Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Herpes zoster

Herpes zoster memiliki insiden tertinggi dari semua penyakit saraf, dengan sekitar 500.000
kasus baru setiap tahun di Amerika Serikat. Herpes zoster termasuk penyakit yang angka
kejadiannya kecil, diperkirakan 10-12 % populasi akan terinfeksi herpes zoster selama
hidupnya. Di Indonesia menurut Lumintang, prevalensi herpes zoster kurang dari 1%. (Amnil
A., 2010)

2.2 Definisi

Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi varicella zoster virus (VZV) laten dari saraf tepi dan
saraf pusat. varicella zoster virus merupakan patogen utama terhadap dua infeksi klinis utama
pada manusia yaitu varicella atau chickenpox (cacar air) dan herpes zoster (cacar ular).
Varicella merupakan infeksi primer yang terjadi pada individu yang terpapar dengan varicella
zoster virus. Pada 3-5 dari 1000 individu, varicella zoster virus mengalami reaktivasi,
menyebabkan infeksi reaktivasi yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles.
(Amnil A., 2010)

Herpes zoster adalah infeksi virus akut yang memiliki karakteristik unilateral, sebelum timbul
manifestasi klinis pada kulit wajah dan mukosa mulut biasanya akan didahului oleh gejala
odontalgia. Timbulnya gejala odontalgia pada Herpes zoster belum sepenuhnya diketahui
(Harpaz R., dkk, 2009).

2.3 Epidemiologi Herpes zoster

Terdapat 1 juta kasus herpes zoster yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan
insiden 1,2 sampai 4,8 kasus per 1000 orang per tahun. Herpes zoster biasanya muncul pada
orang berkulit putih (35% lebih tinggi dibandingkan orang kulit gelap) dan insiden meningkat
3 sampai 7 kali lebih tinggi pada orang lanjut usia. Pada pasien immunocompromised
memiliki risiko 20 kali lebih tinggi dibandingkan pasien immunocompetent. Beberapa studi
melaporkan insiden pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki (3,8 kasus per 1000
penduduk per tahun pada wanita dan 2,6 kasus per 1000 penduduk per tahun) (Weinberg
dkk., 2007).
Varicella zoster virus (VZV) memiliki level infektifitas yang tinggi dan memiliki prevalensi
yang terjadi di seluruh dunia. Herpes zoster tidak memiliki kaitan dengan musim dan tidak
terjadi epidemik. Hubungan yang kuat terdapat pada peningkatan usia, yaitu 1,2 sampai 3,4
per 1000 penduduk per tahun pada orang sehat berusia muda, dan meningkat menjadi 3,9
sampai dengan 11,8 per 1000 penduduk pada usia di atas 65 tahun (Long MD dkk., 2013).

Tidak terdapat bukti yang kuat untuk menunjukan adanya hubungan genetik dengan penyakit
herpes zoster. Suatu studi pada tahun 1994 di California, Amerika Serikat menunjukan
adanya komplikasi pada 26% kasus herpes zoster, insiden 2,1 per 100.000 penduduk per
tahun dan meningkat menjadi 9,3 per 100.000 penduduk per tahun pada usia 60 tahun ke atas
(Weinberg dkk., 2007).

Menurut Data Depkes pada tahun 2011-2013 Didapatkan prevalensi herpes zoster dari 13
rumah sakit pendidikan di Indonesia sepanjang 2011 hingga 2013 mencapai 2.232 kasus.
Puncak kasus terjadi pada penderita berusia 45-64 tahun dengan jumlah 851 kasus atau 37,95
persen dari total kasus herpes zoster. (depkes, 2014).

2.4 Etiologi Herpes zoster

Varicella zoster virus (VZV) adalah virus yang menyebabkan cacar air (chicken pox) dan
herpes zoster (shingles). VZV memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut (Ann M, 1996).
:

Kelas : Kelas I (dsDNA)

Famili : Herpesviridae

Upafamili : Alphaherpesvirinae

Genus : Varicellovirus

Spesies : Human herpes zoster

Varicella zoster adalah virus yang hanya dapat hidup di manusia dan primata (simian).
Pertikel virus (virion) varicella zoster memiliki ukuran 120-300 nm. Virus ini memiliki 69
daerah yang mengkodekan gen tertentu sedangkan genom virus ini berukuran 125 kb (kilo-
basa). Komposisi virion adalah berupa kapsid, selubung virus, dan nukleokapsid yang
berfungsi untuk melindungi inti berisi DNA double stranded genom. Nukleokapsid memiliki
bentuk ikosahedral, memiliki diameter 100-110 nm, dan terdiri dari 162 protein yang dikenal
dengan istilah kapsomer. Virus ini akan mengalami inaktivasi pada suhu 56-60 °C dan
menjadi tidak berbahaya apabila bagian amplop virus ini rusak. Penyebaran virus ini dapat
terjadi melalui pernapasan dan melalui vesikel pada kulit pada penderita (Manfred dkk.,
1999).

2.5 Patofisiologi Herpes zoster

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varicella zoster (VZV). Virus
DNA ini adalah virus yang menyebabkan penyakit cacar air (chicken pox) yang merupakan
infeksi awal sebelum sesorang mengalami herpes zoster. Jadi herpes zoster hanya dapat
muncul pada seseorang yang telah mengalami cacar air sebelumnya. Setelah episode cacar air
telah sembuh, varicella zoster akan bersifat laten di dalam badan sel saraf kemudia varicella
menyebar secara sentripetal ke sensori fiber dan sensori ganglia. Virus tesebut dorman dan
tanpa menimbulkan gejala. (Fitzpatrick, 2012).

Virus dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion mengikuti dermatum saraf (daerah pada
kulit yang disarafi oleh satu spinal nerve) yang menimbulkan tanda dan gejala pada kulit
berupa cluster atau gerombolan benjolan yang kecil yang kemudian menjadi blister. Blister-
blister tersebut akan terisi cairan limfa dan kemudian pecah lalu menjadi krusta dan
menghilang (Fitzpatrick, 2012). Postherpatic neuralgia terkadang terjadi dikarenakan
kerusakan pada saraf. Sistem imun akan mengeliminasi sebagian besar virus sehingga
seseorang dapat dikatakan sembuh. Meskipun tanda dan gejala telah tidak ada, namun virus
akan tetap bersifat laten pada ganglion saraf (ganglion dorsal root maupun ganglion gasseri)
pada dasar tengkorak. Apabila sistem imun menurun virus akan mengalami multiplikasi dan
menyebar sepanjang ganglion menyebabkan nekrosis di neuron yang ditandai oleh neulagia
(Fitzpatrick, 2012).

2.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Herpes zoster

Gejala awal herpes zoster yang tidak spesifik meliputi sakit kepala, demam, dan malaise.
Gejala-gejala tersebut lalu diikuti oleh sensasi nyeri terbakar, gatal, hyperesthesia atau
paresthesia pada dermatum yang terkena. Gejala yang timbul

ini bisa berkembang menjadi ringan maupun berat. Gejala herpes zoster pada anak-anak lebih
sering tidak menimbulkan rasa nyeri, sedangkan pada usia lanjut cenderung lebih nyeri dan
berkembang menjadi lebih parah. Sensasi yang sering dirasakan pada dermatum dapat berupa
rasa tersengat, tertusuk, nyeri, mati rasa, maupun rasa seperti tertimpa beban berat
(Fitzpatrick, 2012).

Pada kebanyakan kasus, setelah satu sampai dua hari tetapi pada beberapa kasus bisa sampai
bermingu-minggu setelah gejala tersebut muncul akan diikuti oleh munculnya tanda berupa
lesi pada kulit. Rasa nyeri dan lesi pada kulit biasanya muncul pada ekstrimitas, tetapi dapat
juga muncul pada wajah, mata, maupun bagian tubuh lain. Lesi awal terlihat mirip dengan
lesi yang tampak pada cacar air, namun lesi pada herpes zoster terbatas bada dermatum, yang
biasanya akan tampak seperti ikat pinggang atau berupa garis yang terletak unilateral dan
tidak melewati garis tengah tubuh. Lesi yang muncul bilateral biasanya terjadi pada kasus
immunocompromised. Zoster sine herpete (zoster tanpa herpes) adalah pasien yang memiliki
semua gejala herpes zoster tanpa penampakan lesi (Long MD dkk., 2013).

Selanjutnya, lesi berubah menjadi vesikel yang membentuk blister kecil yang dipenuhi oleh
eksudat serous, pada fase ini gejala berupa demam dan malaise masih berlanjut. Pada
akhirnya lesi berubah menjadi lebih gelap karena terisi darah, dan menjadi krusta setelah 7-10
hari. Biasanya krusta akan lepas dengan sendirinya dan penampakan kulit kembali normal.
Namun pada beberapa kasus, setelah proses blisterring yang lama, akan meninggalkan bekas
berupa scar dan perubahan warna kulit menjadi lebih gelap pada dermatum yang terkena
(Kumano Y, 1995).

Hari pertama Hari kedua Hari kelima Hari keenam

Diagnosa Herpes zoster biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat kasus dan gambaran
klinisnya yang khas, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Meskipun begitu,
pemeriksaan laboratorium direkomendasikan jika gambaran klinis tidak khas atau untuk
menentukan status imun terhadap varicella zoster virus (VZV) pada orang yang beresiko
tinggi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi Tzank smear dimana untuk membedakan
antara herpes simplex virus (HSV) dan varicella zoster virus (VZV). Pemeriksaan
laboratorium untuk memeriksa IGM antibodi spesifik yang hanya muncul ketika seseorang
mengalami cacar air atau herpes zoster dan tidak muncul ketika virus dalam keadaan laten.
Pada pemeriksaan lebih canggih, dapat dilakukan dengan pemeriksaan DNA virus yang
menggunakan mikroskop elektron untuk partikel virus.

2.7 Komplikasi Herpes zoster

Presentase komplikasi yang timbul dari kasus herpes zoster adalah 7,9% postherpetic
neuralgia. 2,3% infeksi bakteri, 1,6% komplikasi okular (herpes zoster opthalmicus), 0,9%
motor neuropati, dan 0,5% neuropati motorik, 0,5% meningitis, dan 0,2% herpes zoster oticus
(Zareba G, 2005).

2.7.1 Postherpetic neuralgia

Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah postherpetic neuralgia.
Lima puluh persen kasus tersebut berumur lebih dari 60 tahun. Postherpatic neuralgia adalah
nyeri yang diakibatkan kerusakan saraf oleh

virus varicella zoster, yang menghasilkan sinyal elektrik ke otak. Pasien mengalami rasa
nyeri lebih dari 4 bulan dari onset awal munculnya lesi herpes zoster. Gejala sensoris pada
dermatum yang terkena berupa nyeri, mati rasa, dysesthesias dan allodynia (nyeri yang
dikarenakan gerakan). Gejala ini berlangsung atau muncul kembali dalam jangka waktu
bulanan, tahunan, ataupun seumur hidup (Pasqualucci dkk., 2000). Pada beberapa kasus yang
cukup jarang, pasien dapat mengalami kelemahan otot, tremor, atau paralisis jika saraf yang
terkena memiliki peranan dalam mengontrol pergerakan otot. Tanda yang muncul dapat
berupa cutaneous scar pada area herpes zoster yang telah terkena sebelumnya (Zareba G,
2005).

2.7.2 Herpes zoster opthalmicus

Herpes zoster dapat menimbulkan gejala tambahan pada beberapa kasus, tergantung letak
dermatum yang terkena. Herpes zoster opthalmicus terjadi pada orbit mata dan terjadi pada
10% sampai 25% kasus. Hal ini terjadi karena reaktifasi virus pada saraf trigeminal bagian
optalmikus. Pada beberapa pasien, gejala berupa konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan
kelemahan sarap optikus yang terkadang menyebabkan inflamasi okular, nyeri pada daerah
mata bahkan kehilangan 79 kemampuan penglihatan. Lesi vesikular pada hidung memiliki
risiko tinggi herpes zoster opthalmicus atau disebut dengan Hutchinson's sign (Karlin JD,
1993).

Gambar 2.2 Herpes zoster opthalmicus (Fitzpatrick,2012).

Herpes zoster opthalmicus termasuk kegawatdaruratan optalmologi. Hal ini perlu


diperhatikan karena herpes zoster opthalmicus (HZO) bisa menyebabkan kebutaan apabila
tidak segera ditangani dengan tepat. Oleh karena itu, untuk meminimalkan morbiditas,
diagnosis yang akurat dan tepat pada waktunya sangat diperlukan. Diagnosis HZO termasuk
sangat tipikal berdasarkan anamnesis dan penemuan klinis (Ragozzino MW, 2003).

Secara klasik, HZO berawal dari gejala flu-liked symptom berupa demam, myalgia, dan
malaise dalam jangka waktu satu minggu. Pasien kemudian mengalami rasa nyeri pada
dermatum unilateral (pada pasien immunodeficiency sering terjadi pada dermatum bilateral)
dengan distribusi satu atau lebih cabang nervus V1 yaitu supraorbital, lakrimal, dan
nasocilliary. Penemuan klinis pada kulit biasanya dimulai dari lesi makular eritema yang
berkembang dalam beberapa hari menjadi papul, vesikel, dan pustul. Pada pasien dengan
keterlibatan nervus nasosilliary (Hutchinson’s sign) sebagian besar mengindikasikan akan
adanya perkembangan patologi pada mata (Severson EA, 2003).

Pemeriksaan fisik terdiri atas pemeriksaan optalmologi yaitu inspeksi, visual acuity, lapang
pandang, pergerakan ekstraokular, respon pupilari, funduskopi, tekanan intraokular, dan
pemeriksaan kornea. Pemeriksaan selanjutnya dapat berupa Tzanck smear atau Wright stain
untuk mengetahui adanya virus herpes-type pada lesi (walaupun ini tidak bisa membedakan
VZV dengan virus herpes lainnya). Kultur virus, direct immunoflourescence assay, atau
Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan untuk menkonfirmasi diagnosis (Ragozzino
MW, 2003).

2.7.3 Herpes zoster oticus

Herpes zoster oticus atau disebut juga sindroma Ramsay Hunt tipe II melibatkan telinga
bagian dalam, tengah, atau luar. Sindroma ini terjadi karena keterlibatan saraf fasialis dan
vestibulokoklearis yang menyebabkan gejala berupa kehilangan pendengaran dan vertigo
(Sweeney, 2001). Manifestasi herpes zoster oticus berupa ostalgia berat dan berhubungan
dengan erupsi vesikular kutaneus pada eksternal cannal dan pinna. Apabila berkaitan dengan
paralisis pada wajah, infeksi ini disebut dengan Ramsay Hunt syndrome. Ramsay Hunt
syndrome menempati 12% facial paralysis dan sebagian besar memiliki prognosis dan gejala
yang lebih berat dibandingkan bell palsy (Manolette Roque, 2000).

Gambar 2.3 Herpes zoster oticus (Robin T. Cotton, 2006).

2.7.4 Superinfeksi bakteri

Komplikasi lain juga dapat berupa superinfeksi bakteri pada kulit yang menyebabkan
lamanya proses penyembuhan dan komplikasi lainnya. Superinfeksi disebabkan oleh karena
rendahnya imunitas pasien dan ketika terdapat lesi terbuka. Bakteri yang sering menyerang
adalah bakteri Streptococcus dan Staphylococcus. Pemberian antibiotik spektrum luas
diperlukan untuk pengobatan awal untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Virus
herpes zoster dan superinfeksi

bakteri dapat menyerang tidak hanya terbatas pada saraf spinalis, namun juga bisa menyebar
ke bagian saraf sentralis, yang menyebabkan inflamasi meningeal dan meningitis. Terkadang
reaktifasi VZV dapat mengenai neuron motorik pada spinal cord yang menyebabkan
neuropati motorik. Pasien dengan satu atau lebih komplikasi lebih sering terjadi pada pasien
dengan komorbiditas contohnya diabetes, kanker, HIV, dan pasien transplantasi (Wung PK,
2000).

2.8 Penatalaksanaan Herpes zoster

Episode herpes zoster sebagian besar adalah self-limited dan dapat sembuh tanpa intervensi.
Namun penyakit ini menyebabkan kesakitan yang cukup tinggi dan dapat menyebabkan
komplikasi, oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat. Penyakit ini cenderung
memberikan gejala yang lebih ringan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa (Camila,
2010).

Terapi antiviral untuk herpes zoster dapat mengurangi waktu pembentukan vesikel baru,
jumlah hari yang diperlukan untuk menjadi krusta, dan perasaan tidak nyaman atau nyeri
akut. Semakin awal antiviral diberikan, semakin efektif untuk mencegah postherpetic
neuralgia. Idealnya, terapi dimulai dalam jangka waktu 72 jam setelah onset, selama 7-10
hari. Antiviral oral berikut direkomendasikan (Elston dkk., 2010). :

1) Acyclovir 800 mg PO 5 kali sehari selama 7-10 hari

2) Famciclovir 500 mg PO 3 kali sehari selama 7 hari

3) Valacyclovir 1000 mg PO 3 kali sehari selama 7 hari

Penelitian non randomised placebo controlled triali untuk pengobatan nyeri akut herpes
zoster menunjukan adanya pengaruh signifikan pemberian kombinasi antiviral dan analgesik
dalam jangka waktu 2-3 minggu onset untuk mencegah

komplikasi postherpetic neuralgia. Pengobatan primer untuk nyeri akut herpes zoster adalah
(Elston dkk., 2010). :

1) Neuroaktif agen (contoh : antidepresan tricyclic [TCAs] Amytriptiline)


2) NSAIDs

3) Opioid Analgesic

4) Antikonvulsan

Diantara analgesik tersebut, antikonvulsan memiliki efikasi yang terendah sedangkan


Amytriptilin memiliki efikasi yang tertinggi (Elston dkk., 2010).

Masuk Rumah Sakit (MRS) direkomendasikan untuk pasien dengan keadaan berikut (Elston
dkk., 2010). :

1) Gejala berat (nyeri berat dan lesi yang blister)

2) Pesien imunocompressive

3) Presentasi atipikal (contoh : myelitis)

4) Keterlibatan 2 atau lebih dermatum

5) Superinfeksi bakteri khususnya pada wajah

6) Herpes zoster desiminata (mengenai organ lain selain kulit)

7) Keterlibatan optalmikus

8) Keterlibatan meningoensepalitis

2.9 Pencegahan Herpes zoster

Herpes zoster adalah penyakit yang dapat menular melalui cairan di dalam vesikel. Vesikel
pada pasien mudah pecah dan virus ini mudah tertular melalui udara ataupun kontak
langsung. Beberapa Institut Kesehatan di Inggris merekomendasikan untuk meliburkan
penderita herpes zoster pada perusahaan,

sekolah, dan tempat umum lainnya sampai keadaan krusta kering (Elston dkk., 2010).

Setiap orang memiliki kesempatan yang berbeda-beda untuk tertular penyakit herpes zoster.
Semakin rendah keadaan imunitas seseorang, semakin besar kesempatan untuk tertular. Di
Amerika Serikat, pemberian vaksin direkomendasikan sebagai pencegahan primer kepada ibu
hamil, infan yang lahir prematur, infan yang memiliki berat lahir rendah, dan pasien dengan
keadaan immunocompromised, dan pada lanjut usia >60 tahun. Vaksin herpes zoster yang
telah mendapatkan lisensi di Amerika Serikat adalah zostavax, varivax, dan proquad. Vaksin
ini diberikan secara intramuskular dan memiliki efikasi selama 3 tahun (Elston dkk., 2010).

Anda mungkin juga menyukai