berkembang dari rantai sebab akibat menuju suatu proses kejadian penyakit yaitu
komponen tersebut. Model ini lebih di kenal dengan model triangle epidemiologi
atau triad epidemilogi dan cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi
sebab peran agent (yakni mikroba) mudah di isolasikan dengan jelas dari
lingkungan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang dalam
Environment (AHE). Segitga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para
1. Agent
Agent dapat berasal dari berbagai unsur seperti unsur biologis yang
disebabkan oleh mikro organisme (virus, bakteri, jamur, parasit, protzoa, metazoa,
dll), unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak memenuhi standar gizi yang
ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan karena bahan dari luar tubuh maupun
dari dalam tubuh sendiri (karbon monoksida, obat-obatan, arsen, pestisida, dll),
unsur fisika yang disebabkan oleh panas, benturan, dll, serta unsur psikis atau
genetik yang terkait dengan heriditer atau keturun. Demikian juga dengan unsur
kebiasaan hidup (rokok, alcohol, dll), perubahan hormonal dan unsur fisioloigis
2. Host
menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini di sebabkan oleh
faktor intrinsik. Faktor penjamu yang biasanya menjadi faktor timbulnya suatu
diabetes melitus cenderung terjadi pada wanita serta kanker serviks yang
hanya terjadi pada wanita atau penyakit kanker prostat yang hanya terjadi
pada laki-laki atau yang cenderung terjadi pada laki-laki seperti hipertensi,
jantung, dll.
c. Ras, suku (etnik). Misalnya pada ras kulit putih dengan ras kulit hitam yang
3. Environment
penyakit, hal ini karena faktor ini datangnya dari luar atau bisa disebut dengan
b. Lingkungan Fisik
Yang dimaksud dengan lingkungan fisik adalah yang berwujud geografik dan
musiman. Lingkungan fisik ini dapat bersumber dari udara, keadaan tanah,
geografis, air sebagai sumber hidup dan sebagai sumber penyakit, zat kimia atau
Yang termasuk dalam faktor lingkungan soial ekonomi adalah sistem ekonomi
yang berlaku yang mengacu pada pekerjaan sesorang dan berdampak pada
penghasilan yang akan berpengaruh pada kondisi kesehatannya. Selain itu juga
yang menjadi masalah yang cukup besar adalah terjadinya urbanisasi yang
Kalimantan adalah pulau yang kaya akan Sumber Daya alam hayatinya.
Luas pulau Kalimantan adalah 743.330 km². Propinsi Kalimantan Selatan secara
geografis terletak di antara 114 19" 33" BT-116 33' 28 BT dan 1 21' 49" LS 1 10"
14" LS, dengan luas wilayah 37.377,53 km² atau hanya 6,98 persen dari luas
pulau Kalimantan. Salah satu ibu kota di Kalimantan adalah banjarmasin yang
pada umumnya wilayahnya adalah tanah rawa dan lahan basah. Lahan basah
adalah daerah buatan atau alami berair yang bersifat tetap atau sementara. Airnya
bersifat stagnan/menetap atau pun mengalir. Airnya bersifat tawar, asin, payau.
menjamin persediaan air bersih, berguna untuk menyimpan sementara air limpas
berlebih, dapat mengukuhkan garis tepi laut sehingga mencegah erosi, pada
kehidupan satwa liar. Tetapi karena dilihat pemanfaatan lahan basah kurang baik
maka daerah lahan basah juga identik dianggap sebagai sumber penyakit seperti
contohnya malaria, demam berdarah, demam kuning, dan penyakit yang berkaitan
merupakan Negara dengan urutan kedua di dunia penderita TB paru setelah India.
Tahun 2016 penderita Tuberculosis mengalami peningkatan dari 9,6 juta menjadi
10,5 juta jiwa. Sejak tahun 2016, tujuan program Tuberculosis Paru adalah
tersebut berupa mengurangi kematian akibat TB Paru sebesar 90% pada tahun
paru BTA (+) dapat menularkan pada 10-15 orang pertahun. Daya penularan dari
seorang penderita tuberculosis paru BTA (+) ditentukan oleh banyak bakteri yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB, dan telah dinyatakan sembuh atau
dunia, antara lain di India dengan jumlah kasus relaps sebanyak 106.463 kasus,
Korea dengan jumlah kasus relaps sebanyak 6.701 kasus, Myanmar dengan
jumlah kasus relaps sebanyak 4.558 kasus, dan Bangladesh dengan jumlah kasus
adalah sebanyak 8.542 kasus, dan 70% diantaranya merupakan kasus relaps.5
Kejadian relaps TB merupakan kejadian yang cukup sering terjadi pada penderita
penduduk dunia. Tuberkulosis paru ini juga meninggalkan gejala sisa yang
meresahkan. Gejala sisa akibat TB masih sering ditemukan pada pasien pasca TB
dalam praktik klinik. Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan
faal paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip
Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru yaitu
sesak napas, batuk berdahak dan batuk darah. Penelitian lainnya menunjukkan
bahwa puncak terjadinya gangguan faal paru pada pasien pasca TB terjaadi dalam
tuntas walaupun obat dan cara pengobatannya telah diketahui. SOPT dapat
sebesar 15% setelah durasi 10 tahun. Deteksi dini SOPT dengan uji faal paru pada
matang, dan memberi respons lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi
(TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang kompleks dan sirkuit
imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag
kerusakan pada membran sel dan dinding sel M. tuberculosis. Beberapa hasil
tetap terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi matriks alveoli. Diduga
akan berubah.
Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan anti
1) Elastase, yang paling kuat memecah elastin dan protein jaringan ikat lain sehingga
bersama elastase;
3) Kolagenase, cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri
peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel terutama
untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat
meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas
menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan gangguan faal paru yang akhirnya
1) Batuk Berdahak
2) Sesak napas
4) Gejala lainnya adalah demam tidak tinggi atau meriang, dan penurunan berat
badan
(SOPT) terdiri dari: adanya batuk yang tidak efektif, penurunan ekspansi sangkar
toraks dan frekuensi pernapasan yang tidak normal (pernapasan cepat). Adapun
breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna mengurangi sesak napas
dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang dibarengi dengan pernapasan
diafragma dan latihan ini dapat dilakukan dengan meniup lilin, meniup bola
pipa hisap. Latihan ini berfokus pada pengontrolan inspirasi dan ekspirasi juga
dengan pola ekspirasi yang panjang dengan cara bibir mencucu. Selain itu,
mobilitas chest dan thoracal spine, koreksi pola-pola napas yang abnormal, dan
meningkatkan relaksasi.
pada trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep breathing yang bertujuan
dapat dilakukan dengan bantuan pergerakan dari bahu dan tulang belakang.
Mobilisasi sangkar toraks melibatkan gerakan kompleks dari anggota gerak atas
selain itu antara sternum, torakal vertebra, serta otot-otot pernapasan. Mekanisme
c. Coughing exercise
dengan benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah
dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dari jalan napas dan area paru.
Selain itu coughing exercise menekankan inspirasi maksimal yang dimulai dari
d. IR (Infra Red)
subkutan yaitu epidermis dan dermis. Pemberian Infra Red Luminous diberikan
dengan intensitas sesuai dengan toleransi dari pasien tersebut, dimana pasien
merasakan hangat pada area yang diterapi. Penyinaran diberikan secara tegak
lurus pada area yang diterapi pada jarak 30-45 cm dan dengan dosis terapi selama
10-15 menit.
tidak maksimal bila tidak segera dilakukan penanganan atau tindakan fisioterapi.
.........................BETHARI........................
masuk rumah sakit, disertai dengan batuk berdahak dan keringat dingin saat
malam hari.Pasien juga mengaku selama sakit pasien mengalami penurunan berat
badan hingga saat ini berat badan pasien adalah 27 kg meskipun pasien telah
lebih bergizi. Pasien sebelumnya telah didiagnosis TB sejak 20 tahun yang lalu
dan dinyatakan kambuh sejak 10 tahun terakhir selama 3 kali. Pasien kemudian
kasus putus berobat karena pasien mengaku tidak pernah sekalipun putus berobat,
menurut pengakuan pasien, beliau selalu datang ke puskesmas untuk berobat dan
tidak pernah satu kalipun absen. Pasien tidak didiagnosis dengan TB kasus gagal
adanya reinfeksi, jumlah basil sebagai penyebab infeksi cukup dengan virulensi
merokok dan meminum alkohol, serta pengobatan TB yang terlalu pendek. Pada
pasien laporan kasus kali ini, kemungkinan adanya reinfeksi dibuktikan dengan
hasil anamnesis dimana diketahui beberapa tetangga pasien ada yang menderita
penyakit TB dan jarak rumah yang dekat serta kondisi lingkungan yang kumuh
memudahkan transmisi bakteri dan menjadi salah satu faktor risiko kekambuhan
pada pasien laporan kasus kali ini. Sementara itu, faktor risiko lain seperti
Dari anamnesis didapatkan informasi bahwa ada kontak yang lama antara
pasien dengan tetangganya yang menderita TB. Pasien juga diketahui tinggal
serumah dengan anak dan cucunya dimana anak pasien memiliki keluhan batuk
lama namun belum pernah memeriksakan dirinya dan tidak diketahui apakah
menderita TB juga atau tidak. Batuk lama merupakah salah satu gejala respiratoir
dari TB paru. Adanya kontak dengan pasien TB paru menjadi faktor penting
kekambuhan pada pasien TB yang telah sembuh. Hal ini sesuai dengan penelitian
diketahui memiliki riwayat tinggal serumah dengan pasien TB paru atau minimal
dalam setahun sebelumnya ada anggota keluarga serumah yang pernah sakit TB
paru. Penelitian ini membuktikan bahwa kontak dengan pasien TB dapat menjadi
dipengaruhi oleh status gizi. Pasien memiliki status gizi normal. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Sianturi (2014), didapatkan hasil bahwa jumlah responden
yang mengalami TB paru kambuh lebih banyak pada responden yang memiliki
status gizi kurang disbanding responden yang memiliki status gizi normal. 9 Status
gizi kurang mengakibatkan daya tahan tubuh menurun sehingga tubuh menjadi
lebih peka terhadap infeksi. Pasien pada laporan kasus kali ini memiliki faktor
risiko status gizi kurang dimana IMT pasien menunjukkan bahwa pasien termasuk
kedalam kategori kurus dan status gizi pasien termasuk kedalam kategori kurang
ekonomi keluarga kurang. Pada laporan kasus kali ini dari hasil anamnesis dan
sekitar sungai , kumuh dan gaya hidup yang tidak higenis dimana untuk kegiatana
mandi, buang air besar, buang air kecil dan mencuci baju menggunakan air sungai
di sekitar rumah pasien. Rumah pasien terbuat dari kayu sehingga kondisi rumah
cenderung lembab dan kurang mendapat sinar matahari karena pemukiman yang
padat, serta tidak adanya ventilasi yang mengakibatkan kurangnya sirkulasi udara
yang kurang sehingga mempengaruhi sistem imun, lingkungan rumah yang padat
penduduk, rumah dengan ventilasi yang kurang, kelembaban rumah yang tinggi,
dan polusi udara di dalam ruangan, sehingga memiliki risiko yang lebih besar
untuk terinfeksi TB. Lingkungan tempat tinggal pasien yang padat dan keadaan
rumah pasien yang lembab serta kurang penerangan dari cahaya matahari juga
untuk menjaga udara di dalam ruangan agar tidak lembab. Kurangnya ventilasi
ruangan, cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah harus cukup. Cahaya
risiko 3,9 kali lebih besar menderita TB daripada responden yang intensitas
Kejadian TB relaps adalah kejadian yang cukup sering pada penderita TB.
meningkatkan kemungkinan resistensi obat anti TB. Bahaya resistensi obat adalah
penyakit TB dapat kembali dengan kuman yang lebih kuat sehingga lebih sulit
diobati, biaya pengobatan lebih mahal, dan tingkat keberhasilan pengobatan lebih
rendah. Selain meningkatkan kemungkinan resistensi obat, TB kambuh
faktor risiko lain untuk resisten obat sebaiknya mendapatkan pengobatan lini
pertama yang direkomendasikan oleh WHO. Tahap awal (intensif) selama dua
bulan meliputi pengobatan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
dan Etambutol (E). Tahap lanjutan meliputi pengobatan dengan Isoniazid dan
kurang dari enam bulan memiliki kemungkinan relaps yang tinggi.6 Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Sianturi (2014), bahwa pasien TB yang tidak
dimana terapi ini termasuk kedalam terapi TB kategori 2. Paduan OAT kategori 2
ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu :
pasien kambuh, pasien gagal, pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
(default). Pada pasien ini, dengan TB Paru kambuh, diberikan pengobatan OAT
bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet dengan dosis disesuaikan dengan
berat badan pasien. OAT kategori 2 diberikan untuk pasien dengan riwayat
pengobatan TB lini pertama. Dosis pemberian OAT berdasarkan dari berat badan
pasien. Berat badan pada pasien ini adalah 54 kg. Untuk berat badan 38-54 kg,
Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg