Anda di halaman 1dari 20

LOMBA ESAI ILMIAH

BINECA 2018

“THE NEW FARMING SYSTEM” INOVASI PEMANFAATAN ALGA


HIJAU SEBAGAI SUMBER PANGAN FUNGSIONAL DAN PUPUK
ORGANIC DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN
NASIONAL

Disusun Oleh:

-Muhammad zulfikar SMA Negeri 9 Semarang

-Nurul Farikha SMA Negeri 9 Semarang

-Pasca Mutiara Widia SMA Negeri 9 Semarang

SMA NEGERI 9 SEMARANG

KOTA SEMARANG

2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam 25 tahun mendatang penduduk di Indonesia akan meningkat dari
238,5 juta pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 305,6 juta pada tahun 2035
(BAPPENAS, 2013). Peningkatan jumlah penduduk yang signifikan tersebut harus
menyebabkan tingginya kebutuhan terutama kebutuhan dalam bidang pangan.
Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 2015
menyatakan bahwa sepertiga kecamatan di Indonesia yaitu berjumlah 5.570
kecamatan mengalami masalah gizi serius. Sedangkan dari hasil pemetaan status
nutrisi terkini yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan
Badan Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) dan AUSAID di 30 provinsi
di Indonesia, diketahui bahwa persentase gizi buruk masih lebih dari 30%. Tingkat
relevansi malnutrisi tertinggi di kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Timur, NTB, NTT
dan Kalimantan Barat. Selain itu, tingkat konsumsi kalori penduduk juga masih
kurang yaitu 1.700 kkal/kapita/hari, jauh lebih rendah dari standar internasional
kebutuhan kalori minimum padaa orang dewasa yakni sebesar 2.100
kkal/kapita/hari. Pada tahun 2004, peta rawan pangan (Food Insecurity Atlas)
dikelompokkan pada tiga dimensi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan,
akses terhadap pangan dan penyerapan pangan. Dari data yang ada maka diperlukan
langkah serius dalam mewujudkan ketahan pangan di Indonesi terutama dalam
menjalankan amanat Undang-Undang nomor 7 tahun 1996.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu,
aman, merata dan terjangkau. Pembangunan pangan ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Konsumsi pangan penduduk
Indonesia masih belum memenuhi kecukupan gizi serta kuantitas maupun kualitas
dan keragaman pangan yang masih rendah. Hal ini dikarenakan produk pangan saat
ini masih didominasi oleh serealia khususnya beras. Ketergantungan terhadap beras
dapat diperlonggar dengan penganekaragaman pangan. Program peningkatan
ketahanan pangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan pangan
nasional (beras dan sumber bahan pangan lain), agar dapat dipenuhi dan diproduksi
domestik sehingga mampu mengurangi ketergantungan akan impor. Produk pangan
fungsional dengan potensi yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan yaitu
mikroalga. Selain berfungsi sebagai produk pangan dengan kandungan protein dan
karbohidrat yang tinggi, pengembangan alga ini juga dapat menyuburkan tanah
karena mengandung kandungan fosfor, kalium, dan nitrogen yang tinggi berguna
untuk menyuburkan tanah dalam meningkatkan produksi tanaman disekitarnya.
Oleh sebab itu, penting sekali untuk memperkenalkan sumber pangan dari
mikroalga ini karena memiliki prospek yang sangat bagus untuk meningkatkan gizi
masyarakat dan menambah keanekaragaman pangan serta meningkatkan kualitas
tanah di Indonesia, sehingga kita tidak hanya bergantung pada sumber-sumber
pangan yang sudah ada dan saat ini sudah semakin terbatas jumlahnya jika
dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Hal ini
sesuai dengan teori Malthus yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah
penduduk dunia bersifat eksponensial, sedangkan peningkatan produksi pangan
bersifat linier, sehingga perlu dilakukan diversifikasi pangan dengan mencari
sumber-sumber pangan alternatif, di antaranya adalah mikroalgae (fitoplankton)
(Potvin & Zhang, 2010).

1.2 Penjelasan Tema


Dengan tema “Increasing Food Supply & Food Quality in a Decade” maka
salah satu solusi yang ditawarkan yaitu peningkatan produksi mikroalga. Selain
bertujuan untuk diversifikasi pangan menjadi pangan fungsional dengan kandungan
protein, vitamin dan karbohidrat yang tinggi, perkembangan budidaya mikroalga
juga mampu meningkatkan kesuburan tanah dikarenakan tingginya kandungan
nitrogen didalamnya sehingga dapat menjamin suplai dan kualitas pangan selama
10 tahun kedepan. Oleh karena itu diperlukan langkah tepat dan nyata dalam
perkembangan mikroalga di Indonesia dan perlunya mengetahui kualitas mikroalga
dibandingkan dengan pangan konvensional.
1.3. Pernyataan Tesis
Prospek pemanfaatan mikroalgae sebagai bahan pangan sangat menjajikan
dalam pemenuhan suplai dan kualitas pangan 10 tahun mendatang. Hal ini
dikarenak masa tumbuh alha 6 kali lebih cepat dibandingkan tumbuhan kompleks
lainnya (ari, 2012). Selain itu alga dapat dijadikan pangan fungsional dengan
kandungan protein dan vitamin yang tinggi. Selain itu, nilai karbohidrat alga yang
tinggi menyebabkan alga lebih unggul dibandingkan dengan produk pangan
konvensional yang saat ini ada.
Dengan integrasi budidaya mikroalga dengan tanaman lainnya menyebabkan
tanah menjadi jauh lebih subur. Hal ini dikarenak mikroalga terutama mikroalga
coklat mempunyai kandungan nitrogen yang tinggi yang berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan tanaman (ari, 2017).
BAB II
ISI
2.1 Situasi dan Masalah yang Berkaitan Dengan Tema
Ketika berbicara masalah pangan tentunya tidak terlepas dari sektor
pertanian yang merupakan kebutuhan primer umat manusia di dunia. Sektor pangan
merupakan hal yang sangat penting sebagai pembahasan saat ini. persoalan krisis
pangan yang melanda dunia dan semakin bertambahnya populasi penduduk dunia
yang secara otomatis kebutuhan akan pangan juga semakin meningkat. Menurut
FAO-UN (2009) memperkirakan sekitar 1,02 milyar jiwa di seluruh dunia saat ini
sedang mengalami kekurangan pangan dan kelaparan. Bahkan, menurut UN
Population Fund (2000) memprediksi pada tahun 2050, akan ada tambahan sekitar
2,32 milyar jiwa yang tersebar di seluruh dunia yang harus dipenuhi kebutuhan
pangannya di bawah tekanan ancaman perubahan iklim yang semakin berat. Jumlah
ini bukannya berkurang melainkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara
lahan untuk kebutuhan pangan yang ada bukannya bertambah melainkan semakin
berkurang karena terus dialih fungsikan untuk dijadikan infrastruktur baik
perumahan maupun industri. Selain itu, untuk mendapatkan hasil pangan yang lebih
baik juga harus memperhatikan kualitas tanah, sedangkan beberapa hasil penelitian
yang telah dilakukan bahwa lahan yang ada khususnya di Indonesia mengalami
degradasi lahan sehingga menurunkan produktifitas pangan serta akibat
penggunaan pupuk anorganik sacara berlebihan di lahan pertanian menyebabkan
menurunnya kandungan bahan organik tanah, rentannya tanah terhadap erosi,
menurunnya permeabilitas tanah, menurunnya populasi mikroba tanah, dan
sebagainya. Lahan yang terus diolah menggunakan pupuk anorganik secara
berlebihan tanpa tindakan konservasi akan menjadi lebih cepat kering, lebih halus
(powdery), berstruktur buruk dan berkadar bahan organik tanah rendah yang akan
menyebabkan berkurangnya produktifitas lahan yang menyebabkan berkurangnya
pasokan pangan.
Gambaran situasi pangan dunia menunjukkan bahwa perkiraan produksi
2011/2010 dibandingkan dengan periode sebelumnya menurun 1,4 persen.
Demikian pula dengan stok pangan dunia cenderung menurun (FAO, Desember
2010). Sedangkan konsumsi naik akibat pertambahan penduduk dunia. Situasi ini
perlu menjadi perhatian semua negara guna mengantisipasi permasalahan krisis
pangan dunia,Guna membebaskan penduduk dunia dari kelaparan maka perlu
adanya peningkatan supply makanan dengan waktu yang singkat karena
diperkirakan biaya pangan yang tinggi akan memperlambat penurunan kemiskinan
global selama 7 tahun dalam meuwujudkan pencapaian Millennium Development
Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 untuk
menurunkan prevalensi kelaparan dan kemiskinan global.

2.2. Manfaat Pengembangan Mikroalga Dalam Meuwujudkan Ketahanan


Pangan
2.2.1 Mikroalga sebagai Pangan Fungsional
Mikroalga sebagai stok pangan sebenarnya sudah lama digunakan oleh
bangsa China. Mirkroalga yang digunakan umumnya adalah Arthospira, Nostoc,
dan Aphanizamenon lebih dari 2000 tahun yang lalu. Diketahui juga bawah bangsa
Aztec telah mengkonsumsi Spirulina pada abad 14- 16. Produksi mikroalga sebagai
stok pangan mulai digalakkan secara masiv ketika perang dunia kedua, di
mana Jepang, Amerika, dan Jerman waktu itu sedang menghadapi krisis. (Potvin &
Zhang, 2010).
Sampai saat ini mikroalga masih digunakan oleh masyarakat sebagai
sumber protein, vitamin, dan mineral, dan lebih dikenal sebagai pangan fungsional.
Dibandingkan dengan sumber lain seperti yeast maupun fungi, mikroalga memiliki
keunggulan di aspek keamanannya. Jika dibandingkan dengan protein bersel
tunggal yang bersumber dari mamalia, mikroalga lebih unggul di bidang efisiensi
dan kemudahan dalam produksinya.
Mikroalga yang sering dibudidayakan adalah alga hijau jenis Chlorella sp,
Scenedesmus obliqus, alga hijau kemerahanseperti Dunaliella Salina dan jenis
cyanobacteria Spirulina sp. Chlorella sp sebagai contoh berbentuk spherical,
eukariotik, uniseluler dengan diameter 5-10 mikrometer. Scenedesmus hampir
sama dengan Chlorella namun terdiri dari 4 koloni sel.
Mikroalga sebagai sumber protein maupun sebagai sumber pangan telah
lama diketahui, dan berdasarkan informasi serta penelitian para ahli, mikroalga
yang berbasis pangan tidak memberi efek negatif bagi tubuh meski dikonsumsi
secara rutin dalam jangka waktu lama maupun singkat.
Dalam hubungannya dengan pangan fungsional, mikroalga dapat
dimasukkan dalam klasifikasi ini mengingat mikroalga dapat berfungsi sebagai
penyedia sumber protein, karbohidrat, dan lemak alami yang bermanfaat dalam
penyediaan energi dalam tubuh. Namun lebih jauh lagi, mikroalga juga mampu
berfungsi sebagai sumber vitamin, dan bahkan memberikan efek penyembuh dan
detoksifikasi dalam tubuh.
Beberapa mikroalga bahkan digunakan sebagai sumber obat obatan, dan
dimanfaatkan dalam industri farmasi. Dalam beberapa tahun belakangan, beberapa
industry farmasi telah banyak memanfaatkan mikroalga berbasis farmasi untuk
keperluan tertentu. Sebagai contoh adalah mikrolaga jenis Isochrysis galbana dapat
digunakan sebagai sumber bioaktif untuk penyembuhan penyakit tuberkolosis
(Prakash & Bhimba, 2004). Mikroalga sebagai sumber vitamin juga dapat
diaplikasikan dalam skala besar. Dunaliella salina adalah mikroalga merah yang
memiliki kandungan beta karotin yang tinggi. beta karotin digunakan sebagai obat
peredam nyeri kangker payudara, sebagai obat mata, pencegah penyakit kulit yang
mudah iritasi bila terkena sinar matahari, sebagai pencegah penyakit bronkitis,
peredam nyeri ketika melahirkan dan sebagainya.
2.2.2 Mikroalga sebagai Sumber Protein
Dalam kurun dekade belakangan ini mikroalga dapat dijumpai di pasaran
dalam bentuk tablet, kapsul, minuman kaleng, permen, dan dicampur dalam pangan
lain untuk meningkatkan nilai nutrisi dan rasanya. Mikroalga yang sering dijumpai
adalah dari jenis Arthosphira, Chlorella, D. salina, dan A, phanizomenon flos-
aquae.

Tabel 2 menunjukkan perbandingan kadar protein, karbohidrat dan lipid dari


mikroalga yang diproduksi komersial dibanding sumber makanan lain. S. platensis
(Arthospira) merupakan mikroalga dengan protein tertinggi dibanding sumber lain.
Arthospira, atau yang sering disebut sebagai Spirulina, digunakan sebagai pangan
karena nilai nutrisi dari proteinnya yang cukup tinggi. Lebih jauh lagi, mikroalga
ini memiliki senyawa yang dapat menyehatkan tubuh. Diantaranya adalah:
mengurangi risiko hiperlipidemia, hipertensi, menjaga dari penyakit gagal ginjal,
meningkatkan kinerja lactobasilus dalam tubuh. Salah satu produsen Arthospira
terbesar di dunia adalah Hainan Simai Enterprising yang terletak di provinsi Hainan
di China dengan produksi 200 ton bubuk Spirulina. Produksi ini hampir mencapai
10% dari pasar Spirulina di dunia. Sedangkan plant terbesar Arthospira terletak di
Calipatria, Amerika, dengan area produksi 440,000 m 2.
Produksi mikroalga sebagai pangan terbesar lainnya adalah dari jenis
Chlorella dengan lebih dari 70 produsen di dunia. Chlorella digunakan sebagai
sumber pangan karena kaya akan protein, selain itu juga dapat digunakan sebagai
senyawa aditif. Salah satu produsen Chlorella terbesar adalah Taiwan Chlorella
Manufacturing and Co, dengan produk 400 ton biomas kering per tahun. Produsen
besar lainnya adalah Klotze, Jerman, dengan produksi antara 130-150 ton per tahun
menggunakan system pembiakan photobioreaktor.
2.2.3 Mikroalga sebagai Sumber Vitamin
Selain menjanjikan sebagai sumber pangan, mikroalga juga dapat
digunakan sebagai sumber vitamin yang baik digunakan sebagai asupan tambahan
yang diperlukan oleh tubuh. Salah satu mikroalga yang dapat mensintesis senyawa
alami menjadi sumber vitamin adalah jenis Spirulina, Nanochloropsis, Chlorella,
dan beberapa jenis mikroalga lainnya.

Berdasarkan penelitian Durmaz, (2007), Nanochloropsis dapat


dimanfaatkan sebagai sumber vitamin E dengan memodifikasi kondisi
pertumbuhannya. Nanochlorpsis oculata adalah mikroalga air laut uniseluer dari
kelas Eustigmato phycae. Mikroalga lain seperti Spirulina juga dapat menyediakan
vitamin B12. Perbandingan kandungan vitamin pada mikroalga dan sumber lain
tersaji pada Tabel 3.
2.2.4 Mikroalga sebagai Pangan Fungsional Nasional
Indonesia merupakan negara tropis yang dilalui garis khatulistiwa dan
hanya memiliki dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Kondisi ini
membuat tanaman fotosintesis, termasuk mikroalga, dapat tumbuh subur karena
mendapat sinar mathari yang cukup, yakni rata-rata 12 jam per hari untuk area.
Selain itu potensi laut yang ada di Indonesia membuat potensi mikroalga ini
menjadi semakin besar jika dibudidayakan di sekitar daerah pantai. Batten et al.
(2011) menjabarkan bahwa Indonesia merupakan negara ketiga di anggota APEC
yang memiliki potensi cukup besar dalam produksi mikroalga. Dalam laporannya,
Van Harmelen dan Oonk (2006) memaparkan bahwa wilayah negara dengan suhu
di atas 150C cenderung merupakan negara yang cocok digunakan untuk produksi
mikroalga (Gambar 1).

Lebih lanjut lagi, Wargadalam (2011) juga menjelaskan bahwa kondisi


cuaca Indonesia cukup baik untuk berkembang biak mikroalga air laut, meliputi
suhu, salinitas, intensitas cahaya, pasokan air, durasi pencahayaan, dan pH air.
Sehingga jika produksi mikroalga air laut penghasil protein dan vitamin ini bisa
dieksplore lebih lanjut, maka akan berpotensi memenuhi kebutuhan gizi dalam
negeri.
Mikroalga memiliki waktu panen yang cukup cepat jika dibandingkan dengan
tanaman lain. Berdasarkan Tabel 4, produktivitas dan kandungan protein dari
Spirulina platensis cenderung tinggi dibanding komoditas lain. Namun demikian,
masih diperlukan peran serta pemerintah dan swasta untuk memproduksi mikroalga
untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Minimnya data mengenai kebutuhan
konsumsi dalam negeri, serta minimnya informasi mengenai produk mikroalga
sebagai pangan fungsional merupakan beberapa kendala produk tersebut cenderung
tidak banyak dieksplore di dalam negeri. Sehingga selama ini kebutuhan mikroalga
cenderung dipasok dari beberapa negara lain. Beberapa negara yang aktif
memproduksi Spirulina platensis yakni Jepang, Tiongkok, Thailand, dan Taiwan
(Avigad & Richmond, 1988).

Dilihat pada biaya operasi (Tabel 5), mikroalga rata-rata masih cenderung
mahal sehingga masih diperlukan kajian lebih jauh jika mikroalga tersebut
diinginkan sebagai komoditas utama dalam penehan kebutuhan sehari-hari. Avigad
dan Richmond (1988) berpendapat bahwa dengan range biaya produksi 2-3$ /kg,
maka Spirulina platensis dapat digunakan sebagai komoditas utama dalam
pemenuhan gizi sehari-hari.

2.2.5 Jenis – Jenis Mikroalga Potensial


Menurut Riedel (2008), Nannochloropsis sp. selain memiliki kandungan
protein, karbohidrat, dan lemak yang tinggi, juga mengandung asam lemak EPA
(Eicosapentaenoic Acid) hingga 31,42% dan ARA/AA (Arachidonic Acid) 3,94%.
Selain itu, Pavlova juga kaya dengan asam lemak EPA dan DHA (Docosahexaenoic
Acid), sedangkan Isochrysis sp kaya dengan DHA. Di samping dapat dimanfaatkan
sebagai sumber pangan, spesies-spesies tersebut dapat juga dimanfaatkan sebagai
bahan fortifikasi bahan pangan yang sudah ada, sehingga memiliki kandungan gizi
yang lebih baik. Pada Tabel 6 dan Tabel 7 dapat dilihat kandungan nutrisi beberapa
jenis mikroalgae yang dapat dikembangkan sebagai sumber pangan. Pada Tabel 8
juga dapat dilihat perbandingan komposisi beberapa bahan pangan yang
dikonsumsi masyarakat dengan beberapa spesies mikroalgae (Spolaore, 2006).
Mikroalgae sudah dapat dikultur dalam skala massal. Karena media
hidupnya adalah air, maka untuk mengembangkan kultur mikroalgae tidak perlu
dikhawatirkan masalah ketersediaan media karena Indonesia memiliki sumberdaya
air yang sangat berlimpah, baik air tawar maupun air laut.

Tabel 6. Kandungan Nutrisi Beberapa Spesies Mikroalga (% bobot basah)

Tabel 7. Profil Nutrisi Beberapa Mikroalgae ( % Bobot Kering)


Tabel 8. Perbandingan Komposisi Beberapa Bahan Pangan dengan
Mikroalga

2.3 Mikroalga Sebagai Pupuk Organik


Ganggang (Sargassum polycystum) tampaknya menjadi bahan yang
memungkinkan untuk dijadikan pupuk organik. Selain karena ketersediaannya yang
cukup melimpah di garis pantai Indonesia yang sangat panjang, ganggang yang
telah dijadikan kompos dapat meningkatkan kesuburan tanah. (Eyras, dkk, 1998).
Sargasum polycystum memiliki kandungan hara yang sangat tinggi yaitu kadar
kandungan hara N sekitar 16,1 g/kg bobot kering, hara P sekitar 0,48 g/kg bobot
kering, hara K sekitar 39,3 g/kg bobot kering serta kandungan Ca dan Mg yang
masing – masing sekitar 3,15 dan 0,35 g/100g bobot kering (Mageswaran dan
Sivasubramaniam, 1984). Hasil penelitian Siregar (2014) menyatakan aplikasi
kompos ganggang mampu meningkatkan pH, C-organik, N-total, Ktukar, serta
meningkatkan tinggi, bobot segar dan kering tanaman.
Timbul suatu pemikiran untuk mengaplikasikan pupuk anorganik dalam
proses pengomposan. Tetapi belum dapat dibuktikan bahwa perlakuan tersebut
dapat meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk. Namun menurut pendapat
Rosmarkam dan Yuwono (2002) penambahan pupuk dalam pembuatan kompos
dapat mempercepat proses pembuatan dan meningkatkan kualitas kompos
(peningkatan kandungan hara).
Selain penambahan pupuk organik, perlu diketahui juga bahwa kebutuhan
tanaman akan unsur hara dalam tiap fase pertumbuhannya adalah berbeda. Hal ini
dapat dilihat dari penelitian Subekti, dkk (2010) pada masa tasseling (berbunga
jantan) atau pada awal masa generatif dihasilkan biomassa maksimum dari bagian
vegetatif tanaman jagung, yaitu sekitar 50% dari total bobot kering tanaman,
penyerapan N, P, dan K oleh tanaman masing-masing 60-70%, 50%, dan 80-90%.
Sedangkan pada fase matang fisologis penyerapan N, P dan K mencapai 100%. Ini
menunjukkan bahwa kebutuhan hara tanaman berbeda-beda pada tiap fase
pertumbuhannya. Pada awal pertumbuhan tanaman jagung membutuhkan unsur
nitrogen dalam jumlah yang banyak untuk ditujukan ke pertumbuhan vegetatif
awal. Dari hasil percobaan penelitian Saragih, dkk (2013) diketahui bahwa aplikasi
urea 3 kali (2 kali saat awal vegetatif dan 1 kali saat awal generatif) memberikan
hasil lebih baik daripada 2 kali (1 kali saat awal vegetatif dan 1 kali saat awal
generatif) dengan jumlah dosis yang sama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mikroalgae merupakan sumber pangan alternative dengan kandungan nutrisi yang
sangat tinggi dan kompleks. Beberapa keuntungan yang diperoleh dalam
mengkonsumsi mikroalgae sebagai bahan makanan antara lain:
 Mengkonsumsi mikroalgae dalam jumlah (volume) relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah makanan yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat pada umumnya sudah dapat mencukupi jumlah asupan gizi
yang dibutuhkan oleh tubuh.
 Mikroalgae merupakan produk nabati yang mengandung nilai gizi yang
sangat tinggi, sehingga dapat mencegah dan mengobati berbagai penyakit
yang disebabkan karena kekurangan asupan gizi.
 Beberapa mikroalgae memiliki kandungan zat-zat tertentu yang bermanfaat
dalam penyembuhan berbagai penyakit degeneratif yang diantaranya
disebabkan oleh perubahan lingkungan yang dipicu oleh perubahan iklim
global
 Mikroalga juga baik digunakan sebagai pupuk dalam menyuburkan tanah

3.2 Saran
Mikroalga sebagai potensi sumber ketahanan pangan nasional hendaknya
terus digaungkan guna meningkatkan kebutuhan gizi dalam negeri. Trend di masa
depan tentang mikroalga di Indonesia diramalkan akan terus cerah mengingat
produk tersebut masih diperlukan untuk kebutuhan suplemen bagi kondumen
dengan penghasilan di atas rata-rata. Saat ini harga curah untuk Spirulina platensis
berkisar Rp.200.000-350.000/kg untuk produk impor. Untuk itu diperlukan langkah
khusus dalam menurunkan biaya produksi mikroalga food grade tersebut agar harga
menjadi lebih murah dan dapat dikonsumsi masyarakat umum.
Melihat kawasan Indonesia yang memiliki garis pantai yang besar,
dimungkinkan akan banyak industri mikroalga yang tumbuh di sepanjang pantai
atau daerah dengan lahan tandus yang tak mungkin ditanami tumbuhan produktif,
untuk dijadikan kolam budidaya mikroalga, seperti di daerah Gunung Kidul, D.I
Yogyakarta. Atau dimungkinkan produk suatu mikroalga food grade akan memiliki
jenis spesifikasi pigmen tertentu seperti kaya phycocyanin, atau lebih banyak
mengandung klorofil mengingat kondisi lingkungan dan tempat budidaya yang
berbeda-beda.
Prospek di masa depan, produk mikroalga sebagai pangan fungsional di
dalam negeri akan terus berkembang tidak hanya dalam bentuk serbuk, tablet, atau
kapsul. Namun produk tersebut akan berevolusi menjadi produk pangan inovatif
seperti mikroalga yang dicampur dalam mie instan, permen coklat, dan komoditas
utama lain untuk meningkatkan nilai gizi dalam kehidupan di masyarakat.
Saat ini teknologi produksi maupun pengolahan mikroalgae masih terbatas,
sehingga perlu dikembangkan lagi melalui berbagai inovasi agar lebih kompetitif
terhadap bahan pangan pada umumnya, dan secara ekonomis lebih dapat diterima
masyarakat. Dengan demikian potensi mikroalgae yang sangat besar yang terdapat
di seluruh perairan Indonesia dapat termanfaatkan dengan baik untuk memperbaiki
kondisi gizi dan kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2008. Opinion On A Request For The Use Of Algal Beta-Carotene As A Food Colour.
http:// ec.europa.eu/food/fs/sc/oldcomm7/out04_en.html. Diakses tanggal 13 Juni 2008.
Ayehunie, S. et al. 1996. Inhibition of HIV-1 replication by an aqueous extract of Spirulina
(arthrospira platensis). IAAA Conference, Knysna, South Africa April 17, 1996. Bappenas.
2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006–2010.
Balder, H.F., Vogel, J., Jansen, M.C., Weijenberg, M.P., Van den Brandt, P.A., Westenbrink, S., Van
der Meer, R., dan Goldbohm, R.A., 2006, Heme and chlorophyll intake and risk of colorectal
cancer in the Netherlands cohort study. Cancer Epidemiology Biomarkers and Prevention. Vol
15:717-725.
Batten, D., Peter C., Greg T., 2011, Resource Potential of Algae for Sustainable Biodiesel production
in the APEC. Presentation at APEC Workshop on Algal Biofuels San Francisco
http://www.egnret.ewg.apec.org/workshops/AlgalBiof uels/David%20Batten.pdf (10 Juli
2014).
Becker E.W., 1994., Oil production. In: Baddiley, et al., editors. Microalgaee: biotechnology and
microbiology. Cambridge University Press Becker, E.W., 2007, Micro-algae as source of
protein. Biotechnology Advances .Vol. 25:207-210.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. 88 hlm. Danielo, O. 2005. An Algae-based
Fuel. Biofutur No. 255. 4 pp. Hallmann, A. 2007. Algal Transgenics and Biotechnology.
Transgenic Plant Journal. Global Science Books. Bielefeld, Germany, 1(1): 81-98.
Heierli, U. 2007. Sustainable Approaches to Combat Malnutrition. Employment and Income
Division of SDC, Swiss Agency for Development and Cooperation. India, 84 pp.
Isnansetyo, A. & Kurniastuty. 1995. Teknik kultur fitoplankton dan zooplankton. Pakan alami untuk
pembenihan organisme laut. Kanisius. Yogyakarta, 116 hlm.
Loseva, L.P. 1999. Spirulina platensis and specialties to support detoxifying pollutants and to
strengthen the immune system. 8th Int’l Congress of Applied Algology, Italy. Belarus.
Research Institute of Radiation Medicine, Minsk, Belarus. Italy.
Moerdiarta, R. and Stalker, P. 2007. Sisi Lain Perubahan Iklim. United Nations Development
Programme (UNDP) Indonesia. Keen Media Co.Ltd. Thailand.
Olguín, E.J., Hernández, B., Arus, A., Camacho, R., González, R., Ramírez, M.E., Galicia, S. and
Mercado, G., 1994, Simultaneous high-biomass protein production and nutrient removal
using Spirulina maxima in seawater supplemented with anaerobic effluents. World J.
Microbiol. Biotechnol., Vol. 10: 576–578.
Olson, J. A., Krinsky, N.I., 1995, Introduction. The colorful, fascinating world of the carotenoids:
Important physiologic modulators. FASEB J., Vol. 9:1547–1550.
Panggabean, L.M.G., 1998, Microalgaee: alternatif pangan dan bahan industri di masa mendatang.
Oseana, Vol. 23 (1): 19-26.
Potvin, G., Zhang, Z., 2010, Strategies for high level recombinant protein expression in transgenic
microalgaee: A review. Biotechnology Advance, Vol. 28: 910-918.
Prakash, S., Bhimba, B.V.,2004, Pharmaceutical development of novel microalgael comounds for
Mdr Mycobacterium tuberculosis. Natural product radiance, Vol. 4 (4): 264-269.
Rishi S., Munir C., 2001, Zein: the industrial protein from corn. Industrial Crops and Products,
Vol.13:171–192.
Shalaby, E.A., Shanab S.M.M., Singh, V., 2010, Salt stress enhancement of antioxidant and antiviral
efficiency of Spirulina platensis. J. Med. Plant Res. Vol. 4 (24): 2622-2632.
Sujatha, K., Nagarajan, P., 2013, Optimization of growth conditions for carotenoid production from
Spirulina platensis (Geitler). Int. J. Current Microbiol. App Sci, Vol. 2 (10): 325-328.
Riedel, A. 2008. Reed mariculture. http://www.reedmariculture.com. Spolaore et al. 2006.
Commercial Applications of Microalgae. Journal of Bioscience and Bioengineering, Volume
101, Issue 2, February 2006. The Society for Biotechnology, Japan. Elsevier B.V. p. 87-96.
Umesh, B.V. and S. Seshagiri. 1984. Phycotechnology Spirulina as Feed and Food. Monograph
Series on Engineering Photosynthetic Systems. 17: 38 pp.
Yonghuang, W. et al. 1994. The study on curative effect of zinc containing spirulina for zinc deficient
children. 5th Int’l Phycological Congress, Qingdao, June 1994. China Capital Medical College.
Beijing

Anda mungkin juga menyukai