Disusun Oleh:
Suci Handayani
1410070100031
Pembimbing:
Dr. Goldfried P. Sianturi, Sp.S
SMF NEUROLOGI
RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Nilai :
Dokter Pembimbing
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, akhirnya
penulis selesai menyusun jurnal ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Senior di bagian SMF Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan judul “Apraxia
Syndrome”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Goldfried P.
Sianturi Sp.s, dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan
paper ini dan semua staf pengajar di SMF Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan serta
teman-teman di kepaniteraan klinik.
Dalam penulisan tugas paper ini, penulis mengakui bahwasanya tulisan ini tidak
lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun, berkat bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak, sehingga dapat menyelesaikan tugas ini. Adanya berbagai buku
sebagai referensi sangat membantu dalam penyusunan paper ini.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, sehingga dapat memperbaiki
paper ini, semoga paper ini dapat bermanfaat untuk semua pihak. Akhir kata, saya
ucapkan Terimakasih.
Penulis
Suci Handayani
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Apraksia merupakan suatu kelainan neurologis yang berasal dari bahasa Yunani
yaitu “a” yaitu tidak dan “praxis” yang diartikan sebagai tindakan. Di masa lalu, apraxia
sering digolongkan sebagai jenis gangguan artikulasi dan sebagai salah satu dari dysarthria
pusat. Sekarang, apraksia digolongan menjadi bagian dari deficit perencanaan /
pemrograman motorik, yang mungkin terjadi tanpa adanya gangguan sensorik / motor atau
dari suatu kelumpuhan (Walsh & Darby, 1999).
Apraksia dicetuskan pertama kali pada tahun 1870-an oleh Huglings Jackson untuk
menunjukkan ketidakmampuan total beberapa pasien afasianya untuk melakukan
beberapa gerakan volunteer (misalnya protusi lidah), meskipun tidak terdapat kelemahan
yang bermakna dan masih memiliki kemampuan untuk menggerakkan bagian tubuh yang
sama secara otomatis atau involunteer (misalnya ketika menjilat bibir). Kemudian pada
awal abad ke-20, Lipmann mengelompokkan berbagai jenis apraksia secara sistematis.
Pada klasifikasinya yang tetap digunakan sampai saat ini yaitu apraksia ideasional dan
apraksia ideomotor, yang terutama mengenai sistem motorik dibedakan dari apraksia
kontruksional yang terutama mengenai system visuospatial.
Ada beberapa jenis apraksia, yang mungkin terjadi sendiri maupun bersama-sama.
Apraxia secara umum dapat dilihat sebagai gangguan motorik untuk melaksanakan tujuan
gerakan oleh seorang individu yang memiliki keterampilan motorik primer normal
(strengh, refleks, koordinasi) dan sikap normal yang sewajarnya dapat dilakukan ( tidak
agnosia, tidak terjadi gangguan intelektual umum) (Hecan & amp; Albert, 1986).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Apraksia terjadi akibat disfungsi belahan otak otak, terutama lobus parietal, dan
dapat timbul dari banyak penyakit atau kerusakan pada otak Apraksia sering ditemukan
pada penyakit stroke, demensia Alzheimer dan berbagai penyakit lainnya pada serebri.
(NINDS,2018).
2.2 Anatomi
Ketika anda berpikir, melihat, bernapas, dan melakukan segala sesuatu sepanjang
hari anda menggunakan sistem saraf pusat. Sistem saraf pusat adalah sistem tubuh yang
menerima dan memproses semua informasi dari seluruh bagian tubuh. Ini terdiri dari otak,
sumsum tulang belakang, dan neuron. Hal ini bisa dibilang sistem yang paling penting dari
tubuh.
Cerebrum dibagi oleh suatu celah yang dalam, fisura serebri longitudinal, menjadi
hemisferkiri dan kanan, dimana setiap hemisfer ini berisi satu ventrikel lateral. Di otak
bagian dalam, hemisfer dihubungkan oleh massa substansi albikan (serat saraf) yang
disebut korpus kalosum (corpus callosum). Bagian superfisial cerebrum terdiri atas badan
4
sel syaraf atau substansi grisea, yang membentuk korteks serebri,dan lapisan dalam yang
terdiri atas serat syaraf atau substansi albikan.
Secara umum, belahan belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan
orak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan
kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional.
Gambar 1. Cerebrum
Cerebrum dibagi menjadi 4 bagian yang disebut lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut
girus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Ke-4 lobus tersebut yaitu :
Lobus Frontal
Lobus frontal adalah rumah bagi pemikiran kognitif , dan itu adalah proses yang
menentukan dan membentuk kepribadian seorang individu. Pada manusia, lobus frontal
mencapai kematangan ketika individu adalah sekitar usia 25. Ini berarti bahwa pada saat
berusia 25 tahun, manusiatelah mencapai tingkat kematangan kognitif.
Lobus frontal terdiri dari bagian anterior (korteks prefrontal) dan bagian posterior, dan
dibagi dari lobus parietalis oleh sulkus sentral. Bagian anterior bertanggung jawab untuk
fungsi-fungsi kognitif yang lebih tinggi, dan bagian posterior terdiri dari daerah premotor dan
motorik, sehingga, yang mengatur gerakan sadar. Fungsi dari lobus frontal meliputi penalaran,
5
perencanaan, pengorganisasian pikiran, perilaku, dorongan seksual, emosi, pemecahan
masalah, menilai, bagian pengorganisasian berbicara, dan keterampilan motorik (gerakan).
Lobus parietal
Lobus parietalis terletak di belakang sulkus sentral, dan di atas lobus oksipital. Ia
memiliki empat batas anatomi, sulkus sentral, yang memisahkan lobus parietal dari lobus
frontal, sulkus parieto-oksipital yang memisahkan parietal dan oksipital lobus, sulkus lateralis
yang memisahkan parietal dari lobus temporal, dan fisura membujur medialis yang membagi
dua belahan (kanan dan kiri). Lobus parietal bertanggung jawab untuk mengintegrasikan
informasi sensorik dari berbagai bagian tubuh. Saraf optik melewati lobus parietalis ke lobus
oksipital. Fungsi dari lobus parietalis meliputi pengolahan informasi, gerakan, orientasi spasial,
pidato, persepsi visual, pengakuan, persepsi rangsangan, rasa sakit dan sensasi sentuhan, dan
kognisi.
Lobus oksipital
Kecil dari segala jenis keempat lobus, lobus oksipital terletak di bagian paling belakang
tengkorak. Hal ini terletak di tentorium cerebelli, yang memisahkan otak dari otak kecil. Lobus
ini bertanggung jawab untuk sistem persepsi visual, karena mengandung korteks visual primer.
Fungsi dari lobus oksipital termasuk penerimaan visual, pemrosesan visual-spasial, gerakan,
dan pengenalan warna. Gangguan pada lobus oksipital dapat menyebabkan ilusi visual.
Lobus Temporal
Ada dua lobus temporal, setiap yang terletak di setiap sisi otak, kiri dan kanan, pada
sekitar setinggi telinga. Lobus temporal berisi korteks pendengaran primer, sehingga,
bertanggung jawab atas semua proses pendengaran. Ini lobus juga mengandung hippocampus,
yang bertanggung jawab untuk pembentukan memori jangka panjang dan memilah informasi
baru. Lobus kanan dan lobus kiri kontrol memori visual dan memori verbal masing-masing.
Dengan demikian, lobus temporal yang terlibat dengan pendengaran, bicara dan memori.
6
2.3 Etiologi
Apraxia adalah sindrom yang mencerminkan disfungsi sistem motorik pada tingkat
kortikal, tidak termasuk korteks motorik primer. Beberapa penyakit melibatkan gangguan
ini yaitu termasuk stroke, demensia dan tumor sehingga hal ini dapat menyebabkan
hilangnya pengetahuan tentang cara melakukan gerakan terampil.
Apraxia juga dapat terjadi dengan lesi di lokasi lain. Informasi yang terkandung
dalam representasi praksis ditranskodekan ke dalam pola persarafan oleh korteks
premotor, informasi tersebut kemudian ditransmisikan ke korteks motorik primer, dan
dilakukan gerakan. Lesi pada korteks premotor dapat menyebabkan apraksia; dalam hal
ini, pengetahuan tentang gerakan masih ada, tetapi kemampuan untuk melakukan gerakan
tidak ada.
Apraksia memiliki berbagai macam tipe, namun pada saat ini hanya digunakan tiga
macam apraksia yaitu apraksia ideomotor, apraksia ideosional dan apraksia
konstruktional.
A. Ideomotor Apraksia
Apraksia ini merupakan tipe apraksia yang paling sering dijumpai dan lebih jelas
dimengerti gangguannya. Pada apraksia ini terjadi ketidakmampuan mengubah sebuah ide
menjadi suatu aksi.
Apraksia ini dapat terjadi akibat adanya lesi hemisfer dominan-bahasa (kiri), baik di
area asosiasi motorik atau pada serabut asosiasi dan komisural yang mempersarafi atau
menghubungkannya. Temuan klinis yang khas adalah pengabaian, atau terminasi
premature komponen individual rangkaian gerakan. Masing-masing komponen juga dapat
diulang-ulang (perseferasi motorik) sehingga gerakan tersebut dimulai pada waktu yang
tidak sesuai dan dengan demikian menghambat atau mengganggu rangkaian gerakan
lainnya.
Pasien dengan apraksia motorik dapat memiliki lesi dilobus parietalis sehingga
pasien tidak dapat menirukan gerakan pemeriksa secara tepat (misalnya : gerakan hormat).
Pasien-pasien tersebut umumnya masih dapat menirukan ekspresi wajah, sedangkan
7
pasien dengan lesi lobus frontalis kiri dapat menirukan gerakan lengan yang kompleks
tetapi tidak ekspresi wajah.
Pengujian apraksia ideomotor dapat dilakukan di samping tempat tidur dengan tes
sederhana untuk kemampuan menggunakan alat. Pemeriksa meminta pasien untuk
melakukan 3 pantomim kegiatan. Penulis artikel ini meminta pasien untuk pantomim
memalu paku ke dinding (imajiner) di depan mereka, memasang sekrup ke dinding, dan
menggunakan gunting untuk memotong selembar kertas. Namun, hal lainnya juga dapat
dilakukan, termasuk menyikat gigi, memotong dengan gergaji, mencambuk telur dengan
pengocok telur, atau mengupas kentang.
Respons yang sehat terhadap perintah-perintah ini adalah melakukan gerakan yang
jernih dan terencana dengan baik. Pasien harus melakukan gerakan dengan orientasi
tangan dengan benar untuk memegang alat imajiner, dengan alat diadakan pada orientasi
yang benar dan jarak dari target (misalnya, dinding, sekrup, atau selembar kertas), dan
dengan gerakan yang dilakukan sedemikian rupa. cara tindakan itu dicapai. Dengan kata
lain, penulis ingin melihat suatu tindakan yang akan berhasil memotong selembar kertas,
seolah-olah gunting dan kertas benar-benar ada.
Segala jenis kesalahan dalam melakukan kegiatan di atas (dengan tidak adanya
afasia atau kurangnya pemahaman tentang perintah atau tanpa adanya defisit motorik)
menyiratkan hilangnya pengetahuan tentang gerakan yang akan dilakukan. Jika tangan
tidak diarahkan untuk memegang alat dengan benar, jika tindakan dilakukan di bidang
yang salah, jika target (misalnya, dinding) tidak terletak dengan benar, atau jika gerakan
dilakukan dengan tidak benar, respons akan dinilai sebagai kesalahan.
B. Idesional apraksia
Jenis apraksia ini lebih komplek dari pada ideomotorik, namun apraksia tipe ini
jarang ditemui. Pada apraksia ini, lesi di temporoparietal hemisfer dominan merusak
perencanaan dan inisiasi aktivitas motorik yang kompleks. Pasien tidak dapat melakukan
serangkaian langkah-langkah atau mungkin tetap dapat melakukannya namun tidak
memahami makna atau tujuan gerakan tersebut. Misalnya, pasien tidak bisa diminta
melipat surat dan menempatkannya ke dalam amplop lalu menulis alamat pada amplop
tersebut dan menempel perangko.
8
C. Konstruksional apraksia
Pada penderita dengan lesi parietral kanan akan kesulitan dalam menggambar jam (
clock drawing tes/ CDT) oleh karena hemisfer kanan memiliki kecenderungan
mengabaikan sisi kiri sehingga angka pada jam terkumpul pada sisi kanan.
D. Dressing apraksia
Lokasi lesi hampir selalu pada lobus parientalis kanan yang mendapat pasokan darah
dari arteri serebri media kanan, meskipun dalam penelitian hier dan kawan- kawan
9
mendapatkan bisa akibat neglect kedua sisi disertai devisit visuospatial dan
visuokontruksional.
E. Gait apraksia
F. Verbal apraksia
Ada dua jenis utama apraksia verbal : apraksia verbal yang didapat dan apraksia
verbal pada anak-anak (Kent, 2000). Apraksia verbal didapat terjadi pada pasien dengan
segala usia berapapun, walaupun hal ini terjadi terutama pada orang dewasa yang
sebelumnya disebabkan oleh stroke, cedera kepala, tumor dll. : apraksia verbal didapat
dapat terjadi bersama dengan disartria ( kelemahan otot yang mempengaruhi untuk
berbicara ) atau afasia ( kesulitan berbahasa yang disebabkan oleh kerusakan pada sistem
saraf). Apraksia verbal dapatan umumnya dianggap sebagai akibat dari kerusakan pusat
otak (terutama serebral) yang mengganggu proses perencanaan gerakan bicara sambil
mempertahankan kondisi bicara normal, kecepatan, dan koordinasi otot-otot bicara
(Duffy, 1995).
10
penelitian juga menunjukkan adanya hubungan bahwa faktor genetik mungkin dapat
menjadi salah satu faktor.
Pada prinsipnya apraksia verbal adalah akibat adanya lesi di lobus frontal inferior
atau ketiga dari belahan yang dominan ( daerah broca ). Afasia broca dan apraksia sering
berkaitan. Menurut McNeill & Kent, 1990 (Duffy, 1995), dalam sebuah studi dikatakan
bahwa apraksia verbal meru[akan salah satu faktor integral dari sindrom afasia broca
namun banyak peneliti yang tidak setuju. Banyak studi terbaru berpendapat bahwa lesi
bertanggung jawab untuk apraksia verbal mungkin cukup diskritif, misalnya Dronkers
(1996) melaporkan bahwa pasien dengan stroke dan gangguan deficit artikulasi (seperti
apraksia verbal) memiliki lesi yang terdapat pada wilayah girus precentral kiri dari insula.
G. Apraksia bucofasial
Apraksia Buccofacial menyiratkan proses dan lesi yang sangat berbeda. Tidak
seperti apraksia ekstremitas, di mana pasien tidak dapat melakukan gerakan terampil
dengan ekstremitas, pada apraksia bucofasial (juga disebut apraksia oral), pasien tidak
dapat melakukan tindakan terampil yang melibatkan bibir, mulut, dan lidah, meskipun
tidak ada paresis.
Pada apraxia buccofacial, lesi biasanya di atau dekat daerah 44 (yaitu, daerah Broca).
Untuk menguji apraksia buccofacial, pasien harus diminta untuk melakukan tugas dengan
mulutnya, seperti meniup korek api, mencium, atau menyikat giginya.
Pada apraksia ini terjadi ketidakmampuan untuk melakukan perintah berupa gerakan
kompleks yang melibatkan bibir, mulut, muka, tanpa ada kelemahan dari bibir, mulut, dan
muka.
11
C. Apraksia konstruksional: Keterampilan visuospasial terganggu. Tidak bisa
menggambar bangun ruang (1,2, atau 3 dimensi). Test pemeriksaan sederhana:
gambar segiempat, menggambar 2/3 dimensi, ex: rumah dengan atap dan
cerobong asap.
D. Dressing apraksia: Dites dengan cara memakai baju Tampak ada bagian
tubuh yang tidak tertutupi baju. Tali sepatu tidak tertali dengan baik.
E. Apraksia buccofasial: Tidak mampu mengerjakan perintah yang melibatkan
area buccofacial. Gerakan spontan (+). Tes: bersiul, batuk, mengeluarkan lidah,
mengerutkan bibir.
CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari
berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak. Tujuan utama penggunaan ct scan
adalah untuk pemeriksaan seluruh organ tubuh, seperti sususan saraf pusat, otot dan tulang,
tenggorokan, rongga perut.
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk memperjelas adanya dugaan yang kuat suatu
kelainan,yaitu, gambaran lesi dari tumor, hematoma, abses serta perubahan vaskuler
(malformasi), dsb.
MRI adalah sebuah metode pemeriksaan diagnoatik yang mulai digunakan sejak
tahun 1980. gambar yang dihasilkan juga merupakan hasil rekonstruksi komputer. Namun
berbeda dengan CT-Scan MRI tidak menggunakan radiasi ion melainkan menggunakan
medan magnet dan radiofrekuensi.
MRI merupakan studi pilihan bagi evaluasi pada sebagian besar lesi pada otak dan
spinal. MRI melakukan scan terhadap nukleus hidrogen yang merupakan atom terbanyak
ditubuh manusia.
12
2.6 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya jika apraxia adalah gejala kelainan yang mendasarinya, penyakit
atau kondisi itu harus diobati. Terapi fisik dan pekerjaan mungkin bermanfaat bagi pasien
stroke dan cedera kepala. Tetapi, jika apraxia adalah gejala dari gangguan neurologis lain,
kondisi yang mendasarinya harus diobati. Dalam beberapa kasus, anak-anak dengan
apraksia dapat belajar untuk mengkompensasi defisit ketika mereka tumbuh dewasa
dengan bantuan pendidikan khusus dan program terapi fisik.
1. Non Farmakologis
Rehabilitasi
Terapi fisik dan latihan adalah penting sebagai bagian dari penilaian dan perawatan
pasien. Namun, pasien mungkin tidak meminta terapi seperti itu, karena terkadang
mungkin tidak menyadari gangguan yang terjadi.
Terapi okupasi
Jika perlu, harus dipertimbangkan untuk membantu pasien dalam menggunakan
anggota tubuh yang terkena dampak dan dalam mencapai kemandirian maksimum.
Terapi fisik
Cocok untuk pasien dengan penyakit yang dianggap berisiko tinggi untuk jatuh.
Terapi semacam itu bermanfaat tidak hanya untuk memberikan pasien dengan pelatihan
atau latihan yang dirancang untuk meningkatkan keselamatannya tetapi juga untuk
memodifikasi lingkungan individu, untuk menyediakan alat bantu, dan untuk mengajar
pengasuh.
- Terapi wicara
Terapi wicara dan pendidikan khusus mungkin sangat membantu dalam merawat
pasien dengan apraksia perkembangan bicara. Pasien dengan apraxia of speech (DAS)
pada masa kanak-kanak berisiko mengalami gangguan membaca dan ejaan yang persisten
di samping kesulitan komunikasi lisan mereka. Manfaat potensial telah ditunjukkan dalam
pendekatan terpadu yang melibatkan peningkatan kemampuan bicara, kesadaran
fonologis, dan kemampuan dekode secara simultan. Namun, review database Cochrane
oleh Morgan dan Vogel menunjukkan kurangnya studi pengobatan yang terkontrol dengan
baik yang membahas kemanjuran terapi untuk DAS.
13
2. Terapi Farmakologis
Obat-obatan tidak diketahui efektif untuk pengobatan apraksia.
Pengobatan apraksia biasanya diberikan untuk penyakit utama yang dapat
menyebabkan apraksia, seperti stroke, demensia, tumor, dll sebagai berikut :
1. Anti spasmoid : baclofen, tizanidine, dll
2. Inhibitor kolinesterase : donepezil, galantamine, dll
3. Anti Parkinson : levodopa
4. Anti Trombotik : aspirin
5. Anti Koagulan : heparin, warfarin
2.6 Prognosis
Prognosis dari apraksia tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Secara
umum, pasien dengan apraksia menjadi tergantung pada aktivitas hidup sehari-hari mereka
dan membutuhkan pengawasan dan perawatan keperawatan yang terampil mungkin
diperlukan.
14
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Apraksia merupakan suatu gejala atau efek dari suatu penyakit yang disebabkan oleh
karena adanya lesi pada otak seperti adanya kejadian stroke, demensia, tumor, dsb.
Apraksia ada berbagai macam tetapi yang masi digunakan sampai saat ini hanyalah tiga
macam yaitu ideomotor apraksia, ideosional apraksia dan konstruksional apraksia. Dimana dari
berbagai macam apraksia, memiliki cara analisis pemeriksaan yang berbeda-beda sesuai
dengan jenis apraksianya dan letak lesi.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Duffy, J.R. (1995). Motor speech disorders: Substrates, differential diagnosis, and
management‟. St. Louis: Mosby-Year Book.
3. Heilman K. M., Meador K. J., & Loring D.W. (2000), „Hemispheric asymmetries of limb-
kinetic apraxia: A loss of deftness‟, Neurology:55:523-526.
4. Kent, R. D., (2000) „Research on speech motor control and its disorders: A review and
prospective‟ Journal of Communication Disorders, Volume 33: 5:391- 428.
5. Klob B., Whinshaw I.Q. (1996) „Fundamentals of Neuropsychology‟, W.H. Freeman &
Company, New York.
7. NINDS, (2018): National Institute of Neurological Disorders and Stroke Home Page:
http://accessible.ninds.nih.gov/disorders/apraxia/apraxia.htm retrieved: April 16th 2pm.
9. Yoss, K.A., & Darley, F.L. (1974). „Developmental apraxia of speech in children with
defective articulation‟. Journal of Speech & Hearing Research,17, 399–416.
16