BINECA 2018
Disusun Oleh:
KOTA SEMARANG
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam 25 tahun mendatang penduduk di Indonesia akan meningkat dari
238,5 juta pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 305,6 juta pada tahun 2035
(BAPPENAS, 2013). Peningkatan jumlah penduduk yang signifikan tersebut harus
menyebabkan tingginya kebutuhan terutama kebutuhan dalam bidang pangan.
Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 2015
menyatakan bahwa sepertiga kecamatan di Indonesia yaitu berjumlah 5.570
kecamatan mengalami masalah gizi serius. Sedangkan dari hasil pemetaan status
nutrisi terkini yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan
Badan Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) dan AUSAID di 30 provinsi
di Indonesia, diketahui bahwa persentase gizi buruk masih lebih dari 30%. Tingkat
relevansi malnutrisi tertinggi di kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Timur, NTB, NTT
dan Kalimantan Barat. Selain itu, tingkat konsumsi kalori penduduk juga masih
kurang yaitu 1.700 kkal/kapita/hari, jauh lebih rendah dari standar internasional
kebutuhan kalori minimum padaa orang dewasa yakni sebesar 2.100
kkal/kapita/hari. Pada tahun 2004, peta rawan pangan (Food Insecurity Atlas)
dikelompokkan pada tiga dimensi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan,
akses terhadap pangan dan penyerapan pangan. Dari data yang ada maka diperlukan
langkah serius dalam mewujudkan ketahan pangan di Indonesi terutama dalam
menjalankan amanat Undang-Undang nomor 7 tahun 1996.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu,
aman, merata dan terjangkau. Pembangunan pangan ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Konsumsi pangan penduduk
Indonesia masih belum memenuhi kecukupan gizi serta kuantitas maupun kualitas
dan keragaman pangan yang masih rendah. Hal ini dikarenakan produk pangan saat
ini masih didominasi oleh serealia khususnya beras. Ketergantungan terhadap beras
dapat diperlonggar dengan penganekaragaman pangan. Program peningkatan
ketahanan pangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan pangan
nasional (beras dan sumber bahan pangan lain), agar dapat dipenuhi dan diproduksi
domestik sehingga mampu mengurangi ketergantungan akan impor. Produk pangan
fungsional dengan potensi yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan yaitu
mikroalga. Selain berfungsi sebagai produk pangan dengan kandungan protein dan
karbohidrat yang tinggi, pengembangan alga ini juga dapat menyuburkan tanah
karena mengandung kandungan fosfor, kalium, dan nitrogen yang tinggi berguna
untuk menyuburkan tanah dalam meningkatkan produksi tanaman disekitarnya.
Oleh sebab itu, penting sekali untuk memperkenalkan sumber pangan dari
mikroalga ini karena memiliki prospek yang sangat bagus untuk meningkatkan gizi
masyarakat dan menambah keanekaragaman pangan serta meningkatkan kualitas
tanah di Indonesia, sehingga kita tidak hanya bergantung pada sumber-sumber
pangan yang sudah ada dan saat ini sudah semakin terbatas jumlahnya jika
dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Hal ini
sesuai dengan teori Malthus yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah
penduduk dunia bersifat eksponensial, sedangkan peningkatan produksi pangan
bersifat linier, sehingga perlu dilakukan diversifikasi pangan dengan mencari
sumber-sumber pangan alternatif, di antaranya adalah mikroalgae (fitoplankton)
(Potvin & Zhang, 2010).
Dilihat pada biaya operasi (Tabel 5), mikroalga rata-rata masih cenderung
mahal sehingga masih diperlukan kajian lebih jauh jika mikroalga tersebut
diinginkan sebagai komoditas utama dalam penehan kebutuhan sehari-hari. Avigad
dan Richmond (1988) berpendapat bahwa dengan range biaya produksi 2-3$ /kg,
maka Spirulina platensis dapat digunakan sebagai komoditas utama dalam
pemenuhan gizi sehari-hari.
3.2 Saran
Mikroalga sebagai potensi sumber ketahanan pangan nasional hendaknya
terus digaungkan guna meningkatkan kebutuhan gizi dalam negeri. Trend di masa
depan tentang mikroalga di Indonesia diramalkan akan terus cerah mengingat
produk tersebut masih diperlukan untuk kebutuhan suplemen bagi kondumen
dengan penghasilan di atas rata-rata. Saat ini harga curah untuk Spirulina platensis
berkisar Rp.200.000-350.000/kg untuk produk impor. Untuk itu diperlukan langkah
khusus dalam menurunkan biaya produksi mikroalga food grade tersebut agar harga
menjadi lebih murah dan dapat dikonsumsi masyarakat umum.
Melihat kawasan Indonesia yang memiliki garis pantai yang besar,
dimungkinkan akan banyak industri mikroalga yang tumbuh di sepanjang pantai
atau daerah dengan lahan tandus yang tak mungkin ditanami tumbuhan produktif,
untuk dijadikan kolam budidaya mikroalga, seperti di daerah Gunung Kidul, D.I
Yogyakarta. Atau dimungkinkan produk suatu mikroalga food grade akan memiliki
jenis spesifikasi pigmen tertentu seperti kaya phycocyanin, atau lebih banyak
mengandung klorofil mengingat kondisi lingkungan dan tempat budidaya yang
berbeda-beda.
Prospek di masa depan, produk mikroalga sebagai pangan fungsional di
dalam negeri akan terus berkembang tidak hanya dalam bentuk serbuk, tablet, atau
kapsul. Namun produk tersebut akan berevolusi menjadi produk pangan inovatif
seperti mikroalga yang dicampur dalam mie instan, permen coklat, dan komoditas
utama lain untuk meningkatkan nilai gizi dalam kehidupan di masyarakat.
Saat ini teknologi produksi maupun pengolahan mikroalgae masih terbatas,
sehingga perlu dikembangkan lagi melalui berbagai inovasi agar lebih kompetitif
terhadap bahan pangan pada umumnya, dan secara ekonomis lebih dapat diterima
masyarakat. Dengan demikian potensi mikroalgae yang sangat besar yang terdapat
di seluruh perairan Indonesia dapat termanfaatkan dengan baik untuk memperbaiki
kondisi gizi dan kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2008. Opinion On A Request For The Use Of Algal Beta-Carotene As A Food Colour.
http:// ec.europa.eu/food/fs/sc/oldcomm7/out04_en.html. Diakses tanggal 13 Juni 2008.
Ayehunie, S. et al. 1996. Inhibition of HIV-1 replication by an aqueous extract of Spirulina
(arthrospira platensis). IAAA Conference, Knysna, South Africa April 17, 1996. Bappenas.
2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006–2010.
Balder, H.F., Vogel, J., Jansen, M.C., Weijenberg, M.P., Van den Brandt, P.A., Westenbrink, S., Van
der Meer, R., dan Goldbohm, R.A., 2006, Heme and chlorophyll intake and risk of colorectal
cancer in the Netherlands cohort study. Cancer Epidemiology Biomarkers and Prevention. Vol
15:717-725.
Batten, D., Peter C., Greg T., 2011, Resource Potential of Algae for Sustainable Biodiesel production
in the APEC. Presentation at APEC Workshop on Algal Biofuels San Francisco
http://www.egnret.ewg.apec.org/workshops/AlgalBiof uels/David%20Batten.pdf (10 Juli
2014).
Becker E.W., 1994., Oil production. In: Baddiley, et al., editors. Microalgaee: biotechnology and
microbiology. Cambridge University Press Becker, E.W., 2007, Micro-algae as source of
protein. Biotechnology Advances .Vol. 25:207-210.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. 88 hlm. Danielo, O. 2005. An Algae-based
Fuel. Biofutur No. 255. 4 pp. Hallmann, A. 2007. Algal Transgenics and Biotechnology.
Transgenic Plant Journal. Global Science Books. Bielefeld, Germany, 1(1): 81-98.
Heierli, U. 2007. Sustainable Approaches to Combat Malnutrition. Employment and Income
Division of SDC, Swiss Agency for Development and Cooperation. India, 84 pp.
Isnansetyo, A. & Kurniastuty. 1995. Teknik kultur fitoplankton dan zooplankton. Pakan alami untuk
pembenihan organisme laut. Kanisius. Yogyakarta, 116 hlm.
Loseva, L.P. 1999. Spirulina platensis and specialties to support detoxifying pollutants and to
strengthen the immune system. 8th Int’l Congress of Applied Algology, Italy. Belarus.
Research Institute of Radiation Medicine, Minsk, Belarus. Italy.
Moerdiarta, R. and Stalker, P. 2007. Sisi Lain Perubahan Iklim. United Nations Development
Programme (UNDP) Indonesia. Keen Media Co.Ltd. Thailand.
Olguín, E.J., Hernández, B., Arus, A., Camacho, R., González, R., Ramírez, M.E., Galicia, S. and
Mercado, G., 1994, Simultaneous high-biomass protein production and nutrient removal
using Spirulina maxima in seawater supplemented with anaerobic effluents. World J.
Microbiol. Biotechnol., Vol. 10: 576–578.
Olson, J. A., Krinsky, N.I., 1995, Introduction. The colorful, fascinating world of the carotenoids:
Important physiologic modulators. FASEB J., Vol. 9:1547–1550.
Panggabean, L.M.G., 1998, Microalgaee: alternatif pangan dan bahan industri di masa mendatang.
Oseana, Vol. 23 (1): 19-26.
Potvin, G., Zhang, Z., 2010, Strategies for high level recombinant protein expression in transgenic
microalgaee: A review. Biotechnology Advance, Vol. 28: 910-918.
Prakash, S., Bhimba, B.V.,2004, Pharmaceutical development of novel microalgael comounds for
Mdr Mycobacterium tuberculosis. Natural product radiance, Vol. 4 (4): 264-269.
Rishi S., Munir C., 2001, Zein: the industrial protein from corn. Industrial Crops and Products,
Vol.13:171–192.
Shalaby, E.A., Shanab S.M.M., Singh, V., 2010, Salt stress enhancement of antioxidant and antiviral
efficiency of Spirulina platensis. J. Med. Plant Res. Vol. 4 (24): 2622-2632.
Sujatha, K., Nagarajan, P., 2013, Optimization of growth conditions for carotenoid production from
Spirulina platensis (Geitler). Int. J. Current Microbiol. App Sci, Vol. 2 (10): 325-328.
Riedel, A. 2008. Reed mariculture. http://www.reedmariculture.com. Spolaore et al. 2006.
Commercial Applications of Microalgae. Journal of Bioscience and Bioengineering, Volume
101, Issue 2, February 2006. The Society for Biotechnology, Japan. Elsevier B.V. p. 87-96.
Umesh, B.V. and S. Seshagiri. 1984. Phycotechnology Spirulina as Feed and Food. Monograph
Series on Engineering Photosynthetic Systems. 17: 38 pp.
Yonghuang, W. et al. 1994. The study on curative effect of zinc containing spirulina for zinc deficient
children. 5th Int’l Phycological Congress, Qingdao, June 1994. China Capital Medical College.
Beijing