Anda di halaman 1dari 20

”ANALISIS PENGHITUNGAN, PEMOTONGAN, PENYETORAN

DAN PELAPORAN PPH PASAL 21 DOKTER DI RSIA


MUSLIMAT JOMBANG”

Oleh :
Yhanie Candra Puspitasari
1562084

JURUSAN AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
PGRI DEWANTARA JOMBANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dokter adalah orang yang memiliki kemampuan dibidang kesehatan, dan juga
memiliki tugas memberika pelayanan kesehatan kepada pasien dalam rangka
membantu penyembuhan sakit yang diderita pasien. Untuk menjadi seorang
dokter diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus di bidang kedokteran. Dengan
ilmu dan keahlianya dalam menyembuhkan pasien sakit maka biasanya dokter
memiliki beberapa sumber penghasilan. Dan penghasilan yang diterima dokter
tersebut merupakan obyek pajak penghasilan, maka seorang dokter wajib
membayar atau melunasi pajak penghasilan termasuk penghasilan yang diterima
dari penghasilan lainya. Dikaitkan dengan penghasilan profesi dokter tersebut
maka setiap dokter dituntut untuk memenuhi kewajiban membayar pajak
penghasilan.
Pajak penghasilan sebagimana diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dipotong atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan
oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. Salah satu yang mengalami
perubahan dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1991, adalah ketentuan tentang
pemotongan PPh Pasal 21, yaitu yang dipotong oleh pihak lain sepanjang tidak
bersifat final maka dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri terhadap PPh yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Ketentuan pelaksanaan dalam hal ini diatur dalam peraturan Menteri Keuangan
Nomor 252/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 dengan petunjuk teknisnya
diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tanggal 25 Mei
2009.
Dokter dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 termasuk
dalam kelompok tenaga ahli. Tenaga ahli sendiri termasuk dalam kelompok
penerima penghasilan bukan pegawai. Dan definisi dari Penerima Penghasilan
Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak
Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan / atau PPh Pasal 26 sebagai
imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi
penghasilan.
Dasar pengenaan pajak bagi dokter adalah Penghasilan Kena Pajak adalah Pasal 9
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang
menyatakan Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar
penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), Pegawai tidak
tetap dikenakan PKP sebesar penghasilan bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP), Bagi bukan pegawai yang disebutkan dalam Peraturan Direktorat
Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, PKP yang dikenakan sebesar
50%. Pengurangan PTKP ini harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan di
antaranya adalah hanya berpenghasilan dari pemotong pajak saja. Bagi dokter
syarat ini nampaknya sulit dipenuhi karena biasanya dokter punya sumber
penghasilan lain
Dokter dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 masuk ke dalam
kelompok tenaga ahli dan sebagai penerima penghasilan bukan pegawai. Cara
perhitungan PPh Pasal 21 bagi dokter sedikit berbeda dari Peraturan Menteri
Keuangan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c Peraturan Dirjen, dasar
pengenaan pajak bagi tenaga ahli (dokter) yang melakukan pekerjaan bebas adalah
50% dari jumlah penghasilan bruto.
Dan khusus mengenai dokter, Pasal 10 ayat (6) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan memberikan penjelasan tentang penghasilan bruto
dokter yaitu bahwa dalam hal penghasilan dokter yang melakukan praktek di
rumah sakit atau klinik maka penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang
dibayar pasien melalui rumah sakit/klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi
hasil oleh rumah sakit / klinik.
Sesuai dengan penjelasan di atas ada perbedaan cara menghitung PPh Pasal 21
atas dokter yang praktek di rumah sakit/klinik. Dalam peraturan menteri, PPh
Pasal 21 atas dokter ini adalah sebesar tarif Pasal 17 dikalikan kumulatif
penghasilan bruto. Namun demikian, di peraturan Dirjen, PPh Pasal 21 Undang
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bagi dokter ini adalah
sebesar tarif Pasal 17 dikalikan penghasilan bruto atau tanpa kumulatif. Hal ini
lebih menguntungkan dokter, karena perhitungan sesuai peraturan Dirjen Pajak,
karena ada pengurang sebesar 50% walaupun tarif dikenakan terhadap
penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit.
Pada umumnya dokter memiliki beberapa sumber penghasilan yaitu:
1. Penghasilan yang bersumber dari keuangan rumah sakit atau
bendaharawan rumah sakit sebagai pegawai tetap PNS atau karyawan
rumah sakit berupa gaji, tunjangan-tunjangan, honorarium, dan imbalan
lainnya.
2. Penghasilan yang diterima sebagai tenaga ahli atau tenaga profesional
berupa fee, komisi, dan imbalan lainnya.
3. Penghasilan yang diterima sebagai anggota atau peserta kegiatan yang
mendapatkan imbalan berupa uang saku atau uang rapat
4. Penghasilan yang diterima berupa penghargaan atau hadiah atas hasil
membuat obat-obatan atau alat kesehatan.
5. Penghasilan yang diterima dari buka praktik sendiri.
6. Penghasilan lain yang diterima diluar pekerjaan yang terkait dengan
kedokterannya, seperti penghasilan dari bunga deposito, penjualan tanah,
sewa mesin, hadiah, deviden dan sebagainya

Penghitungan pajak penghasilan harus mengetahui tarif pajak yang berlaku yang
sesuai dengan ketentuannya. Ada beberapa tarif yang digunakan untuk
pemotongan PPh Pasal 21 khusus untuk dokter yaitu sebagai berikut:
 Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, bahwa tarif pajak yang
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
a. 0 sampai dengan Rp 50.000.000, tarifnya adalah 5%
b. Diatas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000, tarifnya adalah 15%
c. Diatas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000, tarifnya adalah 25%
d. Diatas Rp 500.000.000, tarifnya adalah 30%
 Tarif Pasal 4 PP No.80 Tahun 2010
Sesuai dengan Pasal 4 PP No. 80 Tahun 2010 tentang Tarif
Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, bahwa Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang berupa honorarium atau imbalan
lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD,
dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium
atau imbalan lain tersebut. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dimaksud
yaitu bersifat final dengan tarif:
a. Sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau
imbalan lain bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI
dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan
Pensiunannya;
b. Sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau
imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota
POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya;
c. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau
imbalan lain bagi pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI
dan Anggota POLRI Golongan Pangkat perwira Menengah dan
perwira Tinggi, dan Pensiunannya

Sebagai contoh Wajib Pajak orang Pribadi penerima penghasilan buka pegawai
antara lain : Pengacara, Arsitek, Dokter, Notaris, Akuntan, Konsultan,
Olahragawan, Pengajar, Peneliti, Penceramah, Bintang Film dan lain-lain.
Penghitungan PPh Pasal 21 bagi penerima penghasilan bukan pegawai
dikelompokkan menjasi 3 (tiga) yaitu:
1) Yang dimaksud imbalan yang bersifat tidak berkesinambungan
merupakan imbalan yang dibyarkan kepada Wajib Pajak orang pribadi
Bukan Pegawai hanya satu kali dalam 1 tahun kalender sehubungan
dengan pekerjaan dan jasa.
2) Dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan yang bersifat tidak
berkesinambungan maka Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Penghasilan
Bruto dengan tidak memperhitungkan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
3) PPh Pasal 21 atas imbalan yang bersifat tidak berkesinambungan.
Tata Cara Penghitungan

Ber NPWP dan DPP = 50% x


penghasilan Penghasilan
hanya dari satu Bruto –
pemberi kerja PTKP
Bersifat Bulanan
Berkesinam
bungan
Ber NPWP dan
berpenghasilan DPP = 50% x
lebih dari satu Penghasilan
Penghasilan pemberi kerja Bruto
Bukan Pegawai

Bersifat
Tidak DPP = 50% x
Berkesinam Penghasilan
bungan Bruto

Tarif yang berlaku adalah tarif umum pasal 17 Ayat (1) Huruf (a) UU PPh.
Wajib Pajak yang tidak ber NPWP dikenai tarif 20% lebih tinggi.

Pentingnya penelitian mengenai pemungutan Pajak Penghasilan Bagi Dokter di


RSIA Muslimat Jombang didasarkan pada asumsi bahwa dokter sebagai profesi
merupakan Wajib Pajak, dan sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan
negara untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Oleh karena itu penulis akan melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam
Skripsi yang berjudul “Analisis Penghitungan, Pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan PPh Pasal 21 Dokter di RSIA Muslimat Jombang”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan penghitungan, pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Penghasilan bagi dokter di RSIA Muslimat Jombang?
1.3 Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 atas
dokter.
2) Untuk mengetahui proses penyetoran PPh Pasal 21 atas dokter.
3) Untuk mengetahui proses pelaporan PPh Pasal 21 atas dokter.

1.4 Manfaat Penelitian


 Akademisi
Menambah wawasan dan pengetahuan kepada mahasiswa berkaitan
dengan proses penghitungan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan
PPh Pasal 21 di RSIA Muslimat Jombang.
 Praktisi
Bagi instansi diharapkan menjadi masukan sehingga dapat membantu
memecahkan masalah masalah yang dihadapi RSIA Muslimat
Jombang.

1.5 Batasan Masalah


 Untuk pengambilan data adalah honor dokter RSIA Muslimat Jombang
Januari 2018
 Penelitian ini hanya dilakukan terhadap obyek PPh Pasal 21 di RSIA
Muslimat Jombang.
 Penelitian ini meneliti mengenai cara penghitungan, pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 di RSIA Muslimat Jombang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Peneliti Judul Metode Penelitian Variabel yang Diteliti Hasil Penelitian


Maria Magdalena Analisis Pelaporan SPT Tahunan Deskriptif Kualitatif Pelaporan PPh Pasal 21 Penggunaan sistem E-Filling
(2018) PPh Pasal 21 Sebelum dan sebelum dan sesudah sistem sistem dalam Pelporan SPT
Sesudah Penerapan Sistem E- e-Filling memberikan kemudahan
Filing Bagi PNS kepada wajib pajak karena
Dinsosnakertrans Kabupaten sistem E-Filling System efektif,
Nias efisien , terupdate dan aman.

Evi M. S, Lucky Analisa Mekanisme Perhitungan, Deskriptif Kualitatif Mekanisme perhitungan Withholding System adalah
Nugroho & Lawe A Pemotongan, Penyetoran dan pajak mengacu pada suatu sistem pemotongan pajak
(2018) Pelaporan Pajak Penghasilan Undang-undang Pajak dimana wewenang untuk
Pasal 21 Pada PT. Bina Swadaya Penghasilan No. 36 th 2008 menentukan besarnya pajak
Konsultan Th 2016. dan Peraturan Direktur terutang seseorang berada pada
Jendral Pajak Nomor: PER- pihak ketiga dan bukan oleh
16/PJ/2016 fiskus maupun oleh Wajib
Pajak itu sendiri. Pihak yang
melakukan pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 adalah
pihak PT. Bina Swadaya
Konsultan, selaku pemberi
kerja.
2.2 Dasar – Dasar Perpajakan
2.2.1 Pengertian Pajak
Dalam membahas pengrtian Pajak, banyak para ahli memberikan
batasan tentang pajak, dan menurut Prof Dr. Rochmat Sumitro, dan
Mardiasmo (2009:1):
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal
balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Menurut Prof. Dr. P.J.A Andriani, Guru Besar Hukum Pajak
Universitas Amsterdam, yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso
Brotidihatjo, dalam bukunya, “Pengantar Ilmu Hukum Pajak” (Waluyo
dan Wirawan B. Ilyas 2009:4)
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh wajib pajak yang membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara harus
menyelenggarakan pemerintahan”.
Dari pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa:
1) Iuran rakyat, dalam perundang undangan pajak negara kita
ditugaskan bahwa pajak merupakan keikutsertaan warga
negara dalam pembangunan nasional.
2) Kepada Kas Negara, UU KUP menegaskan bahwa pajak harus
dibayar ke kas negara atau badan keuangan yang ditunjuk
secara resmi oleh pemerintah (UU KUP Pasal 10).
3) Pajak dipungut berdasarkan UU serta aturan pelaksanaan yang
sifatnya dapat dipaksakan.
4) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditujukan adanya
Kontrapestasi individual oleh pemerintah.
5) Digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara
yang bila pemasukanya masih surplus, digunakan untuk
membiayai Public Investment.
2.2.2 Fungsi Pajak
Terdapat 2 fungsi pajak yaitu:
1) Fungsi Budgeter (Penerimaan)
Pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaranya.
2) Fungsi Regulerent (Mengatur)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

2.2.3 Sistem Pemungutan Pajak


a) Official Assesment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada
pemerintak untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak. Dalam Official Assesment System wajib pajak
bersifat pasif dan utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat
ketetapan pajak oleh fiskus.
b) Self Assesment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Dalam Self Assesment System wajib pajak bersifat aktif, mulai
dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak
terutang sedangkan fiskus tidak ikut campur dan hanya
mengawasi.
c) With Holding System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak.

2.2.4 Subyek Pajak Penghasilan


Pasal 2 ayat 1 UU No.17 tahun 2000 mengelompokan subyek pajak
sebagai berikut :
a. Subyek pajak orang pribadi
b. Subyek pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu keasatuan,
menggantikan yang berhak
c. Subyek pajak badan
d. Subyek pajak badan usaha tetap

Yang tidak termasuk subyek pajak penghasilan, sesuai pasal 3 Undang-


undang pajak penghasilan adalah :
a. Badan perwakilan negara asing
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat
lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertepat tinggal bersama
sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari luar
jabatannya di Indonesia serta negara yang bersankutan
memberikan perlakuan timbal balik.
c. Organisasi Internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Menteri Keuangan, dengan syarat :
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana
dimaksud dalam keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan tidak mejalankan usaha atau
melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.

2.2.5 Pajak Penghasilan Pasal 21


1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak penghasilan pasal 21 merupakan atas penghasilan objek
pajak berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi dalam negeri,
baik dalam hubungan kerja maupun pekerjaa bebas. Dasar
pemotongan dari PPh pasal 21 ini adalah penghasilan pengumutan
dan pembayarannya dilakukan melalui pemotongan oleh pihak lain,
yaitu pemberi kerja atau pemberi penghasilan.
2. Wajib Pajak Penghasilan Pasal 21
a. Pejabat Negara
b. Pegawai Negeri Sipil
c. Pegawai Tetap
d. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri
e. Pegawai Tidak Tetap
f. Penerima Pensiun
g. Penerima Honorarium
h. Penerima Upah
3. Tidak termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21
Yang tidak termasuk penerima penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21 adalah :
a. Pejabat pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau
pejabat lain dari negara asing, dan orang orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama sama mereka, dengan syarat buka warga
negara Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
dari luar jabatannya di Indonesia sertanegara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.
4. Objek Pajak Penghasilan Pasal 21
Penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan pasal 21
berdasarkan ketentuan undang-undang pajak penghasilan secara
garis besar dikelompokan dalam 6 kategori, yaitu:
a. Penghasilan yang diterima atau yang diperoleh secara teratur
berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium, premi
bulanan, uang lembur, uang bantuan, uang tunggu, uang ganti
rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan,
tunjangan siswa, hadiah atau penghargaan dengan nama dan
bentuk apapun, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan
penghasila teratur lainnya dengan nama apapun.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur
berupa : jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti,
tunjangan hari raya, tujangan tahun baru, bonus, premi tahunan,
dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan
biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.
c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan.
d. Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua atau tunjangan
hari tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis, kecuali
uang tabungan hari tua.
e. Honorarium, uang saku, komisi dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang
dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri (badan atau orang
pribadi).
f. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya
dalam nama apapun yang diberikan oleh bukan wajib pajak.
5. Pemotong Pph Pasal 21
Pemotong Pph Pasal 21, antara lain:
a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik
merupakan pusat maupun cabang, perwakian atau unit, bentuk
usaha tetap yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan
dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh
pegawai atau bukan pegawai.
b. Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada
pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga
lembaga negara lainnya dan kedutaan besar Republik Indonesia
diluar negeri yang membayarkan gaji, upah,honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
c. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja, dan badan badan lain yang membayar uang pensiun dan
tabungan hari tua atau jaminan hari tua.
d. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar
honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan kegiatan jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status
wajib pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan
bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas
nama persekutuaannya.
e. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar
honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan kegiatan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status wajib pajak luar negeri.
f. Yayasan (termasuk yayasan dibidang kesejahtraan, rumah sakit
pendidikan, kesenian, olahraga, kebudayaa), lembaga,
kepanitiaan, asisiasi, perkumpulan, organisasi assa, organisasi
sosial politik, dan organisasi lainnya dalam bentuk apapun
dalam segala bidang kegiatan sumber pembayaran gaji, upah,
honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi.
g. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap yang membayarkan
honorarium atau imbalan lain kepada pesera pendidikan,
pelatihan dan pemagangan.
h. Penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah,
organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan,
orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelengggarakan
kegiatan) yang membayar honorarium, hadiah atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang
pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

2.3 Penyetoran Pajak


2.3.1 Definisi E-Billing
E-Billing adalah metode pembayaran pajak secara elektronik
menggunakan kode billing. Kode billing sendiri adalah kode
identifikasi yang diterbitkan melalui sistem billing atas suatu jenis
pembayaran atau setoran pajak yang akan dilakukan Wajib Pajak.
Sementara billing system adalah sistem yang menerbitkan kode billing
untuk pembayaran atau penyetoran penerimaan negara secara
elektronik, tanpa perlu membuat Surat Setoran (SSP, SSBP, SSPB)
manual, yang digunakan e-billing Direktorat Jenderal Pajak. Saat ini
Wajib Pajak dapat lebih mudah dalam pemenuhan kewajiban
perpajakan dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas elektronik yang
telah disediakan Direktorat Jenderal Pajak. Salah satu fasilitas tersebut
adalah e-billing. Sistem pembayaran elektronik (billing system)
berbasis Modul Penerimaan Negara Generasi Kedua (MPN-G2) yang
memfasilitasi Wajib Pajak untuk membayarkan pajaknya dengan lebih
mudah, lebih cepat dan lebih akurat. Modul Penerimaan Negara
Generasi Pertama (MPN-G1) yang digunakan e-billing Direktorat
Jenderal Pajak dan mekanisme pembayaran pajak lainnya yang selama
ini digunakan. Sementara Modul penerimaan Negara Generasi Kedua
(MPN G2) adalah Modul Penerimaan Negara yang digunakan layanan
e-billing. Modul penerimaan Negara Generasi Kedua (MPN G2)
adalah sistem penerimaan, negara yang menggunakan surat setoran
elektronik. Surat setoran elektronik adalah surat setoran yang
berdasarkan pada sistem billing
Pembayaran/penyetoran pajak meliputi seluruh jenis pajak, kecuali:
1. Pajak dalam rangka impor yang diadministrasikan pembayarannya
oleh biller Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
2. Pajak yang tata cara pembayarannya diatur secara khusus.
Pembayaran/penyetoran pajak tersebut, meliputi pembayaran dalam
mata uang Rupiah dan Dollar Amerika Serikat. Pembayaran dalam
mata uang Dollar Amerika Serikat hanya dapat dilakukan untuk Pajak
Penghasilan Pasal 25, Pajak Penghasilan Pasal 29 dan Pajak
Penghasilan yang bersifat final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
Transaksi pembayaran/penyetoran pajak secara elektronik, dilakukan
melalui Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan kode billing. Kode
billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem billing
atas suatu jenis pembayaran atau setoran yang akan dilakukan Wajib
Pajak.

2.3.2 Dasar Hukum E-Billing


1. PMK-242/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pembayaran dan
Penyetoran Pajak.
2. PMK-32/PMK.05/2014 Tentang Sistem Penerimaan Negara secara
Elektronik.
3. Per.26/PJ/2014 Tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara
Elektronik

2.3.3 Manfaat Penggunaan E-Billing


Dengan diberlakukannya sistem pembayaran pajak secara elektronik,
Wajib Pajak akan mendapatkan keuntungan sebagai berikut:
1. Lebih Mudah
a. Tidak perlu lagi mengantri di loket teller untuk melakukan
pembayaran. Sekarang, telah dapat melakukan transaksi
pembayaran pajak melalui Internet Banking Mandiri cukup dari
meja kerja atau melalui mesin ATM Mandiri yang Anda temui
di sepanjang perjalanan;
b. Tidak perlu lagi membawa lembaran SSP ke Bank atau Kantor
Pos Persepsi. Sekarang, hanya cukup membawa catatan kecil
berisi kode billing untuk melakukan transaksi pembayaran
pajak untuk ditunjukkan ke teller atau dimasukkan sebagai
kode pembayaran pajak di mesin ATM atau Internet Banking.
2. Lebih Cepat
a. Dapat melakukan transaksi pembayaran pajak hanya dalam
hitungan menit dari manapun.
b. Jika memilih teller Bank atau Kantor Pos sebagai sarana
pembayaran, sekarang tidak perlu lagi menunggu lama teller
memasukkan data pembayaran pajak, karena kode billing yang
ditunjukkan akan memudahkan teller mendapatkan data
pembayaran berdasarkan data yang telah diinput sebelumnya.
c. Antrian di Bank atau Kantor Pos akan sangat cepat berkurang
karena teller tidak perlu lagi memasukkan data pembayaran
pajak.

2.3.4 Cara Pembayaran Pajak Dengan E-Billing


Pembayaran dengan menggunakan kode Billing dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu :
a. Melalui loket bank atau kator pos
b. Melalui anjungan tunai mandiri (ATM) Mandiri
c. Melalui internet banking Mandiri.

2.4 Pelaporan Pajak


2.4.1 Pengertian E-Filling
Menurut Fidel dalam Sari Nurhidayah (2015) E-Filling adalah salah
satu cara penyampaian SPT yang dilakukan melalui sistem on-Line
dan real-time, E-filling dijelaskan oleh Gita (2015) sebagai suatu
layanan penyampaian SPT secara elektronik baik untuk orang Pribadi
maupun Badan melalui internetpada website Direktorat Jenderal Pajak
atau penyedia jasa aplikasi keapda Kantor Pajak dengan memanfaatkan
internet, sehingga Wajib Pajak tidak perlu mencetak semua formulir
laporan dan menunggu tanda terima secara manual.
Begitupula dijelaskan dalam jurnal Nurul Citra Noviandini (2012) E-
filing adalah suatu cara penyampaian SPT atau penyampaian
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik yang
dilakukan secara on-line yang realtime melalui website Direktorat
Jenderal Pajak (www.pajak.go.id ) atau Penyedia Jasa Aplikasi atau
Application Service Provider (ASP). Sehingga Wajib Pajak (WP) tidak
perlu lagi melakukan pencetakan semua formulir laporan dan
menunggu tanda terima secara manual. Online berarti bahwa Wajib
Pajak dapat melaporkan pajak melalui internetdimana saja dan kapan
saja, sedangkan kata realtime berarti bahwa konfirmasi dari Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) dapat diperoleh saat itu juga apabila data-data
Surat Pemberitahuan (SPT) yang diisi dengan lengkap dan benar telah
sampai dikirim secara elektronik.
Sesuai dengan peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-1/PJ/2014 tentang
Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Formulir 1770S atau 1770SS
secara e-Filing bahwa e-Filing adalah merupakan suatu cara
penyampaian SPT Tahunan secara elektronik yang dilakukan secara
online dan real time dengan memanfaatkan jalur internet pada website
Direktorat Jenderal Pajak. SPT berbentuk e-SPT dapat diambil secara
langsung oleh Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau
Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi

2.4.2 Proses E-Filling


Berikut ini proses untuk melakukan E-Filling dan tata cara
penyampaian SPT Tahunan secara E-Filling adalah:
1. Mengajukan permohonan Electronic Filling identification Number
(e-FIN) secara tertulis. E-FIN merupakan nomor identitas
WajibPajak bagi pengusaha E-Filling. Pengajuan permohonan E-
FIN dapat dilakukan melalui situs DJP atau KPP terdekat.
2. Mendaftarkan diri sebagai Wajib pajak E-Filling paling lambat 30
hari setelah diterbitkannya E-FIN. Setelah mendaftarkan diri.
Wajib Pajak akan memperoleh username dan password, tautan
aktivitas akun E-Filling melaluiemail yang telah didaftarkan oleh
Wajib Pajak, dan digital certificate yang befungsi sebagai
pengaman Wajib Pajak dalam setiap proses E-Fillig.
3. Menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang Pribadi
melalui situs DJP dengan cara:
a. Mengisi e-SPT pada aplikasi E-Filling di situs DJP. E-SPT
adalah Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dalam bentuk
formulir elektronik (Compact Disk) yang merupakan pengganti
lembar manual SPT.
b. Meminta kode verifikasi untuk pengiriman e-SPT, yang
dikrimkan melalui email atau SMS.
c. Mengirim SPT secara online dengan mengisikan kode
verifikasi.
d. Notifikasi status e-SPT akan diberikan kepada Wajib Pajak
melalui email. Bukti Penerimaan e-SPT terdiri dari NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak). Tanggal transaksi, jam transaksi,
Nomor Transaksi Penyampaian SPT (NTPS). Nomor Transaksi
Pengiriman ASP (NTPA), nama Penyedia Jasa Aplikasi (ASP)

Anda mungkin juga menyukai