PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang mempunyai dua sumber hukum yaitu al-
Qur’an dan Hadits, hadits merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an. Akan tetapi
untuk memahami kandungan suatu hadits tidak cukup hanya dengan mengetahui
haditsnya saja, lebih dari itu perlu adanya beberapa metode yang harus digunakan
diantaranya dengan menggunakan tema-tema tertentu yang disebut dengan istilah
Hadits Tematis.
Banyak sekali tema-tema hadits yang ada pada sa’at ini, diantaranya ialah
mengenai “Siyasah Imarah”. Yaitu tentang kepemerintahan, karena dewasa ini
sudah banyak pemerintahan yang sudah jauh dari konsep rasulullah seperti banyak
sekali orang – orang yang sangat berambisi untuk menjadi seorang pemimpin hanya
karena jabatan dan popularitasnya, tidak mengetahui tugas dan kewajiban sebagai
seorang pimpinan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan sedikit dibahas mengenai “Ambisi
seorang Pemimpin” dan bagaimana sebaiknya menjadi calon pemimpin dan
bagaimana sebaiknya setelah menjadi pemimpin dalam mengemban amanat,
sehingga nantinya akan terwujud masyarakat yang aman tenteram dan sejahtera.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini ialah:
1
4. Bagaimana kandungan hadits tentang ambisi seorang pemimpin?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalammakalah ini ialah :
2
PEMBAHASAN
ْل
ِ َض ْ
الف ُ
بنْ د َُّ
َممحُ َِان ْم ُّع
بو الن َُ
َا أ َد
ثن ََّ
ح
َا َد
ثن ُ ح
ََّ َسَن ْ َا
الح ثنَد
ََّ
ٍ حِمَاز ُ حبن ْ ُِيرَرَا ج َد
ثن ََّ
ح
ََا
ل ة قََُر ُ سَمبنْ َِنْمَّح
د الر ُْ َبع
َْ
د َب
يا ع َ َ لمَََّس
ِ و ْهليََ َّ لى
اَّللُ ع ََّ
ِيُّ صَّب
ل الن ََا ق
َّإ َ َ ة ََل
ِْ
ن نكَ إ َِة ف ََمارَِْ ل
اْل ْتسْأ ََ
ُر َ سَمبنْ َِنْمَّح
الر
ِْ
ن َإ
ها و ََِْلي
َ إ ُْك
ِلت ٍ و َ
مسْأَلة َ ْ َن
ها ع ََ
ِيتُوت أ
َا َإ
ِذ ها و َْليََ
َ ع ْتِن ُ
ٍ أع َ
مسْأَلة َ ِ َي
ْر ْ غِنها م ََ
ِيتأوت ُ
هاَْ
ِنًا م ْرَيها خ ََ َي
ْر َ غ يت َ
َْأ َرِينٍ ف يمَ لى َََ ع ْت
لف ََح
1ْرَيَ خهوُ ِي َّ َِأت
الذ ْ ِكَ وِينيمَ ْ َنْ ع َف
ِر َكف
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man Muhammad bin Fadhl telah
menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim telah menceritakan kepada kami Al
Hasan telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Samurah mengatakan,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Abdurrahman bin Samurah,
Janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika engkau diberi (jabatan) karena
meminta, kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu diberi dengan tidak meminta,
kamu akan ditolong, dan jika kamu melakukan sumpah, kemudian kamu melihat
suatu yang lebih baik, bayarlah kaffarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik”
(H.R. Bukhari)
1
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari. (Baitul Ifkar ad-Daulah Lin
Nusyur). Hlm. 1266.
3
A. Skema Sanad رسول هللا
قَا َل
َ ُالرحْ َم ِن ْبن
َ س ُم َرة َّ َُع ْبد
َحدَّثَنَا
َ ْال َح
س ُن
َحدَّثَنَا
َحدَّثَنَا
Dari penelitian terhadap kitab al-Bukhari, para ulama akhirnya sampai pada
suatu kesimpulan bahwa dalam kitab shahihnyaAl-bukhari menerapkan derajat
tertinggi dalam menilai hadts shahih, kecuali dalam sebagian hadits yang tidak
terdapat dalam materi pokok kitab tersebut.
4
dari para perawi yang mempunyai derajat yang tinggi dalam hal keadilan dan
kedhabitan tersebut.2
Jadi, secara umum kualitas hadits diatas ialah Hadits shahih, karena hadits
tersebut adalah hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, yang mana kitab
Shahih Bukhari merupakan kumpulan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari.
C. Syarah Hadits
Mengenai syarah dari hadits pembahasan ambisi pemimpin di atas, Ibnu
Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari mengatakan : bahwasannya penjelasan
mengenai ambisi seorang pemimpin akan dijelaskan dalam kitabnya pada bab
hukum.3Yang manaredaksinyaadalahsebagaiberikut :
2
Muhammad Abu Syuhbah, Di bawah Naungan al-Kutub as-Shittah, (Yogyakarta : Gamma Media Offset,
2007) hal. 57-58.
3
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari juz 32, terj. Amiruddin, (Jakarta : Pustaka
Azzam, 2009). Hlm. 139.
5
Abdullah bin Humrantelahmenceritakankepada kami Abdul Hamid bin Ja'far dari
Sa'id Al Maqburidari Umar bin Al Hakamdari Abu Hurairahsepertidiatas.”4
َة َِ
مار ْ لى
اْل ََ َُو
ن ع ِص َح
ْر ُم
ْ سَت َِّ
نك إ (Sungguh kalian
akanberambisimendapatkanjabatan). Maksudnya,
berambisimasukdidalamjabatantertinggiyaituKhilafahdanjugajabatan yang
lebihrendahyaitukepemimpinanterhadapsebagianwilayah.
َ
َام
ِي ْ
الق َ
ْم َ
يو ًم
ة َن
َدا َ ُُو
ن َكَسَت
(وAkan
menjadipenyesalanpadaHariKiamat). Maksudnya, bagisiapatidakmelakukan yang
semestinyadalampemerintahannya.DalamriwayatSyahabahditambahkan, ( وحسرةDan
kerugian).
6
dengan tangan beliau seraya bersabda: "Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk
memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah.
Padaharikiamatiaadalahkehinaandanpenyesalan, kecualibagisiapa yang
mengambilnyadenganhaqdanmelaksanakantugasdenganbenar."
An-Nawawiberkata :iniadalahdasar yang
muliatentangmenjauhijabatanterutamabagimereka yang memilikikelemahan.
ِ َت ْالف
ُاط َمة ِ (فَنِ ْع َم ْال ُم ْرSebaik-baik yang menyusuidanseburuk-buruk
َ ْضعَةُ َو ِبئ
ْ س
yang menyapih). Ad-Dawudiberkata, sebaik-baik yang menyusuimaksudnyadunia,
danseburuk-buruk yang
menyapihadalahsesudahkematian.Karenadiaakandiperhitungkanatasperbuatannya.
Keadaannyasepertianak yang disapihsebelummasanya,
sehinggahalinimenjadikebinasaanbaginya.
Ulamalainnyaberkata, sebaik-baik yang
menyusuikarenaiadapatmendatangkankehormatan, harta,
kekuasaan,sertamendatangkankelezatanmateri yang semusaatmendapatkannya.
Seburuk-buruk yang
menyapihsaatberpisahdarinyaolehkematianataulainnyakarenatanggunganberat yang
ditimbulkan.5
Dalamhaditsinidijelaskan, bahwaapa-apa yang didapatkanpemegangjabatan,
berupakenikmatandankesenangan, lebihsedikit disbanding apa yang
didapatkannyadaripadakeburukandankesusahan, baikdisingkirkan di
duniasehinggamenjadi orang yang terpinggirkan, ataudiberisanksi di akhirat,
daninilebihberatlagi.
Qadhi Al-Baidhawiberkata, tidakpatutbagi orang yang
berakalbergembiradengankelezatan yang akandisusulolehkerugian.
Saya (IbnuHajar) katakan, pengungkapandengan kata “Ambisi”
menadiisyaratbahwa orang yang memegangjabatansaatdikhawatirkanakantersia-
siakan, posisinyasamaseperti orang diberitanpameminta, karenaumumnya orang
5
Ibid.,hlm. 433-435.
7
sepertiinitidakberambisi. Namunambisiini bias sajaditolelirolehseseorang yang
harusmemangkujabatan, karenasaatitumenjadikewajibanbaginyadirinya.
Memangkujabatanperadilanbagi imam (pemimpin)
adalahfardhuáin.Tetapibagiseorangqadhi, iahanyalahfardhukifayahbiladidapatkan
orang lain yang jugalayakmemangkujabatantersebut.6
D. Kandungan Hadits
Hadits diatas mempunyai banyak kandungan hukum khususnya tentang
ambisi seorang pemimpin, diantaranya :
َس ُم َرة
َ الر ْح َم ِن ب ِْن َ ع ْن
َّ ع ْب ِد َ ع ْن ْال َح
َ س ِن َ ازم ُ َحدَّثَنَا َح َّجا ُج ب ُْن ِم ْن َهال َحدَّثَنَا َج ِر
ِ ير ب ُْن َح
ارة َ فَإِنَّ َك ِ ْ س ُم َرة َ ََل تَسْأ َ ْل
َ اْل َم َّ َسلَّ َم يَا َع ْبد
َ َالر ْح َم ِن بْن َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ ي ُّ ِقَالَقَا َل ِلي النَّب
علَ ْي َها َوإِذَا
َ ت َ غي ِْر َم ْسأَلَة أ ُ ِع ْن
َ ع ْن ِ ت إِلَ ْي َها َوإِ ْن أُع
َ ْطيتَ َها َ ع ْن َمسْأَلَة ُو ِك ْل ِ إِ ْن أُع
َ ْطيتَ َها
ِ ْغي َْرهَا َخي ًْرا ِم ْن َها فَ َك ِف ْر َع ْن َي ِمينِ َك َوأ
ت الَّذِي ُه َو َخي ٌْر َ علَى يَ ِمين فَ َرأَي
َ ْت َ َحلَ ْف
َ ت
“Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal telah menceritakan kepada
kami Jarir bin Hazim dari Al Hasan dari Abdurrahman bin Samurah mengatakan,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku: "Wahai Abdurrahman bin
6
Ibid.,hlm. 436-437.
7
Imam al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthaaniyah wal-Wilaayatud-diniyah, edisi terjemah (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996). Hlm. 19.
8
Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan
tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta,
maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada
suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih
baik."8
Maknahaditstersebutadalah,
barangsiapamemintajabatanlaludiberikanmakadiatidakakanditolongkarenaambisinyai
tu. Dari sinidapatdisimpulkanbahwamemintasesuatu yang
berkenaandenganjabatanadalahmakruh(tidakdisukai).Barangsiapaberambisimendapat
kanjabatanmakadiatidakakandiberipertolongan, namunsecaralahir,
halinibertentangandenganriwayat Abu Dauddari Abu Hurairah yang
diriwayatkansecaramarfu’,haditsnyayaitu :
8
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari juz 35, terj. Amiruddin, (Jakarta : Pustaka
Azzam, 2009).hlm. 427.
9
Kemudian untuk mengkompromikan antara kedua riwayat tersebut
dikatakan, bahwa keberadaannya tidak diberi pertolongan sama sekali tidak
berkonsekuensi bahwa dirinya tidak dapat berbuat adil bila sempat memangku
jabatan. Atau kata “meminta” disinidipahamidenganartibermaksud,
sedangkanpadahadissebelumnyaberartiambisi.Olehkarenaitu, yang
menjadipasangannyaadalahpertolongan, karenabarangsiapa yang
tidakmendapatkanpertolongandari Allah terhadappekerjannya,
makadiatidakakanmampumenunaikanpekerjaantersebut.
sehinggatidakpatutmemenuhipermintannyakarenadiketahuibahwasuatujabatantidakak
anluputdarikesulitan. Barangsiapatidakmendapatkanpertolongandari Allah,
makadiamendapatkesulitandalampekerjaannyadanmerugi di duniaakhirat. Orang
yang berakalsehattentutidakakanmaumemintanyasamasekali.
Bahkanbiladiamemilikikemampuanlaludiberijabatantanpamemintamakadiadijanjikan
akanmendapatkanpertolongan.9
Mengenai pemilihan kepala negara oleh kalangan Ahlu Halli wal Aqdi telah
diperdebatkan oleh ulama dari berbagai madzhab tentang berapa jumlah dewan
pemilih yang dapat mengesahkan pengangkatan kepala nagara.
9
Ibid.,hlm. 429.
10
1. Bai’at Abu Bakar r.a. dilakukan oleh lima orang yang sepakat untuk
mengangkatnya dan kemudian diikuti oleh orang-orang yang lain. Mereka adalah
Umar Ibn Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah, Asid bin Hudhair, Basyar bin Sa’ad
dan Salim Maula Abu Huzaifah r.a.
2. Umar r.a. menjadikan Syura’ yang terdiri atas enam orang sahabat, agar satu orang
dari mereka diangkat sebagai pemimpin negara dengan persettujuan lima orang
sisanya. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha dan Mutakalimmin dari penduduk
Bashrah.10
Akan tetapi, pada haqiqatnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi
kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakanya. Kepala negara ditentukkan
berdasarkan pemilihan umat islam sendiri. Merekalah yang paling tahu tentang
keadaan mereka dan hal-hal yang akan mereka pilih. Namun demikian Abd al-jabbar
mensyaratkan kepala negara yang akan dipilih harus:
2. Mempunnyai kekuatan akal dan nalar yang sehat dan lebih dari lainya. Sebagai
pemikir rasional, tentu Abd al-Jabbar (dan mu’tazilah umumnya) mengutamakan
jabatan kepala negara dipegang oleh orang-orang yang cerdas akalnya. Sehingga
ia bisa menjalankan kekuasaanya dengan baik sesuai dengan syariat.
3. Bersifat Wara’ syarat ini penting agar kepala negara tidak bertindak menyalahi
wewenang dan kekuasaan. Disamping itu, sikap wara’ ini bisa menjadi rem
baginya agar tidak meperturutkn hawa nafsu dan mabuk dalam kekuasaanya.
Dengan demikian, segala kebijakan dan keputusaa politiknya diarahkanya semata-
10
Imam al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthaaniyah wal-Wilaayatud-diniyah, edisi terjemah (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996) hal. 20.
11
mata hanya untuk kepentingan umat islam. Bukan untuk pribadi atau golongan
saja.11
Karena pada haqiqatnya kekuasaan adalah suatu karunia atau nikmat allah.
Artinya ia merupakan rahmat dan kebahagiaan baik bagi yang menerima kekuasaan
itu maupun bagi rakyatnya. Ini dapat terjadi apabila kekuasaan itu diimplementasikan
menurut petunjuk al-Qur’an dan tradisi nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, kalau
kekuasaan itu diterapkan dengan cara yang menyimpang atau bertantangan dengan
prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an dan Tradisi Nabi, maka akan hilangkah makna
haqiqi kekuasaan yaitu merupakan karunia atau nikmat allah. Dalam keadaan seperti
11
Dr. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi doktrin Politik Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2014) hlm.144-145.
12
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits (Jakarta: Tintamas, 1982), hal. 6-10.
13
Prof. Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, SH, Negara Hukum (Jakarta: Kencana, 2014) hal. 107.
12
ini, kekuasaan bukan lagi merupakan karunia atau nikmat Allah, melainkan
kekuasaan yang semacam ini akan menjadi bencana dan laknat Allah.14
Oleh karena itu setiap calon pemimpin harus memahami dan siap untuk
menjalankan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya tidak cukup hanya
mempunyai ambisi, misi dan visi. Lebih dari ituharus bertanggung jawab tehadap
amanat yang diamanatkan oleh rakyat untuk mensejahterakanya, sehingga harus siap
menepati setiap janji-janjinnya kepada rakyatnya.
14
M. Daud Ali, M. Tahir Azhary dan Habibah Daud, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hlm. 116.
15
Prof. H. A. Djazuli, MA. Fiqh Siyasah, (Bandung: Prenada Media, 2003) hlm. 99.
13
BAB III
KESIMPULAN
Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa menunjuk seorang pemimpin dalam
suatu kelompok manusia memang diharuskan. Akan tetapi harus diketahui bahwa
memilih seorang pemimpin tidaklah mudah. Karena seorang pemimpin yang berambisi
dalam memperoleh kepemimpinannya itu tidak disukai sebagaimana pesan-pesan Nabi
Muhammad dari Haditsnya.
Pemimpin yang berambisi tidaklah disukai dan menjadi sebuah larangan keras.
Karena seorang pemimpin yang berambisi dalam memperoleh jabatannya akan
menyesal di akhirat kelak. Yang mana di dalam hadits Nabi bahwa seseorang yang
berambisi dalam memperoleh jabatan di ibaratkan sebagai sebaik-baik yang menyusui
dan seburuk-buruk penyapih. Dengan maksud bahwa ia hanya akan mendapatkan
sedikit kebahagiaan berupa harta, kehormatan dan lainnya hanya di dunia, sedangkan di
akhirat nanti ia akan mendapat balasan tentang kepemimpinannya yang diraih dengan
ambisi. Karena seseorang yang berambisi terhadap jabatan disinyalir kelak ia tidak
dapat mengemban amanah sebagaimana seorang pemimpin yang semestinya.
14
Karena itu harusnya malu jika meminta sebuah jabatan hingga berambisi untuk
memilikinya. Yang mana padahal berambisi dalam mendapatkan jabatan itu adalah
sebuah bumerang yang akan menghantarkan kepada siksa Allah sebagaimana yang
sudah dijelaskan di atas.
15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari. Baitul Ifkar
ad-Daulah Lin Nusyur.
Al AsqalaniIbnu Hajar, 2009. Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari juz 32, terj.
Amiruddin, Jakarta : Pustaka Azzam.
Ali M. Daud, Azhary M. Tahir dan Daud Habibah, 1988.Islam untuk Disiplin Ilmu
Hukum Sosial dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang.
16