A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Anemia hemolitik adalah anemia yang di sebabkan oleh proses
hemolisis, yaitu pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum
waktunya (normal umur eritrosit 100-120 hari). Anemia hemolitik adalah
anemia karena hemolisis, kerusakan abnormal sel-sel darah merah (sel
darah merah), baik di dalam pembuluh darah (hemolisis intravaskular)
atau di tempat lain dalam tubuh (extravascular).
Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah
merah (HB) berada di bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi)
pada eritrosit yang lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang
mengantinya kembali. Jika terjadi hemolisis (pecahnya sel darah merah)
ringan/sedang dan sumsum tulang masih bisa mengompensasinya, anemia
tidak akan terjadi, keadaan ini disebut anemia terkompensasi. Namun jika
terjadi kerusakan berat dan sumsum tulang tidak mampu menganti
keadaan inilah yang disebut anemia hemolitik. Anemia hemolitik sangat
berkaitan erat dengan umur eritrosit. Pada kondisi normal eritrosit akan
tetap hidup dan berfungsi baik selama 120 hari, sedang pada penderita
anemia hemolitik umur eritrosit hanya beberapa hari saja.
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi
dimanaimunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat pada
antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel
darah merah melaluiSistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang khas
pada AIHA antara lain IgG,IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang
berbeda-beda. (Lanfredini, 2007).
Tapi sebenarnya defenisi dari beberapa referensi diatas sama yakni
karena terbentuknya autoantibody oleh eritrosit sendiri dan akhirnya
menimbulkan hemolisis. Hemolisis yakni pemecahan eritrosit dalam
pembuluh darah sebelum waktunya. Anemia hemolitik autoimun
memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik). Kadang-kadang tubuh mengalami gangguan fungsi
dan menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagai
bahan asing (reaksi autoimun), jika suatu reaksi autoimun ditujukan
kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun
2. Etiologi
a) Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit kelainan
karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1) Gangguan struktur dinding eritrosit
Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan
oleh kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini
berlangsung ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala
anemianya lebih menyolok daripada dengan ikterusnya, sedangkan
pada orang dewasa sebaliknya. Suatu infeksi yang ringan saja
sudah dapat menimbulkan krisi aplastik.Kelainan radiologis tulang
dapat ditemukan pada anak yang telah lama menderita kelainan ini.
Dalam keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-
20% saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum
mendel. Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-
kadang ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi
biasanya dapat mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang
menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga
kelainan bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan
komposisi lemak pada dinding sel.
2) Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah
pecah, misalnya pada panmielopatia tipe fanconi. Anemia
hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
Defisiensi Glutation reduktase
Defisiensi Glutation
Defisiensi Piruvatkinase
Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
Defisiensi difosfogliserat mutase
Defisiensi Heksokinase
Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehydrogenase
3) Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari
hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya
konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur satu tahun
telah mencapai keadaan normal Sebenarnya terdapat 2 golongan
besar gangguan pembentukan hemoglobin ini, yaitu:
Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin
abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain .
Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin.
Misal talasemia
b) Faktor Ekstrinsik :
1) Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
2) Akibat reaksi non imunitas : karena bahan kimia / obat.
3) Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh
antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
4) Infeksi, plasmodium, boriella
3. Klasifikasi
a) Tipe Hangat
Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh optimal
(37 derajat celcius). Anemia Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu
keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi
terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi ini melapisi
sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan
dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan
sumsum tulang. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga
penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu
(misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat,
terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat
tertentu, terutama metildopa.
Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan,
mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya
membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri
atau tidak nyaman. Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika
penyebabnya tidak diketahui, diberikan kortikosteroid (misalnya
prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena, selanjutnya per-
oral (ditelan). Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang
baik terhadap pengobatan tersebut. Penderita lainnya mungkin
memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa
berhenti menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh
autoantibodi. Pengangkatan limpa berhasil mengendalikan anemia
pada sekitar 50% penderita. Jika pengobatan ini gagal, diberikan obat
yang menekan sistem kekebalan (misalnya siklosporin dan
siklofosfamid).
Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita
anemia hemolitik autoimun. Bank darah mengalami kesulitan dalam
menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap antibodi, dan
transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak lagi
antibodi. Manifestasi klinis: gejala tersamar, gejala2 anemia, timbul
perlahan, menimbulkan demam bahkan ikterik. Jika diperiksa urin
pada umumnya berwarna gelap karena hemoglobinuri. Bisa juga
terjadi splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati. Pemeriksaan
Lab: Coomb’s test direk positif. Prognosis: hanya sedikit yang bisa
sembuh total, sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang kronis
namun terkendali. Survival 70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti
emboli paru, infark limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka
kematian 15-25%.
Terapi: (1) pemberian kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari, jika
membaik dalam 2 minggu dosis dikurangi tiap minggu 10-20 mg/hari.
(2) splenektomi, jika terapi kortikosteroid tidak adekuat; (3)
imunosupresi: azatioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150
mg/hari; (4) terapi lain: danazol, imunoglobulin; (5) tansfusi jika
kondisinya mengancam jiwa (misal Hb <3mg/dl)
b) Tipe Dingin
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan
dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel
darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin.
Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik. Bentuk yang akut
sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu
atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak
berlangsung lama, relatif ringan dan menghilang tanpa pengobatan.
Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama
penderita rematik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk
yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup penderita, tetapi
sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah
merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan
dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan. Penderita
yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih
berat dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.
Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
antibodi pada permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu
yang lebih rendah dari suhu tubuh. Tidak ada pengobatan khusus,
pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk akut
yang berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya
dan jarang menyebabkan gejala yang serius. Menghindari cuaca dingin
bisa mengendalikan bentuk yang kronik terjadi pada suhu tubuh
dibawah normal. Antibodi yang memperantarai biasanya adalah IgM.
Antibodi ini akan langsung berikatan dengan eritrosit dan langsung
memicu fagositosis.Manifestasi klinis: gejala kronis, anemia ringan
(biasanya Hb:9-12g/dl), sering dijumpai akrosianosis dan
splenomegali.pemeriksaan lab: anemia ringan, sferositosis,
polikromasia, tes coomb positif, spesifisitas tinggi untuk antigen
tertentu seperti anti-I, anti-Pr, anti-M dan anti-P.Prognosis:baik, cukup
stabil. Terapi hindari udara dingin, terapi prednison, klorambusil 2-4
mg/hari, dan plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM.
4. Patofisiologi
Hemolisis adalah acara terakhir dipicu oleh sejumlah besar
diperoleh turun-temurun dan gangguan. etiologi dari penghancuran
eritrosit prematur adalah beragam dan dapat disebabkan oleh kondisi
seperti membran intrinsik cacat, abnormal hemoglobin, eritrosit enzimatik
cacat, kekebalan penghancuran eritrosit, mekanis cedera, dan
hypersplenism. Hemolisis dikaitkan dengan pelepasan hemoglobin dan
asam laktat dehidrogenase (LDH). Peningkatan bilirubin tidak langsung
dan urobilinogen berasal dari hemoglobin dilepaskan.
Seorang pasien dengan hemolisis ringan mungkin memiliki tingkat
hemoglobin normal jika peningkatan produksi sesuai dengan laju
kerusakan eritrosit. Atau, pasien dengan hemolisis ringan mungkin
mengalami anemia ditandai jika sumsum tulang mereka produksi eritrosit
transiently dimatikan oleh virus (Parvovirus B19) atau infeksi lain,
mengakibatkan kehancuran yang tidak dikompensasi eritrosit (aplastic
krisis hemolitik, di mana penurunan eritrosit terjadi di pasien dengan
hemolisis berkelanjutan). Kelainan bentuk tulang tengkorak dan dapat
terjadi dengan ditandai kenaikan hematopoiesis, perluasan tulang pada
masa bayi, dan gangguan anak usia dini seperti anemia sel sabit atau
talasemia.
1. .Mekanisme pemecahan eritrosit ektravaskular
Terjadi dalam sel makrofag dan sistem retikuloendotelial
terutama di organ hati, limpa/pankreas dan sumsum tulang.
Pemecahan eritrosit terjadi di dalam sel organ-organ tersebut
karena organ-organ tersebut mengandung enzim heme oxygenase
yang berfungsi sebagai enzim pemecah.
Eritrosit yang lisis akibat kerusakan membran, gangguan
pembentukan hemoglobin dan gangguan metabolisme ini, akan
dipecah menjadi globin dan heme. Globin akan disimpan sebagai
cadangan, sedang heme akan dipecah lagi menjadi besi dan
protoforfirin. Besi disimpan sebagai cadangan. Protoforpirin akan
terurai menjadi gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah
berikatan dengan albumin akan membentuk bilirubin indirect
(bilirubin I). Bilirubin indirect yang terkonjugasi di organ hati
menjadi bilirubin direct (bilirubin II). Bilirubin direct diekresikan
(disalurkan) ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen
(mempengaruhi warna feses) dan urobilinogen (mempengaruhi
warna urin/air seni).
2. Mekanisme pemecahan eritrosit intravascular
Terjadi dalam sirkulasi darah. Eritrosit yang lisis
melepaskan HB bebas ke dalam plasma. Haptoglobin dan
hemopektin mengikat HB bebas tersebut ke sistem
retikuloendotelial untuk dibersihkan. Dalam kondisi hemolisis
berat, jumlah haptoglobin dan hemopektin mengalami penurunan,
akibatnya Hemoglobin bebas beredar dalam darah
(hemoglobinemia). Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan
membuat hemoglobin dilepaskan ke dalam plasma. Jumlah
hemoglobin yang tidak terakomodasi seluruhnya oleh sistem
keseimbangan darah itulah yang menyebabkan hemoglobinemia.
Hemoglobin juga dapat melewati glomelurus ginjal
sehingga terjadi hemoglobinuria. Hemoglobin yang terdapat di
tubulus ginjal akan diserap oleh sel-sel epitel, sedang kandungan
besi yang terdapat di dalamnya akan disimpan dalam bentuk
hemosiderin. Jika epitel ini mengalami deskuamasi akan terjadi
hemosiderinuria (hemosiderin hanyut bersama air seni).
Hemosiderinuria merupakan tanda hemolisis intravaskular kronis.
Berkurangnya jumlah eritrosit diperifer juga memicu ginjal
mengeluarkan eritropoetin untuk merangsang eritropoesis di
sumsum tulang. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan
retikulosit (sel eritrosit muda di paksa matang) sehingga
mengakibatkan polikromasia.
5. Pathway
6. Manifestasi Klinis
10) Seksualitas
Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
Hilang libido
Impoten
2. Diagnose Keperawatan
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Awasi tanda vital kaji Memberikan informasi
pengisian kapiler, warna tentang derajat / keadekuatan
kulit/membrane mukosa, perfusi jaringan dan
dasar kuku. membantu menetukan
Tinggikan kepala tempat
kebutuhan
tidur sesuai toleransi.
Awasi upaya pernapasan ; Memberikan informasi
auskultasi bunyi napas tentang derajat/keadekuatan
perhatikan bunyiadventisius perfusi jaringan dan
Selidiki keluhan nyeri dada, membantu menetukan
palpitasi kebutuhan intervensi.
Hindari penggunaan botol
Meningkatkan ekspansi paru
penghangat atau botol air
panas, ukur suhu air mandi dan memaksimalkan
dengan thermometer oksigenasi untuk kebutuhan
Kolaborasi pegawasan hasil seluler.
Dispenia Gemericik
menununjukkan gangguan
jajntung karena regangan
jantung lama/peningkatan
kompensasi curah jantung.
Iskemia seluler
mempengaruhi jaringan
miokardial/ potensial risiko
infark.
Intervensi Rasional
Kaji riwayat nutrisi, termasuk Mengidentifikasi defisiensi,
makan yang disukai. memudahkan intervensi.
Observasi dan catat masukkan Mengawasi masukkan kalori
makanan pasien. atau kualitas kekurangan
Timbang berat badan setiap konsumsi makanan.
hari. Mengawasi penurunan berat
Berikan makan sedikit dengan badan atau efektivitas
frekuensi sering dan atau intervensi nutrisi.
makan diantara waktu makan
Observasi dan catat kejadian Menurunkan kelemahan,
mual/muntah, flatus dan dan meningkatkan pemasukkan dan
gejala lain yang berhubungan. mencegah distensi gaster.
Kolaborasi pada ahli gizi
untuk rencana diet. Gejala GI dapat menunjukkan
efek anemia (hipoksia) pada
organ.
Meningkatakan efektivitas
program pengobatan, termasuk
sumber diet nutrisi yang
dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani Wiwik dan Andi Sulistyo. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika
Price, Sylvia. 2010. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta
: EGC
Smeltzer, Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Jakarta, EGC.