Anda di halaman 1dari 11

Skenario : RPK

Klien dengan inisial Ny.E (26 tahun) merupakan salah satu pasien yang dirawat di
bangsal Srikandi RSJ Grhasia. Saat dikaji oleh mahasiswa, klien terlihat cukup kooperatif,
kontak mata kurang namun tatapan mata tajam. Klien berpenampilan cukup rapi dengan cara
berpakaian sesuai seperti biasanya, klien tampak kurang bersemangat, dari tubuh pasien
tercium bau badan, wajah klien tampak lesu dan lusuh. Klien mengatakan hanya mandi 1x
sehari karena pagi hari cuacanya dingin.

Klien mengatakan masuk ke rumah sakit sejak tanggal 29 November 2018 dibawa
oleh kakaknya karena suka berdiam diri/ mengurung diri di kamar, tidak bisa tidur, tidak mau
mandi, nafsu makan berkurang. Data rekam medis menunjukkan bahwa pasien sudah 2 kali
di rawat di RSJ Grhasia dan sudah putus obat selama 6 bulan terakhir. Klien mengatakan
tidak mau minum obat karena merasa sudah sembuh. Klien mengatakan mengurung diri di
kamar karena sedang kesal dengan suaminya yang tidak memenuhi janji pulang ke rumah
padahal sedang ada acara keluarga. Suami klien bekerja sebagai supir truk antar wilayah
sehingga jarang pulang ke rumah. Akibat kejadian tersebut klien mengamuk dan melempar
barang-barang karena merasa malu dengan kondisinya dan malu pada anggota keluarga yang
lain selain itu klien sangat marah pada suaminya. Klien mengaku saat marah sering berteriak
dan melempar barang-barang disekitarnya.

Pertemuan 1

Step 1 :

DO DS
- Data RM menunjukkan bahwa klien - klien mengatakan suka berdiam diri
sudah 2 kali dirawat di RSJ Ghrasia - klien mengatakan tidak bisa tidur
dan putus obat 6 bulan - klien mengatakan kesal dengan
- Tercium bau dari badan klien suaminya
- Klien tampak lesu dan lusuh - klien mengatakan saat marah sering
- Klien tampak sering mondar-mandir berteriak dan melempar barang-
- Wajah klien tampak berminyak, lusuh barang disekitarnya.
- Kontak mata kurang - Klien mengatakan tidak mau minum
- Klien tampak malu-malu terutama obat karena merasa sudah sembuh.
pada lawan jenis - Klien mengatakan mengurung diri di
- Tatapan mata tajam kamar karena sedang kesal dengan
- Klien terlihat cukup kooperatif suaminya yang tidak memenuhi janji
- klien tampak kurang bersemangat pulang ke rumah padahal sedang ada
- acara keluarga
- Klien mengatakan hanya mandi 1x
sehari karena pagi hari cuacanya
dingin.
Step 2 : Hipotesa

DO DS Masalah Keperawatan
- Tatapan mata tajam - klien mengatakan kesal RPK
dengan suaminya
- klien mengatakan saat
marah sering berteriak
dan melempar barang-
barang disekitarnya
- Tercium bau dari - Klien mengatakan hanya Defisit perawatan diri
badan klien mandi 1x sehari karena
- Klien tampak lesu pagi hari cuacanya
dan lusuh dingin.
- Wajah klien tampak
berminyak,

Step 3 : Pathway
Step 4 : More Info

- Di RM ada halusinasi, kaji ulang identifikasi halusinasi


- Kaji apakah ada depresi
- Kaji apakah ada RPK berulang
- Kaji respon nonverbal / do pasien yang mengindikasikan RPK
- Kaji kemampuan klien dalam melakukan SP RPK

Step 5 : Don’t Know

- cara mengkaji depresi


- tingkat keparahan depresi

Step 6 : LO

1. definisi RPK
2. Faktor Predisposisi dan presipitasi
3. Rentang respon
4. Pathway
5. Penatalakasaan farmakologi dan nonfarmakoogi
6. Discharge planning
7. Terapi modifikasi

Pertemuan 2 :

1. Definisi RPK
- Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik atau psikologis , baik kepada diri sendiri
maupun orang lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Sari, 2015).
- Resiko perilaku kekerasan adalah adanya kemungkingan seseorang melakukan
tindakan yang dapat mencederai orang lain dan lingkungan akibat keetidakmampuan
mengendalikan marah secara konstruktif (CMHN,2006).
- Menurut Yosep (2007), resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang
menyertai marah dan merubuan dorongan untuk bertindak dalam bentuk desktruktif
dan masih terkontrol
- Resiko perilaku kekerasan merubuan dimana seseorang beresiko melakukan tindakan
/perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan
secara fisik, emosi dan/atau seksual.
2. Faktor Predisposisi dan presipitasi

a. Faktor predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merubuan faktor
predisposisi,artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika
factorberikut dialami oleh individu:
1) Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi
yangkemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang
tidakmenyenangkan yaitu perasaan ditolak,dihina, atau sanksi penganiayaan.
2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
seringmengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek
inimenstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif)
dankontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan
menciptakanseolah-olah perilaku kekerasan yang diterima (permisssive)
4) Bioneurologis banyak kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobustemporal
dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalamterjadinya
perilaku kekerasan.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi
interaksi dengan orang lain.
1) Kondisi pasien , misalnya kelemahan fisik (penyakit fisik), keputus asaan,
ketidak berdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku
kekerasan.
2) Lingkungan, misalnya keadaan lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicinta/pekerjaan dan
kekerasan.
3) Interaksi dengan orang lain, misalnya interaksi yang provokatif dan konflik
yang dapat memicu perilaku kekerasan (Prabowo, 2014).
3. Rentang respon

a. Respon adaptif
1) Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
2) Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/terhambat.
b. Respon maladaftif
1) Pasif : Respons lanjutan yang pasien tidak mampu mengungkapkan perasaan
2) Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
3) Amuk dan kekerasan : Perilaku destruktif yang tidak terkontrol (Yusuf dkk,
2015).
4. Pathway

5. Penatalakasaan farmakologi dan nonfarmakoogi


- Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai dosis
efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya
trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer
bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi.
- Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur
dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu
diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi
dirinya. Terapi ni merubuan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatannya.
- Peran serta keluarga
Keluarga merubuan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung
pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat
melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke
perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga
dapat ditingkatkan secara optimal.
- Terapi somatik
Terapi somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan
melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi adalah perilaku
pasien.
- Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi
kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi
biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).

6. Discharge planning
Discharge planning merupakan
• Komponen sistem perawatan berkelanjutan,
• Bentuk pelayanan yang diperlukan secara berkelanjutan
• Bantuan perawatan yang berlanjut

Tujuan discharge planning


• Memaksimalkan manfaat sumber pely. Kesh
• Meningkatkan kondisi kesehatan klien
• Mengurangi angka kekambuhan
• Meningkatkan kemampuan keluarga dalam perawatan klien
• Menurunkan beban perawatan keluarga
• Sebagai bahan pendokumentasian keperawatan
( Hester, Leimnetser)
Langkah-langkah discharge planning
1. Pengkajian
- Mencakup pengumpulan dan pengorganisasian data klien
- Ketika melakukan pengkajian kepada klien, keluarga harus menjadi bagian dr unit
perawatan
- Keluarga harus dilibatkan agar transisi perawatan dr RS ke rumah dapat efektif
2. Kebutuhan persiapan pulang
Makan, BAB/BAK, mandi, berpakaian dan berhias, istirahat tidur, penggunaan obat,
pemeliharaan kesehatan , aktivitas
3. Mekanisme koping
4. Masalah psikososial

7. Terapi modifikasi

Pengaruh terapi spiritual mendengarkan ayat suci al-quran terhadap kemampuan


mengontrol emosi pada pasien resiko perilaku kekerasan di rsj dr. Amino Gondohutomo
oleh saputri, l. D., & heppy, d. (2017).

Metode : Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Quasi Exsperiment (Exsperimen


semu) dengan mengunakan pendekatan One group pretestpostest pada pasien resiko
perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah.
Jumlah responden sebanyak 55 responden pasien resiko perilaku kekerasan.

Dengan kriteria inklusi tidak ada gangguan pendengaran, usia pasien 19 – 50 tahun,
pasien kooperatif dan beragama islam.. Kegiatan diawali dengan menjelaskan maksud
dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan pengukuran kemampuan emosi dengan
menggunakan skala linkert ada 26 pertannyaan yang dinyatakan valid oleh Sudiatmika,
(2011) dengan skor 1-4 dan rentang nilai 26-104 yang diisi langsung oleh responden
yang dibimbing langsung oleh peneliti. Terapi spiritual dilakukan selama 30 menit
sebanyak 6 kali dalam waktu 2 minggu (30 maret- 11 april 2015).
Hasil : ada pengaruh yang signifikan terapi spiritual mendengarkan ayat suci alquran
terhadap kemampuan mengontrol emosi pada resiko perilaku kekerasan dengan p – value
0,000 Kesimpulan terapi spiritual mendegarkan ayat suci alquran secara intensif dan
efektif dapat mengontrol emosi resiko perilaku kekerasan.
LAPORAN TUTORIAL

STASE JIWA DI RSJ GRHASIA

Disusun oleh :
Taufik Wiyoga Nugroho 20184030030
Fahrul Azmy AS 20184030008
Ayomni Nastiti 20184030017
Dini Aldila 20184030070
Nia Ayu Lestari 20184030090
Nurhidayanti 20184030011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018

Anda mungkin juga menyukai