Anda di halaman 1dari 10

Demam Typhoid pada Manusia

Bonifasia Felia Ika Hapsari


102017195
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
Alamat korespondensi: Bonifasia.2017fk195@civitas.ukrida.ac.id
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang memiliki ciri khusus demam
dengan nyeri pada bagian abdomen dan disebabkan oleh S. typhi dan S. paratyphi.
Demam tifoid didefinisikan sebagai penyakit patologis yang berbasis di patch peyeri
dan limfonodi mesenterika.1
Demam tifoid adalah penyakit endemik di indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit yang dapat menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun
1962 tentang wabah. Penyakit ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.2
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar pembaca dapat mengerti tentang
penyakit demam tifoid dan diagnosis bandingnya, etiologi, dan epidemiologi, serta
cara penatalaksanaannya dan pencegahan penyakit demam tifoid. Isi dari makalah ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai penyakit demam tifoid.
Anamnesis
Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga,
anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi,
budaya, kebiasaan, obat-obatan, lingkungan). Pasien dengan sakit menahun, perlu
dicatat pasang-surut kesehatannya, termasuk obat-obatannya dan aktivitas sehari-
harinya.1
Pada kasus skenario 3, hasil anamnesa adalah sebagai berikut:
Keluhan Utama :
Keluhan demam sejak 7 hari yang lalu.
Demam berlangsung sepanjang hari dan memburuk pada malam hari.
Keluhan Tambahan :
Demam disertai nyeri kepala, nyeri perut, mual, dan muntah
Belum BAB sejak 4 hari yang lalu
Selain itu, pasien juga sering makan di kantin
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada kasus, didapati bahwa kesadaran
pasien adalah compos mentis, yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dan dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Tingkat kesadaran
lainnya, yaitu :
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen, yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Selain itu, pada pasien tidak ditemukan adanya ruam-ruam merah (ptekiae,
purpura).
Tanda-Tanda Vital
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dapat dilakukan pengukuran suhu tubuh,
denyut nadi, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan.3
Tekanan darah pasien: 135/70 mmHg
Tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg
Nadi pasien: 80x/menit
Frekuensi nadi normal ialah sekitar 80-100x/menit
Takikardi: >100x
Bradikardi: < 60x
Nafas pasien: 18x/menit
Frekuensi nafas normal adalah 16-24x/menit
Takipnea: >24x
Bradipnea: >16x
Suhu pasien: 380C
Normal: 36-370C
Pemeriksaan Thorax
Pemeriksaan Thorax dilakukan untuk memeriksa berbagai kelainan di bagian
dada, termasuk memeriksa fungsi organ jantung dan paru-paru. Berbagai Kelainan
Paru-paru dan jantung dapat dideteksi sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan ini dilakukan urut dan sistematis. Prinsip pemeriksaan dada meliputi
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada pemeriksaan auskultasi, ronki negatif
dan wheezing negatif.
Pemeriksaan Abdomen
Pemeriksaan abdomen terdiri dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Pada pemeriksaan, saat inspeksi tidak ditemukan apapun. Saat palpasi, ditemukan
nyeri tekan di epigastrium. Saat perkusi ditemukan hipertimpani di epigastrium, dan
saat auskultasi terdengar bising usus menurun.
Differential Diagnosis
Demam Bedarah Dengue. Pada demam berdarah dengue, ditunjukkan melalui
munculnya demam secara tiba-tiba yang naik turun tidak teratur yang bersifat bifasik.
Disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgias dan arthralgias), nyeri
menelan, serta ada ruam-ruam. Ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah
terang dan biasanya muncul terlebih dahulu pada bagian bawah badan pada beberapa
pasien, ruam tersebut akan menyebar menyelimuti seluruh tubuh. Tapi, demam
berdarah dengue tidak selalu ditandai dengan munculnya bintik-bintik merah pada
kulit. Selain itu, pada beberapa pasien terjadi perdarahan seperti epistaksis
(mimisan).3
Demam Chikungunya. Penyakit ini adalah jenis penyakit menular dengan
gejala utama demam mendadak, nyeri persendian terutama sendi lutut, pergelangan,
jari kaki dan tangan serta tulang belakang yang disertai ruam (bintik-bintik
kemerahan) pada kulit yang disebabkan oleh virus jenis Chikungunya, Genus
Alphavirus, Famili Togaviridae. Demam chikungu- nya adalah penyakit disebabkan
oleh vi- rus yang ditularkan ke manusia melalui nyamuk genus Aedes. Gejala utama
terkena chikungunya, tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti dengan linu di persendian.
Bahkan, terdapat gejala khas yaitu timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa
sakit pada tulang-tulang (demam tulang / flu tulang). Dalam beberapa kasus didapat-
kan juga penderita yang terinfeksi tanpa menimbulkan gejala sama sekali (silent virus
chikungunya). Kelumpuhan dapat terjadi pada kasus demam chikungunya walau
hanya bersifat sementara sebagai efek dari proses perkembangbiakan virus dalam
darah yang menimbulkan perasaan nyeri pada tulang dan seputar persendian sehingga
sulit menggerakkan anggota tubuh. Akan tetapi, itu bukan berarti ke- lumpuhan total.4
Working Diagnosis
Demam Typhoid
Etiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Bakteri Salmonella typhi berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, dan memiliki kapsul. Isolat kuman Salmonella typhi memiliki
sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif,
sedangkan hasil negatif pada reaksi bakteri Salmonella typhi memiliki beberapa
komponen antigen antara lain antigen dinding sel (O) yang merupakan
lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup. Antigen flagella (H) yang merupakan
komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies. Antigen virulen
(Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh
permukaan sel.1
Epidemiologi
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia.
Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-
pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang
serumah.
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insiden
tertinggi pada daerah endemik terjadi pada anak-anak. Kasus demam tifoid
berhubungan erat dengaan sanitasi buruk dan kurangnya air bersih. Pada daerah
endemis, demam tifoid lebih sering di perkotaan dibanding di pedesaan. Faktor resiko
dapat berupa air atau es, banjir, makanan yang dibeli di jalanan, kurangnya kebiasaan
cuci tangan.1
Gejala Klinis
 Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang
malamnya demam tinggi. (39° sampai 40°C)
 Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak
akan merasa lidahnya pahit.
 Mual berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hati
dan limpa, akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung
sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya
makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi melalui mulut.
 Diare atau bisa terjadi konstipasi. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna
menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun
dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
 Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas,
pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di
perut.
 Pingsan, tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan
berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali
terjadi gangguan kesadaran.
 Pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda ("rose spots") Pada
sekitar 10% penderita timbul sekelompok bintik-bintik kecil berwarna merah
muda di dada dan perut pada minggu kedua dan berlangsung selama 2-5 hari.5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diagnosis demam tifoid diawali dengan pemeriksaan
darah perifer lengkap dimana biasa ditemukan leukopenia, walaupun dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukosistosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia.
Uji Widal. Dilakukan untuk deteksi antiboni terhadap bakteri Salmonella
typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigem kuman S. typhi
dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal
adalah suspense Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboraturium.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid, yaitu agglutinin O (dari tubuh bakteri), agglutinin H (flagella
bakteri), agglutinin Vi (simpai bakteri). Dari ketiga agglutinin terseut, hanya
agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi bakteri tersebut.2
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal, yaitu pengobatan dini
dengan antibiotic, gangguan pembentukan antibodi, pemberian kortikosteroid, daerah
endemic atau non-endemik, riwayat vaksinasi.
Selanjutnya ada uji tubex. Uji tubex merupakan uji semikuantitatif kolometrik
yang cepat dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti S. typhi O9
pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang
terkonjungasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang
terkonjungasi pada partikel magnetik latex. Hasil posistif uji TUBEX ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis
sel B tanpan bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap anti-gen
O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke
2-3 untuk infeksi sekunder.6
Patogenesis
Salmonella typhi dan parathyphi masuk kedalam manusia karena tertelan,
kebanyakan dari makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke usus halus dan
selanjutnya berkembang biak. Jika sistem imun lumen usus halus (IgA) kurang baik,
maka kuman akan menembus sel-sel epitel kemudian ke lamina propria. kuman yang
berada di lamina propria berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman yang
difagosit oleh makrofag dapat hidup dan berkembang biak dan dibawa menuju plak
peyeri ileum disal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat dalam makrofag masuk ke sirkulasi
darah (mengakibatkan bakterinemia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloentolial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkuasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan kedalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagia masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, tetapi makrofag sudah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler.
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (Salmonella typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri yang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat penumpukan sel-sel mononuclear di dinding usus.2
Penatalaksanaan
Penatalaksaan untuk demam tifoid antara lain, istirahat dan perawatan dengan
tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Diet dan terapi
penunjang (simptomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman
dan kesehatan pasien secara optimal. Pemberian antimikroba, dengan tujuan
menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.2
Diet dan terapi penunjang. Pada masa lalu penderita demam tifoid diberi diet
bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan
nasi, pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan
saluran cerna atau perforasi usus. Beberapa peneliti menunjukan bahwa pemberian
makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan
dengan pada pasien demam tifoid.2
Pemberian antimikroba yang sering digunakan untuk demam tifoid adalah
kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampilisin dan amoksisilin, sefalosporin
generasi ketiga, golongan flourokuinolon, dan azitromisin.
Pengobatan dengan Antimikroba
Kloramfenikol masih digunakan sebagai pilihan untuk kasus demam tifoid di
Indonesia, dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari dapat diberikan secara oral
atau intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas panas.
Tiamfenikol diberikan pada pasien demam tifoid dengan dosis yang mirip
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti anemia aplastik
lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg,
demam rata-rata turun dihari ke-6 sampai hari ke-6
Kotrimoksazol memiliki efektivitas yang hampir sama dengan kloramfenikol.
Untuk orang dewasa diberikan dosis 2x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol
400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
Ampisilin dan amoksisilin mempunyai dosis yang dianjurkan sebesar 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu, namun kemampuan obat ini dalam
menurunkan demam tidak sebaik kloramfenikol.
Golongan flourokuinolon contohnya adalah siprofloksasin memiliki dosis 2x
500 mg/hari selama 6 hari. Selain itu, ada azitromisin yang diberikan sebanyak 2 x
500 mg, azitromisin secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat
inap jika dibandingkan dengan flourokuinolon. Azitromisin juga bisa menghasilkan
konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun jumlah di darah sedikit. Antibiotik
ini akan banyak masuk dalam sel yang membuatnya cocok untuk mengobati demam
tifoid yang disebabkan bakteri intraseluler. Keuntungan lainnya dari azitromisin
adalah adanya sediaan oral maupun intravena.
Pada ibu hamil kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke 3 karena
khawair terjadi kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus,
tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena ada kemungkinan efek
teratogenenitas terhadap fetus, namun pada kehamilan trimester lanjut dapat
digunakan. Obat yang dianjurkan untuk ibu hamil adalah ampisilin, amoksisilin, dan
seftriakson.2
Komplikasi
Demam typhoid dapat menimbulkan komplikasi intestinal dan komplikasi
ekstra-intestinal. Komplikasi intestinal meliputi perdarahan intestinal dan perforasi
usus. Perdarahan intestinal, pada plak peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk
tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus, maka perforasi dapat terjadi.
Perforasi usus. Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum yang biasa terjadi, maka penderita demam typhoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama didaerah kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertadi dengan tanda-tanda ileus. Bising
usus melemah pada 50% penderita. Perforasi usus dan perdarahan intestinal
merupakan komplikasi intestinal.
Komplikasi hematologi. Yang paling sering ditemukan adalah
trombositopenia, leukopenia, dan koagulasi intravascular dieminata (KID).
Trombositopenia mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sumsum
tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di system
retikuloendotelial. Sementara, penyebab KID belum jelas. Hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan fibrinolisis dan system koagulasi.
Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamine menyebabkan vasokonstruksi dan
kerusakan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan
perangsangan koagulasi (KID).
Hepatisa tifosa. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50%
kasus dengan demam typhoid. Pada demam typhoid kenaikan enzim transaminase
tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin. Komplikasi hematologi dan hepatisa
tifosa merupakan komplikasi eksra intestinal.7
Kesimpulan
Berdasarkan anamnesa yang didapat dari pasien, diagnosis penyakit yang tepat
adalah demam typhoid. Hal ini dapat ditegakkan dari demam yang naik turun sejak 1
minggu yang lalu dan tinggi pada malam hari. Selain itu, pasien juga sering makan di
kantin yang kebersihan makanannya kurang terjamin. Pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik, ditemukan bising usus yang melemah, hal ini disebabkan bakteri
Salmonella typhi yang menginfeksi usus halus.
Daftar Pustaka
1. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison’s principles of internal
medicine. 19th. New York: Mc Graw-Hill Education; 2015
2. Widodo D. Demam tifoid, dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.549-57
3. Ester M, Asih Y. Demam berdarah dengue. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2010.h.17-22
4. Yatim F. Penyakit menular dan cara pencegahannya. Jakarta: YayasanPustaka
Obor Indonesia; 2001.h. 120-22
5. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.h. 152
6. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 4. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2001.hal.405-36
7. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran. Demam tifoid. Jakarta; FKUI, 2000.
h422-5, 428-9

Anda mungkin juga menyukai