Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu aspek penting yang ikut menentukan kualitas hidup manusia ialah
kehidupan seksual. Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam penilaian
kualitas hidup manusia. Kehidupan seksual yang menyenangkan memberikan pengaruh
positif bagi kualitas hidup. Sebaliknya, kalau kehidupan seksual tidak menyenangkan,
maka kualitas hidup akan terganggu. Dalam perkawinan, fungsi seksual mempunyai
beberapa peran, yaitu sebagai sarana untuk reproduksi (memperoleh keturunan), sebagai
sarana untuk memeperoleh kesenangan atau rekreasi, serta merupakan ekspresi rasa cinta
dan sebagai sarana komunikasi yang penting bagi suami-istri.
Fungsi seksual merupakan bagian yang turut menentukan warna, kelekatan dan
kekompakan pasangan suami-istri. Suatu penelitian di Amerika, pada wanita dilaporkan
33% mengalami penurunan hasrat seksual, 19% kesulitan dalam lubrikasi, dan 24% tidak
dapat mencapai orgasme. Kesulitan yang umum dilaporkan pada pria meliputi ejakulasi
dini (29%), kecemasan terhadap kemampuan seksual (17%), dan rendahnya hasrat seksual
(16%). Selain itu, 10% dari pria yang disurvei melaporkan kesulitan ereksi bermakna,
angka prevalensi menurut usia, lebih dari 20% pria berusia diatas 50 tahun melaporkan
masalah ereksi.
Ereksi penis adalah peristiwa neurovaskuler yang dimodulasi oleh faktor psikologis
dan status hormonal. Ereksi penis terjadi ketika arteri di penis mengalami dilatasi dan
jaringan erektil (korpura kavernosus dan korpura spongiosum) mengalami relaksasi
(Wespes dkk., 2012).

[1]
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ereksi?
2. Apa fisiologi dari ereksi?
3. Bagaimana mekanisme ereksi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ereksi.
2. Untuk mengetahui fisiologi dari ereksi.
3. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme ereksi.

[2]
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ereksi

Ereksi adalah kondisi dimana penis membesar memanjang dan menjadi keras/ kaku
dikarenakan aliran darah yang mengalir ke dalam penis dan mengisi ruang- ruang yang
kosong di dalam penis. Karena lebih banyak darah yang masuk dari pada yang keluar maka
penis akan memanjang, membesar dan menjadi keras.
Ereksi penis suatu fenomena neurovaskular, yang tergantung dari integritas saraf,
fungsi dari sistem vaskular, dan jaringan kavernosal yang sehat. Fungsi ereksi yang normal
meliputi tiga proses sinergis dan simultan yaitu: 1) peningkatan arterial inflow yang
dimediasi secara neurologis, 2) relaksasi dari otot polos kavernosal, dan 3) restriksi aliran
keluar vena penis (Bivalacqua et al., 2003).
Telah lama diketahui bahwa NO memegang peranan yang penting dalam regulasi
ereksi penis dalam keadaan fisiologis dan patologis (Bivalacqua et al., 2003). NO
merupakan mediator yang sangat penting dalam proses relaksasi otot polos kavernosa yang
menyebabkan ereksi. Relaksasi ini disebabkan oleh adanya guanetidin dan atropin pada
lapisan otot dan diduga merupakan mediator saraf nonadrenergik-nonkolinergik. Relaksasi
otot polos yang disebabkan oleh NO terjadi melalui peningkatan siklus GMP (guanosin
monophosphate) (Tendean, 2004).

2.2 Fisiologi Ereksi


Secara hemodinamika, telah diketahui beberapa fase ereksi sebagai berikut:
1. Fase flaksid (lemas)
Pada fase ini otot polos trabekular berkontraksi, aliran darah arteri
berkurang, dan aliran darah vena meningkat. Tekanan dalam korpura kavernosus
kurang lebih sama dengan tekanan vena (Wespes dkk., 2006).
2. Fase pengisian awal
Pada stimulasi seksual, impuls saraf menyebabkan pelepasan
neurotransmitter dari saraf kavernosus terminal dan faktor relaksasi dari sel-sel
endotel di penis, sehingga terjadi relaksasi otot polos arteri dan arteriol yang

[3]
memasok jaringan ereksi dan peningkatan beberapa kali lipat aliran darah penis.
Pada saat yang sama, relaksasi dari otot trabekular halus meningkatkan kepatuhan
dari sinusoid, memfasilitasi pengisian cepat dan perluasan sistem sinusoidal
(Wespes dkk., 2006).
3. Fase tumesensi
Pada fase ini tekanan interkavernosus mulai meningkat dan ukuran penis
terus bertambah. Aliran arteri perlahan-lahan mulai berkurang sampai terjadi fase
ereksi penuh (Wespes dkk., 2006).
4. Fase ereksi penuh
Selanjutnya terjadi kompresi pada pleksus venular subtunika antara
trabekula dan tunika albugenia, sehingga menyebabkan oklusi hampir total dari
aliran vena. Peristiwa ini menjebak darah di dalam korpus kavernosa dan
menegakkan penis dari posisi tergantung, dengan tekanan intrakavernosus (fase
ereksi penuh) (Wespes dkk., 2006).
5. Fase ereksi kaku
Selama hubungan seksual yang memicu reflex bulbokavernosus, otot-otot
ischiokavernosus dengan kuat menekan dasar korpura bulbokavernosus yang
dipenuhi darah dan penis menjadi lebih keras lagi, dengan tekanan intrakavernosus
mencapai beberapa ratus millimeter air raksa. Selama fase ini, arus masuk dan
keluar darah berhenti sementara (Wespes dkk., 2006).
6. Fase detumesensi
Detumesensi (ukuran yang mengecil) dapat dihasilkan dari penghentian
pelepasan neurotrasmiter, pemecahan messenger kedua oleh fosfodiesterase, atau
pelepasan simpatik saat ejakulasi. Kontraksi otot polos trabekula membuka kembali
saluran vena, darah yang terperangkap dikeluarkan, dan kembali ke keadaan flaksid
(Wespes dkk., 2006).

2.3 Mekanisme Ereksi


Ereksi penis adalah manifestasi bangkitan seksual yang terjadi bila pria normal
menerima rangsangan seksual yang cukup. Ereksi penis tergantung pada interaksi yang
kompleks antara faktor psikis, neurogenik, vaskuler, dan hormon. Hormon testosteron
mempunyai peran penting baik di tingkat pusat maupun perifer pada proses ereksi. Proses
ereksi juga tergantung pada keseimbangan antara aliran darah yang masuk dan keluar dari
korpus kavernosum. Bila terjadi keseimbangan antara aliran darah masuk dan keluar, maka
[4]
penis menjadi flaccid (fleksid=lemas). Bila aliran masuk ke arteri korpus kavernosum
meningkat, sedangkan aliran keluar vena terhambat, maka penis mengalami tumescence
(tumesensi= membesar dan memanjang) (Pangkahila, 2006).
Ereksi terjadi melalui 2 mekanisme:
1. Pertama, adalah reflex ereksi oleh sentuhan pada penis (ujung batang dan
sekitarnya).
2. Kedua, ereksi psikogenik karena rangsangan erotis. Keduanya menstimulir sekresi
nitric oxide yang memicu relaksasi otot polos batang penis (corpora cavernosa),
sehingga aliran darah ke area tersebut meningkat dan terjadilah ereksi. Disamping
itu, produksi testosteron (dari testis) yang memadai dan fungsi hipofise (pituitary
gland) yang bagus, diperlukan untuk ereksi.

Gambar 1. Anatomi Organ Erektil Penis

Organ erektil penis terdiri dari sepasang korpora kavernosa dan korpus spongiosum
yang ditengahnya berjalan urethra dan ujungnya melebar membentuk glans penis. Korpus
spongiosum ini terletak di bawah kedua korpora kavernosa. Ketiga organ erektil ini masing-
masing diliputi oleh tunika albuginea, suatu lapisan jaringan kolagen yang padat, dan secara
keseluruhan ketiga silinder erektil ini di luar tunika albuginea diliputi oleh suatu selaput
kolagen yang kurang padat yang disebut fasia Buck. Di bagian anterior kedua korpora
kavernosa terletak berdampingan dan menempel satu sama lain di bagian medialnya
sepanjang 3/4 panjang korpora tersebut. Pada bagian posterior yaitu pada radix krura
korpora kavernosa terpisah dan menempel pada permukaan bawah kedua ramus iskiopubis.

[5]
Korpora kavernosa ini menonjol dari arkus pubis dan membentuk pars pendularis penis.
Permukaan medial dari kedua korpora kavernosa menjadi satu membentuk suatu septum
inkomplit yang dapat dilalui darah. Radix penis bulbospongiosum diliputi oleh otot
bulbokavernosus sedangkan korpora kavernosa diliputi oleh otot iskhiokavernosus.

Gambar 2. Jaringan Penis saat Ereksi dan non-Ereksi

Jaringan erektil yang diliputi oleh tunika albuginea tersebut terdiri dari ruang-ruang
kavernus yang dapat berdistensi. Struktur ini dapat digambarkan sebagai trabekulasi otot
polos yang di dalamnya terdapat suatu sistim ruangan yang saling berhubungan yang
diliputi oleh lapisan endotel vaskular dan disebut sebagai sinusoid atau rongga lakunar.
Pada keadaan lemas, di dalam korpora kavernosa terlihat sinusoid kecil, arteri dan arteriol

[6]
yang berkonstriksi serta venula yang terbuka ke dalam vena emisaria. Pada keadaan ereksi,
rongga sinusoid dalam keadaan distensi, arteri dan arteriol berdilatasi dan venula mengecil
serta terjepit di antara dinding-dinding sinusoid dan tunika albuginea. Tunika albuginea ini
pada keadaan ereksi menjadi lebih tipis. Glans penis tidak ditutupi oleh tunika albuginea
sedangkan rongga sinusoid dalam korpus spongiosum lebih besar dan mengandung lebih
sedikit otot polos dibandingkan korpus kavernosus.

Gambar 3. Sistem Persarafan Penis

Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (parasimpatik dan simpatik) serta
persarafan somatik (sensoris dan motoris). Serabut saraf parasimpatik yang menuju ke
penis berasal dari neuron pada kolumna intermediolateral segmen kolumna vertebralis S2-
S4. Saraf simpatik berasal dari kolumna vertebralis segmen T4–L2 dan turun melalui
pleksus preaortik ke pleksus hipogastrik, dan bergabung dengan cabang saraf parasimpatik
membentuk nervus kavernosus, selanjutnya memasuki penis pada pangkalnya dan
mempersarafi otot-otot polos trabekel. Saraf sensoris pada penis yang berasal dari reseptor
sensoris pada kulit dan glans penis bersatu membentuk nervus dorsalis penis yang
bergabung dengan saraf perineal lain membentuk nervus pudendus. Kedua sistem
persarafan ini (sentral/psikogenik dan periferal/ refleksogenik) secara tersendiri maupun
secara bersama-sama dapat menimbulkan ereksi.

[7]
Sumber pendarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang kemudian
menjadi arteri penis komunis dan kemudian bercabang tiga menjadi arteri kavernosa (arteri
penis profundus), arteri dorsalis penis dan arteri bulbouretralis. Arteri kavernosa memasuki
korpora kavernosa dan membagi diri menjadi arteriol-arteriol helisin yang bentuknya
seperti spiral bila penis dalam keadaan lemas. Dalam keadaan tersebut arteriol helisin pada
korpora berkontraksi dan menahan aliran darah arteri ke dalam rongga lakunar. Sebaliknya
dalam keadaan ereksi, arteriol helisin tersebut berelaksasi sehingga aliran darah arteri
bertambah cepat dan mengisi rongga-rongga lakunar. Keadaan relaksasi atau kontraksi dari
otot-otot polos trabekel dan arteriol menentukan penis dalam keadaan ereksi atau lemas.
Selama ini dikenal adrenalin dan asetilkolin sebagai neurotransmiter pada sistem
adrenergik dan kolinergik, tetapi pada korpora kavernosa ditemukan adanya
neurotransmiter yang bukan adrenergik dan bukan pula kolinergik (non adrenergik non
kolinergik = NANC) yang ternyata adalah nitric oxide/NO.

Gambar 4. Siklus Ereksi

NO ini merupakan mediator neural untuk relaksasi otot polos korpora kavernosa.
NO menimbulkan relaksasi karena NO mengaktifkan enzim guanilat siklase (GC) yang
akan mengkonversikan guanosine triphosphate (GTP) menjadi cyclic guanosine

[8]
monophosphate (cGMP). cGMP merangsang kalsium keluar dari otot polos korpora
kavernosa, sehingga terjadi relaksasi. NO dilepaskan bila ada rangsangan seksual. cGMP
dirombak oleh enzim phosphodiesterase (PDE) yang akan mengakhiri/ menurunkan kadar
cGMP sehingga ereksi akan berakhir. PDE adalah enzim diesterase yang merombak cyclic
adenosine monophosphate (cAMP) maupun cGMP menjadi AMP atau GMP. Ada beberapa
isoform dari enzim ini, PDE 1 sampai PDE7. Masing-masing PDE ini berada pada organ
yang berbeda. PDE5 banyak terdapat di korpora kavernosa.
Secara sederhana mekanisme terjadinya ereksi penis pada pria terdiri dari beberapa
proses berikut ini:
1. Ada stimulasi seks berupa fisik seperti sentuhan, suara, rabaan atau stimulasi mental
berupa kenangan erotis, fantasi, dan lain-lain yang menyebabkan gairah seksual
bangkit.
2. Bagian otak yang disebut nukleus para ventrikel akan bereaksi terhadap rangsangan
tersebut dengan mengirim impul seksual tersebut.
3. Impul seksual kemudian menuju sistem syaraf pada penis melalui saraf otonom
khusus di sumsum tulang belakang, saraf panggul, dan saraf luas yang berjalan di
sepanjang kelenjar prostat untuk mencapai corpora cavernosa dan arteri yang
nantinya akan terisi darah.
4. Sebagai tanggapan terhadap sinyal-sinyal tersebut, serat otot di corpora cavernosa
menjadi rileks, sehingga darah dapat mengisi ruang di dalamnya.
5. Serat otot di arteri yang memasok penis juga menjadi rileks, dan terjadi peningkatan
volume aliran darah menuju penis sebanyak delapan kali lipat. Peningkatan aliran
darah ini akan memperluas ruang sinusoidal dalam corpora, kemudian
merenggangkan selubung sekitarnya (tunika).
6. Tunika yang merenggang akan menghambat pembuluh darah vena membawa darah
keluar dari corpora cavernosa. Darah terperangkap di dalam penis, tekanan menjadi
sangat tinggi dan penis akhirnya ereksi dengan keras.
7. Saat terjadi orgasme, sinyal dari otak berubah secara dramatis. Terjadi peningkatan
mendadak produksi noradrenalin di alat kelamin. Hormon tersebut memicu
orgasme dan kontraksi serat otot di corpora cavernosa. Sebagai akibatnya aliran
darah menuju penis berkurang.
8. Tekanan pada corpora menurun, yang juga melemaskan tunika sehingga
memungkinkan darah mengalir keluar dari penis. Akibatnya penis menjadi lembek
(detumescensi).
[9]
Gambar 5. Mekanisme Ereksi

[10]
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Ereksi penis adalah suatu fenomena neurovaskular, yang tergantung dari integritas
saraf, fungsi dari sistem vaskular, dan jaringan kavernosal yang sehat.
2. Fungsi ereksi yang normal meliputi tiga proses sinergis dan simultan yaitu: 1)
peningkatan arterial inflow yang dimediasi secara neurologis, 2) relaksasi dari otot
polos kavernosal, dan 3) restriksi aliran keluar vena penis.
3. Ereksi terjadi melalui 2 mekanisme: Pertama, adalah reflex ereksi oleh sentuhan
pada penis (ujung batang dan sekitarnya). Kedua, ereksi psikogenik karena
rangsangan erotis. Keduanya menstimulir sekresi nitric oxide yang memicu
relaksasi otot polos batang penis (corpora cavernosa), sehingga aliran darah ke area
tersebut meningkat dan terjadilah ereksi.

[11]
DAFTAR PUSTAKA

Boolell M, Gepi-Attee S, Gingel JC, Allen MJ. Sildenafil: a novel effective oraltherapy for
male erectile dysfucntion. Br J Urol 1996; 78: 257-61.

Clifford R., 2004, Petunjuk Modern Kepada Kesehatan, Indonesia Publishing House,
Bandung.

Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition. New York:
TheMacGraw-Hill Company Inc.

Feldman HA, Goldstein I, Hatzichrictou DG, Krane RJ, McKinley JB. Impotence and its
medical and psychosocial correlates: results of the Massachusetts male aging study. J
Urol 1994; 151: 54-61.

Garbett R. “New generation ED treatment” in pipeline. Asian Medical News 2000; 22: 5.

Henwood J. Sildenafil for erectile dysfunction. Medical Progress 1999; 26: 37-9.

Setiadji, V. Sutarmo. 2006. Neurofisiologi Ereksi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press).

Shah PK, Schwartz I, Mc Carthy D, Saldana MJ, Villaran C, Alholel B. et al. Sildenafil in the
treatment of erectile dysfunction. N Engl J Med 1998; 339: 699-702.

[12]

Anda mungkin juga menyukai