Oleh:
Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU PLH
23 Tahun 2009 Pasal 1).
Saat ini, telah dijumpai banyak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas
manusia. Adanya kerusakan lingkungan tersebut disebabkan oleh kurang pahamnya manusia
terhadap peranan lingkungan maupun karena dorongan motif ekonomi yang besar dalam
memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungan. Apalagi parameter utama
kemajuan suatu negara dinilai dari sektor ekonomi. Hal ini berdampak pada eksploitasi
sumber daya alam yang masif yang dilakukan oleh negara dalam rangka meningkatkan
income negara.
Sesuai dengan UU PLH no.23 Tahun 2009, definisi pencemaran lingkungan adalah
masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup
yang telah ditetapkan Adapun definisi dari baku mutu adalah ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan
hidup.
Dalam pengelolaan sumber daya air, terdapat istilah baku mutu air sebagai standar
untuk menentukan apakah kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada dan/atau unsur pencemar masih ditenggang keberadaannya atau sudah mengganggu
keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di lingkungan perairan tersebut tersebut.
Baku mutu air di wilayah provinsi DIY, telah diatur di dalam peraturan-peraturan sebagai
berikut :
1. Pergub no. 20 Tahun 2008, tentang baku mutu air di Provinsi DIY
2. Perda no. 7 Tahun 2016, tentang baku mutu air limbah
3. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 153/KPTS/1992
Tentang Peruntukan Air Sungai Di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
4. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 157a/KPTS/1998
Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel Di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
5. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 65 Tahun 1999
Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Pelayanan Kesehatan Di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
PERGUB NO. 20 TAHUN 2008, TENTANG BAKU MUTU AIR DI PROVINSI DIY
Di dalam Perda ini, dicantumkan tentang baku mutu air limbah di wilayah Propinsi
D.I.Yogyakarta. Di dalam Perda ini, penetapan baku mutu air limbah dikelompokkan dalam 3
(tiga) sektor yaitu industri, pelayanan kesehatan dan jasa pariwisata.
Baku mutu Limbah yang diatur dalam Perda meliputi industri sebagai berikut :
Baku mutu Limbah yang diatur dalam Perda untuk pelayanan kesehatan, meliputi :
Kegiatan rumah sakit
Kegiatan laboratorium lingkungan dan laboratorium kesehatan
Kegiatan puskesmas rawat inap dan rumah sakit bersalin
Kegiatan pelayanan kesehatan lainnya
Baku mutu Limbah yang diatur dalam Perda untuk kegiatan jasa pariwisata meliputi :
Hotel berbintang 1
Hotel berbintang 2
Hotel Berbintang 3
Hotel Berbintang 4 & 5
Hotel Melati
Kegiatan Jasa Pariwisata yang lainnya
Secara garis besar dapat disimpulkan kualitas air Sungai Serang di Kabupaten Kulon
Progo mengalami penurunan kualitas. Penyebab terbesarnya adanya pencemaran limbah
baik limbah industri maupun limbah domestik. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji dari
beberapa parameter yang memiliki nilai diatas baku mutu air sungai.
Adapun berdasarkan data yang adi di Laporan KLH Kabupaten Kulon Progo Tahun
2016, dicantumkan data hasil pengukuran tiga parameter di lima titik pantau Sungai Serang,
dengan uraian hasil sebagai berikut :
Berdasarkan data dari Laporan Tahunan Kementrian Lingkungan Hidup Kabupaten
Kulon Progo tahun 2016, hasil pengukuran di 5 titik pantau di Sungai Serang dapat diuraikan
sebagai berikut:
Tiga dari lima titik pantau di Sungai Serang (yakni di titik I, II, dan III) diperoleh
hasil bahwa parameter-parameter yang diukur menunjukkan hasil masih memenuhi
baku mutu (standar kelas II), dengan rincian pada titik I, II, dan III, nilai indeks
pencemarnya berturut-turut adalah 0,553; 0,497; dan 0,495.
Dua dari lima titik pantau yakni di titik pantau IV dan V, masing-masing dengan nilai
indeks pencemar 2,070 dan 1,255 menunjukkan kategori cemar ringan berdasarkan
acuan baku mutu kelas II.
Secara umum Indeks Kualitas Air tahun 2016 (Indeks = 62) menurun dibanding tahun
2015 (Indeks = 70). Pada tahun 2015 dari 3 titik pantau semuanya atau 100 % memenuhi
baku mutu. Sedangkan pada tahun 2016 dari 5 titik pantau hanya 3 titik yang memenuhi baku
mutu atau 60 %.
Dalam penetapan aturan baku mutu air, terdapat beberapa kelemahan. Salah satunya
adalah dengan kurang memperhatikan adanya kemampuan self purification yang mampu
dilakukan oleh badan sungai. Sebagai contoh, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Arbie, dkk (2015), mengenai “Studi Kemampuan Self Purification Pada Sungai Progo
Ditinjau Dari Parameter Organik DO Dan BOD (Point Source : Limbah Sentra Tahu Desa
Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi D.I. Yogyakarta”,
didapatkan hasil bahwa Sungai Progo memiliki kemampuan untuk melakukan purifikasi
alami pada zona pemulihan oksigen menuju kondisi saturasi DO dengan nilai konstanta
purifikasi alami (f) = 2,74437. Nilai f di tersebut menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian
tersebut adalah sungai besar dengan kecepatan aliran normal. Angka tersebut juga
menunjukkan bahwa terjadi pemurnian parameter pencemar organik pada badan sungai.
Berdasarkan penelitian Arbie, dkk, konsentrasi BOD dan DO dari hasil laboratorium
menunjukkan adanya proses oksidasi yang terjadi dalam badan sungai, ditandai dengan
fluktuasi konsentrasi DO dan penurunan konsentrasi BOD secara bertahap dan alami.
Konsentrasi DO mengalami pengurangan (defisit) bila dibandingkan dengan DO saturasi
hingga titik tertentu (deoksigenasi), kemudian secara alami akibat proses reaerasi pada
permukaan air menyebabkan konsentrasi DO pada air sungai kembali pada kondisi
saturasinya.
Berikut digambarkan grafik BOD (perbandingan BOD teoritis dan BOD real) terhitung
dari lokasi setelah pembuangan limbah, sampai pada titik ke-9 dari lokasi awal,
Berdasarkan grafik tersebut, dapat dilihat terjadi penurunan nilai BOD. Adanya
penurunan nilai BOD ini, menurut Arbie, dkk (2015), secara teoritis dialami setiap jarak yang
ditempuh oleh transfer massa organik di dalam air sungai. Proses ini disebut proses
deoksigenasi, dimana nilai oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengurai
zat-zat organik mengalami penurunan. Hal ini menggambarkan bahwa semakin jauh jarak
tempuh, zat organik secara alami tentu mengalami penurunan konsentrasi dan diikuti dengan
penurunan jumlah mikroorganisme yang berada pada air sungai tersebut.
Berdasarkan grafik tersebut, dapat dilihat terjadi penurunan konsentrasi DO pada titik
awal hingga titik tertentu, kemudian mengalami peningkatan kembali. Adanya penurunan
konsentrasi DO (deoksigenasi) dikarenakan terjadi peristiwa pemurnian alami pada air
sungai, kemudian mengalami peningkatan konsentrasi DO setelah adanya proses rearerasi.
Berdasarkan hasil penelitian Arbie, dkk (2015), dapat digambarkan zona self
purification pada lokasi penelitian sebagai berikut :
Terdapat dua zona yang dilalui oleh air untuk mengalami pemurnian kembali, yakni
zona degradasi dan zona recovery (pemulihan).
Studi Kasus Tambak Udang di Pantai Trisik, Banaran, Galur, Kulon Progo
Maraknya tambang udang Vaname sudah dimulai sejak tahun 2000-an. Saat ini,
hampir di sepanjang pesisir selatan laut Pulau Jawa mulai bermunculan tambak udang,
termasuk di lokasi Pantai Trisik, Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo.
Masalah yang muncul dari adanya tambak ini adalah pembuangan limbah ke Laguna Trisik
yang sebenarnya digunakan untuk budidaya ikan nila dan Bandeng. Fenomena ini
mengakibatkan kematian ikan akibat kekurangan oksigen dan terjadinya pendangkalan di
dasar laguna.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dwitasari dan Mulasari (2017), hasil
pengujian BOD5, fosfat, dan amonia pada saluran pembuangan dinyatakan bahwa hampir
semua parameter air yang diujikan melebihi baku mutu efluen tambak udang menurut
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 28 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum
Budidaya Udang di Tambak. Sedangkan hasil pengujian BOD5, fosfat, dan amonia pada
tengah Laguna Trisik dinyatakan bahwa semua parameter air yang diujikan melebihi kriteria
mutu air kelas III menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Adanya limbah tambak udang yang melebihi baku mutu tersebut menunjukkan belum
ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam implementasi baku mutu.
Limbah udang seharusnya diolah melalui IPAL terlebih dahulu agar aman –tidak
menimbulkan pencemaran- ketika dibuang ke lingkungan.
Kemunculan tambang emas di wilayah ini sudah dimulai sejak tahun 1995, di Desa
Kalirejo. Penambangan emas yang dilakukan masyarakat dilakukan dengan cara sederhana
yaitu dilakukan dengan sistem tambang bawah tanah dengan cara membuat terowongan (adit)
dan sumur (vertical shaft). Dalam tulisannya Larasati, dkk (2012), disebutkan bahwa satu
lokasi pengolahan bijih menggunakan 1 – 10 gelundung dan setiap gelundung dapat
mengolah 15 - 25 kg bijih dalam sehari. Bijih yang telah ditumbuk dimasukkan kedalam
gelundung berisi potongan besi (rod), ditambahkan air, merkuri dan semen, dan selanjutnya
diputar selama beberapa jam dengan tenaga listrik (generator). Setelah proses amalgamasi
selesai, amalgam dipisahkan dari tailingnya dengan cara diperas dengan kain parasit dan
tailing dialirkan ke dalam bak penampungan tailing atau dibiarkan mengalir ke halaman
rumah. Proses pembuangan limbah yang demikian yang menyebabkan pencemaran
lingkungan.
Berdasarkan jurnal yang diterbitkan oleh yang diterbitkan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwa di desa
Kalirejo terdapat 30,76% penambang emas yang darahnya mengandung merkuri, dengan
level merkuri tertinggi 13,7 μg/l (Husodo, et. Al dalam Larasati, dkk (2012)). Berdasarkan
penelitian Setiabudi (2005) di Daerah Sangon, Kecamatan Kokap, Kulon Progo, hasil analisis
kimia 5 contoh tanah dari lokasi di sekitar tempat pengolahan emas (gelundung), semuanya
menunjukkan kadar merkuri yang sangat tinggi. Empat contoh tanah mengandung
konsentrasi lebih dari 50 ppm Hg dan 1 contoh tanah mengandung hampir 7 ppm Hg).
Konsentrasi merkuri dalam tanah ini dianggap sangat tinggi jika dibandingkan dengan nilai
kelimpahan unsur merkuri dalam tanah yang normalnya kurang dari 0,3 ppm. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa wilayah di sekitar tempat pengolahan emas rakyat telah
mengalami kontaminasi merkuri yang signifikan. Selian itu berdasarkan penelitian Setiabudi
(2005) juga disebutkan bahwa pada sampel tailing yang diambil, semuanya menunjukkan
nilai konsentrasi Hg yang sangat tinggi, yaitu 800 – 6900 ppm. Konsentrasi merkuri yang
tinggi dalam contoh tailing pada umumnya disebabkan oleh proses amalgamasi yang tidak
sempurna. Meskipun tailing tersebut dapat diproses atau didaur ulang, tetapi kemungkinan
besar konsentrasi merkuri yang terdapat dalam tailing akhir yang terbuang ke sungai masih
cukup besar. Di lokasi tambang ini, kadang-kadang dalam kondisi bak penampungan yang
telah penuh, proses pengolahan masih berlangsung sehingga tailing meluap dan mengalir ke
sungai, terutama jika terjadi hujan, sehingga terjadi kontaminasi merkuri di lingkungan
sekitarnya. Selain itu jika gelundung diletakkan di pinggir sungai, biasanya tailing dibuang
langsung kedalam sungai sehingga kontaminasi merkuri di sungai akan terjadi secara
langsung. Kemudian berdasarkan uji laboratorium Badan Lingkungan Hidup DIY,
didapatkan hasil bahwa satu dari lima sumur warga di Pedukuhan Plampang II terbukti
memiliki kandungan raksa atau merkuri melebihi batu mutu sesuai ketentuan, sekitar 0,06-
0,07 parts per billion (ppb) (Tribunjogja, Mei 2014).
Fenomena pencemaran lingkungan akibat adanya tambang emas ilegal juga menjadi
catatan kelemahan implementasi baku mutu lingkungan. Hal ini disebabkan karena belum
tegasnya birokrasi dalam menindak legalitas suatu usaha tambang. Karena ketidaklegalan
usaha tambang tersebut, maka pengawasan pemerintah terhadap pencemaran lingkungan
yang berdampak pada terlampauinya baku mutu juga kurang. Pemerintah juga tidak dapat
melakukan pembinaan kepada para penambang karena status kegiatan tambangnya yang
masih ilegal.
Di Eropa Barat dan Tengah terdapat data yang konsisten mengenai kualitas air yang
telah dikumpulkan oleh masing-masing negara dari waktu ke waktu. Data dikumpulkan setiap
tahun dari 3.500 stasiun sungai di 32 negara, lebih dari 1.000 stasiun danau, dan sekitar 1.100
badan air tanah. Data disimpan oleh EEA’s Waterbase yang dapat diakses oleh badan
nasional dan regional.
EU Water Frame Directive, sebuah mandat yang mengikat negara-negara anggota Uni
Eropa untuk mencapai status kualitatif dan kuantitatif yang baik dari semua badan air
(termasuk perairan laut hingga satu mil laut dari pantai) pada tahun 2015. EU Water
Framework Directive memberikan kemajuan pada kebijakan Eropa dengan konsep status
ekologis dan pengelolaan air di tingkat DAS. Konsep ini pertama kali dimasukkan ke dalam
kerangka kerja legislatif Eropa. Status ekologis harus mencakup penilaian terhadap
karakteristik biologis, habitat dan hidrologi badan air serta sifat fisik dan kimia. Langkah-
langkah harus ditargetkan untuk menjaga tingkat air dan arus air yang berkelanjutan dan
untuk memelihara dan memulihkan habitat. Keberhasilan WFD bergantung pada
implementasi yang tepat oleh negara-negara. Dengan demikian strategi implementasi yang
umum dikembangkan dan saat ini sedang dalam proses.
Di dalam WFD, terdapat penjelasan mengenai klasifikasi kualitas air yang didasarkan
pada status ekologinya. Terdapat 5 kategori status ekologi, yakni :
High— Kondisi biologis, kimia, dan morfologi yang baik, tekanan manusia tidak ada
atau sangat rendah; kategori ini merupakan syarat atau patokan acuan karena
merupakan status terbaik yang dapat dicapai.
Good—penyimpangan yang tipis dari kondisi acuan/patokan
Moderate— penyimpangan sedang dari kondisi acuan/patokan
Poor— penyimpangan terhadap hal yang substansial dari kondisi acuan/patokan
Bad— penyimpangan yang parah dari kondisi acuan/patokan
Di Eropa, untuk melakukan penilaian terhadap kualitas air perlu adanya persamaan
metode penilaian untuk lokasi-lokasi tertentu, sehingga dapat diketahui status ekologi yang
jelas. Di Eropa diselenggarakan latihan interkalibrasi. Interkalibrasi dilakukan terpisah untuk
masing-masing jenis sumberdaya air- sungai, danau, pesisir dan peralihan air.
Pengelompokan latihan interkalibrasi lebih jauh juga didasarkan pada tingkat tekanan
aktivitas manusia terhadap sumber daya air dan juga berdasarkan BQEs (biological quality
element). Latihan interalibrasi dilakukan dalam satuan geografis yang lebih besar yang
disebut kelompok intercalibration geografis (GIGs), di mana kelompok ini terdiri dari negara-
negara anggota yang memiliki tipe perairan biogeofisik serupa (disebut 'tipe intercalibration
yang umum'). GIG agak mirip dengan stratifikasi oleh ekoregion, seperti didirikan di
Amerika Serikat, untuk menyesuaikan ekspektasi biota perairan dengan mengelompokkan
daerah yang dipengaruhi oleh faktor geofisika yang serupa. Interkalibrasi menjadi mekanisme
untuk menengahi perbedaan status sumber air yang dihasilkan oleh beberapa negara yang
tergabung di dalam kelompok GIG yang sama, sehingga melalui mekanisme ini juga metode
penilaian yang digunakan dapat disamakan/diselaraskan.
Daftar Pustaka
Arbie, Rahmat Andy, Winardi Dwi Nugraha, Sudarno. 2015. Studi Kemampuan Self
Purification Pada Sungai Progo Ditinjau Dari Parameter Organik DO Dan BOD (Point
Source : Limbah Sentra Tahu Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo,
Provinsi D.I. Yogyakarta). Jurnal Teknik Lingkungan, Vol 4, No 3 (2015)
Dwitasari, Elga Luthfianna dan Surahma Asti Mulasari. 2017. Tinjauan Kandungan BOD5
(Biologycal Oxygen Demand), Fosfat Dan Amonia Di Laguna Trisik. THE 5TH URECOL
PROCEEDING,18 February 2017 UAD, Yogyakarta
European Environment Agency. 2012. European waters — assessment of status and
pressures. EEA Report No.8/2012
Larasati, Rininta, Prabang Setyono, Kusno Adi Sambowo. 2012. Valuasi Ekonomi
Eksternalitas Penggunaan Merkuri Pada Pertambangan Emas Rakyat Dan PeranPemerintah
Daerah Mengatasi Pencemaran Merkuri (Studi Kasus Pertambangan Emas Rakyat di
Kecamatan Kokap Kulon Progo). Jurnal EKOSAINS | Vol. IV | No. 1 | Maret 2012
Poikane , Sandra, Nikolaos Zampoukas, Angel Borja, Susan P. Davies, Wouter van de Bund,
Sebastian Birk. 2014. Intercalibration of aquatic ecological assessment methods in the
European Union: Lessons learned and way forward. Environmental science & policy 44
(2014) :237-246
Setiabudi, Bambang Tjahjono. 2005. Penyebaran Merkuri Akibat Usaha Pertambangan Emas
Di Daerah Sangon, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Kolokium Hasil Lapangan –
Subdit Konservasi