Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hemofilia merupakan penyakit keturunan dengan manifestasi berupa
kelainan pembekuan darah, yang sudah sejak lama dikenal di berbagai
belahan dunia termasuk di Indonesia. Namun masih menyimpan banyak
persoalan khususnya masalah diagnostik dan besarnya biaya perawatan
penderita khususnya pemberian komponen darah sehingga
sangat memberatkan penderita ataupun keluarganya.
Penyakit hemofilia bila ditinjau dari kata demi kata: hemo berarti
darah dan filia berarti suka, hemofilia berarti penyakit suka berdarah. Di
daratan Eropa hemofilia ini sudah dikenal sejak beberapa ratus tahun yang
lalu, penderitanya banyak dari keluarga bangsawan-bangsawan kerajaan di
Eropa sedang di Amerika penyakit ini pertama kali ditemukan sekitar awal
tahun 1800 pada seorang anak laki-laki yang diturunkan dari ibu dengan
carier hemofilia. Dugaan adanya penurunan secara genetik hemofilia
pertama kali dikenal pada massa Babylonia, ketika seorang pendeta
memberikan izin untuk dilakukan sirkumsisi (sunatan) pada seorang anak
laki-laki dari seorang wanita yang diketahui merupakan pembawa
hemofilia (carier hemofilia), akibatnya terjadi perdarahan yang berat dan
mengakibatkan kematian.
Pada keadaan normal bila seseorang mengalami suatu trauma atau
luka pada pembuluh darah besar atau pembuluh darah halus/kapiler yang
ada pada jaringan lunak maka sistem pembekuan darah/koagulation
cascade akan berkerja dengan mengaktifkan seluruh faktor koagulasi
secara beruntun sehingga akhirnya terbentuk gumpalan darah berupa
benang- benang fibrin yang kuat dan akan menutup luka atau perdarahan,
proses ini berlangsung tanpa pernah disadari oleh manusia itu sendiri
dan ini berlangsung selama hidup manusia. Sebaliknya pada penderita
hemofilia akibat terjadinya kekurangan F VIII dan F IX akan
menyebabkan pembentukan bekuan darah memerlukan waktu yang cukup
lama dan sering bekuan darah yang terbentuk tersebut mempunyai sifat yang
kurang baik, lembek, dan lunak sehingga tidak efektif menyumbat pembuluh
darah yang mengalami trauma, hal ini dikenal sebagai prinsip dasar
hemostasismofilia.

1
Nasib penderita kelainan darah hemofilia di Indonesia masih
memprihatinkan. Dari puluhan ribu penderita yang ada, hanya segelintir saja
yang tercatat, terdiagnosis dan tertangani. Sedangkan sisanya tidak
terdiagnosis dan mendapatkan mendapatkan pengobatan yang sesuai.
Berdasarkan data yang dimiliki Himpunan Masyarakat Hemofilia
Indonnesia (HMHI), jumlah penderita hemofilia diperkirakan sekitar 20.000
orang. Namun hingga Maret 2010, tercatat hanya 1.236 penderita hemofilia
dan kelainan pendarahan lainnya yang teregistrasi. Hal ini menunjukkan baru
sekitar 5 persen saja kasus yang terdiagnosis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hemofilia
Hemofilia adalah penyakit genetik/turunan, merupakan suatu bentuk
kelainan perdarahan yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya dimana
protein yang diperlukan untuk pembekuan darah tidak ada atau jumlahnya
sangat sedikit. Penyakit ini ditandai dengan sulitnya darah untuk membeku
secara normal. Apabila penyakit ini tidak ditanggulangi dengan baik maka
akan menyebabkan kelumpuhan, kerusakan pada persendian hingga cacat dan
kematian dini akibat perdarahan yang berlebihan. Penyakit ini ditandai dengan
perdarahan spontan yang berat dan kelainan sendi yang nyeri dan menahun.

Penderita hemofilia tidak boleh mendapat suntikan kedalam otot karena


bisa menimbulkan luka atau pendarahan, Hemofilia memiliki dua tipe, yakni
Hemofilia terbagi atas dua jenis, yaitu :
1. Hemofilia A, yang dikenal juga dengan nama :
a. Hemofilia Klasik: karena jenis hemofilia ini adalah yang paling
banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah
b. Hemofilia kekurangan Factor VIII : terjadi karena kekurangan faktor
8 (Factor VIII) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada
proses pembekuan darah.
c. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak laki-laki yang mewarisi gen
defektif pada kromosom X dari ibunya. Ibu biasanya bersifat
heterozigot dan tidak memperlihatkan gejala. Akan tetapi 25% kasus
terjadi akibat mutasi baru pada kromosom X.
2. Hemofilia B, yang dikenal juga dengan nama :
a. Christmas Disease: karena di temukan untuk pertama kalinya pada
seorang bernama Steven Christmas asal Kanada
b. Hemofilia kekurangan Factor IX: terjadi karena kekurangan faktor 9
(Factor IX) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada
proses pembekuan darah.

Penyakit ini diturunkan orang tua kepada seorang anak melalui


kromosom X yang tidak muncul. Saat wanita membawa gen hemofilia,

3
mereka tidak terkena penyakit itu. Jika ayah menderita hemofilia tetapi sang
ibu tidak punya gen itu, maka anak laki-laki mereka tidak akan menderita
hemofilia, tetapi anak perempuan akan memiliki gen itu. Jika seorang ibu
adalah pembawa dan sang ayah tidak, maka anak laki-laki akan berisiko
terkena hemofilia sebesar 50 persen, dan anak perempuan berpeluang jadi
pembawa gen sebesar 50 persen.

B. Anatomi Fisiologi
Ciri-Ciri Fisik dan Kimia dari Trombosit
Trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval dengan diameter 2
sampai 4 mikrometer. Trombosit dibentuk di sumsum tulang
dari megakarosit, yaitu sel yang sangat besar dalam susunan hemopoetik
dalam sumsum tulang yang memecah menjadi trombosit, baik dalam sumsum
tulang atau segera setelah memasuki darah, khususnya ketika mencoba untuk
memasuki kapiler paru. Megakariosit tidak meninggalkan sumsum tulang
untuk memasuki darah. Konsentrasi normal trombosit dalam darah ialah
antara150.000 dan 350.000 per mikroliter.
Trombosit mempunyai banyak ciri khas fungsional sebagai sebuah sel,
walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi. Didalam
sitoplasmanya terdapat faktor-faktor aktif seperti :
1. Molekul aktin dan miosin, sama seperti yang terdapat dalam sel-sel otot,
juga protein kontraktil lainnya, yaitu tromboplastin, yang dapat
menyebabkan trombosit berkontraksi.
2. Sisa-sisa retikulum endoplasma dan aparatus golgi yang mensintesis
berbagai enzim dan menyimpan sejumlah besar ion kalsium.
3. Mitokondria dan sistem enzim yang mamapu membentuk adenosin
trifosfat dan adenosin difosfat.
4. Sistem enzim yang mensintesis protaglandin, yang merupakan hormon
setempat yang menyebabkan berbagai jenis reaksi pembuluh darah dan
reaksi jaringan setempat lainnya.
5. Suatu protein penting yang disebut faktor stabilisasi fibrin.
6. Faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan penggandaan dan
pertumbuhan sel endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah,
fibroblas, sehingga dapat menimbulkan pertumbuhan sel-sel untuk
memperbaiki dinding pembuluh darah yang rusak.

4
Membran sel trombosit juga penting. Dipermukaannya terdapat lapisan
glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari pelekatan pada
endotel normal dan justru melekat pada daerah dinding pembuluh yang luka.

C. Patofisiologi
1. Darah mengandung:
a. Plasma Darah
b. Darah Beku :
- Eritrosit
- Leukosit
- Trombosit

Disini trombosit mengalami gangguan yang tidak bisa


menghasilkan factor VIII (AHF) yang menyebabkan darah sukar
membeku.

2. Patogenesis
Trombosit tidak dapat menghasilkan AHF (Anti Hemophiliac
Faktor). Sehingga AHF darah kurang dari standart AHF ini berfungsi
menunjang stabilisasi fibris usntuk mengadakan pembekuan karena AHF
kurang dari normal, sehingga darah sukar terjadi pembekuan.
D. Etiologi
Trombosit tidak bisa membuat factor VIII (AHF).
Faktor Penunjang:
1. Adanya anak perempuan dari seorang pria penderita hemophilia menjadi
seorang karier.
2. Kemungkinan 50% anak lelaki dari keturunan anak wanita yang menjadi
karier hemofilia.
3. Anak yang dilahirkan dari ayah yang menderita hemophilia dan ibu yang
menderita karier hemofilia.
4. Hemofilia paling banyak di derita hanya pada pria. Wanita akan benar-
benar mengalami hemofilia jika ayahnya adalah seorang hemofilia dan
ibunya adalah pemabawa sifat (carrier). Dan ini sangat jarang terjadi.
(Lihat penurunan Hemofilia).
5. Sebagai penyakit yang di turunkan, orang akan terkena hemofilia sejak ia
dilahirkan, akan tetapi pada kenyataannya hemofilia selalu terditeksi di
tahun pertama kelahirannya.

5
6. Penderita hemofilia parah/berat yang hanya memiliki kadar faktor VIII
atau faktor IX kurang dari 1% dari jumlah normal di dalam darahnya,
dapat mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang -
kadang perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas.
7. Penderita hemofilia sedang lebih jarang mengalami perdarahan
dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan kadang terjadi akibat aktivitas
tubuh yang terlalu berat, seperti olah raga yang berlebihan.
8. Penderita hemofilia ringan lebih jarang mengalami perdarahan. Mereka
mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti
operasi, cabut gigi atau mangalami luka yang serius. Wanita hemofilia
ringan mungkin akan pengalami perdarahan lebih pada saat mengalami
menstruasi.
E. Gejala Hemofilia
Gejala yang mudah dikenali adalah bila terjadi luka yang
menyebabkan sobeknya kulit permukaan tubuh, maka darah akan terus
mengalir dan memerlukan waktu berhari-hari untuk membeku. Bila luka
terjadi di bawah kulit karena terbentur, maka akan timbul memar/ lebam
kebiruan disertai rasa nyeri yang hebat pada bagian tersebut. Perdarahan yang
berulang-ulang pada persendian akan menyebabkan kerusakan pada sendi
sehingga pergerakan jadi terbatas (kaku), selain itu terjadi pula kelemahan
pada otot di sekitar sendi tersebut.
Gejala akut yang dialami penderita Hemofilia adalah sulit
menghentikan perdarahan, kaku sendi, tubuh membengkak, muncul rasa panas
dan nyeri pascaperdarahan, Sedangkan pada gejala kronis, penderita
mengalami kerusakan jaringan persendian permanen akibat peradangan parah,
perubahan bentuk sendi dan pergeseran sendi, penyusutan otot sekitar sendi
hingga penurunan kemampuan motorik penderita dan gejala lainnya.
Hemofilia dapat membahayakan jiwa penderitanya jika perdarahan terjadi
pada bagian organ tubuh yang vital seperti perdarahan pada otak, akibatnya
adalah :
1. Apabila terjadi benturan pada tubuh akan mengakibatkan kebiru-biruan
(pendarahan dibawah kulit).
2. Apabila terjadi pendarahan di kulit luar maka pendarahan tidak dapat
berhenti.
3. Pendarahan dalam kulit sering terjadi pada persendian seperti siku tangan,
lutut kaki sehingga mengakibatkan rasa nyeri yang hebat.

6
F. Tingkatan Hemofilia
Hemofilia A dan B dapat di golongkan dalam 3 tingkatan, yaitu :

Klasifikasi Kadar Faktor VII dan Faktor IX di dalam darah


Berat Kurang dari 1% dari jumlah normalnya
Sedang 1% - 5% dari jumlah normalnya
Ringan 5% - 30% dari jumlah normalnya

Penderita hemofilia parah/berat yang hanya memiliki kadar faktor VIII


atau faktor IX kurang dari 1% dari jumlah normal di dalam darahnya, dapat
mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang - kadang
perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas.

Penderita hemofilia sedang lebih jarang mengalami perdarahan


dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan kadang terjadi akibat aktivitas tubuh
yang terlalu berat, seperti olah raga yang berlebihan.

Penderita hemofilia ringan lebih jarang mengalami perdarahan.


Mereka mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti
operasi, cabut gigi atau mangalami luka yang serius. Wanita hemofilia ringan
mungkin akan pengalami perdarahan lebih pada saat mengalami menstruasi.
G. Contoh Kasus dan Perawatannya
Seorang laki-laki usia 46 tahun suku Bali dirujuk dari RS swasta
dengan keluhan berak hitam dan muntah darah dengan kecurigaan hemofilia.
Berak hitam sejak 13 hari sebelum masuk rumah sakit dengan konsistensi
lengket dan bau khas, dengan volume 3-4 gelas perhari. Muntah darah
kehitaman seperti kopi dan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi
3-4 kali dan volume seperempat gelas tiap kali muntah. Disertai nyeri ulu hati
yang telah lama diderita sebelum timbul keluhan berak hitam. Nyeri ulu hati
dirasakan panas tidak menjalar ke bagian tubuh yang lainnya, nyeri terasa
membaik setelah minum obat sakit maag. Penderita kadang-kadang mengeluh
mual. Badan terasa lemah sejak sakit, sehingga penderita terganggu aktifitas
sehari-harinya.
Riwayat sakit sebelumnya, penderita telah dirawat selama 13 hari di
rumah sakit swasta dan telah menerima transfusi darah sebanyak 15 kantung.
Terdapat riwayat minum obat-obatan anti nyeri karena keluhan nyeri sendi
lutut. Pada tahun 1984 penderita pernah mengalami perdarahan yang hebat
setelah cabut gigi, saat itu penderita dirawat di RS Sanglah. Penderita sering
mengalami perdarahan sejak usia 5 tahun terutama setelah terbentur atau

7
terjatuh. Tidak ada riwayat penyakit kuning sebelumnya. Penderita tidak
mengkonsumsi alkohol atau jamu.
Riwayat penyakit keluarga, saudara kandung laki-laki penderita
mengalami keluhan perdarahan yang sama dan telah meninggal dunia saat usia
anak-anak. Pada pemeriksaan fisik penderita tampak lemah dengan kesadaran
compos mentis, tekanan darah 80mmHg / palpasi setelah dilakukan pemberian
1 liter cairan tensi terangkat menjadi 100/70 mmHg, frekuensi nadi 120
kali/menit lemah, respirasi 24 kali/menit dan temperatur axilla 36,70 C.
Mata tampak anemis, tidak ada ikterus. JVP : PR + 0 cmH20, tidak ada
pembesaran kelenjar. Bibir tampak pucat, pada lidah tidak didapatkan atropi
papil. Inspeksi thorak tidak didapatkan spider nevi. Batas-batas jantung
normal, bunyi jantung pertama dan kedua tunggal, teratur, tidak ada suara
tambahan. Pemeriksaan paru normal. Suara nafas dasar vesicular dan tidak
didapatkan suara nafas tambahan. Pemeriksaan abdomen tidak ditemukan
distensi abdomen, kolateral, asites dan caput meduse. Bising usus normal. Hati
dan limpa tidak membesar. Traube space timpani. Tidak dijumpai adanya
defence muscular dan nyeri tekan epigastrial. Ekstremitas teraba hangat,
odema pada kedua tungkai inferior. Tampak hematom pada lengan atas kiri
dengan diameter 5 cm. Pemeriksaan rectal toucher didapatkan tonus sphincter
ani normal, mucosa licin , tidak ada massa dan terdapat melena.
Pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap menunjukkan
leukosit 10,9 K/uL (normal: 4,5-11 K/uL), hemoglobin 1,7 gr/dl (normal:
13.5-18.0 gr/dl), hematokrit 14,3 % (normal: 40-54%), MCV 82,4 fl (normal:
80-94 fl), MCH 28,7 pg (normal: 27- 32 pg), trombosit 66 K/ul (normal: 150-
440 K/uL). Hasil pemeriksaan faal hemostasis : waktu perdarahan (Duke) : 2,0
menit (normal: 1-3 menit), waktu pembekuan (Lee & White) : 14,0 menit
(normal: 5-15 menit), waktu protrombin (PT) : 21 detik (normal: 12-18 detik),
APTT : 96 detik (normal: 22.6-35 detik). AST 27 mg/dl (normal: 14-50mg/dl),
ALT 33 mg/dl (normal: 11-64 mg/dl), bilirubin total 0,6 mg/dl (normal :0,0-
1,0 mg/dl), bilirubin direk 0,1 mg/dl (normal: 0,0-0,3 mg/dl), cholesterol 26
mg/dl (normal: 110-200 mg/dl), albumin 0,8 mg/dl (normal 4.0-5.7 mg/dl).
Pemeriksaan faktor VIII dan IX tidak dikerjakan karena tidak ada fasilitas
pemeriksaan.

Dari data tersebut disimpulkan penderita dengan syok hipovolemik et


causa perdarahan akut, observasi hematemesis melena et causa suspek ulkus
peptikum di diagnosa banding dengan gastritis erosif, dengan kondisi anemia

8
berat ec perdarahan akut dan observasi trombositopeni ec konsumtif, suspek
hemofilia dan observasi hipoalbumin. Dilakukan kumbah lambung dengan
hasil stolsel, selanjutnya setelah loading cairan dan syok teratasi, direncanakan
pemberian terapi krioprisipitat loading dose 15 unit, namun persediaan yang
ada hanya 5 unit kriopresipitat. Transfusi Packed Red Cell sampai dengan
kadar Hb > 10g/dl, injeksi asam traneksamat 3 x 500 mg, injeksi ranitidin 2x
200 mg, antasida 3xCI, serta sukralfat 3xCI.
Pada hari keempat perawatan, hematemesis teratasi, namun penderita
masih melena, terapi kriopresipitat dilanjutkan 5 unit dengan tetap
melanjutkan pemberian terapi injeksi lain. Keluhan perdarahan penderita
membaik pada hari keenam perawatan. Diberikan transfusi albumin 2 kolf
untuk atasi hipoalbuminemia, setelah pemberian transfusi albumin kadar
albumin menjadi 2,0 g/dL. Dilanjutkan dengan pemeriksaan USG abdomen
dan EGD. Hasil pemeriksaan EGD menunjukkan gastritis erosif corpus dan
antrum, sedangkan hasil USG menggambarkan intensitas hepar yang
heterogen tanpa ada abnormalitas pada gall bladder, lien, ataupun ginjal.
Kesan : Chronic Liver Disease.
Pada hari kesepuluh perawatan, obat-obatan injeksi dihentikan dan
dilanjutkan dengan pemberian per oral, hingga hari ke empat belas keadaan
penderita membaik, dan penderita dipulangkan pada hari ke lima belas
perawatan.

Hemofilia tidak hanya merupakan masalah medis atau biologis


semata, namun juga mempunya dampak psikososial yang dalam. Pengaruh
orang dengan hemofilia sebaiknya tidak hanya memperhatikan masalah
fisiologi-nya saja, misal mengontrol perdarahannya dan mencegah timbulnya
disabilitas fisik, tetapi juga diharapkan mempunyai perhatian pada berbagai
gangguan alam perasaannya, rasa tidak amannya, rasa terisolasi dan masalah
keluarga terdekatnya (orangtua, istri, anak dan saudara kandung). Memang
benar, mengontrol perdarahannya adalah hal yang terpenting dalam kehidupan
seorang pasien, namun apakah ini cukup untuk mengantarkannya menuju
kehidupan yang manis dan menyenangkan?. Kini kita mengetahui semakin
banyak data yang menunjukkan bahwa faktor-faktor psikologis tidak hanya
mempunyai efek pada kualitas hidup seseorang tetapi juga dapat
mempengaruhi berbagai fungsi biologisnya.
Setiap orang dengan hemofilia tumbuh kembang dalam suatu
lingkungan keluarga dan budaya yang unik / spesifik. Juga dengan berbagai

9
variasi kebutuhan, ketakutan, perhatian dan harapan yang berbeda-beda.
Masalah psikososial membutuhkan penanganan yang hati-hati. Setiap kasus
mempunyai permasalahn yang berbeda, akibat dari adanya perbedaan lata
belakang budaya, agama ataupun etnik, juga system penanggulangan kesehatan
yang tidak sama.
Oleh karena itu dalam menolong seorang pasien hemofilia dan
keluarganya dibutuhkan pendekatan satu tim inter-disiplin, yang dapat
membina hubungan yang baik dengan anak dan keluarga.

1. Psikodinamika Timbulnya Permasalahan Psikososial Pada Hemofilia


Timbulnya suatu penyakit yang kronis – seperti pada hemofilia –
dalam suatu keluarga memberikan tekanan pada system keluarga tersebut dan
menuntut adanya penyesuaian antara si penderita sakit dan anggota keluarga
yang lain. Penderita sakit ini sering kali harus mengalami hilangnya otonomi
diri, peningkatan kerentanan terhadap sakit, beban karena harus berobat dalam
jangka waktu lama. Sedangkan anggota keluarga yang lain juga harus
mengalami “hilangnya” orang yang mereka kenal sebelum menderita sakit
(berbeda dengan kondisi sekarang setelah orang tersebut sakit), dan kini
(biasanya) mereka mempunyai tanggungjawab pengasuhan.
Kondisi penyakit yang kronis ini menimbulkan depresi pada anggota
keluarga yang lain dan mungkin menyebabkan penarikan diri atau konflik antar
mereka. Kondisi ini juga menuntut adaptasi yang luar biasa dari keluarga.
Contohnya, keluarga mungkin bereaksi dengan panik dan takut serta
menimbulkan tekanan yang berat terhadap sistem keluarga. Mereka mungkin
pula bereaksi dengan sikap bermusuhan, yang ada kaitannya dengan prognosis
yang buruk.
Madden dan kawan-kawan meneliti respon emosi ibu yang menpunya
anak hemofilia, dikatakan bahwa respon ibu bervariasi dari sikap menerima
sampai mengalami distrs psikologis yang berat. Rasa takut akan akibat
pengobatan yang bakal diterima anaknya, seperti kesakitan, handicap, bahkan
kemungkinan meninggal, menjadi masalah utama bagi para ibu ini. Sikap ibu
yang bisa menerima kondisi anak sepenuhnya akan dapat berpengaruh positif
pada menyesuaian disi si anak tersebut.
Namun dikatakan tidak ada hubungan antara derajat beratnya
hemofilia dengan penyesuaian anak. Dengan kata lain, seorang anak dengan
keterbatasan fisik yang lebih berat belum tentu mempunyai masalah yang lebih
berat pada penyesuaian emosionalnya dibanding dengan yang lebih ringan.

10
Juga tidak ditemukan adanya hubungan antara respon psikologis ibu dengan
beratnya hemofilia.
Penyakit yang kronis ini juga dapat berpengaruh pada stabilitas
ekonomi keluarga, yang akan dapat berdampak pada kelanjutan pengobatan
(mial putus obat, tidak teratur mendapatkan terapi), dan dapat menimbulkan
berbagai masalah kejiwaan (misal rasa putus asa, cemas, depresi dan lain-lain).
2. Berbagai Masalah Kejiwaan Yang Dapat Timbul
a. Pada penderita hemofilia
1) Masa Bayi
Apabila seorang bayi dengan hemofilia lahir, ia tidak ada bedanya dengan
bayi-bayi mungil yang lain. Ia tumbuh kembang seperti bayi-bayi yang lain. Adanya
riwayat keluarga dengan hemofilia, membuat perilaku orangtua akan dipengaruhi oleh
pengalaman keluarga tersebut dalam mengasuh bayinya. Jika terdapat pengalaman
buruk seperti riwayat perdarahan yang menakutkan, tindakan operasi yang gagal atau
adanya kematian muda usia, biasanya orangtua akan lebih cemas menghadapi kondisi
bayinya. Hal ini dapat berdampak pada pola asuh mereka, yang dapat menjadi
overprotektif dan permisif. Kondisi ini dapat berkembang menjadi pola asuh yang
negatif dengan segala dampak psikologisnya.

2) Masa Toddler dan pra-sekolah


Mengamati seorang anak usia toddler mengeksplorasi dunianya memberikan
kebahagiaan tersendiri. Mereka menjelajahi semua yang bisa dilakukan, walau
berbahaya sekalipun. Hal seperti ini juga dilakukan oleh para toddler dengan
hemofilia. Mereka membutuhkan stimulus dari eksplorasinya ke dunia sekitar untuk
dapat berkembang normal. Dan mereka membutuhkan stimulus di lingkungan yang
aman dan penuh kasih, yang berarti sebuah keluarga tanpa rasa cemas. Anak selalu
peka terhadap sekitarnya, sehingga apabila kedua orantuanya takut menghadapi
hemofilia, ia juga akan tumbuh dengan rasa takut juga.
Kecelakaan dapat menimpa siapa saja, termasik para toddlers yang sedang
dalam fase senang menjelajah dunia sekitanya. Keadaan ini akan memicu rasa kuatir
yang berlebihan dari orangtuanya, mereka akan berusaha mencegah gerakan yang
dianggap dapat membahayakan, misal jatuh karena dikuatirkan akan menimbulkan
perasaan cemas yang berlebihan pada anak dan kurangnya rasa percaya diri dalam
menghadapi hal-hal baru di kemudian hari. Juga perasaan terisolasi, loneliness akan
timbul.

3) Masa Usia Sekolah


Masa ini merupakan masa yang menyenangkan bagi semua anak, termasuk
anak dengan hemofilia. Hari-hari pertama masuk sekola merupakan saat-saat yang
diharapkan karena anak-anak ini akan mempunyai banyak kesempatan untuk dapat

11
bermain dan bergabung dengan teman-temannya. Bila sebelumnya mereka telah
melalui pra-sekolah, biasanya orangtua akan lebih dapat menyingkirkan perasaan
cemasnya ketika harus meninggalkan anaknya diasuh / dibawah pengawasan orang
lain / guru. Orangtua biasanya telah membekali anaknya dengan berbagai informasi
tentang keadaannya dan kepada siapa harus dihubungi bila terjadi perdarahan /
kecelakaan dan sebagainya. Anak akan tumbuh kembang dengan penuh rasa percaya
diri dan dapat mengatasi permasalahannya dengan mandiri.
Sebaliknya bila orangtua tidak memberinya kepercayaan dan penuh dengan
rasa cemas menghadapi masalah yang mungkin akan timbul, seperti kemungkinan
anak akan jatuh dan mengalami perdarahan sewaktu bermain dengan teman –
temannya di sekolah, akan memicu ketegangandalam hubungannya dengan anak dan
membuat mereka semakin overprotektif. Anak tidak bebas lagi bermain, dengan
segala pencegahan yang diberikan seperti memberi perlindungan dapa sendi-lutut
dengan balutan yang menghambat kebebasan anak dalam bergerak dan sebagainya.
Anak yang tumbuh kembang dengan kondisi seperti ini, ia tidak mempunyai rasa
percaya diri yang tinggi dan tumbuh sebagai anak yang selalu tergantung kepada
orang lain. Dengan dasar kepribadian seperti ini ia akan tumbuh kembang sebagai
anak yang labil emosinya, mudah tersinggung, marah, cemas dan depresi walaupun
stressor yang ada hanya ringan.

4) Masa Remaja
Merupakan masa yang paling indah untuk dikenang disbanding masa yang
lain sepanjang hidup manusia. Kelompok umur ini merasakan kemampuan diri yang
besar dan dapat melakukan semua hal yang mereka inginkan. Walau kenyataanya
tidak seperti itu, karena secara finansial, juga secara emosional masih ada
ketergantungan yang besar kepada orangtuanya. Namun dengan kepercayaan diri yang
tinggi mereka akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang mandiri dan mampu
beradaptasi dengan berbagai stressor yang ada.
Walaupun ia seorang anak dengan hemofilia, bila dasar pengasuhan
orangtuanya baik, ia dapat tumbuh kembang seperti anak remaja yang lain. Sebaliknya
pada anak dengan hemofilia, dengan orangtua yang overprotektif dan selalu cemas,
mereka akan tumbuh dengan perasaan dan pola pokir yang negatif, selalu merasa diri
lebih rendah dibanding anak lain (“minder”), tidak ada rasa percaya diri, cemas,
depresi bahkan rasa putus asa menghadapi masa depannya sering muncul. Yang paling
mudah terdeteksi adalah prestasi belajarnya yang menurun, bahkan sampai drop out
dari sekolah. Pergaulan yang kurang membuatnya terisolasi dari peer group-nya.

5) Masa Dewasa
Masa dewasa merupakan akhir dari pembentukan kepribadian yang telah
dimulai sejak manusia lahir. Pengembangan karier akan dimulai di awal masa ini.

12
Orang dengan kepribadian kuat akan dapat mengatasi dan beradaptasi dengan berbagai
stressor dengan baik. Mereka akan menemukan lingkungan teman dan membentuk
keluarga baru. Orang dengan hemofilia yang tumbuh dalam lingkungan yang aman
tapi suportif, akan dapat mengembangkan kepribadiannya dengan optimal seperti
orang lain yang tidak memiliki gangguan kronis.
Namun pada mereka dasar perkembangannya tidak baik, akan tampak
berbagai masalah dalam kehidupan emosi, social dan kariernya. Kemungkinan
timbulnya berbagai permasalahan kejiwaan dapat timbul, yang bila tidak segera
teratasi akan dapat berdampak pada kualitas kehidupan jangka panjangnya (quality of
life).

b. Pada Orangtua
Semua orangtua mempunyai ‘the fantacy child’ sejak anak tersebut masih
dalam kandungan. Namun sering kali pada kenyataannya yang lahir dan tumbuh
adalah ‘the real child’, yang tidak sama dengan fantasinya dan rasa kecewa, marah dan
penolakan akan muncul. Apabila hal ini tidak segera teratasi tentunya akan
menimbulkan permasalahan pada pola pengasuhannya. Anak akan tunbuh sebagai
seorang anak yang tidak diharapkan, selalu menjadi tumpuan kesalahan / tidak pernah
positif di mata orangtua. Akibatnya ia akan berkembang dengan dasar hubungan ibu –
anak (mother – infant bounding/attacment) yang negatif.
Pada hemofilia, dimana gangguan yang terjadi sering kali sangat
menakutkan bagi para orangtua, takut akan komplikasi yang timbul, akan
kemungkinan kematian yang tidak bisa mereka prediksi sebelumnya, dapat membuat
para orangtua mengalami stressor yang berkepanjangan dan berdampak pada
kehidupan secara keseluruhan. Banyak orangtua yang mengalami permasalahan
kejiwaan seperti cemas dan depresi. Secara finansial juga akan berpengaruh pada
kehidupan keluarganya.
H. Komplikasi Akibat Hemofilia
Komplikasi terpenting yang timbul pada hemofilia A dan B adalah:
1. Timbulnya inhibitor.
Suatu inhibitor terjadi jika sistem kekebalan tubuh melihat konsentrat
faktor VIII atau faktor IX sebagai benda asing dan menghancurkannya.
Inhibitor adalah cara tubuh untuk melawan apa yang dilihatnya sebagai
benda asing yang masuk . Hal ini berarti segera setelah konsentrat faktor
diberikan tubuh akan melawan dan akan menghilangkannya.
2. Kerusakan sendi akibat perdarahan berulang.
Kerusakan sendi adalah kerusakan yang disebabkan oleh perdarahan
berulang di dalam dan di sekitar rongga sendi. Kerusakan yang menetap
dapat disebabkan oleh satu kali perdarahan yang berat (hemarthrosis).

13
Namun secara normal, kerusakan merupakan akibat dari perdarahan
berulang ulang pada sendi yang sama selama beberapa tahun. Makin
sering perdarahan dan makin banyak perdarahan makin besar kerusakan.
Kerusakan sendi pada hemofilia biasa sebagai "artropati hemofilia".

3. Infeksi yang ditularkan oleh darah seperti HIV, hepatitis B dan hepatitis C
yang ditularkan melalui konsentrat faktor pada waktu sebelumnya.
Dalam 20 tahun terakhir, komplikasi hemofilia yang paling serius
adalah infeksi yang ditularkan oleh darah. Di seluruh dunia banyak
penderita hemofilia yang tertular HIV, hepatitis B dan hepatitis C. Mereka
terkena infeksi ini dari plasma, cryopresipitat dan khususnya dari
konsentrat factor yang dianggap akan membuat hidup mereka normal.

I. Pengobatan
Bagi mereka yang memiliki gejala-gejala seperti di atas, disarankan
segera melakukan tes darah untuk mendapat kepastian penyakit dan
pengobatannya. Pemberian transfusi rutin berupa kriopresipitat-AHF atau
Recombinant Factor VIII untuk penderita Hemofilia A dan plasma beku segar
untuk penderita hemofilia B. Terapi lainnya adalah pemberian obat melalui
injeksi. Baik obat maupun transfusi harus diberikan pada penderita secara
rutin setiap 7-10 hari. Tanpa pengobatan yang baik, hanya sedikit penderita
yang mampu bertahan hingga usia dewasa. Karena itulah kebanyakan
penderita hemofilia meninggal dunia pada usia dini.
Bila terjadi pendarahan/ luka pada penderita Hemofilia pengobatan
definitif yang bisa dilakukan adalah dengan metode RICE, yaitu :
1. Rest.
Penderita harus senantiasa beristirahat, jangan banyak melakukan
kegiatan yang sifatnya kontak fisik.

14
2. Ice.
Jika terjadi luka segera perdarahan itu dibekukan dengan
mengkompresnya dengan es.
3. Compression.
Dalam hal ini, luka itu juga harus dibebat atau dibalut dengan perban.
4. Elevation.
Berbaring dan meninggikan luka tersebut lebih tinggi dari posisi jantung.

Ada dua cara pengobatan Hemofilia, pertama, terapi on demand yaitu


terapi saat terjadi perdarahan menggunakan infus produk untuk menggantikan
faktor pembekuan. Sedangkan yang kedua profilaksis adalah infus faktor ke
delapan secara rutin untuk mempertahankan kadar minimum faktor VIII/IX
dengan kadar konsentrasi untuk mencegah sebagian besar perdarahan.

J. Perawatan Bagi Penderita Hemofilia


Penderita hemofilia harus rajin melakukan perawatan dan pemeriksaan
kesehatan gigi dan gusi secara rutin. Untuk pemeriksaan gigi dan gusi,
dilakukan minimal 6 bulan sekali, karena kalau giginya bermasalah misal
harus dicabut, tentunya dapat menimbulkan perdarahan. Selain itu penderita
Hemofilia sedapat mungkin menghindari penggunaan aspirin karena dapat
meningkatkan perdarahan dan jangan sembarang mengonsumsi obat-obatan.
Untuk pelaksanaan operasi ringan hingga berat bagi penderita hemofila harus
melalui konsultasi dokter.
Mengonsumsi makanan atau minuman yang sehat dan menjaga berat
tubuh agar tidak berlebihan. Karena berat badan berlebih dapat mengakibatkan
perdarahan pada sendi-sendi di bagian kaki (terutama pada kasus hemofilia
berat). Olahraga secara teratur untuk menjaga otot dan sendi tetap kuat dan
untuk kesehatan tubuh. Kondisi fisik yang baik dapat mengurangi jumlah
masa perdarahan.
K. Antisipasi
1. Hindari mengkonsumsi obat-obatan yang mempengaruhi kerja trombosit
yang berfungsi membentuk sumbatan pada pembuluh darah, seperti asam
salisilat, obat antiradang jenis nonsteroid, ataupun pengencer darah seperti
heparin. Hindari penggunaan aspirin karena dapat meningkatkan
perdarahan. Langkah terbaik adalah berkonsultasi lebih dulu pada dokter.
2. Kenakan tanda khusus seperti gelang atau kalung yang menandakan bahwa
ia menderita hemofilia. Hal ini penting dilakukan agar ketika terjadi

15
kecelakaan atau kondisi darurat lainnya, personel medis dapat menentukan
pertolongan khusus.
3. Mengonsumsi makanan atau minuman yang sehat dan menjaga berat tubuh
agar tidak berlebihan. Pasalnya, berat badan berlebih dapat mengakibatkan
perdarahan pada sendi-sendi di bagian kaki (terutama pada kasus hemofilia
berat).
4. Penderita hemofilia sangat perlu melakukan olahraga secara teratur untuk
menjaga otot dan sendi tetap kuat dan untuk kesehatan tubuhnya. Kondisi
fisik yang baik dapat mengurangi jumlah masa perdarahan. Namun
penderita hemofilia harus menemukan sendiri aktivitas fisik apa yang
dapat dan yang tidak dapat dilakukannya. Banyak orang dengan hemofilia
ringan ikut dalam semua jenis olah raga, termasuk olah raga aktif seperti
sepakbola dan olahraga berisiko tinggi. Sementara bagi penderita
hemofilia berat, aktivitas serupa dapat menimbulkan perdarahan yang
parah. Yang jelas, olah raga yang sangat dianjurkan adalah berenang.
5. Penderita mesti rajin merawat gigi dan gusi serta rajin melakukan
pemeriksaan kesehatan gigi dan gusi secara rutin, paling tidak setengah
tahun sekali. Karena kalau giginya bermasalah semisalnya harus dicabut,
tentunya dapat menimbulkan perdarahan.
6. Mengikuti program imunisasi. Catatan bagi petugas medis adalah suntikan
imunisasi harus dilakukan di bawah kulit dan tidak ke dalam otot, diikuti
penekanan pada lubang bekas suntikan paling tidak selama 5 menit.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit Hemofilia merupakan penyakit menurun / genetik yang


sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Hemofilia merupakan suatu
bentuk kelainan perdarahan yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya
dimana protein yang diperlukan untuk pembekuan darah tidak ada atau
jumlahnya sangat sedikit.
Hemofilia termasuk suatu gangguan yang berdampak tidak hanya pada
fisik saja, namun juga pada aspek psikososial orang tersebut dan keluarganya.
Pendekatan yang dilakukan tidak cukup hanya dari pendekatan biologis
saja,tapi juga diperlukan pula pendekatan secara psikologis. Mengingat
banyaknya aspek yang terkait, diperlukan yang komprehensif,saling
menunjang dan terpadu. Diharapkan dengan pendekatan demikian prognosis
anak dengan hemofilia akan lebih baik.
Hemofilia A dan B dapat menyebabkan komplikasi berbahaya seperti
timbulnya inhibitor, kerusakan sendi akibat perdarahan berulang, dan Infeksi
yang ditularkan oleh darah seperti HIV, hepatitis B dan hepatitis C yang
ditularkan melalui konsentrat faktor pada waktu sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aswari, E. Penyakit dan Penanggulangannya.1985.Jakarta : PT Gramedia


Corwin, Elizabeth J.2009.Buku Saku Patofisiologi.Jakarta : ECG

17
http://www.scribd.com/doc/80411893/Prognosis-Hemofilia-Angga/.Tanggal
akses: 18 Maret 2012. Pukul 13.11 WIB.
http://fajarini.wordpress.com/2008/11/29/hemofilia/. Tanggal akses : 18 Maret
2012. Pukul 13.33 WIB.
http://jundul.wordpress.com/2008/11/27/serba-serbi-hemofilia/. Tanggal akses :
21 Maret 2012. Pukul 05.51 WIB.
http://guntraz90.blogspot.com/2010_04_01_archive.html. Tanggal akses : 21
Maret 2012. Pukul 06.00 WIB.

18

Anda mungkin juga menyukai