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan
pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan
pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan
fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi
dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal
ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai
gambaran prognosis pasien secara umum.
b. Persiapan pasien
Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui
keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan
pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan
pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit
paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan
hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati,
dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat
antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat

28
penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer,
monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali,
dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti
kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti: merokok dan alkohol.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan
buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan.

Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji
laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien > 50 tahun anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, dibuat rencana obat dan teknik anestesi yang akan digunakan.
a. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada
pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan

29
minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia.
b. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (TheAmerican Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok
atau kategori sebagai berikut:
 ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
 ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
 ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
 ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
 ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
c. Klasifikasi Mallapati
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang
dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan
menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.

Gambar 4.2 Mallampati Classification and Cormack-Lehanne


Classification

30
d. Premedikasi10
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2
jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

e. Teknik Anestesi Umum


1. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
 Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
 Keadaan umum baik (ASA I – II)
 Lambung harus kosong

31
Prosedur :
 Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
 Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
 Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang)
efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
 Induksi
 Pemeliharaan
2. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi:
 Operasi lama
 Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
 Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
 Intubasi setelah induksi dan suksinil
 Pemeliharaan
3. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan atau tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi
selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek
anestesinya. Indikasi:
 Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun; kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas, dan lainnya.
 Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi; saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
 Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
 Teknik sama dengan diatas
 Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
 Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

32
e. Pemantauan dan Pencatatan
Selama operasi, pemantauan ditujukan untuk menjaga keselamatan pasien.
Semua perubahan selama anestesi dicatat dalam rekam medis anestesi.Tanda-tanda
vital dicatat dalam interval waktu tertentu, demikian juga obat-obat yang
digunakan, dosis, waktu pemberian.Jumlah dan jenis cairan yang diberikan juga
dicatat.Transfusi produk darah, jika ada dicatat jenis dan jumlahnya. Produksi urin
pun diamati dan dicatat.

4.3.9 Mempertahankan Anestesi Dan Pengakhiran Anestesi


I. Mempertahankan Anestesi
 Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG,
pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri nadi, kapnometri,
gas napas, pengukuran gas anestesi.
 Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan
opioid (misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi
(misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total (TIVA)
dengan opioid dan propofol.
 Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian
analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian opioid
kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritramid).
 Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4. Terdapat pergerakan.
5. Berkeringat.

4.2.6 Pengakhiran Anestesia


 Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi
berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit
dijahit).
 FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.

33
 Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
 Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
 Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di dalam
ruangan pasca-bedah.

34
BAB V
ANALISIS KASUS

4.1 Pemeriksaan pra anestesi


Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum operasi, hal
ini benar dilakukan karena perkenalan dengan orang tua penderita sangat penting
untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang
dilakukan. Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien
secara umum, keadaan fisik dan mental penderita dimana didapatkan keadaan
pasien secara umum baik.

Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA), pasien Tn.Y


merupakan ASA III, yaitu terdapat penyakit sistemik berat dikarenakan pasien
memiliki riwayat diabetes melitus yang tidak terkontrol.

4.2 Kebutuhan cairan

Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :

 Jam I :1/2 pengganti Puasa + Manintanace + Stres Operasi


= ½ (840 ml) + 140 ml + 420 ml
= 980 ml
 Jam II : 1/4 ( 840 ml) + 140 ml + 420 ml = 600 ml
 Total cairan  1580 ml
Selama operasi jumlah carian yang diberikan adalah

Input : RL 3 Kolf  1500 ml


HES 1 Kolf 500 ml
` PRC 1 kolf  250 ml
Total  2250 ml
Output : ± 200 cc
Perdarahan : ± 200 cc
 Kebutuhan cairan pada pasien ini tercukupi.

35
a. Pemilihan Teknik Anestesi
Alasan pemilihan anestesi umum (GA) pada pasien ini adalah penggunaan
anestesi umum memungkinkan dilakukannya prosedur infasif yang tidak bisa
dilakukan dengan teknik regional seperti pada vulnus laeratum di leher yang
dibutuhkankan waktu lama dan kontrol kardiovaskular yang baik. General anestesi
(GA) merupakan hal yang tepat karna induksi cepat, kejadian hipotensi yang lebih
rendah, stabilitas dan kontrol kardiovaskular yang lebih baik. Namun tentu saja
terdapat kekurangan seperti meningkat nyeri pasca operasi dan mual, beberapa obat
penggunaan dapat terjadi peningkatan risiko anafilaksis, pemulihan fungsi
gastrointestinal yang lambat, meningkatkan komplikasi perdarahan pasca operasi.

b. Tindakan premedikasi
Pada pasien ini diberikan obat ranitidine 50 mg, ondansentron 4 mg, dan
asam traneksamat 500 mg. Tujuan pemberian ranitidine adalah untuk mengurangi
isi cairan lambung sehingga meminimalkan kejadian pneumositis asam.
Ondansteron diberikan untuk mengurangi rasa mual muntah pasca bedah dengan
dosis 2-4 mg. Asam traneksamat diberikan untuk membantu proses pembekuan
darah karena akan terjadi perdarahan selama operasi. Dalam pemberian obat
premedikasi pada pasien ini terdapat kesalahan waktu pemberian obat. Obat
premedikasi seharusnya diberikan di ruangan rawat 1-2 jam sebelum dilakukan
induksi, namun pada pasien diberikan sekitar 15 menit sebelum induksi general
anestesi. Dosis pemberian ondansentron sudah tepat yakni 8 mg sesuai dengan
dosisnya berdasarkan berat badan pasien 70 kg yakni 0,05-0,2 mg/kgBB 3,5–14
mg, sedangkan dosis ranitidin 50 mg sudah tepat dikarenakan dosis ranitidin
1mg/kgBB = 70 mg (IV)
.

36
Dosis obat pada pasien ini dapat dilihat pada tabel :

Nama Obat Dosis Dosis yang seharusnya Dosis yang


diberikan diberikan

Ranitidin 1 mg/KgBB 70 mg 50 mg

Ondansentron 0,05-0,2 3,5-14 mg 8 mg


mg/kgBB

Asam 20 1400 mg 1000 mg


Traneksamat mg/KgBB

c. Tindakan induksi anestesi

Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara intravena,
inhalasi, intramuscular atau rectal.
Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada pasien
yang dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur vena. Obat induksi yang
dibolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik. Obat induksi yang dipakai yang
menimbulkan efek induksi yang baik adalah propofol.
Pada pasien ini induksi dilakukan secara intravena dengan propofol 150 mg.
Dosis propofol adalah 2-2,5 mg/kgBB. Dosis propofol yang seharusnya diberikan
adalah 140-175 mg. Dosis propofol pada pasien ini sudah tepat.
Anestesi intravena seperti propofol dan fentanyl secara signifikan menurunkan
aliran darah otak, metabolisme otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Selain
itu kombinasi keduanya dapat mengurangi respon stres selama intubasi dan
mempercepat proses pemulihan pascabedah. Anestesi inhalasi, meskipun pada
umumnya menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah serebral dan meningkatkan
tekanan intrakranial, sevofluran dapat dipilih karena efek vasodilatasinya paling
kecil dibandingkan dengan jenis anestesi inhalasi lainnya. Tidak berbeda dengan

37
anestesi inhalasi, obat pelumpuh otot juga pada umumnya dapat meningkatkan
aliran darah otak. Kelebihan profocol dari obat lain, pasien juga terlihat “lebih
segar” pada periode pasca bedah segera setelah pemberian propofol dibanding
anestesi intravena lainnya, muntah pasca operasi tidak ditemukan dan dapat bersifat
antiemetik. Secara khusus, penderita dapat berjalan lebih cepat setelah pemberian
propofol. Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk
inaktif yang dieksresi oleh ginjal.

c. Tindakan intubasi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot. Pada kasus
ini, roculax (rocuronium) di berikan sebanyak 35 mg. Dosis roculax berdasarkan
berat badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/iv pada pasien ini yaitu 35-42 mg. roculax
merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari tanaman. Rocuronium
dapat dipilih menjadi relaksan pada bedah saraf karna memiliki efek yang paling
minimal. Selain itu Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskular secara bermakna. roculax aksinya memanjang pada penurunan
fungsi ginjal.
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin
anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 2 vol% dengan
oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang
lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari
pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal
tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya
pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil
dan jarang menyebabkan aritmia.
Intubasi dilakukan pada operasi yang lebih dari 20 menit. Sementara intubasi
tidak diperlukan jika anestesi hanya dibutuhkan untuk waktu 10 menit atau kurang.
Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang dibutuhkan

38
untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit, selain itu agar lebih
mudah mengatur posisi pasien selama operasi. Pada pasien ini intubasi berjalan
sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher tidak pendek, gigi depan tidak menonjol,
dan mallampati grade 2 karena terlihat uvula, palatum mole).

d. Pemantauan selama operasi


Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan didapatkan TD awal:
110/70 mmHg, N: 82 x/I, RR: 20/i
Jam Tindakan TD Nadi RR SPO2 Keterangan
10.00 Pasien baring posisi 100/85 83 20 99%
terlentang
pemasangan tensi,
elektroda, oksimetri
Pemantauan melalui
monitor
Diberikan obat premedikasi

10 : 15 Pasien mulai dilakukan 100/80 84 19 98% RL 500 ml


general anestesi
HES 500 ml
Oksigenasi dan penguasaan
jalan napas 2-3 menit

Masukkan obat Fentanyl


100 µg

Masukan obat Induksi


Recofol (propofol) 150 mg
Cek bulu mata
Pasang face mask + goodle
Masukan obat Relaksasi
Roculax 35 mg
Melakukan intubasi

Pemberian maintance

39
10 : 30 Operasi di mulai 90/59 88 18 100% PRC 250 ml

10 : 45 90/60 90 17 99%

11 : 00 100/59 96 19 99% RL 500 ml

11 : 15 Operasi selesai 110/82 87 20 99%

11 : 30 Ekstubasi 130/90 92 18 99% RL 500 ml +


ketorolac 30 mg +
tramadol 50 mg

Terlihat bahwa terdapat penurunan tekanan darah pasien 90/59 pada pukul
10.30. Kemungkinan penurunan tekanan darah pasien ini adalah disebabkan oleh,
perdarahan sehingga pada pasien ini diberikan PRC 1 kolf 250cc dan hasilnya
perfusi pasien mulai membaik.

e. Ekstubasi
Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada pasien.
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali
menimbulkan kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi umumnya dikerjakan
pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan tidak terjadi spasme laring.
Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan cairan
lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan dimana ekstubasi
dilakukan ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien sudah mulai bernafas
spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.

40
f. Ruang Pemulihan (RR)

Pasien masuk ke ruangan pemulihan pada Jam 11:35 dengan Keadaan Umum
cukup, Kesadaran CM, Compos Mentis, GCS : 15 Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 84 x/mnt, isi dan tegangan cukup. Selama pemantauan pasien dalam keadaan
stabil. RR terletak berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu
kondisi yang memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan.
Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien ini diberi obat
tambahan yaitu ketorolac 30 mg, tramadol 100 mg di dalam RL 500 ml bertujuan
sebagai analgetik. Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete
lebih dari 8. Skoring Alderate pada pasien ini:

Aktifitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10
Selanjutnya pasien dipindahkan ke kelas II dengan instruksi anestesi
diantaranya, observasi keadaan umum, vital sign, dan perdarahan tiap 15 menit
selama 24 jam, tirah baring tanpa menggunakan bantal 1x24 jam, puasa sampai
sadar penuh, cek Hb post operasi, jika Hb ≤ 10 mg/dl tranfusi 1 kolf PRC, terapi
selanjutnya disesuaikan dengan dr. Ade Tan, Sp.B

41
BAB VI
KESIMPULAN

Pasien bernama Tn. Y didiagnosis vulnus laceratum regio colli dextra +


Diabetes Melitus tipe II tidak terkontrol pada pemeriksaan penunjang didapatkan
status asa III, sebab penyakit yang dideritanya merupakan penyakit sistemik berat
yang menganggu aktivitas.
Selama proses berlangsung baik dari proses pre anestesi maupun sampai
akhir proses anestesi berlangsung tidak ditemukan penyulit. Pre anestesi dilakukan
tanggal 24 November 2018. Operasi dan anestesi pada tanggal 25 November pada
pikul 10.15 WIB dan berakhir pada pukul 11.35 WIB dengan operator dr. Ade Tan,
Sp.B dengan ahli Anestesi dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An
Selama operasi baik pada saat premedikasi maupun medikasi selama sampai
proses anestesi selesai tidak ditemukan penyulit. Dosis yang diberikan pada saat
proses anestesi sesuai dosis. Efek samping pemberian obat minimal tanpa ada
permasalahan yang berarti.
Setelah selesai proses anestesi pasien langsung pindah ke ruang recovery,
kesadaran pasien compos mentis dan tanda vital baik. Aldrette score 10. Pukul
12.00 WIB pasien dipindahkan ke ruangan kelas II. Dapat disimpukan proses
anestesi berlangsung baik tanpa ditemukan komplikasi.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1. Balai Penerbit FK UI. Jakarta:


2001,49- 51.
2. Ismanoe G. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 3. Balai Penerbit FK UI. Jakarta:
2006. Hal 1799-1807.
3. Sjamsuhidajat R, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta: EGC;
2010.
4. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi
dan Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 197-205
5. Latief, S.A. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensife FKUI. Jakarta. Hal :1, 29-32
6. Muhiman muhardi, Thaib Muhadri, Sunatrio S, Dahlan Ruslan.
Anestesiologi. Premedikasi. FKUI. Jakarta. Hal :59-62

43

Anda mungkin juga menyukai