Anda di halaman 1dari 33

DISFAGIA

PENDAHULUAN

Disfagia berasal dari bahasa Yunani yang berarti gangguan makan.


Disfagia biasanya merujuk kepada gangguan dalam makan sebagai
gangguan dari proses menelan. Disfagia dapat mejadi ancaman yang serius
terhadap kesehatan seseorang karena adanya resiko pneumonia aspirasi,
malnutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, dan sumbatan jalan napas.
Beberapa penyebab telah di telah ditujukan terhadap disfagia pada populasi
dengan kondisi neurologis dan nonneurologis.

Gangguan yang menyebabkan disfagia dapat mempengaruhi fase oral,


faringeal, atau esofageal dari fase menelan. Anamnesa yang lengkap dan
pemeriksaan fisik yang seksama adalah penting dalam diagnosis dan
pengobatan dari disfagia. Pemeriksaan fisik di tempat tidur harus
menyertakan pemeriksaan leher, mulut, orofaring, dan laring. Pemeriksaan
neurologis juga harus dilakukan. Beberapa pemeriksaan menelan juga telah
diajukan, namun pemeriksaan menelan dengan videofluoroscopic diterima
sebagai pemeriksaan stdanart untuk mendeteksi dan menilai kelainan
menelan. Metode ini bukan saja mampu memperkirakan resiko aspirasi dan
komplikasi respirasi namun juga membantu dalam menentukan strategi diet
dan komplikasi.

Pemeriksaan endoskopi serat optik mungkin diperlukan. Gangguan


menelan oral dan faringeal biasanya mampu untuk rehabilitasi, termasuk
modifikasi diet dan pelatihan tehnik dan manuver menelan. Pembedahan
jarang diindikasikan untuk pasien dengan gangguan menelan. Pada pasien
dengan gangguan yang parah, memintas rongga mulut dan faring didalam
keseluruhannya dan memberikan nutrisi enteral mungkin diperlukan. Piliha
yang tersedia antara lain percutaneous endoscopic gastrostomy dan
kateterisasi oroesophageal intermiten

EPIDEMIOLOGI

Disfagia telah dilaporkan dalam beberapa jenis gangguan, dan dapat


digolongkan sebagai neurologis dan non neurologis. meskipun disfagia
mencakupbanyak variabel, juga sangat berpengaruh terhadap hasil
pengobatan.

Gangguan menelan neurologis ditemui lebih sering pada unit


rehabilitasi medis daripada spesialisasi kedokteran lainnya. Stroke adalah
penyebab utama dari disfagia neurologis. Sekitar 51-73% pasien dengan
stroke mengalami disfagia, yang merupakan faktor resiko bermakna
berkembangnya pneumonia; hal ini dapat juga menunda pemulihan
fungsional pasien.

Pneumonia terjadi pada sekitar 34% dari seluruh kematian terkait


stroke dan merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak pada bulan
pertama setelah mengalami stroke, meskipun tidak seluruh kasus
pneumonia berkaitan dengan aspirasi makanan. Oleh karenanya, deteksi dini
dan pengobatan disfagia pada pasien yang telah mengalami strokes adalah
sangat penting.

FISIOLOGI MENELAN

Selama proses menelan, otot-otot diaktifkan secara berurutan dan


secara teratur dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer.
Begitu proses menelan dimulai, jalur aktivasi otot beruntun tidak berubah
dari otot-otot perioral menuju kebawah. Jaringan saraf, yang bertanggung
jawab untuk menelan otomatis ini, disebut dengan pola generator pusat.
Batang otak, termasuk nucleus tractus solitarius dan nucleus ambiguus
dengan formatio retikularis berhubungan dengan kumpulan motoneuron
kranial, diduga sebagai pola generator pusat.

Tiga Fase Menelan

Deglutition adalah tindakan menelan, dimana bolus makanan atau


cairan dialirkan dari mulut menuju faring dan esofagus ke dalam lambung.
Deglutition normal adalah suatu proses halus terkoordinasi yang melibatkan
suatu rangkaian rumit kontraksi neuromuskuler valunter dan involunter dan
dan dibagi menjadi bagian yang berbeda: (1) oral, (2) faringeal, dan (3)
esophageal. Masing-masing fase memiliki fungsi yang spesifik, dan, jika
tahapan ini terganggu oleh kondisi patologis, gejala spesifik dapat terjadi.

Fase Oral

Fase persiapan oral merujuk kepada pemrosesan bolus sehingga


dimungkinkan untuk ditelan, dan fase propulsif oral berarti pendorongan
makanan dari rongga mulut ke dalam orofaring. Prosesnya dimulai dengan
kontraksi lidah dan otot-otot rangka mastikasi. Otot bekerja dengan cara
yang berkoordinasi untuk mencampur bolus makanan dengan saliva dan dan
mendorong bolus makanan dari rongga mulut di bagian anterior ke dalam
orofaring, dimana reflek menelan involunter dimulai.

Cerebellum mengendalikan output untuk nuklei motoris nervus


kranialis V (trigeminal), VII (facial), dan XII (hypoglossal).

Dengan menelan suatu cairan, keseluruhan urutannya akan selesai


dalam 1 detik. Untuk menelan makanan padat, suatu penundaaan selama 5-
10 detik mungkin terjadi ketika bolus berkumpul di orofaring.

Fase Faringeal
Fase faringeal adalah sangat penting karena, tanpa mekanisme
perlindungan faringeal yang utuh, aspirasi paling sering terjadi pada fase ini.
Fase inimelibatkan rentetan yang cepat dari beberapa kejadian yang saling
tumpang tindih. Palatum mole terangkat. Tulang hyoid dan laring bergerak
keatas dan kedepan. Pita suara bergerak ke tengah, dan epiglottis melipat ke
belakang untuk menutupi jalan napas. Lidah mendorong kebelakang dan
kebawah menuju faring untuk meluncurkan bolus kebawah. lidah dubantu
oleh dinding faringeal, yang melakukan gerakan untuk mendorong makanan
kebawah.

Sphincter esophageal atas relaksasi selama fase faringeal untuk


menelan dan dan membuka oleh karena pergerakan os hyoid dan laring
kedepan. Sphincter akan menutup setelah makanan lewat, dan struktur
faringeal akan kembali ke posisi awal.

Fase faringeal pada proses menelan adalah involunter dan


kesemuanya adalah reflek, jadi tidak ada aktivitas faringeal yang ter jadi
sampai reflek menelan dipicu. Reflek ini melibatkan traktus sensoris dan
motoris dari nervus kranialis IX (glossofaringeal) dan X (vagus).

Fase Esophageal

Pada fase esophageal, bolus didorong kebawah oleh gerakan


peristaltik. Sphincter esophageal bawah relaksasi pada saat mulai menelan,
relaksasi ini terjadi sampai bolus makanan mecapai lambung. Tidak seperti
shincter esophageal bagian atas, sphincter bagian bawah membuka bukan
karena pengaruh otot-otot ekstrinsik.

Medulla mengendalikan reflek menelan involunter ini, meskipun


menelan volunter mungkin dimulai oleh korteks serebri.

Suatu interval selama 8-20 detik mungkin diperlukan untuk kontraksi


dalam menodorong bolus ke dalam lambung.
PATOFISIOLOGI

Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari


fase menelan yang dipengaruhinya.

Fase Oral

Gagguan pada fase Oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan


fase pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian
lidah. Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan padat
dan permulaan menelan. Ketika meminum cairan, psien mungki kesulitan
dalam menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai
akibatnya, cairan tumpah terlalu cepat kadalam faring yang belum siap,
seringkali menyebabkan aspirasi.

Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing


mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase oral sebagai
berikut:

 Tidak mampu menampung makanna di bagian depan mulut karena tidak


rapatnya pengatupan bibir

 Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut karena
berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah

 Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan oleh


lidah dan koordinasinya

 Tidak mampu mengatupkan gigi untukmengurangi pergerakan madibula

 Bahan makanan jatuh ke sulcus anterior atau terkumpul pada sulcus


anterior karena berkurangnya tonus otot bibir.
 Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut karena
dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah

 Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan atau
berkurangnya sensibilitas mulut

 Pencarian gerakan atau ketidakmampuan unutkmengatur gerakan lidah


karena apraxia untuk menelan

 Lidah bergerak kedepan untuk mulai menelan karena lidah kaku.

 Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan kekuatan


lidah

 Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah

 Kontak lidah-palatum yang tidaksempurna karena berkurangnya


pengangkatan lidah

 Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan lidah


keatas

 Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya elevasi


dan kekuatan lidah

 Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease

 Bolus tak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau melekat
pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan
linguavelar

 Piecemeal deglutition

 Waktu transit oral tertunda


Fase Faringeal

Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasienmungkin


tidak akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk
mempertahankan hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil
makanan biasanya tertahan pada valleculae atau sinus pyriform setelah
menelan. Dalam kasus kelemahan atau kurangnya koordinasi dari otot-otot
faringeal, atau pembukaan yang buruk dari sphincter esofageal atas, pasien
mungkin menahan sejumlah besar makanan pada faring dan mengalami
aspirasi aliran berlebih setelah menelan.

Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing


mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal sebagai
berikut:

 Penundaan menelan faringeal

 Penetrasi Nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan


velofaringeal

 Pseudoepiglottis (setelah total laryngectomy) – lipata mukosa pada dasar


lidah

 Osteofit Cervical

 Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena pengurangan


kontraksi bilateral faringeal

 Sisa makanan pada Vallecular karena berkurangnya pergerakan posterior


dari dasar lidah

 Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau


lipatan faringeal
 Sisa makanan pada puncak jalan napas Karena berkurangnya elevasi laring

 penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan


napas

 Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring

 Stasis atau residu pada sinus pyriformis karena berkurangnya tekanan


laringeal anterior

Fase Esophageal

Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan dan


minuman didalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat disebabka
oleh obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan pembukaan
Sphincter esophageal bawah.

Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing


mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan pada fase esophageal
sebgai berikut:

 Aliran balik Esophageal-ke-faringeal karena kelainan esophageal

 Tracheoesophageal fistula

 Zenker diverticulum

 Reflux

Aspirasi

Aspirasi adalah masuknya makanan atu cairan melalui pita suara.


Seseorang yang mengalami aspirasi beresiko tinggi terkena pneumonia.
Beberapa faktormempengaruhi efek dari aspirasi : banyaknya, kedalaman,
keadaan fisik benda yang teraspirasi, dan mekanisme pembersihan paru.
Mekanisme pembersihanpasu antara lain kerja silia dan reflek batuk. Aspirasi
normalnya memicu refleks batuk yang kuat. Jika ada gangguan sensosris,
aspirasi dapat terjadi tanpa gejala.

ETIOLOGI

Anamnesa yang lengkap membantu dokter dalam menentukan


bermacamp enyebab dari disfagia. Penyebab yang sering dari disfagia
adalah sebagai berikut:

 Stroke atau cedera otak traumatik (TBI)

 Motor neuron disease (amyotrophic lateral sclerosis [ALS])

 Parkinson disease dan penyakit degeneratif lainnya (apraxia)

 Poliomyelitis

 Multiple sclerosis

 Myasthenia gravis

 Myopathy (dermatomyositis, myotonic dystrophy)

 Laryngectomy

 Faringectomy, esophagectomy rekonstruksi dengan penarikan gastric

 Pembedahan kepala dan leher

 Collar Cervical, spondilosis cervical

 Ventilator-dependent patient
 Pasien tua

 Cerebral palsy

 esophageal-faringeal backflow, tracheoesophageal [T-E] fistula, Zenker


diverticulum, reflux

TANDA DAN GEJALA

 Disfagia Oral atau faringeal

o Batuk atau tersedak saat menelan

o Kesulitasn pada saat mulai menelan

o Makanan lengket di kerongkongan

o Sialorrhea

o Penurunan berat badan

o Perubahan pola makan

o Pneumonia berulang

o Perubahan suara (wet voice)

o Regusgitasi Nasal

 Disfagia Esophageal

o Sensasi makanan tersangkut di tenggorokan atau dada

o Regurgitasi Oral atau faringeal


o Perubahan pola makan

o Pneumonia rekuren

PEMERIKSAAN FISIK

 Pada Pemeriksaan fisik, periksa mekanisme motoris oral dan laryngeal.


Pemeriksaan nervus V dan VII-XII penting dalam menentukan bukti fisik
dari disfagia orofaringeal.

 Pengamatan langsung penutupan bibir, rahang, mengunyah, pergerakan


dan kekuatan lidah, elevasi palatal dan laryngeal, salivasi, dan sensitifitas
oral.

 Periksa kesadaran dan status kognitif pasien karena dapat mempengaruhi


keamanan menelan dan kemampuan kompensasinya.

 Dysphonia dan dysarthria adalah tanda disfungsi motoris struktur-struktur


yang terlibat pada menelan.

 Periksa mukosa dan gigi geligi mulut

 Periksa reflek muntah.

 Periksa fungsi pernapasan

 Tahap terakhir adalah pengamatan langsung aktivitas menelan. Setelah


menelan, amati pasien selama 1 menit atau lebih jika ada batuk tertunda

DIAGNOSIS BANDING
PENATALAKSANAAN

Terdapat pengobatan yang berbeda untuk berbagai jenis dysphagia. Pertama


dokter dan speech-language pathologists yang menguji dan menangani gangguan
menelan menggunakan berbagai pengujian yang memungkinkan untuk melihat
bergagai fungsi menelan. salah satu pengujian disebut dengan, laryngoscopy serat
optik, yang memungkinkan dokter untuk melihat kedalam tenggorokan. Pemeriksaan
lain, termasuk video fluoroscopy, yang mengambil video rekaman pasien dalam
menelan dan ultrasound, yang menghasikan gambaran organ dalam tubuh, dapat
secara bebas nyeri memperlihakab tahapan-tahapan dalam menelan.

Setelah penyebab disfagia ditemukan, pembedahan atau obat-obatan dapat


diberikan. Jika dengan mengobati penyebab dysphagia tidak membantu, dokter
mungkin akan mengirim pasien kepada ahli patologi hologist yang terlatih dalam
mengatasi dan mengobati masalah gangguan menelan.

Pengobatan dapat melibatkan latihan otot ntuk memperkuat otot-otot facial atau
untuk meninkatkan koordinasi. Untuk lainnya, pengobatan dapat melibatkan pelatihan
menelan dengan cara khusus. Sebagai contoh, beberapa orang harus makan denan
posisi kepala menengok ke salah satu sisi atau melihat lurus ke depan. Meniapkan
makanan sedemikian rupa atau menghindari makanan tertentu dapat menolong orang
lain. Sebagai contoh, mereka yang tidak dapat menelan minuman mungkin memerlukan
pengental khusus untukminumannya. Orang lain mungkin garus menghindari makanan
atau minuman yang panan ataupun dingin.

Untuk beberapa orang, namun demikian, mengkonsumsi makanan dan minuman lewat
mulut sudah tidak mungkin lagi. Mereka harus menggunakan metode lain untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi. Biasanya ini memerlukan suatu system pemberian
makanan, seperti suatu selang makanan (NGT), yang memotong bagian menelan yang
tidak mampu bekerja normal

 Berbagai pengobatan telah diajukan unutk pengobatan disfagia orofaringeal


pada dewasa. Pendekatan langsung dan tidak langsung disfagia telah
digambarkan. Pendekatan langsung biasnya melibatkan makanan,
pendekatan tidak langsung biasanya tanpa bolus makanan.

 Modifikasi diet

Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum disfagia.


Suatu diet makanan yang berupa bubur direkomendasikan pada pasien
dengan kesulitan pada fase oral, atau bagi mereka yang memiliki retensi
faringeal untuk mengunyah makanan padat.

Jka fungsi menelan sudah membaik, diet dapat diubah menjadi makanan
lunak atau semi-padat sampai konsistensi normal.

 Suplai Nutrisi

Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat
menyebabkan malnutrisi

Banyak produk komersial yang tersedia untuk memberikan bantuan


nutrisi. Bahan-bahan pengental, minuman yang diperkuat, bubur instan
yang diperkuat, suplemen cair oral. Jika asupan nutrisi oral tidak adekuat,
pikirkan pemberian parenteral.

 Hidrasi
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala keadaan
hidrasi pasien sangat penting dan cairan intravena diberikan jika terapat
dehidrasi

 Pembedahan

o Pembedahan gastrostomy

Pemasangan secara operasi suatu selang gastrostomy memerlukan


laparotomy dengan anestesi umum ataupun lokal.

o Cricofaringeal myotomy

Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan


unutk mengurangi tekanan pada sphicter faringoesophageal (PES)
dengan mengincisi komponen otot utama dari PES.

Injeksi botulinum toxin kedalam PES telah diperkenalkan sebagai


ganti dari CPM.

DAFTAR RUJUKAN

1. Paik N.J., Dysphagia, available from URL :


http://www.emedicine.com/pmr/topic194.htm

2. Spieker M.R., Evaluating Dysphagia, available from URL :


http://www.aafp.org/afp/20000615/contents.html

Konstipasi

1. Definisi Konstipasi

Definisi kontipasi bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan
kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya berak setiap 2-3 hari dengan tinja yang
lunak tanpa kesulitan, bukan disebut konstipasi. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air
besar berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar,
terdapat rasa sakit, harus mengejan atau feses keras.
Konstipasi berarti bahwa perjalanan tinja melalui kolon dan rektum mengalami penghambatan
dan biasanya disertai kesulitan defekasi. Disebut konstipasi bila tinja yang keluar jumlahnya
hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya terjadi kurang dari 3 x dalam 1 minggu.

Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipasi telah ditetapkan, meliputi minimal 2
keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita penderita minimal 25 % selama minimal 3
bulan:

1. Tinja yang keras

2. Mengejan pada saat defekasi

3. Perasaan kurang puas setelah defekasi, dan

4. Defekasi hanya 2 x atau kurang dalam seminggu.

Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat
diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa
keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu
(Whitehead 1999):

1. Defekasi kurang dari 3x/minggu

2. Mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi

3. Perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi

4. Tinja yang keras minmal 25 %

5. Perasaan defekasi yang terhalang, dan

1. Penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja

2. Patofisiologi

Konstipasi dapat terjadi apabila salah satu atau lebih faktor yang terkait dengan faktor anatomi
dan fisiologi dalam proses mekanisme berak terganggu. Gangguan dapat terjadi pada kekuatan
propulsif, sensasi rektal ataupun suatu obstruksi fungsional pengeluaran (functional outlet).
Konstipasi dikatakan idiopatik apabila tidak dapat dijelaskan adanya abnormalitas anatomik,
fisiologik, radiologik dan histopatologik sebagai penyebabnya.

Konstipasi pada masa bayi biasanya disebabkan masalah diet atau pemberian minum. Berak
yang nyeri dapat merupakan pencetus primer dari konstipasi pada awal masa anak. Pada masa
bayi dan anak, konstipasi kronik dapat disebabkan lesi anatomis, masalah neurologis, disfungsi
neuromuskuler otot intrinsik, obat farmakologis, faktor metabolik atau endokrin. Pada masa anak
penyebab terbanyak adalah konstipasi fungsional yang biasanya berawal dari kurangnya
makanan berserat, kurang minum atau kurangya aktifitas

Akibat dari konstipasi

Sebagaimana diketahui, fungsi kolon di antaranya melakukan absorpsi cairan elektrolit, zat-zat
organik misalnya glukose dan air, hal ini berjalan terus sampai di kolon descendens. Pada
seseorang yang mengalami konstipasi, sebagai akibat dari absorpsi cairan yang terus
berlangsung, maka tinja akan menjadi lebih padat dan mengeras. Tinja yang keras dan padat
menyebabkan makin susahnya defekasi, sehingga akan menimbulkan haemorrhoid.
Sisa-sisa protein di dalam makanan biasanya dipecahkan di dalam kolon dalam bentuk indol,
skatol, fenol, kresol dan hydrogen sulfide. Sehingga akan memberikan bau yang khas pada tinja.
Pada konstipasi juga akan terjadi absorpsi zat-zat tersebut terutama indol dan skatol, sehingga
akan terjadi intestinal toksemia. Bila terjadi intestinal toksemia maka pada penderita dengan
sirhosis hepatis merupakan bahaya. Pada kolon stasis dan adanya pemecahan urea oleh bakteri
mungkin akan mempercepat timbulnya “hepatik encepalopati” pada penderita sirhosis hepatis.

3. Tanda dan Gejala

Gejala dan tanda akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola makan,
hormon,gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya gejala dan
tanda yang umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya
adalah sebagai berikut:

a. Gejala fisik

1) Perut terasa penuh, dan bahkan terasa kaku.Tubuh tidak fit, tidak nyaman, lesu, cepat lelah,
dan terasa berat sehingga malas mengerjakan sesuatu bahkan kadang-kadang sering mengantuk.

2) Sering berdebar-debar sehingga mudah stres, sakit kepala atau bahkan demam.

3) Tinja atau feses lebih keras, lebih panas, berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan
jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya.

4) Pada saat buang air besar feses atau tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, tubuh berkeringat
dingin, dan kadang-kadang harus mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu
supaya dapat mengeluarkan dan membuang tinja (bahkan sampai mengalami ambeien).
Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.

5) Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan terganjal sesuatu disertai sakit akibat
bergesekan dengan tinja atau feses yang kering dan keras atau karena mengalami ambeien atau
wasir sehingga pada saat duduk terasa tidak nyaman.
6) Lebih sering buang angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya.

7) Menurunnya frekwensi buang air besar, dan meningkatnya waktu buang air besar (biasanya
buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih lama lagi).

8) Terkadang mual dan muntah.

b. Gejala psikologis

1) Mudah emosi.

2) Lebih suka menyendiri.

3) Gelisah.

4) Susah tidur.

5) Kurang percaya diri dan kurang bersemangat.

c. Lainnya

Munculnya rasa mulas dan nyeri pada perut bukan suatu tanda dan gejala, begitupula mulas dan
nyeri yang tak tentu juga tidak menuju ke suatu gejala penyakit. Konstipasi atau sembelit lebih
sering terjadi pada anak-anak (karena sistem pencernaan pada anak-anak belum terlalu
sempurna) dan orang tua (karena kinerja sistem pencernaan pada orang tua menurun), dan lebih
banyak terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada anak-anak, konstipasi dapat
mengarah kepada soiling (enuresis dan encopresis).

4. Etiologi

Penyebab konstipasi biasanya multifaktor, misalnya : Konstipasi sekunder (diit, kelainan


anatomi, kelainan endokrin dan metabolik, kelainan syaraf, penyakit jaringan ikat, obat, dan
gangguan psikologi), konstipasi fungsional (konstipasi biasa, “Irritabel bowel syndrome”,
konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi kolon, obstruksi intestinal kronik,
“rectal outlet obstruction”, daerah pelvis yang lemah, dan “ineffective straining”), dan lain-lain
(diabetes melitus, hiperparatiroid, hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan
skleroderma).

1. Konstipasi sekunder

1) Pola hidup: Diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang buruk,
kurang olahraga.

2) Kelainan anatomi (struktur) : fissura ani, hemoroid, striktur, dan tumor, abses perineum,
megakolon.
3) Kelainan endokrin dan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, DM, dan
kehamilan.

4) Kelainan syaraf : stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple, lesi sumsum
tulang belakang, penyakit Chagas, disotonomia familier.

5) Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, “mixed connective-tissue disease”.

6) Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi, bismuth), anti
kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium, senyawa kalsium), “calcium channel
blockers” (verapamil), OAINS (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine),
cholestyramine dan laksan stimulans jangka panjang.

7) Gangguan psikologi (depresi).

1. Konstipasi fungsional = kontipasi simple atau temporer

1) Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi.

2) “Irritabel bowel syndrome”

3) Konstipasi dengan dilatasi kolon : “idiopathic megacolon or megarektum”

4) Konstipasi tanpa dilatasi kolon : “idiopathic slow transit constipation”

5) Obstruksi intestinal kronik.

6) “Rectal outlet obstruction” : anismus, tukak rectal soliter, intusesepsi.

7) Daerah pelvis yang lemah : “descending perineum”, rectocele.

8) Mengejan yang kurang efektif (“ineffective straining”)

5. Penanganan

Anus yang tidak tampak normal baik bentuk maupun posisinya


Anak yang mengalami konstipasi harus dilatih untuk membangun kebiasaan BAB yang baik.
Salah satu caranya adalah dengan membiasakan duduk di toilet secara teratur sekitar lima menit
setelah sarapan, bahkan jika anak tidak merasa ingin BAB. Anak harus duduk selama lima menit,
bahkan jika anak telah menyelesaikan BAB sebelum lima menit tersebut habis.

Anak juga harus belajar untuk tidak menahan keinginan BAB. Kadang anak mengalami
kekhawatiran jika harus menggunakan toilet di sekolah. Jika orang tua mencurigai adanya
masalah tersebut, orang tua hendaknya membicarakan masalah tersebut dengan anak maupun
pihak sekolah.

Makanan tinggi serat. Serat membuat BAB lebih lunak karena menahan lebih banyak air dan
lebih mudah untuk dikeluarkan. Memperbanyak jumlah serat dalam makanan anak dapat
mencegah konstipasi. Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan serat anak adalah:

1) Berikan minimal 2 sajian buah setiap hari. Buah yang dimakan beserta kulitnya, misalnya
plum, aprikot, dan peach, memiliki banyak kandungan serat.

2) Berikan minimal 3 sajian sayuran setiap hari.

3) Berikan roti gandum (wheat) sebagai ganti roti putih.


Banyak minum dapat mencegah konstipasi. Biasakan anak untuk minum setiap kali makan,
sekali di antara waktu makan, dan sebelum tidur. Namun perlu diperhatikan bahwa terlalu
banyak susu sapi atau produk susu lainnya (keju, yogurt) justru dapat mengakibatkan konstipasi
pada sebagian anak.

6. Pengobatan

a. Laksans

Sebagian besar penderita dengan konstipasi ringan biasanya tidak membutuhkan pemberian
laksans. Namun bagi mereka yang telah melakukan perubahan gaya hidup, tetapi masih tetap
mengalami konstipasi, pemberian laksans dan atau klisma untuk jangka waktu tertentu dapat
dipertimbangkan. Pengobatan ini dapat menolong sementara untuk mengatasi konstipasi yang
telah berlangsung lama akibat usus yang malas. Laksans dapat diberikan per oral, dalam bentuk
cairan, tablet, bubuk.

b. Bulk forming agents/hydrophilic

Digunakan untuk meningkatkan masa tinja, hingga akan merangsang terjadinya perilstatik.
Bahan ini biasanya cukup aman, tetapi dapat mengganggu penyerapan obat lain. Laksans ini juga
dikenal dengan nama “fiber supplements”, dan harus diminum dengan air. Beberapa contoh:
Psyllium (Metamucil,Fiberall), Methylcellulose (Citrucel), Ispaghula (Mucofalk) dan Dietary
brand.

c. Emollients/softeners/surfactant/wetting agents

Menurunkan tekanan permukaan tinja, membantu penyampuran bahan cairan dan lemak,
sehingga dapat melunakkan tinja. Pelunak tinja (“stool softeners”) dapat melembabkan tinja, dan
menghambat terjadinya dehidrasi. Laksans ini banyak dianjurkan pada penderita setelah
melahirkan atau pasca bedah. Beberapa contoh:
Docusate (Colace, Surfak), Mineral oil dan Polaxalko.

d. Emollient stool softeners in combination with stimulants / irritant


“Emollient stool softeners” menyebabkan tinja menjadi lunak. Stimulan meningkatkan aktivitas
perilstatik saluran cerna, menimbulkan kontraksi otot yang teratur (“rhythmic”). Beberapa
contoh : Docusate sodium and casanthranol combination (Peri-Colace, Diocto C, SilaceC)
Bisacodyl (Dulcolax), Brand names include Correctol®, Senna®, Purge®, Feen-A-Mint®, and
Senokot®.

e. Osmotic laxatives

Mempunyai efek menahan cairan dalam usus, osmosis, atau mempengaruhi pola distribusi air
dalam tinja. Laksans jenis ini mempunyai kemampuan seperi “spons”, menarik air ke dalam
kolon, sehingga tinja mudah melewati usus. Hyperosmolar laxatives : Polyethylene glycol
solution (Miralax) Lactulose (Cephulac, Cholac, Constilac, Duphalac, Lactulax) Sorbitol
Glycerine.

Penderita yang sudah tergantung pada pemakaian laksans ini, sebaiknya dianjurkan untuk
menghentikan obat ini secara perlahan-lahan.

7. Pengobatan Lain

Pengobatan spesifik terhadap terhadap penyebab konstipasi, juga dapat dikerjakan tergantung
apakah penyebabnya dapat dikoreksi atau tidak.

a. Prokinetik

Obat-obat prokinetik telah dicoba untuk pengobatan konstipasi, tetapi belum banyak publikasi
yang menunjukkan efektivitasnya. Obat prokinetik (seperti : cisapride dan metoclopramide)
merupakan agonis 5HT4 dan antagonis 5HT3. Dalam uji klinik fase III, tegaserod 12 mg/hari,
menghasilkan peningkatan kelompok “Irritabel bowel syndrome” tipe konstipasi yang mencapai
tujuan utama “hilangnya keluhan “ penderita. Efek sekunder yang ditemukan termasuk antara
lain perbaikan dalam konstipasi, nyeri sepanjang hari, dan rasa kembung.

b. Klisma dan supositoria

Bahan tertentu dapat dimasukkan ke dalam anus untuk merangsang kontraksi dengan cara
menimbulkan distensi atau lewat pengaruh efek kimia, untuk melunakkan tinja. Kerusakan
mukosa rektum yang berat dapat terjadi akibat ekstravasasi larutan klisma ke dalam lapisan
submukosa. Beberapa cara yang dapat dipakai:

1) Klisma dengan PZ atau air biasa

2) Na-fosfat hipertonik

3) Gliserin supositori
4) Bisacodyl supositori

c. Biofeedback

Penderita dengan konstipasi kronik akibat disfungsi anorektal dapat dicoba dengan pengobatan
“biofeedback” untuk mengembalikan otot yang mengendalikan gerakan usus. “Biofeedback”
menggunakan sensor untuk memonitor aktivitas otot yang pada saat yang sama dapat dilihat di
layar komputer sehingga fungsi tubuh dapat diikuti dengan lebih akurat.

d. Operasi

Tindakan bedah (subtotal colectomy dengan ileo-ractal anastomosis) hanya dicadangkan pada
penderita dengan keluhan yang berat akibat kolon yang tidak berfungsi sama sekali (“colonic
inertia”). Namun tindakan ini harus dipertimbangkan sungguh-sungguh, karena komplikasinya
cukup banyak seperti : nyeri perut dan diare.

Obstipasi

1. Definisi Obstipasi

Necel (Desember 2007) Obstipasi berasal dari bahasa Latin: Ob berarti in the way = perjalanan
dan Stipare berarti to compress = menekan.

Gejala antara obstipasi dan konstipasi sangat mirip dimana terdapat kesukaran mengeluarkan
feses (defekasi). Namun obstipasi dibedakan dari konstipasi berdasarkan penyebabnya.
konstipasi disebabkan selain dari obstruksi intestinal sedangkan obstipasi karena adanya
obstruksi intestinal. Gejala obstipasi berupa pengeluaran feses yang keras dalam jangka waktu
tiap 3-5 hari, kadang disertai adanya perasaan perut penuh akibat adanya feses atau gas dalam
perut. Sebab dari obstipasi ada 2 yaitu:

1. Obstipasi akibat obstruksi dari intralumen usus meliputi akibat adanya kanker dalam
dinding usus

2. Obstipasi akibat obstruksi dari ekstralumen usus, biasanya akibat penekanan usus oleh
massa intraabdomen misalnya adanya tumor dalam abdomen yang menekan rectum.

2. Macam-macam Obstipasi

Obstipasi ada dua macam:

1. Obstipasi obstruksi total

Memiliki ciri tidak keluarnya feses atau flatus dan pada pemeriksaan colok dubur didapatkan
rectum yang kosong, kecuali jika obstruksi terdapat pada rectum.
1. Obstipasi obstruksi parsial.

Memiliki ciri pasien tidak dapat buang air besar selama beberapa hari tetapi kemudian dapat
mengeluarkan feses disertai gas. Keadaan obstruksi parsial kurang darurat daripada obstruksi
total.

Obstipasi didiagnosa melalui cara:

1. Anamnesis

Riwayat penyakit difokuskan pada gagal untuk mengeluarkan baik feses maupun gas. Perlu
untuk menentukan apakah termasuk obstruksi total atau partial.

Anamnesis ditujukan untuk menggali lebih dalam riwayat penyakit terdahulu yang mungkin
dapat menstimulasi terjadinya obstipasi.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan abdomen standar seperti inspeksi, auskultasi, perkusi,dan palpasi untuk melihat
apakah ada massa abdomen, nyeri abdomen, dan adanya distensi kolon.

Obstruksi usus pada fase lanjut tidak terdengar bising usus. Pemeriksaan region femoral dan
inguinal untuk melihat apakah ada hernia atau tidak. Obstruksi kolon bisa terjadi akibat hernia
inguinal kolon sigmoid

Pemeriksaan rectal tussae (colok dubur) untuk mengidentifikasi kelainan rectum yang mungkin
menyebabkan obstruksi dan memberikan gambaran tentang isi rectum.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Hb,urine dan lai sebagainya yang di anggap perlu

Pencitraan dengan CT scan, USG, X rays dengan atau tanpa bahan kontras

Pencitraan untuk melihat apakah ada dilatasi kolon. Dilatasi kolon tanpa udara menandakan
obstruksi total dan dilatasi kolon dengan terdapat udara menandakan partial obstruksi parsial.
Pencitraan ini dapat digunakan untuk menentukan letak obstruksi dan penyebab obstruksi.

Laboratorium seperti pemeriksaan elektrolit darah (mengetahui dehidrasi dan ketidakseimbangan


elektrolit), hematokrit (apakah ada anemia yang dihubungkan dengan perdarahan usus missal
akibat neoplasma), hitung leukosit (mengetahui infeksi usus). Endoskopi untuk melihat bagian
dalam kolon dan mennetukan sebab obstipasi.

3. Penanganan obstipasi
Perawatan medis

Meliputi resusitasi untuk mengoreksi cairan dan elektrolit tubuh, nasograstis decompression pada
obstruksi parah untuk mencegah muntah dan aspirasi, dan pengobatan lain untuk mencegah
semakin parahnya sakit

Operasi

Untuk mengatasi obstruksi sesuai dengan penyebab obstruksi, dan untuk mencegah perforasi
usus akibat tekanan tinggi. Obstipasi obstruksi total bersifat sangat urgent untuk dilakukan
tindakan segera dimana jika terlambat dilakukan dapat mengakiabtkan perforasi usus karena
peningkatan tekanan feses yang besar.

Diet

Pada obstruksi total dianjuran tidak makan apa-apa, pada obstruksi parsial dapa diberikan
makanan cair dan obat-obatan.

referensi:

http://ahrikuwordpress.com, http://id.wikipedia.org, http://www.scribd.com

Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatik, Jakarta, EGC

http://dasatisnaasyari.blogspot.com/2011/06/patologi-konstipasi-dan-obstipasi.html

KONSTIPASI
Alpha Fardah A., IG. M. Reza Gunadi Ranuh, Subijanto Marto Sudarmo

BATASAN

Keluarnya tinja yang sulit, keras, tidak basah dengan ukuran yang lebih besar dari biasanya atau
frekwensi buang air besar kurang dari 3 kali seminggu atau.

PATOFISIOLOGI

Konstipasi dapat terjadi apabila salah satu atau lebih faktor yang terkait dengan faktor anatomi
dan fisiologi dalam proses mekanisme berak terganggu. Gangguan dapat terjadi pada kekuatan
propulsif, sensasi rektal ataupun suatu obstruksi fungsional pengeluaran (functional outlet).
Konstipasi dikatakan idiopatik apabila tidak dapat dijelaskan adanya abnormalitas anatomik,
fisiologik, radiologik dan histopatologik sebagai penyebabnya.
Konstipasi pada masa bayi biasanya disebabkan masalah diet atau pemberian minum. Berak
yang nyeri dapat merupakan pencetus primer dari konstipasi pada awal masa anak. Pada masa
bayi dan anak, konstipasi kronik dapat disebabkan lesi anatomis, masalah neurologis, disfungsi
neuromuskuler otot intrinsik, obat farmakologis, faktor metabolik atau endokrin. Pada masa anak
penyebab terbanyak adalah konstipasi fungsional yang biasanya berawal dari kurangnya
makanan berserat, kurang minum atau kurangya aktifitas.

GEJALA KLINIK

Selain konstipasi sendiri, juga dapat ditemukan gejala klinis lain :

- anoreksia ringan

- tenesmus

- flatus berlebihan

- nyeri perut

- bercak garis darah yang menempel pada tinja sebagai akibat fisura ani

- prolaps rekti

- masa tinja pada abdomen bagian bawah

- rembesan tinja pada celana dalam (soiling)

CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSIS

Diagnosis konstipasi fungsional ditegakkan apabila dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium serta radiologi tidak dapat ditemukan penyebab organik dari
konstipasi yang terjadi.

DIAGNOSA BANDING

- Penyakit Hirschprung

- Hipotiroid

- Ileus
PENATALAKSANAAN

Penanganan umum :

a. Manipulasi diet

Dengan menambahkan cairan dan banyak memberikan makanan berseratt, serta dicari
apakah makanan/minuman yang tlah diterima anak mengandung bahan yang dapat
menimbulkan konstipasi

b. Pemberian obatan-obatan yang meliputi 3 tahapan yaitu :

- Tahap Pertama untuk meniadakan pemampatan tinja (disimpaction)

Laktulosa 5-15 ml sekali sehari atau dengan enema fosfat hipertonik 3 ml/kg, diberikan
4-6 minggu.

- Tahap kedua untuk mencegah penumpukan tinja kembali, dengan diberikan laksan yang
bersifat stimulan atau osmotik seperti laktulosa. Tahap kedua ini dilakukan selama 3
bulan.

- Tahap ketiga untuk menciptakan pergerakan intestinal yang teratur, dengan toilet
training. Refleks gastrokolikdiharapkan timbul bila anak didudukkan di atas jamban
(toilet) selama 5-15 menit sesudah anak mendapat makanan (biasanya makanan pagi).

DISFAGIA

I. Pendahuluan
1. Disfagia sebagai sebuah keluhan utama.
Disfagia merupakan salah satu keluhan paling spesifik dari penyakit gastrointestinal dan hampir
selalu menunjukkan adanya satu jenis atau lebih malfungsi dari esofagus. Disfagia hampir selalu
disebabkan oleh penyakit organik, dan sangat jarang merupakan keluhan yang bersifat fungsional
(psikogenik). Karena itu, sangat penting untuk mencari kelainan struktur maupun fungsi dari
esofagus bila terdapat keluhan disfagia, dan tidak segera menghubungkan disfagia dengan
kelainan psikiatrik.
2. Batasan disfagia.
Disfagia didefinisikan sebagai perasaan tersumbatnya aliran makanan atau “perasaan lengketnya
makanan” yang masuk melalui mulut, faring, atau esofagus. Pasien dengan disfagia merasakan
adanya gangguan atau kesulitan pada gerakan menelan, dan apa yang ditelannya itu tidak turun
dengan baik dan seperti mengganjal di kerongkongan.
3. Istilah lain yang berhubungan dengan proses menelan.
Disfagia harus dibedakan dari gejala lain yang berhubungan dengan proses menelan.
 Afagia (tidak bisa menelan sama sekali) terjadi karena obstruksi lengkap esofagus, biasanya
akibat terjepitnya bolus makanan, dan merupakan keadaan emergensi.
 Kesulitan untuk memulai proses menelan timbul apabila terdapat gangguan pada fase
volunter dari proses menelan. Meskipun begitu, bila telah dimulai, proses menelan dapat
diselesaikan secara normal.
 Odinofagia berarti nyeri menelan. Seringkali odinofagi dan disfagia terjadi bersamaan.
 Globus faringeus adalah sensasi adanya benjolan yang menyangkut di dalam tenggorokan,
namun tidak disertai dengan kesulitan menelan. Arah aliran makanan yang salah menyebabkan
regurgitasi nasal dan aspirasi laringeal serta pulmonal selama proses menelan. Hal ini merupakan
karakteristik dari disfagia.
 Fagofobia berarti rasa takut menelan dan menolak untuk menelan, dapat terjadi pada histeria,
rabies, tetanus, dan paralisis faring akibat ketakutan terjadi aspirasi. Lesi inflamasi yang nyeri
pada odinofagia juga dapat menyebabkan penderita menolak menelan. Beberapa penderita dapat
merasakan makanan yang berjalan ke bawah dalam esofagus. Sensitivitas esofagus ini tidak
berhubungan dengan perlengketan makanan atau obstruksi.
 Perasaan penuh dalam epigastrium yang timbul setelah makan atau setelah menelan udara
juga jangan sampai disalahartikan menjadi disfagia.

II. Fisiologi Menelan (Deglutisi)


1. Proses menelan yang kompleks.
Menelan adalah mekanisme kompleks, terutama karena faring hampir setiap saat melakukan
beberapa fungsi lain di samping menelan dan hanya diubah dalam beberapa detik untuk
mendorong makanan. Penting untuk dingat bahwa respirasi tidak terganggu akibat menelan.
2. Tahap-tahap proses menelan.
Proses menelan bermula dari fase volunter (oral) selama bolus makanan didorong ke dalam
faring oleh kontraksi dari lidah. Bolus kemudian mengaktivasi reseptor sensoris orofaring yang
kemudian akan menginisiasi fase involunter (faringeal dan esofageal), atau disebut juga refleks
deglutisi. Secara lengkap, tahap-tahap menelan umumnya dapat dibagi menjadi :
 Tahap volunter, yang mencetuskan proses menelan,
 Tahap faringeal, yang bersifat involunter dan membantu jalannya makanan melalui faring ke
dalam esofagus; dan
Tahap esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan dari faring ke
lambung.

2.1 TAHAP VOLUNTER DARI PENELANAN


Bila makanan sudah siap untuk ditelan, "secara sadar" makanan ditekan atau digulung ke arah
posterior ke dalam faring oleh tekanan lidah ke atas dan ke belakang terhadap palatum, seperti
yang ditunjukkan pada gambar 1. Dari sini, proses menelan menjadi seluruhnya—atau hampir
seluruhnya—berlangsung secara otomatis dan umumnya tidak dapat dihentikan.

2.2 TAHAP FARINGEAL DARI PENELANAN


1. Rangkaian kontraksi otot faringeal saat menelan.
Sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring, bolus merangsang daerah
reseptor menelan di seluruh pintu faring, khususnya pada tiang-tiang tonsil, dan impuls-impuls
dari sini berjalan ke batang otak untuk mencetuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara
otomatis sebagai berikut :
 Palatum mole tertarik ke atas untuk menutupi nares posterior, dengan cara ini mencegah
refluks makanan ke rongga hidung.
 Lipatan palatofaringeal di kedua sisi faring tertarik ke medial untuk saling mendekat. Dengan
cara ini, lipatan-lipatan tersebut membentuk celah sagital yang harus dilewati makanan untuk
masuk ke dalam faring posterior. Celah ini melakukan kerja selektif, sehingga makanan yang
telah cukup dikunyah dapat lewat dengan mudah sementara menghalangi lewatnya benda yang
besar. Karena tahap ini berlangsung < 1 detik, tiap benda besar apa pun sangat dihalangi untuk
berjalan melewati faring masuk ke esofagus.
 Pita suara laring bertautan secara erat, dan laring ditarik ke atas dan anterior oleh otot-otot
leher. Kerja ini, digabung dengan adanya ligamen yang mencegah pergerakan epiglotis ke atas,
menyebabkan epiglotis bergerak ke belakang di atas pembukaan laring. Kedua efek ini mencegah
masuknya makanan ke dalam trakea. Yang paling penting adalah eratnya tautan pita suara,
namun epiglotis juga membantu mencegah makanan agar sejauh mungkin dari pita suara.
Kerusakan pita suara atau otot-otot yang membuatnya bertautan dapat menyebabkan strangulasi.
Sebaliknya, pembuangan epiglotis biasanya tidak menyebabkan gangguan yang serius pada
penelanan.
 Gerakan laring ke atas juga menarik dan melebarkan pembukaan esofagus. Pada saat yang
sama, 3-4 cm di atas dinding otot esofagus, suatu area yang dinamakan sfingter esofagus bagian
atas atau sfingter faringoesofageal berelaksasi, sehingga makanan dapat bergerak dengan mudah
dan bebas dari faring posterior ke dalam esofagus bagian atas. Di antara penelanan, sfingter ini,
tetap berkontraksi dengan kuat (sebesar tekanan 60 mm Hg di dalam lumen usus), mencegah
udara masuk ke esofagus selama respirasi.
 Pada saat yang sama dengan terangkatnya laring dan relaksasi sfingter faringoesofageal,
seluruh otot dinding faring berkontraksi, mulai dari superior faring dan menyebar ke bawah
sebagai gelombang peristaltik yang cepat melintasi daerah faring media dan inferior, untuk
kemudian mendorong makanan ke dalam esofagus.
Sebagai ringkasan mekanika tahapan penelanan dari faring: trakea tertutup, esofagus terbuka,
dan suatu gelombang peristaltik cepat berasal dari faring mendorong bolus makanan ke dalam
esofagus bagian atas. Seluruh proses terjadi dalam waktu kurang dari 2 detik.
2. Pengaturan saraf pada tahap faringeal dari menelan.
 Daerah taktil paling sensitif dari mulut posterior dan faring yang mengawali fase penelanan
terletak pada suatu cincin yang mengelilingi pembukaan faring, dengan sensitivitas terbesar pada
tiang-tiang tonsil. Impuls dijalarkan dari daerah ini melalui bagian sensoris saraf trigeminal dan
glosofaringeal ke daerah medula oblongata di dalam atau yang berhubungan erat dengan traktus
solitarius, yang terutama menerima semua impuls sensoris dari mulut.
 Proses menelan selanjutnya diatur secara otomatis dalam urutan yang rapi oleh daerah-daerah
neuron di batang otak yang didistribusikan ke seluruh substansia retikularis dan bagian bawah
pons. Urutan refleks penelanan ini sama dari satu penelanan ke penelanan berikutnya, dan waktu
untuk seluruh siklus juga tetap sama. Daerah di medula dan pons bagian bawah yang mengatur
penelanan disebut pusat menelan atau pusat deglutisi. Impuls motorik dari pusat menelan ke
faring dan esofagus bagian atas dijalarkan oleh saraf kranial ke-5, 9, 10, dan 12 serta beberapa
saraf servikal superior.
 Ringkasnya, tahap faringeal dari penelanan pada dasarnya merupakan suatu refleks
(involunter), yang hampir tidak pernah dimulai oleh rangsangan langsung pada pusat menelan
atau daerah yang lebih tinggi di sistem saraf pusat. Sebaliknya, proses ini hampir selalu diawali
oleh gerakan makanan secara volunter (disadari) masuk ke bagian belakang mulut, yang
merangsang reseptor-reseptor sensoris untuk menimbulkan refleks menelan.
3. Pengaruh tahap faringeal dari penelanan terhadap respirasi.
Seluruh tahap faringeal dari penelanan terjadi dalam waktu < 2 detik, dan mengganggu respirasi
hanya sekejap. Pusat menelan secara khusus menghambat pusat respirasi medula selama waktu
ini, menghentikan pernapasan untuk memungkinkan berlangsungnya penelanan. Namun bahkan
saat seseorang sedang berbicara, penelanan akan menghentikan pernapasan selama waktu yang
sedemikian singkat sehingga tidak pernah untuk diperhatikan.
2.3 TAHAP ESOFAGEAL DARI PENELANAN
1. Penyesuaian gerakan dengan fungsi esofagus : peristaltik primer dan sekunder.
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan dari faring ke lambung, dan
gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut. Normalnya, esofagus memperlihatkan
dua tipe gerakan peristaltik: peristaltik primer dan peristaltik sekunder.
 Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari gelombang peristaltik yang dimulai di
faring dan menyebar ke esofagus selama tahap faringeal dari penelanan. Gelombang ini berjalan
dari faring ke lambung dalam waktu sekitar 8-10 detik. Makanan yang ditelan dalam posisi tegak
biasanya bahkan dihantarkan lebih cepat daripada gelombang peristaltik itu sendiri (sekitar 5-8
detik), akibat adanya efek gravitasi.
 Jika gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan yang telah masuk
esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari
peregangan esofagus oleh makanan yang tertahan, dan terus berlanjut sampai semua makanan
dikosongkan ke dalam lambung. Gelombang sekunder ini sebagian dimulai oleh sirkuit saraf
intrinsik dalam sistem saraf mienterikus esofagus dan sebagian oleh refleks-refleks yang
dihantarkan melalui serat-serat aferen vagus dari esofagus ke medula dan kemudian kembali lagi
ke esofagus melalui serat-serat eferen vagus.
2. Pengaturan saraf pada tahap faringeal dari menelan.
Susunan otot faring dan 1/3 bagian atas esofagus adalah otot lurik. Karena itu, gelombang
peristaltik di daerah ini hanya diatur oleh impuls saraf rangka dalam saraf glosofaringeal dan
saraf vagus. Pada 2/3 bagian bawah esofagus, yang ototnya merupakan otot polos, juga secara
kuat diatur oleh saraf vagus melalui hubungannya dengan sistem saraf mienterikus. Bila saraf
vagus yang menuju esofagus terpotong, setelah beberapa hari pleksus saraf mienterikus esofagus
mampu menimbulkan gelombang peristaltik sekunder yang kuat tanpa bantuan dari refleks vagal.
Karena itu, sesudah paralisis refleks penelanan, makanan yang didorong dengan cara lain ke
dalam esofagus bagian bawah tetap siap untuk masuk ke dalam lambung.
3. Relaksasi reseptif dari lambung.
Saat gelombang peristaltik esofagus berjalan ke arah lambung, timbul suatu gelombang relaksasi,
yang dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus, mendahului peristaltik. Selanjutnya,
seluruh lambung, bahkan duodenum menjadi terelaksasi saat gelombang ini mencapai bagian
akhir esofagus dan dengan demikian mempersiapkan diri lebih awal untuk menerima makanan
yang didorong ke bawah esofagus selama proses menelan.
III. patofisiologi Gangguan pada mekanisme menelan
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi transport makanan yang normal.
Perjalanan yang normal dari makanan yang dicerna tergantung pada :
 Ukuran dari bolus yang ditelan
 Diameter lumen dari saluran yang dilalui
 Kekuatan kontraksi peristaltik, dan
 Inhibisi proses menelan, termasuk relaksasi sfingter esofageal atas dan bawah selama proses
menelan berlangsung.
2. Cakupan gangguan menelan.
Jika mekanisme menelan mengalami paralise total/parsial, gangguan dapat mencakup:
 hilangnya sebagian atau semua tindakan menelan sehingga menelan terganggu atau tidak
dapat terjadi sama sekali,
 kegagalan glotis untuk menutup, sehingga makan tidak masuk ke esofagus, melainkan masuk
ke paru-paru, dan
 kegagalan palatum mole dan uvula untuk menutup nares posterior, sehingga makanan masuk
ke hidung.
3. Disfagia faringeal atau esofageal.
Disfagia secara umum dapat dibagi menjadi (lihat diagram 1):
 Disfagia faringeal atau transfer dysphagia. Walaupun disfagia hampir selalu menunjukkan
malfungsi dari esofagus, terdapat pula jenis khusus disfagia yang meliputi ketidakmampuan
penderita untuk memulai proses menelan dengan sempurna. Keluhan disfagia faringeal ini dapat
disebabkan oleh kelemahan otot-otot faring (yang sering disertai keluhan suara menjadi sengau
dan regurgitasi cairan ke nasofaring saat menelan) atau akibat kegagalan koordinasi saraf untuk
menelan.
 Disfagia esofageal. Pada jenis disfagia yang paling sering ini, penderita tidak mengalami
masalah pada inisiasi dari proses menelan, namun mengalami gangguan pada saat proses tersebut
berlangsung.
4. Disfagia esofageal : mekanik dan motorik / neuromuskuler.
Disfagia esofageal yang disebabkan bolus yang besar (atau benda asing) atau penyempitan dari
lumen saluran yang dilalui dinamakan disfagia mekanik. Adapun disfagia motorik /
neuromuskuler adalah disfagia yang terjadi akibat kelemahan kontraksi peristaltik, gangguan
inhibisi menelan yang menyebabkan kontraksi non-peristaltik, dan gangguan relaksasi sfingter.

DISFAGIA
FARINGEAL ESOFAGEAL
Neuromuskuler Mekanik
Gangguan inisiasi refleks menelan Luminal (bolus besar/benda asing)
Gangguan otot lurik faring / esofagus Penyempitan intrinsik
Gangguan pada otot polos esofagus Kompresi ekstrinsik

Diagram 1. Bagan patofisiologi penyebab disfagia (dimodifikasi dari


Goyal, 2001 dan Sleisenger & Fordtran, 1989)
5. Etiologi dari disfagia mekanik.
Disfagia mekanik dapat disebabkan antara lain oleh :
 Gangguan pada lumen (misalnya akibat bolus yang besar, adanya benda asing)
 Penyempitan intrinsik (misalnya esofagitis, cincin kongenital, striktur, tumor jinak/ganas)
 Kompresi ekstrinsik (spondilitis servikal, massa atau abses retrofaringeal, kelenjar tiroid
yang membesar, kompresi struktur vaskuler, massa di mediastinum posterior, tumor pankreas,
dan fibrosis / hematoma post-vagotomy).
6. Etiologi dari disfagia motoris.
Disfagia motoris dapat disebabkan antara lain oleh :
 Gangguan inisiasi refleks menelan (faringeal disfagia, paralisis lidah, kurangnya saliva)
 Gangguan otot lurik faring / esofagus (kelemahan motorik, kontraksi non-peristaltik)
 Gangguan pada otot polos esofagus (paralisis, kontraksi non-peristaltik)

iii. Pendekatan terhadap pasien


3.1 ANAMNESIS
Dari anamnesis saja dapat diperkirakan diagnosis pada lebih dari 80% pasien dengan disfagia.
Dengan anamnesis yang teliti, sering dapat diperkirakan apakah keluhan disfagia pada penderita
ini berasal dari esofagus bagian atas ataukah bawah.
1. Menentukan disfagia faringeal atau esofageal.
Pada disfagia faringeal, penderita mengeluh tidak mampu memulai proses menelan dengan
sempurna. Keluhan disfagia faringeal bila disebabkan oleh kelemahan otot-otot faring sering
disertai keluhan suara menjadi sengau dan regurgitasi cairan ke nasofaring saat menelan. Pada
disfagia esofageal, penderita tidak mengalami masalah untuk memulai proses menelan, namun
mengalami gangguan pada saat proses tersebut berlangsung.
2. Disfagia esofageal : mekanik atau motorik (lihat tabel 1).

Tabel 1. Disfagia esofageal

Mekanis Motoris
Onset Perlahan-lahan atau tiba-tiba Biasanya perlahan-lahan
Progresivitas Sering progresif Biasanya tidak progresif
Tipe bolus Padat (kecuali pada obstruksi Padat dan / atau cair
tingkat tinggi)
Hubungan temperatur Tidak ada Memburuk dengan makanan
dingin, mungkin lebih baik
dengan makanan hangat
Respon terhadap impaksi Sering mengalami regurgitasi Biasanya dapat lewat bila
bolus menelan berulangkali atau
dibantu dengan cairan

(Diterjemahkan dari Sleisenger dan Fordtran, 1989)

3. Beberapa petunjuk penting.


 Tipe makanan penyebab disfagia merupakan informasi yang berguna. Kesulitan hanya
pada saat menelan bolus yang padat menyiratkan adanya disfagia mekanik dengan lumen yang
mengalami penyempitan yang tidak terlalu berat. Bila obstruksi telah makin berat, disfagia
terjadi baik pada saat menelan bolus yang padat maupun yang cair. Sebaliknya, disfagia motorik
akibat akalasia atau spasme esofagus yang difus terjadi baik akibat bolus padat maupun cair
sejak awal terjadi gangguan.
 Lama dan perjalanan disfagia juga membantu diagnosis. Disfagia yang sifatnya akut dan
sementara mungkin berhubungan dengan proses inflamasi. Sebaliknya disfagia yang progresif,
yang berlangsung beberapa minggu hingga beberapa bulan memunculkan kecurigaan terhadap
adanya keganasan pada esofagus. Disfagia yang sifatnya episodik terhadap makanan padat yang
berlangsung selama beberapa tahun memberikan petunjuk adanya kelainan jinak yang khas dari
cincin esofagus bagian bawah.
 Lokasi disfagia yang ditunjukkan oleh penderita dapat membantu menentukan lokasi dari
obstruksi esofagus. Lesi yang terjadi biasanya terdapat di tepat atau sedikit lebih bawah dari
lokasi yang ditunjukkan oleh penderita.
 Gejala yang menyertai disfagia dapat memberikan petunjuk diagnosis yang penting.
Regurgitasi melalui hidung dan aspirasi trakeobronkhial pada saat menelan merupakan ciri khas
dari paralisis dari faring atau adanya fistula trakeo-esofageal (disfagia faringeal) Aspirasi
trakeobronkhial yang tidak berhubungan dengan menelan mungkin sekunder dari proses
akalasia, divertikulum Zenker, atau refluks gastroesofageal. Kehilangan berat badan yang
signifikan, yang tidak sesuai dengan proporsi dari beratnya disfagia menimbulkan kecurigaan
adanya keganasan. Bila disfagia didahului oleh suara yang menjadi serak, lesi primer biasanya
terdapat di laring. Sebaliknya suara serak yang terjadi setelah disfagia, mungkin menunjukkan
terlibatnya nervus laringeus rekuren akibat perluasan dari karsinoma esofagus. Suara serak juga
dapat timbul karena laringitis akibat sekunder dari GERD. Nafas berbunyi yang unilateral
dengan disfagia mungkina menunjukkan adanya massa mediastinum yang meliputi esofagus dan
bronkus yang besar. Nyeri dada yang menyertai disfagia dapat terjadi pada spasme esofagus yang
difus dan gangguan motorik yang sesuai.

3.2 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik sangat penting pada disfagia motorik akibat penyakit pada otot lurik,
persarafan, maupun penyakit orofaring. Tanda-tanda bulbar atau pseudobulbar palsy, antara lain
disartria, disfonia, ptosis, dan atrofi lidah yang menyertai kelainan neuromuskuler umum harus
dicari. Leher harus diperiksa untuk mencari tiromegali ataupun abnormalitas tulang belakang.
Inspeksi yang cermat pada mulut dan faring mungkin dapat menemukan lesi-lesi yang
mengganggu perjalanan makanan baik karena nyeri maupun obstruksi. Perubahan pada kulit
maupun ekstremitas mungkin mengarahkan kita pada diagnosis skleroderma ataupun penyakit
kolagen-vaskuler atau mukokutaneus lain (seperti pemfigoid atau epidermolisis bulosa) yang
melibatkan esofagus. Kanker yang menyebar ke kelenjar getah bening dan hepar mungkin dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Komplikasi pulmonal dari pneumonia aspirasi yang akut atau
aspirasi yang kronis juga harus dicari.

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Disfagia hampir selalu disebabkan oleh penyakit organik, dan sangat jarang merupakan keluhan
yang bersifat fungsional (psikogenik). Bila orofaringeal disfagia dicurigai, videofluoroscopy dari
orofaring saat menelan sebaiknya diusulkan. Sebaliknya bila disfagia mekanis merupakan
diagnosis yang lebih memungkinkan, barium swallow, esofagogastroskopi, dan biopsi melalui
endoskopi merupakan prosedur diagnostik terpilih. Barium swallow dan studi motilitas esofagus
merupakan tes-tes diagnostik untuk disfagia motorik. Esofagogastroskopi mungkin diperlukan
pada pasien dengan disfagia motorik untuk menyingkirkan kelainan struktural yang
berhubungan.

DAFTAR PUSTAKA
Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. 2002. Dysphagia. Dalam Harrison’s Manual
of Medicine 15th Edition. India: McGraw-Hill International.
Frank, BW. 1996. Gastrointestinal Problems : Dysphagia. Dalam Problem-Oriented Medical Diagnosis 6th Edition. Editor :
H. Harold Friedman. USA : Little, Brown, and Company.
Goyal, RK. 2001. Alteration in Gastrointestinal Function : Dysphagia. Dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine
15th Edition. Editor: Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. USA: McGraw-
Hill International.
Guyton, AC; Hall, JE. 1996. Fisiologi Gastrointestinal : Transpor dan Pencampuran Makanan dalam Saluran Pencernaan.
Dalam Fisiologi Kedokteran edisi ke-9. Alih bahasa : Irawati Setiawan, Ken Ariata Tengadi, Alex Santoso, cetakan I
1997. Jakarta : Penerbit EGC
Mattingly, D; Seward, C. 1989. Disfagia. Dalam Bedside Diagnosis edisi Ke-13. Editor Bahasa Indonesia : Soeliadi
Hadiwandowo, cetakan tahun 1996. Semarang : Gadjah Mada University Press.
Sleisenger, MH; Fordtran, JS. 1989. Major Symptoms and Syndrome / Pathopysiology, Diagnosis, and Management :
Heartburn, Dysphagia, and Other Esophageal Symptoms. Dalam Gastrointestinal Disease Pathophysiology,
Diagnosis, and Management 4th Edition. USA : WB Saunders Company.
Spiro, HM. 1994. Esophageal Disorders : General Consideration. Dalam Clinical Gastroenterology 4th International
Edition. USA : Mosby International.

Anda mungkin juga menyukai