Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS

Konsep dasar dan proses terjadinya penyakit dalam epidemiologi

berkembang dari rantai sebab akibat menuju suatu proses kejadian penyakit yaitu

proses interaksi antara manusia (pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis,

Fisiologis, Psikologis, Sosiologis dan antropologis), dan dengan penyebab (agent)

serta lingkungan (Enviroment). Menurut John Gordon, model segitiga

epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit yaitu manusia

(Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Enviromet).

Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antar ketiga

komponen tersebut. Model ini lebih di kenal dengan model triangle epidemiologi

atau triad epidemilogi dan cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi

sebab peran agent (yakni mikroba) mudah di isolasikan dengan jelas dari

lingkungan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang dalam

ilmu epidemiologi dikenal dengan segitiga epidemiologi yaitu Agent-Host-

Environment (AHE). Segitga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para

ahli dalam menjelasakan kosep berbagai permasalahan kesehatan termasuk salah

satunya adalah terjainya penyakit. Hal ini sangat komprehensif dalam

memprediksi suatu penyakit. Terjadinya suatu penyakit sangat tergantung dari

keseimbangan dan interaksi ke tiganya.

1. Agent

Agent dapat berasal dari berbagai unsur seperti unsur biologis yang

disebabkan oleh mikro organisme (virus, bakteri, jamur, parasit, protzoa, metazoa,

dll), unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak memenuhi standar gizi yang

ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan karena bahan dari luar tubuh maupun

dari dalam tubuh sendiri (karbon monoksida, obat-obatan, arsen, pestisida, dll),

unsur fisika yang disebabkan oleh panas, benturan, dll, serta unsur psikis atau

genetik yang terkait dengan heriditer atau keturun. Demikian juga dengan unsur

kebiasaan hidup (rokok, alcohol, dll), perubahan hormonal dan unsur fisioloigis

seperti kehamilan, persalinan, dll.

2. Host

Host atau penjamu ialah keadaan manusia yangsedemikan rupa sehingga

menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini di sebabkan oleh

faktor intrinsik. Faktor penjamu yang biasanya menjadi faktor timbulnya suatu

penyakit sebagai berikut:


a. Umur. Misalnya, usia lanjut lebih rentang unutk terkena penyakit karsinoma,

jantung dan lain-lain daripada yang usia muda.

b. Jenis kelamin (seks). Misalnya , penyakit kelenjar gondok, kolesistitis,

diabetes melitus cenderung terjadi pada wanita serta kanker serviks yang

hanya terjadi pada wanita atau penyakit kanker prostat yang hanya terjadi

pada laki-laki atau yang cenderung terjadi pada laki-laki seperti hipertensi,

jantung, dll.

c. Ras, suku (etnik). Misalnya pada ras kulit putih dengan ras kulit hitam yang

beda kerentangannya terhadap suatu penyakit.

d. Genetik (hubungan keluarga). Misalnya penyakit yang menurun seperti

hemofilia,buta warna, sickle cell anemia, dll.

e. Status kesehatan umum termasuk status gizi, dll

f. Bentuk anatomis tubuh

g. Fungsi fisiologis atau faal tubuh

h. Keadaan imunitas dan respons imunitas

i. Kemampuan interaksi antara host dengan agent

j. Penyakit yang diderita sebelumnya

k. Kebiasaan hidup dan kehidupan sosial dari host sendiri

3. Environment

Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang terjadinya

penyakit, hal ini karena faktor ini datangnya dari luar atau bisa disebut dengan

faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan ini dapat dibagi menjadi:

a. Lingkungan Biologis (flora & fauna)


Mikro organisme penyebab penyakit reservoar, penyakit infeksi (binatang,

tumbuhan). Vektor pembawa penyakit tumbuhan & binatang sebagai sumber

bahan makanan, obat dan lainnya

b. Lingkungan Fisik

Yang dimaksud dengan lingkungan fisik adalah yang berwujud geografik dan

musiman. Lingkungan fisik ini dapat bersumber dari udara, keadaan tanah,

geografis, air sebagai sumber hidup dan sebagai sumber penyakit, zat kimia atau

polusi, radiasi, dll.

c. Lingkungan Sosial Ekonomi

Yang termasuk dalam faktor lingkungan soial ekonomi adalah sistem ekonomi

yang berlaku yang mengacu pada pekerjaan sesorang dan berdampak pada

penghasilan yang akan berpengaruh pada kondisi kesehatannya. Selain itu juga

yang menjadi masalah yang cukup besar adalah terjadinya urbanisasi yang

berdampak pada masalah keadaan kepadatan penduduk rumah tangga, sistem

pelayanan kesehatan setempat, kebiasaan hidup masyarakat, bentuk organisasi

masyarakat yang kesemuanya dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan

terutama munculnya bebagai penyakit.

Kalimantan adalah pulau yang kaya akan Sumber Daya alam hayatinya.

Luas pulau Kalimantan adalah 743.330 km². Propinsi Kalimantan Selatan secara

geografis terletak di antara 114 19" 33" BT-116 33' 28 BT dan 1 21' 49" LS 1 10"

14" LS, dengan luas wilayah 37.377,53 km² atau hanya 6,98 persen dari luas

pulau Kalimantan. Salah satu ibu kota di Kalimantan adalah banjarmasin yang

pada umumnya wilayahnya adalah tanah rawa dan lahan basah. Lahan basah
adalah daerah buatan atau alami berair yang bersifat tetap atau sementara. Airnya

bersifat stagnan/menetap atau pun mengalir. Airnya bersifat tawar, asin, payau.

Lahan basah mencakup kawasan mangrove, kawasan lumpur lepas pantai

(mudfat), lahan gambut, dataran banjir, waduk dan sawah.

Lahan basah mempunyai manfaat untuk lingkungan sekitarnya. Seperti

menjamin persediaan air bersih, berguna untuk menyimpan sementara air limpas

berlebih, dapat mengukuhkan garis tepi laut sehingga mencegah erosi, pada

beberapa kejadian, lahan basah dapat membantu mendampar lahan, menunjang

kehidupan satwa liar. Tetapi karena dilihat pemanfaatan lahan basah kurang baik

maka daerah lahan basah juga identik dianggap sebagai sumber penyakit seperti

tempat berkembang biaknya nyamuk. Sehingga banyak menimbulkan penyakit

contohnya malaria, demam berdarah, demam kuning, dan penyakit yang berkaitan

dengan lahan basah lainya, seperti salah satunya TBC.

Tuberculosis atau dikenal dengan TB Paru merupakan penyakit yang

mematikan setelah HIV-AIDS. Penyakit ini menjadi epidemik di dunia. Indonesia

merupakan Negara dengan urutan kedua di dunia penderita TB paru setelah India.

Tahun 2016 penderita Tuberculosis mengalami peningkatan dari 9,6 juta menjadi

10,5 juta jiwa. Sejak tahun 2016, tujuan program Tuberculosis Paru adalah

mengakhiri epidemik TB paru melalui penerapan strategi End TB. Strategi

tersebut berupa mengurangi kematian akibat TB Paru sebesar 90% pada tahun

2030 dan memutuskan kejadian kasus baru TB sebesar 80%.

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Umumnya penularan melalui droplet


infection. Penderita tuberkulosis paru BTA (+) dapat menularkan pada orang

sekelilingnya, terutama yang melakukan kontak erat. Setiap penderita tuberculosis

paru BTA (+) dapat menularkan pada 10-15 orang pertahun. Daya penularan dari

seorang penderita tuberculosis paru BTA (+) ditentukan oleh banyak bakteri yang

dikeluarkan dari paru-paru.

TB paru relaps atau TB paru kambuh adalah penderita TB yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB, dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan TB BTA positif berdasarkan

pemeriksaan apusan atau kultur.1 Kasus relaps terjadi di beberapa negara di

dunia, antara lain di India dengan jumlah kasus relaps sebanyak 106.463 kasus,

Korea dengan jumlah kasus relaps sebanyak 6.701 kasus, Myanmar dengan

jumlah kasus relaps sebanyak 4.558 kasus, dan Bangladesh dengan jumlah kasus

relaps sebanyak 3.065 kasus.4 Jumlah kasus pengobatan ulang di Indonesia

adalah sebanyak 8.542 kasus, dan 70% diantaranya merupakan kasus relaps.5

Kejadian relaps TB merupakan kejadian yang cukup sering terjadi pada penderita

TB. Adanya kejadian relaps ini dapat meningkatkan sumber penularan TB di

lingkungan masyarakat, sehingga dapat menghambat tercapainya tujuan

pengobatan dan pengendalian TB.

Tidak hanya tuberkulosis paru saja yang dapat meresahkan seluruh

penduduk dunia. Tuberkulosis paru ini juga meninggalkan gejala sisa yang

dinamakan Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) yang cukup

meresahkan. Gejala sisa akibat TB masih sering ditemukan pada pasien pasca TB

dalam praktik klinik. Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan
faal paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian

terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang

dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi

mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas.

Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru yaitu

sesak napas, batuk berdahak dan batuk darah. Penelitian lainnya menunjukkan

bahwa puncak terjadinya gangguan faal paru pada pasien pasca TB terjaadi dalam

waktu 6 bulan setelah diagnosis. Penyebaran dan penyembuhan TB masih belum

tuntas walaupun obat dan cara pengobatannya telah diketahui. SOPT dapat

mengganggu kualitas hidup pasien, serta berperan sebagai penyebab kematian

sebesar 15% setelah durasi 10 tahun. Deteksi dini SOPT dengan uji faal paru pada

pasien pasca TB berperan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien.

Apabila tubuh terinfeksi M. tuberculosis maka sistem imun host akan

bekerja melawan infeksi tersebut. Akibatnya M. tuberculosis akan melepasan

komponen toksik ke dalam jaringan yang akan menginduksi hipersensitivitas

seluler sehingga akan meningkatkan respons terhadap antigen bakteri yang

menimbulkan kerusakan jaringan, nekrosis, dan penyebaran bakteri lebih lanjut.

Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag bertemu

dengan M. tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit

T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh bakteri.

Makrofag aktif melepaskan IL-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T


melepaskan IL-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk bereplikasi,

matang, dan memberi respons lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi

(TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang kompleks dan sirkuit

imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan

imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag

aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti

anion superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil yang menimbulkan

kerusakan pada membran sel dan dinding sel M. tuberculosis. Beberapa hasil

infeksi M. tuberculosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag sehingga

tetap terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi matriks alveoli. Diduga

proses proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab destruksi matriks di mana

proteolisis mendestruksi protein yang membentuk matriks dinding alveoli oleh

protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dari suatu

molekul.Kehilangan elektron pada suatu struktur mengakibatkan fungsi molekul

akan berubah.

Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan anti

protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease, yaitu:

1) Elastase, yang paling kuat memecah elastin dan protein jaringan ikat lain sehingga

sanggup menghancurkan dinding alveoli.

2) Catepsin G, menyerupai elastase, tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas

bersama elastase;

3) Kolagenase, cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri

tidak dapat menimbulkan emfisema;


4) Plasminogen aktivator, urokinase dan tissue plasmin activator yang merubah

plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan

proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase.

Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara langsung, seperti

peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel terutama

pneumosit I, modifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis,

berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya menurun.

Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistem imun diaktifkan

untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat

meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas

menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan gangguan faal paru yang akhirnya

dapat dideteksi dengan spirometri.

Adapun gejala utama pada pengidap TBC dan SOPT berupa:

1) Batuk Berdahak

2) Sesak napas

3) Penurunan ekspansi sangkar toraks

4) Gejala lainnya adalah demam tidak tinggi atau meriang, dan penurunan berat

badan

Problematika fisioterapi pada kondisi Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis

(SOPT) terdiri dari: adanya batuk yang tidak efektif, penurunan ekspansi sangkar

toraks dan frekuensi pernapasan yang tidak normal (pernapasan cepat). Adapun

teknologi fisioterapi yang digunakan pada kondisi Sindrom Obstruksi Pasca

Tuberkulosis (SOPT) diantaranya:


a. Breathing Exercise

Breathing exercise merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

membersihkan jalan napas, merangsang terbukanya sistem collateral,

meningkatkan distribusi ventilasi dan meningkatkan volume paru. Pursed lip

breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna mengurangi sesak napas

dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang dibarengi dengan pernapasan

diafragma dan latihan ini dapat dilakukan dengan meniup lilin, meniup bola

pingpong, dan membuat gelembung di dalam air minum dengan menggunakan

pipa hisap. Latihan ini berfokus pada pengontrolan inspirasi dan ekspirasi juga

dengan pola ekspirasi yang panjang dengan cara bibir mencucu. Selain itu,

breathing control merupakan latihan pernapasan yang dapat meningkatkan

volume paru, mempertahankan alveolus agar tetap mengembang, meningkatkan

oksigenasi, membantu membersihkan sekresi mukosa, mobilitas sangkar toraks

dan meningkatkan kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasi,

meningkatkan efektifitas mekanisme batuk, mempertahankan atau meningkatkan

mobilitas chest dan thoracal spine, koreksi pola-pola napas yang abnormal, dan

meningkatkan relaksasi.

b. Mobilisasi sangkar toraks

Mobilisasi sangkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive movement

pada trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep breathing yang bertujuan

untuk meningkatkan mobilitas trunk dan shoulder yang mempengaruhi respirasi

serta memperkuat kedalaman inspirasi dan ekspirasi. Mobiliasi sangkar toraks

dapat dilakukan dengan bantuan pergerakan dari bahu dan tulang belakang.
Mobilisasi sangkar toraks melibatkan gerakan kompleks dari anggota gerak atas

selain itu antara sternum, torakal vertebra, serta otot-otot pernapasan. Mekanisme

mobilisasi sangkar toraks adalah meningkatkan panjang otot interkostalis dengan

melakukan kontraksi yang efektif dari anggota gerak atas.

c. Coughing exercise

Coughing exercise atau batuk efektif merupakan suatu metode batuk

dengan benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah

dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dari jalan napas dan area paru.

Selain itu coughing exercise menekankan inspirasi maksimal yang dimulai dari

ekspirasi. Adapun tujuan dilakukannya tindakan coughing exercise adalah

merangsang terbukanya sistem kolateral, meningkatkan distribusi ventilasi, dan

meningkatkan volume paru serta memfasilitasi pembersihan saluran napas yang

memungkinkan pasien untuk mengeluarkan sekresi mukus dari jalan napas.

d. IR (Infra Red)

Modalitas Infra Red Luminous dengan penetrasi mencapai jaringan

subkutan yaitu epidermis dan dermis. Pemberian Infra Red Luminous diberikan

dengan intensitas sesuai dengan toleransi dari pasien tersebut, dimana pasien

merasakan hangat pada area yang diterapi. Penyinaran diberikan secara tegak

lurus pada area yang diterapi pada jarak 30-45 cm dan dengan dosis terapi selama

10-15 menit.

Berdasarkan penjelasan di atas, pasien dengan kasus Sindrom Obstruksi

Pasca Tuberkulosis (SOPT) menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu berupa

adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi menurun,


perubahan postur tubuh, berat badan menurun dan gerak lapang paru menjadi

tidak maksimal bila tidak segera dilakukan penanganan atau tindakan fisioterapi.

.........................BETHARI........................

Pasien laporan kasus kali ini didiagnosis dengan TB paru relaps

berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari

hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan sesak sejak 1 minggu sebelum

masuk rumah sakit, disertai dengan batuk berdahak dan keringat dingin saat

malam hari.Pasien juga mengaku selama sakit pasien mengalami penurunan berat

badan hingga saat ini berat badan pasien adalah 27 kg meskipun pasien telah

berusaha untuk meingkatkan porsi makannya dan kandungan makanannya agar

lebih bergizi. Pasien sebelumnya telah didiagnosis TB sejak 20 tahun yang lalu

dan dinyatakan kambuh sejak 10 tahun terakhir selama 3 kali. Pasien kemudian

menjalani pengobatan OAT kategori 2 di puskesmas Kelayan Timur dan bebrapa

kali dirujuk ke RSUD Ulin untuk melakukan pemeriksaan penunjang. Sesuai

dengan klasifikasi diatas, dari hasil anamenesis didapatkan bahwa pasien

sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan lengkap/dinyatakan sembuh,

didiagnosis kembali dengan BTA positif. Pasien tidak didiganosis dengan TB

kasus putus berobat karena pasien mengaku tidak pernah sekalipun putus berobat,

menurut pengakuan pasien, beliau selalu datang ke puskesmas untuk berobat dan

tidak pernah satu kalipun absen. Pasien tidak didiagnosis dengan TB kasus gagal

(failure) karena pasien telah dinyatakan sembuh sebelumnya.


Faktor yang mempengaruhi terjadinya TB kambuh (relaps) antara lain

adanya reinfeksi, jumlah basil sebagai penyebab infeksi cukup dengan virulensi

yang tinggi, daya tahan tubuh menurun sehingga memungkinkan basil TB

berkembangbiak menyebabkan timbulnya kembali penyakit TB, kebiasaan

merokok dan meminum alkohol, serta pengobatan TB yang terlalu pendek. Pada

pasien laporan kasus kali ini, kemungkinan adanya reinfeksi dibuktikan dengan

hasil anamnesis dimana diketahui beberapa tetangga pasien ada yang menderita

penyakit TB dan jarak rumah yang dekat serta kondisi lingkungan yang kumuh

memudahkan transmisi bakteri dan menjadi salah satu faktor risiko kekambuhan

pada pasien laporan kasus kali ini. Sementara itu, faktor risiko lain seperti

penyakit TB, kebiasaan merokok dan meminum alkohol, serta pengobatan TB

yang terlalu pendek disangkal oleh pasien. 7

Dari anamnesis didapatkan informasi bahwa ada kontak yang lama antara

pasien dengan tetangganya yang menderita TB. Pasien juga diketahui tinggal

serumah dengan anak dan cucunya dimana anak pasien memiliki keluhan batuk

lama namun belum pernah memeriksakan dirinya dan tidak diketahui apakah

menderita TB juga atau tidak. Batuk lama merupakah salah satu gejala respiratoir

dari TB paru. Adanya kontak dengan pasien TB paru menjadi faktor penting

terjadinya penularan TB paru. Kuman TB menyebar melalui droplet nuclei saat

pasien TB berbicara, batuk, atau bersin. Penularan ini memungkinkan terjadi

kekambuhan pada pasien TB yang telah sembuh. Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Gitawati (2002), bahwa sebagian besar respondennya

diketahui memiliki riwayat tinggal serumah dengan pasien TB paru atau minimal
dalam setahun sebelumnya ada anggota keluarga serumah yang pernah sakit TB

paru. Penelitian ini membuktikan bahwa kontak dengan pasien TB dapat menjadi

faktor penularan TB paru.8

Daya tahan tubuh menurun mengakibatkan basil TB dapat

berkembangbiak dan menimbulkan penyakit TB lagi.Daya tahan tubuh juga

dipengaruhi oleh status gizi. Pasien memiliki status gizi normal. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Sianturi (2014), didapatkan hasil bahwa jumlah responden

yang mengalami TB paru kambuh lebih banyak pada responden yang memiliki

status gizi kurang disbanding responden yang memiliki status gizi normal. 9 Status

gizi kurang mengakibatkan daya tahan tubuh menurun sehingga tubuh menjadi

lebih peka terhadap infeksi. Pasien pada laporan kasus kali ini memiliki faktor

risiko status gizi kurang dimana IMT pasien menunjukkan bahwa pasien termasuk

kedalam kategori kurus dan status gizi pasien termasuk kedalam kategori kurang

sehingga mengakibatkan tubuh pasien rentan mengalami reinfeksi.10

Berdasarkan aspek psikososial keluarga, diketahui bahwa keadaan

ekonomi keluarga kurang. Pada laporan kasus kali ini dari hasil anamnesis dan

kunjungan lansung ke ruamh pasien, didapatkan kondisi perumahan pasien di

sekitar sungai , kumuh dan gaya hidup yang tidak higenis dimana untuk kegiatana

mandi, buang air besar, buang air kecil dan mencuci baju menggunakan air sungai

di sekitar rumah pasien. Rumah pasien terbuat dari kayu sehingga kondisi rumah

cenderung lembab dan kurang mendapat sinar matahari karena pemukiman yang

padat, serta tidak adanya ventilasi yang mengakibatkan kurangnya sirkulasi udara

pada rumah pasien.11


Individu dengan status ekonomi yang rendah memiliki risiko status gizi

yang kurang sehingga mempengaruhi sistem imun, lingkungan rumah yang padat

penduduk, rumah dengan ventilasi yang kurang, kelembaban rumah yang tinggi,

dan polusi udara di dalam ruangan, sehingga memiliki risiko yang lebih besar

untuk terinfeksi TB. Lingkungan tempat tinggal pasien yang padat dan keadaan

rumah pasien yang lembab serta kurang penerangan dari cahaya matahari juga

menjadi risiko terhadap penyakit TB yang diderita pasien. Ventilasi bermanfaat

untuk menjaga udara di dalam ruangan agar tidak lembab. Kurangnya ventilasi

akan menyebabkan kadar oksigen kurang, kadar karbondioksida bertambah, suhu

ruangan naik, dan kelembaban ruangan meningkat.11 Kelembaban yang tinggi

dapat meningkatkan jumlah kuman tuberkulosis. Untuk menurunkan kelembaban

ruangan, cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah harus cukup. Cahaya

matahari dapat membunuh bakteri-bakteri patogen, salah satunya adalah

Mycobacterium tuberculosis.12 Penelitian Rosiana (2013), menunjukkan bahwa

responden yang intensitas pencahayaan di rumah tidak memenuhi syarat, yaitu

luas penghawaan/ventilasi yang permanen minimal 10% luas lantai, memiliki

risiko 3,9 kali lebih besar menderita TB daripada responden yang intensitas

pencahayaannya memenuhi syarat.11

Kejadian TB relaps adalah kejadian yang cukup sering pada penderita TB.

Adanya kejadian relaps ini dapat menimbulkan masalah baru karena

meningkatkan kemungkinan resistensi obat anti TB. Bahaya resistensi obat adalah

penyakit TB dapat kembali dengan kuman yang lebih kuat sehingga lebih sulit

diobati, biaya pengobatan lebih mahal, dan tingkat keberhasilan pengobatan lebih
rendah. Selain meningkatkan kemungkinan resistensi obat, TB kambuh

meningkatkan jumlah sumber penularan TB di masyarakat sehingga dapat

menghambat tercapainya tujuan pengobatan dan pengendalian TB.7

OAT adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Semua pasien

TB yang belum pernah menjalani pengobatan sebelumnya dan tidak memiliki

faktor risiko lain untuk resisten obat sebaiknya mendapatkan pengobatan lini

pertama yang direkomendasikan oleh WHO. Tahap awal (intensif) selama dua

bulan meliputi pengobatan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),

dan Etambutol (E). Tahap lanjutan meliputi pengobatan dengan Isoniazid dan

Rifampisin selama empat bulan. Regimen yang mengandung Rifampisin

merupakan kemoterapi antituberkulosis utama dan sangat efektif untuk mengobati

TB yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang rentan terhadap

pengobatan. Durasi minimal pengobatan adalah selama enam bulan. Pengobatan

kurang dari enam bulan memiliki kemungkinan relaps yang tinggi.6 Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan Sianturi (2014), bahwa pasien TB yang tidak

teratur mengonsumsi obat akan berpeluang 9,4 kali mengalami kekambuhan TB

paru dibandingkan dengan pasien yang teratur minum obat.

Dari hasil anamnesis, pasien pernah mendapatkan pengobatan berupa

injeksi yang dilakukan di Puskesmas Kelayan Timur. Berdasarkan panduan TB

nasional, pasien berarti pernah mendapatkan terapi berupa injeksi sterptomisin

dimana terapi ini termasuk kedalam terapi TB kategori 2. Paduan OAT kategori 2

ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu :

pasien kambuh, pasien gagal, pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
(default). Pada pasien ini, dengan TB Paru kambuh, diberikan pengobatan OAT

kategori 2. OAT kategori 2 yaitu 2HRZES/HRZE/5HRE, disediakan dalam

bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT ini terdiri dari

kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet dengan dosis disesuaikan dengan

berat badan pasien. OAT kategori 2 diberikan untuk pasien dengan riwayat

pengobatan TB lini pertama. Dosis pemberian OAT berdasarkan dari berat badan

pasien. Berat badan pada pasien ini adalah 54 kg. Untuk berat badan 38-54 kg,

diberikan injeksi Streptomisin 750 mg dan 3 tablet OAT-4KDT yang berisi

Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg

untuk tahap intensif.6

Tabel 1. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Lanjutan 3
kali seminggu
Tahap Intensif tiap hari RHZE
Berat RH
Berat badan (150/75/400/275) + S
(150/150) +
E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu

2 tab 4KDT + 500 2 tab 2KDT + 2


30-37 kg mg Streptomisin 2 tab 4KDT tab Etambutol
inj.
3 tab 4KDT + 750 3 tab 2KDT + 3
38-54 kg mg Streptomisin 3 tab 4KDT tab Etambutol
inj.
4 tab 4KDT + 1000 4 tab 2KDT + 4
55-70 kg mg Streptomisin 4 tab 4KDT tab Etambutol
inj.
5 tab 4KDT + 5 tab 2KDT + 5
≥71 kg 1000mg 5 tab 4KDT tab Etambutol
Streptomisin inj.

Anda mungkin juga menyukai