Anda di halaman 1dari 28

23

BAB IV
PENYAJIAN DATA

4.1 Profil Puskesmas Jekan Raya


A. Latar Belakang
Puskesmas adalah penanggung jawab penyelenggara upaya kesehtan untuk
jenjang tingkat pertama. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP) tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif
dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di
wilayah kerjanya. Puskesmas merupakan ujung tombak terdepan dalam
pembangunan kesehatan.
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Dalam
melaksanakan tugas tersebut, puskesmas menyelenggarakan fungsi sebagai
penyelenggara UKM dan penyelenggara UKP tingkat pertama di wilayah
kerjanya. Dalam melaksanakan fungsinya, Puskesmas mempunyai berbagai
program kegiatan, yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada
dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Kesehatan.
Untuk menggambarkan hasil kegiatan tentang penyelenggaran pelayanan
di puskesmas yang telah dilaksanakan, maka disusunlah Profil Puskesmas setiap
tahunnya. Profil Puskesmas dibuat sebagai sarana penyedia data dan informasi
dalam rangka evaluasi tahunan kegiatan-kegiatan dan pemantapan pencapaian
program. Adapun profil UPT Puskesmas Jekan Raya mencakup tentang data
penduduk dan keadaan umum daerah, tenaga kesehatan,sarana kesehatan, sarana
obat, sarana lingkungan, serta pencapaian hasil upaya dibidang kesehatan.
Dengan adanya penyusunan profil kesehatan di UPT Puskesmas Jekan Raya
diharapkan dapat tersedianya data/informasi yang akurat, tepat waktu dan sesuai
kebutuhan dalam rangka meningkatkan kemampuan manajemen kesehatan secara
berhasil guna dan berdaya guna sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengambil
kebijakan dan keputusan.
B. Tujuan
24

Tujuan dari penyusunan Profil UPT Puskesmas Jekan Raya adalah untuk
memperoleh dan menghadirkan informasi kesehatan serta faktor-faktor kesehatan
lainnya yang dapat dijadikan sebagai bahan penilaian tercapai atau tidaknya target
kegiatan, yang kelak dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk
menentukan langkah-langkah perencanaan selanjutnya. Data/informasi kesehatan
di tingkat UPT Puskesmas Jekan Raya adalah sebagai berikut data/informasi
derajat kesehatan masyarakat, perilaku masyarakat di bidang kesehatan,
lingkungan dan data informasi lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan.
4.2 Gambaran Umum Puskesmas
A. Demografis
Puskesmas Jekan Raya merupakan salah satu puskesmas yang berada di Wilayah
Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya. Puskesmas Jekan Raya mulai
beroperasi pada 20 Januari 2003 dengan luas wilayah 1.172 km 2, terdiri dari
Kelurahan Petuk Katimpun dan sebagian wilayah Kelurahan Bukit Tunggal,
terletak di Jalan Tjilik Riwut km 10,5 Palangka Raya dengan batas wilayah:
Utara :Desa Tanjung Sangalang
Barat : Wilayah Kerja Puskesmas Tangkiling
Timur : Wilayah Kerja Puskesmas Kayon
Selatan: Wilayah Kerja Puskesmas Sebangau
Wilayah kerja merupakan daerah yang dapat dijangkau dengan kendaraan roda 2
atau roda 4, tetapi pada keadaan tertentu (banjir) di wilayah Kelurahan Petuk
Katimpun tidak dapat ditempuh dengan jalur darat. Dan mata pencaharian
penduduk di Kelurahan Petuk Katimpun adalah nelayan, peternak ikan dan
berkebun, sementara di sebagian Kelurahan Bukit Tunggal mata pencaharian
penduduk lebih bervariasi yakni, pegawai negeri sipil, pedagang, peternak,
petani/kebun dan tukang bangunan serta karyawan swasta.
Ijin penyelenggaraan Pusat kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jekan Raya
berdasarkan keputusan walikota Palangka Raya Nomor 188.45/427/2015 tanggal
8 oktober 2015:
Pusat Kesehatan Masyarakat : Jekan Raya
25

Kategori : non rawat inap


Alamat : jl Tjilik Riwut km 10.5
Kelurahan : Bukit Tunggal
Kecamatan : Jekan Raya
Kota : Palangka Raya
Pemilik : Pemerintah Kota Palangka Raya
Struktur organisasi Puskesmas Jekan Raya pada tahun 2017 mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014.
B. Jaringan Puskesmas
Daram rangka meningkatkan aksesibilitas pelayanan,Puskesmas didukung oleh
jaringan pelayanan Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan.
Jaringan pelayanan Puskesmas sebagaimana dimaksud terdiri atas Puskesmas
pembantu, Puskesmas keliling dan bidan desa.
Di wilayah UPT Puskesmas Jekan Raya tahun 2017, jumlah puskesmas pembantu
ada 4 buah, puskesmas keliling 1 buah dan 1 poskesdes. Secara konseptual,
puskesmas menganut konsep wilayah dan diharapkan dapat melayani sasaran
penduduk 15.161 penduduk. Jadi,1 pustu/poskesdes melayani 3.791 jiwa.
Data jaringan di wilayah UPT Puskesmas Jekan Raya tahun 2017:
1. Bumi palangka II
2. Komplek Pemda km 7
3. Petuk Ketimpun
4. Poskesdes
5. Komplek Pemda km 10
Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan masyarakat dilakukan
Upaya yang dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada
di masyarakat. Upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) terdiri dari
12 posyandu balita, 4 posyandu lansia, 2 posbindu dan 1 klib prolanis.
C. Ketenagaan
Gambaran situasi ketersediaan tenaga kesehatan yang ada di UPT puskesmas
Jekan Raya dikelompokkan berdasarkan jumlah dan jenis sumber daya manusia
kesehatan yang ada di Puskesmas, Puskesmas pembantu dan Poskesdes yakni
26

sebanyak 47 orang, di Puskesmas 32 orang, Pustu 13 orang dan Poskesdes 2 orang


(PTT).
4.3 Hasil Evaluasi program IMS di Puskesmas
A. Upaya Pencegahan dimasyarakat
1. Promosi perilaku seksual yang aman.
2. Memprogamkan peningkatan penggunaan kondom, yang meliputi
berbagai aktifitas mulai dari promosi penggunaan kondom sampai
melakukan perencanaan dan manajemen pendistribusian kondom.
3. Peningkatan perilaku upaya mencari pengobatan.
4. Pengintegasian upaya pencegahan dan perawatan IMS ke dalam upaya
pelayanan kesehatan dasar, upaya kesehatan reproduksi, klinik pribadi/
swasta serta upaya kesehatan terkait lainnya.
5. Pelayanan khusus terhadap kelompok populasi berisiko tinggi, seperti
misalnya para wanita dan pria penjaja seks, remaja, pengemudi truk jarak
jauh, anggota militer termasuk anggota kepolisian, serta para narapidana.
6. Penatalaksanaan kasus IMS secara paripurna.
7. Pencegahan dan perawatan sifilis kongenital dan konjungtivitis
neonatorum.
8. Deteksi dini terhadap infeksi yang bersifat simtomatik maupun yang
asimtomatik.
Salah satu komponen penting dari paket kesehatan masyarakat ini adalah
penatalaksanaan kasus IMS secara paripurna, meliputi:

- Identifikasi sindrom: Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis


secara sindrom atau dengan bantuan laboratorium.
- Edukasi pasien: kepada pasien dijelaskan tentang riwayat alamiah dari
infeksi yang dialaminya, serta pentingnya melaksanakan pengobatan
secara tuntas, serta hal-hal penting lainnya.
Pengobatan antibiotik terhadap sindrom: Cara apapun yang digunakan
untuk menegakkan diagnosis, baik dengan menggunakan bagan alur
maupun dengan bantuan laboratorium, secara mutlak diperlukan
ketersediaan antibiotik yang efektif. Obat yang diperlukan perlu
27

disediakan pada saat petugas kesehatan pertama kalinya kontak dengan


pasien IMS. Cara pengobatan yang efektif ini juga perlu disiapkan dan
dilaksanakan pada semua klinik swasta/ pribadi.
- Penyediaan kondom: Dengan mendorong seseorang untuk menggunakan
kondom, maka Kepala Dinas Kesehatan perlu memberikan jaminan bahwa
kondom tersedia dalam jumlah yang cukup, berkualitas, dan dengan harga
yang terjangkau pada semua fasilitas kesehatan serta berbagai titik
pendistribusian lainnya. Pemasaran Sosial (Social marketing) kondom
adalah cara lain untuk meningkatkan jangkauan terhadap penjualan
kondom.
- Konseling: Fasilitas konseling disiapkan agar dapat dimanfaatkan oleh
siapa saja yang membutuhkannya; misalnya pada kasus herpes genitalis
kronis atau kutil pada alat genital, baik untuk perorangan maupun untuk
mitra seksualnya.
- Pemberitahuan dan pengobatan pasangan seksual: Penting bagi setiap
program penanggulangan IMS adalah melakukan penatalaksanaan
terhadap setiap mitra seksual pasien IMS, dan menghimbau agar mereka
sendiri lah yang menghubungi tempat pelayanan IMS untuk mendapat
pengobatan. Upaya ini harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan
faktor sosial dan budaya setempat, untuk menghindari masalah etis
maupun masalah praktis yang mungkin timbul, misalnya penolakan, dan
kekerasan khususnya terhadap wanita.

4.4 Struktur Klinik:


Sedikitnya, struktur di dalam klinik harus mempunyai fungsi seperti hal berikut
ini:
- Ruang tunggu dan registrasi
- Ruang pemeriksaan
- Laboratorium - Catatan: Untuk memfasilitasi secepatnya diagnosa dan
pengobatan pada pasien, sebaiknya Ruang pemeriksaan dan Laboratorium
berdampingan tetapi dipisahkan dengan sebuah korden atau sekat.
- Ruang pengobatan dan konseling
28

o Setiap bangunan klinik harus dipelihara dengan baik untuk


mendapatkan lingkungan yang nyaman, aman, dan higienis.
o Setiap klinik harus memelihara peralatan kliniknya dalam keadaan
bekerja dengan baik
o Setiap waktu kewaspadaan universal untuk mencegah penularan
infeksi melalui darah dan indikator lain untuk mengendalikan
infeksi harus diterapkan

Masukkan struktur klinik IMS


4.5 Staf Klinik:
Setiap klinik harus mempunyai staf yang ramah, client-oriented, tidak
menghakimi dan dapat menjaga konfidensialitas, serta dapat melakukan
fungsi –fungsi berikut ini dengan baik:

 Administrasi klinik, registrasi pasien, pencatatan dan pelaporan

 Anamnesis kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual, pemeriksaan


fisik dan pengobatan

 Laboratorium berdasarkan tes diagnostik

 Konseling

 Memelihara standar klinis untuk penatalaksanaan IMS, seperti


digambarkan dalam poin nomor 4.6

4.6 Pengelolaan Klinis IMS


a. Pengelolaan Syndrom yang Disempurnakan (Enhanced Syndromic
Management). Semua klinik harus dapat menerapkan “ Pengelolaan
Syndrom yang Disempurnakan” untuk IMS yang mencakup:

- Anamnesis kesehatan seksual yang baik


29

- Pemeriksaan fisik yang benar dan adekuat (termasuk spekulum dan


pemeriksaan bimanual dari saluran reproduksi pasien wanita, dan
pemeriksaan rektum jika ada indikasi)
- Pemeriksaan laboratorium yang secepatnya, supaya hasil pemeriksaan
tersedia sebelum pasien meninggalkan klinik.
- Pengobatan segera, langsung dan tepat, konseling dan tindak lanjutnya
bagi setiap pasien
b. Standar Pengobatan. Semua klinik harus mengelola IMS menurut
“Prosedur Tetap Penatalaksanaan Penderita Penyakit Menular Seksual
dengan Pendekatan Sindrom dan Laboratorium’ yang diterbitkan oleh
PPM&PLP 2004, atau terbitan revisi lanjutannya.
c. Obat-obatan dan bahan habis pakai: Semua klinik harus tetap menjaga
adanya pengadaan obat-obatan utama yang dibutuhkan untuk pengobatan
IMS yang tepat (seperti dalam ‘standar pengobatan’), atau memiliki akses
untuk obat-obatan ini melalui apotik setempat atau sumber lainnya.
Pengadaan obat-obatan ini di klinik harus dijaga dengan seksama untuk
memastikan adanya persediaan yang cukup dan berkesinambungan.
d. Peralatan Klinik. Setiap klinik harus menjaga agar peralatan klinik dalam
keadaan bekerja dengan baik, peralatan dasar klinik

4.7 Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan


a. Monitoring merupakan proses metodologi pengumpulan data secara
teratur. Ini dilakukan oleh staf pelayanan klinik IMS dengan tujuan
untuk melihat hubungan pelayanan yang sudah diberikan dengan
kegiatan-kegiatan yang mereka rencanakan. Kegiatan pemantauan
bisa mencakup beberapa indikator dari tabel di bawah ini.

Monitoring Pelayanan Klinik IMS

Persediaan obat-obatan IMS dan kondom yang memadai

Jumlah konsultasi IMS per bulan

‘Cakupan
’* dari klinik pelayanan IMS
Memelihara ‘cakupan’ yang tinggi dari pelayanan IMS mempunyai arti
30

yang penting dalam mengendalikan penularan IMS

Jenis dan penyebaran IMS

Rata-rata pasien yang dirujuk

b. Pelaporan. Praktek pelaporan yang baik membantu klinik pelayanan IMS


untuk memonitor program dan berarti untuk mengevaluasi sebuah
program. Beberapa formulir pelaporan (lihat appendix 3) telah
dikembangkan oleh program ASA untuk membantu klinik dalam proses
ini. Beberapa catatan berikut ini harus diperhatikan oleh setiap klinik
pelayanan IMS:
o Pencatatan populasi – yang dibuat pada awal dan diperbarui setiap
bulannya
o Ringkasan aktivitas harian klinik
o Laporan bulanan
Diharapkan pula bahwa setiap status pasien harus jelas dimengerti,
mudah diakses, rahasia dan dijaga dengan baik.

NO. Nama Penyakit Jumlah Kasus


Infeksi akut pada saluran pernapasan
1 2197
atas
2 Hipertensi 580
3 Gastritis 435
4. Demam yang tidak diketahui 272
5 Dermatitis kontak alergi 257
6 Diare 241
31

7 Diabetes Melitus 181


8 Faringitis akut 175
9 Cefalgia 15
10 Mialgia 13
TOTAL KASUS

Berdasarkan tabel 10 pola penyakit terbesar maka penyakit terbanyak di UPT


Puskesmas Jekan Raya tahun 2017, yaitu Infeksi Akut pada Saluran Pernafasan
sebanyak 2197 kasus dan yang paling sedikit yaitu mialgia sebanyak 13 kasus.

4.8 Laboratorium Sederhana


Tes Laboratorium – laboratorium dari semua klinik harus memiliki
kemampuan untuk memeriksa secara langsung tes ‘laboratorium sederhana’,
dan melaksanakan, atau merujuk ke laboratorium lain yang tepat, atau ke
laboratorium yang lebih canggih:
- Tes ‘Laboratorium Sederhana’
1. Slide preparat basah
o Garam fisiologis untuk Trichomonas dan “Clue” sel dari
Bakterial vaginosis
o KOH untuk Candida dan “whiff test” (+ pH dari cairan vagina
oleh bidan)
o Methylene blue untuk sel darah putih dan Gonococcus
o Slide dengan Pengecatan Gram yang disiapkan dari smear vagina
untuk mendiagnosa bakterial vaginosis (BV) dengan kriteria
Nugent.
- Tes yang “Lebih Canggih”
1. Tes RPR dan TPHA dan Kendali Mutu - tes sipilis harus juga
tersedia dengan merujuk ke laboratorium yang lebih canggih,
kalau hal ini tidak dapat dilakukan di klinik setempat
32

2. Tes HIV dan Kendali Mutu – Tes HIV (lihat # 8) harus


dilaksanakan dengan merujuk ke laboratorium yang lebih canggih
, kalau hal ini tidak dapat dilakukan di klinik setempat.
3. Tes HBsAg EIA dan Kendali Mutu – Tes Hepatitis B juga
harus bisa dilaksanakan dengan merujuk ke laboratorium yang
lebih canggih, kalau hal ini tidak dapat dilakukan di klinik
setempat.

Peralatan Laboratorium: Setiap laboratorium klinik harus menjaga agar


peralatannya dalam keadaan bekerja dengan baik.

- Kendali Mutu Laboratorium:


 Prosedur Standar Pelaksanaan Kendali Mutu Laboratorium harus dilakukan
oleh setiap klinik. Ini merupakan komponen utama dari setiap sistem
pengendalian. Yang menyebutkan protokol instruksi secara tertulis, termasuk
di dalamnya semua aspek pelayanan, dan mengurangi kemungkinan proses
yang bervariasi.
 Prosedur Kendali Mutu secara Internal harus dilaksanakan setiap hari dalam
laboratorium. Contoh Prosedur Kendali Mutu secara Internal meliputi:
1. Setiap hari pada akhir hari kerja klinik, kendali mutu laboratorium untuk
diagnosis swab langsung dapat meliputi:
a. pemeriksaan ulang smear servik dengan pengecatan methylene blue
untuk melihat sel darah putih dan gonococcus dibandingkan hasilnya
antara yang didapat di klinik dengan hasil yang didapat dari teknisi
lain.
b. Slide dengan pengecatan gram dari smear vagina untuk mendiagnosis
bacterial vaginosis (BV) dengan kriteria Nugent hasilnya
dibandingkan dengan hasil yang didapat di klinik dengan metode
cepat untuk BV (seperti ’clue cell’, (+) whiff tes dan pH > 4,5).
2. Mikroskop harus dibersihkan dan diservis setiap enam bulan.
33

3. Reagen untuk pemeriksaan mikroskop dan semua tes laboratorium


harus disimpan dengan tepat dan tidak melampui tanggal
kadaluwarsanya.
 Pengkajian Kendali Mutu secara Eksternal ditujukan untuk
membandingkan hasil tes laboratorium sederhana yang dapat
berupa:
a. Pemeriksaan smear kembali oleh teknisi yang berbeda
b. Testing dari beberapa sampel specimen dengan Gen-Probe

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Strategi Pengendalian Program IMS


Ada beberapa strategi, yang telah menunjukkan dampaknya terhadap
penularan IMS di masyarakat, jika hal ini diterapkan dengan tepat. Ini harus
termasuk penapisan dan pengobatan secepatnya dari kelompok berisiko tinggi.
Orang yang berisiko tinggi terkena IMS dan penularan infeksi berikutnya yang
belum menerima pelayanan harus dicapai dengan intervensi ini dan harus
dimasukkan ke dalam model pelayanan. Akses yang adekuat dalam memberikan
pelayanan pada kelompok risiko tinggi dan pasien lain, diperoleh dengan
memprioritaskan pelaksanaan jam buka klinik yang tepat.
Strategi untuk Perubahan Perilaku Berkesinambungan dapat menjelaskan
secara eksplisit unsur-unsur yang berhubungan dengan IMS (contoh pengenalan
gejala, pentingnya dapat pengobatan segera, pentingnya menyelesaikan
pengobatan, pentingnya pengobatan pasangan, interaksi antara IMS dan HIV,
dll) harus dikembangkan dan dilaksanakan. Untuk memilih startegi mana yang
akan diterapkan setiap klinik harus melaksanakan pengkajian dan analisa dari
kelompok sasaran yang akan dilayani.
34

Ada beberapa langkah-langkah yang dapat diikuti untuk melaksanakan


hal tersebut:
a. Menilai banyaknya Infeksi Menular Seksual, pada kelompok di mana klinik
IMS tersebut akan memberikan pelayanan.
 Setiap klinik harus membuat pemetaan kelompok sasaran yang akan
mereka layani dengan baik.
 Registrasi populasi harus dibuat untuk kelompok ini. Dan harus
diperbaharui secara teratur, setiap bulan (Lihat ‘Formulir’)

b. Menganalisa kesempatan untuk melakukan tindakan pencegahan pada


kelompok ini.Strategi dan kegiatan berikut ini telah menunjukan adanya
dampak terhadap penularan IMS di masyarakat, jika diterapkan dengan tepat.
Intervensi yang paling tepat untuk pelayanan IMS adalah intervensi yang
mempunyai sasaran untuk mungurangi waktu infektivitas dari IMS (#1 pada
tabel berikut ini). Kemampauan pelayanan IMS untuk menerapkan masing-
masing kegiatan intervensi ini akan tergantung pada sumber yang mereka
miliki, dan tingkat efisiensi serta pengorganisasian yang bisa mereka capai.
c. Mengembangkan kebijakan pencegahan dan menerapkan prosedur yang
berdasar pada (a) & (b).
d. Menciptakan tujuan pencegahan, yang berdasar pada data yang
dikumpulkan oleh pelayanan IMS pada langkah (a), (b) & (c).
e. Mengevaluasi kemajuan dari tujuan pencegahan dengan cara mengkaji ke-
efektifan dan cakupannya secara teratur.
35

Pencatatan dan Pelaporan Program IMS


Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan surveilans,
diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan
baik dan benar, dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah,
dianalisis dan diinterpretasi untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan
program. Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi.
a. Lengkap, tepat waktu dan akurat
b. Data sesuai dengan indikator program sebagai tolak ukur
c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan
dengan sistem informasi kesehatan yang generik
1. Indikator Program IMS
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kemajuan program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau
keberhasilan program IMS digunakan beberapa indikator sebagai tolak ukur.
Indikator utama program Infeksi Menular Seksual di UPT Puskesmas Jekan Raya.
Pelaksana program IMS di kota Palangkaraya yang berada dibawah
kepengurusan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dan sebagai
pelaksanan program IMS berletak di Puskesmas Jekan Raya, dengan anggota
kepengurusan keseluruhan berjumlah 5 orang, dengan rincian 1 orang perawat, 2
36

orang bidan dan 1 dokter umum yang sudah memilik surat keterangan (SK) dari
pemerintah pusat.
Lima orang yang menjadi pelaksanan program IMS adalah staf yang bekerja di
Puskesmas Jekan Raya. Data diperoleh dari wawancara mendalam pada seluruh
informan dan pengelola program. Informan yang menjadi pemegang program
pada kegiatan ini. Pemegang program ini adalah wanita berusia 47 tahun dengan
latar belakang pendidikan D IV Sarjana sains Terapan, sudah bekerja di
Puskesmas Jekan raya lebih dari 15. Mereka bekerja setiap hari baik di dalam
maupun lapangan dengan terjun langsung membina PS di lokasi binaan. Jadwal
kunjungan ke klinik IMS yang berletak di KM 12 sebenarnya dilakukan tiap hari
namun mengingat keterbatasan jumlah pelaksana maka kunjungan ke klinik IMS
dilakukan 1 minggu sekali. Karakteristik PS yang menjadi dampingan pelaksana
program IMS adalah mereka tinggal diantara rumah masyarakat di mana
tinggalnya bercampur dengan penduduk dengan menggunakan sistem menyewa
rumah sebagai tempat tinggal.
Informan kunci terdiri dari informan kunci adalah Staf pengurus program IMS.
Informan dari Instansi ini telah bertugas sebagai penanggung jawab program
pencegahan dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS selama 7 tahun terakhir ini.
Di Palangka raya kaliamantan tengah tidak memiliki kantor kepengurusan
pengelola program namun langsung menjadi 1 dengan Klinik IMS yang bertempat
di KM 12 (lokalisasi). Gambaran Klinik IMS di bawah naungan dinas sosial dan
Puskesmas Jekan raya. Gedung klinik IMS merupakan gedung kepemilikan Dinas
Sosisl yang digunakan oleh pelaksana Program IMS karenan lokasi bertepatan
dengan tempat lokalsasi. Lokasi klinik terletak di Jln. Tjlik Riwut KM 12, Kota
Palangka Raya. Gedung klinik memiliki 2 buah kamar, 2 kamar periksa yang
sekaligus tempat laboran dan penyimpanan obat, 1 ruangan pertemuan dan tamu.
Ruangan tempat Pengelola program bercampur dengan pengelola lainnya di
bagian P2M.
Dinding gedung klinik terbuat dari beton dengan kondisi ruangan umumnya
cukup kotor. Pengelola dibantu oleh 4 orang pelaksana, 5 orang wanita umur
37

antara 30- 40 tahun. Latar belakang pendidikannya adalah sarjana dan D IV.
Mereka bekerja setiap hari masuk jam 07.00 dan pulang jam 13.30.
Kegiatan lebih banyak di Puskesmas Jekan raya, kegiatan dilokalisasi hanya
dilakukan 1 minggu sekali saja. Untuk masalah keuangan dan administrasi
ditangani langsung oleh pengurus program IMS. Gambaran Lokasi pekerja seks di
lokalisasi dengan tempat tinggal seperti kost kostan dan cafe yang awalnya sudah
memiliki perjanjian dengan tempat tinggal si pemilik Cafe.
2. Komponen Input
Komponen input yang terdiri dari tenaga, sarana, dana dan organisasi
menunjukkan bahwa program mempunyai tenaga yang cukup yaitu sebanyak 5
(empat) orang yang berasal dari Puskesmas Jekan Raya sendiri. Sarana untuk
kegiatan sperti alat peraga dan leaflet lengkap yang sudah didroping dari PKBI
pusat. Untuk dana yang tersedia sudah dianggap tidak cukup dengan kegiatan
yang dilakukan sehingga diharapkan ada dana tambahan berupa bantuan dari
pemerintah daerah.
3. Komponen Proses
Komponen proses yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
menunjukkan bahwa sebagian besar perencanaan sudah dirancang dengan baik
oleh KPA sebagai badan penanggulangan penyakit HIV/AIDS, sedangkan
perencanaan di daerah hanya sebatas membuat jadual kegiatan setiap bulan,
seperti jadual untuk turun kelapangan, advokasi ke instansi terkait, rapat bulanan
dan monitoring dan evaluasi secara internal. Pendanaan bergabung dengan
penanggulangan HIV/AIDS karena dana khusus tidak ada.
4. Komponen 0utput
Hasil yang didapat dari evaluasi dan monitoring program pencegahan dan
penanggulangan IMS dan HIV/AIDS pada pekerja seks oleh KPA setelah
pelaksanaan program dapat dilihat pada tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku
seharihari pekerja seks sebagai berikut :
a. Pengetahuan : 1) Seluruh responden pekerja seks mengetahui tentang :
apa IMS, gejala-gejalanya, dan cara pencegahannya. 2) Demikian
38

juga, keseluruhan responden pekerja seks sudah mengetahui tentang :


apa HIV/AIDS, gejala-gejalanya, dan cara pencegahannya. 3) Situasi
semua responden PS sudah mengetahui fungsi dari kondom dual
protection (mencegah terutlar IMS dan HIV/AIDS serta sebagai alat
kontrasepsi) dan sebagai bentuk tanggungjawab pasangan terhadap
kesehatan.
b. Sikap : 1) Seluruh responden pekerja seks mempunyai sikap sangat
setuju tentang bahaya IMS dan HIV/AIDS, kekhawatiran tertular,
harus tahu gejala dan cara pencegahan, dan bersikap dampak IMS dan
HIV terhadap pekerjaan yang sedang ditekuni saat ini. 2) Demikian
juga sikap sangat setuju keinginan menggunakan kondom ketika
mendengar informasi IMS dan HIV/AIDS, dan sikap “sangat setuju”
bahwa saat berhubungan seks penting menggunakan kondom.
Responden pekerja seks bersikap “tidak setuju” kepada orang dan tamu
yang tidak peduli dalam penggunaan kondom. 3) Menyadari
penggunaan kondom yang masih belum konsisten dan karenanya perlu
check up kesehatannya. Oleh karena itu, pekerja seks bersikap sangat
setuju dan setuju
c. Perilaku : 1) Hampir semua responden pekerja seks berperilaku
menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan tamu dalam
seminggu terakhir. Oleh karena itu, mereka mengakui perilaku
penggunaan kondom yang sudah aktif tapi kadang kadang belum
konsisten masih banyak juga yang tidak menggunakan. 2) Responden
pekerja seks belum memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan dengan
frekuensi rata-rata sebulan sekali, jenis pemeriksaan, jenis pelayanan
yang diterima. Oleh karena itu, dapat disimpulkan rata-rata responden
Pekerja seks tidak memanfaatkan dengan memeriksakan IMS dan
HIV/AIDS ke klinik yang statis maupun mobile (khususnya : skrining
IMS dan VCT).
39

5. Program Pencegahan dan penanggulangan IMS pada pekerja seks di Kota


Palangka Raya merupakan salah satu organisasi yang dipercaya untuk
menangani program ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan PKVHI
(Perkumpulan Konselor VCT HIV Indonesia) dan KPA (Komisi
Pemberantasan AIDS), diperlukan need assesment untuk memperoleh
gambaran yang seragam.
a) Perencanaan
Pembuatan perencanaan program pencegahan HIV/AIDS,
dimana dilakukan melibatkan hanya melibatkan pihak KPA dan PKBI
Pusat. Program intervensi dibuat berdasarkan petunjuk pelaksanaan
(juklak) dari PKBI pusat kemudian dijabarkan dimasing-masing
daerah tujuan. Seperti kutipan wawancara berikut: “Rencana kerja
setiap awal tahun kita buat… dan kami di sini menyesuaikan dengan
rencana kerja nasional… itu sudah ditentukan di sana… jadi kita
tinggal melaksanakan kapan sesuai dengan kesempatan di daerah…
ini rencana kerja dengan pelaksanaan kan terkait dengan pendanaan.
(Pengelola program).
Perencanaan kegiatan lapangan pengelola program dibantu 4
orang. Mereka bekerja berdasarkan perencanaan yang dibuat bersama,
sebagaimana utipan wawancara berikut: “…mmmm yang disekretariat
KPA itu ada 5 orang, bagian keuangan dan administrasi… klo yang
pelaksana program itu kami ada 5 orang… kami berlima sekaligus
merangkap di klinik IMS” (Pengelola program)

b) Pelaksanaan

Program pencegahan IMS ini telah berlangsung sejak tahun 2011.


Berbagai kegiatan telah dilakukan dalam proyek ini sesuai strategi dan
program yang sebelumnya telah disepakati bersama. Dalam tahun 2018
40

ini, target sudah tercapai. Pola pendekatan terhadap dampingan dilakukan


pendekatan kelompok dan individu. Peranan pengelola program disini
sangat vital karena dia yang mengatur semua pelakasnaan kegiatan
dibantu oleh pengurus Dinas kesehatan sebagai pemantau pelaksanaan
kegiatan. Dalam setiap pelaksanaan kegiatan pihak KPA selalu
berkoordinasi dengan lintas sektor, misalnya dengan dinas kesehatan.
Seperti yang dijelaskan pada wawancara berikut :
“…saat ini kita yang ada MoU nya …..di semua wilayah kerja
puksesmas… “ (Pengelola program)
“…Rumah Sakit kita sudah ada MoUnya yaitu di RSUD dr. Doris
sylvanus” (Pengelola program). “…..Dinas kesehatan…..
kerjasamanya …pertama Puskesmas kan berada level…dibawah
binaan dinas… kemudian juga dinas kesehatan membawahi untuk
laboratorium kesehatan… … kalau di dinas kesehatan kita minta
untuk memfasilitasi peningkatan sarana dan prasarana puskesmas
terdekat, kemudian juga biasanya kita kerjasama untuk skreening IMS
dan tes HIV….untuk selama ini kita sih masih memanfaatkan reagen
yang dimiliki oleh dinas” namun kita terkendala listrik di Klinik IMS
ini (Pengelola program)

Namun sayangnya PS masih kurang begitu memakai pelayanan


kesehatan ini karena berbagai alasan, seperti yang tergambar dalam
wawancara berikut :

“……kalau dinas kesehatan dukungannya bagus dan KPA juga…karena


mereka juga kan sama–sama punya program HIV/AIDS dan IMS…
cuman ya ada keterbatasan-keteerbatasannya dan juga kita harus
menyesuaikannya…ada PS yang masih memilih untuk tidak ke klinik IMS
dengan alasan baru tidur atau ada tamu...pemeriksaan yang bisa
dilakukan di klinik IMS seperti tes Sifilis dan tes HIV kita bisa lakukan
setiap kali kunjung ke Klinik pada PS yang bersedia … …sebenarnya
41

puskesmas itu melayani semua masyarakat” …sarana dan laboratorium


untuk IMS kita punya kemudian obat-obatan yang tersedia di sana untuk
IMS sangat terbatas jadi untuk pengobatan kita bisa rujuk pasien ke
RSUD dr. Doris Sylvanus” (Pengelola program)

c) Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi merupakan kegiatan rutin dapat dilakukan


secara berjenjang, terstruktur dan terjadwal yang dilakukan oleh Tim
KPA. Dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif berbasis program
dan kegiatan untuk menilai prestasi dan perkembangan pelaksanaan
kegiatan. Indikator utama yang diukur disini adalah indikator dari
kepentingan KPA yang dituju. Agar pelaksanaan dapat dilaksanakan
sesuai dengan tujuannya, Setiap kegiatannya dilaporkan setiap bulan.
Data dan informasi tersebut di atas akan dijadikan pedoman dalam
menjalankan kegiatan berikutnya.

“….monitoring dan supervisi kita memang secara berkala 3 bulan… aku


juga terjun langsung kelapangan… sayangnya di klinik ini sumber listrik
tidak ada, dulu ada namun entah kenapa sudah tidak nympung lagi tau-
tau kita dapat kabar denda 14 juta dan itu sudah 2 tahun ini belum
dibayar juga, jadi itu lah kendala kita disini, sumber listrik tidak ada jadi
pemeriksaan yang membutuhkan listrik tidak bisa dilakukan begitu juga
dengan air tidak jalan karena listriknya sudah tidak bisa lagi....
..ditambah lagi tempat pembuangan limbah tidak memadai sehingga air
banyak tergenang disekitar klinik...” (Pengelola program)

Evaluation Tindak lanjut program sudah mencapai target diharapkan


Hasil evaluasi dari kegiatan input, proses dan output sesuai target yang
direncanakan. Selain masalah listrik yang sudah pada sejak 2 tahun
terakhir dan tempat limbah klinik yang tidak ada.
42

6. Pendapat Pekerja Seks Tentang IMS Dan HIV/AIDS Berkaitan


Dengan Program

Mereka tidak punya keterampilan untuk mencari pekerjaan. Kebanyakan


PS secara sadar akan pilihannya untuk menekuni pekerjaan sebagai karena
kesadaran dengan berbagai alasan : karena kemiskinan (80,00%); tidak
mempunyai ketrampilan (15,00%), dan “karena sakit hati dan suami sudah
tidak ada” (5,00%), semua hampir separoh menjawab Kemiskinan dan
Tidak punya keterampilan sehingga memberikan petunjuk yang kuat
bahwa keberadaan mereka sebagai PS, karena atas kesadaran terhadap
situasi yang mengelilinginya dan selalu dihadapi, yaitu kemiskinan,
meskipun mereka masih dalam status ikatan perkawinan. Pada dasarnya
faktor yang menjadi penyebab utama mereka menekuni sebagian
mengatakan, memang atas alasan diluar kemampuan diri mereka, yaitu
kemiskinan. Oleh karena itu, tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa tidak
satupun orang yang bercita-cita menjadi PSK.
Karakteristik yang menjadi dampingan KPA Kota Palangka Raya
pada wanita dilokalisasi di mana tinggalnya bercampur dengan penduduk
dengan menggunakan system menyewa rumah sebagai tempat kost, maka
tempat prakteknya seperti rumah tinggalnya sendiri. Hal ini berarti mereka
datang atas kehendak dan kemauannya sendiri dan kemudian mereka
menyewa sesuai dengan seleranya secara individual dan atau
berkelompok.

1. Epidemiologi HIV/AIDS di

Masih ada masyarakat yang memahami HIV/AIDS adalah


sebuah penyakit kutukan dari Tuhan, meskipun seseorang terinfeksi
HIV juga bisa disebabkan oleh transfusi darah yang tercemar. Bahkan
selama ini pemahaman masyarakat masih berkembang bahwa
43

HIV/AIDS hanya bisa ditularkan melalui hubungan seks. Sehingga


stigma buruk tentang AIDS masih tinggi.

Dengan alasan tersebut KPA Kota Palangka raya terus maju


dan terus berjuang meskipun di bawah tekanan pihak-pihak yang
kontra dan meskipun saat sudah mulai reda.

2. Program IMS untuk Safety Sex di Kalangan Pekerja Seks

Pencegahan dan penanggulangan penyebaran IMS dan


HIV/AIDS di Indonesia telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak,
baik oleh pemerintah maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM).

“Pihak IMS melakukan pembinaan pada sekelompok PSK yang


bisa dirangkul. Setiap minggunya datang ke klinik IMS untuk
mendapatkan pembinaan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh
kelompok pendamping” (Pengelola program)

a) Outreach and counseling activity


Penjangkauan dan pendampingan yang dilakukan oleh KPA Kota
Palangka raya dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti pemberian
informasi kesehatan reproduksi, IMS dan HIV & AIDS dan kondom
secara individual (face to face), diskusi interaktif kelompok (DIK), ,
pendistribusian media KIE dan kondom, serta konseling. Petugas
penjangkau dan pendamping membuat perencanaan dan melaksanakan
berbagai kegiatan yang termasuk dalam pencapaian kegiatan ini
tersebut. Untuk kemudahan koordinasi ditingkat wanita binaan,
komunikasi selalu dijalin dengan tokoh masyrakat . Kemudian PO
secara rutin setiap bulan melakukan pertemuan untuk membahas
permasalahan yang dihadapi dilapangan, tingkat capaian, solusi dan
rencana pendampingan berikutnya. Petugas penjangkau dan
44

pendamping sama seperti kader kesehatan yang terlatih yang mampu


secara profesional menjalankan tugasnya.
Menurut pengelola program dengan 3 orang relawan ini sudah
cukup untuk mengelola semua kegiatan, selain itu juga alasan efektif
dan efisiensi dalam pekerjaan. Memang dengan relawan yang sedikit,
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program yang rapi monitoring
dan evaluasi kegiatan bisa lebih mudah. Ke tiga relawan memang
sudah dilatih dan sudah berpengalaman sebelum terjun dalam kegiatan
ini, sehingga mereka sudah terbiasa dengan pola kerja LSM yang ketat
dan padat. Tugas PO adalah :
1. Melakukan koordinasi eksternal dan internal.
2. Mempersiapkan dan memimpin pertemuan harian dan tahunan sesuai
dengan logframe.
3. Mempersiapkan dan memimpin pertemuan harian dan berkala.
4. Notulasi rapat.
5. Menyiapakan dan menyedian form laporan, kelengkapan administrasi,
pengadaan logistik kondom, material KIE dan outreach.
6. Kompilasi laporan dan kegiatan lapangan.
7. Membuat laporan bulanan, triwulan dan akhir tahun.
8. Melakukan evaluasi kinerja internal.
9. Melakukan rotasi PO.
10.Melakukan monitoring dan supervisi.

7. Melakukan pendistribusian kondom dan material KIE.


Untuk pelatihan bagi teman sebaya/petugas pendamping juga
sudah ada dalam program dan itu tidak jauh berbeda dengan pelatihan
untuk petugas penjangkau. Ini dilakukan untuk melatih PE agar bisa
berperan dalam penyampaian informasi pencegahan dan
45

penanggulangan IMS dan HIV/AIDS pada teman sebaya. Seperti


kutipan dari wawancara ini:
“.....kalau pelatihan petugas untuk pendampingan itu ada satu kali
waktu diawal tahun …..itu di Jakarta ….kita bareng- bareng dengan
propinsi lain….semua petugas” (Pengelola program)
Untuk kegiatan konseling juga dilakukan pada wanita binaan,
tetapi dilakukan sesuai permintaan mereka. Biasanya seputar masalah
pribadi dan kesehatan. Untuk konseling itu bisa dilakukan oleh PO.
Seperti kutipan wawancara berikut :
46

Untuk mengetahui gambaran capaian program perlu dilakukan


studi evaluasi yang akan mengukur sejauh mana dampak langsung dan
tidak langsung yang dilakukan oleh proyek terhadap perubahan
(pengetahuan, sikap dan perilaku) kelompok dampingan. Hal ini juga
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang kuat bagi
pelaksanaan proyek pada tahun terakhir, yaitu berhubungan dengan
strategi sustainability dan pemberdayaan.

Identifikasi masalah yang ada pada program IMS di Puskesmas


Jekan Raya dilakukan dengan membandingkan pencapaian keluaran
dengan tolok ukur seperti yang terlihat pada Tabel berikut.

Tabel 5.1 Identifikasi Masalah


VARIABEL Pencapaian Tolak Ukur Masalah
1. P3K Kit - 1 kit = 30-50 orang +
2. Jenis obat - 5-10 jenis +
3. Ergonomi - 5-10 jenis +
4. Sarasehan 1 kali sejak 2-3 kali/tahun +
intervemsi terbentuk
5. Penggunaan <30% (hampir 30-60% +
APD tidak ada)

Berdasarkan data di atas dapat diidentifikasi sejumlah masalah dalam


Program IMS di Puskesmas Jekan Raya Kota Palangka Raya adalah :
a) P3K KIT didapatkan dibawah nilai tolok ukur, yang mana pengertian
dari P3K KIT itu sendiri yaitu perlengkapan maupun obat-obatan yang
harus ada sebagai pertolongan pertama pada kecelakaan di tempat
kerja.
b) Jenis obat didapatkan dibawah nilai tolok ukur, yang mana pengertian
dari jenis obat itu sendiri yaitu, presentase atau ragam jenis dan
jumlah obat-obatan yang dijual bebas dan tersedia di pos UKK.
47

c) Ergonomi didapatkan di bawah nilai tolak ukur, yang mana pengertian


dari ergonomic itu sendiri merupakan banyaknya cara bekerja sehat
dan benar yang diterapkan pada suatu kelompok pekerja sasaran pos
UKK.
d) Sarasehan intervensi juga didapatkan di bawah nilai tolak ukur, yang
pengertiannya adalah banyaknya pertemuan yang dilakukan oleh
anggota pos UKK dalam rangka menjalankan dan meningkatkan
upaya kesehatan kerja
e) Penggunaan APD di bawah nilai tolak ukur, yang mana pengertian
penggunaan APD adalah prosentasi dari anggota pos UKK yang telah
menggunakan APD sewaktu bekerja.

5.2 Penetapan Prioritas Masalah


Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan bahwa terdapat 5 masalah yang dialami
oleh program UKK (Upaya Kesehatan Kerja) di Puskesmas Jekan Raya kota
Palangka Raya. Untuk mengetahui masalah mana yang menjadi prioritas utama
digunakan kriteria matrik yang tersaji pada tabel 5.2. Prioritas masalah ditetapkan
dengan sistem skoring dan akan dinilai beberapa kriteria :
a) Pentingnya masalah (importancy) yang terdiri dari :
- Besarnya masalah (Prevalence ) = P
- Akibat yang ditimbulkan masalah (severity) = S
- Kenaikan besarnya masalah (rate of increase) = RI
- Keuntungan sosial karena selesainya masalah (social benefit) = SB
- Derajat keinginan masyarakat tidak terpenuhi (degree of unmeet
needs) = DU
- Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (public concern) = PB
- Suasana politik (political climate) = PC
b) Kelayakan teknologi (technilcal feasibility) = T
c) Sumber daya yang tersedia (Resources availability) = R
Untuk setiap kriteria diberikan nilai dalam rentang 1 (tidak penting)
hingga 5 (sangat penting). Masalah yang menjadi prioritas utama ialah masalah
dengan nilai tertinggi.
48

Tabel 5.2 Penetapan Prioritas Masalah


Importance Jumlah
No Daftar Masalah T R
P S RI DU SB PB PC P=IxTxR
1. P3 KIT 5 4 4 4 4 3 2 5 5 650

2. Jenis Obat 3 3 3 4 3 5 2 5 5 575

3. Ergonomi 4 4 3 3 4 4 2 4 4 512
4. Sarasehan Intervensi 5 5 5 3 5 3 3 5 5 725
5. Penggunaan APD 5 5 5 5 5 5 3 5 5 825

5.3 Identifikasi Penyebab Masalah


5.3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dibuat dengan menggunakan pendekatan analisis, hal ini
bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab masalah P3K KIT, Jenis obat,
Ergonomi, Serasehan intervensi dan Penggunaan APD masih dibawah tolok ukur
di Puskesmas Jekan Raya Kota Palangka Raya. Kerangka konsep yang telah
dipikirkan untuk masalah tersebut dapat dilihat pada gambar 5.1. di bawah ini.

Gambar 5.1 Kerangka Konsep Evaluasi Program Upaya Keselamatan Kerja


49

4.2 Sarana dan Prasarana Klinik IMS


Tabel 4.1 Fasilitas Gedung Klik IMS
No. Fasilitas Jumlah Kondisi
1 Ruang Tunggu 1 Baik
2 Ruang laboratorium - -
3 Ruang apotek 1 Baik

4.3 Sumber Daya IMS


Tabel 4.2 Sumber Daya UPT Puskesmas Menteng
No Profesi Jumlah
1 Dokter umum 1
2 Perawat umum 1
3 Bidan 2
4 Tenaga farmasi 1
4.5 Program IMS
Tabel 4.4 Ketersediaan 18 Program Pokok IMS
Tidak
No. Program Puskesmas Ada
ada
1 Upaya kesehatan ibu dan anak 
2 Upaya keluarga berencana 
3 Upaya peningkatan gizi 
4 Upaya kesehatan lingkungan 
5 Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit 
menular
6 Upaya pengobatan termasuk pelayanan darurat 
karena kecelakaan
7 Upaya penyuluhan kesehatan 
8 Upaya kesehatan sekolah 
9 Upaya kesehatan olahraga 
10 Upaya perawatan kesehatan masyarakat 
11 Upaya kesehatan kerja 
12 Upaya kesehatan gigi dan mulut 
13 Upaya kesehatan jiwa 
14 Upaya kesehatan mata 
15 Upaya laboratorium sederhana 
16 Upaya pencatatan dan pelaporan dalam rangka 
50

sistem informasi kesehatan


17 Upaya kesehatan lanjut usia 
18 Upaya pembinaan pengobatan tradisional 

Anda mungkin juga menyukai