Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DENGAN DIAGNOSA MODERATE CHOLANGITIS PADA NY. M DI


RUANG 18 RSSA MALANG

Disusun Oleh:

Firdha Aprillia
201810461011048

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDY PENDIDIKAN PROFESI NERS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
1. DEFINISI
Kolangitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam, sakit kuning,
dan nyeri perut yang berkembang sebagai akibat dari stasis/sumbatan dan infeksi di
saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot sebagai penyakit
yang serius dan mengancam jiwa, namun sekarang diakui bahwa keparahan dapat
berkisar dari ringan sampai mengancam. Koledokolitiasis atau adanya batu diadalam
saluran empedu/bilier merupakan penyebab utama kolangitis akut (Kimura, et al.,
2007).
Istilah kolangitis, kolangitis bakterialis, kolangitis asending dan kolangiti
supuratif semuanya umumnya merujuk pada infeksi bacterial saluran bilier , serta untuk
membedakannya dari penyakit inflamasi saluran bilier seperti kolangitis sklerosis
(sclerosing cholangitis). Dari beberapa pendapat diatas Makmun Wicaksono
menyimpulkan bahwa cholangitis adalah infeksi akut oleh bacteri pada saluran empedu
yang diakibatkan kolonisasi atau perkembangan bacteri dalam saluran empedu, hal
tersebut dikarenakan ada stagnasi aliran garam empedu dari kantung empedu akibat
adanya sumbatan seperti kolelithiasis, striktur saluran empedu, sirosis hati dan lain lain
(Rani & Syam, 2011). Tingkat keparahan kolangitis akut dapat diklaasifikasikan menjadi
3 kelas yaitu kelas 1 (mild,ringan), kelas 2 (moderate,sedang), kelas 3 (severe,berat) atas
dasar dua faktor klinis timbulnya disfungsi organ dan respon terhadap perawatan medis
awal.

2. ANATOMI
Kandung empedu merupakan kantong otot kecil yang berfungsi untuk menyimpan
cairan empedu (cairan pencernaan berwarna kuning kehijauan yang dihasilkan oleh hati).
Kandung empedu memiliki bentuk seperti buah pir dengan panjang 7-10 cm dan
merupakan membran berotot. Terletak didalam fossa dari permukaan visceral hati.
Kandung empedu terbagi kedalam sebuah fundus, badan dan leher. Nama lain dari
kandung empedu adalah Gallbladder, yakni tempat cairan empedu dikumpulkan sebelum
disekresikan kedalam usus halus (Brunicardi, 2005). Bagian-bagian dari kandung
empedu, terdiri atas:
 Fundus vesikafelea, merupakan bagian kandung empedu yang paling akhir setelah
korpus vesikafelea.
 Korpus vesikafelea, bagian dari kandung empedu yang didalamnya berisi getah
empedu. Getah empedu adalah suatu cairan yang disekeresi oleh sel hati sebanyak
500-1000 cc setiap harinya, sekresinya berjalan terus menerus, jumlah produksi
cairan empedu dapat meningkat pada saat mencerna lemak.
 Leher kandung empedu. Merupakan saluran pertama tempat masuknya getah
empedu ke badan kandung empedu lalu berkumpul dan dipekatkan dalam
kandung empedu.
 Duktus sistikus merupakan lanjutan dari vesika fellea, terletak pada porta hepatis
yang mempunyai panjang kira-kira 3-4 cm. Pada porta hepatis duktus sistikus
mulai dari kollum vesika fellea, kemudian berjalan ke postero-kaudal di sebelah
kiri kollum vesika fellea. Lalu bersatu dengan duktus hepatikus kommunis
membentuk duktus koledokus. Mukosa duktus ini berlipat-lipat terdiri dari 3-12
lipatan, berbentuk spiral yang pada penampang longitudinal terlihat sebagai
valvula disebut valvula spiralis (Heisteri).
 Duktus hepatiku berasal dari lobus dexter dan lobus sinister yang bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis pada porta hepatis dekat pada processus
papillaris lobus kaudatus. Panjang duktus hepatikus kommunis kurang lebih 3 cm
terletak disebelah ventral arteri hepatika propria dexter dan ramus dexter vena
portae. Bersatu dengan duktus sistikus menjadi duktus koledokus.
 Duktus koledokus mempunyai panjang kira – kira 7 cm dibentuk oleh persatuan
duktus sistikus dengan duktus hepatikus kommunis pada porta hepatis, dimana
dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pada kaput pankreas
duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus wirsungi membentuk
ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars desenden duodeni
membentuk suatu benjolan ke dalam lumen disebut papilla duodeni major.
3. ETIOLOGI
Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah koledokolitiasis, obstruksi struktur
saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bakteri memiliki akses ke saluran
bilier melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta. Infeksi akan naik menuju
duktus hepatikus menimbulkan infeksi. Peningkatan tekanan bilier akan mendorong
infeksi menuju kanalikuli bilier vena hepatica dan saluran limfatik perihepatik yang akan
menimbulkan bakteremia (Brunicardi et al, 2007).
Penyebab kedua kolangitis adalah obstruksi maligna dari saluran empedu oleh
karsinoma pankreas, metastasis dari tumor peri pankreas, metastasis porta hepatis. Selain
itu pemakaian jangka panjang stent biliaris sering kali disertai obstruksi stent oleh cairan
biliaris yang kental dan debris biliaris yang menyebabkan kolangitis.
4. TANDA GEJALA
Pengidap cholangitis sebagian besar kasus terjadi pada usia 50-60 tahun baik pria
atau wanita. Pada kondisi yang parah, cholangitis berisiko menyebabkan kematian jika
diabaikan atau tidak ditangani secara benar. Tingkat kematian akibat cholangitis
dilaporkan berkisar antara 13-88 persen. Bentuk akut penyakit dapat terjadi dengan latar
belakang komplikasi dengan obstruksi total kantong empedu. Sangat jarang semuanya
terjadi sebagai komplikasi choledoch. Gambaran klinis manifestasi meliputi malaise,
ikterus, sindrom nyeri pada skapula, lengan bawah. Semua ini bisa menjadi demam,
mual, muntah. Orang itu terganggu oleh kebingungan, ada hipotensi arteri.
Trombositopenia diamati pada pasien. Ini adalah manifestasi dari koagulopati
intravaskular.
Bentuk akut penyakit ini memiliki simtomatologi yang sedikit berbeda. Lebih
tepatnya, ia memiliki arus yang lebih akut. Pada kebanyakan kasus, orang terganggu oleh
gangguan dyspeptic yang terjadi tanpa demam dan sakit kuning. Sindrom sakit tidak ada.
Dalam interval antara eksaserbasi, simtomatologi sama sekali tidak ada. Jika hati juga
terpengaruh, maka semua tanda ditambahkan yang sesuai dengan ikterus parenkim.
Terkadang penyakit ini bisa mulai seperti sepsis. Jadi, seseorang dinyalakan oleh
dingin dan demam bergantian satu sama lain. Bentuknya yang parah disertai syok septik
dan gagal ginjal. Frekuensi demam tergantung pada patogen, yang memicu penyakit.
Sangat sulit untuk melewati kolangitis pneumokokus. Begitu hipertensi empedu
berkurang, simtomatologi menghilang. Selama eksaserbasi, hati mampu meningkat dalam
ukuran. Dalam keadaan kronis, semua disertai rasa sakit tumpul, perasaan tertekan, gatal,
ikterus ringan pada selaput lendir. Seringkali memanifestasikan dirinya sendiri dengan
subfebrile yang tidak termotivasi. Pada orang tua ada sindrom asthenic yang diucapkan.
Hal ini ditandai dengan demam dan nyeri.
Kolangitis kronis ditandai dengan aliran asimtomatik, yang disertai dengan bentuk
akut, namun hanya kadang-kadang. Kondisi ini ditandai dengan adanya demam, nyeri
kram parah di perut dan dada. Terutama yang terwujud adalah kelemahan, mual, muntah
dan penurunan tekanan darah yang tajam. Untuk gejala ini, adalah mungkin untuk
melakukan diagnosa.
Kolangitis kronis tidak memiliki gejala pertama, karena secara praktis tidak
bergejala. Inilah bahaya utama. Penyakit ini bisa menyebabkan koma ginjal. Karena itu,
jika ada ketidaknyamanan atau masalah yang terkait dengan perkembangan kolangitis,
ada baiknya mencari bantuan dari institusi medis. Bentuk kronis ditandai dengan
munculnya sindrom nyeri dengan intensitas yang bervariasi. Seseorang merasa lelah,
ditusuk oleh kulit gatal, juga demam. Seringkali ada kemerahan telapak tangan. Terminal
falang jari bisa menebal.
5. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis (Josh, 2006) terutama yang derajat tinggi
(kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut:
 Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak
dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua
sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada
saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan
kolangiolitis dengan akibat abses multiple.
 Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%).
Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama
penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan
utama sekitar 10-15% (Josh, 2006).
 Peritonitis sistem bilieR
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis.
Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang
mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal.
 Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau
pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan
yang sangat fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi
pada duktus.
 Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat
mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang
terjadi kadang susah untuk dikontrol.
 Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan
sistem bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu
dan usus besar bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut
menjadi infeksi aktif sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang
menyebabkan drainase tidak adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah
abses subp\frenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam
beberapa hari setelah operasi. Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian
kateter pada pasien yang diterapi dengan perkutaneus atau drainase endoskopik
adalah perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus) dan sepsis.
6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan berdasarkan derajat kolangitis (Erina et al, 2011):
 Kolangitis grade I
Pemberian terapi medikamentosa direspon dengan baik oleh pasien. Setelah itu,
dapat dipertimbangkan untuk melakukan drainase bilier dengan menggunakan
endoskopi, perkuatneus, ataupun drainase terbuka.
 Kolangitis grade II
Pada pasien ini tidak berespon baik dengan medikamentosa. Selain itu, muncul
tanda-tanda gagal organ. Pada pasien ini, dilakukan drainase bilier awal dengan
menggunakan endoskopi atau perkutaneus drainase. Terapi definitif dengan
menghilangkan sumber sumbatan dilakukan setelah kondisi klien stabil.
 Kolangitis grade III
Pada pasien ini memerlukan terapi suportif seperti ventilator, obat-obatan
inotropik,, terapi medikamentosa. Drainase bilier dilakukan secepatnya segera
setelah kondisi pasien stabil.
Penalaksnaan Konservatif
Penatalaksanaan awal kolangitis adalah terapi konservatif dimana keseimbangan
cairan dan elektrolit harus harus dikoreksi dan penggunaan antibiotik. Antibiotik
yang dipakai pada kasus ringan sampai berat adalah cephalosporin (misalnya
cefazolin, cefixitin). Pada kasus berat digunakan aminoglikosida ditambah dengan
clindamycin atau metronidazole. Saluran empedu yang mengalami obstruksi
harus didrainase sesegera munkin pada pasien dengan kondisi stabil.
Dekompresi Biliaris
Sebagian besar pasien (sekitar 70%) dengan kolangitis akut akan berespon
terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes
fungsi hati kembali ke normal dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak
menunjukkan perbaikan dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris
darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris
dilakukan segera secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun
perkutan. Yaitu:
 Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah
semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran
empedu dan nanah serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang
dipasang pipa nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter
lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan
batu ini. Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu
 Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada
batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama
satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung
empedu dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan
terapi invasif walaupun kerap disertai dengan penyulit.
 ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu
saluran empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi
dengan pencitraan flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi
endoskopik dan pemasangan kateter nasobiliaris untuk memasukkan material
kontras. Terapi dilanjutkan sampai terjadi penghancuran yang adekuat atau telah
diberikan pelepasan jumlah gelombang kejut yang maksimum (Josh, 2006).
 PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai
salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau
mengurangi ikterus berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan.
Pada pasien dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan
koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik
(Brunicardi, 2000).
Penatalaksanaan Definitif
 Kolesistektomi Terbuka
Merupakan operasi yang membutuhkan anestesi umum kemudian dilakukan irisan
pada bagian anterior dinding abdomen dengan panjang 12-20cm
 Teknik operasi kolesistektomi terbuka
Dilakukan dengan insisi subtotal kanan (Kocher) sebagai salah satu insisi yang
serbs guna dalam diseksi lambung empedu dan saluran empedu.
 Kolangiografi operatif
Dilakukan secara rutin untuk mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering
mengalami anomalidan untuk menyingkirkan batu empedu yang tidak dicurigai.
Kolangiografi dilakukan mengan menggunakan kanlua kangiografi seperti Berci
Lehman dn Colangiocath. Insisi dibuat di saluran sistikus Insisi harus cukup besar
untuk memasukkan kanula Kanula dipertahankan ditempatnya dengan hemoclip.
Kemudian material kontras dimasukkan yaitu hypaque 25%. Sistem operasi
kolangiografi adalah fluorokolangiopatidengan penguatan citra serta monitor
televisi. Ini memungkinkan pengisian saluran empedu secara lambat dan
pemaparan multiple saluran sistem saat diisi.
 Laparoskopi Kolesistektomi
Merupakan cara invasif untuk mengangkat batu empedu dengan menggunakan
teknik laparoskopi. Kontraindikasinya adalah sepsis abdomen, gangguan
pendarahan kehamilan.
 Eksplorasi koledokus: eksplorasi laparoskopi duktus empedu
Umumnya sebelum tindakan operatif batu duktus empedu dideteksi dengan
kolangiografi intraoperatif mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi
setelah sfingter oddi direlaksasikan dengan glukagon. Jika irigasi tidak berhasil,
dapat dilakuakan pemasangan kateter balon melalui duktus sisikus dan turun ke
duktus empedu.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian besar
pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau trombositopenia
kadang – kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar
penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin yang tertinggi
terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase dan transaminase
serum juga meningkat yang menggambarkan proses kolestatik (Shojamanes, 2006).
Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah:
 Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos
abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu
saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang
dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak
di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatika.
 Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di
dalam usus. Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena
bergerak sesuai dengan gaya gravitasi (Brunicardi, 2005).

Gambar. 2 Menunjukkan ultrasonografi dari duktus


intrahepatik yang mengalami dilatasi
 CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu
kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung
empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90 persen.
Gambar 3. CT scan yang menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan dilatasi duktus
pankreatikus (panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin

 ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang menggunakan
lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal. Endoscope
Retrograde Cholangiopancreotography (ERCP) dapat lebih akurat menentukan
penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati
penyebab obstruksi dengan mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.

Gambar. 4 Menunjukkan endoscope Cholangiopancreotography


(ERCP) dimana menunjukkan duktus biliaris yang berdilatasi
pada bagian tengah dan distal (dengan gambaran feeling defect)
 Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati dan
kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan
spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk melihat
duktus empedu dan duktus sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat
mengidentifikasi batu saluran empedu atau hanya dapat memberikan informasi
sesuai dengan letak anatominya. Agent yang digunakan untuk melakukan test
skintigrafi adalah derivat asam iminodiasetik dengan label
 Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier melalui prinsip
kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi yang lebih
jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes.
Kemudian kontras tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan
di ekskresi ke dalam empedu dan dikirim ke kandung empedu.
 Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien dengan
kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk menentukan
patologi biliaris dan penyebab obstruksi saluran empedu sebelum terapi definitif.
Jadi, kolangiografi jarang diperlukan pada awal perjalanan kolangitis dan dengan
demikian harus ditunda sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah
pasien yang datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap
antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi segera mungkin diperlukan
untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi retrograd endoskopik ataupun
kolangiografi transhepatik perkutan dapat digunakan untuk menentukan anatomi
atau patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan
kolangitis pada sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik
yang tepat harus diberikan sebelum instrumentasi pada semua kasus.
8. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
 Identitas
 Keluhan utama
Pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas nyeri tidak
menjalar /menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan nyeri seperti ditusuk tusuk
 Riwayat penyakit
 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu contohnya riwayat dari
keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis, seperti :
- Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
- Pasca cholecystectomy
- Manipulasi endoskopik atau ERCP cholangiogram
- Riwayat cholangitis sebelumnya
- Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids memliki cirri
edema bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier

 Riwayat penyakit sekarang


Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala
klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri abdomen kuadran lateral
atas. Gejala lain yang dapat terjadi meliputi: jaundice, demam, menggigil dan
kekakuan, nyeri abdomen tinja yang acholis.
 Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes
mellitus, hipertensi, anemia.
 Pemeriksaan fisik
 System pernafasan
Inspeksi : dada tampak, pernafasan dangkal klien tampak gelisah
Palpasi : vocal vremitus teraba merata
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
 System kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaphoresis
 System neurologi
Tidak terdapat gangguan pada system neurologi
 Sistem pencernaan
Inspeksi : tampak ad distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh mual
muntah
Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas nyeri
tekan epigastrium
 System eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
 System integument
Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
 System musculoskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP

Diagnose keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi
3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen
5. Dehidrasi berhubungan dengan mual muntah

a. Intervensi keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam nyeri berkurang
Criteria hasil :
- Keadaan umum normal pasien tampak nyaman
- Nyeri berkurang pasien tampak rileks ditunjukkan dengan skala nyeri 1-3
- Pasien melakukan managemen nyeri saat nyeri kembali datang
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses keperwatan
2. Observasi, catat lokasi dan skala nyeri dan karakter nyeri
R/ membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi
tentang kemajuan / perbaikan penyakit
3. Anjurkan pasien dalam posisi nyaman
R/ pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen
4. Anjurkan managemen nyeri distraksi relaksasi nafas dalam
R/ untuk melakukan koping pasien terhadap nyeri
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic
R/ untuk mengatasi nyeri
6. Observasi tanda tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
7. Kaji respon pasien
R/ wajah menunjukkan perasaan yang dirasakan klien
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam suhu tubuh
kembali normal
Criteria hasil :
- Suhu tubuh kembali normal pasien nyaman
- Tanda vital dalam bats normal
- Pasien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi suhu tubuh
Intervensi :
1. BHSP
R/ dengan hubunga saling percaya mempermudah proses keperawatan
2. Observasi tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Anjurkan menggunakan pakaian tipis dan minum air putih
R/ menggunakan pakaian tipis dan minum air putih yang bnaya dapat
menurunkan panas
4. Anjurkan untuk melakukan kompres dingin pada daerah dada dan ketiak
R/ kompres dapat membantu menurunkan panas
5. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
R/ antripiretik unutk menurunkan suhu
6. Kaji respon pasien
R/ wajah dapat menggambarkan apa yang dirasakan klien
3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam
keseimbangan nutrisi terpenuhi
Criteria hasil :
- Asupan nutrisi kembali seimbang
- Pasien menunjukkan energy yang adekuat
- Ttv dalam batas normal
- Mual muntah berkurang

Intervensi :
1. BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses keperawatan
2. Observasi tanda tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Anjurkan untuk makan sedikit tapi sering
R/ untuk mencegah mual muntah
4. Berkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian program diet
R/ setiap pasien mempunyai diet yang berbeda
5 Monitoring asupan gizi pasien
R/ mengetahui perkembangan nutrisi pasien
6. Kaji respon pasien
R/ menggambarkan apa yang dirasakan pasien
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen
Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam pasien dapat
tidur dengan nyaman
Criteria hasil :
- Klien dapat tidur dengan nyaman
- TTV dalam batas normal
- Klien tidak pucat
- Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi :
1. BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses keperawatan
2. Observasi tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Anjurkan untuk mengatur posisi nyaman
R/ dengan posisi nyaman dapat membantu tidur
4. Anjurkan untuk relaksasi nafas dalam
R/ untuk merilekskan tubuh
5. Kaji respon pasie
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition.United StatesAmerica :


McGraw Hill, 2005.826-42.
Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of Surgery, Eight
edition, New York ; McGraw-Hill, 2007, p : 1203-1213
Erina, Outry Siregar Nurhayat Usman, Kiki Lukman. 2011. Pola Kuman di Duktus Biliaris dan
Test Resistensi/Sensitifitas terhadap Antimikroba pada Pasien Ikterus Obstruktif di
Duvisi Bedah Digestif , Departemen Ilmu Bedah RSHS. Bandung: Universitas Padjajaran
Josh, J. Adams, Cholangitus, in http://www.emidiche.com 2006, p : 1-11
Kimura Y, Takada T, Karawada Y,Nimura Y, Hirata K, Sekiomto M,et al.,(2007) Defenitions,
Pathophysiology,and epidemiology of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo
Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg;14:15-26.
Rani A. & Simadibrata M,Syam, (2011). Buku Ajar Gastroenterohepatologi. Edisi-1. Interna
Publishing; 579-90.
Shojamanes, Homayoun, Mo, Cholangitis, in : http:/www.emidicine.com7 2006, p : 1-10

Anda mungkin juga menyukai