Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit
dimana semua pengalaman pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi
pengaruh yang besar bagi masyarakat tentang bagaimana gambaran Rumah Sakit itu
sebenarnya. Fungsinya adalah untuk menerima, menstabilkan dan mengatur pasien yang
menunjukkan gejala yang bervariasi dan gawat serta juga kondisi-kondisi yang sifatnya tidak
gawat. IGD adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan pelayanan
darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan khusus
mata, sesuai dengan standar.1
Pelayanan yaitu pelayanan keramahan petugas rumah sakit, kecepatan dalam
pelayanan. Rumah sakit dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih
memperhatikan kebutuhan pasien maupun orang lain yang berkunjung di rumah sakit.
Kepuasan muncul dari kesan pertama pasien masuk terhadap pelayanan keperawatan yang
diberikan. Misalnya : pelayanan yang cepat, tanggap dan keramahan dalam memberikan
pelayanan keperawatan.
Standar operasional prosedur dan alur pelayanan :
• Pelayanan triase
• Ruang observasi
• Pelayanan rekam medik 24 jam
• Standar fasilitas medik
• Standar tenaga kerja yang kompeten
Pasal 23 Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 : Gawat Darurat harus ada
selama 24 jam. Semua fasilitas yang tersedia di IGD sesuai dengan fungsinya untuk
memenuhi kebutuhan akan pelayanan emergency.
II. INSTALASI GAWAT DARURAT
A. Jenis Pelayanan Emergency Yang Paling Sering Dilakukan
Penanganan pasien semua trauma mata
Penanganan pasien dengan benda asing di kornea mata
Penanganan pasien endoftalmitis akut
Penanganan pasien blenorrhore
Penanganan pasien Glaucoma akut/skunder
Penanganan pasien penurunan pengelihatan ( ablasio retina,CRAO, Vitreus
bleeding)
Penanganan pasien selulitis orbita
Penanganan pasien semua kelainan kornea mata ( erosi,ulkus/abses,descematosis)
Penanganan pasien trombosis sinus kavernosis
Penanganan pasien tumor orbita dengan perdarahan
Penanganan pasien uveitis/skleritis/iritasi\
2. Triase
Triase berasal dari bahasa Perancis, trier , yang berarti “menseleksi”, yaitu teknik
untuk menentukan prioritas penatalaksanaan pasien atau korban, saat sumber daya
terbatas. Perhatian dititik beratkan pada pasien atau korban dengan kondisi medis yang
paling urgent dan paling besar kemungkinannya untuk diselamatkan.
TUJUAN: Pada saat IGD penuh dan sumber daya terbatas maka dengan sumber daya
yang minimal dapat menyelamatkan korban sebanyak mungkin.
KEBIJAKAN:
1. Memilah korban berdasarkan:
Beratnya cidera
Besarnya kemungkinan untuk hidup
Fasilitas yang ada / kemungkinan keberhasilan tindakan
2. Triase tidak disertai tindakan
3. Triase dilakukan tidak lebih dari 60 detik/pasien dan setiap pertolongan harus
dilakukan sesegera mungkin
Salah satu metode yang paling sederhana dan umum digunakan adalah metode S.T.A.R.T
atau Simple Triage and Rapid Treatment. Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori: 7
1. Segera (Immediate) -MERAH
Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan dapat hidup bila
ditolong segera. Misalnya : tension pneumotoraks, cardiac arrest, distress pernafasan
dan perdarahan hebat.
2. Tunda (Delayed)- KUNING
Pasien perlu tindakan definitif tetapi tidak ada ancaman jiwa segera. Pasien dapat
menunggu giliran pengobatan tanpa bahaya. Misalnya : fraktur tertutup pada
ekstremitas (perdarahan terkontrol), trauma tulang belakang, trauma kepala tanpa
gangguan kesadaran.
3. Minor -HIJAU
Pasien mendapat cedera minimal dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau
Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik
Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang
disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.Bila jalan nafas tersumbat karena
adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan
sapuan jari.Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal
lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas
(apnea) Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara
melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan
pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.
Chest Thrust
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan
jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis
imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita tidak sadar,
tidurkan terlentang,lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda
asing, beri nafas buatan.
Back Blow
Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak
Efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada
punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang
punggung/vertebrae).
d. Pengelolaan dengan alat
Cara ini dilakukan bila pengelolaan jalan nafas tanpa alat tidak berhasil dengan
sempurna dan fasilitas tersedia.
Peralatan dapat berupa :
a. Pemasangan Pipa (tube)
Dipasang jalan nafas buatan dengan pipa, bisa berupa pipa orofaring (mayo),
pipa nasofaring atau pipa endotrakea tergantung kondisi korban.
Penggunaan pipa orofaring dapat digunakan untuk mempertahankan jalan
nafas tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang
yang dapat menutup jalan nafas terutama bagi penderita tidak sadar.
Pemasangan pipa endotrakea akan menjamin jalan nafas tetap terbuka,
menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernafasan.
b. Pengisapan benda cair (suctioning)
Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan
dilakukandengan alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin).
Pada penderita trauma basis cranii maka digunakan suction yang keras untuk
mencegah suction masuk ke dasar tengkorak.
c. Membersihkan benda asing padat dalam jalan nafas
Bila pasien tidak sadar terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring
maka tidak mungkin dilakukan sapuan jari, maka digunakan alat bantu berupa
laringoskop, alat pengisap, alat penjepit.
d. Membuka jalan nafas
Dapat dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi
Cara ini dipilih bila pada kasus yang mana pemasangan pipa endotrakeal tidak
mungkin dilakukan, dipilih tindakan krikotirotomi dengan jarum. Untuk
petugas medis yang terlatih, dapat melakukan krikotirotomi dengan pisau atau
trakeostomi.
e. Proteksi servikal
Dalam mengelola jalan nafas, jangan sampai melupakan kontrol servikal
terutama pada multiple trauma atau tersangka cedera tulang leher.
Dipasang dari tempat kejadian. Usahakan leher jangan banyak bergerak.
Posisi kepala harus “in line” (segaris dengan sumbu vertikal tubuh).
2. Breathing (Pernafasan)
Memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara memberikan pernafasan bantuan untuk
menjamin kebutuhan oksigen dan pengeluaran gas karbon dioksida.
Tujuan : menjamin pertukaran udara di paru-paru secara normal.9
Tindakan :
Tanpa alat : memberikan pernafasan buatan dari mulut ke mulut atau dari
mulut ke hidung sebanyak 2 kali tiupan awal dan diselingi ekshalasi.
Dengan alat : memberikan pernafasan buatan dengan alat “AMBU bag”
yang dapat pula ditambahkan oksigen. Dapat juga diberikan dengan
menggunakan ventilator/respirator.
3. Circulation (Perdarahan)
Tindakan yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi tubuh yang tadinya
terhenti atau terganggu.
Tujuan : agar sirkulasi darah kembali berfungsi normal.
Gangguan sirkulasi ditandai dengan :9
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak berkurang yang akan menyebabkan penurunan
kesadaran, tetapi penderita yang sadar belum tentu normovolemik.
b. Warna kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemi. Pasien tampak pucat, ekstremitas
dingin, berkeringat dingin dan capillary refill time lebih dari 2 detik.
c. Nadi
Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda dari hipovolemi.
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi.
3. Evaluasi dan Re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
5. Exposure
Pasien harus benar-benar buka pakaian, biasanya dengan memotong pakaian. Kita
harus menutupi pasien dengan selimut hangat untuk mencegah hipotermia. Cairan infus
harus dihangatkan dan lingkungan yang hangat dipertahankan.
C. Secondary Survey
Ketika survei primer selesai dan tanda-tanda vital normal, survei sekunder dapat
dimulai. Survey sekunder adalah mencari perubahan yang dapat berkembang menjadi gawat
dan mengancam jiwa harus segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head
to toe). Survei sekunder seperti pemeriksaan fisik, X-ray dan termasuk penilaian ulang dari
semua tanda tanda vital. Setiap daerah tubuh harus benar-benar diperiksa.
Secondary survey meliputi anamnesis (riwayat alergi, obat yang diminum sebelumnya,
penyakit sebelumnya dan lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan) dan
pemeriksaan fisik lengkap.
Tujuan : Untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat
ditangani lebih lanjut.
Tambahan terhadap secondary survey:
V. KESIMPULAN
IGD adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan pelayanan
daruratkepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan, sesuai
dengan standar. Standar operasional prosedur dan alur pelayanan : Pelayanan triase, Ruang
resusitasi, Ruang observasi, Pelayanan rekam medik 24 jam, Standar fasilitas medic, Standar
tenaga kerja yang kompeten.
Dalam melakukan penatalaksanaan penderita gawat darurat, kita menggunakan
prinsip “Time saving is life saving” yang berarti diperlukan penanganan secara cepat dan
tepat untuk menyelamatkan jiwa pasien serta mencegah kecacatan.
Penderita gawat darurat harus dievaluasi dengan cepat dan tepat agar dapat dilakukan
prioritas terapi. Baik primary survey maupun secondary survey harus dilakukan secara
terusmenerus sehingga bisa memantau perubahan kondisi pasien agar dapat memberikan
terapi yang sesuai. Ketika penderita datang ke IGD, penderita akan memasuki area triase di
mana dokter akan dengan cepat dan tepat menilai kondisinya sehingga dapat menentukan
tindakan yang harus diambil.
d. Pengelolaan dengan alat
Cara ini dilakukan bila pengelolaan jalan nafas tanpa alat tidak berhasil dengan
sempurna dan fasilitas tersedia.
Peralatan dapat berupa :
a. Pemasangan Pipa (tube)
Dipasang jalan nafas buatan dengan pipa, bisa berupa pipa orofaring (mayo),
pipa nasofaring atau pipa endotrakea tergantung kondisi korban.
Penggunaan pipa orofaring dapat digunakan untuk mempertahankan jalan
nafas tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang
yang dapat menutup jalan nafas terutama bagi penderita tidak sadar.
Pemasangan pipa endotrakea akan menjamin jalan nafas tetap terbuka,
menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernafasan.
b. Pengisapan benda cair (suctioning)
Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan
dilakukandengan alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin).
Pada penderita trauma basis cranii maka digunakan suction yang keras untuk
mencegah suction masuk ke dasar tengkorak.
c. Membersihkan benda asing padat dalam jalan nafas
Bila pasien tidak sadar terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring
maka tidak mungkin dilakukan sapuan jari, maka digunakan alat bantu berupa
laringoskop, alat pengisap, alat penjepit.
d. Membuka jalan nafas
Dapat dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi
Cara ini dipilih bila pada kasus yang mana pemasangan pipa endotrakeal tidak
mungkin dilakukan, dipilih tindakan krikotirotomi dengan jarum. Untuk
petugas medis yang terlatih, dapat melakukan krikotirotomi dengan pisau atau
trakeostomi.
e. Proteksi servikal
Dalam mengelola jalan nafas, jangan sampai melupakan kontrol servikal
terutama pada multiple trauma atau tersangka cedera tulang leher.
Dipasang dari tempat kejadian. Usahakan leher jangan banyak bergerak.
Posisi kepala harus “in line” (segaris dengan sumbu vertikal tubuh).