Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri kanker merupakan komplikasi kanker yang paling sering ditemui


pada pasien kanker. Frekuensinya sekitar 30-50% pada pasien yang sedang
menjalani terapi dan meningkat hingga 70-90% pada kanker tahap lanjut. Oleh
karena sifat nyerinya yang bisa memberat secara terus menerus dalam jangka
waktu yang lama, maka pasien dapat mengalami gangguan tidur dan nafsu makan
hingga depresi. Tak heran bahwa nyeri kanker sangat ditakuti penderitanya dan
merupakan salah satu target pada terapi kanker secara keseluruhan. National
Comprehensive Cancer Network (NCCN) dalam Panduan Nyeri Kanker 2016
menyatakan bahwa kesintasan penderita berhubungan erat dengan manajemen
gejala kanker yang baik, termasuk manajemen nyeri kanker, dalam meningkatkan
kualitas hidup.1
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2021
diperkirakan akan terdapat kurang lebih 15 juta kasus kanker baru di seluruh
dunia. Dan karena ditemukannya berbagai metode pengobatan baru, maka terjadi
peningkatan survival rates pada populasi ini. Artinya, pasien akan mempunyai
umur rata-rata yang lebih panjang akibat perkembangan metode pengobatan baru.
Dan ini berarti mereka akan mengalami rasa nyeri kanker yang lebih lama, baik
akibat penyakitnya sendiri maupun dari pengobatannya.2
Penatalaksanaan nyeri kanker masih di bawah standar. Dikatakan bahwa
50% pasien yang mengidap kanker dan 90% pasien dengan kanker tahap lanjut
menderita nyeri. 70% nyeri kanker diakibatkan keterlibatan tumor tersebut ke
jaringan lunak, viseral, saraf, atau tulang. Selain itu juga bisa berasal dari
perubahan struktural tubuh akibat tumor tersebut (seperti spasme otot akibat
tumor di tulang belakang). Sedangkan 25% nyeri kanker berasal akibat pemberian
terapi kanker seperti kemoterapi, radioterapi, imunoterapi, dan/atau pembedahan.2
Keluhan nyeri ini dapat dirasakan dalam setiap fase perkembangan kanker,
mulai dari fase penegakan diagnosis ataupun staging, fase kemoterapi, fase
pembedahan, fase remisi, fase relaps, ataupun fase kesintasan (survivorship).
Sindrom nyeri kanker dapat dibagi secara luas menjadi tipe akut dan kronik.

1
Sindrom nyeri kanker akut biasanya ditemukan dalam proses diagnostik atau
terapi intervensi, sedangkan pada yang kronik berhubungan langsung dengan
kanker itu sendiri atau terapi antineoplastik.1
Pada keganasan, nyeri yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor disebut
nyeri nosiseptif sedangkan nyeri yang ditimbulkan oleh gangguan pada sistem
saraf disebut nyeri neuropatik.3 Menurut penelitian pada jurnal Developing Drugs
In Cancer-Related Bone Pain, nyeri yang diinduksi oleh kanker baik mekanisme
inflamasi dan neuropatik dapat terlibat, karena pertumbuhan tumor bertanggung
jawab atas kerusakan jaringan dan pelepasan beberapa mediator inflamasi. Selain
itu, sel-sel kanker juga dapat mengompresi serta tumbuh di dalam saraf sensoris,
atau merusak jaringan target dengan perubahan neuropatik yang konsekuen.
Nyeri kanker juga didefinisikan sebagai jenis nyeri campuran.4
Nyeri neuropatik mempengaruhi hingga 40% pasien kanker dan dikaitkan
dengan peningkatan intensitas nyeri, konsumsi analgesik dan penurunan kualitas
hidup.5 Pada pasien dengan kanker, nyeri neuropatik dapat terjadi karena berbagai
alasan yaitu efek langsung seperti pada tumor yang berhubungan dengan kompresi
saraf; secara tidak langsung karena pengobatan kanker, seperti dalam nyeri
pascaoperasi atau kemoterapi terkait; atau komorbiditas nyeri neuropatik yang
tidak terkait kanker.6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker
Menurut American Cancer Society, kanker adalah sekelompok penyakit
yang ditandai dengan pertumbuhan dan penyebaran sel abnormal yang tidak
terkontrol.7 Kanker merupakan segolongan penyakit yang ditandai dengan
pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk
menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di
jaringan sekitarnya (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh.8
Indonesian Journal of Cancer menjelaskan bahwa kanker merupakan salah
satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia
maupun di dunia karena berakibat menurunnya kualitas hidup pasien.9 Kanker
merupakan penyakit yang kompleks dengan manifestasi yang bervariasi.8
Gejala fisik yang paling umum menyertai penyakit kanker adalah nyeri.
Ini dapat terjadi akibat tumor yang meluas menekan syaraf dan pembuluh darah
disekitarnya, reaksi kekebalan dan peradangan terhadap kanker yang sedang
tumbuh, dan nyeri juga disebabkan karena ketakutan atau kecemasan.9,10

2.2 Nyeri

2.2.1 Definisi

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri


merupakan perasaan sensori yang subjektif serta emosional yang tidak
menyenangkan dan berkaitan dengan terjadinya kerusakan jaringan aktual
maupun potensial yang menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri
merupakan suatu sensasi yang ditimbulkan oleh suatu cedera atau rangsangan
yang cukup kuat untuk mencederai (berbahaya), memicu respon terhadap stress
berupa penarikan atau immobilisasi bagian tubuh.11
Nyeri merupakan satu dari beberapa tanda awal dari morbiditas, dimana
hal tersebut merepresentasikan suatu pengalaman sensorik dan menandakan
adanya kelainan atau kerusakan dalam tubuh manusia.12

3
2.2.2 Klasifikasi Nyeri

1. Berdasarkan serangannya dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Nyeri Akut

Nyeri yang terjadi kurang dari 6 bulan yang dirasakan secara mendadak dari
intensitas ringan sampai berat dengan lokasi nyeri yang dapat diidentifikasi. Nyeri
akut mempunyai karakteristik seperti meningkatnya kecemasan, perubahan
frekuensi pernapasan, dan ketegangan otot.12 Cedera atau penyakit yang
menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau memerlukan
pengobatan seperti kasus fraktur.13 Nyeri akut memiliki respon yang baik terhadap
pemberian analgetik.14

b. Nyeri Kronis

Nyeri yang terjadi lebih dari 6 bulan dan tidak dapat diketahui sumbernya.
Nyeri kronis merupakan nyeri yang sulit dihilangkan. Sensasi nyeri dapat berupa
nyeri difus sehingga sulit untuk mengidentifikasi sumber nyeri secara spesifik.12
Nyeri kronik memiliki intensitas dari sedang sampai berat dan awitan bertahan
menetap. Pada nyeri kronik, respon terhadap analgetik sering kurang berespon
terhadap nyeri yang dirasakan.14

2. Berdasarkan keadaan patologis, nyeri dibedakan menjadi dua, yaitu:14

a. Nyeri Nosiseptik
Nyeri inflamasi atau nyeri nosiseptik adalah nyeri yang disebabkan oleh
rangsangan kimia atau alami dari jaringan yang rusak. Dengan demikian, mediator
kimia memulai rasa sakit inflamasi pada nyeri nosiseptik.4 Di SSP, nyeri
nosiseptik (baik visera maupun somatik) berjalan di sepanjang jalur traktus
spinotalamikus serta radiasio thalami, dan area korteks penerima untuk sensasi
somatik bercampur dengan area penerima sensasi visera.14 Nyeri nosiseptik
terbagi menjadi dua, yaitu:15
1) Nyeri somatik, adalah nyeri yang berasal dari jaringan somatik,
misalnya tulang, otot, atau jaringan lunak yang mudah terlokalisir.
Nyeri yang dirasakan cenderung lebih tumpul.15,16

4
2) Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral seperti
gastrointestinal. Nyeri biasa digambarkan sebagai nyeri konstan,
dalam, sakit, meremas atau kram.15 Reseptor nyeri visera lebih jarang
dibandingkan nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ-
organ yang berongga (lambung, ureter, kandung empedu, kandung
kemih) dan di kapsul organ-organ padat (hati, ginjal, pancreas).14
Nyeri biasanya kurang terlokalisir dan dapat menjalar ke daerah
sakral, perineum, bahu atau bagian belakang tubuh.15

b. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan
saraf, baik di susunan saraf pusat (SSP) maupun perifer. Nyeri ini dapat muncul
meskipun kerusakan jaringan sudah sembuh atau bahkan tanpa adanya kerusakan
jaringan. Nyeri neuropatik perifer sering digambarkan sebagai rasa terbakar, rasa
sengatan listrik, rasa ditusuk, atau rasa kesemutan. Ditemukan juga gangguan
sensorik berupa alodinia, hiperalgesia dengan lokasi yang kurang jelas, tidak pada
daerah yang terluka saja, atau hiperpatia. Hampir semua proses patologis yang
menyebabkan kerusakan/disfungsi jaringan saraf atau neuropati berpotensi
menimbulkan nyeri neuropatik, seperti infeksi virus, bakteri, radang aseptik,
tekanan karena neoplasma atau lesi struktural lainnya, degeneratif, iskemia,
autoimun, zat beracun, trauma, dan endokrin/mekanisme metabolisme.17
Nyeri neuropatik dapat diartikan sebagai jenis nyeri karena kerusakan SSP
(nyeri sentral) ataupun kerusakan saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik
berasal dari saraf perifer di perjalanannya atau dari SSP karena gangguan fungsi,
tanpa melibatkan eksitasi dari reseptor nyeri spesifik (nosiseptor).14 Menurut
Journal of Pain and Symptom Management, nyeri neuropatik didefinisikan
sebagai nyeri yang disebabkan oleh lesi atau penyakit pada sistem somatosensori.6
Rasa sakit ini terutama disebabkan oleh perubahan pada saluran ion yang
menghasilkan potensial aksi di dalam saraf, sehingga peristiwa listrik pada saraf
membentuk dasar dari nyeri neuropatik.4 Sistem saraf secara normal
menyampaikan rangsangan-rangsangan merugikan melalui SST ke SSP yang akan
memunculkan rasa nyeri, sehingga lesi di SST atau SSP dapat menyebabkan

5
hilangnya sensasi nyeri yang masing-masing disebut sebagai hiperalgesia atau
analgesia.14

2.3 Epidemiologi
Cancer pain termasuk nyeri yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri
(misalnya invasi tumor pada jaringan, kompresi atau infiltrasi saraf atau pembuluh
darah, obstruksi organ, infeksi, peradangan) dan atau prosedur atau perawatan
diagnostik yang menyakitkan (misalnya biopsi, nyeri pasca operasi, toksisitas
akibat kemoterapi atau pengobatan radiasi).15 Sekitar 60-85% pasien kanker
mengalami nyeri sedang sampai nyeri berat setelah diagnosis, dan hampir 40%
melaporkan nyeri kronis berlangsung setelah selesainya pengobatan.18 Pada
penelitian yang dilakukan oleh ozgul erol dkk, juga menetapkan bahwa 42%
pasien kanker mengalami nyeri sedang, dan 53% mengalami nyeri sedang hingga
berat.19 Cancer pain merupakan gabungan dari jenis nyeri nosiseptik dan
neuropatik, atau yang sering disebut dengan nyeri campuran.20 Nyeri nosiseptik
disebabkan oleh aktivasi nosiseptor; sedangkan nyeri yang ditimbulkan oleh
gangguan pada sistem saraf disebut nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif terjadi
akibat kerusakan jaringan yang potensial yang dapat disebabkan oleh penekanan
langsung tumor, inflamasi, trauma, maupun infiltrasi ke jaringan sekitar yang
sehat dan dapat berupa nyeri somatik maupun viseral. Nyeri somatik terjadi akibat
terkenanya struktur tulang dan otot, bersifat tajam, berdenyut, dan terlokalisasi
dengan jelas. Sedangkan nyeri visceral adalah nyeri nosiseptif yang disebabkan
oleh penarikan, distensi, atau inflamasi pada organ dalam toraks dan abdomen.
Nyeri viseral bersifat difus, tidak teralokalisasi, serta dideskripsikan sebagai
tegang atau kejang disertai rasa mual dan muntah.3

2.4 Etiologi
Satu dari tiga pasien dengan kanker memiliki nyeri neuropatik, yang secara
independen terkait dengan kemoterapi terbaru, operasi, penggunaan analgesik
adjuvan.6 Nyeri pada pasien dengan penyakit keganasan dapat disebabkan oleh
invasi langsung, prosedur invasif, perawatan anti-tumor, atau komplikasi yang

6
terkait dengan program pengobatan, yang dapat menyebabkan episode akut
berulang nyeri atau sindrom nyeri kronis di antara pasien kanker.21

1. Cancer Treatment-Related Chronic Neuropathic Syndromes


Pada pasien dengan kanker yang melaporkan nyeri jenis apa pun, 18,7-
21,4% mengalami nyeri neuropatik karena pengobatan kanker, beberapa hal yang
menyebabkannya adalah:
A. Prosedur pembedahan
Tingkat nyeri neuropatik tertinggi dikaitkan dengan cedera saraf atau
pembentukan bekas luka yang dihasilkan dari manajemen bedah pada kanker
seperti kanker payudara, toraks, kepala dan leher, serta kanker yang berasal dari
jaringan lunak atau tulang, misalnya osteosarcoma. Terlepas dari jenis operasi,
neuroma pascaoperasi, yang berkembang karena cedera saraf yang diinduksi
operasi, atau dari bekas luka dan edema jaringan, merupakan sumber umum dari
nyeri neuropatik di antara survivor kanker. Setelah lumpectomy, mastektomi,
diseksi nodus aksila, dan rekonstruksi payudara, 20-69% dari penderita kanker
payudara mengalami nyeri kronis, paling sering disebabkan oleh kerusakan terkait
operasi pada saraf aksila atau interkostobrachial. Menurut hasil meta-analisis oleh
Bayman dan Brennan (2014), kejadian nyeri kronis 3 dan 6 bulan setelah
torakotomi adalah masing-masing 57% dan 47%. Kerusakan intraoperatif pada
berkas atau komponen neurovaskular telah diduga sebagai penyebab paling umum
dari nyeri pasca torakotomi ini. Selain itu, amputasi anggota tubuh adalah
prosedur lain yang terkait dengan nyeri neuropatik kronis. Nyeri anggota badan
adalah sensasi nyeri, rasa terbakar, kram, dan menyengat pada bagian yang hilang,
terjadi pada sebanyak 60-80% dari penderita amputasi. Selain itu, sekitar 32%
pasien yang menjalani bedah diseksi leher untuk kanker kepala dan leher
mengalami nyeri neuropatik kronis. Dalam kasus ini, nyeri neuropatik umumnya
disebabkan oleh kerusakan pada saraf aksesorius dan plexus superfisial servikal,
yang akan mengakibatkan nyeri bahu kronis dan kehilangan sensasi.22

7
B. Terapi Radiasi
Terapi radiasi sering mengarah ke nyeri neuropatik kronis karena
peradangan saraf dan jaringan parut. Pasien dengan kanker payudara yang
menjalani perawatan radiasi, 21-65% akan mengalami nyeri neuropatik kronis
terkait radiasi yang dapat secara signifikan mengganggu status fungsional dan
kualitas hidup, dan dapat terjadi di mana saja dari 6 bulan hingga 17 tahun setelah
perawatan. Gejala nyeri neuropatik terjadi di payudara, dinding dada, leher, dan
aksila, dan paling sering disebabkan oleh brachial plexopathy. Radiasi
myelopathy adalah komplikasi langka radiasi sumsum tulang belakang yang
biasanya terjadi dalam 3 tahun setelah terapi; diagnosis didasarkan pada temuan
defisit sensorik atau motorik, dan nyeri. Untungnya, kemajuan dalam teknologi
radiasi telah menyebabkan kemampuan untuk hanya menargetkan tumor,
sehingga meminimalkan kerusakan pada jaringan yang sehat. Selain itu,
pengobatan gabungan dengan radioterapi dan kemoterapi sering menurunkan
kebutuhan akan radioterapi agresif. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk mengembangkan teknik yang lebih canggih dan ditargetkan yang dapat
bersifat menurunkan kejadian neurotoksik.22

C. Kemoterapi
Dari sekian banyak etiologi neuropatik pada nyeri kanker, nyeri neuropatik
akibat kemoterapi khususnya sangat mengganggu kualitas hidup penderita, dan
penggunaan obat sitostatika semakin dikenal menyebabkan neuropati perifer.24,25
Mekanisme agen kemoterapi (seperti paclitaxel dan vinkristin) menyebabkan
neuropati perifer diantaranya karena kemampuan mereka merusak fungsi
tubulin.25,26 Polimerisasi tubulin penting untuk transport aksonal dari faktor tropik,
dan obat-obat yang terkait proses ini dapat menyebabkan degenerasi neuron
sensorik serta pelepasan sitokin-sitokin pro-inflamatorik yang secara langsung
mensensitisasi nosiseptor aferen primer.25,26
Cisplatin (Platinol), ifosfamide (Ifex), paclitaxel, and vinkristin telah
diketahui menyebabkan neuropati perifer. Tambahan oxaliplatin (Eloxatin) yang
diberikan secara parenteral menyebabkan allodinia dingin yang akut saat pertama
kali diinfus. Pasien merasakan nyeri dan kram ketika mengangkat minuman

8
dingin. Ini mungkin diikuti dengan neuropati persisten, mirip dengan yang
diinduksi oleh agen kemoterapi yang lain. Kebanyakan neuropati yang diinduksi
kemoterapi bergantung pada dosis.26 Pasien kanker dengan neuropati perifer
sebelumnya akibat kondisi lain, yaitu diabetes, penyakit pembuluh darah iskemik,
atau defisiensi nutrisi, beresiko besar menderita neuropati perifer setelah
kemoterapi. Pengobatan dengan ciprofloksasin, ethambutol, gentamisin, isoniazid,
metronidazol, fenitoin, dan statin juga meningkatkan resiko neuropati perifer.25,26
Kemoterapi dapat menyebabkan nyeri neuropatik oleh karena kerusakan
luas pada saraf perifer dari terapi obat neurotoksik. Obat neurotoksik yang
digunakan untuk mengobati tumor padat dan keganasan hematologi termasuk
taxanes, platinum, alkaloid vinca, thalidomide, lenolidomide, dan bortezomib.
Regimen kemoterapi yang menggabungkan obat-obatan ini biasanya melibatkan
siklus perawatan berulang yang diberikan setiap 1-4 minggu selama berbulan-
bulan. Kerusakan serabut saraf perifer yang rusak berulang kali mengirimkan
masukan nosiseptik ke sistem saraf pusat, dan menghasilkan nyeri neuropatik
kronik. Sekitar 20-40% pasien yang menerima obat kemoterapi neurotoksik akan
mengalami nyeri neuropatik kronis karena neuropati perifer yang diinduksi oleh
kemoterapi atau chemotherapy-induced peripheral neuropathy (CIPN). Gejala
nyeri neuropatik yang terkait dengan CIPN yang khas meliputi allodinia dan
sensasi mati rasa, kesemutan, terbakar, dan tertusuk di ekstremitas. Gejala-gejala
ini dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah komplikasi kemoterapi, yang
mengarah ke cacat fungsional dan berkurangnya kualitas hidup.22

2. Nyeri akibat tumor


Proses perjalanan dari diagnosis kanker hingga kematian selalu
menimbulkan rasa nyeri yang diakibatkan oleh pertumbuhan tumor yang
menggerogoti jaringan normal.23 Tumor terdiri dari beberapa tipe sel selain sel
kanker, termasuk sel sistem imun seperti makrofag, netrofil dan sel T. Sel-sel ini
mensekresi berbagai faktor yang mensensitasi atau secara langsung merangsang
neuron aferen primer, termasuk prostaglandin, tumour necrosis factor-α (TNF-α),
endothelin, interleukin 1 dan 6, epidermal growth factor, transforming growth
factor-β, dan platelet-derived growth factor.27 Reseptor untuk banyak faktor ini

9
diekspresikan oleh neuron aferen primer. Meskipun seluruh faktor ini penting
dalam terjadinya nyeri kanker, obat-obat dengan target pada prostaglandin dan
endotelin adalah yang tersedia saat ini untuk mengontrol nyeri kanker.27,28

Gambar 1. Patofisiologi nyeri kanker


(Sumber: Mantyh PW, et al. Molecular Mechanisms of Cancer Pain.2002)

Selain sel-sel kanker, tumor terdiri dari sel-sel inflamasi dan pembuluh
darah, serta kadang berbatasan dengan nosiseptor aferen primer. Sel-sel kanker
dan sel inflamatorik melepaskan berbagai produk seperti ATP, bradykinin, H+,
nerve growth factor, prostaglandin dan vascular endothelial growth factor
(VEGF), yang mengeksitasi atau mensensitisasi nosiseptor.27,28 Stimuli nyeri
dideteksi oleh nosiseptor, dimana badan selnya terdapat pada dorsal root ganglion
(DRG), dan ditransmisikan ke neuron-neuron pada medulla spinalis. Sinyal
selanjutnya ditransmisikan ke pusat yang lebih tinggi di otak. Sinyal nyeri akibat
kanker tampaknya naik sampai ke otak setidaknya melalui dua jalur medula
spinalis – traktus spinothalamikus dan kolumna dorsalis.26,28 Aktivasi nosiseptor
menghasilkan pelepasan neurotransmitter seperti calcitonin gene-related peptide
(CGRP), endothelin, histamin, glutamat dan substansi P. Aktivasi nosiseptor juga
menyebabkan pelepasan prostaglandin dari ujung perifer serabut saraf sensorik,

10
yang menginduksi ekstravasasi plasma, rekruitmen dan aktivasi sel-sel imun, serta
vasodilatasi. 26,27,28

Gambar 2. Faktor pada tulang a. reseptor atau jalur nosiceptor yang


mempersyarafi tulang. b proses terjadi nyeri tulang pada kanker.
(Sumber: Bone cancer pain Juan Miguel Jimenez-Andrade,1 William G. Mantyh,1 Aaron
P. Bloom,1 Alice S. Ferng,2 Christopher P. Geffre,2 and Patrick W. Mantyh)

3. Cancer induced bone pain (CIBP)


Nyeri tulang yang berkaitan dengan kanker merupakan masalah yang sering
pada pasien dengan metastasis karena dapat mengurangi dan memperburuk
kualitas hidup mereka. Pada penyakit lanjut, prevalensi nyeri dapat mencapai 50%

11
dari total populasi dan sekitar 75% pasien dengan keterlibatan tulang mengalami
rasa nyeri tanpa melihat pada stadium penyakit. Beberapa tumor lebih sering
dikaitkan dengan metastasis tulang, seperti payudara, prostat, paru-paru, ginjal,
dan tiroid. Nyeri tulang sering merupakan gejala pertama pada kanker yang baru
didiagnosis.
Metastasis tulang dapat meningkatkan morbiditas penderitanya, tidak hanya
untuk nyeri, tetapi juga untuk peningkatan kejadian terkait skeletal atau Skeletal
Related Events (SREs), yaitu resiko fraktur dan kompresi sumsum tulang
belakang, operasi dan/atau terapi radiasi, dan hiperkalsemia. Selain itu,
kelangsungan hidup secara keseluruhan juga dapat mengalami penurunan pada
pasien kanker dengan metastasis tulang. Nyeri tulang terkait kanker sangat
berkaitan dengan penyakit kanker dan perkembangannya. Ia memiliki komponen
nosiseptif dan neuropatik. Jenis nyeri ini disebabkan oleh noxious stimulus dari
periostium atau sumsum tulang dan neuron sensorik perifer yang menstimulasi
rangsangan melalui sistem saraf pusat ke korteks serebral. Komponen neuropati
ditentukan oleh pertumbuhan tumor dan efek kerusakan yang diakibatkannya pada
serabut saraf tulang, bersama dengan pertumbuhan abnormal serabut saraf
sensorik dan simpatik.4
Beberapa mekanisme yang menyebabkan nyeri tulang neoplastik antara
lain teregangnya periosteum akibat ekspansi tumor, mikrofraktur lokal yang
menyebabkan kerusakan tulang, kompresi saraf akibat kolapsnya vertebra atau
kerusakan langsung oleh tumor, serta pelepasan substansi analgesik lokal dari
sumsum tulang. Nyeri tulang berhubungan dengan aktivitas osteoklast. Pada
tulang yang normal, aktivitas keseluruhan sel-sel tulang yang teresorbsi
(osteoklast) sebanding dengan aktivitas keseluruhan sel-sel yang terbentuk
(osteoblast).26,28 Pada penyakit metastatik, terdapat bukti peningkatan aktivitas
osteoklast. Baik faktor tumor maupun humoral, termasuk prostaglandin, sitokin,
faktor pertumbuhan lokal, dan hormon paratiroid, meningkatkan aktivitas
osteoklastik dan secara lokal menstimulasi nosiseptor.29 Meski terjadi peningkatan
aktivitas osteoklastik, pembentukan tulang juga meningkat. Dengan peningkatan
turn over tulang, proporsi tulang imatur dan kurang termineralisasi meningkat
sehingga kejadian fraktur meningkat. Prostaglandin mensensitisasi nosiseptor dan

12
menyebabkan hiperalgesia dan nyeri dengan terjadinya osteolisis dan formasi
osteoklast. Obat-obat yang menghambat sintesis prostaglandin dan formasi
osteoklast dapat menghambat nyeri dengan menghambat sensitisasi dan
pertumbuhan tumor. Biphosphonat, analog pyrophosphat, diketahui menginduksi
apoptosis osteoklast, dengan mengganggu sintesis ATP atau kolesterol, yang
penting untuk kelangsungan hidup sel. Biphosphonat memiliki afinitas yang tinggi
terhadap ion kalsium, sebagai mineral target dari matriks tulang. Osteoklast yang
telah diterapi dengan biphosphonat mengalami perubahan morfologik, yaitu
selnya mengecil, kromatinnya menyusut, fragmentasi nukleus, dan kerutan tepi
selnya menghilang, semuanya merupakan tanda apoptosis. Efek anti resorbsi
biphosphonat mengakibatkan meluasnya penggunaan bisphosphonat sehingga
meningkatkan analgesia dan penurunan signifikan komplikasi tulang pada pasien
dengan nyeri tulang maligna.28

2.5 Patofisiologi 17
Munculnya nyeri neuropatik diawali oleh lesi atau disfungsi jaringan saraf
sebagai sistem somatosensorik. Nyeri ini muncul spontan dengan sensasi yang
tidak biasa, seperti disestesia, rasa seperti tusukan, rasa terbakar, nyeri seperti
tersengat listrik, dan sebagainya.

Gambar 3. Mekanisme Metastasis Tumor


(Sumber: Mundy. Nat. Rev. Cancer. 2002;2:584-593)

13
2.5.1 Mekanisme Perifer
Dalam keadaan normal, sensasi nyeri dihantarkan oleh serabut saraf C dan
Aδ. Lesi jaringan saraf di perifer yang beregenerasi dapat membentuk neuroma
pada puntung (stump), sehingga neuron menjadi lebih sensitif. Akibatnya terjadi
sensitisasi perifer yang ditandai oleh adanya aktivitas patologis secara spontan,
eksitabilitas yang tidak normal, dan hipersensitif terhadap stimulus kimiawi,
thermal, dan mekanik.

Gambar 4. Sensitisasi perifer


(Sumber: slideshare.isapm.2015)

Mekanisme nyeri neuropatik di perifer muncul akibat perubahan struktur


anatomi berupa kerusakan jaringan saraf atau akibat munculnya regenerasi
jaringan saraf. Keadaan ini dapat berupa:
 Ectopic discharges dan ephatic condition
 Sprouting neuron kolateral
 Coupling antara sistem saraf sensorik dengan saraf simpatis
Coupling ke saraf simpatis diakibatkan oleh regenerasi jaringan saraf pada lesi
yang tumbuh menyimpang dari jalur anatomi yang sebenarnya. Pengaruh aktivitas
simpatik dan katekolamin terjadi pada saraf aferen primer yang mengalami
kerusakan. Pada lesi saraf perifer, terjadi upregulation adrenoreseptor α, sehingga
terjadi peningkatan sensitivitas terhadap noradrenalin pada neuron aferen di
ganglion radiks dorsalis. Selain itu terjadi pula sprouting pada saraf aferen primer
tersebut.

14
2.5.2 Mekanisme Sentral
Neuron di kornu dorsalis akan memacu traktus spinotalamikus, yaitu
bagian besar dari jaras asending nosiseptif. Konsekuensi aktivitas spontan secara
terus menerus yang berasal dari perifer mengakibatkan meningkatnya aktivitas
jaras spinotalamikus, meluasnya areal penerima, dan meningkatkan respons
terhadap impuls aferen. Fenomena ini disebut sebagai sensitisasi sentral.

Gambar 5. Sensitisasi sentral


(Sumber: slideshare.isapm.2015)

Sensitisasi sentral ini diduga merupakan mekanisme penting terjadinya


nyeri neuropatik yang persisten.

Pada saraf sentral ditemukan beberapa perubahan antara lain:


 Terjadinya reorganisasi anatomi medula spinalis
 Hipereksitabilitas medula spinalis
 Perubahan pada sistem opioid endogen

Pada kerusakan jaringan saraf perifer, juga terjadi aktivasi mikroglia di


medula spinalis sehingga reseptor purin dan p-38, sebagian dari MAP kinase,
turut menjadi aktif. Hal ini merupakan kunci utama patogenesis dari

15
hipersensitivitas reseptor di traktus spinotalamikus. Kerusakan di daerah tersebut
akan memberikan keluhan yang sangat spesifik dan didefinisikan sebagai keluhan
nyeri neuropatik.
Lesi di jaringan saraf ini menyebabkan kerusakan myelin, protein
membran, atau reseptor sinaps, sehingga terjadi gangguan elektrisitas berupa
sensitisasi yang terus menerus dari jaringan saraf yang rusak dan disebut sebagai
ectopic-discharge. Nyeri neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus)
maupun dengan stimulus atau juga kombinasi. Kejadian ini berhubungan dengan
aktivasi kanal ion Ca2+ atau Na+ di akson yang berperan pada reseptor glutamat,
yaitu N-Metil-D-Aspartat (NMDA) atau α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-asam
isoksaazolepropionat (AMPA) dalam memodulasi transmisi nosiseptif sinapsis di
susunan saraf pusat.
Ectopic discharge merupakan akibat dari kerusakan jaringan saraf baik
perifer maupun sentral, yang berkaitan dengan fungsi inhibitorik, gangguan
interaksi antara somatik dan simpatis. Terkadang pada inflamasi dan neuropatik
ditemukan perubahan secara fenotif di sel saraf perifer yang mengakibatkan
eksitasi ataupun disinhibisi, baik di kornu dorsalis maupun di jaras nyeri sampai
ke areal korteks sensorik. Keadaan ini memberikan gambaran umum berupa
alodinia dan hiperalgesia yang merupakan keluhan spesifik dari nyeri neuropatik.
Keluhan ini jika tidak diterapi secepatnya mungkin akan mengakibatkan
kerusakan neuron yang bersifat irreversibel.

2.6 Gejala dan Tanda Klinis


Rasa nyeri yang dialami oleh pasien harus dipahami berdasarkan
karakteristik nyeri, seperti intensitas, kualitas, distribusi, dan hubungan waktu
antar kejadian nyeri (temporal relationship). Evaluasi intensitas nyeri merupakan
hal penting karena menentukan jenis terapi. Kualitas nyeri menyiratkan
patofisiologi yang mendasarinya. Nyeri nosiseptif somatik biasanya dapat
dilokalisasi, terasa tajam, seperti ditusuk-tusuk, atau tertekan (pressure-like).
Nyeri nosiseptif viseral bersifat difus dan sulit dilokalisasi. Bila nyeri ini terjadi
karena obstruksi suatu rongga tubuh, maka keluhannya dapat berupa kram atau

16
kolik. Nyeri neuropatik dideskripsikan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau
seperti kesetrum listrik (shock-like).1
Distribusi nyeri kanker biasanya lebih dari satu tempat, sehingga perlu
ditentukan antara fokal, multifokal, dan generalisata. Hal ini berhubungan dengan
terapi yang diambil, yaitu blok saraf, radioterapi, atau operasi bedah. Nyeri
terdistribusi fokal bila terjadi hanya pada satu tempat, biasanya di tempat lesi.
Nyeri fokal ini perlu dibedakan dengan nyeri rujuk, yaitu sumber nyeri berasal
dari tempat yang berbeda dengan lesi patologisnya, seperti nyeri daerah
nasofaring yang dapat terasa di puncak kepala.1
Evaluasi waktu kejadian nyeri dapat menunjukkan nyeri tergolong akut
atau kronik. Pasien dengan nyeri akut biasanya disertai dengan perilaku nyeri
yang nyata, seperti mengerang, meringis, dan cenderung tidak mau bergerak.
Selain itu, terdapat rasa cemas, berkeringat (diaforesis), dan berdebar-debar.
Berbeda dengan nyeri akut, pasien dengan nyeri kanker kronik biasanya
mengalami gangguan afektif, misalnya depresi. Selain itu, pasien terlihat kurus,
nafsu makan menurun, dan gangguan tidur.1
Selain nyeri akut dan kronik terdapat pula nyeri sontak. Nyeri ini dirasa
tajam dan hebat, dengan pola eksaserbasi transien di antara nyeri dasar yang
terkontrol, baik pada nyeri kanker akut dan kronik. Nyeri sontak dapat
ditimbulkan pada keadaan gerak disadari pasien (seperti pada pergerakan, batuk,
berkemih, dan defekasi) maupun pada gerak yang tidak disadari (gerakan
motilitas usus). Nyeri sontak ini dapat berdurasi dalam hitungan detik ataupun jam
(1-240 menit).1
Nyeri sontak harus dapat dibedakan dengan eksaserbasi rasa nyeri sebagai
akibat dari kegagalan dosis terapi analgesia sesuai dengan waktu paruh obat
tersebut dalam tubuh. Untuk membedakannya, dapat dilakukan pencatatan rasa
nyeri untuk menentukan bahwa pola yang terjadi adalah akibat kegagalan dosis
terapi analgesia terkait jadwal pemberian, sehingga diperlukan modifikasi jadwal
pemberian.1
Pada nyeri akibat metastasis tulang vertebra, nyeri biasanya dimulai
dengan nyeri lokal yang dikatakan pasien sebagai pegal atau rasa tidak nyaman di
daerah lesi. Selanjutnya jika terjadi penekanan pada radiks akan muncul nyeri

17
radikular yang menjalar dari punggung sesuai dengan daerah radiks yang terkena.
Pada nyeri di daerah torakal, nyeri seperti terikat atau keram ke perut yang sering
disalah artikan oleh pasien ataupun klinisi lain sebagai nyeri abdomen. Pada
pemeriksaan fisik biasanya akan ditemukan nyeri tekan yang menunjukkan
adanya komponen nyeri nosiseptif bersamaan dengan nyeri neuropatik.1
Pada prinsipnya gejala nyeri neuropatik sangat khas, berbeda dengan nyeri
nosiseptif. Pada nyeri neuropatik tidak terdapat kerusakan jaringan yang dapat
menjadi stimulus, namun pasien merasa nyeri. Sensasinya juga tidak lazim, tidak
sesuai dengan pemicu nyerinya (alodinia). Pasien dapat merasakan gejala positif,
seperti rasa panas/dingin, nyeri sperti ditusuk, disayat, ditikam, disetrum, atau
kesemutan, disertai gejala negatif, seperti baal atau hipestesia. Sensasi nyeri bisa
juga sesuai dengan stimulusnya, namun terasa berlebihan (hiperalgesia).17
Rasa nyeri neuropatik biasanya menjalar sesuai dengan area saraf atau
radiks yang dipersarafinya. Jadi perlu ditanyakan atau pasien diminta
menunjukkan area-area nyeri yang dirasakannya.17

2.7 Diagnosis
Seperti halnya penyakit lain, diagnosis nyeri kanker ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk mendapatkan karakteristik
nyeri dan konfirmasi diagnosis nyeri kanker. Untuk lebih memudahkan
tatalaksana, data karakteristik nyeri dan temuan fisik yang merupakan
konsekuensi spesifik dari penyakit kanker atau terapinya dikumpulkan ke dalam
suatu sindrom, yaitu sindrom nyeri kanker. Sindrom nyeri kanker dapat
digolongkan ke dalam akut dan kronik. Sindrom nyeri kanker akut biasanya
berhubungan dengan intervensi diagnostik atau terapetik, sedangkan kronik
biasanya disebabkan oleh perkembangan tumor secara langsung. Menurut
International Association for the Study of Pain (IASP), suatu nyeri dapat
dikatakan nyeri kronik jika dirasakan ada nyeri yang melewati batas waktu normal
dari fase penyembuhan jaringan, bisa lebih dari 3 atau 6 bulan. Pada nyeri kanker,
lebih dari 3 bulan ditentukan sebagai nyeri kronik. Pada kenyataannya, banyak
sindrom nyeri kanker dikategorikan sebagai kronik walaupun belum melewati
fase penyembuhan jaringan.1

18
Nyeri neuropatik mempengaruhi hingga 40% pasien kanker dan
berhubungan dengan peningkatan intensitas nyeri, konsumsi analgesik dan
penurunan kualitas hidup. Sementara mayoritas nyeri neuropatik pada pasien
kanker muncul sebagai akibat langsung dari kerusakan jaringan oleh tumor,
proporsi yang berkembang disebabkan oleh perawatan kanker seperti pembedahan
atau kemoterapi. Penilaian rasa sakit yang ketat diperlukan untuk mengidentifikasi
keberadaan nyeri neuropatik untuk mengarahkan strategi pengobatan spesifik.5
Nosiseptif dan neuropatik adalah dua komponen yang berkontribusi pada
rasa nyeri. Karena kedua komponen ini memerlukan manajemen rasa nyeri
dengan strategi yang berbeda, maka perlu diagnosis dan pengobatan yang tepat.
Dikatakan nyeri campuran jika pasien memiliki gejala dari nyeri neuropatik:
 sifat nyeri terbakar/tersengat listrik/panas/baal
 pada pemeriksaan fisik ditemukan gangguan somatosensorik berupa
hipestesia, hiperalgesia atau allodinia
 distribusi nyeri mengikuti distribusi saraf
 ada riwayat lesi pada sistem somatosensorik

Serta gejala nyeri nosiseptif yang diketahui dengan menanyakan gejala nyeri yang
timbul pada pasien sesuai dengan gejala klinis nyeri nosiseptif.30

Untuk mengetahui pasien mempunyai nyeri neuropatik bisa digunakan


salah satu kuesioner sebagai instrumen penapisan nyeri neuropatik, yaitu
PainDETECT. Kuesioner ini bersifat self-report, sederhana dan sangat bermanfaat
dalam mendeteksi komponen nyeri neuropatik pada pasien nyeri kronik, memiliki
sensitivitas 85% dan spesifisitas 80% dengan nilai prediksi positif sebesar 84%.

19
20
Gambar 6. PainDETECT Questionnaire
Sumber: R. Freynhagen, et al.Curr Med Res Opin.2006)

PainDETECT Questionnaire (PDQ) dikembangkan di Jerman pada


populasi nyeri punggung bawah kronik. PDQ ini terdiri dari empat seksi
pertanyaan. Deskripsi seksi pertama, terdiri atas tiga item dengan 11 poin skala
dengan ketentuan 0 = tidak nyeri, 10 = nyeri maksimal. Disebut sebagai skala
penilaian intensitas nyeri sewaktu, yang umum kita kenal dengan VAS atau NRS.
Item-item pertanyaan pada seksi ini menilai intensitas nyeri sewaktu, intensitas
nyeri rerata dan intensitas nyeri terberat selama 4 minggu terakhir. Seksi pertama

21
ini digunakan untuk menilai adanya keluhan nyeri walaupun belum terlibat dalam
sistem skoring kuesioner.31
Kuesioner PainDETECT memiliki keunggulan yang lebih karena dilihat
dari bentuk kuesioner murni tanpa disertai pemeriksaan fisik bedside membuat
PainDETECT mudah, singkat dan dapat digunakan secara mandiri oleh klinisi.
Instrumen penapisan nyeri neuropatik umumnya menghemat waktu serta dapat
menghasilkan informasi segera. Meskipun tingkat kegagalan dalam
mengidentifikasi nyeri neuropatik sekitar 10-20%. Oleh karena itulah terkadang
penilaian klinis nyeri neuropatik tetap tidak dapat digantikan.31

Gambar 7. DN4 Questionnaire


Sumber: Bouhassira D, Attal N, Alchaar H, et al. "Comparison of pain syndromes
associated with nervous or somatic lesions and development of a new neuropathic pain diagnostic
questionnaire (DN4)." Pain 114.1-2 (2005): 29-36.)

22
Ini adalah kuesioner yang diberikan dokter yang terdiri dari 10 item. Tujuh
item yang berhubungan dengan kualitas nyeri (mis. Deskriptor sensorik dan nyeri)
didasarkan pada wawancara dengan pasien dan 3 item berdasarkan pemeriksaan
klinis. DN4 (yang merupakan singkatan dari Douleur Neuropathique 4) adalah
salah satu kuesioner yang dapat berguna dalam mendiagnosis nyeri neuropatik. Ini
memiliki komponen tentang bagaimana rasa sakit pada pasien tetapi juga
mengharuskan profesional kesehatan yang memeriksanya untuk menilai apakah
ada sensasi yang berkurang (hypoaesthesia) untuk disentuh atau ditusuk-tusuk dan
apakah penyikatan ringan meningkat atau menyebabkan nyeri (allodynia).
Kuisioner awalnya ditulis dalam bahasa Perancis tetapi segera diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris oleh tim yang sama. Skala ini telah banyak digunakan sejak
2005 karena kesederhanaannya. Ini mengevaluasi nyeri neuropatik setelah lesi
neurologis sentral dan perifer. Hal ini juga digunakan untuk tujuan diagnostik,
memungkinkan dokter untuk menentukan apakah nyeri tersebut berasal dari
neuropatik. Kuisioner ini telah divalidasi dengan baik dalam sejumlah penelitian.
Kontrol nyeri tetap merupakan masalah yang signifikan dalam layanan
kesehatan diseluruh dunia. Penanganan nyeri yang efektif tergantung pada
pemeriksaan dan penilaian nyeri yang seksama baik berdasarkan info yang
subjektif maupun objektif. Ada beberapa cara untuk membantu menilai nyeri
dengan menggunakan skala assessment nyeri, yaitu:33

1. Visual Analog Scale (VAS)


Skala analog visual adalah cara yang banyak digunakan untuk menilai
nyeri. Skala ini berbentuk linier dan menggambarkan secara visual gradasi
tingkatan nyeri yang dirasakan sesorang. Rentang nyeri diwakili dalam garis
sepanjang garis 10 cm. Tanda pada kedua ujung garis dapat berupa angka atau
peryataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili rasa tidak nyeri, sedangkan ujung
yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. VAS digunakan
pada pasien anak lebih dari 8 tahun dan dewasa.33 Cara menggunakannya adalah
pasien diminta untuk membuat tanda pada garis tersebut dan nilai yang didapat
ialah jarak dalam mm atau cm yang diukur dari bagian kiri skala sampai tanda

23
yang dibuat oleh pasien. Semakin ke kiri menunjukkan kata tidak nyeri dan
semakin ke kanan menunjukkan nyeri yang berat. Jika didapatkan nilai VAS 0-5
mm dinilai tidak ada nyeri, nyeri ringan apabila panjang garis menunjukkan angka
5-44 mm, 45-74 mm dinyatakan sebagai nyeri sedang, dan lebih dari 74 mm
dinilai sebagai nyeri yang berat.34

Gambar 8. Visual Analog Scale (VAS)


(Sumber: Yonsei Med J. 2014)

2. Numeric Rating Scale (NRS)


NRS dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis,
jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Numeric Rating Scale juga dianggap lebih
baik dari VAS.33 Numeric Rating Scale merupakan sebuah alat ukur yang
meminta pasien untuk menilai rasa nyeri yang dirasakan sesuai dengan level
intensitas nyerinya pada skala numeral dari 0-10. Angka 0 berarti “no pain” (tidak
nyeri) dan 10 berarti “severe pain” (nyeri hebat). Numeric Rating Scale lebih
digunakan sebagai alat yang mendeskripsikan kata. Skala ini juga paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Interpretasi dalam menggunakan Numeric Rating Scale yaitu, skala 0-3
mengindikasikan nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang, dan 7-10 nyeri hebat. Literatur
menunjukkan bahwa NRS bisa mendeskripsikan cukup baik bagi pasien nyeri
kronis untuk menggambarkan skala nyeri mereka.35

Gambar 9. Numeric Rating Scale (NRS)


(Sumber: MedJDYPatilUniv.2012)

24
3. Wong Baker Face Pain Rating Scale
Skala wajah terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang
menggambarkan wajah. Setiap ekspresi wajah memiliki skala nomor, sehingga
intensitas nyeri dapat didokumentasikan. Digunakan unruk menilai intensitas pada
pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas
nyerinya menggunakan angka.33

Gambar 10. Wong Baker Face Pain Rating Scale


(Sumber: www.WongBakerFACES.org)

2.8 Tata Laksana Nyeri Kanker


Tujuan keseluruhan untuk pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri
sebesarbesarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Obat adalah
bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.29 Obat analgesik secara
konvensional diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, analgesik non-opioid,
analgesik opioid, dan analgesik adjuvan. 29

a. Opioid
Menurut hasil penelitian di Journal of Pain and Symptom Management,
opioid lebih sering digunakan dan dalam dosis yang tinggi pada penderita kanker
yang mengalami nyeri neuropatik.9 Opioid analgesik yang sering digunakan
adalah Tramadol, Oxycodone, Methadone, Morphine, Fentanyl. Morfin oral telah
diberikan dengan aman selama puluhan tahun dalam dosis yang proporsional.35
Opiod dianggap sangat sesuai untuk mencapai keberhasilan pengendalian rasa
11
nyeri pada pasien dengan penyakit stadium lanjut, dan penyakit terminal.
Opioid sering digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga berat. 30 Pada

25
penggunaan opioid, konstipasi adalah efek samping yang paling umum dijumpai
(34%, diikuti oleh kantuk (29%), mual (27%), pusing (22%), muntah (12%). 14

b. Adjuvan
Farmakoterapi untuk nyeri neuropatik umumnya melibatkan penggunaan
antidepresan atau antikonvulsan.14 Analgesik adjuvan yang paling efektif
digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk nyeri neuropatik yaitu termasuk
antidepresan trisiklik (misalnya amitriptilin, nortriptilin, dll), kanal kalsium α2-d
ligan antikonvulsan (gabapentin dan pregabalin), dan penghambat reuptake
serotonin-norepinefrin (misalnya venlafaxine, duloxetine, dll). Analgesik adjuvan
sering dikombinasikan dengan opioid ketika nyeri neuropatik refrakter atau
berat.32 Obat antikonvulsan, gabapentin dan pregabalin juga telah digunakan
sebagai tambahan analgesik untuk menatalaksana nyeri neuropatik. Obat ini
diduga memiliki profil farmakokinetik yang lebih baik, termasuk bioavailabilitas
yang lebih baik dan pencapaian tingkat obat terapeutik yang lebih cepat. 30 Kunci
antara sistem saraf pusat dan perifer adalah kemampuan dari pembukaan kanal
kalsium dan reaksi terhadap potensial aksi di saraf perifer serta pelepasan
neurotransmitter seperti glutamat dan substansi P pada reseptor di saraf spinalis
sehingga rasa nyeri dapat di transfer ke otak. Gabapentin dan pregabalin efektif
pada pasien yang mengalami nyeri, terutama pada nyeri neuropatik. Gabapentin
maupun pregabalin menstimulasi aktivitas dari kanal kalsium, yaitu dengan cara
menempel dengan subunit alpha 2 delta pada kanal tersebut. karenanya,
gabapentin ataupun pregabalin mencegah kanal berpindah ke sisi aktif pada
membran tempat dilepaskannya neurotransmitter. Pada nyeri tulang yang
diinduksi oleh kanker, peneliti melaporkan bahwa penggunaan gabapentin dapat
menurunkan intensitas nyeri serta mengurangi respon hipereksitabilitas pada
kornu dorsal.31 Menurut penelitian dari British Journal of Pain, penggunaan
gabapentin yang dikombinasikan dengan opioid mampu mengurang kejadian
opioid induced hiperalgesia pada pasien yang diterapi opioid dalam jangka waktu
lama.31 Pusing, sedasi, edema perifer, mual, dan efek samping antikolinergik lain,
dapat terjadi dengan pengobatan antidepresan dan antikonvulsan yang digunakan
terutama untuk manajemen nyeri neuropatik.30

26
c. Non Opioid
Analgesik Karena sifat kompleks dan etiologi nyeri kanker, agen
farmakoterapi digunakan sebagai bagian dari rejimen pengobatan. Nonopioid,
seperti acetaminophen dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), dapat
digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang.30 Acetaminophen (paracetamol)
adalah analgesik nonopioid yang umum digunakan dengan profil keamanan dan
tolerabilitas yang mapan. Meskipun analgesia yang optimal untuk nyeri post-
operatif dan kronis sedang sampai berat tidak dapat dicapai dengan menggunakan
obat ini saja, ketika diberikan sebagai bagian dari pendekatan yang 'seimbang',
dalam kombinasi dengan anestesi lokal dan NSAID, acetaminophen dapat
menghasilkan penurunan yang signifikan persyaratan opioid. Tinjauan sistematis
dari literatur peer-review menegaskan bahwa penggunaan kombinasi yang
mengandung acetaminophen dan NSAIDs dapat meningkatkan efek analgesik dari
salah satu obat saja. Meskipun acetaminophen IV telah banyak digunakan di
Eropa selama bertahun-tahun, itu hanya disetujui oleh Food And Drug
Administration AS pada tahun 2010 dan penerimaannya telah diperlambat karena
biaya tinggi dibandingkan dengan acetaminophen oral dan rektal. IV
acetaminophen mencapai konsentrasi plasma puncak dalam ~15 menit
dibandingkan dengan 45–50 menit dan 3-4 jam setelah pemberian oral dan rektal,
masing-masing, menghasilkan onset efek analgesik dalam ~5 menit (dengan
durasi kerja hingga 4 jam). Namun, studi perbandingan baru-baru ini
menunjukkan bahwa NSAID adalah analgesik yang lebih efektif daripada
37
asetaminofen IV untuk mengobati nyeri akut. Kualitas hidup adalah salah satu
masalah paling penting di stadium terminal kanker. Nyeri kanker sering kali tidak
teratasi dengan baik. Pengetahuan dan sumber daya yang cukup juga tersedia
untuk mengelola rasa sakit pada sekitar 90% dari individu dengan nyeri kanker.
Perawatan medis yang aman dan efektif untuk berbagai jenis nyeri kronis juga
telah tersedia. Namun studi terbaru menunjukkan bahwa banyak jenis nyeri
(misalnya, nyeri pasca operasi, nyeri kanker) dan populasi pasien (misalnya,
pasien usia lanjut, anak-anak, minoritas,) yang masih belum ditangani dengan
baik.25 Nyeri yang kronis seperti pada cancer pain biasanya mempengaruhi fungsi
fisiologis berupa bertambahnya penderitaan dan menurunnya kualitas hidup

27
seseorang.31 Pasien dengan kanker bersifat polisimtomatik. Nyeri neuropatik,
seperti banyak bentuk lain dari nyeri kronis, sering memiliki efek negatif pada
kualitas hidup penderita kanker, yang mengakibatkan gangguan signifikan
kualitas hidup secara global pada pasien. Nyeri adalah salah satu gejala yang
paling merugikan pada pasien yang melakukan perawatan rumah sakit. Sebuah
studi berbasis populasi didapatkan, 75% pasien mengalami nyeri yang terjadi di
semua tahap kanker, dan 70% dari pasien ini mengalami nyeri sedang hingga
berat (skala penilaian numerik NRS> 4). Beberapa penelitian lain yang mencakup
populasi kanker dari berbagai wilayah geografis dan ras etnik juga melaporkan
hasil yang sama, dan semua hasil menunjukkan pentingnya intensitas dan durasi
nyeri kanker pada pasien. Hal ini umumnya dipahami bahwa ada hubungan timbal
balik antara nyeri kanker. dan kualitas hidup, seseorang dapat memperburuk yang
lain, membentuk lingkaran setan antara nyeri kanker dan kualitas hidup.14,33

d. Bifosfonat
Bisfosfonat adalah derivat pirofosfat inorganik yang secara kimiawi stabil.
Karena afinitasnya terhadap unsur utama tulang (hidroksiapatit), bisfosfonat dapat
bergabung ke dalam area-area di permukaan tulang yang aktivitas resorpsi
tulangnya tinggi, mencapai konsentrasi tinggi di situs lokal tersebut, dan
kemudian mempengaruhi aktivitas osteoklasnya. Bisfosfonat tidak ditahan pada
tulang, dan dengan cepat dieliminasi melalui ginjal. Bisfosfonat sangat hidrofilik
dan sangat sedikit diabsorpsi oleh saluran gastrointestinal (<1% untuk dosis
oral).37

Bisfosfonat generasi terdahulu (etidronate, clodronate, dan tiludronate)


berbeda dari bisfosfonat generasi baru (alendronate, risedronate, ibandronate,
pamidronate, dan zoledronate) dalam hal rantai samping mengandung nitrogen.
Bisfosfonat yang mengandung nitrogen 100-10.000 kali lebih kuat menginhibisi
resorpsi tulang dibandingkan yang tidak mengandung nitrogen.36 Urutan afinitas
terhadap hidroksiapatit dari yang tertinggi ke yang terendah adalah: zoledronate >
alendronate > ibandronate > risedronate. Perbedaan afinitas ini menyebabkan
perbedaan juga dalam hal ambilan obat dan retensinya di dalam tulang, difusi
dalam tulang, dan pelepasan serta ambilan ulang oleh tulang. Faktor-faktor ini

28
mempengaruhi onset efek antiresorptif setelah inisiasi terapi bisfosfonat, dan
kecepatan efek offset jika berhenti terapi. 39

Dosis dan Efikasi Bifosfonat

Alendronate 10 mg/hari PO atau 70 mg/ minggu PO terbukti mengurangi


insidens fraktur sebesar 30-50% pada wanitawanita terdiagnosis osteoporosis.
Selain itu, alendronate juga mengurangi risiko fraktur tulang pinggul sekitar 45%.
Pada laki-laki osteoporotik, alendronate terbukti meningkatkan BMD vertebra
lumbal dan pinggul, serta mengurangi insidens fraktur vertebra.36,38

Risedronate mengurangi insidens fraktur perifer dan vertebral serupa


alendronate. Risedronate memiliki sediaan oral dengan dosis 5 mg/hari, 35
mg/minggu, 150 mg/ bulan, atau 75 mg/hari selama 2 hari berturutturut sebulan
sekali. Pada wanita berusia 70-79 tahun, risedronate terbukti dapat mengurangi
insidens fraktur pinggul sebesar 40%. Selain itu, risedronate juga terbukti
mengurangi turnover tulang dan meningkatkan BMD pada laki-laki dan wanita
osteoporotik. Efikasi risedronate juga terbukti dalam pencegahan dan terapi
osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid, seperti halnya alendronate.36,38

Ibandronate menghasilkan penurunan turnover tulang yang cepat dan


persisten, meningkatkan BMD serta mengurangi insidens fraktur vertebral sebesar
50% dan insidens fraktur non-vertebral sebesar 30-40%. Dosis adalah 150
mg/bulan PO atau 3 mg per 3 bulan secara IV.38,43

Zolendronate hanya tersedia untuk administrasi intravena. Dosisnya 5 mg


setiap 12 bulan. Zolendronate juga menunjukkan efikasi yang baik dalam
penurunan insidens fraktur, sebesar 70% untuk fraktur vertebral, 25% untuk
fraktur non-vertebral (termasuk penurunan insidens fraktur pinggul sebesar
40%).38,43

Keamanan Bifosfonat

Bisfosfonat tergolong aman. Toksisitas belum terbukti, namun beberapa


efek samping terkadang dijumpai, antara lain efek samping traktus

29
gastrointestinal, inflamasi okular, muskuloskeletal, reaksi fase akut, osteonecrosis
of the jaw (ONJ), dan fraktur femur atipikal.

Ulkus esofagus, esofagitis, dan perdarahan berhubungan dengan


penggunaan bisfosfonat oral harian, namun jarang dijumpai pada penggunaan
mingguan dan bulanan; sering akibat ketidakmampuan pasien untuk
mempertahankan posisi tegak selama 30-60 menit setelah menelan obat dengan
air segelas penuh. Gangguan saluran cerna atas lain yang sering berupa nausea,
dispepsia, dan gastritis. Efek samping saluran cerna atas inilah yang seringkali
menjadi penyebab pasien putus obat. Efek samping lain yang masih dalam
penelitian adalah kanker esofagus; sebaiknya menghindari penggunaan
bisfosfonat oral pada pasien-pasien yang diketahui memiliki patologi
esofagus.38,40

Walaupun jarang, inflamasi okular (uveitis, konjungtivitis, episkleritis, dan


skleritis), nyeri okular, dan fotofobia dapat berhubungan dengan terapi bisfosfonat
oral dan intravena; disarankan konsultasi ke oftalmologis.8,10

Efek samping muskuloskeletal biasanya berupa keluhan nyeri difus, ringan


sampai berat yang dapat terjadi kapanpun setelah memulai terapi. Faktor risikonya
belum jelas; bisfosfonat juga tidak terbukti menginduksi rhabdomyolisis. Jika
nyeri sangat berat, dipertimbangkan penghentian obat sementara atau permanen.
Efek samping muskuloskeletal ini biasanya hilang dalam beberapa hari setelah
terapi dihentikan. Beberapa pasien membutuhkan waktu lama untuk resolusi, atau
bahkan tidak sempurna. Walaupun tergolong jarang, beberapa laporan kasus
membahas kejadian fraktur femoral subtrochanterik sehubungan dengan terapi
bisfosfonat jangka panjang. Fraktur ini biasanya terjadi di bagian diafisis
proksimal atau midfemoral akibat trauma energi rendah. Awal keluhan dapat
berupa nyeri di area femur yang tidak dipengaruhi perubahan posisi. Karakteristik
lainnya adalah bentuk patahan transversal atau oblique, serta penyembuhan yang
relatif lambat. Biasanya pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan penebalan
korteks dan reaksi stres kortikal. Hubungan antara terapi bisfosfonat dan kejadian
fraktur femur subtrochanterik masih belum jelas; diduga disebabkan oleh suptipe
langka dari fraktur femur osteoporotik, atau merupakan manifestasi penyakit

30
tulang metabolik langka, dengan koinsidensi paparan bisfosfonat. Untuk itu,
pasien dengan keluhan nyeri yang dicurigai berasal dari femur sebaiknya
diperiksa radiologis dan dipertimbangkan untuk konsultasi lebih lanjut ke
spesialis penyakit tulang metabolik. Jika pada pemeriksaan ditemukan fraktur
kortikal lateral tahap awal, dipertimbangkan pemberhentian terapi bisfosfonat.38,40

Reaksi fase akut terjadi pada sekitar 10% pasien yang menerima
bisfosfonat untuk pertama kalinya; dapat berupa demam, sakit kepala, mialgia,
artralgia, atau malaise. Biasanya terjadi dalam 24-36 jam dan hilang dalam 3 hari.
Reaksi fase akut ini 50% dapat ditangani dengan pemberian asetaminofen (dosis
500-1000 mg) sebelum dan selama 24-48 jam setelah pemberian obat.39,41

Osteonecrosis of the jaw (ONJ) didefinisikan sebagai tulang nekrosis


terekspos di regio maksilofasial yang tidak sembuh dalam 8 minggu pada pasien-
pasien tanpa riwayat radiasi kraniofasial. Insidensnya berkisar antara 1 : 10.000
sampai 1 : 100.000 pasien.8 Faktor risiko ONJ adalah higiene oral buruk,
prosedur dental invasif, penyakit dental sebelumnya, terapi antikanker,
imunosupresi, bisfosfonat intravena, merokok, dan terapi bisfosfonat jangka
panjang. Mekanisme bisfosfonat menyebabkan ONJ masih belum pasti,
diperkirakan oleh supresi berlebihan turnover tulang. Bisfosfonat oral disarankan
dihentikan selama 3 bulan sebelum prosedur invasif dental, namun jika pasien
telah mendapat bisfosfonat selama lebih dari 3 tahun, tampaknya tidak
berpengaruh terhadap risiko ONJ, mengingat bisfosfonat menetap di darah selama
bertahun-tahun. Tatalaksana ONJ antara lain antiseptik oral, antibiotik, dan
debridemen jika perlu. 38,41

Durasi Optimal

Untuk menghindari efek samping, disarankan evaluasi ulang risiko fraktur


setelah 3-5 tahun terapi, sebelum melanjutkan terapi.7 Alasan “drug holiday”
adalah karena bisfosfonat memiliki afinitas tinggi terhadap tulang, sehingga dapat
terakumulasi, menghasilkan reservoir yang dilepaskan perlahan untuk beberapa
bulan atau tahun bahkan setelah terapi dihentikan.42

31
Pasien-pasien dengan BMD rendah di collum femur (T score di bawah -2,5)
memiliki risiko tinggi fraktur vertebra, sehingga disarankan melanjutkan terapi.13
Terapi bisfosfonat pada pasien fraktur vertebra juga dapat bermanfaat. Bagi pasien
dengan BMD normal dan usia lebih muda, perlu dipertimbangkan pemberhentian
terapi sementara selama 2-3 tahun. Selama masa ini, pasien sebaiknya dipantau
setiap tahun untuk kemungkinan inisiasi ulang terapi bisfosfonat.41,42

Peran Kalsium dan Vitamin D

Asupan kalsium dan vitamin D yang memadai selama terapi bisfosfonat


ikut memegang peranan penting dalam keberhasilan pengobatan, terutama pada
pasien lansia yang cenderung kurang terpapar sinar matahari, kurang asupan
makanan, dan mengalami penurunan fungsi ginjal. Asupan kalsium dan vitamin D
yang adekuat mendukung pembentukan tulang dan pemeliharaan kepadatan
tulang, yang jangka panjang dapat menurunkan insidens jatuh pada lansia-lansia
risiko tinggi.37,41

Tulang mengandung 99% kalsium tubuh, yang akan dimobilisasi jika


kadar kalsium serum terlampau rendah. Defisiensi vitamin D dapat mengurangi
penyerapan kalsium diet, menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder dengan
penurunan kalsium skeletal untuk mempertahankan kadar normokalsemia,
meningkatkan risiko jatuh, mengurangi respons BMD dan juga efikasi
bisfosfonat.40

Walaupun belum ada patokan baku, kadar serum 25-hidroksivitamin D


yang dianggap optimal adalah ≥30 ng/mL. Untuk jumlah asupan yang dianggap
optimal, National Osteoporosis Foundation merekomendasikan kalsium 1000
mg/hari untuk usia di bawah 50 tahun dan 1200 mg/hari untuk usia di 50 tahun ke
atas. Sedangkan jumlah asupan vitamin D yang dianggap optimal adalah sebanyak
800-1200 IU/hari. Pada pasienpasien dengan asupan kalsium inadekuat, dapat
diberi suplementasi kalsium elemental 500 mg per hari.38,42

32
e. Steroid

Steroid sangat berguna sebagai terapi adjuvan untuk nyeri tulang


metastatik, neuropatik. nyeri, dan nyeri visceral. Sebagai agen pembantu,
kortikosteroid dapat secara langsung mengurangi nyeri, mengurangi nyeri
bersamaan dengan penggunaan opioid, memungkinkan pengurangan dosis opioid,
dan memiliki efek simtomatik yang bermanfaat di luar penghilang nyeri.
Glukokortikoid mengurangi rasa sakit dengan menghambat sintesis
prostaglandin, yang mengarah ke peradangan, dan mengurangi permeabilitas
pembuluh darah yang menyebabkan edema jaringan. Glukokortikoid juga molekul
lipofilik yang dapat melewati sawar darah-otak. Penelitian telah menunjukkan
bahwa reseptor steroid ditemukan di sistem saraf pusat dan perifer dan
bertanggung jawab untuk pertumbuhan, diferensiasi, pengembangan, dan
plastisitas neuron. Secara khusus, kortikosteroid telah terbukti mengurangi
pelepasan spontan pada saraf yang cedera, yang mengurangi neuropatik rasa
sakit.44
Kortikosteroid memberikan indikasi spesifik pada pasien kanker seperti
kompresi medula spinalis, sindrom venacava superior, metastasis otak dengan
peningkatan tekanan intrakranial dan obstruksi usus. Peran mereka dalam indikasi
non-spesifik tidak terbukti dengan baik. Praktek klinis dan beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kortikosteroid mungkin efektif dalam pengobatan nyeri
tulang dan neuropatik, ketika diberikan bersama dengan opioid dan dengan
analgesik ajuvan lainnya. Penurunan intensitas nyeri mungkin terkait dengan efek
anti-inflamasi dan anti-pembengkakan serta modulasi interaksi neuroimun.45

33
BAB III
KESIMPULAN

Menurut penelitian pada jurnal Developing Drugs In Cancer-Related Bone


Pain, nyeri yang diinduksi oleh kanker baik mekanisme inflamasi dan neuropatik
dapat terlibat, karena pertumbuhan tumor bertanggung jawab atas kerusakan
jaringan dan pelepasan beberapa mediator inflamasi. Selain itu, sel-sel kanker
juga dapat mengompresi serta tumbuh di dalam saraf sensoris, atau merusak
jaringan target dengan perubahan neuropatik yang konsekuen. Nyeri kanker juga
didefinisikan sebagai jenis nyeri campuran
Nyeri neuropatik mempengaruhi hingga 40% pasien kanker dan dikaitkan
dengan peningkatan intensitas nyeri, konsumsi analgesik dan penurunan kualitas
hidup, dapat terjadi oleh karena kompresi saraf oleh tumor atau pada pengobatan
kanker, seperti nyeri pascaoperasi atau kemoterapi.
Bisfosfonat adalah derivat pirofosfat inorganik yang secara kimiawi stabil.
Karena afinitasnya terhadap unsur utama tulang (hidroksiapatit), bisfosfonat dapat
bergabung ke dalam area-area di permukaan tulang yang aktivitas resorpsi
tulangnya tinggi, mencapai konsentrasi tinggi di situs lokal tersebut, dan
kemudian mempengaruhi aktivitas osteoklasnya.37

Steroid sangat berguna sebagai terapi adjuvan untuk nyeri tulang


metastatik, neuropatik. nyeri, dan nyeri visceral. Sebagai agen pembantu,
kortikosteroid dapat secara langsung mengurangi nyeri, mengurangi nyeri
bersamaan dengan penggunaan opioid, memungkinkan pengurangan dosis opioid,
dan memiliki efek simtomatik yang bermanfaat di luar penghilang nyeri.45

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto Henry. Nyeri Kanker. Buku Ajar Neurologi. Departemen Neurologi.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RSCM. Jakarta. 2017.
2. Wargo BW, Burton AW; Cancer Pain. Pain Medicine and Management, Just
The Fact. 1st ed. McGraw-Hill; 2005.
3. Widyastuti, Tomé-Pires C, Miró J, Subiyanto P, Sitorus R, Sabri L, et al. Data
dan Informasi Kesehatan Situasi Penyakit Kanker. J Keperawatan Indones.
2012;7(1):432–57.
4. Lucchesi M, Lanzetta G, Antonuzzo A, Rozzi A, Sardi I, Favre C, et al.
Developing drugs in cancer-related bone pain. Critical Review Oncology
Hematology. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.critrevonc.2017.
5. Mulvey MR, Boland EG, Bouhassira D, Freynhagen R, Hardy J, Hjermstad MJ,
et al. Neuropathic pain in cancer: Systematic review, performance of screening
tools and analysis of symptom profiles. Br J Anaesth. 2017;119(4):765–74.
6. Reis-Pina P, Acharya A, Lawlor PG. Cancer Pain With a Neuropathic
Component: A Cross-sectional Study of Its Clinical Characteristics, Associated
Psychological Distress, Treatments, and Predictors at Referral to a Cancer Pain
Clinic. Journal Pain Symptom Manage; Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2017.
7. American Cancer Society. Cancer Facts and Figures 2017. Genes Dev.
2017;21(20):2525–38. Available from: https://www.cancer.org/content/dam/
cancer-org/research/cancer-facts-and-statistics/annual-cancer-facts-and-figures/
2017.
8. Setiawan S. The effect of chemotherapy in cancer patient to anxiety.
2015;4(4):94–9.
9. Hertanti NS, Setiyarini S, Kristanti MS, Haryani. Pengaruh Self-Selected
Individual Music Therapy (SeLIMuT) terhadap Tingkat Nyeri Pasien Kanker
Paliatif di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Indonesia Journal of Cancer.
2015;9(2):159–65. Available from: http//www.indonesianjournalofcancer.or.
ide-journalindex.phpijocarticleview381.
10. Brunicardi FC, Anderson Dana K, Biliar Timothy R, Dunn David L H, John

35
G, Matthews Jeffrey B PRE. Schwartz’s Principles of Surgery. 9th ed.
Chapter 17: The Breast. 2010. p.797-915.
11. Ramadhani A, Jatmiko H. Perubahan Hemodinamik pada pasien post
operative yang diberi paracetamol untuk menghilangkan nyeri. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. 2014.
12. Potter P. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. 4th ed. Jakarta: EGC; 2010.
13. Sylvia A. Prince LMW. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.
6th ed. Jakarta: EGC; 2015.
14. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd ed. Jakarta: EGC; 2013.
p.147.
15. American Pain Society. The Joint Commission. Pain: current understanding
of assessment, management and treatments. Natl Pharm Counc. 2010;
(December):105.
16. Brignell A and Tigchelaar I. Guidelines for Developing a Pain Management
Program. 2009;5–12.
17. Purba Jan Sudir. Nyeri Neuropatik. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RSCM. Jakarta. 2017.
18. Maly A, Singh N, Vallerand AH. Experiences of Urban African Americans
with Cancer Pain. Pain Manag Nurs [Internet]. 2018;19(1):72–8. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.pmn.2017.11.007
19. Erol O, Unsar S, Yacan L, Pelin M, Kurt S, Erdogan B. Pain experiences of
patients with advanced cancer: A qualitative descriptive study. Eur J Oncol
Nurs.2018;33 (December 2017):28–34. Available from: https://doi.org/10.
1016 /j.ejon.2018.01.005.
20. Setiabudy R, Irawan C, Sudoyo AW. Opioid Use in Cancer Pain Management
in Indonesia: a Call For Attention. Acta Medica Indones -The Indones J
Intern Med. 2015; 244–50.
21. Shen WC, Chen JS, Shao YY, Lee K Der, Chiou TJ, Sung YC, et al. Impact
of Undertreatment of Cancer Pain With Analgesic Drugs on Patient
Outcomes: A Nationwide Survey of Outpatient Cancer Patient Care in
Taiwan. J Pain Symptom Manage. 2017;54(1):55–65.
22. Smith EML, Bridges CM, Kanzawa G, Knoerl R, Kelly JP, Berezovsky A, et

36
al. Cancer treatment-related neuropathic pain syndromes—epidemiology and
treatment: An update. Curr Pain Headache Rep. 2014;18(11):1–10.
23. Brown M, Farquhar-Smith P. Pain in cancer survivors; Filling in the gaps. Br J
Anaesth. 2017;119(4):723–36. Available from: http://dx.doi.org/10.1093/bja/
aex202.
24. Brian LS, Darryl TH, Donald AS, George LW. Mechanism of Cancer Pain.
Molecular Intervension. 2010;10(3):164-178.
25. Holdcroft A, Power I. Management of Cancer Pain : Recent Developments. Br
Med J. 2003;326:635-9.
26. The British Pain Society. Cancer Pain Management. London: The British Pain
Society. 2013.
27. Mantyh PW, Clohisy DR, Koltzenburg M,et al. Molecular Mechanisms
of Cancer Pain. Nature. 2002;403(2):201-9.
28. Holdcroft A, Power I. Management of Cancer Pain: Recent Developments. Br
Med J. 2003;326:635-9.
29. The British Pain Society. Cancer Pain Management. London: The British Pain
Society. 2013.
30. Freynhagen R, Baron R, Gockel U. Pain DETECT: a new screening
questionnaire to identify neuropathic components in patients with back pain.
2006;22(10):1911–20.
31. Margareta K. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen PainDETECT Versi
Indonesia. Universitas Indonesia. 2014.
32. Purwata Thomas E. Management of Neuropathic Pain in Elderly Focus on
Pregabalin. Bagian/SMF Neurologi FK.Universitas Udayana/RSUP Denpasar
Bali. 2016.
33. Yudiyanta, Khoirunnisa N, Novitasari RW. Assessment Nyeri. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Indonesia.2015;42(3):214–34.
34. Reed MD, Van Nostran W. Assessing pain intensity with the visual analog
scale: A plea for uniformity. J Clin Pharmacol. 2014;54(3):241–4.
35. Hjermstad MJ, Fayers PM, Haugen DF, Caraceni A, Hanks GW, Loge JH, et
al. Studies comparing numerical rating scales, verbal rating scales, and visual

37
analogue scales for assessment of pain intensity in adults: A systematic
literature review. J Pain Symptom Manage. 2011;41(6):1073–93.
36. Kennel KA, Drake MT. Adverse effects of bisphosphonates: Implications for
osteoporosis management. Mayo Clin Proc. 2009;84(7):632-8. doi:
10.1016/S00256196(11)60752-0.
37. International Osteoporosis Foundation. Bisphosphonates (cited 2017 Oct 25).
Available from: https://www.iofbonehealth.org/bisphosphonates.
38. Miller PD. Long-term extension trials to prove the efficacy and safety of
bisphosphonates. Clin Invest. 2014;4(1):35-43.
39. Budlovsky J, Dian L. Questions in osteoporosis management. BCMJ.
2017;59(2):106-11.
40. Whitaker M, Guo J, Kehoe T, Benson G. Bisphosphonates for osteoporosis-
where do we go from here? N Engl J Med. 2012;366:2048-51.
doi:10.1056/NEJMp1202619
41. Black DM, Bauer DC, Schwartz AV, Cummings SR, Rosen CJ. Continuing
bisphosphonate treatment for osteoporosis-for whom and how long? N Engl J
Med. 2012;366:2051-3. doi:10.1056/NEJMp1202623.
42. Adler RA, El-Hajj Fuleihan G, Bauer DC, Camacho PM, Clarke BL, Clines
GA, et al. Managing osteoporosis in patients on long-term bisphosphonate
treatment: Report of a task force of the American Society for Bone and
Mineral Research. J Bone Miner Res. 2016;31(1):16-35. doi:
10.1002/jbmr.2708.
43. Lewiecki EM. Bisphosphonates for the treatment of osteoporosis: insights for
clinicians. Ther Adv Chronic Dis. 2010;1(3):115-28. doi:
10.1177/2040622310374783
44. Riechelmann RP, Krzyanowska MK, O’Carroll A, Zimmermann C. Symptom
and medication profiles among cancer patients attending a palliative care
clinic. Support Care Cancer. 2007;15(12):1407–12. Epub 2007 Apr 12
45. Wojciech Leppert & Tomasz Buss, The Role of Corticosteroids in the
Treatment of Pain in Cancer Patients.

38

Anda mungkin juga menyukai