Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Radiologi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Diajukan Kepada:
dr. Kus Budayantiningrum, Sp. Rad
Disusun Oleh:
Jati Wido Retno
20184010048
1
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Disusun oleh:
Jati Wido Retno
20184010048
2
3
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan kemudahan
yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus
Presus ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu,
dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak ternilai kepada:
1. dr. Kus Budayantiningrum, Sp.Rad selaku dokter pembimbing bagian Ilmu
Radiologi RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo yang telah mengarahkan dan
membimbing dalam menjalani stase Ilmu Radiologi serta dalam penyusunan
presus ini
2. dr. Anies Indra Kusyati Sp. Rad selaku dokter pembimbing bagian Ilmu Radiologi
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo yang telah mengarahkan dan membimbing
dalam menjalani stase Ilmu Radiologi
3. Perawat bagian instalasi radiologi RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
4. Rekan Co-Assistensi atas bantuan dan kerjasamanya
5. Seluruh pihak-pihak terkait yang membantu penyelesaian presus ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Dalam penyusunan presentasi kasus ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi
kesempurnaan penyusunan presus di masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
4
DAFTAR ISI
A. Hepatoma .............................................................................................. 14
1. Definisi ...................................................................................................................... 14
2. Epidemiologi ............................................................................................................. 14
3. Etiologi ...................................................................................................................... 15
4. Patofisiologi .............................................................................................................. 16
6. Diagnosis ................................................................................................................... 18
7. Penatalaksanaan ........................................................................................................ 20
2. Epidemiologi ............................................................................................................. 21
3. Etiologi ...................................................................................................................... 21
4. Patofisiologi .............................................................................................................. 21
5
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 26
BAB IV ................................................................................................................................ 27
KESIMPULAN ................................................................................................................... 27
BAB V .................................................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 28
6
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. B
Usia : 82 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jlamprang
Status perkawinan : Sudah menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Masuk RS : 19 Desember 2018
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Pasien mengengeluh nyeri perut kanan atas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien laki-laki datang ke IGD RSUD dengan keluhan nyeri perut kanan atas
sudah sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri berlangsung terus menerus. Tingkatan nyeri
kadangkala berat dan di lain waktu berkurang. Badan selalu merasa kelelahan, Riwayat
demam (-), mual (+), muntah (-), BAB lancar dan sedikit sulit BAK. Perubahan warna
pada BAK disangkal.
7
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien memiliki kebiasaan makan makanan berlemak
6. Anamnesis Sistem
8
3) Perkusi : Suara sonor pada lapang paru
4) Auskultasi : Tidak terdapat suara wheezing pada kedua paru
d. Cor
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus cordis teraba.
3) Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 murni, tidak ada bising
e. Abdomen
1) Inspeksi : Supel, datar
2) Auskultasi : Bising usus normal
3) Palpasi : Nyeri tekan (+) kuadran kanan atas, Murphy sign (-)
4) Perkusi : Timpani
f. Ekstremitas : Bentuk normal anatomis, tidak ada deformitas, tidak
terdapat nyeri gerak aktif dan pasif. Akral hangat dan tidak edem.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Lab
Paket Darah Otomotatis
Pemeriksaan Nilai Satuan Rujukan Interpretasi
Hemoglobin 14.2 g/dl 13.2 –17.3 Normal
Leukosit 8.6 103/ul 3.8 - 10.6 Normal
Eosinofil 0.50 % 2.00 – 4.00 Menurun
Basofil 0.20 % 0 – 1.00 Normal
Netrofil 68.60 % 50.00 – 70.00 Normal
Limfosit 20.90 % 25.00 – 40.00 Menurun
Monosit 9.40 % 2.00 – 8.00 Meningkat
Hematokrit 40 % 40 - 52 Normal
Eritrosit 5.2 106/ul 4.40 – 5.90 Normal
MCV 78 fl 80 - 100 Menurun
MCH 28 pg 26 - 34 Normal
MCHC 35 g/dl 32 - 36 Normal
Trombosit 242 103/ul 150 - 400 Normal
Kimia Klinik
Pemeriksaan Nilai Satuan Rujukan Interpretasi
9
Ureum 20.8 mg/dL <50 Normal
Kreatinin 0.77 mg/dL 0.40 – 0.90 Normal
SGOT 57.3 u/l 0 - 35 Meningkat
SGPT 33.2 u/l 0 - 35 Normal
Hasil :
Cor : Kesan tak membesar
Pulmo : Corakan bronkovaskuler kasar, diaphragma dbn dan sinus dbn
Kesan :
Cor : Tak membesar
Pulmo : Aspek tenang
10
3. Pemeriksaan USG Abdomen
11
Hasil :
Hepar : Besar normal, struktur echoparencyma homogen
Systema vascular tak melebar dan systema billiare tak melebar
Vesica Fellea : Besar normal, sludge (-), batu (-)
Lien : Besar normal, struktur echoparencyma homogen
Pankreas : Besar normal, struktur echoparencyma homogen
Ren Dx : Besar normal, PCS tak melebar, batu (-), parenchyma dbn
Ren Sn : Besar normal, PCS tak melebar, batu (-), parenchyma dbn cysta (+)
Gaster : Dinding menebal ireguler, udara dan cairan meningkat
Usus : Udara usus dbn, dilatasi (-), massa (-)
Vesica Urinaria : Dinding menebal ireguler, massa (-), batu (-), endapan (+)
Tak tampak asites
Prostat : Membesar permukaan rata, kalsifikasi (-), uk 4.37 x 3.87x5.29
12
Kesan :
Multiple nodul hyperechoic besar kecil pada hepar
DDx : Hepatoma
Nodul Metastase
Peningkatan udara gaster dengan dinding tebal irreguler cenderung gastritis
Simple Cyst pada Ren Sinistra
Pembesaran kelenjar Prostat ringan ( vol : 46,89 ml )
E. Diagnosis Kerja
Hepatoma dan Hiperplasia Prostat Benigna
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hepatoma
1. Definisi
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah keganasan pada hepatosit
dimana stem sel dari hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh
adanya proses fibrotik maupun proses kronik dari hati (cirrhosis). Massa tumor ini
berkembang di dalam hepar, di permukaan hepar maupun ekstra hepatik seperti pada
metastase jauh. (5)
Tumor dapat muncul sebagai massa tunggal atau sebagai suatu massa yang difus
dan sulit dibedakan dengan jaringan hati disekitarnya karena konsistensinya yang
tidak dapat dibedakan dengan jaringan hepar biasa. Massa ini dapat mengganggu jalan
dari saluran empedu maupun menyebabkan hipertensi portal sehingga gejala klinis
baru akan terlihat setelah massa menjadi besar. Tanpa pengobatan yang agresif,
hepatoma dapat menyebabkan kematian dalam 6– 20 bulan.(5)
2. Epidemiologi
Karsinoma hepatoselular (KH) atau Hepatoma merupakan keganasan primer
pada hepar yang paling sering ditemui, 90-95% dari seluruh tumor hepar primer.
Kanker ini menduduki peringkat keempat terbanyak di dunia dan menyebabkan
hampir 250.000 kematian per tahun. Di Asia dan Sub-Sahara Afrika insidensi tahunan
KH mencapai 500 kasus per 100.000 penduduk. Sehingga pembahasan selanjutnya
akan ditujukan terhadap karsinoma hati primer. Dalam dasawarsa terakhir terjadi
perkembangan yang cukup berarti menyangkut HCC, antara lain perkembangan pada
modalitas terapi yang memberikan harapan untuk sekurang-kurangnya perbaikan pada
kualitas hidup pasien. (1)
Tumor hati dapat berbentuk primer atau sekunder. Tumor hati primer dapat
berbentuk jinak atau ganas dan dapat timbul dari sel parenkim hati, epitel duktus
biliaris atau dari jaringan penunjang mesenkim atau bisa berasal lebih dari satu sel-sel
tersebut. Tumor hati sekunder (metastase dihati) paling sering berasal dari metastase
tumor saluran cerna, mammae atau paru. Walaupun jenis tumor hati amat banyak,
namun dalam kenyataannya yang terbanyak ditemukan di Indonesia hanyalah bentuk
karsinoma hati primer/ karsinoma hepatoseluler /hepatoma. Tumor ganas hati lainnya,
14
kolangiokarsinoma dan sistoadenokarsinoma berasal dari sel epitel bilier, sedangkan
angiosarkoma dan leiomiosarkoma berasal dari sel mesenkim. Dari seluruh tumor
ganas hati yang pernah didiagnosis, 85% merupakan hepatoma; 10%
kolangiosarkoma; dan 5% adalah jenis lainnya. (5)
3. Etiologi
Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis multifaktor
dan multifasik, melalui inisiasi, akselerasi dan transformasi dan proses banyak
tahapan, serta peran banyak onkogen dan gen terkait, mutasi multigenetik. Etiologi
hepatoma belum jelas, menurut data yang ada, virus hepatitis, aflatoksin dan
pencemaran air minum merupakan 3 faktor utama yang terkait dengan timbulnya
hepatoma. (9)
a. Virus hepatitis
HBV Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat,
baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV
terhadap hati mungkin terjadi melalui prosesinflamasi kronik, peningkatan proliferasi
hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktifitas protein
spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari
kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis
hati. HCV Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis hepatoma pada pasien
yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi
darah dengan anti-HCV positif, interval antara saat transfusi hingga terjadinya HCC
dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui
aktifitas nekroinfiamasi kronik dan sirosis hati.
b. Aflatoksin
15
Qidong dan Haimen di propinsi Jiangshu, Fuhuan di Guangxi, Shunde di Guangdong
dll. menunjukan peminum air saluran perumahan, air kolam memiliki mortalitas
hepatoma secara jelas lebih tinggi dari peminum air sumur dalam. Dengan beralih ke
minum air sumur dalam, mortalitas hepatoma penduduk cenderung menurun. Algae
biru hijau dalam air saluran perumahan dan air kolam dianggap sebagai salah satu
karsinogen utama.
4. Patofisiologi
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus berlanjut
merupakan proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses dari
pembentukan hepatoma walaupun pada pasien – pasien dengan hepatoma, kelainan
cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan dengan proses replikasi DNA
virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein yang tidak dapat
bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari infeksi Virus hepatitis,
dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA ini akan berkembang dan
mereplikasi diri di sitoplasma dari sel hati dan menyebabkan suatu perkembangan dari
keganasan yang nantinya akan menghambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi
sel hati. Para ahli genetika mencari gen – gen yang berubah dalam perkembangan sel
hepatoma ini dan didapatkan adanya mutasi dari gen p53, PIKCA, dan β-Catenin.
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul – nodul di hepar, baik
nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa
tidak ada progresi yang khusus dari nodul – nodul diatas yang menuju kearah
hepatoma tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari
sel – sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan hepatoma. Sel sel kecil ini
disebut sebagai stem cel dari hati. Sel– sel ini meregenrasi sel – sel hati yang rusak
tetapi sel – sel ini jugaberkembang sendiri menjadi nodul – nodul yang ganas sebagai
respons dariadanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus. Nodul –
nodul inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma. (9)
5. Manifestasi Klinis
a. Hepatoma fase subklinis
Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien yang tanpa
gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan melalui pemeriksaan
AFP dan teknik pencitraan. Caranya adalah dengan gabungan pemeriksaan AFP dan
pencitraan, teknik pencitraan terutama dengan USG lebih dahulu, bila perlu dapat
16
digunakan CT atau MRI. Yang dimaksud kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya
adalah: masyarakat di daerah insiden tinggi hepatoma; pasien dengan riwayat hepatitis
atau HBsAg positif; pasien dengan riwayat keluarga hepatoma; pasien pasca reseksi
hepatoma primer.(2)
b. Hepatoma fase klinis
Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut, manifestasi utama
yang sering ditemukan adalah (2) :
1) Nyeri abdomen kanan atas : hepatoma stadium sedang dan lanjut sering
datang berobat karena kembung dan tak nyaman atau nyeri samar di abdomen
kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul (dullache) atau menusuk
intermiten atau kontinu, sebagian merasa area hati terbebat kencang,
disebabkan tumor tumbuh dengan cepat hingga menambah regangan pada
kapsul hati. Jika nyeri abdomen bertambah hebat atau timbul akut abdomen
harus pikirkan ruptur hepatoma.
2) Massa abdomen atas :hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan
batas atas hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan
hepatomegali di bawah arkus kostae berbenjol, segmen inferior lobus kanan se
-ring dapat langsung teraba massa di bawah arkus kostae kanan; hepatoma
lobus kiri tampil sebagai massa di bawah prosesus xifoideus atau massa di
bawah arkus kostae kiri.
3) Perut kembung : timbul karena massa tumor sangat besar, asites
dan gangguan fungsi hati.
4) Anoreksia : timbul karena fungsi hati terganggu, tumor
mendesak saluran gastrointestinal, perut tidak bisa menerma makanan
dalam jumlah banyak karena terasa begah.
5) Letih terus-menurus : dapat disebabkan metabolit dari tumoganas dan
berkurangnya masukan makanan dll, yang parah dapat sampai kakeksia.
6) Demam : timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi
dan metabolit tumor, jika tanpa bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya
tidak disertai menggigil.
7) Ikterus : tampil sebagai kuningnya sclera dan kulit,
umumnya karena gangguan fungsi hati, biasanya sudah stadium lanjut, juga
dapat karena sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran
empedu hingga timbul ikterus obstruktif.
17
8) Asites : juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara
klinis ditemukan perut membuncit dan pekak bergeser, sering disertai udem
kedua tungkai.
9) Lainnya : selain itu terdapat kecenderungan perdarahan,
diare, nyeri bahu belakang kanan, udem kedua tungkai bawah, kulit gatal dan
lainnya, juga manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, palmareritema,
lingua hepatik, spider nevi, venodilatasi dinding abdomendll. Pada stadium
akhir hepatoma sering timbul metastasis paru,tulang dan banyak organ lain.
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Biokimia Hati
Pemeriksaan ALT, AST, gamma glutamyl transpetidase (GGT), alkalin
fosfatase, bilirubin, albumin, globulin, serta pemeriksaan darah perifer lengkap
dan waktu protrombin. Umumnya akan ditemukan ALT yang lebih tinggi dari
AST, tetapi seiring berkembangnya penyakit menuju sirosis, rasio tersebut
akan berbalik. Bila sirosis telah terbentuk, akan tampak penurunan progresif
albumin, peningkatan globulin, dan pemanjangan waktu protrombin yang
disertai penurunan jumlah trombosit. Pada pasien hepatitis B kronis perlu
dilakukan pemeriksaan alfa-fetoprotein untuk mendeteksi karsinoma
hepatoseluler.(6)
2) Pemeriksaan Radiologi
a) USG
Pada hepar normal terdapat gambaran homogeny dan echogenik. Terdapat
gambaran lobules hepar dan vena porta. Vena porta dalam USG terlihat
dengan dinding yang tebal dan echogenik. (7)
18
Hepar normal. USG longitudinal menunjukkan liver homogeny dengan echo.
Struktur anechoic merupakan pembuluh darah (panah putih). Diafragma (panah
hitam) terlihat di bagian atasnya.
Secara umum pada USG tumor primer hati sering ditemukan adanya hepar yang
membesar, permukaan yang bergelombang, dan lesi-lesi fokal intrahepatik
dengan struktur eko yang berbeda dengan parenkim hati normal. Biasanya
menunjukan struktur eko yang lebih tinggi disertai dengan nekrosis sentral
berupa gambaran hipoekoik sampai anekoik akibat adanya nekrosis, tepi
ireguler. Yang sangat sulit ialah menentukan hepatoma pada stadium awal
dimana gambaran struktur eko yang masih isoekoik dengan parenkim hati
normal.(7)
b) CT SCAN
19
c) MRI
MRI merupakan teknik pemeriksaan nonradiasi, tidak memakai zat kontras berisi
iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah dan saluran
empedu dalam hati, juga cukup baik memperlihatkan struktur
internal jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas
aneka terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma
kecil kurang dari 1cm dengan angka keberhasilan 55%. (2)
7. Penatalaksanaan
Tiga prinsip penting dalam terapi hepatoma adalah terapi dini efektif, terapi gabungan,
dan terapi berulang. (9)
Semakin dini diterapi, semakin baik hasil terapi terhadap tumor. Untuk hepatoma kecil
pasca reseksi 5 tahun survivalnya adalah 50-60%, sedangkan hepatoma besar hanya
sekitar 20%. Terapi efektif menuntutsedapat mungkin memilih cara terapi terbaik
sebagai terapi pertama.
b. Terapi gabungan
20
Dewasa ini reseksi bedah terbaik pun belum dapatmencapai hasil yang memuaskan,
berbagai metode terapi hepatoma memiliki kelebihan masing-masing, harus digunakan
secara fleksibel sesuai kondisi setiap pasien, dipadukan untuk saling mengisi kekurangan,
agar semaksimal mungkin membasmi dan mengendalikan tumor, tapi juga semaksimal
mungkin mempertahankan fisik, memper-panjang survival.
2. Epidemiologi
BPH merupakan bagian yang normal dari proses penuaan pada pria. BPH merupakan
penyakit yang sering diderita oleh pria. Berdasarkan angka autopsi perubahan
mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini terus berkembang, maka akan terjadi perubahan patologi anatomik. Di
klinik 50% penderita BPH dengan gejala bladder outlet obstruction (BOO) dijumpai
pada kalangan usia 60-69 tahun. Angka ini meningkat sampai 90% pada usia 85 tahun.
Karena proses pembesaran prostat perlahan-lahan maka efek perubahan juga terjadi
perlahan-lahan.(4)
3. Etiologi
Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penilitian sampai tingkat biologi
molekuler belum dapat mengugkapkan dengan jelas etiologi terjadinya BPH. BPH erat
kaitannyadengan ketidakseimbangan hormonal yang dipengaruhi oleh proses penuaan.
Berbagai hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat.(4)
4. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan, efek perubahan juga terjadi
perlahan. Pada tahap awal pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
pars prostatika. Keadaan ini menyebabkan tekanan intravesikal meningkat, sehingga
21
untuk mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan
tahanan tersebut. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik
yaitu hipertrofi otot detrusor. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi
dinding otot. Apabila keadaan berlanjut, otot detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi. Apabila kandung
kemih menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih
ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat
kandung kemih tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus
meningkat. Apabila tekanan kandung kemih menjadi lebih tinggi daripada tekanan
sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan
refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita sering kali mengedan
sehingga lama-kelamaan bisa menyebabkan hernia atau hemoroid.(3)
Dapat ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi
saluran kemih adalah penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama, miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas
sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yaitu
bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi
terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi
cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan
yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat merangsang kandung
kemih sehingga sering berkontraksi meskipun belum penuh. Karena selalu terdapat sisa
urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis. Gejala dan tanda ini dievaluasi
menggunakan International Prostate Symptom Score (IPSS) untuk menentukan beratnya
keluhan klinis. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki
nilai 0 hingga 5 yang memiliki nilai maksimum 35.(3)
5. Diagnosis
a. Anamnesis
22
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis yang
cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya.
Anamnesis itu meliputi: 1. Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu
telah mengganggu. 2. Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenital
(pernah mengalami cedera, infeksi atau pembedahan). 3. Riwayat kesehatan secara
umum dan keadaan fungsi seksual. 4. Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang
dapat menimbulkan keluhan miksi. 5. Tingkat kebugaran pasien yang mungkin
diperlukan untuk tindakan pembedahan. Salah satu pemandu yang tepat untuk
mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat
adalah IPSS.(8)
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan
teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang-kadang
didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu pertanda
inkontinensia paradoks.Pada colok dubur diperhatikan: 1. Tonus sfingter ani atau
refleks bulbokavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik.
2. Mukosa rektum. 3. Keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul,
krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat. Colok dubur pada
BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul.(8)
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria.
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi
saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi,
pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan. Pemeriksaan kultur urin
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. Namun
pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urin dan telah memakai kateter,
pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada
leukosituria dan eritrosituria akibat pemasangan kateter.(3)
Pemeriksaan faal ginjal untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah dimaksudkan untuk
mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan
23
kelainan persarafan pada buli-buli. Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu
diperiksa kadar penanda tumor Prostate Specific Antigen (PSA). Meskipun BPH
bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi kelompok usia BPH
mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan
colok dubur lebih baik daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi
adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA direkomendasikan sebagai salah satu
pemeriksaan awal pada BPH, dengan syarat usia sebaiknya tidak melebihi 70-75
tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang terdiagnosis
karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.(4)
d. Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan foto polos abdomen (BNO) berguna untuk mencari adanya batu
opaque di saluran kemih, adanya batu atau kalkulosa prostat dan kadang dapat
menunjukkan bayangan buli-buli yang terisi penuh urin yang merupakan tanda dari
retensi urin. Pemeriksaan pielografi intravena (IVP) dapat menerangkan
kemungkinan adanya: kelainan ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh
adanya gambaran indentasi prostat dan penyulit yang terjadi pada buli-buli. Namun
pemeriksaan IVP sekarang tidak direkomendasikan pada BPH.(8)
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilakukan melalui trans abdominal ultra
sonografi (TAUS) atau trans uretral ultra sonografi (TRUS). Dari TAUS diharapkan
mendapat informasi mengenai:
1) Perkiraan volume (besar) prostat
2) Panjang protrusi prostat ke buli-buli atau intra prostatic protrusion
(IPP)
3) Kelainan pada buli-buli (massa, batu atau bekuan darah)
4) Menghitung residu urin pasca miksi
5) Hidronefrosis atau kerusakan ginjal akibat obstruksi prostat
Pada pemeriksaan TRUS dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis
terapi yang tepat, juga untuk mencari kemungkinan adanya fokus keganasan prostat
berupa area hipoekoik dan kemudian sebagai petunjuk dalam melakukan biopsi
prostat.(8)
Pemeriksaan uretrosistoskopi untuk mengetahui keadaan uretra pars prostatika
dan buli-buli. Namun pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa
menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra dan retensi urin sehingga
24
tidak dianjurkan sebagai pemeriksaanrutin pada BPH. Pemeriksaan ini dikerjakan
pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya tindakan
TUIP,TURP atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai
hematuria atau dugaan adanya kasrinoma buli-buli, pemeriksaan ini sangat
membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.(4)
6. Penatalaksanaan
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula yang
membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah. Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki
keluhan miksi, (2)meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi
intravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi
volume residu urine setelah miksidan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini
dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan endourologi yang
kurang invasif. (8)
25
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang pasien laki-laki datang ke IGD RS dengan keluhan nyeri perut kanan atas
sudah sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan dirasakan menerus. Pasien sering merasa kelelahan.
Keluhan demam (+), mual (+), muntah (-), BAK sedikit dan sulit, BAB normal. Dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diagnosis mengarah ke hepatoma.
Hepatoma adalah keganasan pada hepatosit dimana sel hati berkembang menjadi
massa maligna yang dipicu oleh adanya proses fibrotik maupun proses kronik dari
hati (cirrhosis). Massa tumor ini berkembang di dalam hepar, di permukaan hepar maupun
ekstra hepatik seperti pada metastase jauh.
Manifestasi klinisnya dibagi dalam 2 fase yaitu : hepatoma fase subklinis dan
hepatoma fase klinis.gejala yang biasanya muncul berupa nyeri pada perut kanan atas, massa
abdomen atas, perut kembung, anoreksia, lelah terus menerus, demam, ikterus, dan ascites.
Berdasarkan temuan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
sangat membantu dalam hal menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Salah satunya yaitu
ultrasonografi untuk melihat ukuran, parenkim hepar dan adanya massa. Pada kasus
iniultrasonografi abdomen didapatkan hasil ukuran hepar normal, struktur echoparencyma
homogen, systema vascular dan systema billiare tak melebar.
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Istilah BPH merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan
sel-sel epitel kelenjar prostat yang biasanya timbul di periuretral dan zona transisi dari
kelenjar yang kemudian menekan kelenjar normal yang tersisa. Pembesaran ini akan
menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan
berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih. Pada kasus ini gejala yang muncul dapat
berupa gejala iritasi dan gejala obstruksi.
Pemeriksaan penunjang penting untuk menentukan diagnosis setelah melakukan dan
pemeriksaann fisik. Ultrasonografi adalah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan baik
dengan metoda trans abdominal ultrasonografi (TAUS) maupun metoda trans uretral ultra
sonografi (TRUS).pemeriksaan ini dapat membantu dalam hal mengetahui ukuran prostat,
kelainan pada buli, menghitung residu urin pasca miksi dan mengetahui kerusakan ginjal
akibat obstruksi prostat. Pada kasus ini ditemukan gambaran prostat membesar dengan
permukaan rata disertai kalsifikasi, uk 4,37x 3,87 x 5,29.
26
BAB IV
KESIMPULAN
27
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Desen, Wan. “Onkologi Klinik: Edisi 2”. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2008. Hal 408-23.
Media Medika Muda .“Hubungan Kadar Alfa Fetoprotein Serum DanGambaran Usg Pada
KarsinomaHepatoseluler ”diunduhdari:http://www.m3undip.org/ed2/artikel_09_full_te
xt_01.html last up date : 24 Dec 2018.
Sabiston J, Devid C. Hipertropi prostat benigna. Dalam: Sars MG, Cameron LJ, editor. Buku
Ajar Bedah, Edisi 18. Penerbit EGC: Jakarta; 2007
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati.
“Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid I, Edisi IV ”. Jakarta:Pusat Penererbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2007. Hal: 455-59
28