PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perawat merupakan tenaga kesehatan professional yang memiliki tugas
untuk mengembangkan praktek yang berkontribusi terhadap kesehatan pasien.
Profesionalisme diartikan sebagai tingkat komitmen individu untuk nilai dan
karakteristik perilaku terhadap identitas karir tertentu. Hal ini merupakan
karakteristik penting yang menekankan nilai dan komitmen dalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Kim-Godwin, Baek, & Wynd, 2010).
Dengan demikian, profesionalisme harus menjadi bagian yang mendasar dan
melekat dari seluruh kelompok perawat, baik yang bekerja di tatanan klinis
maupun akademis.
Peran professional dari seorang perawat di pelayanan klinis telah
berkembang menjadi kemandirian dalam melakukan pengambilan keputusan
klinis untuk diagnosis keperawatan, pengujian, dan pemberian asuhan
keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien (Facchiano & Snyder, 2012).
Oleh karena itu, untuk memenuhi tanggung jawab peran profesional tersebut,
diperlukan suatu penelitian klinis yang dapat menjadi bukti kuat bahwa suatu
intervensi keperawatan tidak membahayakan dan memiliki efek yang
menguntungkan bagi pasien, baik ditinjau dari segi klinis dan juga ekonomis
(Forbes, 2009).
Salah satu metode dalam mendapatkan hasil penelitian klinis yang terbukti
manfaatnya adalah dengan melakukan kajian terkait evidence based practice dan
riset klinis keperawatan. Pemahaman dan penerapan hasil-hasil riset/penelitian di
tatanan pelayanan keperawatan akan membantu meningkatkan mutu dan kualitas
pemberihan asuhan keperawatan. Namun, dalam kenyataannya di tatanan klinis,
masih banyak tindakan atau intervensi keperawatan yang dilakukan hanya
berdasarkan kepada kebiasaan yang turun temurun tanpa berdasarkan
perkembangan ilmu pengetahuan yang baru. Kebiasaan seperti ini perlu
dihilangkan dan digantikan dengan kebiasaan tindakan yang berdasarkan pada
1
bukti riset dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, disusnlah makalah ini untuk
membahas secara komperhensif terkait evidence based practice dan riset klinis
keperawatan, sehingga perawat dapat memahami dan mengaplikasikannya dengan
baik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa maksud dari Konsep Clinical Based Evidence?
2. Bagaimana Evidence Based Practice dan Clinical Research dalam
Keperawatan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Konsep Critical Based Evidence
2. Untuk mengetahui Evidence Based Practice dan Critical Research dalam
keperawatan
2
BAB 2
PEMBAHASAN
3
b. Level 2 : Evidence berasal dari suatu penelitian RCT dengan randomisasi.
c. Level 3 : Evidence berasal dari suatu penelitian RCT tanpa randomisasi.
d. Level 4 : Evidence berasal dari suatu penelitian dengan desain case
control dan kohort.
e. Level 5 : Evidence berasal dari systematic reviews dari penelitian
descriptive dan qualitative.
f. Level 6 : Evidence berasal dari suatu penelitian descriptive atau
qualitative.
g. Level 7 : Evidence berasal dari suatu opini dan atau laporan dari para ahli.
4
(Haynes, Sackett, Gray, Cook, & Guyatt, 1996 ; Dicenso, Cullum, & Ciliska,
1998). Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut
5
c. Merumuskan pertanyaan klinis dalam format PICOT Pertanyaan klinis
dalam format PICOT untuk menghasilkan evidence yang lebih baik dan
relevan.
P : Patient Population (kelompok / populasi pasien)
I : Intervention or Issue of Interest (intervensi atau issue yang menarik)
C : Comparison intervention of group (perbandingan intervensi didalam
populasi)
O : Outcome (tujuan)
T : Time frame (waktu)
d. Mencari dan mengumpulkan literatur evidence yang berhubungan
Mencari evidence yang baik adalah langkah pertama didalam penelitian,
untuk menjawab pertanyaan tindakan dengan melakukan systematic
reviews dengan mempertimbangkan level kekuatan dari evidence yang
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan (Guyatt & Rennie, 2002).
e. Melakukan telaah atau penilaian kritis terhadap evidence Langkah ini
merupakan langkah vital, didalamnya termasuk penilaian kritis terhadap
evidence. Kegiatannya meliputi evaluasi kekuatan dari evidence tersebut,
yaitu tentang kevalidan dan kegeneralisasiannya.
f. Mengintegrasikan evidence terbaik dengan pengalaman klinis dan rujukan
serta nilai-nilai pasien didalam pengambilan keputusan atau perubahan.
Konsumen dari jasa pelayanan kesehatan menginginkan turut serta dalam
proses pengambilan keputusan klinis dan hal tersebut merupakan tanggung
jawab etik dari pemberi pelayanan kesehatan dengan melibatkan pasien
didalam pengambilan keputusan terhadap tindakan (Melnyk & Fineout-
Overholt, 2005).
g. Mengevaluasi tujuan di dalam keputusan praktis berdasarkan evidence.
Pada tahap ini dievaluasi EBP yang dipakai, bagaimana atau sejauh mana
perubahan yang dilakukan berefek terhadap tujuan pasien atau apakah
efektif pengambilan keputusan yang dilakukan.
h. Menyebarluaskan tujuan EBP atau perubahan Sangat penting
menyebarluaskan EBP baik yang sesuai ataupun yang tidak sesuai, dengan
6
cara melakukan oral atau poster presentation diwilayah local, regional,
nasional atau internasional.
7
sangat setuju (5). Terdapat dua item yang terdiri dari pernyataan negatif.
Semakin tinggi total skor yang didapat, menunjukkan semakin tinggi pula
kepercayaan/keyakinan dan kemampuan seseorang untuk
mengimplementasikan EBP dan koefisien alpha Cronbach’s berada pada
rentang 0.90 – 0.92 (Wallen & Mitchell, 2011).
Implementasi dari EBP pun dapat dikaji pelaksanaannya, yaitu dengan
menggunakan EBP Implementation Scale (EBPI) yang juga dikembangkan
oleh Fineout-Overholt and Melnyk tahun 2003, terdiri dari 18 item.Pada tiap
item mengindikasikan seberapa sering individu tersebut menggunakan EBP
dalam waktu 8 minggu. Respon mulai dari tidak pernah sama sekali dalam 8
minggu sampai lebih dari 8 kali dalam 8 minggu dengan koefisien alpha
Cronbach’s berada pada rentang 0.92 – 0.94 (Wallen & Mitchell, 2011).
8
diikuti dengan diseminasi (Jones & Bartlett, 2004; Bernadette Mazurek
Melnyk, 2011). Pendekatan EBP model IOWA dari perspektif organisasi
dan menggunakan berbagai evidence dengan fokus padaevaluasidan
menerapkan EBP untuk meningkatkan proses perawatan (Eizenberg,
2010).
Model IOWA menyoroti pentingnya mempertimbangkan seluruh
sistem pelayanan kesehatan mulai dari pemberi layanan, pasien, dan
infrastruktur lainnya menggunakan riset dalam pedoman pengambilan
keputusan klinik. Model Iowa ini, penting sekali untuk perawat klinik
mempertimbangkan apakah masalah yang telah diidentifikasi merupakan
prioritas untuk ruangan/instansi.
Berikut ini adalah gambar bagan yang menggambarkan tahapan
EBP model IOWA.
9
Trigger berupa problem focus: Trigger berupa knowledge focus:
Data managemen risiko Penelitian atau literature terbaru
Proses peningkatan data Standart atau guideline organisasi atau agency
Data keuangan nasional
Data benchmark internal/eksternal Filosofi pelayanan
Identifikasi masalah klinik Pertanyaan atau masukan dari standar komite
institusi
Tidak
Cari trigger Apakah ini prioritas yang logis bagi
yang lain organisasi?
Ya
Pilot project:
Tentukan tujuan yang akan dicapai
Mengumpulkan data yang ada Mencari data data evidende yang Research
lain: conduct
Mendesain guideline EBP Laporan kasus
Paparan ahli
Mengimplementasikan guideline EBP dalam pilot Prinsip-prinsip scientific
project Teori
12
penentuan intervensi. Penalaran klinis adalah satu hal yang dibutuhkan dan
harus dimiliki oleh perawat. Tujuannya adalah dalam rangka menyusun
penilaian secara professional, mengevaluasi kualitas, dan mencari kontribusi
dari bukti yang telah ada, untuk dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah
serta sebagai bahan pertimbangan untuk penentuan diagnosa dan pilihan terapi
yang relevan dengan kebutuhan pasien (Banning, 2008).
Penalaran klinis sendiri membutuhkan hasil-hasil penelitian untuk
digunakan sebagai sumber. Penelitian dalam keperawatan akan memiliki nilai
esensi jika perawat mengerti dan memahami berbagai macam dimensi dari
profesinya. Penelitian memungkinkan perawat untuk menggambarkan
karakteristik dari situasi keperawatan yang mungkin baru sedikit diketahui,
menjelaskan fenomena yang ada dalam perencanaan asuhan keperawatan,
memprediksi kemungkinan hasil yang muncul dari keputusan intervensi yang
diambil, mengontrol terjadinya hasil yang tidak diharapkan, dan menginisiasi
aktivitas yang dapat meningkatkan perilaku yang diharapkan dari pasien (Polit
& Beck, 2004).
Menurut Bulechek et al. (2013), suatu intervensi keperawatan harus
didukung oleh bukti penelitian yang dapat meningkatan hasil pada pasien dan
praktek klinis. Untuk dapat mendukung hal tersebut, dibutuhkan suatu budaya
yang harus dikembangkan dalam keperawatan, yaitu clinical inquiry
(penyelidikan/pemeriksaan) dari seorang perawat terhadap intervensi yang
akan diberikan pada pasien. Agar efektifitas suatu intervensi klinis pada pasien
menjadi efektif, dapat dilakukan langkah-langkah yang dapat digambarkan
dalam gambar berikut :
13
Menurut DeJong et al. (2004) dalam Forbes (2009), terdapat beberapa
kriteria yang dapat dijadikan panduan dalam mendefinisikan dan
menggambarkan suatu intervensi dalam penelitian, diantaranya :
a. Adanya teori yang terintegrasi, maksudnya suatu intervensi harus
didasarkan pada asumsi teoritis dan konseptual yang masuk akal.
b. Adanya domain kelengkapan dari intervensi.
c. Terdiri dari dimensi yang bersifat multiple, namun harus dapat dijelaskan
perbedaan dan korelasi/hubungan antar dimensi tersebut.
d. Granularitas, yang artinya adalah suatu intervensi harus dapat
dikembangkan ke lingkup yang lebih luas, misalnya pada keluarga.
e. Tidak kurang dan tidak berlebih, maksudnya suatu intervensi harus
didesain se-efektif mungkin sehingga tidak terdapat intervensi yang
berulang dengan banyak deskripsi yang berbeda.
f. Dapat digunakan di klinis dan di penelitian, yaitu intervensi harus dapat
dengan mudah ditransfer ke dalam praktek dalam lingkup klinis dan dapat
direplikasi oleh peneliti lain.
g. Reliabilitas, aksudnya suatu intervensi harus dapat digunakan dan
ditafsirkan sama di berbagai kondisi, pengguna, diagnosa, dan dapat
digunakan sepanjang waktu.
3. Kerangka Kerja Intervention Research
Medical Research Council (MRC) mengembangkan suatu kerangka
kerja dalam melakukan suatu penelitian intervensi klinis (Forbes, 2009).
Kerangka kerja tersebut terdiri atas 4 fase yang tergambar seperti di bawah ini :
14
Fase pertama yaitu Modelling Phase, suatu intervensi dimodelkan atau
disimulasikan untuk meningkatkan pengetahuan tentang komponen intervensi
dan hubungan diantaranya.Kemudian lanjut pada fase kedua yaitu Involving
Phase, dalam fase ini dilakukan uji eksplorasi yang berfokus pada penerimaan,
kelayakan, dan kemanjuran/keampuhan dari suatu intervensi. Fase ini
melibatkan ingatan pasien tentang pengalaman-pengalaman selama menerima
intervensi (Forbes, 2009).
Fase ketiga yaitu Test Intervention Phase, dalam hal ini membutuhkan
suatu penelitian dengan desain RCT yang dirancang secara definitif terkait
aspek intervensi, yang kemungkinan dapat dilakukan dengan menganalisis
faktor terkait, uji coba kelompok, dan studi silang. Kunci utama dari fase ini
adalah untuk menekan faktor perancu yang mungkin mempengaruhi suatu
intervensi dengan berbagai komponen di dalamnya. Fase terakhir atau keempat
adalah follow up atau menindaklanjuti dalam jangka panjang dan replikasi dari
intervesi yang telah diuji coba tadi (Forbes, 2009).
15
perawat), karakteristik organisasi (setting, hambatan, dan keterbatasan),
karakteristik dari inovasi (kualitas penelitian), dan karakteristik dari pola
komunikasi (cara penyampaian dan akses ke penelitian) (Munten, Bogaard,
Cox, Garretsen, & Bongers, 2010).
Satu studi kualitatif dari Rapp, Doug, Callaghan, & Holter (2010)
menyatakan bahwa hambatan yang ada saat implementasi EBP di tatanan
klinis keperawatan adalah : sikap dari supervisor, sikap dari praktisioner,
sikap dari anggota lain dalam suatu organisasi, stakeholder, dan
pendanaan. Selain itu, suatu hasil penelitian dapat diimplementasi ketika
memenuhi hal-hal di bawah ini (Munten et al., 2010; Gerrish, McDonnell,
et al., 2011; Gerrish, Guillaume, et al., 2011; Wilkinson, Nurs, Nutley, &
Davies, 2011) :
b. Evidence tersebut bersifat ilmiah dan sesuai dengan konsensus pihak
professional ahli dan sesuai dengan pilihan pasien.
c. Evidence tersebut memiliki konteks fitur pembelajaran yang dapat
memberikan tranformasi pemikiran para pemimpin organisasi dan
memiliki mekanisme pemantauan umpan balik yang dapat disesuaikan
dengan kebutuhan.
d. Evidence tersebut sesuai dengan strategi, ketersediaan sumber daya, nilai
dan konteks budaya, serta gaya kepemimpinan dalam organisasi.
e. Evidence dapat dievaluasi.
f. Terdapat masukan dari para fasilitator ahli.
Salah satu fasilitator yang dapat digunalan adalah perawat senior dengan
pengalaman klinis dan jenjang pendidikan yang memadai. Tugasnya adalah
memanajemen dan mempromosikan penyerapan pengetahuan baru. Dalam
hal memanajemen, fasilitator bertugas mengumpulkan/menghasilkan
berbagai temuan penelitian, bertindak sebagai sumber informasi bagi
perawat klinis, mensintesis temuan penelitian, dan menyebarkan hasil
tersebut naik secara formal dan informal. Dalam hal mempromosikan,
fasilitator mengembangkan pengetahuan dan keterampilan perawat klinis
16
melalui peran modeling, pengajaran, dan fasilitasi pemecahan masalah
klinis
Selain itu, juga terdapat beberapa tipe pertanyaan berbeda ketika
membahas tentang penelitian intervensi klinis, yaitu apakah intervensi
tersebut bekerja (efficacy), apakah intervensi tersebut sama jika digunakan
di beberapa populasi klinis (effectiveness), apakah intervensi ini baik jika
dibandingkan dengan terapi lain (equivalence), apakah intervensi ini aman,
dan apakah intervensi ini bersifat efektif dari segi pembiayaan
(costeffective) (Forbes, 2009; Bulechek et al., 2013).
8. Isu Etik dalam Nursing Clinical Research
Menurut Fouka & Marianna (2011), terdapat empat isu etik utama dalam
melakukan suatu penelitian keperawatan yaitu : informed consent,
beneficience-do no harm, respect for anonymity and confidentiality, dan
respect for privacy.
a. Informed Concent
Esensi dari sebuah lembar informed consent adalah seseorang yang
menjadi subjek penelitian mengetahui dan mendapatkan informasi secara
adekuat terkait penelitian yang akan dilakukan, memiliki kemampuan
untuk memilih, dan secara sukarela (voluntarily) menjadi subjek penelitian
tanpa paksaan (Polit & Beck, 2004; Fouka & Marianna, 2011). Dijelaskan
lebih lanjut bahwa dalam penyampaian informasi, harus dijelaskan segala
bentuk ketidaknyamanan fisik, tindakan invasif yang mungkin akan
mengancam martabat, dan alternatif penyelesaiannya.
b. Beneficience-do no harm
Subjek penelitian dapat memiliki resiko bahaya dari berbagai aspek (fisik,
psikologis, sosial, dan ekonomi), hal ini menutut peneliti untuk dapat
meminimalisir segala bentuk kemungkinan bahaya dan ketidaknyamanan
saat penelitian berlangsung.
c. Respect for anonymity and confidentiality
Aspek kerahasiaan, baik dari segi identitas maupun data hasil penelitian
harus menjadi perhatian penting dari tim peneliti.
17
d. Respect for privacy.
Beberapa penelitian klinis keperawatan terkadang menggunakan
tindakan yang bersifat invasive dan berpotensi mengancam martabat, atau
bahkan menghasilkan perasaan cemas, rasa bersalah, atau malu. Hal ini
juga yang harus diperhatikan oleh tim peneliti.
Terkait isu etik dalam penelitian keperawatan, baik perawat peneliti
maupun perawat non-peneliti, memiliki peran yang sama sebagai advokat
pasien. Terlebih pada pasien yang tergolong dalam vulnerable subjects
(anak-anak, pasien dengan gangguan mental atau emosional, orang dengan
ketidakmampuan fisik, pasien penyakit terminal, wanita hamil, dan
narapidana). Perawat harus memastikan bahwa pasien dapat
mempertimbangkan untuk terlibat dalam penelitian dan mampu memahami
informasi yang telah diberikan tim peneliti. Saat pasien mengekpresikan
keraguan atau kekhawatiran, atau beresiko dibujuk dalam penelitian
percobaan, maka perawat memiliki peran penting dan krusial dan harus
membawa topic ini untuk diperhatikan oleh tim peneliti (Polit & Beck,
2004; Fouka & Marianna, 2011;Pick, Berry, Gilbert, & McCaul, 2013).
18
keperawatan juga mempelajari berbagai ilmu pengetahuan tentang pelayanan
kesehatan yang serumpun. Dalam gambar juga dapat terlihat bahwa penelitian
intervensi klinis dalam keperawatan dapat menghasilkan dua hal, yaitu
pengetahuan non-klinis dan rasional yang dapat digunakan untuk mendasari
dan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam penentuan
tindakan/intervensi praktek klinis.
19
Contoh Evidance Based
20
daya yang paling memadai utnuk melakukan autopsy forensik sehingga pada kondisi
wajar semua autopsi di kota manado dilakukan dirumah sakit ini.
Metode penulisan laporan ini menggunakan metode analisis yang didapatkan
dari 5 jurnal yang brekaitan dengan cidera kepala dengan pendekatan evidence based
practice. Adapun jurnal-jurnal tesebut adalah :
1. Pengaruh Stimulasi Sensori Terhadap Nilai Glasgow Coma Scale Pada Pasien
Cidera Kepala Di Ruang Neurosurgical Critical Care Unti RSUP DR. HASAN
SADIKIN BANDUNG. (Valentine B.M. Lumbantobing.
2. Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Manado. (Erwin Kristanto)
3. Implementasi Clinical Governance : Pengembangan Indikator Klinik Cedera
Kepala Di Instalasi Gawat Darurat. ( Agus Wijanarka)
4. Karakteristik Penderita Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Llintas Darat Rawat
Inap Di RSUD DR. H. KUMPULAN PANE TEBING TINGGI Taun 2010-2011
(Rohani Primasuri Damanik)
5. Gambaran Pasien Cedera Kepala Di RSUP PROF DR. R. D. KANDOU MANADO
Periode Januari 2014-Desember 2013)
Dari hasil analisi yang bersumber dari jurnal yang berjudul Pengaruh Stimulasi
Sensori Terhadap Nilai Glasgow Coma Scale Pada Pasien Cidera Kepala Di Ruang
Neurosurgical Critical Care Unti RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.
(Valentine B.M. Lumbantobing. Bahwa perubahan nilai GCS pada pasien cedera kepala
sebelum dan setelah baik pada kelompok control maupun pada kelompok perlakuan.
Pada kelompok control setelah observasi selama 3 hari pada 15 responden diantaranya
mengalami peningkatan GCS namun terdapat juga yang mengalami penurunan GCS
sementara pada kelompok perlakuan dari 15 responden terdapat 8 responden mengalami
peningkatan nilai GCS dan 6 responden tidak mengalami perubahan dan 1 mengalami
penurunan GCS.
Dari hasil analisi dari jurnal berjudul Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Di
Kota Manado. (Erwin Kristanto) diapatkan bahwa cedera kepala memiliki pola yang
berbeda dengan cedar karena kejadian dan kekerasan lainnya, dimana trauma mekanik
dan luka bakar ditemukan pada korban yang sama, akibat dari gesekan dengan aspal
pada saat terjadi kecelakaan. Pemahaman akan pola cedera dapat membantu dalam
21
mendeteksi dan tata laksana cedera pada tiap anggota tubuh korban yang mengalami
cedera.
Dari hasil analisis bersumber jurnal Implementasi Clinical Governance:
Pengembangan Indikator Klinik Cedera Kepala Di Instalasi Gawat Darurat. ( Agus
Wijanarka) bahwa dari hsail penelitian ini menunjukkan jenis kelamin laki-laki 58%
lebih banyak mengalami cedera kepala dibandingkan perempuan. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa laki-laki memiliki injury severity score lebih tinggi apalagi pada usia tua.
Dari hasil analisis jurnal Karakteristik Penderita Cedera Kepala Akibat
Kecelakaan Lalu Llintas Darat Rawat Inap Di RSUD DR. H. KUMPULAN PANE
TEBING TINGGI Taun 2010-2011 (Rohani Primasuri Damanik) didapatkan bahwa
proporsi tinggi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas berdasarkan umur
16-24 tahun sebanyak 45 orang atau 39,5%. Ini disebabkan karena sebagian besar
penderita berada pada keompok usia produktif yang memiliki mobilitas tinggi namun
kesadaran menjaga keselamatan dijalan masih rendah.
Dari hasil analisis jurnal Gambaran Pasien Cedera Kepala Di RSUP PROF DR.
R. D. KANDOU MANADO Periode Januari 2014-Desember 2013) menunjukkan
sebagian besar penderita cedera kepala ialah laki-laki yaitu sebanyak 302 orang atau
71,9% dan perempuan sebanyak 118 orang atau 28,1%. Ini menunjukkan hubungan
dengan aktifitas dan bidang pekrjaan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dan
bidang pekerjaan beresiko untuk terjadi cedera kepala misalnya mengendarai motor,
pekerja bangunan, dll.
22
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan studi literatur yang telah kami telaah, maka dapat disimpulkan
bahwa pengembangan EBP di keperawatan bukan sesuatu hal mudah dilakukan,
selain perawat harus ahli dalam riset, perawat juga harus mempunyai pengalaman
klinik yang lama dan mempunyai kemampuan berpikir kritis yang baik. Sehingga
penerapan EBP dan riset klinis merupakan tantangan bagi perawat agar dapat
memberikan tindakan keperawatan yang lebih tepat dan akuntabel.
B. Saran
Saran kami kepada perawat di tatanan pelayanan agar mengadakan
pembahasan terkait implementasi di lingkup keperawatan medikal bedah yang telah
ada yang berdasarkan evidence based practice. Dengan adanya geksplorasi temuan-
temuan evidence practice dan riset yang ada, maka dapat dilanjutkan dengan
mengadakan program-progam diskusi dan belajar untuk membahas evidence based
practice yang telah disepakati untuk dipelajari. Selain itu, penerapan aplikasi
evidence yang telah didiskusikan dan disepakati juga harus dilakukan, sehingga
diharapkan dapat membawa manfaat bagi praktek keperawatan secara umum dan
meningkatkan quality of care dari perawat dan qualityof life dari pasien.
23
DAFTAR PUSTAKA
Banning, M. 2008. Clinical reasoning and its application to nursing: concepts and
research studies. Nurse education in practice, 8(3), 177–83.
doi:10.1016/j.nepr.2007.06.004
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. 2013. Nursing
Interventions Classification (NIC) (Sixth Edit.). St. Louis, Missouri: Elsevier.
Currey, J., Considine, J., & Khaw, D. 2011. Clinical nurse research consultant: a clinical
and academic role to advance practice and the discipline of nursing. Journal of
advanced nursing, 67(10), 2275–83. doi:10.1111/j.1365-2648.2011.05687.x
Facchiano, L., & Snyder, C. H. 2012. Evidence-based practice for the busy nurse
practitioner: part one: relevance to clinical practice and clinical inquiry process.
Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 24(10), 579–86.
doi:10.1111/j.1745-7599.2012.00748.
Fouka, G., & Marianna, M. 2011. What are the Major Ethical Issues in Conducting
Research?Is there a Conflict between the Research Ethics and the Nature of
Nursing? Health Science Journal, 5(1), 3–14.
Gerrish, K., Guillaume, L., Kirshbaum, M., McDonnell, A., Tod, A., & Nolan, M. 2011.
Factors influencing the contribution of advanced practice nurses to promoting
evidence-based practice among front-line nurses: findings from a cross-sectional
survey. Journal of advanced nursing, 67(5), 1079–90. doi:10.1111/j.1365-
2648.2010.05560.x
Gerrish, K., McDonnell, A., Nolan, M., Guillaume, L., Kirshbaum, M., & Tod, A. 2011.
The role of advanced practice nurses in knowledge brokering as a means of
promoting evidence-based practice among clinical nurses. Journal of advanced
nursing, 67(9), 2004–14. doi:10.1111/j.1365-2648.2011.05642.x
Hockenberry, M., Brown, T., Walden, M., & Barrera, P. 2009. Teaching Evidence-Based
Practice Skills in a Hospital. The Journal of Continuing Education in Nursing,
40(1), 28–32.
24
Munten, G., Bogaard, J. Van Den, Cox, K., Garretsen, H., & Bongers, I. 2010.
Implementation of Evidence-Based Practice in Nursing Using Action Research : A
Review, 135–158.
Pick, A., Berry, S., Gilbert, K., & McCaul, J. 2013. Informed consent in clinical
research. Nursing standard (Royal College of Nursing (Great Britain) : 1987),
27(49), 44–7. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24256527
Rapp, C. A., Doug, Æ. D. E. Æ., Callaghan, J., & Holter, Æ. M. 2010. Barriers to
Evidence-Based Practice Implementation : Results of a Qualitative Study.
Community Mental Health Journal, 46, 112–118. doi:10.1007/s10597-009-9238-z
Wilkinson, J. E., Nurs, B. A., Nutley, S. M., & Davies, H. T. O. 2011. An Exploration of
the Roles of Nurse Managers in Evidence-Based Practice Implementation.
Worldviews on Evidence-Based Nursing, 4, 236–246. doi:10.1111/j.1741-
6787.2011.00225.x
25