Anda di halaman 1dari 18

“APRAKSIA SYNDROME”

Jurnal ini dibuat untuk Melengkapi Persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior


di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Pirngadi Medan

Disusun Oleh:

Suci Handayani
1410070100031

Pembimbing:
Dr. Goldfried P. Sianturi, Sp.S

SMF NEUROLOGI
RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Goldfried P. Sianturi, Sp. S


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, akhirnya
penulis selesai menyusun jurnal ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Senior di bagian SMF Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan judul “Apraxia
Syndrome”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Goldfried P.
Sianturi Sp.s, dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan
paper ini dan semua staf pengajar di SMF Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan serta
teman-teman di kepaniteraan klinik.
Dalam penulisan tugas paper ini, penulis mengakui bahwasanya tulisan ini tidak
lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun, berkat bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak, sehingga dapat menyelesaikan tugas ini. Adanya berbagai buku
sebagai referensi sangat membantu dalam penyusunan paper ini.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, sehingga dapat memperbaiki
paper ini, semoga paper ini dapat bermanfaat untuk semua pihak. Akhir kata, saya
ucapkan Terimakasih.

Medan, 31 Desember 2018

Penulis

Suci Handayani

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I ......................................................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang ................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB II ........................................................................ Error! Bookmark not defined.
2.1 Definisi ............................................................. Error! Bookmark not defined.
2.2 Klasifikasi ........................................................ Error! Bookmark not defined.
2.3 Anatomi ............................................................ Error! Bookmark not defined.
2.4 Patofisiologi ..................................................... Error! Bookmark not defined.
2.5 Manifestasi Klinis ............................................ Error! Bookmark not defined.
2.6 Kriteria Diagnosis ............................................ Error! Bookmark not defined.
2.6.1 Sindrom radikular segmen servikal ........... Error! Bookmark not defined.
2.6.2 Sindrom Radikular Segmen Lumbalis ...... Error! Bookmark not defined.
2.7 Pemeriksaan Penunjang ................................... Error! Bookmark not defined.
2.8 Penatalaksanaan ............................................... Error! Bookmark not defined.
2.9 Prognosis .......................................................... Error! Bookmark not defined.
2.10 Pencegahan ..................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB III ...................................................................... Error! Bookmark not defined.
3.1 Kesimpulan ...................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apraksia merupakan suatu kelainan neurologis yang berasal dari bahasa Yunani
yaitu “a” yaitu tidak dan “praxis” yang diartikan sebagai tindakan. Di masa lalu, apraxia
sering digolongkan sebagai jenis gangguan artikulasi dan sebagai salah satu dari dysarthria
pusat. Sekarang, apraksia digolongan menjadi bagian dari deficit perencanaan /
pemrograman motorik, yang mungkin terjadi tanpa adanya gangguan sensorik / motor atau
dari suatu kelumpuhan (Walsh & Darby, 1999).

Apraksia dicetuskan pertama kali pada tahun 1870-an oleh Huglings Jackson untuk
menunjukkan ketidakmampuan total beberapa pasien afasianya untuk melakukan
beberapa gerakan volunteer (misalnya protusi lidah), meskipun tidak terdapat kelemahan
yang bermakna dan masih memiliki kemampuan untuk menggerakkan bagian tubuh yang
sama secara otomatis atau involunteer (misalnya ketika menjilat bibir). Kemudian pada
awal abad ke-20, Lipmann mengelompokkan berbagai jenis apraksia secara sistematis.
Pada klasifikasinya yang tetap digunakan sampai saat ini yaitu apraksia ideasional dan
apraksia ideomotor, yang terutama mengenai sistem motorik dibedakan dari apraksia
kontruksional yang terutama mengenai system visuospatial.

Ada beberapa jenis apraksia, yang mungkin terjadi sendiri maupun bersama-sama.
Apraxia secara umum dapat dilihat sebagai gangguan motorik untuk melaksanakan tujuan
gerakan oleh seorang individu yang memiliki keterampilan motorik primer normal
(strengh, refleks, koordinasi) dan sikap normal yang sewajarnya dapat dilakukan ( tidak
agnosia, tidak terjadi gangguan intelektual umum) (Hecan & amp; Albert, 1986).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Apraksia (disebut “dispraksia” jika ringan) dianggap sebagai gangguan neurologis


yang ditandai dengan hilangnya kemampuan untuk melakukan suatu gerakan, walaupun
memiliki keinginan dan kemampuan fisik untuk melakukan gerakan tersebut (NINDS,
2018).

Apraksia terjadi akibat disfungsi belahan otak otak, terutama lobus parietal, dan
dapat timbul dari banyak penyakit atau kerusakan pada otak Apraksia sering ditemukan
pada penyakit stroke, demensia Alzheimer dan berbagai penyakit lainnya pada serebri.
(NINDS,2018).

2.2 Anatomi

Ketika anda berpikir, melihat, bernapas, dan melakukan segala sesuatu sepanjang
hari anda menggunakan sistem saraf pusat. Sistem saraf pusat adalah sistem tubuh yang
menerima dan memproses semua informasi dari seluruh bagian tubuh. Ini terdiri dari otak,
sumsum tulang belakang, dan neuron. Hal ini bisa dibilang sistem yang paling penting dari
tubuh.

Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum (Telecephalon) merupakan bagian terbesar otak dan menempati fossa


cranial tengah dan anterior. Cerebrum juga disebut dengan cerebral cortex, forebrain
atau otak depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan
binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika,
bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan fisual. Kecerdasan intelektual
atau IQ manusia juga ditentukan oleh kualitas cerebrum.

Cerebrum dibagi oleh suatu celah yang dalam, fisura serebri longitudinal, menjadi
hemisferkiri dan kanan, dimana setiap hemisfer ini berisi satu ventrikel lateral. Di otak
bagian dalam, hemisfer dihubungkan oleh massa substansi albikan (serat saraf) yang
disebut korpus kalosum (corpus callosum). Bagian superfisial cerebrum terdiri atas badan

4
sel syaraf atau substansi grisea, yang membentuk korteks serebri,dan lapisan dalam yang
terdiri atas serat syaraf atau substansi albikan.

Secara umum, belahan belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan
orak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan
kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional.

Gambar 1. Cerebrum

Cerebrum dibagi menjadi 4 bagian yang disebut lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut
girus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Ke-4 lobus tersebut yaitu :

Lobus Frontal

Lobus frontal adalah rumah bagi pemikiran kognitif , dan itu adalah proses yang
menentukan dan membentuk kepribadian seorang individu. Pada manusia, lobus frontal
mencapai kematangan ketika individu adalah sekitar usia 25. Ini berarti bahwa pada saat
berusia 25 tahun, manusiatelah mencapai tingkat kematangan kognitif.

Lobus frontal terdiri dari bagian anterior (korteks prefrontal) dan bagian posterior, dan
dibagi dari lobus parietalis oleh sulkus sentral. Bagian anterior bertanggung jawab untuk
fungsi-fungsi kognitif yang lebih tinggi, dan bagian posterior terdiri dari daerah premotor dan
motorik, sehingga, yang mengatur gerakan sadar. Fungsi dari lobus frontal meliputi penalaran,

5
perencanaan, pengorganisasian pikiran, perilaku, dorongan seksual, emosi, pemecahan
masalah, menilai, bagian pengorganisasian berbicara, dan keterampilan motorik (gerakan).

Lobus parietal

Lobus parietalis terletak di belakang sulkus sentral, dan di atas lobus oksipital. Ia
memiliki empat batas anatomi, sulkus sentral, yang memisahkan lobus parietal dari lobus
frontal, sulkus parieto-oksipital yang memisahkan parietal dan oksipital lobus, sulkus lateralis
yang memisahkan parietal dari lobus temporal, dan fisura membujur medialis yang membagi
dua belahan (kanan dan kiri). Lobus parietal bertanggung jawab untuk mengintegrasikan
informasi sensorik dari berbagai bagian tubuh. Saraf optik melewati lobus parietalis ke lobus
oksipital. Fungsi dari lobus parietalis meliputi pengolahan informasi, gerakan, orientasi spasial,
pidato, persepsi visual, pengakuan, persepsi rangsangan, rasa sakit dan sensasi sentuhan, dan
kognisi.

Lobus oksipital

Kecil dari segala jenis keempat lobus, lobus oksipital terletak di bagian paling belakang
tengkorak. Hal ini terletak di tentorium cerebelli, yang memisahkan otak dari otak kecil. Lobus
ini bertanggung jawab untuk sistem persepsi visual, karena mengandung korteks visual primer.
Fungsi dari lobus oksipital termasuk penerimaan visual, pemrosesan visual-spasial, gerakan,
dan pengenalan warna. Gangguan pada lobus oksipital dapat menyebabkan ilusi visual.

Lobus Temporal

Ada dua lobus temporal, setiap yang terletak di setiap sisi otak, kiri dan kanan, pada
sekitar setinggi telinga. Lobus temporal berisi korteks pendengaran primer, sehingga,
bertanggung jawab atas semua proses pendengaran. Ini lobus juga mengandung hippocampus,
yang bertanggung jawab untuk pembentukan memori jangka panjang dan memilah informasi
baru. Lobus kanan dan lobus kiri kontrol memori visual dan memori verbal masing-masing.
Dengan demikian, lobus temporal yang terlibat dengan pendengaran, bicara dan memori.

6
2.3 Etiologi

Apraxia adalah sindrom yang mencerminkan disfungsi sistem motorik pada tingkat
kortikal, tidak termasuk korteks motorik primer. Beberapa penyakit melibatkan gangguan
ini yaitu termasuk stroke, demensia dan tumor sehingga hal ini dapat menyebabkan
hilangnya pengetahuan tentang cara melakukan gerakan terampil.
Apraxia juga dapat terjadi dengan lesi di lokasi lain. Informasi yang terkandung
dalam representasi praksis ditranskodekan ke dalam pola persarafan oleh korteks
premotor, informasi tersebut kemudian ditransmisikan ke korteks motorik primer, dan
dilakukan gerakan. Lesi pada korteks premotor dapat menyebabkan apraksia; dalam hal
ini, pengetahuan tentang gerakan masih ada, tetapi kemampuan untuk melakukan gerakan
tidak ada.

2.4 Macam-macam Apraksia

Apraksia memiliki berbagai macam tipe, namun pada saat ini hanya digunakan tiga
macam apraksia yaitu apraksia ideomotor, apraksia ideosional dan apraksia
konstruktional.

A. Ideomotor Apraksia

Apraksia ini merupakan tipe apraksia yang paling sering dijumpai dan lebih jelas
dimengerti gangguannya. Pada apraksia ini terjadi ketidakmampuan mengubah sebuah ide
menjadi suatu aksi.
Apraksia ini dapat terjadi akibat adanya lesi hemisfer dominan-bahasa (kiri), baik di
area asosiasi motorik atau pada serabut asosiasi dan komisural yang mempersarafi atau
menghubungkannya. Temuan klinis yang khas adalah pengabaian, atau terminasi
premature komponen individual rangkaian gerakan. Masing-masing komponen juga dapat
diulang-ulang (perseferasi motorik) sehingga gerakan tersebut dimulai pada waktu yang
tidak sesuai dan dengan demikian menghambat atau mengganggu rangkaian gerakan
lainnya.
Pasien dengan apraksia motorik dapat memiliki lesi dilobus parietalis sehingga
pasien tidak dapat menirukan gerakan pemeriksa secara tepat (misalnya : gerakan hormat).
Pasien-pasien tersebut umumnya masih dapat menirukan ekspresi wajah, sedangkan

7
pasien dengan lesi lobus frontalis kiri dapat menirukan gerakan lengan yang kompleks
tetapi tidak ekspresi wajah.
Pengujian apraksia ideomotor dapat dilakukan di samping tempat tidur dengan tes
sederhana untuk kemampuan menggunakan alat. Pemeriksa meminta pasien untuk
melakukan 3 pantomim kegiatan. Penulis artikel ini meminta pasien untuk pantomim
memalu paku ke dinding (imajiner) di depan mereka, memasang sekrup ke dinding, dan
menggunakan gunting untuk memotong selembar kertas. Namun, hal lainnya juga dapat
dilakukan, termasuk menyikat gigi, memotong dengan gergaji, mencambuk telur dengan
pengocok telur, atau mengupas kentang.
Respons yang sehat terhadap perintah-perintah ini adalah melakukan gerakan yang
jernih dan terencana dengan baik. Pasien harus melakukan gerakan dengan orientasi
tangan dengan benar untuk memegang alat imajiner, dengan alat diadakan pada orientasi
yang benar dan jarak dari target (misalnya, dinding, sekrup, atau selembar kertas), dan
dengan gerakan yang dilakukan sedemikian rupa. cara tindakan itu dicapai. Dengan kata
lain, penulis ingin melihat suatu tindakan yang akan berhasil memotong selembar kertas,
seolah-olah gunting dan kertas benar-benar ada.
Segala jenis kesalahan dalam melakukan kegiatan di atas (dengan tidak adanya
afasia atau kurangnya pemahaman tentang perintah atau tanpa adanya defisit motorik)
menyiratkan hilangnya pengetahuan tentang gerakan yang akan dilakukan. Jika tangan
tidak diarahkan untuk memegang alat dengan benar, jika tindakan dilakukan di bidang
yang salah, jika target (misalnya, dinding) tidak terletak dengan benar, atau jika gerakan
dilakukan dengan tidak benar, respons akan dinilai sebagai kesalahan.

B. Idesional apraksia
Jenis apraksia ini lebih komplek dari pada ideomotorik, namun apraksia tipe ini
jarang ditemui. Pada apraksia ini, lesi di temporoparietal hemisfer dominan merusak
perencanaan dan inisiasi aktivitas motorik yang kompleks. Pasien tidak dapat melakukan
serangkaian langkah-langkah atau mungkin tetap dapat melakukannya namun tidak
memahami makna atau tujuan gerakan tersebut. Misalnya, pasien tidak bisa diminta
melipat surat dan menempatkannya ke dalam amplop lalu menulis alamat pada amplop
tersebut dan menempel perangko.

8
C. Konstruksional apraksia

Konstruksional apraksia pertamakali dimukakan oleh Kleist (1922) yang dinilai


sebagai kekacauan yang berhubungan dengan aktivitas - pertumbuhan dimana adanya
sebagian ketergangguan dalam melakukan kegiatan (Hecan & amp; Albert, 1986). Pasien
dengan apraksia konstruksi mengalami kesulitan menggambar konstruksi spasial seperti
gambar atau objek geometris. Gangguan ini terjadi akibat adanya lesi di lobus parietalis
pada hemisfer bukan dominan-bahasa (kanan). Gangguan ini juga dapat terjadi akibat
oklusi cabang utama arteri serebri media karena arteri ini menyuplai area yang luas pada
hemisfer serebri.

Apraksia konstruktif mengacu pada ketidakmampuan untuk menggambar atau


menyalin gambar berkualitas, seperti pentagon yang saling bertautan, atau figur kompleks,
seperti figur Rey-Osterreith. Apraksia konstruktif dapat melokalisasi kerusakan pada
beberapa daerah otak, termasuk daerah parietal frontal atau kiri atau kanan.
Pasien dengan kerusakan frontal cenderung bertahan atau mengulangi elemen-
elemen pada gambar atau mengubah elemen menjadi elemen yang akrab, seperti
mengubah lingkaran dengan 3 titik menjadi wajah. Pasien dengan kerusakan hemisfer
kanan (terutama parietal) secara keseluruhan lebih buruk daripada pasien dengan
kerusakan hemisfer kiri dalam mengintegrasikan elemen dasar diagram, meskipun pasien
yang rusak di belahan otak kiri juga dapat membuat banyak kesalahan

Pada penderita dengan lesi parietral kanan akan kesulitan dalam menggambar jam (
clock drawing tes/ CDT) oleh karena hemisfer kanan memiliki kecenderungan
mengabaikan sisi kiri sehingga angka pada jam terkumpul pada sisi kanan.

D. Dressing apraksia

Penderita dengan gangguan hemisfer kanan sering mengalami kesulitan memakai


pakaian sendiri. Defisit kognitif ini disebut dressing apraksia. Gangguan ini diduga
berkaitan dengan dua keadaan ialah ketidak mampuan konseptual terhadap hubungan
antara ruang dengan benda dipakai yang melekat pada tubuhnya dan kecenderungan
adanya neglect pada sisi tubuh sebelah kiri.

Lokasi lesi hampir selalu pada lobus parientalis kanan yang mendapat pasokan darah
dari arteri serebri media kanan, meskipun dalam penelitian hier dan kawan- kawan

9
mendapatkan bisa akibat neglect kedua sisi disertai devisit visuospatial dan
visuokontruksional.

E. Gait apraksia

Apraksia ini adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan anggota gerak


bawah secara semestinya saat berjalan, meskipun tidak dijumpai adanya gangguan
sensorik atau kelemahan motorik. Didapatkan pada pasien dengan gangguan serebral yang
luas terutama pada lobus frontalis. Pasien tidak dapat melakukan gerakan kaki dan tungkai
yang diinginkan, misalnya membuat lingkaran atau melakukan tendangan pada bola
khayalan. Terdapat kesulitan untuk memulai gerakan pada saat bangkit untuk , berdiri dan
berjalan, dan hilangnya urutan (sequences) gerakan majemuk. Pasien hanya dapat berjalan
lambat atau berjalan dengan langkah-langkah pendek. Hal lain yang dapat terjadi yaitu
adanya kesulitan mengangkat kaki dari lantai atau berdiri.

F. Verbal apraksia

Ada dua jenis utama apraksia verbal : apraksia verbal yang didapat dan apraksia
verbal pada anak-anak (Kent, 2000). Apraksia verbal didapat terjadi pada pasien dengan
segala usia berapapun, walaupun hal ini terjadi terutama pada orang dewasa yang
sebelumnya disebabkan oleh stroke, cedera kepala, tumor dll. : apraksia verbal didapat
dapat terjadi bersama dengan disartria ( kelemahan otot yang mempengaruhi untuk
berbicara ) atau afasia ( kesulitan berbahasa yang disebabkan oleh kerusakan pada sistem
saraf). Apraksia verbal dapatan umumnya dianggap sebagai akibat dari kerusakan pusat
otak (terutama serebral) yang mengganggu proses perencanaan gerakan bicara sambil
mempertahankan kondisi bicara normal, kecepatan, dan koordinasi otot-otot bicara
(Duffy, 1995).

Apraksia verbal pada anak-anak ( developmental apraxia of speech / DAS ) biasanya


bawaan. Dari beberapa penelitian didapatkam lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
daripada perempuan. namun penyababnya tidak diketahui. Beberapa penelitian
berpendapat bahwa apraksia verbal adalah neurological disorder yang mempengaruhi otak
dalam kemampuan untuk mengirim sinyal yang benar untuk mengatur otot yang terlibat
saat bicara (Kent, 2000). Namun, anak-anak dengan DAS biasanya memiliki riwayat
gangguan komunikasi atau ketidakmampuan belajar berbahasa didalam keluarga, dalam

10
penelitian juga menunjukkan adanya hubungan bahwa faktor genetik mungkin dapat
menjadi salah satu faktor.

Pada prinsipnya apraksia verbal adalah akibat adanya lesi di lobus frontal inferior
atau ketiga dari belahan yang dominan ( daerah broca ). Afasia broca dan apraksia sering
berkaitan. Menurut McNeill & Kent, 1990 (Duffy, 1995), dalam sebuah studi dikatakan
bahwa apraksia verbal meru[akan salah satu faktor integral dari sindrom afasia broca
namun banyak peneliti yang tidak setuju. Banyak studi terbaru berpendapat bahwa lesi
bertanggung jawab untuk apraksia verbal mungkin cukup diskritif, misalnya Dronkers
(1996) melaporkan bahwa pasien dengan stroke dan gangguan deficit artikulasi (seperti
apraksia verbal) memiliki lesi yang terdapat pada wilayah girus precentral kiri dari insula.

G. Apraksia bucofasial

Apraksia Buccofacial menyiratkan proses dan lesi yang sangat berbeda. Tidak
seperti apraksia ekstremitas, di mana pasien tidak dapat melakukan gerakan terampil
dengan ekstremitas, pada apraksia bucofasial (juga disebut apraksia oral), pasien tidak
dapat melakukan tindakan terampil yang melibatkan bibir, mulut, dan lidah, meskipun
tidak ada paresis.
Pada apraxia buccofacial, lesi biasanya di atau dekat daerah 44 (yaitu, daerah Broca).
Untuk menguji apraksia buccofacial, pasien harus diminta untuk melakukan tugas dengan
mulutnya, seperti meniup korek api, mencium, atau menyikat giginya.
Pada apraksia ini terjadi ketidakmampuan untuk melakukan perintah berupa gerakan
kompleks yang melibatkan bibir, mulut, muka, tanpa ada kelemahan dari bibir, mulut, dan
muka.

2.4 Analisis Pemeriksaan Apraksia

A. Apraksia ideomotor: tidak dapat melakukan perintah kompleks, namun bisa


menirukannya. Contoh : Tes menyisir rambut, cara menyisir rambut dengan
memakai jari-jari tidak dengan sisir.
B. Apraksia ideasional: tidak dapat melakukan beberapa rangkaian aktivitas yang
tepat untuk menuju ke suatu tujuan. Misalnya dapat melakukan satu bagian
perintah dari serangkaian yang ada, namun tidak dapat melakukan seluruh
rangkaian tersebut dengan benar. Tes : mengirim surat tapi tidak bisa urut-
urutannya.

11
C. Apraksia konstruksional: Keterampilan visuospasial terganggu. Tidak bisa
menggambar bangun ruang (1,2, atau 3 dimensi). Test pemeriksaan sederhana:
gambar segiempat, menggambar 2/3 dimensi, ex: rumah dengan atap dan
cerobong asap.
D. Dressing apraksia: Dites dengan cara memakai baju  Tampak ada bagian
tubuh yang tidak tertutupi baju. Tali sepatu tidak tertali dengan baik.
E. Apraksia buccofasial: Tidak mampu mengerjakan perintah yang melibatkan
area buccofacial. Gerakan spontan (+). Tes: bersiul, batuk, mengeluarkan lidah,
mengerutkan bibir.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


A. CT Scan ( Computed Tomography Scanner )

CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari
berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak. Tujuan utama penggunaan ct scan
adalah untuk pemeriksaan seluruh organ tubuh, seperti sususan saraf pusat, otot dan tulang,
tenggorokan, rongga perut.

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk memperjelas adanya dugaan yang kuat suatu
kelainan,yaitu, gambaran lesi dari tumor, hematoma, abses serta perubahan vaskuler
(malformasi), dsb.

B. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI adalah sebuah metode pemeriksaan diagnoatik yang mulai digunakan sejak
tahun 1980. gambar yang dihasilkan juga merupakan hasil rekonstruksi komputer. Namun
berbeda dengan CT-Scan MRI tidak menggunakan radiasi ion melainkan menggunakan
medan magnet dan radiofrekuensi.

MRI merupakan studi pilihan bagi evaluasi pada sebagian besar lesi pada otak dan
spinal. MRI melakukan scan terhadap nukleus hidrogen yang merupakan atom terbanyak
ditubuh manusia.

12
2.6 Penatalaksanaan

Pada prinsipnya jika apraxia adalah gejala kelainan yang mendasarinya, penyakit
atau kondisi itu harus diobati. Terapi fisik dan pekerjaan mungkin bermanfaat bagi pasien
stroke dan cedera kepala. Tetapi, jika apraxia adalah gejala dari gangguan neurologis lain,
kondisi yang mendasarinya harus diobati. Dalam beberapa kasus, anak-anak dengan
apraksia dapat belajar untuk mengkompensasi defisit ketika mereka tumbuh dewasa
dengan bantuan pendidikan khusus dan program terapi fisik.
1. Non Farmakologis
 Rehabilitasi
Terapi fisik dan latihan adalah penting sebagai bagian dari penilaian dan perawatan
pasien. Namun, pasien mungkin tidak meminta terapi seperti itu, karena terkadang
mungkin tidak menyadari gangguan yang terjadi.
 Terapi okupasi
Jika perlu, harus dipertimbangkan untuk membantu pasien dalam menggunakan
anggota tubuh yang terkena dampak dan dalam mencapai kemandirian maksimum.
 Terapi fisik
Cocok untuk pasien dengan penyakit yang dianggap berisiko tinggi untuk jatuh.
Terapi semacam itu bermanfaat tidak hanya untuk memberikan pasien dengan pelatihan
atau latihan yang dirancang untuk meningkatkan keselamatannya tetapi juga untuk
memodifikasi lingkungan individu, untuk menyediakan alat bantu, dan untuk mengajar
pengasuh.
- Terapi wicara
Terapi wicara dan pendidikan khusus mungkin sangat membantu dalam merawat
pasien dengan apraksia perkembangan bicara. Pasien dengan apraxia of speech (DAS)
pada masa kanak-kanak berisiko mengalami gangguan membaca dan ejaan yang persisten
di samping kesulitan komunikasi lisan mereka. Manfaat potensial telah ditunjukkan dalam
pendekatan terpadu yang melibatkan peningkatan kemampuan bicara, kesadaran
fonologis, dan kemampuan dekode secara simultan. Namun, review database Cochrane
oleh Morgan dan Vogel menunjukkan kurangnya studi pengobatan yang terkontrol dengan
baik yang membahas kemanjuran terapi untuk DAS.

13
2. Terapi Farmakologis
Obat-obatan tidak diketahui efektif untuk pengobatan apraksia.
Pengobatan apraksia biasanya diberikan untuk penyakit utama yang dapat
menyebabkan apraksia, seperti stroke, demensia, tumor, dll sebagai berikut :
1. Anti spasmoid : baclofen, tizanidine, dll
2. Inhibitor kolinesterase : donepezil, galantamine, dll
3. Anti Parkinson : levodopa
4. Anti Trombotik : aspirin
5. Anti Koagulan : heparin, warfarin

2.6 Prognosis
Prognosis dari apraksia tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Secara
umum, pasien dengan apraksia menjadi tergantung pada aktivitas hidup sehari-hari mereka
dan membutuhkan pengawasan dan perawatan keperawatan yang terampil mungkin
diperlukan.

14
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Apraksia merupakan gangguan neurologis yang ditandai dengan hilangnya kemampuan


untuk melakukan suatu gerakan, walaupun memiliki keinginan dan kemampuan fisik untuk
melakukan gerakan tersebut.

Apraksia merupakan suatu gejala atau efek dari suatu penyakit yang disebabkan oleh
karena adanya lesi pada otak seperti adanya kejadian stroke, demensia, tumor, dsb.

Apraksia ada berbagai macam tetapi yang masi digunakan sampai saat ini hanyalah tiga
macam yaitu ideomotor apraksia, ideosional apraksia dan konstruksional apraksia. Dimana dari
berbagai macam apraksia, memiliki cara analisis pemeriksaan yang berbeda-beda sesuai
dengan jenis apraksianya dan letak lesi.

Pengobatan apraksia dapat diberikan secara farmakologis dan non-farmakologis,


dimana pengobatan farmakologis biasanya diberikan berdasarkan penyakit dasar, sedangkan
secara non-farmakologis dilakukan hal-hal seperti rehabilitasi, latihan dan terapi fisik maupun
wicara.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Duffy, J.R. (1995). Motor speech disorders: Substrates, differential diagnosis, and
management‟. St. Louis: Mosby-Year Book.

3. Heilman K. M., Meador K. J., & Loring D.W. (2000), „Hemispheric asymmetries of limb-
kinetic apraxia: A loss of deftness‟, Neurology:55:523-526.

4. Kent, R. D., (2000) „Research on speech motor control and its disorders: A review and
prospective‟ Journal of Communication Disorders, Volume 33: 5:391- 428.

5. Klob B., Whinshaw I.Q. (1996) „Fundamentals of Neuropsychology‟, W.H. Freeman &
Company, New York.

7. NINDS, (2018): National Institute of Neurological Disorders and Stroke Home Page:
http://accessible.ninds.nih.gov/disorders/apraxia/apraxia.htm retrieved: April 16th 2pm.

8. Walsh, K., Darby, D. (1999) „ Neuropsychology, A Clinical Approach‟ fourth edition,


Churchhill Livingstone, 1-3 Baxter‟s Place, Leith Walk, Edinburgh, EH13AF.

9. Yoss, K.A., & Darley, F.L. (1974). „Developmental apraxia of speech in children with
defective articulation‟. Journal of Speech & Hearing Research,17, 399–416.

16

Anda mungkin juga menyukai

  • CLUSTER
    CLUSTER
    Dokumen17 halaman
    CLUSTER
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Kencing Manis Kliping
    Kencing Manis Kliping
    Dokumen8 halaman
    Kencing Manis Kliping
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Borang Belum Update Kia
    Borang Belum Update Kia
    Dokumen9 halaman
    Borang Belum Update Kia
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Borang Belum Update
    Borang Belum Update
    Dokumen9 halaman
    Borang Belum Update
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Stunting
    Stunting
    Dokumen1 halaman
    Stunting
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Nilai Brian
    Nilai Brian
    Dokumen2 halaman
    Nilai Brian
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • PDF - FISH BONE Fix
    PDF - FISH BONE Fix
    Dokumen1 halaman
    PDF - FISH BONE Fix
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • SIFILIS
    SIFILIS
    Dokumen24 halaman
    SIFILIS
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Minipro
    Daftar Pustaka Minipro
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Minipro
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Imunisasi, KIA, KB, Kesling
    Imunisasi, KIA, KB, Kesling
    Dokumen5 halaman
    Imunisasi, KIA, KB, Kesling
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Minipro
    Daftar Pustaka Minipro
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Minipro
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Indikator Phbs
    Indikator Phbs
    Dokumen1 halaman
    Indikator Phbs
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • FISH BONEe
    FISH BONEe
    Dokumen1 halaman
    FISH BONEe
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Fish Bone
    Fish Bone
    Dokumen1 halaman
    Fish Bone
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen4 halaman
    Bab I
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Makanan Sehat
    Makanan Sehat
    Dokumen21 halaman
    Makanan Sehat
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • BGFD
    BGFD
    Dokumen37 halaman
    BGFD
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Makanan Sehat
    Makanan Sehat
    Dokumen21 halaman
    Makanan Sehat
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • BGFD
    BGFD
    Dokumen37 halaman
    BGFD
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Ga Ett Neonatus
    Ga Ett Neonatus
    Dokumen23 halaman
    Ga Ett Neonatus
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • GHFD
    GHFD
    Dokumen19 halaman
    GHFD
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Sinusitis Akut
    Sinusitis Akut
    Dokumen2 halaman
    Sinusitis Akut
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Salinan Yang Ini Apraksia
    Salinan Yang Ini Apraksia
    Dokumen14 halaman
    Salinan Yang Ini Apraksia
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Edit Tambah
    Edit Tambah
    Dokumen17 halaman
    Edit Tambah
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Refarat
    Refarat
    Dokumen29 halaman
    Refarat
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Anestesi
    Lapkas Anestesi
    Dokumen75 halaman
    Lapkas Anestesi
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Edit Tambah
    Edit Tambah
    Dokumen17 halaman
    Edit Tambah
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Ca Colorectal Ok
    Ca Colorectal Ok
    Dokumen29 halaman
    Ca Colorectal Ok
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen22 halaman
    Chapter II
    Puji
    Belum ada peringkat
  • KANKER KOLON
    KANKER KOLON
    Dokumen32 halaman
    KANKER KOLON
    Suci Handayani
    Belum ada peringkat