Anda di halaman 1dari 33

KESULITAN KEUANGAN (FINANCIAL DISTRESS)

MAKALAH MANAJEMEN KEUANGAN LANJUT

Diajukan untuk memenuhi tugas


Mata kuliah Manajemen Keuangan Lanjut
pada Program Studi Akuntansi STIE STAN-Indonesia Mandiri

Disusun oleh:
Nenda Marliani (371601016)
Siti Maesaroh (371601002)
Glory Stevany S (371501002)
Mirna Fitri Lc (371501014)
Leta Olivia (371501008)
Maria Ana Rumiana ( 371501003)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI STAN-INDONESIA MANDIRI

BANDUNG

2017
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Ilahi Robbi, Robb semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-NYA kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “Kesulitan Keuangan”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Manajemen Keuangan
Lanjut di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi STAN-Indoensia Mandiri.
Selama penyusunan makalah ini penulis telah banyak menerima bantuan,
bimbingan, nasehat, dukungan, dan dorongan serta semangat dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Leni Susanti, M.Si, selaku Dosen Mata Kuliah Manajemen Keuangan
Lanjut di STIE STAN Indonesia Mandiri.
2. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan dorongan moril maupun
materil.
3. Seluruh Mahasiswa dan Mahasiswi Kelas Akuntansi S1.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam membahas serta mengkaji
topik yang ada, namun penulis menyadari bahwa hasil karya ini jauh dari sempurna
dan masih banyak sekali kekurangan didalamnya, hal ini dikarenakan keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan yang dimliki oleh penulis.

Bandung, 24 Mei 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
1.2. Identifikasi Masalah .................................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 3

BAB II KESULITAN KEUANGAN ............................................................ 4


2.1. Definisi Financial Distress (Kesulitan Keuangan) ................................... 4
2.2. Hal yang terjadi jika Perusahaan mengalami Financial Distress ............. 6
2.3. Definisi Kebangkrutan, Likuidasi dan Reorganisasi ................................. 9
2.3.1. Definisi Kebangkrutan .................................................................... 9
2.3.1.1. Sebab-Sebab Kegagalan Usaha ........................................ 10
2.3.1.2. Volume Kegagalan Usaha ................................................ 11
2.3.2. Definisi Likuidasi ............................................................................ 12
2.3.2.1. Prosedur Likuidasi ........................................................... 13
2.3.2.2. Likuidasi Penyerahan ....................................................... 13
2.3.2.3. Likuidasi Kepailitan ......................................................... 14
2.3.3. Definisi Reorganisasi ...................................................................... 15
2.3.3.1. Reorganisasi Formal......................................................... 15
2.3.3.2. Keputusan di Bidang Permodalan dalam Reorganisasi.... 16
2.3.3.3. Standar Keadilan .............................................................. 17
2.3.3.4. Standar Kelayakan............................................................ 17
2.4. Perbandingan antara private workout dengan kepailitan .......................... 18
2.4.1. Prosedur Hukum Kepailitan ............................................................ 19
2.5. Perpackaged Bangkruptcy......................................................................... 20
2.5.1. Definisi Perpackaged Bangkruptcy................................................. 20
2.5.2. Prosedur Perpackaged Bangkruptcy ............................................... 21
2.5.3. Advantages to Prepackaged Bankruptcy ........................................ 21
2.5.4. Disadvantages to Prepackaged Bankruptcy ................................... 21
2.5.5. Restrukturisasi Hutang Perusahaan yang Kesulitan ....................... 22
2.6. Prediksi Kebangkrutan Perusahaan dengan Model Z-Score (Altman) ..... 24
2.6.1. Rasio-Rasio Keuangan Motode Z-Score (Altman) ......................... 24
2.6.2. Formula Metode Z-Score (Altman) ................................................ 25
2.6.3. Interpretasi Nilai Z-Score................................................................ 25

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 26


3.1. Kesimpulan ............................................................................................... 26
3.2. Saran .......................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 28


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Suatu perusahaan mungkin mengalami kesulitan keuangan. Kesulitan
keuangan ini mulai dari yang sifatnya ringan (kesulitan likuiditas) sampai kesulitan
yang parah (kesulitan solvabilitas). Meskipun kesulitan keuangan bisa disebabkan
karena faktor-faktor yang betul-betul di luar dugaan, seperti bencana alam
misalnya, tetapi sebagian besar kesulitan keuangan tersebut disebabkan oleh
kesalahan manajemen. Serangkaian keputusan manajemen yang salah membuat
kondisi perusahaan makin lama makin memburuk, sampai akhirnya berada dalam
keadaan insolvabel (kekayaan lebih kecil dari pada seluruh kekayaan finansialnya)
(Husnan, 1996:205)
Sebenarnya banyak perusahaan yang menghadapi kesulitan keuangan dan
sebagian lagi malah benar-benar gagal usahanya. Perusahaan yang tidak
berkembang dan tidak mampu menarik tenaga eksekutif yang terampil, mungkin
akan menghadapi kesulitan keuangan yang dapat menggiring perusahaan ke arah
kegagalan. Manajer keuangan dari perusahaan yang sedang merosot harus
mengetahui bagaimana menghindari keambrukan total perusahaan dan
memperkecil kerugian. Manajer keuangan dari perusahaan yang berkembang
maupun yang mempunyai potensi kegagalan, perlu memahami sebab-sebab dan
cara perbaikan kegagalan usaha (Brigham & Weston, 1991:661).
Ada beberapa contoh kejadian dimana kegagalan suatu perusahaan dapat
mempengaruhi perusahaan lain yang sukses yaitu (1) penjualan lama dan piutang
kepada perusahaan tersebut akan hilang sirna dengan pailitnya perusahaan itu, (2)
arus masuk bahan baku mungkin akan terhenti dengan pailitnya supplier barang,
dan (3) kegagalan usaha dari pesaing akan memperbesar porsi pasar (market share)
perusahaan lainnya dalam sektor usaha yang sama (Brigham & Weston, 1991:661).
Apabila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, penyelesaiannya dapat
dilakukan dengan sukarela, bisa pula terpaksa ditempuh prosedur hukum.
Penyelesaian sukarela meliputi perpanjangan, composition, dan likuidasi dengan
persetujuan bersama. Meskipun demikian apabila cara semacam ini tidak bisa
ditempuh, terpaksa likuidasi dengan prosedur hukum (Husnan, 1996:206)
Apabila kesulitan keuangan tersebut masih bisa diperbaiki, karena prospek
perusahaan diperkirakan masih baik, mungkin cara reorganisasi lebih baik
ditempuh. Dengan kata lain, apabila kondisi perusahaan sudah tidak bisa ditolong,
likuidasi terpaksa ditempuh. Untuk melakukan reorganisasi ini ditempuh prosedur
(1) menentukan nilai perusahaan, (2) memformulasikan struktur modal, (3)
menentukan nilai surat-surat berharga lama (Husnan, 1996:206)
Untuk mengetahui lebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesulitan
keuangan, maka penulis akan membahas materi tersebut dalam makalah yang
berjudul “ Kesulitan Keuangan (Financial Distress)”.

1.2. Identifikasi Masalah


Identifikasi masalah dalam makalah ini adalah menjelaskan mengenai hal-
hal yang bersangkutan dengan kesulitan keuangan, dengan rincian sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan financial distress?
2. Apa yang akan terjadi jika perusahaan mengalamai financial distress ?
3. Apa definisi dari kebangkrutan, likuidasi dan reorganisasi?
4. Apa yang lebih baik: Private workout atau kepailitan?
5. Apa yang dimaksud prepackaged bangkruptcy?
6. Bagaimana prediksi kebangkrutan perusahaan menggunakan model Z-Score
(Altman)?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah menjelaskan mengenai hal-hal yang
bersangkutan dengan kesulitan keuangan, dengan rincian sebagai berikut:
1. Untuk memahami definisi financial distress.
2. Untuk mengetahui hal yang terjadi jika perusahaan mengalamai financial
distress.
3. Untuk mengetahui definisi dari kebangkrutan, likuidasi dan reorganisasi.
4. Untuk mengetahui apa yang lebih baik: Private workout atau kepailitan.
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud prepackaged bangkruptcy.
6. Untuk mengetahui prediksi kebangkrutan perusahaan menggunakan model Z-
Score (Altman).
BAB II
KESULITAN KEUANGAN (FINANCIAL DISTRESS)

2.1. Definisi Financial Distress (Kesulitan Keuangan)


Financial distress, berarti kesulitan dana untuk menutup kewajiban
perusahaan atau kesulitan likuiditas yang diawali dengan kesulitan ringan sampai
pada kesulitan yang lebih serius, yaitu jika hutang lebih besar dibandingkan dengan
aset. Definisi financial distress yang lebih pasti sulit dirumuskan tetapi terjadi dari
kesulitan ringan sampai berat (Santoso, 2007).
Financial distress atau sering disebut dengan kesulitan keuangan, terjadi
sebelum suatu perusahaan benar-benar mengalami kebangkrutan. Financial
distress merupakan suatu kondisi yang menunjukkan tahap penurunan dalam
kondisi keuangan perusahaan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan
ataupun likuidasi (Plat dan Plat, 2002, dalam Almilia, 2006 dan Ramadhani dan
Lukviarman, 2009). Financial distress juga bisa didefinisikan sebagai
ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban financial yang telah jatuh
tempo (Beaver et aI, 2011). Foster (1988, dalam Ramadhani dan Lukviarman,
2009) mendefinisikan financial distress sebagai, “Financial distress is lIsed to
mean severe liquidity problems that cannot be resolved without a sizable rescaling
of the entity’s operations or structure.”
Financial distress bisa terjadi di berbagai perusahaan dan bisa menjadi
penanda/sinyal dari kebangkrutan yang mungkin akan dialami perusahaan. Jika
perusahaan sudah masuk dalam kondisi financial distress, maka manajemen harus
berhati-hati karena bisa saja masuk pada tahap kebangkrutan. Manajemen dari
perusahaan yang mengalami financial distress harus melakukan tindakan untuk
mengatasi masalah keuangan tersebut dan mencegah terjadinya kebangkrutan
(Santoso, 2007).
Financial distress merupakan kondisi dimana keuangan perusahaan dalam
keadaan tidak sehat atau krisis. Financial distress terjadi sebelum kebangkrutan.
Kebangkrutan sendiri biasanya diartikan sebagai suatu keadaan atau situasi dimana
perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban – kewajiban debitur
karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk
menjalankan atau melanjutkan usahanya sehingga tujuan ekonomi yang ingin
dicapai oleh perusahaan dapat dicapai yaitu profit, sebab dengan laba yang
diperoleh perusahaan bisa digunakan untuk mengembalikan pinjaman, bisa
membiayai operasi perusahaan dan kewajiban – kewajiban yang harus dipenuhi
bisa ditutup dengan laba atau aktiva yang dimiliki (Santoso, 2007).
Model financial distress perlu untuk dikembangkan, karena dengan
mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini diharapkan dapat
dilakukan tindakan – tindakan untuk mengantispasi yang mengarah kepada
kebangkrutan.
Prediksi financial distress perusahaan ini menjadi perhatian banyak pihak.
Pihak – pihak yang menggunakan model tersebut meliputi :
1. Pemberi pinjaman. Penelitian berkaitan dengan prediksi financial distress
menpunyai relevansi terhadap institusi pemberi pinjaman, baik dalam
memutuskan apakah akan memberikan suatu pinjaman dan menentukan
kebijakan untuk mengawasi pinjaman yang telah diberikan.
2. Investor. Model prediksi financial distress dapat membantu investor ketika akan
menilai kemungkinan masalah suatu perusahaan dalam melakukan pembayaran
kembali pokok dan bunga.
3. Pembuat peraturan. Lembaga regulator mempunyai tanggung jawab mengawasi
kesanggupan membayar hutang dan menstabilkan perusahaan individu. Hal ini
menyebabkan perlunya suatu model yang aplikatif untuk mengetahui
kesanggupan perusahaan membayar hutang dan menilai stabilitas perusahaan.
4. Pemerintah. Prediksi financial distress juga penting bagi pemerintah dan
antitrust regulation.
5. Auditor. Model prediksi financial distress dapat menjadi alat yang berguna bagi
auditor dalam membuat penilaian going concern suatu perusahaan.
6. Manajemen. Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan maka perusahaan
akan menanggung biaya langsung (fee akuntan dan pengacara) dan biaya tidak
langsung (kerugan penjualan atau kerugian paksa akibat ketetapan pengadilan).
Sehingga dengan adanya model prediksi financial distress diharapkan
perusahaan dapat menghindari kebangkrutan dan otomatis juga dapat
menghindari biaya langsung dan tidak langsung dari kebangkrutan
(Santoso,2007).

2.2. Hal yang terjadi jika Perusahaan mengalami Financial Distress


Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh
perusahaan. Menurut Harahap (2009) ada beberapa indikator untuk melihat tanda-
tanda kesulitan keuangan dapat diamati dari pihak eksternal, misalnya:
a. Penurunan jumlah dividen yang dibagikan kepada pemegang saham selama
beberapa periode berturut-turut.
b. Penurunan laba secara terus-menurus bahkan perusahaan mengalami kerugian.
c. Ditutup atau dijualnya satu atau lebih unit usaha.
d. Pemecatan pegawai secara besar-besaran.
e. Harga di pasar mulai menurun terus-menerus.
Sebaliknya, beberapa indikator yang dapat diketahui dan harus diperhatikan
oleh pihak internal perusahaan adalah:
a. Turunnya volume penjualan karena ketidakmampuan manajemen dalam
menerapkan kebijakan dan strategi.
b. Turunnya kemampuan perusahaan dalam mencetak keuntungan.
c. Ketergantungan terhadap utang, dimana perusahaan memiliki utang sangat
besar sehingga biaya modalnya membengkak (www.e-akuntansi.com).
Hal-hal yang dapat terjadi ketika perusahaan mengalami financial
distress/kesulitan keuangan, perusahaan tersebut akan mengami penurunan secara
keseluruhan, baik dari segi internal perusahaan yang dalam hal ini dikatakan nilai
perusahaan itu sendiri maupun dari segi eksternal perusahaan yang dalam hal ini
adalah pandangan dari pihak investor terhadap perusahaan ketika menginvestasikan
saham dalam perusahaan tersebut. Namun, tidak menutut kemungkinan perusahaan
tersebut harus ditutup, tergantung dari pihak perusahan (www.e-akuntansi.com).
Apakah perusahaan akan tetap mempertahankan perusahaannya apabila
dikatakan masih prediksi/tidak bangkrut dengan menaikkan nilai perusahaan atau
perusahaan akan melakukan perbaikan dini apabila dikatakan cenderung bangkrut.
Beberapa hal yang mungkin dilakukan oleh perusahaan yang mengalami financial
distress antara lain:
1. Menjual aset-aset utamanya. seperti: tanah, gedung, kendaraan, mesin dll.
2. Merger dengan perusahaan lain. Merger adalah penggabungan dua atau lebih
perusahaan menjadi satu, dimana perusahaan yang me-merger mengambil/
membeli semua asset dan liabilitas perusahaan yang dimerger sehingga
perusahaan yang memerger memiliki paling tidak 50% saham dan perusahaan
yang dimerger berhenti beroperasi dan pemegang sahamnya menerima sejumlah
uang tunai atau saham di perusahaan yang baru (Brealey, Myers & Marcus,
1999, p.598).
3. Mengurangi belanja modal untuk penelitian dan pengembangan. Misalkan
perusahaan mempunyai rencana untuk melakukan penelitian dan pengembangan
perusahaan, perusahaan akan menimimalkan biaya.
4. Menerbitkan saham atau obligasi baru. Menerbitkan saham atau obligasi baru
bertujuan membutuhkan pendanaan jangka panjang dan meningkatkan modal
bisnis.
5. Negoisasi dengan bank atau kreditor lainnya.
6. Mengkonversi utang menjadi ekuitas.
7. Mengajukan permohonan kepailitan (www.e-akuntansi.com).

Strategi ketika terjadi financial distress:


1. Langkah nomor 1, 2, dan 3 merupakan langkah-langka yang terkait dengan aset
perusahaan atau disebut dengan asset restructuring. Asset restructuring
merupakan kegiatan penyusunan perusahaan supaya kinerja perusahaan lebih
baik. Contohnya; lini bisnis, dvisi, unit usaha atau SBU (Strategic Business
Unit).
2. Langkah nomor 4, 5, 6 dan 7 merupakan langkah terkait sisi kanan laporan posisi
keuangan perusahaan (sisi pendanaan) dan merupakan contoh financial
restructuring.
3. Manfaat melaksanakan asset restructuring:
a. Perusahaan menjual aset-aset yang tidak terkait dengan bisnis utama perusahaan,
misalnya anak perusahaan atau divisi yang tidak berkontribusi kepada
keuntungan perusahaan.
b. Hasilnya dari asset restructuring adalah perusahaan memilki struktur organisasi
baru yang lebih ramping dan dapat fokus pada strategi baru yang sesuai dengan
core bussiness perusahaan (www.e-akuntansi.com).

Alternatif Perbaikan Financial Distress


Menurut Hanafi dan Halim (2009:274) berikut ini beberapa alternatif
perbaikan berdasarkan besar kecilnya permasalahan keuangan yang dihadapi oleh
perusahaan:
1. Pemecahan secara informal
a. Dilakukan apabila masalah belum begitu parah.
b. Masalah perusahaan hanya bersifat sementara, prospek masa depan masih
begitu bagus.
Cara pemecahan secara infomal:
a. Perpanjangan (exstension): dilakukan dengan memperpanjang jatuh tempo
hutang-hutangnya.
b. Komposisi (composition): dilakukan dengan mengurangi besarnya tagihan.
2. Pemecahan secara formal
Dilakukan apabila masalah sudah parah, kreditur ingin mempunyai jaminan
keamanan.
Cara pemecahan secara formal:
a. Apabila nilai perusahaan diteruskan nilai perusahaan dilikuidasi (reorganisasi
dengan merubah struktur modal menjadi struktur modal yang layak).
b. Apabila nilai perusahaan diteruskan nilai perusahaan dilikuidasi (likuidasi
dengan menjual aset-aset perusahaan) (www.e-akuntansi.com).
2.3. Definisi Kebangkrutan, Likuidasi dan Reorganisasi
2.3.1. Definisi Kebangkrutan
Kebangkrutan adalah kegagalan perusahaan dalam menjalankan kegiatan
operasi untuk menghasilkan laba. Pengertian kebangkrutan dapat dilihat dari 2
pendekatan yaitu :
 Pendekatan aliran. Perusahaan dinyatakan bangkrut apabila perusahaan tidak
bisa menghasilkan aliran kas yang cukup.
 Pendekatan stock. Dengan pendekatan stock, perusahaan bisa dinyatakan
bangkrut jika total kewajiban melebihi total aktiva. Dari sudut pandang stock,
perusahaan dinyatakan bangkrut walaupun kemungkin masih menghasilkan
aliran kas yang cukup, atau masih memiliki prospek yang baik di masa
mendatang (Sitompul, 2014).
Kegagalan dapat ditafsirkan dalam beberapa cara, tergantung pada masalah yang
terlibat dan situasi yang dihadapi perusahaan. Untuk jelasnya kita berikan beberapa
definisi dari beberapa istilah sebagai berikut:
 Kegagalan ekonomis (economic failure). Kegagalan dalam pengertian ekonomis
berarti pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi total biayanya, termasuk
biaya modal (Brigham & Weston, 1991: 661).
 Kegagalan usaha (business failure). Termasuk perusahaan yang dalam
kegagalannya telah menimbulkan kerugian bagi krediturnya (Brigham &
Weston, 1991: 662).
 Insolvensi tehnis (technical insolvency). Sebuah perusahaan dinyatakan secara
tehnis insolven bila yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajiban jangka
pendek pada saat jatuh temponya. Insolvensi tehnis mencerminkan keadaan
kekurangan likiuditas dan sifatnya mungkin hanya sementara (Brigham &
Weston, 1991: 662).
 Insolvensi kepailitan (insovlency in bankruptcy). Sebuah perusahaan insolven
dalam kepailitan apabila jumlah kewajiban melebihi nilai aktivanya yang
sebenarnya. Kondisi ini yang lebih serius dari insolvensi tehnis, kerapkali
menuntun kepada likuidasi perusahaan (Brigham & Weston, 1991: 662).
 Kepailitan menurut hukum (legal bankruptcy). Walaupun istilah pailit ini umum
dipakai untuk perusahaan yang gagal, suatu perusahaan belum pailit menurut
hukum kecuali (1) memenuh kriteria yang ditetapkan undang-undang dan (2)
dinyatakan pailit oleh pengadilan. Kepailitan merupakan proses hukum untuk
likuidasi dan reorganisasi suatu perusahaan, pelaksanaannyasetelah ada vonis
pengadilan. Kepailitan dapat berupa sukarela (voluntary), dimana perusahaan
yang gagal yang minta kepada pengadilan agar dinyatakan pailit, atau secara
paksa, dimana kreditur perusahaan bersangkutan yang meminta pengadilan
menyatakan perusahaan itu pailit karena tidak dapat menyelesaikan hutangnya
pada saat jatuh tempo (Brigham & Weston, 1991: 662).

2.3.1.1. Sebab-Sebab Kegagalan Usaha


Banyak sekali yang dapat menjadi penyebab kegagalan usaha, dan sebeb ini
bervariasi dari situasi ke situasi lainnya. Dun & Bradstreet telah membuat kompilasi
persentase sebab sebab kegagalan sebagai berikut:
Sebab Kegagalan Persentase
Manajemen tidak kompeten 45,6%
Kurang pengalaman di bidang manajerial 12,5%
Pengalaman tidak seimbang dalam permodalan, penjualan, produksi, dll 19,2%
Kurang pengalaman di bidang produksi yang ditangani 11,1%
Kelalaian 0,7%
Musibah/malapetaka 0,5%
Penipuan 0,3%
Alasan yang tidak diketahui 10,1%
100,%

Yang dimaksud dengan tidak kompetennya manajer antara lain kegagalan


mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan resesi dan trend industri yang tidak
menguntungkan. Sebagai manajer seharusnya yang bersangkutan dapat
merencanakan ke masa depan dan selalu siap menghadapi keadaan baik atau pun
buruk. Dari penelitian diungkapkan bahwa kesulitan keuangan yang dihadapi
perusahaan biasanya akibat dari kesalahan perhitungan, kesalahan pertimbangan
dan kelemahan lain yang saling berkaitan, dimana secara langsung atau pun tidak
menggambarkan kemampuan manajemen. Ada pun tanda-tanda kesulitan keuangan
biasanya sudah terlihat sebelum mencegah kepailitan melalui riset identifikasi
sebab-sebab kegagalan usaha (Brigham & Weston, 1991: 663).

2.3.1.2. Volume Kegagalan Usaha


Di Amerika Serikat sendiri, berapa besarnya volume kegagalan usaha?.
Terlihat bahwa cukup banyak perusahaan yang gagal tiap tahunnya walaupun jika
dihitung per tahun, prosentasenya terbilang kecil. Sebagai contoh, tahun 1982 ada
25.346 perushaan yang gagal usaha, tetapi jumlah ini hanya 0,89% dibanding
populasi perusahaan seluruhnya. Menarik bila kita perhatikan bahwa walaupun
tingkat kegagalan per 10.000 perusahaan berfluktuasi menurut keadaan
perekonomian, tetapi rata-rata kewajiban per tiap kegagalan cenderung meningkat
terus. Keadaan ini disebabkan oleh inflasi dan juga kenaikan tingkat kegagalan
perusahaan-perusahaan multi-juta dolar dalam tahun-tahun terakhir ini (Brigham
& Weston, 1991: 663).
Memang umumnya kepailitan terjadi dilingkungan perusahaan kecil, tetapi
jelas bahwa perusahaan besar pun tidak kebal terhadap kemungkinan tersebut. Data
itu sendiri belum mengungkapkan sepenuhnya maslah keuangan yang dihadapi
perusahaan-perusahaan besar, karena untuk mengatasi masalah yang dihadapinya
banyak yang melakukan merger atau ada campur tangan pemerintah. Salah satu
contoh yang baik adalah bantuan pemerintah kepada perusahaan mobil Chysler.
Belakangan ini sudah dibentuk sistem Federal Home Loan Bank yang telah
mengatur penyerapan beberapa asosiasi simpan pinjam besar yang menghadapi
masalah yang dilebur kedalam lembaga-lembaga yang kuat, dan sistem Bank
Sentralnya juga telah melakukan hal yang sama terhadap bank-bank. Departemen
Pertahanan telah berhasil menyelamatkan perusahaan rekannya Lockheed ketika
yang bersangkutan hampir pailit, dan mengatur merger Dougls Aircraf dengan
Mcdonnell untuk mencegah kepailitan Douglas. Perusahaan Merrill-Lynch telah
mengambil alih perusahaan Good-body & Company untuk mencegah kepailitan
perusahaan itu yang akan berakibat bekunya 225.000 rekening langgananya. Kalau
sampai pailit, keadaannya akan membuat panik investor diseluruh negeri, karena
itu anggota-anggota bursa saham New York Stock Exchange mengumpulkan $30
juta sebagai perangsang bagi Merrill Lynch untuk pengambil-alihan itu. Banyak
lagi contoh lainnyadi sektor indusrti lain (Brigham & Weston, 1991: 663).
Mengapa pemerintah dan sektor indusrti bersangkutan berusaha mencegah
kepailitan perusahaan besar? Pada kasus Chrysler, motivasi utamanya adalah
mencegah pengangguran. Pada kasus lembaga-lembaga keuangan, tujuan utamanya
adalah mencegah (Brigham & Weston, 1991: 663). Lunturnya kepercayaan
masyarakat. Pada kasus Lockheed dan Douglas, Departemen Pertahanan selain
berusaha mempertahankan suplaier rekanan, juga untuk mencegah keresahaan
masyarakat setempat. Walaupun misalnya tidak menyangkut “kepentingan umum”
mengingat mahalnya proses kepilitan maka perusahaan umumnya berusaha sekuat
tenaga untuk menghindarinya. Biaya dan kompleksitas kepilitan akan dibahas nanti,
sebelumnya akan diulas cara mengatasi kepailitan secara informal dan lebih murah
(Brigham & Weston, 1991: 665).

2.3.2. Definisi Likuidasi


Likuidasi yaitu proses penjualan aktiva non-kas dari persekutuan karena
perusahaan persekutuan sudah tidak memungkinkan untuk menjalankan kegiatan
operasinya. Tujuan utama dari likuidasi adalah untuk melakukan pengurusan dan
pemberesan atas harta perusahaan yang dibubarkan tersebut. Likuidasi ditempuh
apabila para kreditur berpendapat bahwa prospek perusahaan tidak lagi
menguntungkan. Kalaupun ditambah modal, atau merubah kredit menjadi
penyertaan, tidak terlihat membaiknya kondisi perusahaan (Sitompul, 2014).

2.3.2.1. Prosedur Likuidasi


Kalau keadaan perusahaan sudah terlalu parah untuk dapat reorganisasi,
pilihannya hanya tinggal likuidasi. Likuidasi dapat terjadi dengan dua cara yaitu (1)
melalui penyerahan (assigment), yaitu prosedur likuidasi yang tidak melalui
pengadilan, dan (2) melalui kepailitan formal berdasarkan yurisdiksi suatu
pengadilan khusus. Likuidasi dilakukan kalau nilai perusahaan lebih tinggi dalam
keadaan mati daripada hidup atau bila kemungkinan pemulihan profitabilitas sangat
kecil sehingga kreditur akan merugi jika operasi diteruskan (Brigham & Weston,
1991: 672).

2.3.2.2. Likuidasi Penyerahan


Likuidasi penyerahan (assigment) adalah prosedur informal untuk
melikuidir hutang, bagi kreditur cara ini lebih menguntungkan dibanding kepailitan
formal karena mereka menerima lebih banyak. Pada jenis likuidasi ini dilakukan
transfer kepemilikan aktiva debitur kepada pihak ketiga yang di sebut assignee atau
trustee. Assignee diintruksikan untuk menjual aktiva itu baik di bawah tangan atau
pun melalui lelang umum dan hasilnya dibagikan kepada kreditur secara pro rata
(Brigham & Weston, 1991: 673).
Kelebihan likuidasi penyerahan ini dibanding likuidasi kepailitan melalui
pengadilan adalah lebih singkat nya waktu proses, tidak terlalu rumit masalah
yuridisnya dan lebih murah. Assignee menpunyai fleksibilitas penjualan aktiva
yang lebih tinggi dibanding trustee pada kepailitan. Tindakan dapat secepatnya
diambil sebelum persediaan sempat ketinggalan mode atau mesin-mesin berkarat
dan karen assignee menguasai saluran perdagangan, diharapkan hasilnya pun lebih
baik. Hanya saja likuidasi penyerahanini tidak otomatis menghapuskan semua
kewajiban debitur dalam hal hasilnya tidak mencukupi untuk melunasi semua
hutangnya, disamping itu tidak melindungi kreditur terhadap kemungkinan
penipuan. Kedua masalah ini dapat dihindarkan dalam kepailitan formal (Brigham
& Weston, 1991: 673).

2.3.2.3. Likuidasi Kepailitan


Undang-undang kepailitan mempunyai tiga fungsi penting dalam suatu
likuidasi yaitu (1) melindungi kreditur dari kemungkinan penipuan oleh debitur, (2)
pembagian aktiva debitur secara adil kepada kreditur, dan (3) menghapuskan semua
kewajiban debitur sehingga yang bersangkutan dapat mulai usaha baru tanpa harus
dibebani hutang-hutng terdahulu. Hanya saja kepailitan ini memakan waktu cukup
lama dan berakibat musnahnya usaha (Brigham & Weston, 1991: 674).
Distribusi aktiva dalam kepailitan ini diatur menurut urutan prioritas tagihan
masing-masing kreditur sebagai berikut:
1. Kreditur dengan jaminan hipotik atau jaminan khusus suatu barang tertentu.
Bila hasil penjualan jaminan diikat tersebut masih belum dapat melunasi
seluruh tagihan maka sisa tagihan kreditur dianggap sebagai tagihan kreditur
umu (yang tidak mendapat prefensi perlakuan).
2. Biaya trustee dalam penatalaksanaan dan pengelolaan perusahaan yang pailit.
3. Biaya-biaya yang timbul sebelum ditunjuknya trustee
4. Upah buruh yang terhutang. Dengan batasan suatu maksimum per pegawai.
5. Setoran yang biasa dilakukan perusahaan untuk dana pensiun / kesejahteraan
pegawainya. Dengan batasan suatu maksimum per pegawai.
6. Simpanan pihak ketiga tanpa jaminan
7. Hutang pajak kepada pemerintah pusat dan daerah.
8. Kewajiban pembayaran pensiun yang tanpa dana. Yang dimaksud adalah
pembayaran yang secara rutin di bayarkan perusahaan tetapi sebelumnya tidak
di sediakan dana khusus untuk itu. Hak tagihan mereka ditetapkan sekitar 30
persen dari ekuitas saham biasa dan preferen, jika ada sisa tagihan diperlakukan
sama dengan tagihan kreditur umum lainnya (Brigham & Weston, 1991: 673).
9. Kreditur umum tanpa jaminan. Dalam klasifikasi ini termasuk hutang dagang,
hutang bank tanpa jaminan, obligasi mandat dan sisa-sisa tagihan kreditur yang
diutamakan didalamnya, tetapi mereka harus mengalah terhadap kreditur
senior.
10. Pemegang saham preferen, sampai sebatas nilai nominal saham bersangkutan.
11. Pemegang saham biasa, menerima sisanya bila ada berdasarkan pro rata
(Brigham & Weston, 1991: 674).
2.3.3. Definisi Reorganisasi
Perusahaan melakukan reorganisasi finansial apabila dinilai bahwa prospek
perusahaan masih baik, sehingga dapat tertolong. Dalam melakukan reorganisasi
finansial, ada beberapa langkah yang harus ditempuh yaitu:
 Menentukan nilai perusahaan. Penilaian yang sering digunakan dan yang
termasuk cukup sederhana, adalah menghitung nilai perusahaan berdasarkan
tingkat kapitalisasi.
 Menentukan struktur modal yang baru. Struktur modal tersebut bertujuan
mengurangi beban tetap (bunga) agar perusahaan bisa beroperasi dengan lebih
fleksibel. Untuk mengurangi beban tetap tersebut, total hutang biasanya akan
dikurangi (Sitompul, 2014).

2.3.3.1. Reorganisasi Formal


Dalam hal situasinya sudah sedemikian rupa di mana usaha informal sudah
tidak memungkinkan, maka jalan terakhir adalah menempuh prosedur formal. Salah
satu bentuknya adalah reorganisasi yaitu usaha yang di restuin pengadilan untuk
mempertahankan kehidupan perusahaan dengan cara merubah struktur modal nya
agar biaya bunganya dapat di tekan dan skedul pelunasan pinjaman dapat di
perpanjang. Reorganisasi mirip dengan restrukturisasi informal, hanya di sini
banyak kaitan nya dengan formalitas yuridis (Brigham & Weston, 1991: 666).
Terlepas dari prosedur hukum yang di ikuti, semua reorganisasi mempunyai
beberapa ciri yang sama yaitu:
1. Perusahaan dianggap tidak sovabel, baik karena tidak dapat memenuhi
kewajiban tunai pada saat jatuh temponya (insolvensi tehnis) atau karena jumlah
kewajiban perusahaan melampaui nilai jumlah aktivanya (pailit). Untuk
menyelamatkan perusahaan diperlukan modifikasi sifat atau jumlah kewajiban
perusahaan dimana biaya tetap harus diperkecil atau direntangkan dalam jangka
waktu yang lebih panjang. Prosedurnya meliputi penurunan suku bunga
pinjaman, konversi hutang jangka pendek jadi jangka panjang, konversi obligasi
ke dalam saham biasa atau juga penghapus bukuan sebagian kewajiban
perusahaan.
2. Perusahaan yang menghadapi kesulitan keuangan biasanya selalu mengabaikan
aktiva tetapnya hingga menjadi rongsokan dan menghabiskan usaha aktiva
likuidnya dengan demikian pada sebagian besar reorganisasi selalu dibutuhkan
tambahan dana untuk menambah modal kerja dan merehabilitasi sarana
perusahaan.
3. Harus bisa mengidentifikasi dan mengeliminasi kesulitan yang bersifat
operasional atau manajerial.
Prosedur reorganisasi amat bersifat yuridis yang hanya dipahami
sepenuhnya oleh pengacara yang ahli dalam kepailitan dan reorganisasi. Namun
demikian ada beberapa pengaraca prinsip-prinsip umum yang perlu diketahui
manajer keuangan. Sebagaimana dijelaskan diatas, reorgansasi mencakup
penurunan kewajiban dan untuk itu harus dipenuhi 2 syarat yaitu (1) penurunan ini
harus adil bagi semua pihak yang mempunyai tagihan, dan (2) kemungkinannya
cukup besar bahwa usaha rehabilitasi akan berhasil dan operasional masa depan
akan menguntungkan. Ini adalah standar atau persyaratan keadilan (fairness) dan
kelayakan (feasibility), yang akan dibahas selanjutnya dalam bab ini (Brigham &
Weston, 1991: 667).

2.3.3.2. Keputusan di Bidang Permodalan dalam Reorganisasi


Ketika perusahaan sudah tidak sovabel lagi, harus diambil keputusan
mengenai apakah akan dibubarkan melalui likuidasi atau dipertahankan melalui
reorgaisasi. Secara mendasar keputusan tersebut tergantung pada nilai peusahaan
bila di rehabilitasi vs nilai aktivanya jika dijual perpotong. Prosedur yang
menjajikan pengembalian tertinggi bagi kreditur dan pemilik yang akan dipilih.
Seringkali nilai lebih karena reorganisasi dibanding likuidasi, digunakan untuk
memaksakan tercapainya kompromi diantara para pemegang hak dalam suatu
reorganisasi, walaupun misalnya tiap kelompok merasa bahwa posisi mereka tidak
diperlakukan adil dalam rencana reorganisasi tersebut. Dalam hal ini pengadilan
dituntut untuk menentukan keadilan dan kelayakan usulan rencana reorganisasi.
2.3.3.3. Standar Keadilan
Doktrin pokok keadilan menyatakan bahwa tiap tagihan harus di penuhi
menurut urutan prioritas hukum dan perjanjian. Penerapan konsep keadilan ini
dalam reorganisasi mencakup langkah-langkah berikut:
1. Perkiraan penjualan masa depan.
2. Analisi kondisi operasional agar pendapatan dari penjualan masa depan dapat
diramalkan.
3. Menentukan tingkat kapitalisasi yang akan dikenakan pada pendapatan masa
depan.
4. Tingkat kapitalisasi ini diterapkan pada perkiraan pendapatan masa depan untuk
memperoleh nilai perusahaan dimaksud.
5. Pengaturan penyaluran kepada para pemegang hak (Brigham & Weston, 1991:
668).

2.3.3.4. Standar Kelayakan


Test kelayakan pokok untuk usulan reorganisasi ialah apakah biaya tetap
setelah. Reorganisasi dapat di tutup oleh pendapatan. Untuk itu tentunya harus ada
perbaikan dalam pendapatan, pengurangan biaya tetap atau keduanya. Di antara
beberapa tindakan yang umum nya diambil adalah:
1. Perpanjangan jangka waktu hutang dan beberapa hutang dikonversi menjadi
ekuitas.
2. Dalam hal kualitas manajemen tidak memenuhi syarat, pengadilan perusahaan
harus diserahkan kepada team manajemen lainnya.
3. Bila persediaan telah habis atau ketinggalan mode, perlu ditambah lagi.
4. Kadang-kadang pabrik dan peralatan harus dimodernisir sebelumnya perusahaan
dapat beroperasi dan bersaing secara sukses berdasarkan basis biaya.
5. Reorganisasi mungkin juga memerlukan perbaikan fungsi produksi, pemasaran,
promosi dan lain-lain.
6. Kadang-kadang diperlukan pengembangan produk dan pasar baru agar
perusahaan dapat beralih dari sektor usaha yang lesu ke bidang usaha yang lebih
menguntungkan dengan potensi pertumbuhan atau seurang-kurangnya stabil
(Brigham & Weston, 1991: 672).

2.4. Perbandingan antara private workout dengan kepailitan


Definisi kepailitan Perusahaan menurut ISDA (International Swaps and
Derivatives Association) (dikutip oleh Hadad, et al,2003. Adalah terjadinya salah
satu kejadian-kejadian sebagai berikut :
1. Perusahaan yang mengeluarkan surat hutang berhenti beroperasi (pailit).
2. Pembahasan tidak mampu membayar hutang.
3. Timbulnya tuntutan kepalitan.
4. Proses kepalitan sedang terjadi.
5. Telah ditunjukan nya receivershipnya (kuratornya).
6. Ditindakannya seluruh asset ke pada Bank ( Rosvita, 2010).
Berikut adalah perbandingan antara private workout dengan kepailitan:
1. Kedua kebangkrutan formal dan latihan pribadi melibatkan pertukaran klaim
keuangan baru untuk klaim finansial sebelumnya.
2. Ketika digunakan, private workout lebih baik daripada kepailitan.
3. Struktur modal yang kompleks dan kurangnya informasi membuat private
workout kurang disukai (Sitompul, 2014).
Keuntungan dari kepailitan yaitu penghitungan bunga (kewajiban
membayar bunga) bagi debitur menjadi terhenti, keuntungan pajak dan hanya
membutuhkan persetujuan 1/2 dari kreditur yang memiliki 2/3 dari hutang.
Kekurangan kepailitan yaitu proses yang panjang dan mahal, hakim diminta untuk
menyetujui keputusan bisnis penting, dan gangguan untuk manajemen.

2.4.1. Prosedur Hukum Kepailitan


Prosedur kepalitan dimulai ketika debitur tidak dapat memenuhi atau
meramalkan tidak akan dapat memenuhi skedul pembayaran angsuran kepada
kreditnya.Pada saat itu timbul masalah-masalah berikut:
1. Apakah ketidak mampuan memenuhi skedul pembayaran hutang itu merupakan
kesulitan kas yang sementara (inovasi tehnis) ataukah merupakan kesulitan
permanen yang disebebkan oleh penurunan nilai aktiva dan daya laba di bawah
kewajiban hutangnya (Inovasi Kepalitan).
2. Bila kesulitannya hanya bersifat sementara, perpanjangan jangka waktu
pinjaman akan dapat memulihkan kembali perusahaan tersebut. Dalam hal nilai
aktiva memang telah menurun maka kerugian sudah tidak dapat dihindari.
Masalahnya adalah siapa yang akan memikul kerugian itu? Untuk ini ada dua
teori yaitu (1) Doktrin proritas mutlak yang menyatakan bahwa semua klaim
harus di bayar sesuai dengan prioritas tiap klaim tanpa mengacuhkan
konsekuensinya terhadap pemegang klaim lainnya,dan (2) doktrin prioritas
relative yang lebih bersifat sleksibel dan mempertimbangkan secara adil semua
yang mempunyai hak tuntunan.
3. Apakah perusahaan bersangkutan “lebih berharga mati daripada hidup?” yaitu
apakah perusahaan itu akan lebih berharga bila tetap dipelihara dan terus
melanjut kan operasionalnya ataukan lebih baik likuidasi da dijual per potong.
Menurut doktrin prioritas mutlak,yang di pilih adalah likuidasi Karen dengan
cara kreditur senior dapat di bayar lebih dahulu walaupun dengan merugikan
kreditur yunior dan pemegang saham. Pada doktrin prioritas relative, kreditur
senior diminta menunggu dulu sampai pembayaran untuk kreditur yunitur da
pemegang saham juga sudah terkumpul.
4. Siapakah yang akan mengandalkan perusahaan dalam periode likuidasi atau
rehabilitasi ini?Apakah manejernya sendiri yang tetap mengendalikannya
ataukah diserahkan kepada lembaga perwalian?
Menurut ketentuan hukum, suatu proses kepalitan di mulai dengan pegajuan
permohonan kepada pengadilan perdata.Permohonan ini dapat bersifat sukarela
oleh manajemen perusahaan sendiri atau juga bersifat paksaan dari para kreditur
perusahaan.Dari antara para kreditur yang tidak mempunyai jaminan dibentuk
sebuah panitia yang ditunjuk pengendalian untuk melakukan perundingan dengan
manejem mengenai kemungkinan reorganisasi di mana di atur trestukturisasi
hutang dan kewajiban lain perusahaan. Untuk menjaga kepentingan para kreditur
dan pemegang saham, mungkin saja pengadilan menunjuk lembaga perwalian.
Dalam hal tidak di tunjuk lembaga perwalian maka manejen yang ada tetap
pengendalian perusahan.(Fred;1991;666-667)

2.5. Perpackaged Bangkruptcy


2.5.1. Definisi Prepackaged Bankruptcy
Restrukturisasi keuangan dapat melibatkan likuidasi atau reorganisasi.
Restrukturisasi keuangan dapat dicapai melalui private workout atau kepailitan.
Salah satu cara baru dalam restrukturisasi keuangan yaitu dengan prepackaged
bankruptcy.
• Prepackaged bankruptcy merupakan sebuah kebangkrutan di mana debitur dan
kreditur pra-menegosiasikan rencana reorganisasi dan kemudian hasil negosiasi
tersebut berakhir dengan permohonan pailit.
• Manfaat utama adalah hal ini memaksa semua pihak untuk menerima
reorganisasi kebangkrutan. Menawarkan banyak keuntungan dari kebangkrutan
pada umumnya jauh lebih efisien (www.e-akuntansi.com).
Prepackaged bankruptcy is often viewed as a hybrid from of corporate
reorganization combining some of the features of an out-of-court restructuring with
some of the features of a traditional chapter 11 reorganization. as in an out-of-
court restructuring, the creditors and teh debtor negoatiate the terms of the
reorganization outside of court. as in traditional chapter II, a a bankrupcty petition
and a plan of reorganization must be field and ratified by the court before the
prepack becomes effective (Tashjian et al, 1996).

2.5.2. Prosedur Prepackaged Bankruptcy


Prepackaged bankruptcy adalah kombinasi antara private workout dengan
legal bankruptcy. Berikut adalah prosedur prepackaged bankruptcy:
 Sebelum perusahaan mengajukan permohonan kebangkrutan, perusahaan
terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan kreditor serta membawa rencana
reorganisasi perusahaan.
 Kedua belah pihak kemudian melakukan negosiasi untuk mencari kesepakatan
mengenai rincian bagaimana keuangan perusahaan direstrukturisasi.
 Kemudian perusahaan dan kreditor sekaligus menyiapkan dokumen administrasi
yang diperlukan sebelum mengajukan permohonan kebangkrutan.
 Permohonan disebut prepackage jika pada perusahaan mengajukan permohonan
ke pengadilan, namun pada saat yang sama, juga sudah melampirkan rencana
reorganisasi lengkap dengan persetujuan dari kreditor (www.e-akuntansi.com).

2.5.3. Advantages to Prepackaged Bankruptcy


Advantages to prepackaged bankruptcy
1. Time
2. Cost
3. Certainty
4. Minimal Damage to Public Image
5. Unanimous Consent Not Required
6. Control
7. Obtaining Protective Provisions
8. Tax Benefits (Berkoff, 2014)

2.5.4. Disadvantages to Prepackaged Bankruptcy


Disadvantages to prepackaged bankruptcy:
1. Exposure
2. Risk
3. Difficult to Avail Itself
4. No Protection of the “safe-harbor”
5. Creditors can object to the sale of assets (Berkoff, 2014).

2.5.5. Restrukturisasi Hutang Perusahaan yang Kesulitan


Pada perusahaan yang pada dasarnya sehat, dimana kesulitan keuangannya
dinilai bersifat sementara, para krediturnya biasanya menghubungi langsung
perusahaan bersangkutan untuk merundingkan jalan keluar agar secepatnya
perusahaan dapat berdiri kembali diatas kakinya sendiri. Dalam perencanaan
tersebut biasanya dipersyaratkan restrukturisasi hutang perusahaan. Dalam
restrukturisasi ini termasuk perpanjangan jangka waktu pinjaman atau komposisi
dimana kreditur secara sukarela mengurangi tagihan kepada perusahaan
bersangkutan. Kedua perusahaan itu dimaksudkan agar debitur dapat terus berusaha
dan untuk menghindari biaya proses hukum. Walaupun kreditur tertunda menerima
kembali uangnya dan mungkin juga bisa mengurangi, tetapi dengan cara ini lebih
banyak uangnya yang dapat kembali dari pada misalnya ditempuh prosedur hukum.
Begitupula bagi perusahaan bersangkutan ada kesempatan dapat diselamatkan
(Brigham dan Weston, 1991:666).
Restrukturisasi hutang dimulai dengan pertemuan antara perusahaan yang
sedang kesulitan dengan para krediturnya, para kreditur akan menunjuk satu panitia
yang beranggotakan empat atau lima kreditur terbesar dan satu atau dua kreditur
kecil. Pertemuan ini diatur dan dipimpin oleh biro penyesuaian (adjustment bureau)
yang berasal dari asosiasi manajer kredit setempat. Begitu keputusan dapat dicapai
bahwa masalahnya dapat diatasi biro maka akan menunjuk peneliti untuk membuat
laporan lengkap. Biro dan dan panitia kreditur menggunakan data dalam laporan
tersbeut untuk merumuskan renacana penyesuaian tagihan. Kemudian diadakan
lagi pertemuan antara debitur dan krediturnya untuk merundingkan perpnajangan,
komposisi atau kombinasi keduanya. Mungkin diperlukan beberapa kali pertemuan
sebelum dapat diperoleh persetujuan final (Brigham dan Weston, 1991:666).
Sekurang-kurangnya ada 3 kondisi yang diperlukan agar restrukturisasi
hutang dapat dipertimbangkan yaitu: (1) debitur termasuk yang bermoral baik, (2)
debitur harus menunjukan kemampuan untuk memulihkan kembali perusahaanya,
dan (3) kondisi usaha mendukung pemulihan kembali (Brigham dan Weston,
1991:666).
Kreditur umumnya lebih menyukai perpanjangan jangka waktu karena
pembayaran dapat diharapkan dapat diterima penuh. Pada beberapa kejadian,
kreditur tidak bisa menyetujui perpanjangan waktu tetapi juga bersedia tagihannya
disubordinasikan tagihan supplier baru yang muncul pada masa perpanjangan itu.
Dalam hal ini kreditur harus mempunyai keyakinan bahwa debitur dapat mengatasi
masalahnya (Brigham dan Weston, 1991:667).
Pada komposisi, diatur penciutan tagihan per-kas. Para kreditur menerima
suatu persentase dari tagihannya kepada debitur, dan ini mungkin saja hanya
mencapai 10%. Kas yang diterima tersebut dianggap sebagai pelunasan seluruh
hutang yang tertunggak. Antara kreditur dan debitur biasanya dirundingkan
mengenai penghematan yang dapat dilakukan karena tidak menjalani prosedur
kepailitan formal yaitu biaya administrasi, honor pengacara hukum, biaya
investigasi, dll. Selain penghematan, debitur juga dapat terhindar dari rusaknya
nama baik yang bersangkutan. Dengan demikain mungkin bersedia menyerahkan
penghematan yang diterimanya itu kepada kreditur dalam bentuk presentase
pengembalian yang lebih tinggi (Brigham dan Weston, 1991:667).
Proses tawar menawar tersebut mungkin saja menghasilkan restrukturisasi
yang tersiri atas perjanjiian dan komposisi. Sebagai contoh, penyelesaian hutang
dapat diatur 25% dibayar sekarang ditambah 6 angsuran senilai 10% atau total
pembayaran sebesar 85% (Brigham dan Weston, 1991:667).
Penyelesaian sukarela bersifat non formal dan sederhana. Biaya relatif
murah karena biaya biaya adm dan yuridis dapat ditekan sampai minimum.
Prosedur ini dianggap paling menguntungkan bagi kreditur. Lagipula perusahaan
yang tadinya diperkirakan akan pailit dapat diselamatkan dan jadi langganan tetap
di masa depan. Salah satu yang merupakan kemungkinan keburukan adalah
tetapnya debitur yang sama mengolah perusahaan yang bersangkutan. Situasi ini
dpaat berakibat aktiva perusahaan, tetapi ada beberapa cara untuk pengamanan
kepentingan kreditur. Kemungkinan buruk lainnya adalah kreditur kecil yang
memaksa dibayar penuh. Karena itu, dapat diperysratakan bahwa tagihan dibawah
500 dollar dan atau 1000 dollar harus dibayar penuh. Bila dalam hal ini juga diatur
persyaratan komposisi dan semua klaim dibawah 500 dollar dibayar penuh, maka
semua kreditur diperhitungkan atas dasar 500 dollar tersebut ditambah suatu
persentase dari sisa tagihan (Brigham dan Weston, 1991:667).

2.6. Prediksi Kebangkrutan Perusahaan dengan Model Z-Score (Altman)


Analisis prediksi kebangkrutan merupakan analisis yang dapat membantu
perusahaan untuk mengantisipasi kemungkinan perusahaan akan mengalami
kebangkrutan yang disebabkan oleh masalah-masalah keuangan. Metode Z-Score
(Altman) adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah
keuangan yang akan menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan
(Supardi, 2003:73).

2.6.1 Rasio-Rasio Keuangan Metode Z-Score (Altman)


Metode Z-Score (Altman) menggunakan berbagai rasio untuk menciptakan
alat prediksi kesulitan. Karakteristik rasio tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi kemungkinan kesulitan keungan masa depan. Kesulitan keungan
tersebut akan tergambar pada rasio-rasio yang telah diperhitungkan. Terdapat lima
rasio-rasio keuangan yang digunakan dala metode Z-Score, salah satu diantaranya
dikemukakan oleh Darsono, dkk. (2004:106) dibawah ini:
WCTA (Working capital to total asset atau modal kerja dibagi total aset),
RETA (Retained earning to total asset atau laba ditahan dibagi total aktiva),
EBITTA (Earning before interest and taxes to total asset atau laba sebelum pajak
dan bunga dibagi total aktiva), MVEBVL (Market value of equity to book value of
liability atau nilai pasar sekuritas dibagi dengan nilai buku utang), dan STA (Sales
to total asset atau penjualan dibagi total aktiva). Rasio-rasio ini digunakan khusus
untuk perusahaan manufaktur yang go public. Perubahan rasio terjadi pada rasio
MVEBVL (Market value of equity to book value of liability atau nilai pasar
sekuritas dibagi dengan nilai buku utang) menjadi BVEBVL (Book Value of equity
to book value og liability atau nilai buku modal dibagi dengan nilai buku utang)
yang digunakan untuk perusahaan manufaktur yang tidak go public, karena
perusahaan jenis ini tidak memiliki nilai pasar untuk ekuitasnya.

2.6.2 Formula Metode Z Score (Altman)


Altman menemukan lima jenis rasio keuangan yang dapat dikombinasikan
untuk melihat perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan yang tidak bangkrut.
Z-Score (Altman) ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut yang
dikemukakan oleh Darsono, dkk. (2004:105).
Z= 1,2 (WCTA )+ 1,4 (RETA) + 3,3 (EBITTA) + 0,6 (MVEBVL) + 1 (STA)

Perhitungan analisis Z-Score terdiri dari tiga versi, diantaranya versi pada
perusahaan manufaktur yang telah go public, perusahaan manufaktur pribadi yang
belum go public, dan perusahaan bukan manufaktur. Formula di atas merupakan
versi yang pertama kali dikembangkan oleh Altman khusus untuk perusahaan
manufaktur yang go public.

2.6.3 Intrepretasi Nilai Z-Score


Apabila perhitungan metode Z-Score telah dilakukan dengan serangkaian
rasio-rasio keungan yang dimasukkan dalam suatu persamaan diskriminan maka
akan menghasilkan suatu angka atau skor tertentu. Angka ini memiliki memiliki
penjelasan atau interprestasi tertentu.
Dalam model tersebut perusahaan yang mempunyai skor Z > 2,99
diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat, sedangkan perusahaan yang mempunyai
skor Z < 1,81 diklasifikasikan sebagai perusahaan potensial bangkrut. Selanjutnya
skor 1,81 sampai 2,99 diklasifikasikan sebagai perusahaan pada grey area atau
daerah kelabu (Muslich, 2000:60).
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan di bab 2, maka
kesimpulannya adalah:
1. Financial distress, berarti kesulitan dana untuk menutup kewajiban perusahaan
atau kesulitan likuiditas yang diawali dengan kesulitan ringan sampai pada
kesulitan yang lebih serius, yaitu jika hutang lebih besar dibandingkan dengan
aset.
2. Hal-hal yang dapat terjadi ketika perusahaan mengalami financial
distress/kesulitan keuangan, perusahaan tersebut akan mengalami penurunan
secara keseluruhan, baik dari segi internal perusahaan yang dalam hal ini
dikatakan nilai perusahaan itu sendiri maupun dari segi eksternal perusahaan
yang dalam hal ini adalah pandangan dari pihak investor terhadap perusahaan
ketika menginvestasikan saham dalam perusahaan tersebut.
3. Berikut adalah definisi kebangkrutan, likuidasi dan reorganisasi:
 Kebangkrutan adalah kegagalan perusahaan dalam menjalankan kegiatan
operasi untuk menghasilkan laba.
 Likuidasi yaitu proses penjualan aktiva non-kas dari persekutuan karena
perusahaan persekutuan sudah tidak memungkinkan untuk menjalankan
kegiatan operasinya.
 Reorganisasi yaitu usaha yang di restuin pengadilan untuk mempertahankan
kehidupan perusahaan dengan cara merubah struktur modal nya agar biaya
bunganya dapat di tekan dan skedul pelunasan pinjaman dapat di perpanjang.
4. Berikut adalah perbandingan antara private workout dengan kepailitan: Kedua
kebangkrutan formal dan latihan pribadi melibatkan pertukaran klaim keuangan
baru untuk klaim finansial sebelumnya, ketika digunakan, private workout lebih
baik daripada kepailitan, dan struktur modal yang kompleks dan kurangnya
informasi membuat private workout kurang disukai.
5. Prepackaged bankruptcy merupakan sebuah kebangkrutan di mana debitur dan
kreditur pra-menegosiasikan rencana reorganisasi dan kemudian hasil negosiasi
tersebut berakhir dengan permohonan pailit.
6. Metode Z-Score (Altman) adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali
nisbah-nisbah keuangan yang akan menunjukkan tingkat kemungkinan
kebangkrutan perusahaan.

3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang diberikan adalah sebagai
berikut:
1. Apabila perusahaan sudah terlanjur gagal atau bangkrut maka perusahaan dapat
menempuh likuidasi, merger, atau dilakukan rehabilitasi (reorganisasi).
2. Dalam hal perusahaan pada dasarnya dalam keadaan sehat maka debitur dapat
merundingkan untuk melakukan rencana pemulihannya.
3. Prosedur hukum akan membutuhkan biaya mahal, apalagi bagi perushaan yang
bangkrut. Maka jika masih memungkinkan, posisi debitur dan kreditur akan
lebih baik jika penanganannya dilakukan secara informal dan tidak melalui
pengadilan.
4. Jika penanganan secara informal tidak dapat diselesaikan, maka sebaiknya
masalah dilemparkan ke pengadilan. Dalam hal ini pengadilan dapat
memutuskan untuk melakukan likuidasi atau reorganisasi.
5. Dalam hal melakukan reorganisasi maka rencana reorganisasi ini harus
memenuhi persyaratan keadilan dan kelayakan.
6. Dalam hal dilakukan likuidasi maka kreditur harus memilih prosedur yang
paling banyak menghasilkan pengembalian tagihan.
7. Apabila penyelesaian dilakukan dengan prepackaged bankruptcy maka sebelum
perusahaan mengajukan permohonan kebangkrutan, perusahaan terlebih dahulu
melakukan pendekatan dengan kreditor serta membawa rencana reorganisasi
perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Brigham, Eugene F & Weston, J Freed. 1991. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan


Jilid 2. Jakarta : Erlangga.

Berkoff, Mark A., Gross, Stephen M., dan Solow, Sheldon L. 2015. Prepack
Bankruptcy Strategies and Problems. Concurrent Session. American
Bankruptcy Institute.

Darsono dan Ashari. 2004. Pedoman Praktis Memahami Laporan Keungan.


Semarang: Penerbit Andi.

Husnan, Suad. 1996. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan. Yogyakarta :


BPFE Yogyakarta.

Muslich, Mohamad. 2000. Manajemen Keuangan Modern (Analisis,


Perencanaan, dan Kebijaksanaan). Jakarta: Bumi Aksara.

Rahamdhany, Alexander., 2004. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Opini


Audit Going Concern Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang
Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Jakarta Periode 2002. Jurnal
Akuntansi Universitas Diponegoro, Tahun 2004.

Rosvita, Delia. 2014. Perkembangan indikator kepailitan terhadap perusahaan


manufaktur di Indonesia pada stabilitas sistem keuangan. Skripsi.
Universita Diponegoro. Semarang

Santoso, Arga Fajar & Wedari, Linda Kusumaning. 2007. Analisis Faktor-faktor
yang mempengaruhi kecenderungan penerimaan opini audit going
concern. JAAI Volume 11 No.2.
Sitompul Dkk. 2014. Kesulitan Keuangan. Tugas Manejemen Keuangan Lanjut.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Supardi dan Sri Mastuti. 2003. Validitas Penggunaan Z-Score Altman Untuk
Menilai Kebangkrutan Pada Perusahaan Perbankan Go Publik di Bursa
Efek Jakarta.

Tashjian, Elizabeth., Lease, Ronald C., and McConnell. 1996. An empirical


analysis of preoackaged bankruptcies. Journal of Financial Economics 40
(1996) 135 162.

Weston Fred,dkk.1991. Dasar-dasar Manajemen Keuangan Jilid 2. Edisi


Ketujuh.Jakarta: Erlangga.

Sumber dari Internet:

www.e-akuntansi.com. Prepackaged bankrupcty. Diakses pada hari selasa, tanggal


23 mei 2017 jam 08.00.

www.e-akuntansi.com. Hal yang terjadi ketika perusahaan mengalami financial


destrees. Diakses pada hari selasa, tanggal 23 mei 2017 jam 20.13.

Anda mungkin juga menyukai