Paspriiii
Paspriiii
STATUS PASIEN
I.2 ANAMNESIA
Alloanamnesis dan autoanamnesis dengan Ibu kandung dan diri pasien pada
tanggal 19 September 2018 pukul 16.00 WIB di Bougenville Atas.
a. Keluhan Utama
Demam selama ±7 hari sebelum masuk rumah sakit.
b. Keluhan Tambahan
Badan terasa lemas dan nafsu makan menurun.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit, pasien tiba-tiba demam setelah pulang
dari kegiatan Pramuka di sekolahnya pada sore hari, suhu tidak diukur Ibu di rumah.
Demam terjadi terus-menerus dan tidak turun. Ibu membawa pasien ke Puskesmas dan
mendapat obat Paracetamol dan Vitamin C, menurut Ibu keluhan tak membaik. Nafsu
makan pasien berkurang. Pasien makan nasi, sekitar 4 sendok makan per kali. Ibu
mengatakan pasien tampak lemas. Muntah disangkal. Keluhan kejang disangkal. Keluhan
terdapat bintik-bintik merah di badan disangkal.
Pada 5 hari sebelum masuk rumah sakit, Ibu membawa pasien ke Puskesmas,
suhu terukur 38,5oC. Pasien mendapat obat paracetamol dari Puskesmas. Badan pasien
masih terasa panas, namun Ibu pasien tidak mengukur suhu anaknya di rumah.
Pada 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien masih demam. Keluhan belum
membaik. Pasien BAB cair 3x/hari sebanyak ±1/2 cangkir, tidak ada ampas, lendir,
maupun darah dan berbau busuk. Pasien merasa sakit pada perutnya. Ibu pasien
membawa pasien ke Puskesmas. Di Puskesmas pasien diberi paracetamol, dilakukan cek
laboratorium darah lengkap.
Keluhan tidak ada perbaikan sehingga Ibu pasien memutuskan untuk membawa
pasien ke rumah sakit. Saat di IGD, suhu badan pasien terukur 39,2oC. Nyeri perut diakui
dan badan pasien masih lemas.
Setelah pasien berada di IGD dan mendapatkan pengobatan suhu tubuh pasien
mulai turun menjadi 36°C dan akhirnya pasien dipindahkan ke bangsal.
Saat ini pasien sudah tidak demam. Namun pasien masih merasakan lemas. Nafsu
makan dan minum pasien masih kurang. Bibir pasien tampak kering dan terkelupas.
Pasien BAB sebanyak 5x dalam sehari, konsistensi cair dan terdapat ampas sedikit. Tidak
ada lendir ataupun darah. Pasien masih mengeluhkan nyeri pada perutnya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien
pernah dirawat di Rumah Sakit dengan keluhan muntaber, pada saat usia pasien 2 bulan.
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal. Memiliki riwayat penyakit asma disangkal.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang serupa dengan pasien. Riwayat
hipertensi, diabetes mellitus dan alergi disangkal.
f. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien tinggal di rumah kontrakan bersama ayah, ibu, 1 orang kakak dan 1 orang
adik. Tempat tinggal pasien memiliki ventilasi dan kebersihan yang cukup baik. Ibu
pasien rajin membersihkan rumahnya, seperti menyapu, mengepel, membersihkan debu-
debu di lemari, meja, dan lain-lain. Menurut orang tua pasien, di sekitar tempat
tinggalnya tidak ada orang yang mengalami keluhan serupa. Dan menurut pasien, tidak
ada teman sekolahya yang mengalami keluhan seperti pasien. Ayah dan Ibu pasien
bekerja sebagai guru. Penghasilan per bulan orang tua pasien cukup untuk satu
menghidupi keluarga.
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
- Status Kehamilan: P3A0
- Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter.
- Ibu pasien tidak memiliki faktor risiko yang memengaruhi kehamilannya, seperti
demam tinggi saat hamil, hipertensi, penyakit infeksi saat hamil, dan lain-lain.
- Pasien dilahirkan spontan, pervaginam dan ditolong oleh Bidan, dengan usia
kehamilan 39 minggu.
- Berat badan lahir pasien 3400 gram dan panjang badan 48 cm. Langsung menangis
spontan, warna kulit merah dan tidak ada kelainan saat lahir.
Kesimpulan: Riwayat kehamilan dan persalinan baik
h. Riwayat Perkembangan
- Dapat bergaul dengan teman-temannya dan memiliki banyak teman
- Dapat mengikuti kegiatan sekolah
- Dapat mengikuti pelajaran di sekolah
- Berani berbicara didepan umum
Kesimpulan: Riwayat perkembangan sesuai dengan usianya.
i. Riwayat Nutrisi
Ibu pasien mengatakan setiap hari memasak makanan untuk dikonsumsi oleh
keluarganya. Menu makanan sehari-hari yang disiapkan di rumah meliputi nasi, lauk-
pauk (ayam, ikan, tempe, tahu), dan sayur-sayuran. Makanan disiapkan untuk makan 3x
dalam sehari. Buah-buahan dikonsumsi keluarga sebanyak 3 kali dalam seminggu,
termasuk pasien. Buah-buahan yang biasa dikonsumsi antara lain pepaya, melon,
kelengkeng, dan jeruk. Pasien sering mengonsumsi susu kental manis, sebanyak ±4 kali
dalam seminggu.
Setiap hari Ibu pasien menyiapkan bekal untuk anaknya, termasuk untuk pasien.
Hal ini dilakukan agar pasien dapat mengurangi jajan di sekolah, namun pasien tetap
gemar membeli jajanan di sekolah. Pasien sering membeli jajanan yang dijual oleh
penjaja makanan baik di sekolah ataupun di lingkungan rumahnya. Jajanan yang biasa
dibeli pasien antara lain sosis goreng, mie instan, telur gulung dan lain-lain.
j. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar
BCG √ (1)
DPT √ (2) √ (4) √ (6) √ (18)
Hepatitis B √ √ √
Polio √ (1) √ (2) √ (4) √(6)
Campak √ (9)
Kesimpulan: Riwayat imunisasi dasar lengkap
I.6 TATALAKSANA
1. IVFD KaEN 1B 17 tpm
2. Paracetamol syrup 4x1 1/2 cth
3. Konsul Anak
I.7 PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Ad bonam
Ad sanationam : Ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal Follow up
19/09/18 S: Ibu pasien mengatakan panas badannya sudah mulai turun, pasien
masih mual (+) dan menolak diberi makanan yang konsistensinya
lembek, makan sedikit hanya ±3 sendok makan, minum juga sedikit
hanya ± 250 cc dalam sehari, nyeri perut (+) bagian tengah, badan
pasien terasa lemas, BAB cair (+) sudah 5 kali dalam sehari, ampas
(+), lendir dan darah (-), berbau busuk. BAK normal.
O:
KU: Tampak sakit sedang
Kes: Compos mentis
TD: Tidak diukur
T: 37.2oC
N: 108x/m
RR: 24x/m
SpO2: 99% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konj. anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), lidah kotor (+)
Tenggorokan: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+ Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+) normal, NT (+) di sekitar regio umbilical, Mcburney sign (-),
Obturator sign (-), psoas sign (-)
JENIS
NO. HASIL NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
1. Darah Perifer Lengkap
Hb 10.9 g/dL 11.5-14.5 g/dL
Ht 30.7 % 33 - 43 %
Eritrosit 4.08 103/ L 3.9 – 5.3 103/ L
Leukosit 2.51/L 4000 – 12.000/L
Trombosit 165000/L 150000 – 450000/ L
MCV 75.2 75 – 90 fL
MCH 26,7 25 – 31 pg
MCHC 35,5 32 – 36 g/dL
2. HITUNG JENIS
Basofil 0.0 0–1%
Eosinofil 0 .0 1–3%
Neutrofil 66.1 52 – 76 %
Limfosit 28.3 20 – 40 %
Monosit 5.6 2–8%
RDW-CV 11.6 < 15 %
IMUNOSEROLOGI
WIDAL
S Typhi TO Negatif Negatif
S Typhi TH (+)1/320 Negatif
S paratyphi AO Negatif Negatif
S paratyphi AH Negatif Negatif
S paratyphi BO (+)1/160 Negatif
S paratyphi BH Negatif Negatif
S paratyphi CO Negatif Negatif
S paratyphi OH Negatif Negatif
A:
Demam Typhoid
P:
KaEN 1B 17 tpm
Chlorampenicol 4x300 mg IV
Ranitidin 3x15 mg IV
Kultur Darah
Urinalisis Lengkap
Diet makanan lunak 1400 kkal
20/09/18 S: Panas badannya sudah mulai turun, pasien mual (+) makan masih
sedikit, minum juga masih sedikit, nyeri perut (+) bagian tengah,
badan pasien terasa lemas, BAB cair (+), ampas (+), lendir dan darah
(-), berbau busuk. BAK normal.
O:
KU: Tampak sakit ringan
Kes: Compos mentis
TD: Tidak diukur
T: 37,1oC
N: 100 x/m
RR: 24 x/m
SpO2: 96% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konj. anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), lidah putih keabu-abuan (+)
Tenggorokan: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+, Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+) normal, NT (+) di sekitar regio umbilical, Mcburney sign (-),
Obturator sign (-), psoas sign (-)
Ext : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, ptekie (-)
NILAI
NO. JENIS PEMERIKSAAN HASIL
RUJUKAN
URINALISA
1. Urin Lengkap
Warna Kuning Muda Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Sedimen
Leukosit 0-1 / LPB 0-5
Eritrosit 0-1 / LPB 0-2
Silinder
Negatif
Sel Epitel 1+
Nilai rujukan +1 (ada), Sel
Epitel gepeng
Kristal
Negatif
Bakteria Negatif Negatif
Berat Jenis 1.010 1.005-1.030
PH 6.5 4.5-8.0
Albumin 1+ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah / Hb Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 3.4 μmol/L 3.4-17.0
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Esterase Negatif Negatif
A:
Demam Typhoid
P:
Inf. Kaen 1B 17 tpm
Chloramphenicol 4x300mg IV (hari ke-2)
Ranitidin 3x15 mg IV
Diet Lunak 1400 kkal
Cek suhu per 6 jam
Kultur Darah
21/09/2018 S: Demam (+), mual (+) makan masih sedikit, minum juga masih
sedikit, nyeri perut (+) bagian tengah, badan pasien terasa lemas,
BAB cair (+) sebanyak 4 kali, ampas (+), lendir dan darah (-), BAK
normal.
O:
KU: Tampak sakit ringan
Kes: Compos mentis
TD: Tidak diukur
T: 37,4oC
N: 107 x/m
RR: 28 x/m
SpO2: 98% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konj. anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), lidah putih keabu-abuan (+)
Tenggorokan: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+, Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+) normal, NT (+) di sekitar regio umbilical, Mcburney sign (-),
Obturator sign (-), psoas sign (-)
Ext : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, ptekie (-)
NO. JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
1. Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin 11.0 g/dL 11.5-14.5 g/dL
Hematokrit 30.0 % 33 - 43 %
Eritrosit 3.98 106/ L 3.9 – 5.3 103/ L
MCV/VER 75.4 fL 76.0 – 90.0 fL
MCH/HER 27.6 pg 25.0 – 31.0 pg
MCHC/KHER 36.7 g/dL 32.0 – 36.0 g/dL
Jumlah Trombosit 102 103/ L 150 – 400 103/ L
Jumlah Leukosit 2.61 103/ L 4.00 – 12.00 103/ L
Hitung Jenis
Basofil 0.4 % 0-1
Eosinofil 0.0 % 1–3
Neutrofil 65.5 % 52.0 – 76.0
Limfosit 29.9 % 20 – 40
Monosit 4.2 % 2–8
RDW-CV 11.7 % <15.0
IMUNOSEROLOGI
CRP 109.20 mg/dL ≤5.0
A:
Demam Typhoid
P:
Inf. Kaen 1B 17 tpm
Chloramphenicol 4x300mg IV (hari ke-3)
Ranitidin 3x15 mg IV
Paracetamol 1x11⁄2 cth
Orezinc 1x20 mg
Diet Lunak 1400 kkal
22/09/2018 S: Demam (+), makan dan minum masih sedikit, nyeri perut (+)
bagian tengah, muntah (+) sebanyak 1x, badan pasien terasa lemas,
BAB cair (+) sebanyak 4 kali, ampas (+), lendir dan darah (-), BAK
normal.
O:
KU: Tampak sakit ringan
Kes: Compos mentis
TD: Tidak diukur
T: 37,7oC
N: 96 x/m
RR: 21 x/m
SpO2: 99% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konj. anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), lidah kotor (+)
Tenggorokan: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/menurun Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+) normal, NT (+) di sekitar regio umbilical, Mcburney sign (-),
Obturator sign (-), psoas sign (-)
Ext : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, ptekie (-)
A:
Demam Typhoid
P:
Inf. Kaen 1B 17 tpm
Chloramphenicol 4x300mg IV (hari ke-4)
Ranitidin 3x15 mg IV
Paracetamol 1x11⁄2 cth
Orezinc 1x20 mg
Diet Lunak 1400 kkal
Cek ulang DPL-CRP
23/09/2018 S: Demam (-), makan dan minum masih sedikit, nyeri perut (-)
muntah(-), BAB cair (-), ampas (+), lendir dan darah (-), BAK
normal, batuk (-), pilek (-)
O:
KU: Tampak sakit ringan
Kes: Compos mentis
TD: Tidak diukur
T: 36,5oC
N: 88 x/m
RR: 24 x/m
SpO2: 99% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konj. anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), lidah kotor (+)
Tenggorokan: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+, Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+) normal, NT (-)
Ext : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, ptekie (-)
IMUNOSEROLOGI
CRP 70.40 mg/dL ≤5.0
A:
Demam Typhoid
P:
Inf. Kaen 1B 17 tpm
Chloramphenicol 4x300mg IV (hari ke-5)
Ranitidin 3x15 mg IV
Orezinc 1x20 mg
Diet Lunak 1400 kkal
24/09/2018 S: Demam (-), nyeri perut (-), muntah (-), BAB lembek 2 kali, ampas
(+), lendir dan darah (-), BAK normal, sudah bisa makan dan minum
seperti biasa.
O:
KU: Tampak sakit ringan
Kes: Compos mentis
TD: Tidak diukur
T: 36,8oC
N: 99 x/m
RR: 20 x/m
SpO2: 98% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konj. anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-)
Tenggorokan: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+ Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+) normal, NT (-)
Ext : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, ptekie (-)
A:
Demam Typhoid
P:
Inf. Kaen 1B 17 tpm
Chloramphenicol 4x300mg IV (hari ke-6)
Ranitidin 3x15 mg IV
Diet Lunak 1400 kkal
25/09/2018 S: Demam (-), nyeri perut (-), muntah (-), BAB cair (-), ampas (+),
lendir dan darah (-), sudah mau makan dan minum seperti biasa, BAK
normal.
O:
KU: Tampak sakit ringan
Kes: Compos mentis
TD: Tidak diukur
T: 36,5oC
N: 98 x/m
RR: 22 x/m
SpO2: 99% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konj. anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-)
Tenggorokan: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+ Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+) normal, NT (-)
Ext : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, ptekie (-)
A:
Demam Typhoid
P:
Inf. Kaen 1B 17 tpm
Chloramphenicol 4x300mg IV (hari ke-7)
Ranitidin 3x15 mg IV
Rencana pulang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan
terutama oleh Salmonella enterica serovar typhi (S.typhi) dan menular melalui jalur
fekal-oral.
II.2 Epidemiologi
Demam tifoid endemis di negara berkembang khususnya Asia Tenggara. Insidens
demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada kelompo usia 5-15 tahun. Indonesia
merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid, pada kelompok umur 5-15
tahun dilaporkan 180,3 per 100.000 penduduk. Data tahun 2010, estimasi global jumlah
kasus demam tifoid sebesar 13,9-26,9 juta, dengan estimasi kasus di negara berkembang
sebesar 20,6 juta kasus, dan 223.000 kasus kematian.
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan
ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum
dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid
diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000.
Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia
Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong
sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika
Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah
(<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.
II.3 Etiologi
Demam enterik masih sering terjadi di negara berkembang dan disebabkan oleh
Salmonella typhi dan S. Paratyphi A, B, dan C. Demam tifoid merupakan bagian dari
demam enteric, disebabkan oleh S. Typhi.
Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi
dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses.
II.4 Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada bayi seringkali berupa gastroenteritis dan sepsis.
Bayi biasanya tertular dari ibu yang menderita demam tifoid. Pada kelompok usia kurang
dari 5 tahun, gejala yang muncul lebih ringan dan tidak spesifik, kadang hanya berupa
demam disertai gejala gastrointestinal, namun bila tidak terdiagnosis dengan cepat, dapat
mengalami penyulit yang berat. Pada kelompok usia diatas 5 tahun (usia sekolah), gejala
klasik demam tifoid biasa dijumpai. 1,3,4 Setelah seorang terinfeksi S. Typhi, periode
asimtomatik berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Onset bakteremia ditandai
gejala demam dan malaise. Demam bersifat remitten progresif dan pada minggu kedua
demam menetap tinggi (39-40°C). Pasien umumnya datang ke RS menjelang akhir
minggu pertama, dengan gejala demam, gejala mirip influenza, nyeri kepala, anoreksia,
nausea, nyeri perut, batuk kering dan mialgia. Lidah kotor, nyeri abdomen, diare,
hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan. Bradikardia relatif dan konstipasi juga
dapat ditemukan pada demam tifoid. Rose spot berupa lesi makulopapular dengan
diameter sekitar 2-4 mm dilaporkan pada 5%-30% kasus, tetapi jarang ditemukan pada
ras Asia. Pada kasus berat, komplikasi yang bisa terjadi antara lain anikterik hepatitis,
supresi sumsum tulang, ileus paralitik, miokarditis, psikosis/ ensefalopati, kolesistitis,
osteomyelitis, peritonitis, pnemonia, hemolisis dan syndrome of inappropriate release of
antidiuretic hormone (SIADH).
II.5 Pemeriksaan
Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan Rekomendasi IDAI mengenai pemeriksaan penunjang diagnostik demam
tifoid, terdiri dari:
1. Uji baku emas diagnosis demam tifoid sampai saat ini adalah kultur. Kultur darah
mempunyai sensitivitas terbaik (40-60%) bila dilakukan pada minggu pertama–awal
minggu kedua. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada
demam minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi
bakteremia. Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil
dari kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan
sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun invasif
dan sulit dilakukan dalam praktek. Pemeriksaan kultur darah/urin/feses merupakan
baku emas diagnosis tifoid, akan tetapi memerlukan tenaga ahli, waktu, dan biaya
yang cukup besar.
2. Pada anak yang menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke arah demam tifoid, untuk
pengobatan pasien segera dapat digunakan pemeriksaan serologis antbodi terhadap
antibody Salmonella typhi. Saat ini, berbagai pemeriksaan serologis demam tifoid
terus berkembang sebagai alternative diagnosis. Pemeriksaan dapat dilakukan secara
ELISA, rapid test, hemaglutinasi atau PCR menggunakan specimen darah, urin, atau
saliva.
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas pemeriksaan
antibody dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibody palig sering dilakukan saat
ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, test Hemagglutinin (HA),
Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE), dan test cepat/ rapid test (Typhoidot,
TUBEX). Sedangkan, pemeriksaan antigen S. Typhii dapat dilakukan melalui
pemriksaan protein antigen dan protein Vibaik menggunakan ELISA/ koaglutinasi
namun sampai saat ini masih dalam penelitian jumlah kecil.
a. Pemeriksaan serologis test cepat/ rapid test
Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Typhi saat ini merupakan diagnostik
bantu yang paling banyak dilaporkan dan dikembangkan, mengingat sebagian
besar penderita demam tifoid adalah penduduk negara berkembang dengan
sarana laboratoriumnya terbatas. Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex
mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen spesifik outermembrane protein
(OMP) dan O9 lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah banyak penelitian yang
membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas spesifisitas hamper
100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. Typhi.
Pemeriksaan IgM erhadap antigen O9 lipopolisakarida S. Typhi (Tubex) dan
IgM terhadap S. Typhi (Typhidot) memiliki sensitivitas dan spesifisitas berkisar
70% dan 80%. Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot tidak
direkomendasi sebagai uji diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan kultur darah dan
teknik molekuler tetap merupakan baku emas.
3. Pemeriksaan Widal untuk diagnosis demam tifoid tidak direkomendasikan, karena
memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Pemeriksaan Widal yang selama ini
banyak digunakan dalam diagnosis demam tifoid, telah terbukti mempunyai
sensitifitas dan spesifitas rendah, sehingga tidak lagi direkomendasikan. Pemeriksaan
Widal mengukur kadar antibody terhadap antigen O dan H dari S Typhi dan sudah
digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-satunya pemeriksaan
penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya
antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal
penyakit. Sensitifitas dan spesifisitas Widal rendah tergantung, kualitas antigen yang
digunakan, bahkan dapat memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan
positif demam tifoid. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas
83%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang
dengan non-typhoidal Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae lain, infeksi
dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid atau standardisasi reagen yang kurang
baik. Hasil negatif palsu dapat terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar,
penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting dan
sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat ditegakkan jika pada
ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer agglutinin O
sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak dapat
dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal.
II.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu
tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian
antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya
tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, namun juga
ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi, pencegahan pada anak
berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah non
endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.
a. Tatalaksana Umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam
menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian
antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan
antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila
ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas
hidup seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid
pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 %
pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di
rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di
rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi
sehat dari penyakit tersebut.
b. Tatalaksana Antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada
anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi,
ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut,
kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan
demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang. Hal ini
berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotic lini pertamanya
adalah golongan fluorokuinolon seperti ofloksasin, siprofloksasin,
levofloksasin atau gatifloksasin. WHO sendiri telah memberikan
rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi
atas pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai
terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang
berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan pengobatan
parenteral.
Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan pertama kasus
demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini dimasukkan sebagai obat
alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena obat lini pertamanya adalah
fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan demam tifoid pada orang dewasa.
Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu
efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai),
mudah didapat dan harganya yang murah. Dibandingkan dengan antibiotik yang lain,
kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk pengobatan
demam tifoid. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan efek
samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan
agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby
syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai
terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.
Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat demam tifoid,
walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah kloramfenikol. Umumnya
digunakan pada penderita demam tifoid dengan lekopenia yang tidak mungkin diberikan
kloramfenikol, atau yang resisten terhadap kloramfenikol. Penambahan asam klavulanat
pada amoksisilin dianggap tidak membawa keuntungan yang signifikan bila
dibandingkan dengan pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan Amoksisilin-
Asam klavulanat tidak diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian amoksisilin oral
selama 14 hari sama efektifnya dengan pemberian ampisilin IV untuk mengobati demam
tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah 5 hari
pengobatan.
Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan
kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan amoksisilin, TMP-
SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol.
Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7 hari
terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun pada anak
dengan waktu penurunan demam yang hampir mirip dengan bila digunakan
kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai
resisten terhadap kuinolon. Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai
cukup efektif mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi.
Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau sefotaksim
diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat kloramfenikol dan obat
antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap
obat sefalosporin generasi ini. Bahkan untuk beberapa kasus yang resisten terhadap
fluorokuinolon, obat seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik
bila digunakan sebagai terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan sefiksim.
Pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama 7
hari, kemungkinan relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson
dihentikan.
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon, termasuk
siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin merupakan obat pilihan yang
optimal untuk pengobatan demam tifoid, khususnya pada dewasa dan anak di beberapa
negara. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah, membuat obat
ini banyak digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini
telah banyak ditemukan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kuinolon
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Tropik Depatemen IKA RSCM
BAB III
ANALISA KASUS
Penatalaksanaan
1. Cairan
Perhitungan rumatan cairan yang dibeikan pada pasien ini menurut rumus Holliday
Segar:
Berat badan 10 kg pertama = 100 ml/kgBB/24jam 10kgx100ml/kg/24jam
1000ml/24 jam
Berat badan 10 kedua = 50 ml/kgBB/24jam 5,5kgx50ml/kg/24jam 275ml/24 jam
Diberikan pada 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya.
Rumatan cairan pada pasien ini yang dibutuhkan adalah 1275 ml/24 jam 17 tpm
Pasien ini diberikan larutan KaEN IB sebanyak 1275 ml/24 jam.
Kandungan dari larutan KaEN IB 500ml, antara lain: Glukosa 37.5 gr, Natrium 38.5
mEq/Liter, Klorida 38.5 mEq/Liter. Osmolaritas: 285 mOsm/Liter.
2. Antibiotik
Berdasarkan IDAI 2009, penatalaksanaan untuk demam typhoid adalah dengan
pemberian antibiotic berupa Kloramfenikol (sebagai drug of choice) 50-100 mg/kgBB/
hari oral, atau IV dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari; amoksisilin 100 mg/kgBB/hari
oral atau IV selama 10 hari; kotrimoksazol 6 mg/kgBB/hari oral selama 10 hari;
seftriakson 80mg/kgBB/hari IV atau IM satu kali sehari selama 5 hari; cefixim 10
mg/kgBB/hari oral dibagi 2 dosis selama 10 hari.
Pada pasien ini, antibiotic yang dipilih adalah kloramfenikol (sebagai drug of choice).
Berat badan pasien adalah 15,5 kg, dosis kloramfenikol adalah 50-100 mg/kgBB/hari
(50x15,5) – (100x15,5) = 775 mg/hari – 1550 mg/hari dosis yang dipilih adalah
1200mg/hari dibagi dalam 4 dosis 4x300 mg.
3. Antipiretik
Parasetamol obat analgesik non narkotik yang memiliki cara kerja menghambat sintesis
prostaglandin terutama di Sistem Saraf Pusat (SSP), dan akan mempengaruhi
termoregulator di hipotalamus untuk menurunkan panas tubuh.
Dosis parasetamol = 10-15 mg/kgbb/kali, BB pasien 15,5 kg
Maka, rentang dosis nya adalah 155 mg/kali – 232,5 mg/kali dosis yang diambil
180mg/kali
Sediaan :
a. Syr 120mg/5ml
b. Drops 100mg/ml
c. Tab 500 mg
Pada pasien ini diberikan paracetamol syrup 4x180mg (4x 1 ½ cth)
4. Ranitidin
Ranitidine merupakan antagonis histamine dari reseptor H2 dimana sebagai antagonis
histamin, ranitidine dikenal lebih potensial daripada cimetidine dalam fungsinya untuk
menghambat sekresi asam lambung pentagastrin-stimulated.
Dosis: 1mg/kg (maks. = 50mg) 6-8 jam atau 0.125-0.25 mg/kgbb/jam sebagai continuous
infusion.
Dosis yang diberikan pada pasien ini 3x50 mg
DAFTAR PUSTAKA
Hadinegoro, Sri Rezeki, Kadim, Muzal, dkk. 2012. Update Management of Infection Disease
and Gastrointestinal Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
IDAI. 2016. Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Demam Tifoid.
IDAI. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Keputusan Menteri Kesehata tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta.
Nelwan, RHH. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192. Vol. 39 No. 4. Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Jakarta.
Suryantini, Dasril Daud. 2001. Perawatan Singkat Demam Tifoid pada Anak. Sari Pediatri, Vol.
3. No.2, September. Hal. 77-82.