Anda di halaman 1dari 27

STATUS PASIEN

Identitas Pasien

• Nama : Nn. D

• Usia : 21 tahun

• Jenis Kelamin : Perempuan

• Alamat : Jakarta Utara

• Suku : Melayu

• Agama : Islam

• Status : Belum menikah

• Pekerjaan : Pegawai Swasta

• Pendidikan Terakhir : SMA

• Hari & Tanggal Pemeriksaan : Jumat, 1 Februari 2013, RS Islam Sukapura, Jakarta Utara

Autoanamnesis

• Keluhan Utama

Bentol-bentol diseluruh tubuh ± 6 bulan yang lalu

• Keluhan Tambahan

• Gatal

• Perih

1
Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan bentol-bentol diseluruh tubuh hilang timbul sejak ± 6
bulan yang lalu. Keluhan ini timbul apabila pasien bangun pagi, setelah makan, saat
malam hari, dan pada saat pasien berkeringat. Keluhan ini hilang pada saat pasien minum
obat atau pasien sedang beristirahat. Tapi kadang pada saat pasien tidak melakukan
kegiatan pun, bentol-bentol muncul secara tiba-tiba. Apabila bentol-bentol ini muncul
sangat gatal, ketika digaruk akan terasa perih dan meluas. Bentol-bentol berbentuk seperti
gigitan nyamuk dan kemerahan.

Riwayat Penyakit Dahulu

• Pasien baru pertama kali mengalami hal ini.

Riwayat Penyakit Keluarga

• Pada keluarga, tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien

Riwayat Alergi

• Pasien tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan, makanan, suhu dan debu

Riwayat Pengobatan

• Pasien sudah sering berobat ke dokter umum dan diberikan obat, tetapi keluhan masih
sering kambuh. Pasien tidak mengetahui jenis obat yang diberikan oleh dokter.

Riwayat Psikososial

• Pasien kesehariannya sebagai pegawai swasta di sebuah pabrik, mandi 2 kali sehari, tidak
ada teman atau anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.

2
Pemeriksaan Fisik

• Keadaan umum : Tampak sakit ringan

• Kesadaran : Compos mentis

• Tanda-tanda vital :

– Tekanan darah : tidak dilakukan

– Nadi : tidak dilakukan

– Respirasi : tidak dilakukan

– Suhu : tidak dilakukan

• Kepala : t.a.k

• Rambut : t.a.k

• Mata : t.a.k

• Hidung : t.a.k

• Mulut : t.a.k

• Tenggorok : t.a.k

• Leher : t.a.k

Thorax

• Inspeksi : t.a.k

• Palpasi : t.a.k

• Perkusi : t.a.k

• Auskultasi paru : t.a.k

• Auskultasi jantung : t.a.k

3
Abdomen

• Inspeksi : t.a.k

• Auskultasi : t.a.k

• Palpasi : t.a.k

• Perkusi : t.a.k

Ekstremitas

• Superior : t.a.k

• Inferior : t.a.k

Anogenital

• Tidak dilakukan

Status Dermatologi

• Regio : Sulit dinilai

• Lesi : Sulit dinilai

• Eflouresensi : Sulit dinilai

Resume

• Pasien perempuan berumur 21 tahun datang dengan keluhan bentol-bentol diseluruh


tubuh yang hilang timbul ± 6 bulan yang lalu. Bentol-bentol berbentuk seperti gigitan
nyamuk dan kemerahan. Apbila digaruk akan meluas.

• Status dermatologi sulit dinilai

4
Diagnosis Kerja

• Urtikaria

Penatalaksanaan

• Medikamentosa

– Asam Salisilat 1%

– Metil Prednisolon 2 x 4 mg

– Cetirizin 1 x 10 mg

• Non-medikamentosa

– Hindari faktor pencetus

5
URTIKARIA

Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai
dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan
kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.

Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria (kronis, akut,
atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic
idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya. Insiden urtikaria
akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden urticaria kronis tidak meningkat pada orang
dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut
paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi pada
dewasa dan wanita setengah baya.

Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat perbedaan


prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%) daripada laki-laki (0.12%).
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik
berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi
urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi
urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk
kurang dari 500.000.

Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab
urtikaria bermacam-macam, antara lain:

1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik
maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik)
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara

6
non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya
opium dan zat kontras.

2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi
imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang,
udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.

3. Gigitan atau sengatan serangga


Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih
banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).

4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik,
dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.

5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,
dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).

6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air
liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent
(penangkis serangga), dan bahan kosmetik.

7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan
emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik.
Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai
beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.

8. Infeksi dan infestasi


Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,
virus, jamur, maupun infestasi parasit.

7
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .

10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominant.

11. Penyakit sistemik


Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih
sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.

Klasifikasi
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis daripada etiologi
karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria dan banyak kasus
karena idiopatik. Terdapat bermacam-macam klasifikasi urtikaria, berdasarkan lamanya serangan
berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik.

1. Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari. Lesi individu biasanya hilang
dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan atopi.
Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau
rekuren.

2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu,
pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6
minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat
mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.

8
3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di tempat di
mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak dapat
dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgE-independen).

4. Urtikaria Fisik
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan
merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang
tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores. Dermographism
tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang
sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi,
kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.

Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.

b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa
immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul
eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.
c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal,
sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap
kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk
pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan
dengan tangan.

9
Delayed Pressure Urticaria pada kaki.
d. Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat
berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena
paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam
karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal
dominan yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai dengan
flushing pada wajah.
e. Cold urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan
(herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi
perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin.
Jarak antara paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam,
dan rata-rata durasi episode adalah 12 jam.

Cold Urticaria

f. Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic
urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan
biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh
flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.

Cholibergic Urticaria.
10
g. Local heat urticaria
Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam
beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5 menit
setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti
terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi.

Local Heat Urticaria.

h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-
kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar
matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil
dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet
A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.

Solar Urticaria.

i. Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari
pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang

11
berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan
olahraga/exercise sebagai stimulusnya.

Exercise-induced anaphylaxis.

j. Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo
yang terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran
norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus
seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria
dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa
antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil
yang mirip dengan cholinergic urticaria.
4. Sindrom Khusus
a. Schnitzler syndrome
Schnitzler Syndrome adalah varian unik urtikaria kronis yang ditandai oleh
pruritic non-wheals yang berulang, demam intermiten, nyeri tulang, arthralgias, atau
radang sendi, terdapat peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan
monoclonal IgM gammopathy.

b. Muckle-Wells syndrome
Muckle-Wells syndrome adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan
autoinflammatory yang ditandai dengan urtikaria, arthralgia, ketulian sensorineural
yang progresif, dan amiloidosis.

12
c. Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy
Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai gatal
yang dikenal dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP).
Erupsi muncul secara tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari
dapat menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah.

d. Urticarial vasculitis
Presentasi klinis urticarial vaculitis dapat dibedakan dari urtikaria kronis.
Berbeda dengan urtikaria kronis, lesi dari urticarial vasculitis cenderung bertahan
lebih lama dari 24 jam dan berkaitan dengan sensasi panas, nyeri, dan gatal. Lesi ini
juga digambarkan sebagai penyembuhan dengan atau petechiae purpura karena
garukan.

Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga
terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara
klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin,
slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau
basofil.

Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil
untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin sekali
siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator.
Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin,
kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik
misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui
langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas,
dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa
keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh
darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.

13
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik; biasanya
IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada
antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu
melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi
obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun
secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel
mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.

Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks
imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga
terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin.
Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang
herediter.

Gejala dan Tanda


1. Gejala
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut:

a. Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.


b. Biduran berwarna merah muda sampai merah.
c. Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul seterusnya.
d. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah dan
nyeri kepala.
2 Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut:

a. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang bagian
tengah tampak lebih pucat.
b. Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
c. Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory
distress, stridor, dan gastrointestinal distress.

14
d. Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka
merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan perubahan
pigmentasi.
e. Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek tumpul dan
diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.
f. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.
Diagnosis Banding
1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan
submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat
disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada
angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus.
Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan
yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang nonpitting
dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran nafas dan
saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat), serta suara
serak yang merupakan tanda paling awal dari edema laring.

2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai.
Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai
dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat tersebar di
seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa makula
eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata
meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai
dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi
inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular, berdiameter 2-
6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.

15
3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang
berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.
Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi
dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-
kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga
berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.

4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat atopi
pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis
alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti belum
diketahui, tetapi faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit.
Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari,
tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk
sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor
dari Hanifin dan Rajka.

5. Dermatitis kontak alergi


Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap
suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena.
Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan
erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.

Diagnosis
1. Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal
dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik.

16
Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi adalah sebagai
berikut:

a. Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada makanan baru yang
ditambahkan dalam menu makanan?
b. Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat baru?
Jika iya, apakah jenis obat tersebut?
c. Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik?
d. Apakah pasien sedang hamil?
e. Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin, tekanan,
vibrasi?
f. Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak dengan
kulit yang mungkin timbul pada tempat kerja?
g. Apakah biduran berhubungan dengan gigitan/sengatan serangga?
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi:
 Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
 Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit,
kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.
 Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
 Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
 Dermographism.
b. Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan menjadi
presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa, diantaranya adalah:
 Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak.
 Angioedema pada bibir, lidah, atau laring.
 Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan adanya
hepatitis atau penyakit kolestatik hati.
 Pembesaran kelenjar tiroid.
 Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.

17
 Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan penyambung,
rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus (SLE).
 Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm (asthma).
 Ekstremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Pemeriksaan darah rutin bisa
bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta.
Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum,
faal ginjal, faal hati, faal hati, dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria
vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus
angioedema berulang tanpa urtikaria. Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu
diperiksa pada urtikaria dingin.

b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.


Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.

c. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan
tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent
test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri
(autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup
sederhana untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing
autoantibodies.

d. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi
memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini
dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya.

18
e. Tes eleminasi makanan
Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai
untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.

f. Tes foto tempel


Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.

g. Suntikan mecholyl intradermal


Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria
kolinergik.

h. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai adanya
alergi pada suhu tertentu.

i. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2 Pada
urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat perubahan
epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-
serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi
pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang
berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin
sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.

Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik. Beberapa
lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran limfosit,
polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon alergi
fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria
atipikal memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan
derajat keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik
(parah).

19
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line therapy,
dan third-line therapy.

1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari:

a. Edukasi kepada pasien:


 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan menggunakan bahasa
verbal atau tertulis.
 Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak
mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika
penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
 Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol, dan
agen fisik.
 Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
 Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
 Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2%.
c. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap. Pengobatan
dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah
diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Secara
klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek antagonis
terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan
efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin
yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi
golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.

Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin, aztemizol,


cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai
kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek

20
maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan aztemizol dalam waktu 96
jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan
AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal
secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting.
Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat
menembus sawar darah otak.

Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada beberapa


kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe H2. Antagonis
reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya yang minimal pada
pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan
famotidine.

2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line therapy
harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.

a. Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus UVA
[PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan peningkatan
efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.

b. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis reseptor H1 dan
H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai efek sedasi daripada
diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna pada
pasien dengan urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk
pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari
yang dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang
menunjukkan efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah
dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-pressure
urticaria pada dosis 30 mg/hari.

21
c. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal, bahkan
pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi seperti itu,
terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak
berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan,
mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis,
yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari
kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering)
atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan untuk episode
urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin. Kortikosteroid harus dihindari
pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria kronis karena efek samping
kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.

Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone, methylprednisolone, dan


triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi prednisolone untuk menghasilkan efek,
dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan
dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone
dapat mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari
PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak 0.5-2
mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat
membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48
mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4
dosis.

d. Leukotriene Receptor Antagonist


Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan mempunyai
respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada individu
yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton
menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan
pasien dengan urtikaria kronik.

22
e. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan whealing pada
pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan
antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan dengan modifikasi influks kalsium ke
dalam sel mast kutaneus.

3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon
terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen
immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate,
cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien
yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria
kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol
(salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine, dan
warfarin.

a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati pasien
dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari
menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon
terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL setiap hari dapat mengobati
pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.

Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen pasien dengan


urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat tidak jelas,
namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang bersaing
dengan IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau
memperbanyak klirens IgG endogen.

b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan urtikaria
autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah akumulasi

23
kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan harus diselidiki dalam hubungannya
dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.

c. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola urtikaria
ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin paling berguna untuk
urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan
dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan dengan respon yang baik
pada hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist
terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya umumnya
tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan insomnia yang tidak dapat
ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.

Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi, sedangkan
urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 17 Desember 2009, dari
http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print

2. Djuanda, A. (2008). sIlmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.

4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Desember 2009, dari
http://emedicine.medscape.com/article/137362-print

5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit. Surabaya
Plastic Surgery, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari
http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-dan-
penyembuhan.html

6. Anonim. (2009). Epidermal Layer. Wordpress, Gambar. Diakses 16 Desember 2009, dari
http://sekolahperawat.files.wordpress.com/2009/02/kulit1-copy.jpg

7. Anonim. (2009). Skin Anatomy and Physiology. Gambar. Diakses 16 desember 2009, dari
http://www.essentialdayspa.com/images/emerginc/Skin_Anathomy_and_Physiology.gif

8. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J
Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220

25
9. Hasan. (2009). Urtikaria. Wordpress, Artikel. Diakses tanggal 15 desember 2009, dari
http://drhasan.files.wordpress.com/2009/02/refurtikariafh.doc

10. Siahaan, J. (2009). Urtikaria/Biduran. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari
http://jeksonsiahaansked.blogspot.com/2009/05/urtikariabiduran.html

11. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 16 Desember 2009, dari
http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jpg

12. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009,
dari http://www.steadyhealth.com/articles/user_files/4542/Image/687_urticaria.jpg
13. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari
http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg

14. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep,
Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari
http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg

15. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 17 Desember
2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf

16. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 17


Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf

17. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.

26
18. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari
http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html

19. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema dalam:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.

20. Rikyanto. (2006). Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran UMY.

27

Anda mungkin juga menyukai