Responsi HMD Diah, Dito, Yosua Rev 1
Responsi HMD Diah, Dito, Yosua Rev 1
PENDAHULUAN
PMH sebagai penyebab tersering gagal napas dan kematian neonatal, dapat
menimbulkan berbagai komplikasi seperti hipoksia serebri, gagal ginjal,
keracunan oksigen, epilepsi, komplikasi serebral palsi dan lainnya yang akan
mempengaruhi tumbuh kembang anak nantinya, mulai dari menimbulkan
1
gangguan yang ringan sampai yang berat termasuk gangguan penglihatan.
Maka dari itu pengkajian lebih dalam untuk PMH diperlukan untuk
mengurangi angka morbilitas dan mortalitas karena PMH (UCSF Medical
Center 2004).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Respitatory distress syndrome (RDS) atau yang sering juga disebut penyakit
membrane hialin (PMH) adalah suatu kondisi dimana terdapat kelainan pada
paru naeonatus yang tidak mengandung cukup surfaktan yang terjadi setelah
setelah dilahirkan dan biasanya memburuk pada dua hari pertama kehidupan.
PMH biasanya lebih banyak terjadi pada bayi yang prematur dan berhubungan
dengan kematangan paru. Bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki
kemungkinan menderita PMH, sedangkan bayi yang lahir dengan cukup bulan
biasanya jarang menderita PMH (Anggraini & Wandita 2013).
Secara klinis PMH biasanya disertai dengan sianosis, grunting, retraksi, dan
takipneu. Jika dibiarkan lebih lanjut dapat menyebabkan gagal napas yang
dapat diindikasikan dengan analisis gas darah (UCSF Medical Center 2004).
2.2. Etiologi
Hal yang dapat menjadi penyebab PMH pada neonatus adalah sebagai berikut
(Liu 2012):
- Elective C-Section
- Asfiksia berat saat lahir dan meconium aspiration syndrome
- Ibu dengan riwayat diabetes melitus
- Kelainan metabolism surfaktan turunan
Pada bayi prematur, RDS terjadi karena sintesis dan sekresi surfaktan
terganggu sehingga menyebabkan atelektasis, ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan hipoventilasi yang akhirnya mengakibatkan terjadinya
hipoksemia dan hiperkarbia. Analisis gas darah menunjukkan adanya asidosis
respiratorik dan metabolik yang menyebabkan vasokonstriksi pada paru yang
berlanjut menjadi gangguan endothel dan epitel dengan kebocoran protein
eksudat dan formasi membran hialin.(Liu 2012)
3
2.2.1 Kekurangan Apoprotein
SP-B dan SP-C hidrofobik merupakan hal esensial untuk fungsi paru dan
homeostasis paru setelah kelahiran. Protein ini meningkatkan pesebaran,
adsorpsi dan stabilitas surfaktan lipid yang digunakan untuk menurunkan
tekanan pada permukaan alveolus. SP-B dan SP-C meregulasi proses
intaselular dan extraselualar dalam mempertahankan struktur dan fungsi
pernapasan.
2.3. Epidemiologi
PMH diderita sekitar 1% bayi yang baru lahir dan menjadi salah satu
penyebab tersering kematian bayi prematur. Setiap tahunnya di Amerika
terdapat sekitar 10% bayi yang menderita PMH. (UCSF Medical Center,
2004)
2.4. Patofisiologi
Penyakit membran hialin disebabkan oleh penurunan fungsi dan pengurangan
jumlah surfaktan. Surfaktan adalah lipoprotein yang terdiri dari fosfolipid
seperti lesitin, fosfatidil gliserol, kolesterol, dan apoprotein (protein surfaktan;
PS-A, B, C, D) yang disintesis oleh sel epithelial alveolar tipe II dan sel Clara
4
yang meningkat jumlahnya seiring dengan umur kehamilan yang bertambah.
(Pickerd 2008)
Namun, jika bayi terlahir dalam keadaan prematur, maka fungsi ini tidak dapat
berjalan dengan baik. Adanya imaturitas paru pada bayi prematur, jumlah
surfaktan yang dihasilkan dan dilepaskan tidak mencukupi kebutuhan saat
lahir. Surfaktan yang jumlahnya tidak mencukupi atau tidak ada ini,
menyebabkan tegangan permukaan yang tinggi antara perbatasan gas alveolus
dengan dinding alveolus sehingga paru sulit untuk mengembang dan bayi
berupaya melakukan usaha ventilasi imatur dengan tetap tidak terisi gas di
antara upaya pernapasan. Bayi menjadi semakin berat untuk bernapas dan
terjadi hipoventilasi. Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan pada bayi
prematur yang mempunyai unit saluran pernapasan yang masih kecil dan
dinding dada lemah dapat menimbulkan atelektasis dan hipoksia sehingga
menyebabkan peningkatan gagal napas (Pickerd 2008; UCSF Medical Center
2004).
5
- Tegangan permukaan yang tinggi akibat fungsi surfaktan yang tidak optimal
dan defisiensi jumlah sintesis atau pelepasan surfaktan
- Fungsi unit pernapasan yang masih kecil
- Dinding dada bayi yang masih lemah
2.5. Diagnosis
Diagnosis HMD dapat ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari hasil anamnesis dapat ditemukan factor-faktor risiko terjadinya
HMD seperti kelahiran premature, gawat janin saat persalinan, pre-eklamsia,
diabetes pada ibu, dan riwayat HMD pada keluarga.
Tanda HMD dapat muncul sesaat setelah melahirkan atau dalam 4 jam setelah
kelahiran. HMD memiliki tanda seperti takipnea (laju pernapasan
>60x/menit), retraksi interkostal dan subcostal, nasal flaring, grunting, dan
sianosis. Takipnea terjadi karena usaha untuk mengkompensasi volum tidal
yang berkurang. Retraksi terjadi saat bayi menggunakan otot-otot bantu napas
sebagai usaha mengembangkan paru-paru sebesar-besarnya. Grunting adalah
suara eksprirasi yang terdengar akibat penutupan glotis secara mendadak saat
ekspirasi. Sianosis disebabkan kurangnya oksigen, dapat ditemukan kebiruan
pada bibir dan juga ekstremitas.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus HMD ini antara
lain: pulse oximetry, pemeriksaan analisa gas darah dan pemeriksaan radiologi
yaitu x-ray thorax. Pada pemeriksaan pulse oximetri ditemukan PaO 2 <50
mmHg pada udara ruangan atau diperlukannya suplementasi oksigen untuk
mempertahankan PaO2 >50 mmHg. Pada pemeriksaan analisa gas darah dapat
ditemukan rendahnya kadar oksigen dan tingginya kadar karbondioksida.
Sedangkan pada pemiksaan radiologi dapat ditemukan tanda gambaran yang
khas untuk HMD berupa gambaran retikulogranular difus pada kedua paru
atau disebut juga “ground glass appearance”, air bronchogram, paru yang
hipoaerasi dan pengembangan paru yang minimal. Berdasarkan gambaran
6
radiologis, penyakit membran hialin dibagi menjadi 4 stadium:(Reuter et al.
2017)
Stadium 1 : Pola retikulogranular
Stadium 2 : Pola retikulogranular + air bronchogram
Stadium 3 : Pola retikulogranular + air bronchogram + batas jantung-paru
kabur
Stadium 4 : Kolaps seluruh paru
2.6 Diagnosis Banding
2.6.1 Transient Tachypneu of the Newborn (TTN)
Biasanya terjadi pada bayi aterm yang lahir dengan SC. Gejalanya antara lain
diawali munculnya takipneu, kadang-kadang diikuti retraksi, dan juga terjadi
sianosis. Gejala biasanya membaik dengan cepat dalam 3 hari. Untuk
membedakan TTN dengan HMD agak sulit, pada TTN perbaikan terjadi dengan
cepat dan tidak ada gambaran retikulogranular dan air bronkhogram di parunya.
(Atasay et al. 2016; Locci et al. 2014)
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan HMD adalah untuk:
2.7.1 Resusitasi
7
Bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu melalui pernapasan spontan
yang memadai akan mengalami hipoksia yang semakin berat dan secara
progresif menjadi asfiksia. Resusitasi yang efektif dapat merangsang
pernapasan awal dan mencegah asfiksia progresif. Resusitasi bertujuan
memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang
cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung, dan alat–alat vital
lainnya.(UCSF Medical Center 2004)
Pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia, resusitasi dilakukan segera
setelah bayi lahir, secara cepat dan tepat, tanpa menunggu hasil penilaian
APGAR. Setiap bayi baru lahir harus dilakukan penilaian terhadap lima hal
yakni ada tidaknya mekonium dalam air ketuban, bayi menangis atau bernapas,
tonus otot bayi, warna kulit bayi, serta kecukupan bulan lahir bayi
(prematur/aterm/posterm). Pada bayi dengan penilaian yang stabil terhadap
lima hal tersebut maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur
perawatan rutin dan tidak perlu dipisahkan dari ibunya.
8
- Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen
inspirasi 60% atau lebih, penggunaan nasal continuous positive airway
pressure (NCPAP) terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi yang non-
invasif penggunaan NCPAP sedini mungkin untuk stabilisasi bayi dengan berat
lahir sangat rendah (BBLSR) di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk
mencegah kolaps alveoli.
- Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau komplikasi
yang menimbulkan apneu persisten. Ventilator mekanik berhubungan erat
dengan terjadinya BPD dan juga meningkatkan risiko trauma dan infeksi.
Indikasi penggunaan ventilator mekanik adalah: pH darah arteri <7,2 pCO2
darah arteri 60mmHg atau lebih, dan pO2 darah arteri 50mmHg atau kurang
pada konsentrasi oksigen 70-100% dan tekanan CPAP 6-10 cm H2O, serta
apneu persisten.
9
Cairan yang diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan
mempertahankan homeostasis tubuh yang adekuat. Pada hari-hari pertama
diberiksan glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan
berat badan (60-125ml/kgbb/ hari). Asidosis metabolik yang selalu terdapat
pada penderita, harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara
intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam-basa tubuh harus diperiksa secara
teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan
rumus: kebutuhan NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi.
Kebutuhan basa ini sebagian dapat langsung diberikan secara intravena dan
sisanya diberikan secara tetesan. Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk
mempertahankan pH darah antara 7,35-7,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaan
keseimbangan asam-basa tidak ada, NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan.
Cairan yang dipergunakan berupa 15 campuran larutan glukosa 5-10% dengan
NaHCO3 1,5% dalam perbandingan 4:1. Pada asidosis yang berat, penilaian
klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan
sudah cukup adekuat. Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen
respirasi. Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg. PaCO2
diperbolehkan antara 45–60 mmHg (permissive hypercapnia) pH diharapkan
tetap diatas 7,25 dengan SaO2 antara 88 – 92%.(Grappone & Messina 2014)
10
Maturitas paru dapat diukur dari perbandingan antara lesitin dan sfingomielin
dalam cairan amnion. Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih
dari 2 berarti bayi yang akan lahir tidak akan menderita HMD, sedangkan bila
hasilnya kurang dari 2 berarti paru bayi belum matang dan akan mengalami
HMD. (Locci et al. 2014)
Jika diperkirakan bahwa paru-paru bayi belum matang dan persalinan tidak
dapat ditunda, maka diberikan kortikosteroid kepada ibu minimal 24 jam
sebelum waktu perkiraan persalinan. Kortikosteroid akan melewati plasenta
dan merangsang pembentukan surfaktan oleh paru-paru janin. Pemberian
kortikosteroid sebelum persalinan terbukti dapat menurunkan risiko dan
kegawatan penyakit membran hialin pada bayi.(Grappone & Messina 2014)
Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi
dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan
penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan
dan pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk
khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya kmplikasi seperti asfiksia fetus
atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital.
Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40%.(Grappone & Messina 2014)
2.9 Komplikasi
Komplikasi akut :
1. Ruptur alveolar. Ketika kebocoran udara terjadi, maka kondisi bayi akan
menurun dengan tiba-tiba dgn gejala hipotensi, apneu, bradycardi, atau
adanya asidosis yang menetap.
2. Infeksi. Bisa terjadi akibat prosedur yang invasif seperti punksi vena,
cateter, pemakaian alat respirasi dan juga akibat penggunaan postnatal
steroid yang bisa menurunkan daya tahan tubuh bayi.
3. Perdarahan intrakranial dan periventrikular leukomalacia. Perdarahan
intrakranial terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan insiden lebih besar
pada bayi dengan RDS yang membutuhkan peralatan ventilasi mekanik.
Pemberian profilaksis indomethacin dan antenatal steroid akan
11
menurunkan frekuensi perdarahan intrakranial pada pasien dengan RDS.
Hipocarbia dan chorioamnionitis dihubungkan dengan peningkatan insiden
periventrikular leukomalacia.
4. PDA akan memperburuk RDS. PDA dapat dilakukan terapi dengan
indomethacin, yang dapat diulang selama 2 minggu pertama jika PDA
terbuka kembali. Pada pasien dengan HMD yang sukar disembuhkan
dimana indomethacin merupakan kontra indikasi maka tindakan bedah
harus dilakukan untuk menutup PDA tersebut.
5. Perdarahan paru sering terjadi pada bayi prematur kecil terutama setelah
terapi surfaktan.
6. Suspek enterokolitis nekrotikan dan atau perforasi gastrointestinal.
7. Apnea of prematurity, banyak terjadi pada bayi yang prematur, dan
insidennya meningkat dengan surfaktan terapi, mungkin akibat
dilakukannya extubasi dini. Penanganannya adalah dengan pemberian
methylxanthines (theophilline, caffein) dan CPAP atau dengan bantuan
ventilasi.
Komplikasi kronik :
1. Bronchopulmonary dysplasia (BPD). BPD merupakan penyakit paru kronik
dan berhubungan langsung dengan volume yang besar dan atau tekanan
yang digunakan pada ventilasi mekanik, infeksi, inflamasi, dan defisiensi
vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan semakin rendahnya usia
kehamilan. Penggunaan terapi surfaktan postnatal, ventilasi yang baik,
vitamin A, dan steroid dapat menurunkan keparahan BPD.
2. Retinopathy of prematurity (ROP). Bayi dengan HMD dan PaO2 > 100
mmHg adalah risiko besar untuk terjadi ROP. Oleh karena itu monitor
PaO2 secara ketat dan dipertahankan antara 50-70 mmHg adalah sangat
penting. Pulse Oxymetri tidak akan membantu dalam pencegahan
terjadinya ROP pada bayi yang kecil. Terapi laser dan cryotherapy dapat
digunakan untuk mencegah retinal detachment dan kebutaan.
12
3. Kelainan neurologis. Kelainan neurologis terjadi kira-kira pada 50-70%
bayi dan ini berhubungan dengan usia kehamilan, tingkat dan tipe kelainan
patologis di dalam kepala, adanya hipoksia, dan adanya infeksi.
Selanjutnya mungkin akan terjadi gangguan pendengaran dan penglihatan,
gangguan dalam belajar, dan perubahan tingkah laku.
13
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : BY ND
No. RM : 17013636
14
lanjut terutama komplikasi yang mungkin terjadi seperti kejang, penurunan
kesadaran, dan perubahan kondisi pasien. Selama perawatan hari ke-5, kondisi
pasien sejauh ini sudah mengalami perkembangan. Pasien sampai saat ini tidak
mengalami keluhan seperti demam, kejang, kuning. Sedangkan BAB dan BAK
dalam batas normal.
Tidak Ada
Tidak Ada
Pasien merupakan anak kedua dari kehamilan kedua. Ibu pasien memiliki anak
sebelumnya berumur 5 tahun dengan cukup bulan melalui persalinan normal
pada kehamilan pertama.
a. Riwayat Prenatal
- Antenatal Care (ANC) dikatakan teratur dan dilakukan setiap bulan hingga
minggu ke 30 dan selanjutnya kontrol setiap minggu di bidan, pasien tidak
pernah melakukan pemeriksaan USG pada kehamilan saat ini.
- HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir), dikatakan 23 Agustus 2016
- TP (Tafsiran Persalinan) menurut perhitungan 30 Mei 2017
- Riwayat penggunaan obat sedasi, analgesi ataupun anastesi disangkal oleh ibu
- Riwayat pendarahan tidak ada
b. Riwayat Penyakit Ibu
Ibu pasien memiliki riwayat asma yang kambuh pada saat kehamilan kedua
dan membaik setelah 3 hari dirawat RSPTN Jimbaran. Riwayat hipertensi
yang muncul pada saat kehamilan demam saat kehamilan, anemia, penyakit
15
diabetes mellitus, hepatitis B, tuberkulosis (TB), imunodefisiensi dan
penyakit jantung disangkal oleh ibu pasien. Riwayat kematian neonatus
sebelumnya juga disangkal oleh ibu pasien. Riwayat alergi obat disangkal
oleh ibu pasien.
c. Riwayat Intranatal
Mayor Minor
Ibu demam (>38oC) KPD >12 jam
KPD >24 jam Asfiksia (1’ <5, 5’ <7) (+)
Korioamnionitis BBLSR (<1500 gram) (+)
Fetal distress DJJ >160x/menit (+) UK <37 minggu (+)
Ketuban hijau Gemelli
Keputihan
Tersangka ISK
Ibu demam (>37,5oC)
Skor mayor : 1 Skor minor : 3
16
Jenis Kelamin : Laki-laki
Lingkar Kepala : 28 cm
Lingkar Dada : 26 cm
Anus : Ada
Status Present:
Tangis : Cukup
Nadi : reguler
Tax : 36,5 C
Status General:
17
Kepala : normocephali, ubun-ubun besar terbuka datar, ubun- ubun
kecil terbuka datar, caput succedaneum (-), cephal hematome
(-)
Thoraks
- Cor
Inspeksi : precordial bulging (-)
- - Pulmo
Inspeksi : bentuk normal, simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Abdomen :
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar just palpable, lien tak teraba
Anus : ada
18
Ekstremitas : akral hangat (+) pada keempat ekstremitas, edema (-), sianosis
(+), waktu pengisian kapiler ≤ 3 detik, plantar creases 1/3
anterior
Kulit : pengelupasan kulit (-), ruam superfisial (-). sianosis (-), kutis
mamorata (-)
Nilai Total
Kriteria Klinis
1 2 3 4 Skor
Tampak 3
Pembuluh Vena venula Tidak jelas /
Tampak vena hanya
darah pada tampak jelas tidak tampak
& cabangnya pembuluh
kulit abdomen sekali pembuluh darah
darah besar
Plantar crease Tidak ada 1/3 anterior 2/3 anterior Seluruh telapak 2
Tulang rawan Antitragus Antitragus Antihelix Helix teraba 4
telinga tidak teraba teraba penuh penuh
Jaringan 1
< 5 mm 5 – 10 mm > 10 mm -
mamae
Papila & Papila & Papila & 1
Papila &
areola tak areola tidak di areola di atas -
areola mama
tampak atas kulit kulit
Kuku jari Belum sampai Sampai ujung Melampaui 1
-
tangan ujung jari jari ujung jari
Halus, sulit Kokoh, jelas 1
Rambut kepala - -
dipisahkan setiap helai
Total Skor 13
19
Kumulatif
7 27 + 2
8 28 + 2
9 29 + 1
10 30 + 1
11 31
12 32
13 32 + 6
14 33 + 6
15 34 + 5
16 35 + 5
17 36 + 4
18 37 + 4
19 38 + 3
20 39 + 3
21 40 + 2
22 41 + 2
Setelah didapatkan skor total, kemudian cari masa gestasinya dalam tabel nilai
kematangan di atas ini. Didapatkan usia pasien adalah 32 minggu 6 hari.
Bayi Kurang Bulan (32-33 minggu) + Berat Bayi Lahir Sangat Rendah (1400
gram) + sesuai kehamilan + respiratory distress et causa suspek hyalin membran
disease dd/ pneumonia neonatal dd/ sepsis neonatal awitan dini.
Terapi
- Rawat inkubator
Pemeriksaan Penunjang
20
- Cek lab : Darah Lengkap, Septic Marker , kultur darah
- Foto Thorax AP
Monitoring :
- Vital sign
- Distress napas
- Balance cairan
21
RDW 17,99 % 14,9 – 18,7
PLT 225,10 x103/µL 140 – 440
IT Ratio 0,3 < 0,20 Tinggi
22
1400 Status Present: -PEEP 7
gram
ATR : cukup -Flow 8
HR : 130x/mnt Kebutuhan cairan
RR : 50x/mnt -80 ml/kg/hari ~ 112
ml/hari~IVFD D10% 5ml/jam
Suhu : 36,6oC
GIR: 5,5
Status General:
Kepala : normocephali, UUB datar
TF 10 ml/kg/hari
Mata : pucat -/-, Ikterik -/-
Lewat ~ 2 ml tiap 3 jam (4x)
THT : NCH (+)
OGT
TF 20ml/kg/hari
Thorax : Simetris(+), Retraksi (-)
~ 4 ml tiap 3 jam (4x)
Cor : S1S2 N, Reg, Murmur (-)
Po : Bves +/+, Rales -/-, Wh -/-
Jika pasien sudah kencing
Abdomen : Dist (-)
Infus
Ekstremitas: Hangat (+), CRT <2 detik
D 12,5% 105 ml
GIR 6,5
NaCl 3% 6 ml
Hasil Lab
Ca gluconas 1,5 ml
WBC 4,6
Ne% 40,20%/1,88
Monitoring
Ly% 45,14%/2,11
Vital Sign
HGB 14,72
Distres nafas
HCT 46,79
PLT 225,10
23
dini
P.Diagnostik:
Menunggu hasil Bloodsmear
Thorax AP -> menunggu expertise
P. Terapi:
-CPAP support(FiO2 40%, PEEP 7, Flow 8)
- Antibiotika menunggu hasil bloodsmear
P. Monitoring:
Keluhan, Kemampuan minum
Status General:
Infus:
Kepala : normocephali
D 12,5% 65 ml
- -
Mata : Pucat /-, Ikterik /-
NaCl 3% 5 ml
THT : NCH (-)
KCl 1,5 ml
Thorax : Simetris (+), Retraksi (-)
Ca gluconas 1,5 ml
24
Cor : S1S2 N, Reg, Murmur (-) Kecepatan 3ml/jam
Po : Bves +/+, Rales -/-, Wh -/- GIR 4,0
Abdomen : Distensi (-)
Ext : Hangat (+), CRT <2 detik
Plan Diagnostik:
-Tunggu hasil blood smear
-Tunggu expertise thorax AP
Plan Terapi:
-Antibiotik menunggu hasil blood smear
-CPAP support(FiO2 30%, PEEP 6, Flow 8)
-Kebutuhan cairan, 90 ml/kg/hari ~126 Monitoring
ml/hari Vital Sign
Plan monitoring: Distres nafas
-kemampuan minum, sesak napas
25
ATR : cukup tiap 3 jam (4x)
HR : 138x/mnt
RR : 42x/mnt Cairan Parenteral 44 ml
Suhu : 36,8oC CPAP Support
Status General:
Kepala : normocephali Infus:
Mata : Pucat -/-, Ikterik -/- D 12,5% 35 ml
THT : kesan tenang NaCl 3% 6 ml
Thorax : Simetris KCl 1,5 ml
Cor : S1S2 N, Reg, Murmur (-) Ca gluconas 1,5 ml
Po : Bves +/+, Rales -/-, Wh -/- Kecepatan 2ml/jam
Abdomen : Dist (-), BU(+)N GIR 2,1
Ext : Hangat (+), Tidak edem, CRT <2 dtk
26
HR : 1400x/mnt tiap 3 jam (4x)
RR : 50x/mnt
Suhu : 36,9oC Cairan parenteral 34ml
Status General: IVFD
Kepala : normocephali D 12,5% 25 ml
Mata : Pucat -/-, Ikterik -/- NaCl 3% 6 ml
THT : Kesan tenang KCl 1,5 ml
Thorax : Retraksi (-) Ca gluconas 1,5 ml
Cor : S1S2 N, Reg, Murmur (-) Kecepatan 2ml/jam
Pulmo : Bves +/+, Rales -/-, Wh -/- GIR 1,5
Abdomen : Dist (-), BU(+)N
Ext : Hangat (+)
27
Ne% 1,94 Procalcitonin: 0,37 (iv)
Ly% 0,46
HGB 15,83 Kebutuhan cairan
HCT 50,25 -120 ml/kg/hari ~ 168 ml/hari
BAB IV
PEMBAHASAN
28
alveolus pada paru-paru bayi sulit untuk mengembang karena tingginya tegangan
permukaan akibat kekurangan surfaktan. Agar bayi bisa bernafas dengan bebas,
setelah lahir, alveolus harus tetap mengembang dan terisi dengan udara. Surfaktan
yang dihasilkan akan menurunkan tegangan permukaan dan membantu stabilitas
alveolar untuk mencegah paru kolap di akhir respirasi. Pada usia kehamilan 35
minggu sebagian besar janin sudah memiliki surfaktan yang adekuat. HMD biasanya
terjadi pada bayi preterm dengan masa gestasional <35 minggu, tetapi dapat juga
terjadi pada bayi dengan pertumbuhan paru yang lambat.
Faktor risiko utama dari penyakit membran hialin adalah prematuritas. Oleh
karena itu, sedapat mungkin persalinan preterm harus dicegah. Faktor-faktor risiko
untuk terjadinya prematuritas harus ditangani, misalnya diabetes, hipertensi, servik
incopetent, dan chorioamnionitis. Obat-obat tokolitik dapat diberikan untuk
menghambat kontraksi uterus dan mencegah partus lebih dini. Maturitas paru dapat
diukur dari perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan amnion. Bila
perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari 2 berarti bayi yang akan lahir
tidak akan menderita HMD, sedangkan bila hasilnya kurang dari 2 berarti paru bayi
belum matang dan akan mengalami HMD. Jika diperkirakan bahwa paru-paru bayi
belum matang dan persalinan tidak dapat ditunda, maka diberikan kortikosteroid
kepada ibu minimal 24 jam sebelum waktu perkiraan persalinan. Kortikosteroid akan
melewati plasenta dan merangsang pembentukan surfaktan oleh paru-paru janin.
Pemberian kortikosteroid sebelum persalinan terbukti dapat menurunkan risiko dan
kegawatan penyakit membran hialin pada bayi.
29
Pasien Tinjauan Pustaka
Anamnesis
- Pasien dikeluhkan tidak - Tidak menangis dan pasien
langsung menangis dan sempat tampak biru merupakan salah
biru sesaat setelah dilahirkan satu tanda hipoksia awal
30
asfiksia sedang pada menit - APGAR score
Penegakan diagnosis asfiksia
ke-5, dan membaik menjadi
durante atau postpartum dapat
normal setelahnya. ditegakkan dengan
menentukan
nilai APGAR score pada menit
1, 5, 10, dan 15, dengan
interpretasi:
Nilai 0-3 : Asfiksia berat
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Normal
APGAR score diperhatikan
pada menit ke-1 dan menit ke-
5. Bila APGAR score 5 menit
masih< 7, penilaian dilanjutkan
tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7.
Pemeriksaan Penunjang
- Pada pemeriksaan darah - Hasil pemeriksaan
lengkap pada saat bayi baru laboratorium yang menjadi
lahir (27/03/17) didapatkan penanda sepsis atau septik
WBC 4,67x103/μL dan IT ratio marker antara lain: hitung
0,03, kemudian pada leukosit (N 5.000/uL –
pemeriksaan berikutnya 30.000/uL), hitung trombosit
(4/12/2016) didapatkan WBC (N>150.000/uL), IT rasio
4,68x103/μL dengan IT ratio (N<0,2), CRP (N 1,0 mg/dL
0,56 maka perlu dicurigai atau 10 mg/L). Mendukung
terjadinya sepsis dan kecurigaan sepsis bila (+) 2.
pemberian antibiotik dapat
dilanjutkan - Pada foto thorax diperoleh
- Pada pemeriksaan x-ray thorax
gambaran retikulogranular
didapatkan tampak air
difus pada kedua paru atau
bronchogram dengan
disebut juga “ground glass
31
gambaran retikulogranuler appearance”, air bronchogram,
pada paru dan batas jantung paru yang hipoaerasi dan
kiri mulai kabur dengan kesan pengembangan paru yang
sesuai HMD grade II minimal. Berdasarkan
gambaran radiologis, penyakit
membran hialin dibagi menjadi
4 stadium :
Stadium 1 : Pola
retikulogranular
Stadium 2 : Pola
retikulogranular + air
bronchogram
Stadium 3: Pola
retikulogranular + air
bronchogram + batas jantung-
paru kabur
Stadium 4: Kolaps seluruh
paru
Diagnosis
- Bayi Kurang Bulan (32-33 - Pasien merupakan bayi kurang
minggu) + Berat Bayi Lahir bulan (sesuai masa kehamilan)
Sangat Rendah (1400 gram) + yaitu berusia 32-33 minggu
sesuai kehamilan + respiratory dengan berat badan lahir
distress et causa suspek hyalin sangat rendah (1400 gram)
membran disease dd/ Sedangkan diagnosis
pneumonia neonatal dd/ sepsis respiratory distress
neonatal awitan dini. berdasarkan kecurigaan HMD
didapat dari manifestasi klinis
pemeriksaan laboratorium dan
chest X-ray, serta adanya
faktor risiko lain. Differential
32
diagnosis SNAD dan
pneumonia neonatal didapat
dari faktor risiko infeksi.
Penatalaksanaan
Neonatus lahir Resusitasi Awal
33
Pemberian single nasal prong
Observasi pengembangan dada,
melalui neopuff. PEEP 7 pasang
adekuat atau tidak, djj, usaha
plastik. Injeksi vitamin K
nafas,dan tonus
BAB V
KESIMPULAN
Hyaline membrane disease (HMD) atau yang dikenal pula dengan istilah
sindrom gawat napas merupakan suatu sindrom gangguan napas yang disebabkan
oleh defisiensi surfaktan terutama pada bayi lahir dengan usia kehamilan prematur,
dan dikatakan sebagai penyebab tersering terjadinya gagal napas pada neonatal dan
kematian neonatal.
Penegakan diagnosis HMD dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan faktor-faktor risiko yang
berhubungan dengan HMD seperti usia kehamilan prematur, riwayat gawat janin saat
34
persalinan, plasenta previa, pre-eklampsia, diabetes pada ibu serta multi-gestasi. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan takipneu dan tanda-tanda distress napas lain
seperti grunting, napas cuping hidung, retraksi pada intercostal, subcostal dan/atau
suprasternal, serta sianosis sentral. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan antara lain pulse oxymetry, analisa gas darah serta pemeriksaan x-ray
thoraks. Pada kasus, didapatkan usia kehamilan yang prematur. Pada pemeriksaan
fisik, didapatkan nafas cuping hidung namun tidak terdapat retraksi, sianosis dan
kutis marmorata.
Bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu melalui pernapasan spontan
yang memadai akan mengalami hipoksia yang semakin berat dan secara progresif
menjadi asfiksia. Pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia, resusitasi dilakukan
segera setelah bayi lahir, secara cepat dan tepat, tanpa menunggu hasil penilaian
APGAR. Penilaian terhadap lima hal yakni ada tidaknya mekonium dalam air
ketuban, bayi menangis atau bernapas, tonus otot bayi, warna kulit bayi, serta
kecukupan bulan lahir bayi harus dilakukan, dimana bila terdapat ketidakstabilan
pada salah satu dari kelima penilaian tersebut, menunjukkan perlunya dilakukan
tindakan resusitasi pada bayi baru lahir.
Anggraini, A. & Wandita, S., 2013. Faktor Risiko Kematian Neonatus dengan
Penyakit Membran Hialin. , 15(2), pp.75–80.
Atasay, B., Akın, İ.M. & Alan, S., 2016. Respiratory Distress and Management
Strategies in the Newborn. Intech, pp.95–112.
Grappone, L. & Messina, F., 2014. Hyaline membrane disease or respiratory distress
syndrome ? A new approach for an old disease. , 3(2), pp.1–7.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015. Profi Kesehatan Indonesia,
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Liu, J., 2012. Respiratory Distress Syndrome in Full-term Neonates. , pp.1–2.
Liu, J., Yang, N. & Liu, Y., 2014. High-risk Factors of Respiratory Distress Syndrome
35
in Term Neonates : A Retrospective Case-control Study. , (4), pp.64–68.
Locci, G. et al., 2014. Hyaline membrane disease ( HMD ): the role of the perinatal
pathologist. , 3(2), pp.1–9.
Pickerd, N., 2008. Pathophysiology of respiratory distress syndrome. Paediatrics and
Child Health, 19(4), pp.153–157. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.paed.2008.12.010.
Reuter, S., Moser, C. & Baack, M., 2017. Respiratory Distress in the Newborn. ,
35(10).
UCSF Medical Center, 2004. Respiratory Distress Syndrome ( RDS ). , pp.79–84.
36