Anda di halaman 1dari 14

BAB XII

KEBAHAGIAAN DALAM SEKOLAH DAN KELAS

Dalam beberapa bab sebelumnya, kita telah membahas tentang berbagai macam pandangan
kebahagiaan dan sebuah jaringan yang luas tentang topik-topik yang berhubungan satu sama
lain yang mungkin dibahas dalam sekolah. Kita telah menunjuk masalah yang luas tentang
bagaimanakah cara yang terbaik untuk mempersiapkan orang-orang muda untuk hidup yang
bahagia. Namun, kebahagiaan tidak diterangkan secara baik seraya negara mendapatkan atau
menjanjikan untuk kehidupan di masa depan. Kebahagiaan di masa sekarang tidak cocok
dengan kebahagiaan di masa depan, dan ini bahkan mungkin hanya menjadi instrument saja
untuk kebahagiaan di masa depan. Oleh karena itu, para pengajar perlu memberikan perhatian
kepada kualitas pengalaman para siswanya di masa sekarang.

Dalam bab ini, saya akan menggunakan apa yang telah kita pelajari tentang kebahagiaan untuk
membuat beberapa rekomendasi untuk kehidupan di dalam kelas. Lalu, seperti yang telah
disarankan sebelumnya, saya akan menunjukkan bagaimana kita dapat menganalisis dan
mengevaluasi cara kerja kita menggunakan tujuan dari kebahagiaan untuk menuntun kita.

A. Kelas-kelas yang bahagia

Kepuasan akan kebutuhan adalah faktor yang utama dalam meraih kebahagiaan. Namun,
kebutuhan mungkin bisa diekspresikan atau dinilai, dan para individu tidak selalu tahu apa
yang mereka butuhkan. Untuk mempersulit masalah lebih jauh, ini tidak mudah untuk
memisahkan kebutuhan dari keinginan sesaat, dan kepuasan dari keinginan juga mengontribusi
kepada kebahagiaan dalam bentuk kesenangan. Kita mungkin dapat membahas banyak bentuk
kebahagiaan dalam kategori luas yang umum tentang kepuasaan dari kebutuhan, namun
beberapa juga sangat penting bagi mereka sehingga kita harus kembali untuk melihat
bagaimana mereka terlibat dalam rutinitas kehidupan dalam kelas.

Dewasa ini, sekolah-sekolah memberi beberapa perhatian kepada kepuasan kebutuhan fisis.
Anak-anak yang kelaparan sering mendapatkan sarapan atau makan siang yang gratis atau yang
sudah dimurahkan. Akan tetapi, penduduk Amerika masih mempunyai jalan panjang untuk
menyediakan kebutuhan fisis bagi para anak-anak. Banyak yang membutuhkan dokter gigi.
Sangat banyak yang tidak memiliki asuransi kesehatan, dan sebagian lagi membutuhkan
pemeriksaan mata dan memperbaharui kacamata mereka. Anak-anak yang kelaparan, sakit,
atau terpenjara dalam keterbatasan penglihatan sama sekali tidak bahagia, dan sebuah kelas
yang terisi dengan anak-anak seperti ini jelaslah bukan tempat yang indah.

Bahkan ketika kita memberi makan kepada anak-anak, dengan demikian memuaskan
kebutuhan penting seseorang, kita sering memaksakan batasan psikologi kepada mereka.
Mereka secara luas dikenal sebagai orang yang miskin dikarenakan banyak penggalangan dana.
Cara lain yang lebih baik mungkin untuk menyuplai makanan untuk semua anak-anak kita
sebagai bagian yang rutin dari hari-hari sekolah. Waktu makan harus menjadi bagian dari
pengalaman asli pengajaran, bukan pecahan dari pelajaran. Di beberapa rumah yang bagus,
waktu makan adalah sebuah pengalaman pengajaran yang signifikan-sebuah kesempatan untuk
belajar kasih sosial, untuk menyatukan percakapan dengan orang-orang dewasa yang tertarik,
untuk memberi keterikatan antara berita dari belahan dunia yang lain, untuk belajar mengenai
nutrisi, dan untuk merencanakan acara-acara yang akan datang. Banyak sekolah mandiri sudah
menggabungkan waktu makan dengan hari-hari sekolah.

Akan ada tiga kritik akan keberatannya terhadap rekomendasi saya. Pertama, mereka mungkin
akan memaksa guru dan muridnya membutuhkan istirahat dari instruksi-instruksi harian.
Keberatan ini mengungkapkan sebuah pandangan tentang pendidikan sebagai kerja keras,
tugas yang berat dan membosankan, yang mana kita harus keluar dari itu semua. Namun
pandangan tentang pendidikan sebagai cara untuk hidup dan belajar bersama, sebagai cara
untuk hidup di dunia ini, mengubah semua gambaran itu. Waktu makan, dalam sudut pandang
ini, adalah pengaturan berbeda untuk belajar yang terlanjut dan hubungan yang ramah antar
manusia. Bila ini harus diterangkan sebagai cara untuk melarikan diri, ini mungkin akan
menjadi jalan keluar yang lebih bebas, lebih tidak resmi, dan penjelajahan kepuasan secara
fisik.

Penolakan kedua terhadap rencana saya dipusatkan pada biaya yang besar. Sekolah sudah
mahal, dan rencana untuk memasukan pemberian makanan kepada para anak-anak yang kurang
mampu cukup berlebihan. Sekolah bisa, akan tetapi, meminta bantuan kepada para orang tua.
Rekening bisa dikirim ke para orang tua, bersamaan dengan surat pemberitahuan, dan
permintaan ini haruslah menjadi program berkelanjutan agar para orang tua yakin bahwa
sekolah itu bagus di masyarakat bukan uang saja. Banyak orang tua, terpanggil atas kewajiban
warga Negara, akan senang untuk memberikan sedikit dari penghasilan mereka untuk memberi
makan anak-anak mereka. Apa kata orang bila mereka tidak mau berbuat seperti itu?

Penolakan ketiga yang mungkin akan muncul adalah mengenai bermacam-macam pemaksaan
hak para orang tua “Saya tidak mau sekolah memberi makan kepada anak-anak saya! Saya
akan menentukan apa yang harus mereka makan untuk makan siang, dan saya akan
memberikan mereka sarapan.” Ok, baik. Anak-anak tidak boleh dipaksa untuk makan apa yang
disediakan di sekolah, namun bila mereka ikut berpartisipasi, tidak boleh ada perbedaan atas
dasar siapa yang bisa membayar. Mungkin disana tidak akan ada meja “makanan” yang mana
sering dipakai para anak untuk berkumpul saat sarapan untuk mengobrol, mungkin bermanja-
manjaan dengan meminum jus pengganti dari kopi yang sering diminum para orang dewasa.
Keberatan dari hak-hak para orang tua harus dijawab dengan lelucon yang bagus dan beberapa
khayalan. Belum ada dari keberatan-keberatan itu muncul sejauh ini lebih berat daripada
keuntungan-keuntungan mencakup makanan sebagai bagian dari pendidikan harian.

Sebagai masyarakat, kita harus berkomitmen kepada kepuasan dari kebutuhan tujuan yang lain.
Ini sangat memalukan bahwa beberapa anak kita datang ke sekolah dengan tak berfungsinya
alat pemanas, pencahayaan yang buruk, jendela-jendela yang banyak tertutup, WC yang kotor,
kelas yang ramai, dan tangga yang berbahaya. Kita pasti malu untuk mengijinkan kondisi
seperti itu, dan tak boleh ada argumentasi berlawanan mengenai masalah itu. Lebih lanjut lagi,
kita tidak boleh mendasari argument kita terhadap kondisi-kondisi yang lebih baik di tempat
itu bahwa anak-anak akan belajar lebih baik di lingkungan yang terpelihara. Mereka mungkin
akan belajar lebih baik, namun kita harus dianjurkan untuk menyediakan kondisi yang lebih
baik dengan kata hati bersama. Kebahagiaan kita harus diancam oleh penderitaan seseorang,
dan anak-anak tidak boleh untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan mempelajari
keadaan.

Perbedaan antara kebutuhan yang diekspresikan dan yang dinilai adalah sangat menolong
dalam menganalisis hubungan antara kebutuhan dan kebahagiaan. Banyak dari kebutuhan
dipertemukan di sekolah dan dinilai kebutuhan-kebutuhan yang oleh para orang dewasa
dipaksakan ke anak-anak. Penyediaan akan kebutuhan-kebutuhan ini memberikan kita rasa
keadilan, dan keyakinan kita bahwa kebutuhan ini benar-benar membantu untuk membenarkan
penggunaan yang kita latih secara bebas terhadap anak-anak. Saya sudah menganjurkan bahwa
kita harus hati-hati dalam mengidentifikasi dan mengajak kebutuhan ternilai, and kita harus
belajar untuk mendengarkan secara hormat dengan apa yang anak-anak tawarkan sebagai
kebutuhan ternilai.

Salah satu ciri dari kelas yang bahagia adalah keseimbangan ternegosiasi secara berkelanjutan
antara kebutuhan yang diekspresi dan yang ternilai. Para pelajar akan melakukan hal-hal untuk
para guru yang kepeduliannya secara teratur ditunjukkan, dan perhatian melibatkan tanggapan
terhadap kebutuhan ternilai dari pemeliharaan. Para orang dewasa akan, pastinya, mencoba
untuk mempengaruhi kebutuhan-kebutuhan ini untuk mengekang keinginan tak
menyenangkan, untuk membentuk beberapa keinginan menjadi kebutuhan nyata, untuk
mendorong perubahan dari kebutuhan ternilai menjadi kebutuhan terekspresi. Usaha ini harus
dibentuk dengan sensitifitas terbesar, selalu didampingi dan dimodifikasi oleh kebutuhan
terekspresi para siswa. Para pembaca diajak untuk melihat kelas-kelas (nyata dan buatan) dari
sudut pandang ini. Bagaimana keseimbangan itu diraih? Apa yang mengontribusi untuk
kebahagiaan? Apakah mempunyai efek tidak hanya untuk pembelajaran sekarang tapi juga
hasrat untuk melanjutkan pembelajaran?

Satu kebutuhan terekspresi adalah sangat mendunia sehingga ini kadang-kadang sudah (secara
salah) diambil sebagai persamaan dengan kebahagiaan. Ini menyenangkan. Para pengajar di
masa lampau, dan mungkin beberapa di masa sekarang, melihat bahwa kesenangan di dalam
kelas sebagai tanda bahwa kerja nyata yang kecil sudah dikerjakan. Beberapa tahun yang lalu,
sekelompok guru sekolah dasar berbicara pada saya bahwa mereka hampir menyerah terhadap
pelajaran eksakta yang saya pikir ini sangat bagus. Anak-anak sangat ceria, namun para guru
tidak yakin apa yang sedang dipelajari oleh para muridnya. Para guru harus tahu tujuan yang
baik mengenai apa yang sedang dipelajari oleh para murid; itu adalah bagian yang penting
dalam pekerjaan mereka, dan para guru ini mungkin belum cukup mengetahui ilmu
pengetahuan untuk membantu mereka dalam membuat keputusan. Ini juga mungkin menjadi,
bagaimanapun, bahwa para guru direpotkan oleh kegembiraan para siswa. Ilmu pengetahuan
dianggap sebagai kerja keras, dan anak-anak ini terlihat seperti sedang bermain.

Permainan dapat mengontribusi langsung ke pembelajaran, khususnya bagi para siswa


pendidikan dasar, dan para guru harus sadar akan kekuatan permainan dalam pembelajaran.
Tidak lama dari ini, saya membaca sebuah surat yang sangat sedih dari murid sekolah
menengah yang belum dapat membaca. Anak-anak ini (bukan dari pendidikan khusus) bahkan
tidak dapat membaca nama mereka sendiri. Bagaimana ini dapat terjadi ? Anak-anak tersebut
bahkan tidak dapat memainkan permainan papan-pastinya bukan Monopoli, dimana para
pemain ditantang oleh kartu-kartu yang menuntut mereka untuk membaca. Kesempatan-
kesempatan bahwa anak-anak ini belum pernah bermain permainan papan. Kesempatan untuk
membaca, menjumlah dan menghitung, untuk bernegosiasi dengan pemain lain, dan untuk
mempunyai keceriaan yang berharga sudah hilang. Tiap kelas harus dipersiapkan secara baik
dengan permainan-permainan papan dan permainan kartu, dan bermain dengan mereka harus
dihitung sebagai bagian dari belajar harian.

Apa yang dipelajari melalui jenis permainan? Banyak cerita mengenai belajar yang
dihubungkan oleh permainan-permainan, namun peneliti pendidikan masih membutuhkan
studi yang lebih dekat lagi mengenai belajar informal yang dihubungkan oleh permainan dan
pengaruhnya. Para guru harus mempelajari cerita-cerita ini, namun mereka juga harus
memantau murid-murid mereka: mengamati, mengasuh, dan memonitor.

Kesenangan tidak saja untuk sekolah dasar. Para guru harus mempelajari berbagai macam
rekreasi yang dihubungkan oleh mata pelajaran mereka. Dalam pelajaran matematika,
contohnya, banyak sekali puzzle, trik-trik teori angka, paradox, dan keanehan-keanehan
geometri yang bisa menyediakan kesenangan selagi belajar. Bila para guru tidak mengerti apa
yang terkandung dalam hiburan, para murid akan tetap senang, namun pembelajaran jadi
terbatasi. Para guru yang menolak tantangan ilmu pengetahuan dasar sedang berada dalam
kesulitan ini. Mereka tidak tahu banyak tentang ilmu pengetahuan. Dalam sebuah rasa yang
penting, lalu, kesenangan yang bermanfaat di dalam kelas adalah sangat bergantung pada
pengetahuan dan keterampilan para guru.

Ada sebuah peranan lain dari kesenangan dalam pendidikan. Dalam membahas “ritme
pendidikan”, Whitehead mendeskripsikan tingkatan-tingkatan dalam belajar, menekankan
pada tingkat pertama, yang ia sebut sebagai Romance:

Tingkatan Romance adalah tingkatan dari kepandaian awal. Mata pelajaran mempunyai
kejelasan sesuatu yang baru; ini memegang dalam ketidakeksplorasian hubungan dengan
kemungkinan-kemungkinan yang setengah dijelaskan oleh pandangan sekilas dan setengah
disembunyikan oleh kekayaan bahan… Emosi romantic secara esensi dari konsekuensi
kegembiraan diatas peralihan dari fakta-fakta sederhana ke perwujudan-perwujudan dari
makna hubungan yang belum dijelajahi.

Ketika sesuatu memberikan kita kesenangan, kita cenderung mempelajarinya lebih hati-hati.
Ini juga bisa terjadi, pastinya, bahwa tingkatan dari romance dikarakterisasi lebih oleh teka-
teki dan intrik ketimbang kesenangan. Namun, proses dalam menemukan bisa menyenangkan
karena seseorang benar-benar mau belajar, dan hasil akhirnya adalah dalam bentuk kepuasan
yang sangat dalam.

Sangat memprihatinkan hati sekali untuk membaca surat-surat dari tahun 60-an sampai awal
70-an, dimana pada waktu itu banyak sekali semangat besar untuk melakukan perubahan nyata
dalam persekolahan. Kritikan pada waktu itu membantah ketanpa pertimbangan dan kejenuhan
yang mengkarakteristik kebanyakan kelas. Anne Long menuliskan:
Saya secara menyeluruh teryakini bahwa 95% dari “pengajaran akademik” yang terus diadakan
di sekolah-sekolah umum adalah sangat tidak berarti apa-apa kepada anak-anak yang
mempelajarinya. Bahwa pelajaran-pelajaran nyata yang anak-anak pelajari harus belajar
dengan pembelajaran yang tidak menyenangkan, kurangnya keriangan dalam buku-buku,
kebosanan dalam mengerjakan soal-soal aritmetika, kejenuhan dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari orang lain sebagai ganti dari pertanyaan mereka sendiri, jarak yang luas antara
diri mereka dan gurunya, antara hal-hal yang berarti dalam hidup mereka dan sekolah mereka.
Seraya seorang anak muda mengatakan ini pada saya: “Berada di sekolah sama seperti di dalam
bis; kamu duduk di sana dan melihat dunia berlalu, dan anda tidak dapat beranjak sampai
03.15.”

Lebih dari tiga puluh tahun kemudian, sekolah masih saja membosankan, dan di beberapa cara,
dewasa ini justru bertambah buruk dibandingkan pada tahun 60-an, ketika para pembaharuan
sedang meneriakan perubahan. Pengaruh dari ujian terstandar telah membuat tumpulnya Jalan
kehidupan. Para murid dan guru ditangkap dalam kampanye maut yang sangat serius untuk
mengumpulkan fakta-fakta dan keterampilan yang mudah diuji. Bahkan bila nilai terus naik
dalam beberapa tahun nanti (dan itu tidak sama sekali pasti), ini tidak jelas seberapa banyak
pembelajaran yang awet akan dilaksanakan.

Sebagai tambahan dalam kesenangan, kita setuju dengan J.S. Mill, bahwa ketiadaan dari rasa
sakit mengontribusi kebahagiaan atau, paling tidak, rasa sakit itu membuat kita tidak bahagia.
Dalam mengurangi rasa sakit, kita telah, dapat dibantah, telah membuat beberapa kemajuan.
Pembaca sekarang telah digemparkan oleh tanda-tanda penghancuran jiwa ditujukan kepada
apar siswa (dan tentang para siswa) oleh para guru bahkan sejak 30 tahun yang lalu. Para guru
harus, dan untuk yang ingin jadi guru, lebih hati-hati dan penuh perhatian sekarang, namun
banyak penyimpangan yang tersisa. Keterangan-keterangan sarkasme dan penghinaan tidak
mendapatkan tempat di dalam kelas, namun mereka terus saja terjadi.

Sebagai guru dan orang tua, terkadang kita membebankan rasa sakit di atas anak-anak kita dan
para murid secara tidak sengaja. Kita semua adalah makhluk yang tidak sempurna, dan tak ada
harapan untuk menghilangkan rasa sakit yang menemani interaksi antar perbedaan dalam
kekuatan. Namun, kita bisa bekerja untuk menguranginya, dan kita dapat menganalisis semua
yang kita lakukan dengan sebuah mata yang mengarah pada penghilangan ini jika
memungkinkan. Bila secara pribadi kita salah, kita dapat mengakuinya dan meminta maaf.
Ketika susunan persekolahan salah, kita dapat merubahnya.

Contoh yang sederhana mungkin dapat membantu. Jules Henry mengatakan sebuah cerita
tentang seorang anak laki-laki, Boris, yang terkungkum dalam mencoba untuk mengurangi
fraksi 12/16. Ia dapat sejauh 6/8 dan tak dapat maju lebih jauh. (Ini seharusnya akan menjadi
menarik untuk dicari tahu apa yang menahannya. Apakah ia berpikir bahwa, bila anda membagi
sekali oleh 2 dalam sebuah masalah yang diberikan, anda tidak diijinkan untuk melakukannya
lagi? Hal-hal aneh telah terjadi dalam kelas matematika). Anak yang lain, Peggy, berhasil
dalam tugasnya. Henry menandakan bahwa “kesalahan Boris telah membuat kemungkinan
Peggy untuk berhasil.”
Kebanyakan anak tidak mengambil kesalahan-kesalahan kecil itu secara serius, namun
kecelakaan-kecelakaan itu dilakukan adakalanya menyebabkan penderitaan yang sebenarnya,
and ada Jalan untuk menguranginya. Pertama, kita mungkin menolak untuk menggabungkan
kedalam panggilan dingin, latihan dalam memanggil para anak yang belum sukarela. Namun,
guru yang berhati-hati mungkin menolak, kita ingin melibatkan seluruh siswa, dan beberapa
tidak akan sukarela. Lalu apa? Kita dapat meminta murid secara berpasangan untuk
mengerjakannya dan mempresentasikan pemecahannya. Saya menggunakan strategi ini di
akhir karir saya sebagai guru matematika, dan saya berharap untuk memikirkannya sedari dulu.
Saya akan meminta beberapa pasangan untuk mengerjakan persoalan-persoalan itu di papan
dan yang lain mengerjakan di bangku mereka masing-masing. Lalu kita akan mendengar
masing-masing penjelasan tiap pasangan, tidak apa-apa bila sedikit mandeg, dan saya sering
membantu satu pasangan untuk melengkapi pemecahan mereka. Karena yang lain sedang sibuk
dan saya berpindah dari satu kelompok ke yang lain, tak ada yang memperhatikan campur
tangan saya. Ini mengejutkan seberapa lebih mudahkah untuk menerima kesalahan kecil yang
dibagi bersama-sama (dan bahkan tidak diharapkan sebagai kesalahan dari guru), dan
kesuksesan tidak dihilangkan dengan membaginya dengan yang lain.

Di kampus, saya menggunakan solusi pertama. Saya mengatakan kepada para mahasiswa di
permulaan bahwa saya, sebagai bagian yang penting, ada pada kemurahan hati mereka karena
saya tidak akan memanggil orang yang belum bersukarela. Mungkin, sebagai hasilnya,
bersantai-santai, bermimpi di siang hari, dan kehilangan kesempatan-kesempatan penting
untuk belajar, namun setidaknya mereka tak perlu takut. Saya tidak mau pembelajaran
dihubungkan oleh rasa sakit dan ketakutan.

Apakah ini memecahkan masalah dalam menyelamatkan para siswa yang bingung atau salah
dari rasa malu? Tidak! Siswa yang bersukarela mungkin saja salah, bingung, atau bahkan
menjengkelkan terhadap komentar-komentar mereka. Beberap guru menanggapi komentar
para siswa dengan “bagus” dan lalu memanggil murid lainnya yang jawabannya juga “bagus”.
Strategi ini mungkin dapat menghindari beban rasa sakit, namun ini sangat kurang untuk
memajukan kompetensi para siswa, dan pembangunan kompetensi intelektual adalah aspek
yang sangat penting dari kebahagiaan pribadi. Para guru harus mencari lebih banyak lagi cara-
cara jujur untuk merespon. Seseorang mungkin akan berkata “Kurang bagus” atau “ayo kita
perbaiki sedikit”, atau “idenya bagus, namun ada X kesalahan” atau “bisakah kamu tulis sedikit
lebih halus?” atau “bolehkah saya bertanya sesuatu ?”. Ini meminta beberapa keterampilan seni
dan beberapa pengetahuan dari tiap siswa untuk mencari sebuah jawaban yang jujur, suportif,
dan sangat membantu semua kelas. Tak ada guru yang pernah meraih kesempurnaan di
pekerjaan yang krusial ini.

Atmosfer kelas harus mencerminkan hasrat universal untuk bahagia. Harus ada rasa sakit yang
sangat kecil (dan tak ada beban yang sangat bebas), banyak kesempatan untuk kesenangan, dan
pengenalan jelas dari hubungan antara pembangunan yang diinginkan dan kebahagiaan.

Pembangunan karakter dapat dibantu oleh campur tangan langsung. Tidak hanya guru harus
menahan diri dari membebani rasa sakit namun mereka juga harus menghentikan para siswa
dari memberikan rasa sakit kepada yang lain. Metode yang dijelaskan lebih dini dari campur
tangan langsung, penjelasan, dan menunjukkan sebuah jalan yang lebih baik harus dipakai
ketika pelnggaran-pelanggaran terjadi. Cerita-cerita dapat dipakai juga, namun mereka harus
mengundang pemikiran kritis, tidak buta dalam kekaguman dan perlombaan.

Tiap siswa perlu tumbuh secara intelektual dalam perasaan bahwa tiap orang harus belajar
untuk memakai pikirannya dengan baik di semua urusan di hari-hari mereka dan dalam sebuah
bidang belajar yang terpilih. Juga, karena karakter adalah sebuah arena yang semua harus
berkembang dengan baik, kesempatan-lesempatan terhadap pemikiran kritis atas masalah-
masalah moral/sosial harus diperluas kepada semua orang. Dengan cara yang sama, pengertian
diri sendiri adalah sangat penting untuk kebahagiaan bahwa tidak ada kesempatan untuk
diskusinya harus dihilangkan. Untuk menangani semuanya dengan baik tak membutuhkan
pengorbanan dari mata pelajaran. Sebaliknya, ini menuntut sebuah perluasan dan pendalaman
dari mata pelajaran. Para guru harus membuat keputusan bijak tentang apa yang sangat penting
dan, bahkan, pilihan mereka biasanya harus ditawar-bukan terpaksa-dan ketertarikan siswa
harus mengindikasikan hal mana yang dikejar dan dalam.

Saya telah merujuk beberapa waktu, di sini dan bab-bab sebelumnya, kepada kritisme dan
harapan-harapan yang dibangun di tahun 60-an. Ide-idenya lalu ditawarkan dan terkadang
sangat liar, lebih sering indah. Itu semua tidak dialamatkan pada pertanyaan tentang bagaimana
menaikkan nilai tes terstandar namun ke pertanyaan yang lebih dalam untuk menjaga rasa ingin
tahu lebih hidup, membantu pembelajaran yang benar (Piaget’s developmental learning), dan
mempromosikan pertumbuhan umat manusia seutuhnya. Paul Goodman menyimpulkan jiwa
dari waktu-waktu dengan cara ini:

Tiap bagian dari pendidikan dapat dibuka untuk dibutuhkan, diinginkan, dipilih, dan dicoba.
Tak ada yang membutuhkan untuk dipaksa atau dimotivasi oleh keadaan luar oleh hadiah-
hadiah dan ancaman-ancaman… Apa yang akan diselamatkan adalah masa-masa muda yang
dibuang sia-sia dikurung, bermimpi, merusak, dan menyontek, dan penurunan dan penghinaan
penyalahgunaan dari guru-guru.

Saya tak akan beranjak lebih jauh untuk berkata bahwa tak ada yang butuh untuk dipaksa. Saya
mendorong, lebih baik, bahwa para pengajar meminta apa yang dibutuhkan untuk dipaksa dan
mengapa. Beberapa hal perlu dipaksa karena tak ada jiwa yang direpotkan bila mereka tidak
dipaksa. Hal-hal ini mengacaukan kurikulum, seperti yang Brunner katakan, dan harus
dibubarkan. Hal yang lain adalah dipaksa secara instrumental; itulah, kita harus menguasai X
(yang kita mungkin tidak suka) agar dapat meraih Y (yang kita inginkan). Biasanya, bentuk
dari pemaksaan ini lahir alamiah dalam aktivitas para siswa, namun terkadang para guru
mungkin harus memaksa sesuatu yang dipelajari. Pemaksaan mungkin dipakai, namun ini
selalu membutuhkan kerja ekstra, lalu, untuk menjaga hubungan kepercayaan dan perhatian.
Akhirnya, keturunan, sikap tak berbahaya mungkin harus dipaksa dalam hal untuk menjaga
seluruh siswa aman dan membantu mereka yang melakukan hal yang bahaya untuk
membangun moral diri lebih baik.

Ada kondisi lain dimana pemaksaan dibutuhkan. Anggaplah masalah yang dibahas sebelumnya
tentang siswa kelas tujuh yang belum dapat membaca. Perbaikan penyokong-penyokong
sekolah adalah benar dalam memaksakan bahwa kesalahan sekolah itu tak boleh ditolerir,
namun mereka mungkin salah dalam menganggap pembentukan dari standar yang eksplisit dan
tes yang terstandar akan memecahkan masalah. Terlebih, masalah-masalah sekolah dalam kota
tidak boleh mendikte model operasi untuk semua sekolah. Tentu saja, cara ini dalam menjalani
masalah tampak seperti membahayakan kesehatan sekolah tanpa membantu sungguh-sungguh
keterpurukan kegagalan itu. Bila, setelah sekian tahun “perbaikan”, kita menemukan bahwa
pencapaian telah maju sangat kecil atau tidak sama sekali dan para guru dan siswa tidak senang,
lalu kami akan telah menderita kehilangan yang sangat utama. Sesuatu harus dilakukan untuk
mereka yang tidak dapat membaca, namun solusinya adalah bukan dari tes terstandar untuk
semua orang.

Seraya Isaiah Berlin mengingatkan kita, terkadang kita harus mengorbankan seseorang yang
bagus untuk mendapatkan yang lain. Pengorbanan dari kebebasan dan kreativitas dalam
sekolah mungkin berguna bila ini meraih dasar pendidikan untuk anak-anak non-pembaca di
kelas tujuh. Orang tua yang perhatian yang takut akan kebahagiaan masa depan anak-anak
mereka mungkin mentolerir-bahkan dipaksa-pemaksaan di sekolah bila ini akan membantu
anak-anak mereka belajar. Ini sangat mudah bagi para orang tua yang baik untuk bertahan, dan
bahkan mengejek, metode-metode pemaksaan (hadiah, hukuman, hafalan, PR untuk
kedisiplinan) sering digunakan di sekolah-sekolah miskin, namun orang tua yang putus asa
akan mengijinkan sekolah untuk mencoba semuanya yang mungkin berhasil.

Daripada menggunakan metode pengajaran memaksa, kita mungkin melakukan lebih baik
untuk memisahkan mereka yang ingin belajar dari mereka yang tidak mau. Al Shanker baru-
baru ini membuat sebuah rekomendasi sepanjang garis-garis ini dan menerima pujian dan
kritikan tajam. Kritikan membuatnya untuk mengartikan bahwa kita harus saja menyerah
dengan banyaknya remaja yang menolak untuk mengerjakan tugas sekolah dan mengacaukan
kelas sehingga yang lain tak bisa belajar. Namun membedakan para remaja tidak termasuk
menyerah terhadap mereka. Ini berarti, pertama, menyediakan lingkungan belajar yang sangat
bagus untuk mereka para anak dan orang tua yang akan berjanji untuk berperilaku menunjang.
Ini berarti, yang kedua, bekerja secara cerdas dengan siswa-siswa yang mengecewakan-
membangun hubungan antara perhatian dan kepercayaan, menyediakan kurikulum yang
berhubungan, bekerja keras untuk meyakinkan mereka agar bergabung dalam pelajar-pelajar
yang rela. Ini sangat susah, pekerjaan yang penting. Melakukan ini jangan sampai mengurangi
pekerjaan penting yang sama dalam mendidik mereka yang sudah terpacu, atau paling tidak,
rela untuk belajar. Dalam sebuah rasa yang penting, dua usaha kependidikan ini adalah tugas
yang beda secara esensi.

Sekolah-sekolah umum tidak rela untuk mengenal dua tugas yang beda ini dan mengejar
mereka di berbagai skala yang efektif. Mereka menggantungkan dan mengeluarkan para siswa
namun tidak mengubah siswa yang nakal, dan siswa yang rela harus menderita karena
pengabaian. Beberapa kota sudah mencoba program vocer (yang sudah dilegalkan secara
undang-undang), namun program ini hanya dapat melayani sebagian kecil dari siswa yang
dengan susah menghadirkan sebuah solusi. Sekolah-sekolah umum mempunyai gedung,
karyawan, dan dana pengabdian untuk mengatasi masalahnya. Ini berarti merancang banyak
sekolah (atau bagian dari sekolah) sebagai pusat pembelajaran yang benar, sekolah yang siswa
dan orang tuanya harus mempergunakan dan, dalam penggunaanya, setuju untuk tingkat yang
dapat diterima dari koperasi dan industri. Harus ada semuanya di semua sekolah- sebanyak-
banyaknya untuk mengakomodir tiap anak yang menginginkan pendidikan, tak boleh ada anak
yang tertinggal karena ia tidak menang lotere, dan tidak ada anak yang harus dikeluarkan
karena ia mempunyai kesulitan belajar.

Yang lainnya mereka yang tidak akan setuju untuk berbuat tidak boleh dicampakkan atau
ditinggalkan hingga busuk di sekolah. Harus ada sebuah usaha intensif untuk mengajak mereka
dalam berpartisipasi di pendidikan mereka sendiri, dan pendidikan itu harus kaya dan
bervariasi, disesuaikan ke tiap individu. Ini mungkin membawa dengan cepat ke waktu kerja
yang penuh, perlakuan ekstensif untuk kecanduan atau masalah-masalah mental, atau
pendidikan lebih jauh.

Ini akan mengambil volume penuh (dan lebih) untuk memperlakukan masalah yang
menyinggung kesini, namun ide dasar adalah untuk bekerja secara sadar di tiap masalah, tidak
untuk mencoba solusi mereka melewati cara perbaikan. Kita dihadapi dengan beberapa
masalah, tidak hanya satu, dan satu solusi tidak memuaskan untuk memecahkan masalah yang
lain. Kualitas dari kehadiran masalah-masalah pengalaman, dan tidak semua orang tumbuh di
kondisi yang direncanakan. Seseorang mungkin akan berkata bahwa kebahagiaan sekarang,
sebagai tambahan untuk dihargai, adalah alat untuk kebahagiaan masa depan. Kita tahu bahwa
orang-orang sering tidak bahagia di sekolah atau di kelas yang tidak pas akan kebutuhan dan
ketertarikan mereka.

Ada beberapa strategi yang mungkin akan membuktikan manfaat umum. Pertama adalah untuk
memisahkan kesediaan dari ketidaksediaan, seperti yang disarankan sebelumnya. Lainnya
adalah sebuah kebijakan yang menekankan kontinuitas. Saya menyarankan di Bab 9 bahwa
para siswa dan para guru harus tinggal bersama untuk, misalnya, tiga tahun daripada satu tahun
yang terus. Kebijakan ini mungkin akan membuat masa dalam membangun hubungan dari
perhatian dan kepercayaan. Namun ini, juga, akan hilang kekuatannya bila ini diperintahkan.
Memaksa orang-orang untuk tinggal bersama akan saling berlawanan dalam produksi.
Keputusan untuk tinggal bersama dalam dibuat dalam kesepakatan yang saling
menguntungkan.

Mengapa tidak mencoba vocer sebagai solusinya? Pertama, tanpa sebuah perkembangbiakan
yang sangat besar dari sekolah-sekolah swasta, vocer rencana tidak dapat menyediakan sebuah
solusi untuk siswa dalam jumlah besar. Kedua, ciri khas terbaik dari vocer rencana-beberapa
pilihan dalam pemilihan sekolah-dapat ditangani secara efektif kedalam sistem publik. Ketiga,
penggunaan vocer mendukung sebuah konsep pendidikan sebagai pengguna barang daripada
sebuah barang umum. Ini sangatlah berbahaya.

Saya ingin mengatakan lagi dari keberatan terakhir dari vocer rencana dan setiap bentuk dari
privatisasi. Pada Bab 11, kita melihat sebuah cara demokratis dari dukungan-dukungan
kehidupan-paling tidak secara tidak langsung-baik kebahagiaan individu dan kolektif. Sekolah-
sekolah umum diimpikan sebagai alat untuk pemeliharaan demokrasi. Ini mungkin terlihat
aneh pada awalnya bahwa seorang pengagum radikal tahun 60-an telah mengaku tidak akan
antusias tentang perkembangbiakan alternatif, sekolah-sekolah yang dijalankan secara privat.
Apa yang dapat lebih demokratis daripada sebuah pilihan-pilihan variatif dalam persekolahan?
Saya sudah menganjurkan bahwa alternatif-banyak alternatif-harus disambut kedalam sistem
publik.

Mengapa tidak pergi lebih jauh dari apa yang ditawarkan sekolah-sekolah umum? Mengapa
tidak menyendiri? Saya akan memperdebatkan bahwa sekolah publik telah berdiri lama antara
negara dan orang tua sebagai pihak advokat bagi si anak. Orang tua tidak memiliki anak-
anaknya sendiri;begitu juga untuk negara. Bila para orang tua diijinkan untuk menggunakan
dana publik untuk mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang dijalankan oleh institusi
agama, beberapa anak (mungkin banyak) akan sangat berkurang kesempatan-kesempatan yang
dipromosikan oleh sekolah umum. Bayangkan, sebagai contoh, apa yang akan terjadi kepada
banyak anak perempuan yang orang tuanya memilih sekolah yang fundamental untuk
pendidikan mereka. Ini sudah jelas adalah hak orang dewasa untuk memilihkan sekolah
pembangunan agama bagi anak-anak mereka namun, seperti yang diutarakan Justice William
Douglas dalam perselisihan pendapat bahwa kaum Amish untuk menghindari anak-anak
mereka akan sekolah tinggi, beberapa hal yang lahiriah dan institusi harus mempertimbangkan
hak-hak para anak. Sekolah umum hal yang terbaiknya adalah institusinya. Orang tua bisa
mengarahkan pendidikan agama anak-anak mereka, namun sekolah umum harus memberikan
pengetahuan yang sangat luas untuk para anak dan ketrampilan-ketrampilan kritis untuk
menentukan kedewasaan mereka.

Walaupun sebuah ujian yang seksama dari berita-berita melebihi cakupan dari buku ini, para
pembaca harus mempertimbangkan dua keputusan yang saling terhubung yang menunjang
pertanyaan dari hak-hak para anak. Kita mungkin bertanya apakah keputusan untuk
mengijinkan sekolah swasta adalah tepat dalam sebuah demokrasi liberal. Setelah semuanya,
keputusan itu menyarankan bahwa pendidikan adalah benar-benar pengguna barang. Kedua,
mungkin kita akan bertanya apakah mengharapkan sebuah perananan yang sangat besar dari
pemerintah federal dalam pendidikan adalah gerakan yang bijak. Kedua keputusan itu biasa
disambut oleh pihak liberal, namun saya pikir keduanya mungkin akan ditanyakan dikisaran
liberal. Yang pertama memberikan terlalu banyak kekuatan kepada orang tua, dan yang kedua
memberikan terlalu banyak kepada negara.

Di Keputusan Pengadilan Tinggi baru-baru ini (Zelman v. Simmons-Haris), sebuah mayoritas


dari keadilan-keadilan yang diputuskan bahwa vocer program Cleveland adalah menurut UUD,
walaupun ini mengijinkan uang sekolah-sekolah umum untuk digunakan dalam pembayaran
uang sekolah di sekolah-sekolah agama. Ini adalah sebuah kasus yang berselisih opini mungkin
akan menjadi sejarah yang signifikan. Justices Stephen Breyer, David Souter, dan John Paul
Stevens mengutarakan ketakutan bahwa keputusan akan memicu kepada perselisihan agama.
Justice Breyer menuliskan:

Dalam masyarakat tersusun dari banyak keyakinan, saya takut bahwa masa yang sekarang ini
berangkat dari pemahaman pengadilan akan berisiko konflik agama yang berpotensi
mengganggu struktur sosial nasional.
Konflik itu, jika ini menjadi kenyataan, pastinya akan membahayakan kehidupan demokrasi
kita dan, lalu, kebahagiaan kita bersama. Karena sekolah agama di beberapa bentuknya juga
mempunyai potensi untuk menghalangi pembangunan penuh seorang individu, ini tidak boleh
didukung oleh umum secara besar.

B. Mengevaluasi Kerja Kita

Bila kita menerima kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan, kita akan tersadar dengan
kualitas pengalaman di masa sekarang dan mungkin kontribusinya untuk kebahagiaan di masa
depan. Semua yang kita lakukan akan dievaluasi untuk memecahkan tujuan ini dan yang lain
yang telah ditaksir sampai cocok untuk ini. Seperti yang kita lihat di Bab 4, ada dari mereka
yang tidak mengindahkan tujuan berbicara sebagai hal yang membosankan dan tidak relevan,
namun ini adalah kesalahan yang besar.

Tanpa pencerminan berkelanjutan dari tujuan-tujuan itu, pendidikan menjadi hanya “apa yang
ada di sekolah”, dan kita hanya mengukur kesuksesan menjadi seberapa sukseskah kita dari
apa yang kita pikir adalah yang kita lakukan. Dewasa ini pengukuran tersebut telah menjadi
standar penilaian tes di hampir tiap sekolah. Tidak ada gunanya dikatakan, ujian-ujian ini tidak
menaikan kualitas dari pengalaman sekarang baik di hari pelaksanaan mereka atau di minggu-
minggu terdahulu. Apakah mereka mengontribusi untuk kebahagiaan di masa yang akan
datang? Baiklah, lihatlah di ujian-ujian itu. Apakah penguasaan materi di hal manapun penting
untuk kebahagiaan seorang dewasa? Bila tidak, kita harus bertanya mengapa materi ini
semuanya ada di dalam kurikulum. Jika iya-mungkin karena ini dibutuhkan untuk pencapaian
dari tujuan yang terhubung atau tujuan yang cocok-kita harus bertanya apakah ada cara lain
untuk menunjukkan bahwa anak-anak telah belajar materinya, seseorang melalui guru yang
telah ahli secara profesional. Setelah semua, kebahagiaan guru-guru juga penting, dan guru-
guru yang bahagia mungkin juga akan menghasilkan anak-anak yang bahagia. Keduanya harus
dibenarkan dengan menghargai tujuan-tujuan.

Mari kita mulai pembahasan-pembahasan ini dengan sebuah contoh yang terkenal, sekali saya
mengamanatkan secara singkat di keterangan-keterangan lalu. Puisi diajarkan di sekolah tinggi
berkelaskan Bahasa Inggris. Mengapa? Kritik yang tidak sabar dengan tujuan berbicara
mungkin akan merespon bahwa sekarang dan akan selalu menjadi bagian dari kurikulum. Jelas
ini adalah jawaban yang sangat tidak memuaskan. Yunani dan Latin pernah menjadi bagian
dari kurikulum, namun sekarang sudah jarang. Mengapa mereka dihilangkan ? Bila
jawabannya adalah orang-orang sudah tidak membutuhkannya lagi dan bahwa fakta itu cukup
untuk menghilangkannya, lalu pertanyaan tentang siapa yang membutuhkan puisi mungkin
bisa ditanyakan. Melibatkan dalam tujuan berbicara yang penuh dengan pertimbangan
mungkin akan menimbulkan beberapa pengajar untuk menganjurkan menunda puisi karena ini
tidak memiliki nilai ekonomis, namun yang lain akan mendebatkan (yang saya lakukan
sebelumnya) bahwa puisi mungkin akan menawarkan kearifan dengan baik and menjanjikan
kesenangan yang luar biasa abadi.

Jika kita menerima alasan ini untuk memasukkan puisi ke dalam kurikulum, bagaimana kita
harus mengajarkannya ? Para siswa harus mendapatkan kesenangan dari pengalaman mereka
dengan puisi, dan harus ada waktu untuk membahas eksistensi pertanyaan yang besar yang
mengalamatkannya. Beberapa siswa tidak pernah akan mendengar sebuah ekspresi kerinduan
jiwa dari seorang kafir dan akan tenggelam jauh oleh puisi dari Thomas Hardy. Beberapa akan
menolak berpartisipasi dalam perang setelah membaca cerita misteri yang digambarkan oleh
puisi Perang Dunia I. Beberapa akan tertarik ke tempat yang indah oleh puisi. Beberapa
mungkin ingin membaca mitos-mitos besar yang disinggung oleh puisi. Beberapa akan
mencintai puisi dengan sendirinya dan akan memiliki pengalaman yang lebih jauh.
Kemungkinannya sangat banyak, namun aktualisasi mereka tergantung pada bagian yang
bagaimana puisi ini ditampilkan dan diterima. Bila tujuan dari mengajar puisi adalah untuk
kesenangan dan kearifan, lalu metode ilmu pendidikan yang dipilih harus membuat akhir yang
diinginkan. Ini berarti juga bahwa, dalam memonitor pengaruh-pengaruh kerja, kita akan
melihat akan tanda-tanda kepuasan, pemikiran yang dalam, dan keinginan untuk membaca
lebih banyak dan mendengar lebih banyak pula.

Mempertimbangkan contoh yang lain. Guru-guru pengarah studi sosial biasanya mengatakan
bahwa tujuan utama mereka adalah diorientasikan pada kemampuan dan proses. Mereka ingin
para siswa untuk mampu menggunakan peta secara efektif, membaca diagram dengan
pemahaman yang mumpuni, mencari bukti dan mengaplikasikannya secara logis untuk
mendapatkan fakta-faktanya, untuk mendapatkan kompetensi dalam menaksir argument, dan
untuk memahami hubungan yang rumit antar iklim, tempat, dan budaya. Kita dapat
menambahkan beberapa tujuan akhir dari tipe ini. Apakah ini masalah, lalu, konten apakah
yang dipilih sebagai perlakuannya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut? Jawabannya
bergantung pada hal lain apa yang sedang kita coba untuk dapatkan. Bila kita peduli akan
beberapa kejadian dunia yang penting, kita mungkin akan memilih isi yang bertemu dengan
perhatian dan proses dari tujuan kita.

Karena kita mempertimbangkan isi, kita mungkin melihat bahwa banyak topik yang mungkin
memuaskan kriteria kita. Sebuah kesempatan yang bagus tumbuh bagi para siswa untuk
memilih isi yang menarik bagi mereka. Ini tidak perlu untuk seluruh kelas untuk berbaris di
sepanjang satu topik. Karena ini sangat sulit untuk seorang guru mengatur 25 atau 30 topik
yang berbeda, ia mungkin akan menyuruh para siswa memilih satu dari lima topik yang akan
digunakan oleh guru untuk mengatur bahannya. Sekelompok siswa yang telah memilih sebuah
topik tertentu akan kerja bersama, membagi kerja lebih lanjut dan berbagi hasil satu dengan
yang lain dan, akhirnya, dengan seluruh kelas. Tujuan yang diberikan tentang menguasai
proses, pengajar harus yakin bahwa materi yang disediakan kaya akan relevansi dan
ketertarikan, dan ia harus menaksir kemajuan kerja para siswanya ke harapan yang dinyatakan.
Perhatikan bahwa ini bukanlah sebuah debat untuk proses atas atau berlawanan dari isi. Ini
adalah sebuah perbedebatan dari bagaimana caranya untuk memproses bila kita telah memilih
tujuan-tujuan dari proses.

Namun bahkan tujuan-tujuan proses yang kita mulai harus dibenarkan dengan mematuhi
tujuan-tujuan. Tujuan-tujuan apa yang mereka rancang untuk diraih? Guru-guru ilmu sosial
terkadang mencoba untuk membenarkan seluruh kurikulum pelajaran sosial dalam hubungan
kemasyarakatan. Beberapa berpikiran jauh bahwa sejarah Amerika diajarkan karena
mempelajarinya dapat menjadikan masyarakat yang lebih baik. Apa benar? Tuntutan
membutuhkan banyak argument yang baik atau beberapa bukti empiris yang meyakinkan.
Yang kedua itu tidak tersedia, dan kita sangat jarang meminta yang pertama.

Di antara tujuan-tujuan proses yang disebutkan ada dua yang fokus kepada bukti dan
argumentasi. Semua ini dapat disangkut-pautkan kepada kemasyarakatan, dan itu dapat juga
dihubungkan kepada kebahagiaan melalui macam argumentasi yang saya tawarkan di Bab 11.
Mereka adalah tujuan-tujuan yang mencerminkan kebutuhan dari para masyarakat dalam
demokrasi liberal, dan ketika mereka diraih, mereka mengontribusi kepada penanganan sosial.

Bagaimana dengan keterampilan pemetaan? Ini dengan mudah dikatakan bahwa keterampilan-
keterampilan tersebut bagaimanapun juga perlu untuk kemasyarakatan. Kita dapat
membenarkan beberapa keterampilan peta dasar bahwa mereka mengontribusi kepada
kompetensi yang diminta dalam sebuah kompleks, mobilitas sosial yang tinggi. Sebagai
contoh, anak-anak kota mungkin butuh untuk mengetahui bagaimana cara membaca peta
bawah tanah. Para remaja belajar untuk mengemudi perlu untuk membaca peta. Apakah
mereka juga butuh beberapa kesamaan dengan peta dunia, garis lintang dan garis bujur, sifat-
sifat fisis, skala, dan aspek-aspek umum dalam peta? Jawaban yang bagus adalah “Tentu saja”;
pengetahun itu adalah bagian dari kemampuan membaca. Jawaban itu tidak cukup.

Ini tidak akan terjadi hari ini untuk menyatakan bahwa sebuah keterampilan atau sedikit
informasi adalah bagian dari melek huruf dan oleh karena itu dibenarkan sebagai isi dari
kurikulum. Konsep dari melek huruf mencakup terlalu banyak wilayah. Kita semua tahu hal
yang telah kita ambil dalam upaya untuk bisa melek huruf dan banyak lagi yang kita lanjutkan
untuk tumbuh karena kita melek huruf dalam rasa yang kita punya perlu dari keterampilan
berkomunikasi. Namun kita semua tidak tahu hal-hal yang sangat sama, dan ini tidak layak
untuk diperdebatkan bahwa hal yang saya tahu juga harus anda tahu. Kita mungkin akan
terkejut oleh penyangkalan para orang dewasa bila ia tidak menaruh Eropa di dalam peta dunia,
namun kita tidak akan menyatakan bahwa ia buta huruf.

Baiklah, lalu, haruskah keterampilan membaca peta (yang kita deskripsikan secara bebas,
bukan didefinisikan) diurutkan dengan topik-topik lain yang menarik yang mungkin sekolah-
sekolah tawarkan namun tidak memaksa? Tidak diragukan lagi beberapa dari mereka harus
menjadi salah satu dari hadiah yang sering kita berikan kepada anak-anak kita, dan beberapa
mungkin akan diminta dari para siswa yang telah mengekspresikan ketertarikan di bidang-
bidang yang mana keterampilan-keterampilan itu perlu. Akan tetapi, kita dapat
memperdebatkan lebih kuat lagi bahwa beberapa topik yang terkait dengan peta sangat perlu
sekali bagi para siswa. Mendebatkan sejarah dan geografi dalam kurikulum, Dewey
mengilustrasikan seperti ini:

Saat geografi menekankan bagian fisis dan sejarah sosial, semua ini hanya menekankan ke
dalam topik yang biasa, yaitu, kehidupan manusia yang saling terhubungkan. Untuk kehidupan
yang terhubungkan ini, dengan percobaannya, cara-cara dan arti-artinya, pencapaian dan
kegagalannya, tidak pergi ke langit atau hilang. Ini hanya terjadi di bumi.

Karena kehidupan manusia yang terhubung terjadi di bumi, Dewey memasukkan sejarah
alamiah dengan geografi dan sejarah. Saya telah dengan kuat memperdebatkan (Bab 6) bahwa
sejarah alamiah harus menjadi bagian dari kurikulum, tidak hanya karena ini menyediakan
sebuah dasar untuk studi lingkungan namun juga karena kecintaan akan tempat yang
mengontribusi banyak untuk kebahagiaan manusia.

Sejarah, geografi, dan sejarah alamiah menawarkan janji akan pemahaman diri di tingkat
kelompok dan seluruh umat manusia, dan pemahaman diri adalah sangat penting untuk
kebahagiaan masyarakat dan pribadi. Perhatikan, bagaimanapun juga, bahwa saya akan
menyangkal diri saya sendiri jika saya sekarang mengatakan bahwa kita telah membenarkan
sejarah dan geografi dalam kurikulum. Kita tidak melakukan hal itu. Kita telah membenarkan
sebuah pencarian yang hati-hati melalui sejarah dan geografi untuk topik-topik yang mungkin
meningkatkan “kehidupan manusia yang saling terhubung”. Secara sederhana tentang
kehidupan manusia yang terhubung adalah pembenaran yang tidak cukup untuk memasukkan
sebuah topik ke dalam kurikulum. Menemukan topik yang terbaik adalah tugas yang sangat
mengasyikan. Melakukan ini berarti, paling tidak, bahwa ketika kita mempelajari hal-hal fisis
dari sebuah tempat, kita juga melihat orang-orang dan makhluk hidup lainnya yang kita sebut
sebagai rumah, dan kita mempelajari sesuatu tentang apa yang terjadi di masa lalu dan apa
yang akan terjadi di masa yang akan untuk membuat hidup lebih baik.

Saya ingin mengatakan lagi mengenai pelajaran membaca peta, kalau para pembaca berpikir
saya menganggap ini tidak penting. Pengajar pelajaran sosial harus membahas dan menentukan
dengan tepat keterampilan dan informasi apa yang perlu. Namun ini tlah menjadi pengalaman
saya bahwa anak-anak suka bekerja dengan peta. Mata-mata mereka akan bersinar seraya
mereka denggan rajin dan penuh rasa ingin tahu mengamati dan membaca peta itu. Bekerja
dengan peta adalah salah satu pekerjaan yang sangat menyenangkan yang memicu hal-hal di
luar ke dalam topik-topik yang menarik-kebiasaan-kebiasaan budaya, kehidupan binatang dan
tumbuhan, penjelajahan, perjalanan, iklim, misteri, kata-kata aneh dan tempat-tempat yang
eksotis, arkeologi, dan bencana alam. Kekayaannya yang potensial ini adalah sebuah ujian yang
penting dari sebuah pelajaran yang penting. Terlebih lagi, banyak yang dipelajari dalam
hubungan dengan peta dapat di, dan harus di pelajari secara informal. Peta harus tersedia di
tiap kelas, dan para siswa harus terdorong untuk bersenang-senang dengan peta-peta itu.

Seraya kita memilah-milah volume materi, kita memilah isi menjadi apa yang harus diminta,
yang menyediakan kesempatan-kesempatan untuk pilihan siswa, dan yang akan ditawarkan
secara bebas sebagai hadiah untuk memperkaya pikiran dan bahasan. Di dua kategori nanti,
kita mengundang partisipasi siswa; kita tidak memaksa. Lalu pilihan-pilihan ilmu pendidikan
kita harus diperiksa terhadap tujuan-tujuan dan kategori dari isi yang sudah disebutkan. Jika
tujuannya memerintahkan pilihan dari sebuah topik tertentu adalah untuk memperkenalkan
para siswa untuk sesuatu yang mungkin akan mereka nikmati bahkan menemukan kesenangan
yang kekal lalu kita tidak memaksa, buatlah tugas-tugas yang spesifik dan berikanlah ujian-
ujian dari materi ini.

Anda mungkin juga menyukai