Anda di halaman 1dari 30

Identitas Pasien

Nama : Tn. D
Umur : 57 tahun
Alamat : Jl. Batu Ampar
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan terakhir : SMA
Agama : Islam
Nomor RM : 2018-819722
Tanggal Masuk RS : 16 Desember 2018
Tanggal Pemeriksaan : 17 Desember 2018

Anamnesis : Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan istri pasien

Keluhan utama :
Sesak napas sejak memberat kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan sesak nafas yang
memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas dirasa memberat
terutama setelah beraktivitas, tidak berkurang bila pasien beristirahat. Sesak tidak
dipengaruhi oleh makanan,minuman,dan cuaca.Pasien terengah-engah saat
berbicara. Nafas tidak berbunyi. Sesak nafas diikuti dengan keluhan batuk dengan
dahak yang sulit dikeluarkan, dan jika keluar dahak berwarna putih bening,
penurunan berat badan drastis tidak ada, demam tidak ada, nafsu makan menurun,
keringat malam tidak ada, nyeri dada tidak ada. Bersin pagi hari tidak ada. Sesak
sampai terbangun saat tidur tidak ada.
Sebelumnya keluhan sesak dan batuk sudah dirasakan sejak 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit setelah itu pasien dirawat selama 5 hari oleh dokter
paru dan di diagnosis sebagai ppok. Pasien diberikan obat pulang hisap 3 macam,

2
namun saat sesak tidak terasa berkurang. Pasien memiliki riwayat merokok sejak
kurang lebih 20 tahun yang lalu dan menghabiskan rokok minimal sehari 1
bungkus.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat alergi obat,alergi makanan, hipertensi dan diabetes mellitus,penyakit
jantung, tb paru disangkal.
Riwayat Pemakaian Obat :
-Symbicort Turbuhaler (Budesonide/formoterol) 2x2
-Spiriva (Tiotropium Bromide) 1x1
-Berotec (Fenoterol Hydrobromide) 100mcg/semprot

Riwayat Keluarga :
Keluarga menderita keluhan yang sama (-)

Status Generalis
Keadaan umum : sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,5º C
Pernapasan : 20x/menit

Pemeriksaan Fisik
1. Kulit
Warna : coklat sawo matang
Pucat : tidak ada
Jaringan Parut : tidak ada
Turgor : baik

3
2. Kepala
Bentuk : Normochepale
Posisi : Simetris

3. Mata
Edema kelopak : Tidak ada
Conjunctiva Anemis : -/-
Sklera ikterik : -/-
Refleks cahaya : Langsung +/+, tidak langsung +/+

4. Telinga
Bentuk : Normotia, simetris
Darah & cairan : Tidak ditemukan

5. Hidung
Bentuk : Normosepta
Napas cuping hidung : Tidak ditemukan
Sekret : Tidak ditemukan

6. Mulut
Sianosis : Tidak ada
Faring : Dalam batas normal
Lidah : Lidah tidak kotor, tidak deviasi
Uvula : Letak ditengah, tidak deviasi
Tonsil : T1-T1

7. Leher
Trakhea : Tidak deviasi
Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
Kelenjar limfe : Tidak terdapat pembesaran kelenjar

4
8. Paru-paru
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris pada keadaan statis dan
dinamis kanan kiri. Tidak terlihat luka, kulit kemerahan atau
penonjolan. Retraksi sela iga.
 Palpasi : Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru.
Fremitus taktil dan vocal (kanan dan kiri) simetris.
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru.
 Auskultasi: Terdengar suara napas dasar vesicular (+), ronkhi -/-,
wheezing -/-.

9. Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS 5 linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas kanan jantung pada ICS 4 linea parasternalis dextra
- Batas kiri jantung pada ICS 5 linea midklavikula sinistra
- Batas pinggang jantung pada ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal regular, gallop (-), murmur (-)

10. Abdomen
Inspeksi : Simetris, perut datar, sikatriks (-), striae (-) spider navy (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar, nyeri lepas (-) shifting dullness (-)

11. Ekstremitas
 Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah, kanan dan kiri
 Edema (-)
 Sianosis (-)

5
 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah tanggal : 17 Desember 2018

Jenis Hasil Satuan Nilai Rujukan


Pemeriksaan
Hematologi

Hemoglobin 12.7 g/dL 13.2 – 17,3


Hematokrit 37 % 40 – 52
Eritrosit 4.8 juta/µL 4.4 – 5,9
Leukosit 6.10 103/µL 3,80 – 10,60
Trombosit 249 ribu/µL 150 - 440

Gas Darah + hasil Nilai Satuan


Elektrolit rujukan
pH 7.340 7.370 –
7.400
P CO2 20.4 33.0 – 44.0 mmHg

P O2 81.5 71.0 – 104.0 mmHg

HCO3- 13.3 22.0 – 29.0 mmol/L

TCO2 14 19 - 24 mmol/L

Saturasi O2 95.80 94.0 – 98.0 %

6
Natrium (Na) 121 135 - 147 mmol/L

Kalium (K) 3.6 3.5 – 5.0 mmol/L

Klorida (Cl) 88 98 - 108 mmol/L

7
Hasil EKG

Pada hasil EKG, ditemukan sinus rhythm; kecepatan dalam batas normal;
normal axis deviation; tidak ada pembesaran ruang jantung, tidak ada iskemik, tidak
ada infark.

8
Hasil foto thorax

Pemeriksaan radiografi thorax AP


tanggal 2/12/2018

Kesan :
 Tidak terdapat kelainan
radiologis pada jantung
 Gambaran Bronkhitis

Resume
Seorang laki-laki, 57 tahun datang dengan keluhan utama sesak yang memberat 3
hari sebelum masuk rumah sakit.
+ 1 bulan SMRS, os mengeluh sesak nafas semakin bertambah, tidak
dipengaruhi cuaca maupun posisi. Nafas bunyi mengi (-), Batuk (+), berdahak (-
),Os berobat ke rumah sakit, namun tidak ada perubahan.
+3 hari SMRS, os mengeluh sesak hebat, dirasakan setiap saat, batuk (+),
berdahak (+), warna putih bening + 1,5 sendok makan. Nafas bunyi mengi (-). Os
lalu dibawa ke RS dan dirawat.
Riwayat kebiasaan merokok (+) banyaknya ± 1 bungkus /hari sejak 20 tahun
yang lalu. Tidak ada riwayat sakit sebelumnya.
Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit ringan, kesadaran compos
mentis, gizi kurang, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, teratur, isi
dan tegangan cukup, pernafasan 20 kali/menit, suhu 36,5◦C,saturasi oksigen 88%,
BB 50 kg, TB 165 cm, IMT : 17,9% (underweight). Pada pemeriksaan spesifik,
didapatkan retraksi dinding dada,. Pada pemeriksaan paru vesikuler (+)

9
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan Asidosis metabolik
terkompensasi sebagian. Pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan bronkitis.
Pemeriksaan Ekg tidak terdapat kelainan.

Diagnosis Kerja
Dyspneu e.c. Penyakit Paru Obstrukstif Kronik (PPOK) eksersebasi akut
Hiponatremia
Hipokalemia

Diagnosis Banding
Dyspneu e.c. Penyakit Paru Obstrukstif Kronik (PPOK) eksersebasi akut
Dyspneu e.c. TB Paru
Dyspneu e.c. Asma bronkial eksersebasi akut

Penatalaksanaan
Non-farmakologi
 Bedrest
 Oksigenasi dengan Nasal Canul 4lpm
 IVFD NaCl 9% / 8 jam

Farmakologi
 Inhalasi Combivent (Salbutamol + Ipraprotium Bromide) / 8 jam
 Aminofilin drip 0,5mg/Kgbb
 Injeksi Methylprednisolone 3x125mg

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam

10
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema merupakan suatu
kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak
penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk
penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel
penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.4
Dalam menilai gambaran klinis dalam PPOK harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan
b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat
c. Riwayat pajanan seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar
ruangan, dan tempat kerja)
d. Sesak pada saat melakukan aktivitas
e. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali
normal).2
Epidemiologi
Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat
mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan
119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK
menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit
serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $24 milyar
per tahunnya. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya

11
akan meningkat dari ke duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian
akan meningkat dari ke enam menjadi ke tiga. Berdasarkan survey kesehatan rumah
tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki
peringkat ke enam. Merokok merupakan farktor risiko terpenting penyebab PPOK
di samping faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-
lainnya.
Di Indonesia tidak ada data yang akurat mengenai PPOK. Pada Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena
asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab
tersering kematian di Indonesia.

Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :

 Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)


 Pertambahan penduduk
 Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an
menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an
 Industrialisasi
 Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan

Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar


penderita yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara
klinik timbul gejala sesak terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan
gambaran bekas TB (fibrotik, klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru
menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok
penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi
Pascatuberkulosis (SOPT). Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang
bertumpu di Puskesmas sampai di rumah sakit pusat rujukan masih jauh dari fasiliti
pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu kompetensi sumber daya

12
manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti spirometri hanya
terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan Puskesmas.4

Etiologi
Risiko terjadinya PPOK terkait dengan faktor-faktor berikut:
• Asap tembakau - termasuk rokok, cerutu, pipa air dan jenis tembakau lainnya yang
populer di banyak negara, serta asap tembakau lingkungan
• Polusi udara dalam ruangan - dari bahan bakar biomassa yang digunakan untuk
memasak dan memanaskan di tempat tinggal yang kurang ventilasi, faktor risiko
yang terutama mempengaruhi wanita di negara berkembang
• Paparan pekerjaan - termasuk debu organik dan anorganik, bahan kimia dan asap
• Polusi udara di luar ruangan - partikel terhirup, meskipun tampaknya memiliki
efek yang relatif kecil yang dapat menyebabkan PPOK
• Faktor genetik - seperti defisiensi herediter berat alpha-1 antitrypsin (AATD)
• Usia dan jenis kelamin - penuaan dan jenis kelamin perempuan meningkatkan
risiko COPD.
• Pertumbuhan dan perkembangan paru - setiap faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan paru selama kehamilan dan masa kanak-kanak (berat badan lahir
rendah, infeksi saluran pernafasan, dll.)
• Status sosial ekonomi - ada bukti kuat bahwa risiko terjadinya PPOK berbanding
terbalik dengan status sosial ekonomi. Namun, tidak jelas apakah pola ini
mencerminkan paparan terhadap polusi udara di dalam dan luar ruangan,
kesesakan, gizi buruk, infeksi, atau lainnya.
• Asma dan reaktivitas jalan napas - asma dapat menjadi faktor risiko untuk
pengembangan keterbatasan aliran udara dan PPOK
• Bronkitis kronis - dapat meningkatkan frekuensi eksaserbasi total dan berat
• Infeksi - riwayat infeksi pernapasan berat pada anak telah dikaitkan dengan
mengurangi fungsi paru dan meningkatkan gejala pernafasan di masa dewasa.1

13
(Gambar dikutip dari kepustakaan 5)

14
Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni:
peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen
saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding
saluran nafas dan parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi
yang terjadi pada penderita asma.

Patogenesis PPOK

15
(Gambar dikutip dari kepustakaan 4)
Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD) 2017, dibagi atas 4 derajat :

Derajat I: PPOK ringan


Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan
aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,
orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <
VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat
ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang
dialaminya.
Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas
yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang
berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

16
Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1
< 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas
kronik dan gagal jantung kanan.
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh
sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa
diprediksi dengan VEP1.
Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis

a. Anamnesis

 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala


pernapasan

 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan


lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara

 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan Fisik

 PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

 Inspeksi

 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

17
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

 Penggunaan otot bantu napas

 Hipertropi otot bantu napas

 Pelebaran sela iga

 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai

 Penampilan pink puffer atau blue bloater

 Palpasi

 Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

 Perkusi

 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak


diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

 Auskultasi

 Suara napas vesikuler normal, atau melemah

 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh.

Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :


Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing

18
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin

 Faal paru

Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)


 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( %).

Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75


%
 VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

 Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,


APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

 Uji bronkodilator

 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan


APE meter.

 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -


20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml

Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil


 Darah rutin

 Hb, Ht, leukosit

 Radiologi

19
 Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain

 Pada emfisema terlihat gambaran :

 Hiperinflasi

 Hiperlusen

 Ruang retrosternal melebar

 Diafragma mendatar

 Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop


appearance)

 Pada bronkitis kronik :

 Normal

 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus

 Faal paru

 Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti


Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

 DLCO menurun pada emfisema

 Raw meningkat pada bronkitis kronik

 Sgaw meningkat

 Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

20
 Uji latih kardiopulmoner

 Sepeda statis (ergocycle)

 Jentera (treadmill)

 Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

 Uji provokasi bronkus

 Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil


PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan

 Uji coba kortikosteroid

 Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral


(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid

 Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :


 Gagal napas kronik stabil

 Gagal napas akut pada gagal napas kronik

 Radiologi

 CT - Scan resolusi tinggi

 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema


atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

 Scan ventilasi perfusi

 Mengetahui fungsi respirasi paru

21
 Elektrokardiografi

 Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal


dan hipertrofi ventrikel kanan.

 Ekokardiografi

 Menilai funfsi jantung kanan

 Bakteriologi

 Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur


resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab
utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

 Kadar alfa-1 antitripsin

 Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema


pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.

Diagnosis Banding
Diagnosis Banding PPOK Adalah
 Asma

 SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)

 Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada


penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

 Pneumotoraks

 Gagal jantung kronik

 Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal :


bronkiektasis, destroyed lung.

22
 Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang
sering ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus
ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.

 Adapun karakteristik dari Asma, PPOK, dan SOPT pada tabel


berikut

Perbedaan Asma, PPOK, dan SOPT

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala

- Mencegah eksaserbasi berulang

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

- Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi

2. Obat – obatan

3. Terapi oksigen

4. Ventilasi mekanik

5. Nutrisi

6. Rehabilitasi

23
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan
(2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

24
Obat – obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator


juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta – 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah


penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,


karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
- Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,


terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk

25
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :


- Lini I : amoksisilin

makrolid
- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat

Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru
d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -


asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat


perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif

Diberikan dengan hati – hati.

26
Algoritma PPOK

27
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas

- Gagal napas kronik

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

2. Infeksi berulang

3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik :


- Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :

- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2

- Bronkodilator adekuat

- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur

- Antioksidan

Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing Gagal napas akut pada gagal
napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis

- Sputum bertambah dan purulen

- Demam

- Kesadaran menurun

- Infeksi berulang

28
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini
imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan
Pencegahan
1. Mencegah terjadinya PPOK

- Hindari asap rokok

- Hindari polusi udara

- Hindari infeksi saluran napas berulang

2. Mencegah perburukan PPOK

- Berhenti merokok

- Gunakan obat-obatan adekuat

- Mencegah eksaserbasi berulang.4

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Antonio et all., 2017. Global initiative for Chronic Obstructive


Pulmonary Disease. [Diakses pada tanggal 29 Desember 2018]
2. Fadilah, S. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif
Kronik Menteri Kesehatan Republik Indonesia. [Diakses pada tanggal
30 Desember 2018]
3. Fahy JV,Dickey BF. 2010. Review Artikel Airway Mucus Function and
Dysfunction. [Diakses pada tanggal 1 Desember 2018].
4. Persatuan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik. [Diakses pada tanggal 30 Desember 2018]
5. Postma, S., Bush A., Van den Berg. 2014. Risk Factors and Early
Origins of Chronic Obstructive Pulmonary Desease. [Diakses pada
tanggal 28 Desember 2018]
6. Wilson LM. 2006. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit). Jakarta :
EGC

30

Anda mungkin juga menyukai