Anda di halaman 1dari 25

MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 259

BAG IA N 3. 3

PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF


DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN
TANTANGAN KE DEPAN
Sofia Arie Damayanty

Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara yang menggantungkan penerimaan
negaranya dari sumber daya alam, minyak dan gas bumi serta mineral lainnya.
Karena sifatnya yang tidak terbarukan dan rentan terhadap fluktuasi harga,
kebijakan atas industri ekstraktif perlu mendapat perhatian khusus sehingga
dapat memberikan manfaat yang optimal dan sustainable bagi perekonomian
dan kesejahteraan masyarakat. Melalui analisis deskriptif berdasarkan teori
serta praktik yang berlaku umum, tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi
pengelolaan industri ekstraktif di Indonesia, apa saja hambatan yang dihadapi
saat ini, serta tantangan di masa depan. Tulisan ini merekomendasikan
beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah untuk menjaga
kesinambungan fiskal dan kemanfaatan dari eksploitasi sumber daya alam
yang tidak terbarukan, yaitu (i) menjaga konsistensi pelaksanaan kebijakan,
(ii) membentuk sovereign wealth fund, serta (iii) mendorong perkembangan
diversifikasi ekonomi.
Kata Kunci :
industri ekstraktif, fiscal regime, resource rich countries,
diversifikasi ekonomi

I. PENDAHULUAN
Kemerosotan harga minyak dunia sejak pertengahan tahun 2014
hingga tulisan ini dibuat pada awal 2016 telah mempengaruhi
perekonomian dunia khususnya negara-negara penghasil minyak dan
gas (migas). Arab Saudi sebagai negara penghasil minyak terbesar di
dunia mengalami defisit anggaran hingga USD 98 miliar pada tahun
2015 karena merosotnya harga minyak, ditambah dengan investasi
yang masif di sektor infrastruktur. Selain defisit anggaran, pemutusan
hubungan kerja secara besar-besaran khususnya di sektor migas juga
dialami oleh negara-negara penghasil migas di dunia. Selain upaya-
upaya perbaikan kondisi perekonomian seperti pengurangan subsidi
260 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

dan penghematan belanja, sudah waktunya momentum ini digunakan


oleh negara-negara yang perekonomiannya tergantung pada sumber
daya alam khususnya migas dan mineral lainnya, untuk memikirkan
kembali strategi perekonomian mereka agar tidak rentan dan tergantung
pada fluktuasi harga komoditas seperti saat ini.
Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF), selama
periode tahun 2000-2007 rata-rata pendapatan yang dihasilkan dari
industri ekstraktif (meliputi pertambangan mineral, minyak dan gas
bumi) mencapai sekitar 40 persen dari total pendapatan fiskal yang
dihasilkan oleh negara-negara penghasil sumber daya tersebut (Revenue
Watch Institute, 2010). Tidak diragukan lagi bahwa pengelolaan sumber
daya alam dalam konteks pengamanan penerimaan negara merupakan
hal yang penting untuk dicermati.
Jumlah negara yang perekonomiannya ditopang oleh komoditas
sumber daya alam (SDA) mengalami peningkatan lebih dari 40% dari
hanya sebanyak 58 negara pada tahun 1995, menjadi 81 negara pada
tahun 2011, yang sebagian besar terdiri dari low dan middle income
countries. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2, pada tahun 2011
negara-negara ini menyumbang sekitar 26% GDP dunia, dengan jumlah
penduduk mencakup 49% penduduk dunia (McKinsey Global Institute,
2013). Karena perannya yang signifikan, bagaimana negara-negara kaya
SDA ini mengelola perekomiannya menjadi perhatian dunia. McKinsey
memperkirakan 540 juta penduduk di resource-driven countries dapat
dientaskan dari kemiskinan melalui pembangunan dan pengelolaan
sumber daya yang efektif.

Sumber: McKinsey Global Institute, 2013


Gambar 1. Perkembangan dan Komposisi Jumlah Resource-Driven
Countries
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 261

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cukup


banyak sumber daya alam baik yang terbarukan (air, kehutanan,
perikanan, panas bumi) dan juga yang tidak terbarukan (minyak,
gas dan mineral). Oleh karenanya diperlukan pengelolaan yang
komprehensif dan bijaksana agar manfaatnya dapat dinikmati secara
optimal bagi kesejahteraan masyarakat, kini dan nanti. Indonesia
perlu mempertimbangkan kembali apakah kebijakan fiskal terkait
pengelolaan industri ektraktif yang berlaku saat ini sudah memadai
sehingga mampu memberikan hasil yang optimal bagi kepentingan
negara dan juga investor. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan
gambaran bagaimana rezim fiskal pengelolaan sumber daya alam
minyak, gas, dan mineral di Indonesia dan praktik negara-negara lain
di dunia, untuk kemudian memberikan rekomendasi bagi pengelolaan
industri ekstraktif yang lebih baik.

II. METODOLOGI
Tulisan ini disusun berdasarkan analisis deskriptif kualitatif. Berbagai
teori tentang kebijakan fiskal dan makro ekonomi, data penelitian
terdahulu serta perkembangan praktik pengelolaan SDA yang dilakukan
di berbagai negara dianalisis dan dielaborasi untuk dijadikan benchmark
dalam mengevaluasi praktik yang telah dilakukan di Indonesia. Melalui
pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif, tulisan ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran bagaimana praktik pengelolaan industri
ekstraktif di Indonesia dibandingkan dengan teori yang ada serta
praktik di negara lain terkait perannya, serta merekomendasikan hal-
hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah agar sumber daya alam
tidak terbarukan dapat mendukung pembangunan secara berkelanjutan
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

III. LANDASAN TEORI


Negara-negara yang kaya akan SDA (resource rich countries) atau biasa
disebut juga dengan resource-driven country mengalami tantangan
tersendiri dalam mentranformasikan kekayaan alam yang mereka
miliki menjadi aset yang dapat mendukung pembangunan secara
berkelanjutan, sekaligus juga membuat mekanisme yang mampu
mengantisipasi volatilitas pendapatan negara yang berasal dari SDA.
Oleh karenanya, bahasan mengenai kebijakan fiskal yang memadai
262 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

untuk industri ekstraktif menjadi agenda penting dari berbagai negara


serta lembaga internasional. Lalu mengapa perlu dibuat aturan khusus
terkait rezim fiskal untuk industri ekstraktif? Beberapa alasannya adalah
sebagai berikut (IMF, 2012):
 Industri ini memiliki potensi keuntungan yang sangat besar.
Untuk itu pemerintah perlu memastikan kebijakan yang ada sudah
mampu mengakomodir kepentingan negara.
 Tingginya uncertainty pada industri ini, bukan hanya terkait
volatilitas harga komoditas, tetapi juga terkait faktor kondisi
geologis, harga barang input, serta risiko politik.
 Adanya asymmetric information, dimana biasanya pihak investor
yang melakukan kegiatan eksplorasi dan pembangunan memiliki
kualitas informasi yang lebih baik dibandingkan dengan
pemerintah terkait aspek teknis dan komersial dari suatu proyek
eksploitasi SDA.
 Tingginya sunk cost dan lamanya periode produksi
 Umumnya melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional,
sehingga menimbulkan konsekuensi meningkatnya kompleksitas
aspek perpajakan dan juga isu sensitif terkait pembagian
keuntungan dari eksploitasi SDA tersebut.
 Pada banyak kasus juga melibatkan badan usaha milik negara
(BUMN), yang berpotensi menurunkan tingkat asymmetric
information, namun di sisi lain memiliki potensi inefisiensi baik di
sisi operasional maupun pemenuhan kewajiban perpajakan.
 Produsen besar umumnya mendominasi kekuatan pasar dunia
sehingga mampu mengontrol cadangan dunia. Misalnya, pada
sektor pertambangan sebagian besar perdagangan internasional
bijih besi didominasi oleh hanya tiga perusahaan; Arab Saudi
dianggap memiliki kekuatan dalam menentukan harga minyak
dunia.
 Sifatnya yang tidak terbarukan (exhaustibility)
Walaupun kepemilikan SDA merupakan anugerah bagi suatu negara,
pada kenyataannya data menunjukkan bahwa sebagian besar negara
yang porsi ekspor komoditas primernya mendominasi Gross National
Product memiliki tren pertumbuhan yang buruk dan ketimpangan
yang tinggi, terutama pada kondisi dimana kualitas institusi, penegakan
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 263

hukum, serta tingkat korupsinya buruk. Negara-negara yang kaya SDA


juga sangat rentan terhadap perubahan harga komoditas, terutama jika
sistem keuangannya belum berkembang dengan baik (Ploeg, 2011).
Kondisi ini biasa disebut sebagai resource curse (kutukan sumber daya
alam), dimana justru negara-negara yang dikaruniai kekayaan alam
melimpah ternyata memiliki kecenderungan untuk berada dalam
kondisi perekonomian tidak lebih baik dibandingkan dengan negara-
negara yang tidak memiliki SDA.
Namun demikian, Indonesia, bersama dengan Kanada, Norwegia
dan Oman termasuk dalam resource-driven economies (atau resource
rich countries) dengan pertumbuhan ekonomi yang sustainable setelah
oil boom tahun 1970, sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Hal ini
diyakini karena walaupun negara-negara ini menopang pertumbuhan
ekonominya dari sektor SDA, namun mereka senantiasa meningkatkan
daya saing dan mengadopsi berbagai kebijakan untuk mendorong
produktivitas di sektor ekonomi lainnya. (McKinsey Global Institute,
2013).

Sumber: McKinsey Global Institute, 2013


Gambar 2. Pertumbuhan ekonomi beberapa resource-driven
countries pasca oil boom tahun 1970
264 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

Pada banyak negara, keinginan untuk menikmati bagian yang


memadai dari keuntungan besar yang dihasilkan industri ekstraktif
seringkali tidak mencapai hasil yang diharapkan. Beberapa necessary
condition yang harus dipenuhi untuk mendapatkan hasil yang optimum
atas kerjasama antara pemerintah dan investor pada industri ekstraktif
yaitu (i) harus terdapat pemahaman yang baik tentang karakteristik
industri ekstraktif dan posisi tawar pemerintah, (ii) harus terdapat
kondisi kebijakan fiskal yang koheren antar intansi pemerintah untuk
memastikan pengaturan fiskal yang memadai, (iii) harus dipastikan
adanya ketersediaan tenaga ahli yang mampu memformulasikan
kebijakan fiskal dan memiliki kemampuan negosiasi yang memadai,
dan (iv) kapasitas institusi pemerintah yang dapat mengadministrasikan
kegiatan industri ekstraktif secara akuntabel dan memastikan
pelaksanaan ketentuan perpajakan dan kesepakatan yang tertuang
dalam perjanjian kerjasama dapat dijalankan sebagaimana mestinya
(Land B. , 2009).
Selain harus menetapkan kebijakan di bidang perpajakan terkait
penerimaan negara yang berasal dari industri ekstraktif, resource-driven
economies juga harus memperhatikan kebijakan fiskal terkait kondisi
makro ekonomi dalam mengantisipasi volatilitas harga komoditi.
Secara teori, suatu negara diharapkan mengadopsi kebijakan fiskal yang
bersifat countercyclical dalam menyelamatkan kondisi perekonomian.
Artinya, saat perekonomian berada dalam kondisi ekspansif, maka
kebijakan fiskal kontraktif diharapkan dapat meredamnya. Sebaliknya
apabila perekonomian sedang dalam kondisi resesi/kontraktif, maka
kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif diharapkan dapat mendorong
perekonomian untuk bangkit dari keterpurukan.
Pada kenyataannya, kebijakan yang diambil oleh pemerintahan
berbagai negara tidak selalu selaras dengan teori yang ada. Indonesia
dan beberapa negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Filipina dan
Thailand melakukan kebijakan fiskal yang sifatnya procyclical dalam
merespon kondisi perekonomian, berbeda dengan Singapura yang telah
mengimplementasikan kebijakan countercyclical (Abdurohman, 2016).
Demikian pula studi pada 48 negara pengekspor hasil industri ekstraktif
menunjukkan kecenderungan kebijakan fiskal yang sifatnya procyclical
bias, terutama melalui instrumen belanja pemerintah.
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 265

Namun demikian, kondisi perekomian yang stabil dalam merespon


fluktuasi harga komoditi bukan hanya dihasilkan oleh arah kebijakan
fiskal yang memadai, tetapi juga kualitas institusi dan kondisi politik
negara tersebut (Elva Bova, 2016). Untuk itu, selain penting untuk
memperhatikan kebijakan fiskal yang tepat dalam merespon kondisi
perekonomian, resource rich countries perlu melakukan pembenahan
institusi agar pengelolaan industri ekstraktif dapat dilakukan secara
profesional, transparan dan akuntabel.
Untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas kebijakan fiskal
pada industri ekstraktif, pada tahun 2002 dibentuk Extractive Industries
Transparency Initiative (EITI), suatu organisasi internasional yang
melakukan penilaian terhadap tingkat transparansi pengelolaan sumber
daya mineral dan migas, berdasarkan standar tertentu yang telah
ditetapkan oleh sebuah Dewan yang terdiri dari perwakilan berbagai
Negara, perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif, lembaga
swadaya masyarakat, institutional investors dan organisasi internasional
lainnya. Walaupun hadirnya EITI belum mampu menurunkan praktik
korupsi dan meningkatkan akuntabilitas pengelolaan industri ekstraktif
di negara-negara Sub-Saharan Africa (Maconachie, 2008), namun
setidaknya dapat secara efektif mendorong perbaikan institusional yang
signifikan di negara-negara tersebut.

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN


4.1. Indonesia termasuk resource rich country?
Terdapat berbagai macam cara untuk mengetahui apakah suatu
negara merupakan negara yang kaya akan SDA. Untuk membandingkan
kekayaan negara yang satu dengan negara yang lain, maka digunakan
satuan R/P ratio (Reserve to Production Ratio) atau total reserve (cadangan)
dibagi dengan tingkat produksi per tahun. Hasilnya merupakan jangka
waktu yang menunjukkan berapa lama cadangan negara tersebut
akan habis diproduksi (Pudyantoro, 2012). Besaran rasio ini tentunya
merupakan angka yang dinamis, karena perkembangan teknologi dan
investasi memungkinkan adanya penemuan sumber-sumber migas baru
dan penambahan kapasitas produksi yang akan mengubah besaran R/P
ratio. Perbandingan R/P ratio beberapa negara yang dikenal kaya akan
SDA adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 3.
266 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

Sumber: BP Statistical Review, 2015


Gambar 3. Perbandingan R/P Ratio beberapa negara tahun 2014
Selain berdasarkan R/P ratio, beberapa organisasi internasional
seperti World Bank, IMF, dan McKinsey mengkategorikan suaru
negara sebagai resource rich atau resource driven countries berdasarkan
besarnya kontribusi penerimaan negara yang berasal dari SDA dalam
perekonomian mereka, dibandingkan dengan total ekspor, total
pendapatan negara, atau output nasional (gross domestic product/GDP
atau pendapatan domestik bruto/PDB). McKinsey mendefinisikannya
sebagai negara dengan sektor minyak, gas dan mineral yang
mendominasi perekonomian, dengan kriteria kontribusi ketiga sektor
tersebut: (1) mencapai 20% dari total ekspor; (2) menghasilkan lebih dari
20% pendapatan fiskal; atau (3) memiliki resource rent lebih dari 10%
dari PDB. Resource rent, yaitu selisih antara total value yang diperoleh
sepanjang proyek eksploitasi SDA dibandingkan total biaya yang
dikeluarkan selama masa tersebut termasuk kompensasi penggunaan
faktor-faktor produksi (Land B. C., 2008). Pada Gambar-4 terlihat
bahwa besarnya rasio resource rent yang berasal dari SDA dibandingkan
dengan PDB Indonesia mengalami fluktuasi seiring dengan pergerakan
harga komoditas, dari yang tertinggi sekitar 37% pada tahun 1979,
dan terendah sekitar 6% pada tahun 2014. Berdasarkan rasio ini tidak
diragukan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori resource rich
country.
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 267

Sumber: World Bank, 2015


Gambar 4. Rasio Total Natural Resource Rent per GDP Indonesia
Tahun 1970-2014

4.2. Fiscal Regime Pengelolaan Industri Ekstraktif


Penerapan rezim fiskal suatu negara atas sumber daya alam khususnya
yang berasal dari industri ekstraktif haruslah didesain sedemikian
rupa sehingga mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi
negara, namun tetap menarik bagi investor. Banyak negara merasa
perlu untuk mereviu kembali penerapan rezim fiskal mereka, dengan
tujuan agar mampu merespon terjadinya fluktuasi harga komoditas,
menyederhanakan rezim fiskal yang sudah ada, serta bagaimana
kebijakan tersebut mampu mengakomodir perkembangan ekonomi
dan teknologi terkini seperti misalnya pertambangan laut dalam (deep
sea mining) atau eksplorasi dan eksploitasi unconventional oil and gas
lainnya (Mullins, 2015).
Secara umum terdapat dua kategori fiscal regime yang digunakan
dalam industri ekstraktif:
a. Kontraktual: pemerintah merupakan pemilik dari SDA, sedangkan
investor mendapatkan bagi hasil (pada PSC) ataupun fee (pada
service contract) sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak.
b. Lisensi/konsesi: hak penguasaan SDA berada pada investor,
sedangkan pemerintah mendapatkan imbalan berupa pajak,
royalti, ataupun participation interest (PI).
268 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

Dalam pelaksanaannya, suatu negara memadukan beberapa


skema tersebut dalam mengelola industri ekstraktifnya. Adapun
pemilihan skema yang diterapkan pada suatu negara tidak lepas dari
kondisi cadangan SDA dan kemampuan permodalan negara tersebut.
Bila suatu negara memiliki SDA yang sudah terbukti cadangannya
dan memiliki permodalan yang kuat, maka skema service contract
lebih menguntungkan karena negara akan mendapatkan seluruh hasil
eksploitasi SDA, dan hanya membayar sejumlah fee kepada investor.
Sebaliknya apabila suatu negara tidak mempunyai cukup modal
untuk melakukan eksploitasi SDA maka skema PSC dapat menjadi
pilihan, karena risiko eksploitasi dan permodalan diserahkan kepada
investor, dengan pembagian sebagian hasil produksi sesuai kontrak
yang disepakati. Selanjutnya untuk mengevaluasi apakah rezim fiskal
yang digunakan di suatu negara sudah optimal, maka harus dilakukan
penilaian menyeluruh terhadap perekonomian.
Kekayaan alam yang berasal dari migas dan mineral dimiliki oleh
banyak negara, baik negara maju (seperti Australia, Kanada, Swedia
dan Amerika Serikat), negara berkembang (seperti Indonesia dan
Malaysia), maupun negara berpenghasilan rendah (seperti Sudan, Chad,
Kamerun, dan negara-negara Sub-Saharan Afrika lainnya). Berkaca
dari pebedaan kesejahteraan negara-negara tersebut, terlihat bahwa
perbedaan pengelolaan industri kreatif bukan hanya terletak pada
kebijakan fiskal yang diterapkan, tetapi juga tak lepas dari kualitas tata
kelola (governance) dalam pengelolaan industri ekstraktif. Transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan pendapatan negara yang bersumber dari
sumber daya alam merupakan salah satu kunci sukses dan stabilitas
pembangunan dari negara-negara penghasilnya.

4.2.1. Fiscal Regime Industri Ekstraktif di Indonesia


4.2.1.1. Minyak dan Gas Bumi
Dalam mengeksploitasi sumber daya migas, Pemerintah Indonesia
menggunakan skema production sharing contracts (PSCs). Indonesia
sendiri merupakan negara pertama yang mengadaptasi sistem kontrak
bagi hasil seperti ini (Likosky, 2009). PSC yang diyakini sebagai gagasan
dari Indonesia, saat ini diadopsi oleh hampir semua di Asia seperti
India, Malaysia, Vietnam, China, serta beberapa Negara Afrika dan
Eropa dengan beberapa penyesuaian. (Pudyantoro, 2016).
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 269

Konsep umum PSC adalah bahwa kontraktor menanggung semua


risiko dan biaya pada tahap eksplorasi hingga tahap produksi. Apabila
eksplorasi tidak mencapai tahap produksi, maka semua biaya yang
timbul tidak diberikan penggantian dari Pemerintah. Sebaliknya, bila
mencapai tahap produksi, kontraktor akan menerima penggantian
berupa (i) pembagian hasil produksi untuk mengganti biaya yang
telah dikeluarkan (cost recovery), (ii) kredit investasi, dan (iii) equity
interest atas sisa produksi (Ernst & Young, 2015). Dengan skema PSC
Pemerintah dapat membagi risiko eksplorasi, karena tingkat kegagalan
dalam menemukan cadangan migas di Indonesia sangat tinggi, yaitu
antara 70%-80% (Pudyantoro, 2012). Gambaran umum skema PSC
adalah sebagaimana terlihat pada Gambar-5.

Gambar 5. Skema Production Sharing Contract (PSC) pada


Industri Hulu Migas di Indonesia
270 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

Hal krusial yang banyak menjadi perhatian terkait pelaksanaan


PSC adalah terkait dengan penghitungan cost recovery, karena akan
menentukan pembagian hasil produksi yang diterima kontraktor
migas dan juga negara. Pelaksanaan aturan yang berlaku saat ini yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 20101 dalam perjalanannya
mengalami berbagai hambatan. Karena aturan ini hanya berlaku pada
kontrak baru, sementara kontrak migas yang ditandatangani sebelum
PP ini disahkan masih mengacu pada aturan sebelumnya, hal ini
menyebabkan perselisihan mengenai perhitungan cost recovery (Budi,
2011).
Di saat produksi migas Indonesia terus mengalami penurunan
karena tidak adanya eksplorasi sumur-sumur baru, Pemerintah perlu
mendorong minat investor di bidang hulu migas. Situasi dimana harga
minyak sedang berada pada titik terendah seperti saat ini merupakan
saa yang tepat untuk melakukan investasi karena biaya yang dibutuhkan
untuk memulai eksplorasi juga rendah. Karena fluktuasi harga minyak
merupakan siklus yang berulang, diharapkan pada saat harga kembali
meningkat investor dan juga Pemerintah dapat menikmati keuntungan
yang signifikan. Pada saat tulisan ini dibuat, Pemerintah tengah
membahas revisi atas PP 79/2010, yang diharapkan dapat membuat
investasi di bidang hulu migas menjadi lebih menarik.

4.2.1.2. Mineral dan Batubara


Pada industri pertambangan umum, sejak berlakunya UU Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, Indonesia menerapkan
sistem pemberian konsesi kepada pengusaha. Sebelumnya era
tersebut, kerjasama pengusahaan pertambangan antara pemerintah
dan pengusaha dituangkan dalam kontrak berupa Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sebagai kompensasi
pemberian hak tersebut, Pemerintah mendapatkan penerimaan negara
berupa pajak yang diatur berdasarkan ketentuan perpajakan umum,
dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dengan jenis dan besaran
yang bervariasi untuk berbagai jenis produk pertambangan. Beberapa
bentuk kewajiban PNBP SDA non migas untuk pertambangan mineral
dan batubara adalah:
1
Mengatur tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan
di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 271

a. Iuran tetap (landrent) : yaitu pungutan yang dikenakan kepada


pemegang izin usaha pertambangan mineral batubara sebagai
imbalan atas kesempatan eksplorasi dan operasi produksi.
Cara penghitungan: Iuran Tetap/Landrent = Tarif x Luas Area
b. Iuran eksplorasi dan produksi (royalti) : yaitu pungutan yang
dibebankan atas produk pertambangan kepada pemilik Ijin Usaha
Pertambangan (IUP) Eksplorasi atau IUP Produksi pada saat
mineral atau batubara yang tergali terjual.
Cara penghitungan: Royalti = Tarif x Volume Penjualan x Harga
Jual
c. Penjualan hasil tambang : yaitu pungutan yang dikenakan terhadap
pemegang PKP2B
Cara penghitungan: penjualan hasil tambang = Bagian Pemerintah
Pusat (13,5%) – Tarif Royalti

Tabel-1. Tarif Royalti Beberapa Mineral Non Batubara

Sumber: PP Nomor 9 Tahun 2012


Pada Tabel-1 dapat dilihat tarif royalti untuk berbagai jenis komoditi
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis
dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM. Adapun untuk
batubara, tarif royalti dibedakan berdasarkan kualitas batubara yang
dihasilkan dan juga metode penambangan yang digunakan (Tabel-2).
Tabel-2. Tarif Royalti Batubara

Sumber: PP Nomor 9 Tahun 2012


272 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

Karena batubara sangat dibutuhkan terutama sebagai sumber


energi primer pembangkit tenaga listrik, maka kebijakan terkait
pertambangan batubara, khususnya mengenai tarif royalti menjadi
salah satu isu penting. Hasil penelitian Pusat Kebijakan Pendapatan
Negara, Badan Kebijakan Fiskal terkait penerimaan negara yang
berasal dari royalti batubara menyimpulkan perlu adanya penyesuaian
metode penetapan tarif royalti batubara. Selain memperhitungkan
kalori, penetapan tarif royalti selayaknya juga memperhitungkan faktor
fluktuasi harga serta kompleksitas pertambangan (direpresentasikan
oleh variabel stripping ratio2 serta lokasi tambang dengan jetty),
dalam rangka menjamin keadilan serta menjaga kelangsungan usaha
pertambangan batubara (BKF, 2015).
Selain itu, permasalahan penting yang perlu dibenahi adalah
terkait teknis pelaksanaan di lapangan. Lemahnya pengawasan, belum
memadainya integrasi sistem informasi, serta kurangnya koordinasi
sistem administrasi antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan
pelaporan atas produksi tidak dapat dipastikan akurasinya. Hal ini
memberikan pelajaran agar ke depan pembuatan kebijakan harus
memperhatikan risiko serta mitigasinya, sehingga setiap kebijakan
bukan hanya kuat dalam perumusan, tetapi juga dapat efektif untuk
dilaksanakan.

4.2.2. Desentralisasi Fiskal dan Perpajakan Industri Ekstraktif


Skema pembagian penghasilan atas eksploitasi SDA, baik antara
pemerintah pusat dan daerah maupun antar wilayah dalam suatu
negara kerap kali menjadi isu yang krusial dan berpotensi menimbulkan
konflik. Berbagai studi telah membuktikan bahwa di banyak negara
dengan kekayaan SDA khususnya mineral serta migas kemudian
terjebak dalam konflik dan peperangan sehingga masyarakatnya tetap
hidup dalam kemiskinan (McNeish, 2010).
Kebijakan fiskal terkait eksploitasi SDA tentunya harus
memperhatikan kelangsungan pembangunan daerah dimana SDA itu
berada, baik dari sisi lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat,
serta pemerataan pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah.
Bagaimana suatu negara mengalokasikan penerimaan negara yang
bersumber dari SDA tergantung pada kondisi politik dan ekonomi
2
Perbandingan komposisi tanah dan batubara pada tambang batubara
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 273

dari masing-masing negara. Pada praktiknya, saat kebijakan fiskal


terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah juga dipengaruhi
oleh komunitas global, seperti investor asing, institusi multilateral,
serta LSM/NGO. Pengambilan kebijakan harus dapat mengakomodir
kepentingan negara, investor dan stakeholder terkait, serta
pembangunan yang berkesinambungan.
Secara umum, beberapa tipe pengenaan pajak atas sektor
pertambangan yang dilakukan oleh negara-negara di dunia adalah
sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Penentuan ini tentunya bersifat
subyektif dan sangat bervariasi, tergantung pada berbagai faktor, seperti
tingkat kerumitan dari sistem pemerintahan yang ada (Otto, 2001).
Tabel 3. Tipe Pengenaan Pajak atas Sektor Pertambangan
Berbagai Negara

Sumber: World Bank, 2015


Di Indonesia, sistem pembagian pendapatan negara (revenue
sharing) yang bersumber dari SDA diatur dalam UU Nomor 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Struktur revenue sharing ini berbeda untuk
setiap jenis SDA (meliputi migas, kehutanan, pertambangan umum,
274 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

panas bumi, dan perikanan) dan setiap level pemerintahan. Secara


umum, pemerintah daerah memperoleh 80% pendapatan dari SDA,
kecuali untuk minyak dan gas bumi. Pendapatan pemerintah daerah
ini kemudian didistribusikan kembali antara propinsi, dimana daerah
penghasil mendapatkan bagian lebih besar daripada daerah non
penghasil. Pembagian tersebut adalah sebagaimana tergambar pada
Gambar-6 (Cut Dian Agustina, 2012).

Sumber: Agustina, 2012


Gambar 6. Skema Pembagian Pendapatan Negara (Revenue
Sharing) Sumber Daya Alam di Indonesia
Pembahasan tentang skema revenue sharing atas SDA tentunya tidak
terlepas dari keseluruhan skema Transfer Daerah di Indonesia.
Mempertimbangkan aspek ekonomi politik pengelolaan SDA di
Indonesia, Agustina (2012) merekomendasikan beberapa hal yang perlu
diperkuat terkait revenue sharing atas SDA untuk menjaga akuntabilitas
dan kesatuan NKRI:
a. Evaluasi kebijakan assymetric transfers
Kebijakan khusus yang diberikan bagi Aceh dan Papua melalui
Dana Otonomi Khusus ternyata belum mampu meningkatkan
kualitas pelayanan sosial. Pada tahun 2010, indikator sosial
seperti kualitas pelayanan air dan sanitasi, tingkat buta huruf, dan
ketersediaan listrik, untuk Aceh dan Papua belum menunjukkan
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 275

perbaikan sejak tahun 2004, dan bahkan berada di bawah rata-rata


nasional. Pemerintah perlu memastikan efektivitas mekanisme
penyaluran dan penggunaan dana transfer daerah oleh Pemda,
agar kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah tersebut tersebut
tidak lagi tertinggal.
b. Evaluasi skema revenue-sharing
Skema yang umum digunakan adalah (i) alokasi pendapatan kepada
pemerintah daerah, yang melalui desentralisasi fiskal diharapkan
dapat memberikan pelayanan publik lebih baik kepada masyarakat,
dan (ii) alokasi langsung kepada masyarakat di daerah penghasil
SDA, misalnya melalui petroleum dividend, sebagaimana contoh
di Alaska dan Alberta. Alternatif (iii) yang dapat dipertimbangkan
adalah gabungan antara kedua skema tersebut dan disertai dengan
dukungan pemerintah pusat dalam penyediaan infrastruktur,
yang sedikit banyak telah dilakukan oleh Indonesia. Yang perlu
diperhatikan adalah perlunya Pemerintah untuk terus mendorong
skema performance-based transfer dalam formulasi Dana Alokasi
Khusus (mulai APBN tahun 2016 menjadi Dana Transfer Khusus)
sehingga selain meningkatkan kinerja Pemerintah Daerah juga
mengurangi adanya intervensi.
c. Penguatan lingkungan pendukung
Aspek penting selain revenue sharing, hal yang juga penting
untuk diperkuat adalah terkait (i) isu lingkungan hidup dan
kelestarian lingkungan, (ii) mekanisme Pemerintah Pusat dalam
melakukan smoothing budget, agar transfer kepada pemerintah
daerah tidak terimbas oleh fluktuasi harga komoditi, salah satunya
melalui sovereign wealth fund, (iii) peningkatan akuntabilitas dan
transparansi pengelolaan pendapatan negara yang berasal dari
SDA.

4.3. Tantangan Pengelolaan Industri Ekstraktif


Terdapat paling tidak 4 (empat) hal yang menjadi tantangan dalam
pelaksanaan rezim fiskal pengelolaan industri ekstraktif di berbagai
negara di dunia antara lain (Mullins, 2015):
a. Memastikan stabilitas dan kredibilitas pelaksanaan kebijakan
Bagi investor kepastian dalam berusaha, termasuk konsistensi
pelaksanaan peraturan dan kebijakan, mutlak diperlukan untuk
276 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

membuat perencanaan bisnis jangka panjang. Ketidakpastian akan


meningkatkan risiko sehingga menurunkan minat investasi yang
pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi.
b. Aspek perpajakan internasional dan Base Erosion and Profit Shifting
(BEPS)
Mengingat pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA
seringkali melibatkan banyak negara sebagai pemilik kontraktor
multinasional, maka isu terkait transfer pricing dan BEPS perlu
menjadi perhatian dalam mendesain terms and condition pada
kontrak kerjasama di industri ekstraktif.
c. Koordinasi regional
Penetapan rezim fiskal yang diberlakukan di suatu negara akan
mempengaruhi kegiatan perdagangan di kawasan.
d. Peranan perusahaan negara dalam pengelolaan industri ekstraktif
Karena kontrol pemerintah terhadap pengelolaan SDA seringkali
dilakukan oleh perusahaan milik negara, pemerintah harus
memberikan equal treatment bagi para pemain yang berada di
dalam industri ekstraktif, sehingga dapat tercipta lingkungan usaha
yang kondusif.
Dari keempat faktor tantangan tersebut, salah satu tantangan
yang perlu dicermati Indonesia dalam pengelolaan industri ekstraktif
adalah terkait konsistensi pelaksanaan kebijakan. Dalam berbagai
forum diungkapkan bahwa kepastian hukum dan kepastian berusaha
di Indonesia seringkali dipertanyakan sehingga membuat investor
harus memperhitungkan risiko tersebut dalam setiap keputusan
investasi mereka. Salah satu bentuk inkonsistensi pelaksanaan
kebijakan adalah persoalan perizinan dan tumpang tindih lahan, pada
kasus Churchill contohnya. Churcill Mining Plc sebuah perusahaan
tambang multinasional asal London, pada tahun 2006 mengakuisisi
75% saham PT Ridlatama, perusahaan nasional yang memiliki Ijin
Usaha Pertambangan (IUP) pada East Kutai Coal Project. Di tengah
kerjasama tersebut pada 4 Mei 2010, pemerintah Kutai Timur secara
sepihak mencabut ijin eksploitasi IUP yang dimiliki PT Ridlatama.
Kasus ini kemudian ditangani oleh International Center for Settlement
of Investment Dispute (ICSID) (Sitanggang, 2014). Selain memberikan
dampak negatif iklim investasi, Pemerintah juga harus menanggung
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 277

biaya pengacara mencapai ratusan juta USD serta menanti keputusan


atas tuntutan ganti rugi yang diajukan sebesar USD 2 miliar.
Kasus lainnya yang juga dianggap mencederai kepastian berusaha
pada industri ekstraktif adalah terkait keputusan pembangunan kilang
dalam pengembangan lapangan gas Blok Masela yang pada Maret 2016
ditetapkan berada di darat (onshore) setelah sebelumnya pada tahun
2010 (atau 12 tahun setelah kontrak ditandatangani pada November
1998) sudah diputuskan untuk di bangun di laut (offshore). Walaupun
keputusan ini tentunya didasari oleh berbagai pertimbangan ilmiah yang
matang, tapi tidak dapat dihindari hal ini membentuk opini pasar yang
merugikan Indonesia. Di masa yang akan datang hendaknya berbagai
kebijakan pemerintah dapat dijaga konsistensi dan kredibilitasnya,
karena akan mempengaruhi keputusan investasi para pemilik modal.

4.4. Menjaga Kelangsungan Fiskal


Selain beberapa tantangan yang dikemukakan di atas, hal yang juga
krusial untuk diperhatikan oleh negara-negara kaya SDA adalah
bagaimana semaksimal mungkin memanfaatkan kekayaan sumber
daya yang semakin langka untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan. Berkaca dari situasi perekonomian negara-negara
penghasil migas dan mineral lainnya yang memburuk seiring dengan
menurunnya harga komoditas, maka harus disusun kebijakan yang
mampu menjaga kesinambungan fiskal. Beberapa kebijakan yang
telah dilakukan berbagai negara untuk menjaga kesinambungan fiskal
mereka, antara lain (Davoodi, 2016):
 Mengimplementasikan kebijakan makro ekonomi yang sifatnya
countercyclical (Norwegia dan Chile)
 Melakukan pengaturan fiskal (fiscal rule) dan membuat stabilization
fund atau sovereign wealth fund (SWF) untuk mengelola pendapatan
yang berasal dari SDA (Botswana, Norwegia)
 Melakukan hedging atas harga minyak (Meksiko)
 Pembentukan institusi handal yang menitikberatkan transparansi
pengelolaan industri ekstraktif (Australia, Selandia Baru dan
Kanada)
 Melakukan diversifikasi ekonomi dan mendorong tercapainya
inclusive growth (Malaysia dan Chile)
278 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

Apakah Indonesia telah melakukan salah satu strategi kebijakan


tersebut? Terkait transparansi pengelolaan industri ekstraktif,
Indonesia telah diakui sebagai compliant country member pada
Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) pada bulan Oktober
2014. Indonesia merupakan negara ASEAN pertama yang mencapai
EITI compliance, setelah bergabung pada tahun 2010. Peningkatan
transparansi dalam tata kelola industri ekstraktif melalui penerapan
standar EITI diharapkan dapat membuat pendapatan dari industri
ekstraktif dapat berkontribusi lebih banyak untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan lain yang dapat didorong untuk diterapkan di
Indonesia dalam rangka menjaga kesinambungan fiskal adalah
pembentukan stabilization fund atau sovereign wealth fund (SWF).
Berdasarkan beberapa definisi baku tentang SWF, antara lain menurut
IMF dan Deutsche Bank Research, pada intinya SWF merupakan
dana abadi yang dimiliki oleh pemerintah yang diinvestasikan secara
global dalam berbagai bentuk instrumen keuangan, seperti deposito,
obligasi, saham atau instrumen lainnya seperti properti, dengan
tujuan mendapatkan bunga, gain atau dividen. Dana pokoknya
merupakan dana abadi sehingga tidak boleh diambil sedangkan yang
bisa diambil hanya dana yang berasal dari imbal hasil investasi yang
dilakukan pemerintah tersebut. Dana pokok yang merupakan dana
abadi tersebut bisa berasal dari dana APBN, dari penerimaan seperti
penerimaan migas atau dari sumber-sumber penerimaan lainnya yang
sah (Munandar, 2015). Tabel-4 menyajikan data SWF dari berbagai
negara, mulai dari negara maju seperti Norwegia yang nilai SWFnya
sudah mencapai 173% dari GDP, sampai negara kecil seperti Trinidad
& Tobago, yang baru membuat SWF pada tahun 2007, dengan nilai
mencapai 18% dari GDP.
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 279

Tabel-4. Sovereign Wealth Fund Berbagai Negara, 2014

Sumber: Mullins, 2016


Gagasan pembentukan SWF di Indonesia sudah lama mengemuka,
terakhir melalui usulan dibentuknya Petroleum Fund (PF) seiring
dengan rencana revisi UU Migas. Beberapa kritik terkait pembentukan
PF selain terkait akuntabilitas pengelolaan dana, adalah terkait basis
legal formal pembentukannya. Beberapa negara yang menerapkan PF,
seperti Norwegia dan Timor Leste punya satu undang-undang tersendiri
tentang PF yang secara khusus meletakkan dasar kebijakan soal PF
secara jelas dan seksama. Sedangkan di Indonesia PF direncanakan
hanya dicantumkan sebagai salah satu pasal dalam revisi UU Migas
(Indonesia Review, 2015). Berbagai masukan tersebut selayaknya
dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah dalam mendesain SWF milik
Indonesia, apapun bentuknya, demi kelangsungan fiskal dalam rangka
memenuhi kebutuhan generasi masa depan.
Kebijakan lain yang perlu diperkuat oleh Indonesia adalah terkait
diversifikasi ekonomi. Rendahnya diversifikasi ekonomi pada resource
rich countries meningkatkan kerentanan terhadap kesinambungan
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi. Diversifikasi
ekonomi dapat dilakukan dalam berbagai aspek, meliputi jenis barang
dan jasa yang diproduksi atau diekspor, negara tujuan ekspor, tingkat
kerumitan (sophistication) dan kualitas barang yang dihasilkan,
termasuk diversifikasi keahlian sumber daya manusia.
280 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

Pada Gambar-7 terlihat bahwa komposisi ekspor Indonesia dari segi


proporsi lebih terdiversifikasi dibandingkan dengan Malaysia, karena
proporsi 2 (dua) produk ekspor utama Indonesia hanya mengambil
porsi sekitar 44%, sedangkan pada Malaysia porsinya sekitar 68%.
Namun dari segi kompleksitas produk, Malaysia lebih unggul dibanding
Indonesia. Sekitar 44% ekspor Indonesia masih bergantung pada SDA,
baik migas dan mineral (30%) dan produk pertanian (14%), sementara
47% produk ekspor Malaysia adalah mesin dan komponen, yang
memiliki nilai tambah serta kompleksitas yang jauh lebih tinggi. Dari
gambaran ini terlihat bahwa Malaysia memiliki ketergantungan pada
SDA yang lebih rendah dibanding Indonesia, sehingga secara logika
dapat diduga bahwa perekonomian Malaysia akan lebih tahan terhadap
gejolak harga komoditas.
Indonesia Malaysia

Sumber: The Atlas of Economic Complexity


Gambar-7. Perbandingan Komoditi Ekspor Indonesia dan Malaysia,
2014
IMF dalam Davoodi (2016) menyatakan bahwa pelaksanaan
diversifikasi ekonomi walaupun dapat mengurangi dampak negatif
volatilitas harga komoditas dan menciptakan sustainable growth, di sisi
lain juga menimbulkan cost yang tinggi bagi pemerintah. Insentif bagi
pengembangan industri pionir, peningkatan inovasi produk melalui
R&D, penguatan sumber daya manusia dan entrepreneurship, semuanya
memerlukan intervensi dari pemerintah melalui alokasi anggaran
yang cukup masif. Untuk itu perlu dilakukan analisis mendalam
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 281

terkait sektor dan industri mana yang akan dikembangkan, dengan


mempertimbangkan keunggulan komparatif yang dimiliki.

V. PENUTUP
Sebagai negara yang memiliki kelimpahan sumber daya migas dan
mineral, Indonesia perlu meningkatkan akuntabilitas pengelolaan
sumber daya tersebut, sehingga bukan hanya optimal kemanfaatannya
bagi demi kepentingan rakyat, tapi juga dapat mendukung
pembangunan secara berkesinambungan. Untuk itu pemerintah perlu
terus membenahi kebijakan serta pengelolaan industri ekstraktif yang
telah ada. Berdasarkan analisis atas kondisi dan situasi Indonesia
tulisan ini merekomendaikan beberapa hal yang perlu diperkuat oleh
Pemerintah, yaitu:
a. Konsistensi pelaksanaan kebijakan
Keputusan yang telah ditetapkan Pemerintah perlu dijaga
kredibilitasnya, sehingga meningkatkan kepercayaan investor.
Koordinasi baik antar Kementerian/Lembaga termasuk antara
Pusat dan Daerah perlu diperkuat, sehingga tidak lagi terjadi
tumpang tindih dalam pelaksanaannya.
b. Pembentukan Sovereign Wealth Fund
Agar hasil SDA yang dieksploitasi saat ini juga dapat dinikmati
oleh generasi mendatang, maka Pemerintah perlu membuat SWF,
yang dananya disisihkan dari penerimaan SDA. Transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan SWF harus diutamakan dan
disusun dalam peraturan perundangan yang masif sehingga dapat
meminimalisir politisasi.
c. Pengembangan diversifikasi ekonomi
Pemerintah perlu mendorong agar PDB tidak lagi tergantung
pada penerimaan SDA. Pengembangan sektor lain seperti industri
kreatif, termasuk di dalamnya pariwisata merupakan sektor yang
sangat potensial untuk dikembangkan. Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar, Pemerintah harus dapat menjadi katalisator
agar industri dapat berkembang dan memberikan kontribusi yang
signifikan bagi perekonomian.
Selain hal-hal tersebut di atas, penguatan institusi serta pelaksanaan
tata kelola yang baik tetap harus dijalankan secara konsisten pada
282 PENGELOLAAN INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA : KEBIJAKAN FISKAL DAN TANTANGAN KE DEPAN

seluruh rantai industri, sehingga sumber daya alam yang kita miliki
dapat memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“The efficient management of organizations is key to generating wealth,
for the development of a country, for the preservation of natural resources
and the enhancement of the human being.” - Vinicius Montgomery.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurohman, B. P. (2016). Behavior of Fiscal Policy in Indonesia in Response
to Economic Cycles. The Singapore Economic Review.
BKF. (2015). Kajian Tarif PNBP Batubara. Jakarta: Tidak dipublikasikan.
Budi, C. (2011, September 19). Mengakhiri Polemik Pajak Migas. Diambil
kembali dari Direktorat Jenderal Pajak: http://www.pajak.go.id/content/
mengakhiri-polemik-pajak-migas
Cut Dian Agustina, E. A. (2012). Political Economy of Natural Resource revenue
sharing in Indonesia. London: Asia Research Center.
Davoodi, H. (2016, May). Economic Diversification and Natural Resource_
Lecture on Macroeconomic Management for Resource Rich Countries
Training Program. Washington DC: IMF.
Davoodi, H. (2016, May 23). Introductory Lecture on Macroeconomic
Management for Resource Rich Countries Training Program. Washington
DC.
Elva Bova, P. M. (2016). Resource Revenue Volatility and Macroeconomic
Stability in Resource Rich Countries: The Role of Fiscal Policy. Washington
DC: IMF Working Paper.
Ernst & Young. (2015, Juni). Global Oil and Gas Tax Guide.
IMF. (2012, August 15). Fiscal Regimes for Extractive Industries: Design and
Implementation. Dipetik June 6, 2016, dari http://www.imf.org/external/
np/pp/eng/2012/081512.pdf
IMF. (2012, August 24). Macroeconomic Policy Frameworks for Resource
Rich Developing Countries. Diambil kembali dari https://www.imf.org/
external/np/pp/eng/2012/082412.pdf
Indonesia Review. (2015, April 23). Diambil kembali dari Menguji Rumusan
Petroleum Fund: http://indonesianreview.com/ds-muftie/menguji-
rumusan-petroleum-fund
Land, B. (2009). Capturing a Fair Share of Fiscal Benefits in the Extractive
Industry. Transnational Corporations Vol. 18 No.1, 157-173.
Land, B. C. (2008). Resource Rent Taxation Theory and Experience. Taxing
Natural Resource, New Challenges, New Perspective. International
Monetary Fund.
MENGGALI POTENSI PENERIMAAN NEGARA DI TENGAH LESUNYA EKONOMI GLOBAL 283

Likosky, M. (2009). Contracting and Regulatory Issues in the Oil and Gas
Metallic Minerals Industries. Transnational Corporations Vol.18 No.1,
1-39.
Maconachie, G. H. (2008). Good Governance and the Extractive Industries in
Sub Saharan Africa. Mineral Processing and Extractive Metallurgy Review,
52-100.
McKinsey Global Institute. (2013). Reverse the Curse: Maximizing the Potential
of Resource-Driven Economies. McKinsey & Company.
McNeish, J.-A. (2010). Rethinking Resource Conflict. Washington DC: World
Bank.
Mullins, P. (2015, Agustus 11). Fiscal Regimes for Extractive Industries_Design
and Implementation. Conference on Natural Resource Taxation on the Asia
Pacific Region. Jakarta.
Munandar, Y. (2015, September 25). Menciptakan Penerimaan Minyak dan
Gas Bumi Indonesia yang Berkelanjutan Melalui Sovereign Wealth Fund.
Diambil kembali dari http://www.kemenkeu.go.id/en/node/47167
Otto, J. M. (2001). Fiscal Decentralization and Mining Taxation. World Bank .
Ploeg, F. V. (2011). Natural Resource: Curse or Blessing? Journal of Economic
Literature, 366-420.
Pudyantoro, A. R. (2012). A to Z Bisnis Hulu Migas. Jakarta: Petromindo.
Revenue Watch Institute. (2010). 2010 Revenue Watch Index. Transparency:
Governments and the Oil, Gas and Mining Industries. The Revenue Watch
Institute.
Revenue Watch Institute. (2016, Maret). Macroeconomic Management and
Natural Resource Management. Short Course of IMF Institute for Capacity
Development.
Sitanggang, Y. A. (2014). Upaya Churcill Mining Plc dalam Penyelesaian
Sengketa dengan Pemerintah Kutai Timur Terkait Pencabutan Izin
PT Ridlatama. eJournal Ilmu Hubungan Internasional Universitas
Mulawarman, 935-948.

Anda mungkin juga menyukai