Anda di halaman 1dari 49

MASALAH-MASALAH KEPAILITAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewirausahaan


Pengampu Drs. Arifin Mukti, MM

Disusun Oleh :
Hanida Herni Wati (C1B016037)

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2018

1
DAFTAR ISI

MASALAH-MASALAH KEPAILITAN ............................................................... 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.3. Tujuan Pembahasan ..................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6
2.1 KEPAILITAN ........................................................................................... 6
2.1.1 Filosofis Lahirnya Hukum Kepailitan ............................................ 6
2.2 PENGERTIAN KEPAILITAN ................................................................. 8
2.2.1 Pengertian Kepailitan Dalam Hukum Indonesia ............................. 8
2.2.2 Definisi Kepailitan Yang Lazim Digunakan Dunia Internasional 10
2.3 Tujuan Hukum Kepailitan ...................................................................... 10
2.4 Beberapa Penyebab Kepailitan Di Indonesia ........................................ 11
2.5 Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit ................................ 13
2.6 Syarat -Syarat Permohonan Pailit ........................................................... 19
2.7 Pihak Yang Dinyatakan Pailit ................................................................ 22
2.8 Syarat-Syarat Untuk Dinyatakan Pailit .................................................. 23
2.9 Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit ................................ 26
2.10 Akibat Kepailitan ................................................................................... 30
2.11 Penundaan Pembayaran .......................................................................... 44
BAB III ................................................................................................................. 48
PENUTUP ............................................................................................................. 48
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 48
3.2 Saran ............................................................................................................ 48
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 49

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas terstruktur yang berkaitan dengan
masalah-masalah kepailitan dalam mata kuliah kewirausahaan ini dapat selesai
tepat waktu.
Dalam penyusunan tugas terstruktur ini, penulis memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu serta kepada Bapak Drs. Arifin Mukti, MM. selaku
dosen mata kuliah Kewirausahaan yang telah memberikan tugas terstruktur.
Penulis menyadari bahwa tugas terstruktur ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap
tugas terstruktur ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada para
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Semoga Allah SWT selalu
meridhai segala usaha kita. Amin.

Purwokerto, 12 Desember 2018

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha pada era global seperti
sekarang ini tidak mungkin terisolir dari masalah - masalah lain. Suatu perusahaan
yang dinyatakan pailit akan mendapatkan imbas dan pengaruh buruk bukan hanya
kepada perusahaan yang dinyatakan pailit tersebut tetapi juga akan berakibat
global. Oleh karena itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan
pokok didalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu
sebab pelaku bisnis keluar dari pasar.
Begitu memasuki pasar pelaku bisnis bermain didalam pasar. Apabila pelaku
bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar
dari pasar atau terpaksa bahkan mungkin dipaksa keluar dari pasar. Dalam hal
seperti inilah maka kemudian lembaga kepailitan berperan. Keterbatasan
pengetahuan perihal ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berasal dari
hukum asing, juga istilah pailit yang jarang sekali didengar dan diketahui oleh
masyarakat pada umumnya terutama masyarakat kalangan bawah maupun
pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut lebih dikenal.
Mengingat begitu sentralnya kedudukan hukum pailit dalam tatanan bisnis,
dan begitu maraknya praktek permohonan pailit pada saat sekarang ini, maka
penulis berfikir untuk mencoba menyusun sebuah makalah yang berjudul
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran yang bertujuan untuk memberikan dan
juga menambah wawasan umum masyarakat terutama mahasiswa tentang masalah
ini.
Makalah kepailitan dan penundaan pembayaran ini sangat dibutuhkan bagi
setiap kalangan masyarakat khususnya mahasiswa mengingat perkembangan
hukum ekonomi yang demikian pesat. Masyarakat perlu mengetahui tentang
kepastian proses kepailitan baik mengenai waktu, tata cara, siapa saja yang berhak
mengajukan permohonan dan dinyatakan pailit, syarat - syarat kepailitan, akibat-
akibat hukum dari kepailitan, tanggung jawab pengelolaan harta pailit, dan

4
mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara tepat, adil, terbuka dan
efektif.
Kepailitan juga dimaksudkan untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang
dimintakan oleh kreditur secara perorangan. Kepailitan hanya mengenai harta
benda debitur, bukan pribadinya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Apa saja filosofi yang terjadi di dalam perkembangan hukum kepailitan ?
2. Apa yang dimaksud dengan kepailitan?
3. Apa saja hal – hal yang menjadi syarat permohonan pailit?
4. Bagaimana proses permohonan dan putusan pernyataan pailit?
5. Siapa saja pihak yang berhak mengajukan dan dinyatakan pailit ?
6. Apa saja akibat hukum kepailitan ?

1.3. Tujuan Pembahasan


1. Mampu memahami dan mengetahui filosofi adanya hukum kepailitan
2. Dapat memahami dan menjelaskan pengertian dari kepailitan
3. Dapat menjelaskan syarat – syarat permohonan pailit
4. Dapat memahami dan menjelaskan proses permohonan dan putusan
pernyataan pailit
5. Mengetahui siapa saja pihak yang berhak mengajukan dan dinyatakan
pailit
6. Mengetahui apa saja akibat dari kepailitan

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KEPAILITAN

2.1.1 Filosofis Lahirnya Hukum Kepailitan

Jika ditelusuri sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum


tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. Kata bangkrut,
yang dalam Bahasa Inggris disebut bankrupt berasala dari undang-undang di Italia
yang disebut dengan banca rupta. Pada abad pertengahan di Eropa, terjadi praktik
kebangkrutan yang dilakukan dengan menghancurkan bangku-bangku dari pada
bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa
harta para kreditornya. Adapun di venetia (Italia) pada waktu itu, dimana para
pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak
mampu lagi membayar utang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-
benar telah patah atau hancur.
Menurut Poerwadarminta, “pailit” artinya “bangkrut”, dan “bangkrut”
artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya).
Menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, bankrupt artinya bangkrut, pailit
atau bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. Dalam pasal 1 butir 1 UU
No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang diberikan definisi kepailitan sebagai berikut : “kepailitan adalah sita umum
atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.
Sebelumnya, kepalitan di Indonesia diatur dalam failissementsverordening
(peraturan kepailitan), kemudian diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang
perubahan atas undang-undang tentang kepailitan. Perpu ini kemudian ditetapkan
sebagai undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Sehubungan
dengan banyaknya putusan Pengadilan Niaga yang kontroversial seperti dalam
kasus Kepailitan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Prudential Life
Assurance, dan lain-lain maka timbul niat untuk merevisi undang-undang

6
tersebut. Akhirnya, pada tanggal 18 Oktober 2004, lahirlah Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran
Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan).
Pada prinsipnya, pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu
perwujudan atau pengejawantahan daro pasal 1131 dan pasal 1132 KUH Perdata.
1131
Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
1132
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan.
Adapun atas yang terkandung dalam kedua pasal diatas adalah, bahwa ;
1. Apabila si debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak
membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang menghukum nya
supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh
utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual, dan hasil penjualan itu
dibagi-bagikan antara semua kreditornya secara ponds-pondsgewijze, artinya
menurut perimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing
kreditor, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan.
2. Semua kreditor mempunyai hak yang sama
3. Tidak ada nomor urut dari para kreditor yang didasarkan atas saat timbulnya
piutang-piutang mereka.
Adapun pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa setiap pihak atau kreditor
yang berhak atas pemenuhan perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan
perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban (debitur) tersebut secara :

7
- Pari Passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang
didahulukan, dan
- Pro rata atau proporsional, yang dihitung berdasarkan pada piutangnya masing-
masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap
seluruh harta kekayaan debittur tersebut.
Undang-undang kepailitan diperlukan untuk :
1. Menghindarkan pertentangan apabila ada beberapa kreditor pada waktu yang
sama meminta pembayaran piutangnya dari debitur.
2. Untuk menghindari adanya kreditor yang ingin mendapatkan hak istimewa, yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur atau menguasai
sendiri secara tanpa memperhatikan lagi kepentingan debitur atau kreditor
lainnya.
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan debitur
sendiri, misalnya saja debitur berusaha untuk memberi keuntungan kedpada
seorang atau beberapa kreditor tertentu, yang merugikan kreditor lainnya, atau
debitur melakukan perbuatan curang dengan melarikan atau menghilangkan
semua harta benda kekayaan debitur yang bertujuan melepaskan tanggung
jawabnya terhadap para kreditor.

2.2 PENGERTIAN KEPAILITAN

2.2.1 Pengertian Kepailitan Dalam Hukum Indonesia

Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur
(orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-kreditornya
(orang-orang yang berpiutang). Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan ),
yang dalam pasal 2 menyebutkan :
1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih krediturdn tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan

8
pailit dengan putusan pengadilan, baikats permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
2. Permohonan dapat diajukan oleh kejaksaan utuk kepentingan umum.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) diatas menyatakan bahwa syarat untuk dapat
dinyataan pailit adalah debitur telah berhenti membayar utangnya, bukan karena
tidak sanggup. Dengan kata lain, berhenti karena debitur tidak berkeinginan untuk
membayar utangnya.
Jika diperhatikan, prosedur untuk memohon pernyataan pailit bagi debitur
sama sekali tidak di atur dalam Undang-Undang Kepailitan. Namun, jika debitur
memohon sendiri tentang pernyataan dirinya sebagai pailit, ada kemungkinan
didalam permohonan tersebut terselip suatu iktikad tidak baik pada debitur.
Apabila si kreditor yang memohonkan perrnyataan pailit, maka harus terbukti
terlebih dahulu bahwa tuntutan terhadap pembayaran piutangnya jelas ada.
Dengan kata lain, permohonan kreditor harus memang nyata-nyata mempunyai
tagihan kepada debitur. Berikut adalah debitur yang pailit :
a. Kepailitan orang yang masih belum dewasa dan orang-orang yang berada
dibawah pengampuanan harus bwerdasarkan yurisprudensi.
b. Kepailitan wanita yang bersuami.
c. Kepailitan badan hukum.
d. Kepailitan firma dan CV.
Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran untang, yakni pertama untuk menghindari perebutan harta
piutangnya. Kedua, untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan yang menganut haknya dengan cara menjual barang milik debitur
tanpa memerhatikan kepentingan debitur atau para kreditor lainnya. Ketiga, untuk
menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang
kreditor ataupun debitur sendiri. Perusahaan dinyatakan pailit/bangkrut apabila
dalam jangka waktu tertentu tidak bisa melakukan pembayaran pokok dan/atau
bunganya. Kepailitan juga bisa diminta pemilik poerusahaan atau oleh para
penagih utang.

9
Jadi kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang
mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailitan
oleh pengadilan,dalam hal ini pengadilan niaga,karena debitur dapat dibagikan
kepada para kreditor sesusai dengan peraturan pemerintah.

2.2.2 Definisi Kepailitan Yang Lazim Digunakan Dunia Internasional

Pengertian kepailitan oleh ISDA (Internasional Swaps and Derivatives


Associasion) adalah terjadinya salah satu kejadian-kejadian berikut ini :
a. Perusahaan yang mengeluarkan surat utang berhenti beroperasi (pailit).
b. Perusahaan tidak solvent atau tidak mampu membayar utang.
c. Timbulnya tuntutan kepailitan .
d. Proses kepailitan sedang terjadi.
e. Telah ditunjukanya receivership.
f. Dititipkannya seluruh aset kepada pihak ketiga.

2.3 Tujuan Hukum Kepailitan

Suatu hukum kepailitan dapat memenuhi tujuan-tujuan dibawah ini :


1. Meningkatkan upaya pengembalian kekayaan
Semua kekayaan debitur harus ditampung dalam suatu kumpulan dana
yang sama – disebut harta kepailitan – yang disediakan untuk pembayaran
tuntutan kreditor. Kepailitan menyediakan suatu forum untuk likuidasi
secara kolektif atas aset debitur.
2. Memberikan perlakuan baik yang seimbang dan yang dapat diperkirakan
sebelumnya kepada para kreditor. Pada dasarnya, para kreditor dibayar
secara pari passu; mereka menerima suatu pembagian secara pro rata
parte dari kumpulan dana tersebut sesuai dengan besarnya tuntutan masing
– masing. Prosedur dan peraturan dasar dalam hubungan ini harus dapat
memberikan suatu kepastian dan keterbukaan. Kreditor harus mengetahui
sebelumnya mengenai kedudukan hukumnya.

10
3. Memberikan kesempatan yang praktis untuk reorganisasi perusahaan yang
sakit, tetapi masih potensial bila kepentingan para kreditor dan kebutuhan
sosial dilayani dengan lebih baik dengna mempertahankan debitur dalam
kegiatan usahanya.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada intinya hukum
kepailitan diperlukan untuk mewujudkan dan mengejawantahkan Pasal 1131 dan
Pasal 1132 KUH Perdata. Oleh karena itu, untuk mengeksekusi dan membagi
harta debitur atas pelunasan utangnya kepada kreditor-kreditor secara adil dan
seimbang berdasarkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, diperlukan
pranata hukum tersendiri, yaitu hukum kepailitan.

Syarat-Syarat Permohonan Pernyataan Pailit


Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur
dapat dilihat pada pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, antara lain :
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.

2.4 Beberapa Penyebab Kepailitan Di Indonesia


Salah satu resiko yang harus dikelola dengan baik adalah gagalnya
perusahaan di sektor rill mengembalikan pinjaman. Kegagalan perusahaan dalam
mengembalikan pinjaman dapat diketegorikan perusahaan mengalami corporate
failure.
Penelitian dengan topik kebangkrutan/kepailitan perusahaan terus
dilakukan oleh para peneliti dengan memakai alat uji statistik. Ohlson (1980)
adalah peneliti pertama mengunakan analisis logis untuk memprediksi kepailitan.
Pada penelitiannya, ohlson mengunakan 105 perusahaan yang pailit dan 2058
perusahaan yang tidak pailit serta menemukan bahwa 7 rasio keuangan mampu
mengidentifikasi perusahaan yang akan pailit dengan tingkat ketepatan yang
mendekati hasil penemuan Altaman.

11
Pentingnya persoalan corporate faillure juga didukung oleh Krugman
yang mengulas mengenai global finiancial downturns dan memasukkan teori
balance sheet fundamentals sebagai signaldari krisis yang terjadi
(Krugman,1999).
Dari penyebab kepailitan diatas, pihak-pihak terkait harus melakukan hal-hal
sebagai berikut:
1. Kreditor dan Investor
Kreditor berkepentingan untuk mengetahui apakah perusahaan
penerima pinjaman mampu mengembalikan pinjaman mereka. Investor
berkepentingan untuk mengetahui apakah perusahaan yang menerima dana
mereka adalah perusahaan yang sehat dan dapat memberikan return
optimal dari investasi yang mereka tanam.
2. Auditor
Auditor bertantanggung jawab untuk mengevaluasi apakah ada
keraguan yang mendasar atas dasar kemampuan klien mereka tetap
beroperasi (going cornern). Menurut pernyataan strandart auditing No.
30, IAI 1993 : Apabila auditor menyimpulkan adanya keraguan yang
mendasar atas kemampuan klien mereka untuk terus beroperasi going
cornern, maka auditor berkewajiban untuk mengungkapkan kenyataan
tersebut dalam laporan audit mereka.
3. Bank Indonesia dan Pemerintah
Bagi Bank Indonesia, salah satu tigas pengawas/pemeriksa bank
adalah mendapat keyakinan bahwa bank telah beroperasi dengan hati-hati
guna menjaga kepentingan deposan dalam rangka menjaga kepercayaan
masyarakat. Agar lebih tajam dalam melakukan analisis yang berhubungan
dengan tugasnya, maka pengawas/pemeriksa bank dapat menggunakan
indikator corpotare failure sebagai salah satu alat bantu untuk menilai
kualitas kredit yang disalurkan bank. Oleh karena itu, mengingat
kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 4
Tahun 1998 sebagaimana diuraikan diatas, akhirnya pemerintah

12
menerbitkan Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2.5 Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit


Sesuai dengan ketentuan Pasal UU Kepailitan, pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit adalah sebagai berikut.
a. Debitur Sendiri (Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan)
Undang – undang memungkinkan seorang debitur untuk mengajukan
permohonan penyertaan pailit atas dirinya sendiri. Jika debitur masih
terikat dalam pernikahan yang sah, pemohon hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami atau istri yang menjadi pasangannya (Pasal 4 ayat (1)
UU Kepailitan).
b. Seorang Kreditor atau Lebih (pasal 2 Ayat [1] UU Kepailitan)
Sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, kreditor
yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debiturnya adalah
kreditor konkuren, kreditor preferen, ataupun kreditor separatis.
c. Kejaksaan (Pasal 2 Ayat (2) UU Kepailitan)
Permohonan pailit terhadap debitur juga dapat diajukan oleh
kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan).
Pengertian kepentingan umu adalah kepentingan bangsa dan Negara
dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya :
1) Debitur melarikan diri
2) Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan
3) Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat
4) Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas
5) Debitur tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah yang telah jatuh waktu
6) Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan
umum

13
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang
Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum, secara tegas
dinyatakan bahwa wewenang Kejaksaan untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit adalah untuk dan atas nama kepentingan umum. Kemudian
Pasal 2 ayat (2) PP No. 17 Tahun 2000 tersebut menyatakan bahwa
Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dengan alasan
kepentingan umum, apabila :
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
b. Tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit
c. Bank Indonesia (Pasal 2 Ayat (3) UU Kepailitan)
Permohonan pailit terhadap bank hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia berdasarkan penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan
secara keseluruhan. UU No. 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan UU No.
10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan (selanjutnya disebut UU perbankan) memberikan definisi tentang
bank sebagai berikut : “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpangan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat (Pasal 1 Butir 2)”.
Bank Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (selanjutnya disebut UU BI). Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah dengan cara melaksanakan kebijakan
moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dibidang perekonomian
(Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU BI). Untuk mencapai tujuan tesebut, BI
mempunyai tugas (Pasal 8 UU BI), antara lain :
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, BI
mempunyai wewenang (Pasal 10 ayat (1) UU BI), antara lain :

14
a. Menetapkan sasaran – sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran
inflasi
b. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara – cara yang
termasuk tetapi tidak pada :
1) Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing
2) Penetapan tingkat diskonto
3) Penetapan cadangan wajib minimum
4) Pengaturan kredit atau pembiayaan
2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, BI
mempunyai wewenang (Pasal 15 ayat (1) UU BI) antara lain :
a. Melaksanakn dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan
jasa sistem pembayaran
b. Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk
menyampaikan laporan tentang kegiatannya
c. Menetapkan penggunaan alat pembayaran.
3. Mengatur dan mengawasi Bank
Dalam rangka mengatur dan mengawasi Bank, Bank Indonesia
menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan
kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakn pengawasan Bank dan
mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang –
undangan (Pasal 24 UU BI). Kewenangan Bank Indonesia dlam kaitannya di
bidang perizinan, antara lain (Pasal 26 UU BI) :
a. Memberikan dan mencabut izin usaha Bank
b. Memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor Bank
c. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank
d. Memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan
usaha tertentu
e. Badan Pengawas Pasar Modal atau Bapepam (Pasal 2 Ayat (4) UU
Kepailitan)

15
Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan efek, bursa efek, lembaga
kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, hanya dapat
diajukan oleh Bapepam. Ada beberapa istilah yang diberikan definisi oleh
UU No. 8 Tahun 1955 tentang Pasar Modal (UUPM), antara lain :
1. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan
sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli
Efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara
mereka (Pasal 1 Butir 4 UUPM)
2. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah pihak yang menyelenggarakan
jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa (Pasal 1 Butir
9 UUPM)
3. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian,
perusahaan Efek, dan Pihak lain (Pasal 1 Butir 10 UUPM)
4. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer
Investasi (Pasal 1 Butir 21 UUPM)

f. Menteri Keuangan (Pasal 2 Ayat (5) UU Kepailitan)


Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan
reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan
publik hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan, dengan maksud untuk
membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap usaha – usaha tersebut.
Kewenangan ini hanya diberikan kepada menteri keuangan, didasarkan
pengalaman sebelumnya, yaitu banyak perusahaan asuransi yang dimintakan
paiit oleh kreditor secara pribadi, seperti perusahaan asuransi manulife,
perusahaan asuransi preduental, dan lain – lain. Ada beberapa definisi istilah
yang penting untuk dikemukakan di sini, antara lain :
1. Perusahaan Asuransi
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(selanjutnya disebut UU Asuransi) tidak memberikan definisi

16
mengenai “perusahaan asuransi”, tetapi hanya memberikan definisi
“perusahaan perasuransian”, antara lain :
“Perusahaan perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian,
perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang
asuransi, perusahaan pialang reasuransi, agen asuransi, perusahaan
penilai kerugian, dan perusahaan konsultan aktuaria”. Dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan “Perusahaan Asuransi” adalah Perusahaan
Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian”. Dalam Pasal 1
Butir 1 PP No. 23 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sebagaimana yang telah diubah dengan PP No. 63
Tahun 1999 memberikan definisi “ Perusahaan Asuransi” sebagai
berikut : “Perusahaan asuaransi adalah perusahaan asuransi kerugian
dan jiwa”. Dalam uraian tersebut, terlihat bahwa adanya persamaan
definisi “perusahaan asuransi” yang diberikan oleh UU Kepailitan
dan PP No. 73 Tahun 1992 jo. PP No. 63 tahun 1999 dan terlihat
juga bahwa definisi perusahaan perasuransian” lebih luas
dibandingkan dengan definisi “perusahaan asuransi”.
2. Perusahaan Reasuransi
Pasal 1 Butir 7 UU Asuransi memberikan definisi “perusahaan
reasuransi” sebagai berikut : “perusahaan reasuransi adalah
perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang
terhadap resiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian
dan/atau perusahaan asuransi jiwa”.
3. Dana Pensiun
Dalam Pasal 1 Butir 1 UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun diberikan definisi “Dana Pensiun” sebagai berikut : “Dana
pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan
program yang menjanjikan manfaat pensiun”.

17
4. BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik
Dalam penjelasan Pasal ayat (5) UU Kepailitan menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik” adalah badan usaha milik
negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas
saham”. Saat ini BUMN diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Ada beberapa
wewenang menteri keuangan dalam kaitannya dengan asuransi, yang
sebagaimana ditentukan dalam UU Asuransi, antara lain sebagai
berikut :
1. Wewenang dalam memberikan izin usaha perasuransian (Pasal 9
ayat (1) UU Asuransi)
2. Wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap usaha perasuransian (Pasal 10 dan 11 ayat (1) UU
Asuransi) yang meliputi :
a. Kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi kerugian,
perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan reasuransi, yang
terdiri atas :
1) Batas tingkat solvabilitas
2) Retensi sendiri
3) Reasuransi
4) Investasi
5) Cadangan teknis
6) Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan
kesehatan keuangan
b. Penyelenggaraan usaha, yang terdiri atas :
1) Syarat – syarat polis asuransi
2) Tingkat premi
3) Penyelesaian klaim
4) Persyaratan keahlian di bidang perasuransian

18
5) Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan usaha
c. Melakukan pemerikasaan berkala atau setiap waktu apabila
diperlukan terhadap usaha perasuransian (Pasal 15 ayat (1) UU
Asuransi)
3. Wewenag untuk memperoleh informasi dari perusahaan asuransi
kerugian, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi,
perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi
mengenai neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan beserta
penjelasannya, laporan operasional, dan laporan investasi (Pasal 16
UU Asuransi)
4. Wewenang untuk melakukan tindakan berupa pemberian peringatan,
pembatasan kegiatan usaha, atau mencabut izin usaha jika terdapat
pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU Asuransi atau peraturan
pelaksanaannya (pasal 17 ayat (1) UU Asuransi)
5. Wewenang untuk meminta kepada pengadilan agar perusahaan
asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit atas dasar kepentingan
umum (Pasal 20 ayat (1) UU Asuransi)

2.6 Syarat -Syarat Permohonan Pailit


Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Syarat Adanya Dua Kreditor Atau Lebih (concursus Creditorium)
Syarat adanya dua kreditor atau lebih menunjukan bahwa
pengajuan permohonan pailit tidak dapat dilakukan apabila debitor
hanya memiliki satu utang atau satu kreditor saja, hal tersebut sesuai
dengan tujuan kepailitan yang mengharapkan pelunasan utang-utang
debitor kepada para kreditor secara seimbang dan adil. Setiap kreditor
(konkuren) mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan
yang sama dari harta debitornya. Jika debitor hanya mempunyai satu
utang saja, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadai
jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan

19
pembagian secara pro rata dan pari passu. Dengan demikian, jelas
bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor tersebut hanya
mempunyai satu kreditor.
Istilah “kreditor” juga sering kali menimbulkan multitafsir. Apalagi
di era UU No. 4 tahun 1998, yang tidak memberikan definisi terhadap
“kreditor”. Secara umum, ada tiga macam kreditor yang dikenal dalam
KUH Perdata, yaitu sebagai berikut.
a. Kreditor konkuren
Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata.
Kreditor konkuren adalah para keditor dengan hak pari passu dan
pro rata, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh
pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung
berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan
terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh
harta kekayaan debitur tersebut. Dengan demikian para kreditor
konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang
dari harta debitur tanpa ada yang didahulukan.
b. Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu kreditor yang oleh
undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya,
mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditor preferen
merupakan kreditor yang memiliki hak istimewa, yaitu suatu hak
yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang
lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134
KUH Perdata).
c. Kreditor separatis, yaitu kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan inrem, yang dalam KUH Perdata disebut dengan nama
gadai dan hipotek.
2. Syarat harus adanya utang
Berdasarkan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Kepailitan, utang
adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang, baik dalam mata uang Indonesia, maupun mata uang asing, baik

20
secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau
kontingen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan
yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi member hak
kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan
debitor. Syarat ini diperlukan karena tanpa adanya utang, maka debitor
tidak memiliki kewajiban yang harus dibayar kepada para kreditor,
sehingga tidak dapat dimintakan permohonan pailit.
3. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh tempo dam dapat ditagih
Seperti dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
kepailitan yang menyatkan bahwa yang dimaksud dengan utang yang
telah jatuh tempo adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah
jatuh waktu, baik karena diperjanjikan, karena percepatan waktu
penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau
denda oleh instansi yang berwanang, maupun karena putusan
pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus
telah jatuh tempo dan dapat ditaguh menunjukan bahwa kreditor sudah
mempunyai hak untuk menuntut debitor untuk memenuhi prestasinya.
4. Debitor berada dalam keadaan insolvent
Yaitu keadaan dimana debitor tidak lagi mampu membayar utang-
utangnya pada para kreditor. Keadaan insolvent atau keadaan dimana
debitor tidak mampu membayar utang-utangnya pada para kreditor,
menunjukkan bahwa debitor tidak lagi mampu untuk memenuhi
kewajibannya kepada kerditor dan kreditor terancam tidak dapat
menerima hak berupa pembayaran utang dari debitornya.
Ketidakmampuan debitor tersebut merupakan hak yang sangat penting
didalam kepailitan karena dengan adanya ketidakmampuan tersebut
kreditor dapat melakukan eksekusi terhadap kekayaan debitor melalui
putusan pengadilan sehingga kreditor dapat menerima haknya.

21
2.7 Pihak Yang Dinyatakan Pailit
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dijatuhi
keputusan kepailitan. Debitur disini dapat terdiri dari orang atau badan
pribadi maupun badan hukum, maka berdasarkan hal tersebut diatas pihak –
pihak yang bisa dinyatakan pailit adalah :
a. Orang atau badan pribadi (lampiran UUK Pasal 1 jo pasal 2 ayat (1)
UUK No. 37 tahun 2004)
b. Debitur yang telah menikah (lampiran UUK pasal 3 jo pasal 4 UUK no.
37 tahun 2004)
c. Badan-badan hukum, seperti Perseroan Terbatas, Perusahaan Negara,
Koperasi, perkumpulan -perkumpulan yang berstatus badan hukum,
misalnya yayasan (lampiran UUK Pasal 113)
d. Harta warisan (pasal 97 UUK jo bagian ke sembilan pasal 207- pasal 211
UUK No. 37 tahun 2004).
e. Orang Pribadi
Menurut lampiran pasal 1 ayat (1) UUK jo pasal 2 ayat (1) UUK
No. 37 tahun 2004, debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas
permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya. Debitur disini dapat terdiri dari orang atau badan pribadi
yang bisa berupa manusia maupun badan hukum seperti perseroan
terbatas, yayasan atau yang lainnya.
a. Debitur yang menikah
Didalam lampiran UUK Pasal 3 jo pasal 4 UUK No. 37 tahun
2004, disebutkan bahwa permohonan pernyataan pailit yang diajukan
oleh debitur yang menikah, harus ada persetujuan suami atau istrinya,
apabila diantara mereka ada percampuran harta.

22
b. Badan – badan hukum
Badan hukum sebagai subyek hukum yang mempunyai kekayaan
terpisah dari kekayaan perseronya juga dapat dinyatakan pailit. Dengan
pernyataan pailit, organ badan hukum tersebut akan kehilangan hak
untuk mengurus kekayaan badan hukum. Pengurusan kekayaan badan
hukum yang dinyatakan pailit beralih pada kuratornya. Oleh karena itu
menurut lampiran pasal 24 UUK maka gugatan hukum yang bersumber
pada hak dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan
pada kuratornya.
c. Harta warisan
Berdasarkan ketentuan lampiran UUK pasal 197 maka harta
kekayaan orang yang meninggal dunia harus dinyatakan dalam keadaan
pailit, apabila seseorang atau beberapa kreditur mengajukan permohonan
dan menguraikan secara singkat pernyataan bahwa orang yang meninggal
itu berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, ataupun
pada saat meninggal, harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar
utang-utangnya.

2.8 Syarat-Syarat Untuk Dinyatakan Pailit


Agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal
ini Pengadilan Niaga, maka berbagai persyaratan juridis harus dipenuhi
ketentuan dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 UU No. 37 Tahun
2004 yaitu:
a. Permohonan dari debitor (perorangan).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan
Niaga setempat.
3) Surat kuasa khusus.
4) Surat tanda bukti diri (KTP) suami/isteri yang masih berlaku.
5) Persetujuan suami/isteri yang dilegalisir.

23
6) Daftar asset dan tanggung jawab.
7) Neraca pembukuan terakhir (dalam hal perorangan memiliki
perusahaan).
b. Permohonan dari debitor (Perseroan Terbatas).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan
Niaga setempat.
3) Surat kuasa khusus.
4) Akta pendaftaran perusahaan (tanda daftar perusahaan) yang
dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu)
minggu sebelum permohonan didaftarkan.
5) Putusan sah rapat umum pemegang saham (RUPS) terakhir.
6) Neraca keuangan terakhir.
7) Nama serta alamat semua kreditor dan debitor. 8) Anggaran
Dasar/Anggaran rumah tangga.
c. Permohonan dari debitor (Yayasan/Asosiasi).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan
Pengadilan Niaga setempat.
3) Surat kuasa khusus.
4) Akta pendaftaran yayasan/asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh
Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum
permohonan didaftarkan.
5) Putusan Dewan Pengurus yang memutuskan untuk mengajukan
pernyataan pailit.
6) Neraca keuangan terakhir.
7) Nama serta alamat semua kreditor dan debitor.

24
d. Permohonan dari debitor (Kejaksaan/Bank Indonesia/Bapepam).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Surat tugas/surat kuasa.
3) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan
Niaga setempat.
4) Surat kuasa khusus.
5) Akta pendaftaran perusahaan/bank/perusahaan efek yang dilegalisir
(dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu
sebelum permohonan didaftarkan.
6) Surat perjanjian utang.
7) Perincian utang yang telah jatuh tempo/tidak dibayar.
8) Neraca keuangan terakhir.
9) Daftar asset dan tanggung jawab.
10) Nama serta alamat semua kreditor dan debitor.
e. Permohonan dari kreditor (Kejaksaan/Bank Indonesia/Bapepam).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan
Niaga setempat.
3) Surat kuasa khusus.
4) Akta pendaftaran perusahaan/yayasan/asosiasi yang dilegalisir
(dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu
sebelum permohonan didaftarkan.
5) Surat perjanjian utang.
6) Perincian utang yang tidak dibayar.
7) Nama serta alamat masing-masing debitor
8) Tanda kenal diri debitor.
9) Nama serta alamat mitra usaha.

25
10) Terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris oleh
penterjemah resmi (jika menyangkut unsur asing).
Dari bunyi Pasal 11 ayat (1) perihal kasasi, Pasal 14 ayat (1) perihal
peninjauan kembali, dan Pasal 295 ayat (1) perihal peninjauan kembali
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang terdapat dua kemungkinan upaya hukum yang
dapat ditempuh oleh para pihak yang tidak puas terhadap putusan pernyataan
kepailitan, yaitu upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menjelaskan:
Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan
pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung”.
Pasal 14 ayat (1) berbunyi: “terhadap putusan atas permohonan pernyataan
pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung”.
Pasal 295 ayat (1) berbunyi “terhadap putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam
undangundang ini”.

2.9 Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit


Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 s.d.
Pasal 11 UU Kepailitan. Prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit
Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua
Pengadilan Niaga. Panitera Pengadilan Niaga wajib mendaftarkan
permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan
diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama
dengan tanggal pendaftaran.
Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan mewajibkan panitera untuk
menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi

26
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.
Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan ini pernah diajukan Judicial Review di
Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
071/PPU-II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU.III/2005 telah
menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan-pertimbangan
hukum yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi antara lain :
a. Bahwa panitera walaupun merupakan jabatab di pengadilan, tetapi
kepada jabatan tersebut seharusnya hanya diberikan tugas teknis
administrasi yustisial dalam rangka memberikan dukungan terhadap
fungsi yustisial yang merupakan kewenangan hakim.
b. Menimbang pula bahwa sejak lama telah diakui asas hukum yang
berbunyi bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil
hukum tidak ada, atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
c. Apabila panitera diberikan wewenang untuk menolak mendaftarkan
permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi, hal tersebut
dapat diartikan panitera telah mengambil alih kewenangan hakim
untuk memberi keputusan atas suatu permohonan.
d. Meskipun hasil akhir atas permohonan yang bersangkutan boleh jadi
sama, yaitu tidak dapat diterimanya permohonan yang bersangkutan,
karena tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum sebagaimana
ditentukan dalam pasal 2 ayat (5) undang – undang a quo, yang
menurut mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945,
keputusan demikian harus dituangkan dalam keputusan yang
berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Tang Maha Esa.
e. Menimbang bahwa karena penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan
kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal yang dijelaskan, dengan

27
sendirinya penjelasan pasal tersebut doperlakukan sama dengan
pasal yang dijelaskannya.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, panitera Pengadian
Niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak setiap perkara yang
masuk. Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit, panitera
menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga
paling lambat dua hari setelah permohonan didaftarkan.
2. Tahap Pemanggilan Para Pihak
Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita
melakukan pemanggilan para pihak, antara lain :
a. Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau
Menteri Keuangan;
b. Dapat memanggil kreditor, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan
untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan telah terpenuhi.
Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling
lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan.
3. Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan Pailit
Dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal
permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari
permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas
permohonan tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat
20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan
debitur dan berdasarkan alasan alasan yang cukup seperti adanya surat
keterangan sakit dari dokter, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan
sidang pemeriksaan sampai paling lambat 25 hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan. Dalam pasal 10 ayat (1) UU Kepailitan
dinyatakan bahwa selama putusan atas permohonan pernyataan pailit
belum diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam,

28
atau menteri keuangan dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan untuk :
a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan
debitur, atau
b. Menunjuk kurator sementara unutk mengawasi :
1) Pengelolaan usaha debitur; dan
2) Pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau pengagunan
kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang
kurator.
Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila
hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditor.
4. Tahap Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan
untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Yang dimaksud dengan fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua
atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak
dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan
oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhinya
putusan pernyataan pailit. Putusan atas permohonan pernyataan pailit
wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat
secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut
serta memuat pula :
1. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/ atau sumber hukum yang tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili; dan
2. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota
atau ketua majelis
Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit wajib
disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur,

29
pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator, dan
hakim pengawas paling lambat 3 hari setelah tanggal putusan atas
permohonan pernyataan pailit diucapkan

2.10 Akibat Kepailitan


A. Akibat Kepailitan Secara Umum
1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit
Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga,
debitur demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap
penguasaan dan pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam
kepailitan terhitung sejak tanggalkepailitan itu. Kepailitan mengakibatkan
seluruh harta kekayaan debitur serta segalasesuatu yang diperoleh selama
kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saatputusan pernyataan pailit
di ucapkan, kecuali:
a. Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur
sehubungan dengan, pekerjaannya perlengkapannya, alat-alat medis
yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan
perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya,
yang terdapat ditempat itu yang diatur dalam Pasal 22a UU No.37
Tahun 2004.
b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari perkerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah,
pensiun, uang tunggu tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh
Hakim Pengawas. yang diatur dalam Pasal 22 b UU No.37 Tahun
2004.
c. Atau uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu
kewajiban memberikan nafkah menurut Undang-Undang. yang
diatur dalam Pasal 22 c UU No.37 Tahun 2004.

30
2. Akibat kepailitan bagi pasangan suami isteri
Debitur pailit yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam
suatu perkawinan yang sah dan adanya persatuan harta, kepailitannya
juga dapat memberikan akibat hukum terhadap pasangan (suami istri).
Pasal 23 UUK menentukan bahwa apabila seseorang dinyatakan pailit,
maka yang pailit tersebut termasuk juga istri atau suaminya yang
kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan pasal ini membawa
konsekuensi yang cukup berat terhadap harta kekayaan suami istri
yang kawin dalam persatuan harta. Artinya bahwa seluruh harta istri
atau suami yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga
terkena sita kepailitan dan otomatis masuk dalam boedel pailit.
Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau suami
berhak mengambil kembali semua benda bergerak atau tidak bergerak
yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan hartanya
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Jika benda
milik istri atau suami telah dijual oleh istri atau suami dan harganya
belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta
pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil
penjualan tersebut yang diatur di dalam buku ke III KUHPerdata dan
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 25, Pasal 26 dan
Pasal 27 UU No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU.

3. Akibat kepailita terhadap seluruh perikatan yang dibuat oleh debitur


pailit
Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan
pailit, tidak lagi dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan
tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 26 UUK). Tuntutan
mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus
diajukan oleh atau Kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau
diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila tuntutan
tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit,

31
penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta
pailit (Pasal 26 Undang-undang Kepailitan). Dengan demikian,
putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan
pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor
yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan
sejak itu tidak ada putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau
juga dengan menyandera debitor. Pihak-pihak yang terkait dalam
pengurusan harta pailit dalam penguasaan dan pengurusan harta pailit
yang terlibat tidak hanya Kurator, tetapi masih terdapat pihak-pihak
lain yang terlibat adalah Hakim Pengawas, kurator dan panitia
kreditor.

4. Akibat kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitur sebelum


pernyataan pailit. Dalam Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan secara
tegas bahwa untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitur
yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditor, yang
dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai
pembatalan oleh kreditor kepada pengadilan. Kemudian Pasal 42 UU
Kepailitan diberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum debitur
tersebut antara lain :
a. Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1
Tahun sebelum putusan pernyataan pailit.
b. Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur,
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
c. Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut
dilakukandianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa
perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
d. Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa :
1) Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi
kewajiban pihak dengan siapa perjanjian itu dibuat.

32
2) Merupakan pembayaran atas atau pemberian jaminan untuk utang
yang belum jatuh tempo dan atau belum atau tidak dapat ditagih.
3) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur
perorangan.
4) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang
merupakan badan hukum.
5) Dilakukan oleh Debitur yang merupakan badan hukum dengan
atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana debitur
adalah anggotanya.
Dari ketentuan Pasal 41 dan 42 Undang-undang Kepailitan, dapat
diketahui bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem
pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap pembuatan
hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada
pada pundak debitur pailit dan pada pihak ketiga yang melakukan
perbuatan hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur tersebut
dilakukan dalam jangka waktu 1 Tahun (sebelum putusan pernyataan
pailit) merugikan kepentingan kreditor, maka debitur dan pihak ketiga
wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan
oleh mereka dan perbuatan hokum tersebut tidak merugikan harta pailit.
Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan
pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan
pernyataan pailit, dimana Kurator menilai bahwa perbuatan hukum
tersebut merugikan kepentingan kreditor atau harta pailit, maka yang wajib
membuktikan adalah Kurator.

B. Akibat Kepailitan Secara Khusus


1. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbale balik
Menurut Subekti menerjemahkan istilah overeenkomst dari
Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia, yang artinya “Perjanjian”.
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi perjanjian, yaitu suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

33
terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan tersebut memberikan
konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua
pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi
(debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi
tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri atas satu
atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak
tersebut dapat juga terdiri atas satu atau lebih badan hukum. Pasal 1314
KUH Perdata berbunyi :
1) Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban.
2) Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang
lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
3) Suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang
mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu.
Dari rumusan Pasal 1314 KUH Perdata diatas, dapat diketahui bahwa
suatu perjanjian dapat bersifat sepihak dan perjanjian yang bersifat timbal balik.
Perjanjian yang bersifat sepihak, yaitu suatu perjanjian dimana hanya ada satu
pihak yang mempunyai kewajiban atas prestasi terhadap pihak lain. Contohnya
perjanjian hibah. Adapun perjanjian yang bersifat timbal balik, yaitu suatu
perjanjian dimana kedua belah pihak saling berprestasi. Dalam perjanjian timbal
balik (bilateral), selalu ada hak dan kewajiban di satu pihak yang saling
berhadapan dengan hak dan kewajiban dipihak lain. Pasal 36 ayat (1) Undang-
undang Kepailitan menentukan bahwa dalam hal pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian
dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta
kepada curator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan
perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator dan pihak
tersebut.
Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu tersebut tidak tercapai,
Hakim Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut (Pasal 36 ayat (3) UU

34
Kepailitan). Apabila dalam jangka waktu tersebut, Kurator tidak memberikan
jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka
perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi
dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren. Apabila Kurator menyatakan
kesanggupannya atas pelaksanaan perjanjian tersebut, Kurator wajib memberi
jaminan atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Pelaksanaan
perjanjian tersebut tidak meliputi perjanjian yang prestasinya harus dilaksanakan
sendiri oleh debitur misalnya debitur adalah seorang penyanyi atau seorang
pelukis, dimana debitur diwajibkan untuk melukis wajah pihak tersebut, dalam hal
tersebut tidak mungkin bagi Kurator untuk melaksanakan perjanjian.

2. Akibat kepailitan terhadap barang jenis jaminan


a. Perjanjian Hibah
Hibah diatur dalam bab ke 10 mulai dari passal 1666-1693 KUH
perdata. Pasal 1666 KUH Perdata mendefinisikan hibah sebagai
berikut. “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di
waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima
hibah yang menerima penyerahan itu. Dari Pasal diatas dapat
diketahui bahwa hibah merupakan suatu perjanjian yang bersifat
sepihak, yang prestasinya berupa menyerahkan sesuatu, serta antara
penghibah dan penerima hibah adalah orang-orang yang masih
hidup. Kemudian Pasal 1667 KUHPerdata, menentukan bahwa hibah
hanyalah dapat mengenai benda- benda yang sudah ada jika hibah itu
meliputi benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari, hibahnya
adalah batal. Dalam kaitannya dengan akibat dari kepailitan
terhadap perjanjian hibah diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44
Undang-undang Kepailitan.
Dari Pasal tersebut, dapat diketahui bahwa hibah yang dilakukan
oleh debitur (pailit) yang akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor,
maka hibah semacam itu dapat dimintai pembatalan oleh Kurator

35
kepada pengadilan. Untuk melakukan pembatalan perjanjian hibah
tersebut, perlu dibuktikan terlebih dahulu bahwa debitur mengetahui
atau patut mengetahui perjanjian tersebut mengakibatkan kerugian bagi
kreditor. Untuk melakukan pembatalan perjanjian (hibah) diperlukan
suatu lembaga perlindungan hak kreditor dari perbuatan debitor pailit
yang merugikan para kreditor.

b. Perjanjian sewa-menyewa
Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Bab ke 7 mulai dari Pasal
1548 s.d Pasal 1600 KUH Perdata. Pasal 1548 KUH Perdata
mendefinisikan perjanjian, sewa- menyewa sebagai berikut “sewa-
menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainya
kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan
dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan
itu disanggupi pembayarannya, semua jenis barang, baik barang
bergerak maupun barang yang tidak dapat disewakan”.
Dalam kaitannya antara kepailitan dengan perjanjian sewa, maka
dapat dilihat dari 38 Undang-undang Kepailitan. Dalam hal debitur
telah menyewa suatu benda (dalam hal ini debitur bertindak sebagai
penyewa), maka baik Kurator maupun pihak yang menyewakan benda,
dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat harus adanya
pemberitahuan penghentian yang dilakukan sebelum berakhirnya
perjanjian sewa tersebut sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Jangka
waktu pemberitahuan penghentian tersebut harus menurut perjanjian
atau menurut kelaziman dalam jangka waktu paling singkat 90 hari.
Dalam hal debitur telah membayar uang sewa dimuka (lunas) maka
perjanjian sewa tersebut tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum
berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut.
Bagaimana nasib orang yang menyewakan benda tersebut, jika uang
sewa belum dibayar atau belum lunas dibayar, dalam hal ini utang sewa

36
dari debitur akan menjadi utang harta pailit (Pasal 38 ayat 4). Dalam
arti, orang yang meyewakan benda tersebut dapat tampil sebagai
kreditor konkuren.

3. Akibat Kepailitan Terhadap Hak Jaminan dan Hak Istimewa


Pada saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4
(empat) macam jaminan, antara lain :
a. Hipotik
b. Gadai
c. Hak tanggungan
d. Fidusia
Pihak-pihak yang memegang hak atas jaminan gadai, hipotek, hak
tanggungan, atau fidusia berkedudukan sebagai kreditor separatis.
Selain kreditor separatis,dalam KUHPerdata juga dikenal dengan
nama kreditor konkuren dan kreditor preferen. Kreditor preferen adalah
kreditor yang mendapatkan pelunasan terlebih dahulu semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya. Untuk mengetahui siapa saja yang
berkedudukan sebagai kreditor preferen dapat dilihat dalam Pasal
1133, 1134, 1139 dan 1149 KUH Perdata. Adapaun kreditor konkuren
adalah kreditor yang mempunyai kedudukan yang sama dan tidak
mempunyai hak untuk didahulukan dari pada kreditor lain.
Dalam Pasal 55 Undang-undang Kepailitan ditentukan bahwa
setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainya, dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, kecuali dalam hal penagihan
suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan 137, kreditor
separatis tesebut hanya dapat mengeksekusi setelah dicocokan
penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang
diakui dari penagihan tersebut.
Didalam ketentuan Pasal 32 jo Pasal 31 ayat (1) No. 37
Undang-undang Kepailitan tahun 2004 disebutkan, putusan pernyataan

37
pailit berakibat, bahwa segala putusan hakim menyangkut setiap bagian
harta kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus
segera dihentikan dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat
dilaksanakan tersebut atau juga dengan menyandera debitor. Dalam
penjelasan ayat (1) menyebutkan dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, ketentuan ini tidak berlaku bagi
kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik
atau hak anggunan atas kebendaan lainya dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan kekayaan
dan bukan mengenai perorangan debitur, ia tetap dapat
melaksanakan hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang timbul
dari kekuasaan orang tuanya. Pengurusan benda- benda anaknya tetap
padanya, seperti ia melaksanakan sebagai wali, tuntutan perceraian atau
perpisahan ranjang dan meja diwujudkan oleh dan padanya
Dengan kata lain, akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan
debitur. Debitur tidaklah berada dibawah pengampunan. Debitur
tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum
menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum menyangkut
pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Apabila
menyangkut harta benda yang akan diperolehnya debitur pailit tetap
berwenang bertindak sepenuhnya akan tetapi tindakan-tindakannya
tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita.
Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan
hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan
dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga
untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 67 ayat
(1) Undang-undang Kepailitan menerangkan bahwa yang berwenang
melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Dengan demikian, debitur, debitur kehilangan hak menguasai harta
yang masuk dalam kepailitan, namun tidak kehilangan hak atas harta

38
kekayaan yang berada diluar kepailitan. Tentang harta kepailitan, lebih
lanjut dalam pasal 19 Undang-undang Kepailitan menerangkan bahwa
harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat
pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya
selama kepailitan. Kendati telah ditegaskan bahwa dengan
dijatuhkannya putusan kepailitan harta kekayaan debitur pailit akan di
urus dan di kuasai oleh Kurator, namun tidak semua kekayaan debitur
pailit diserahkan ke Kurator. Ada beberapa harta yang dengan tegas
dikecualikan dari kepailitan yaitu :
1. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari
2. Alat perlengkapan kerja
3. Persediaan makanan untuk kira-kira sebulan
4. Gaji, upah, pensiun, uang jasa, dan honorium
5. Hak cipta
6. Sejumlah uang yang ditentukan oleh Hakim Pengawas untuk
nafkah (debitur)
7. Sejumlah uang yang diterima dari pendapatan anak-anak
Demikian pula hak-hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan
kekayaan atau barang-barang milik pihak ketiga yang kebetulan berada ditangan
si pailit, tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya hak pakai dan hak mendiami
rumah. Untuk kepentingan harta pailit, semua perbuatan hukum debitur yang
dilakukan sebelum pernyataan pailit diterapkan, yang merugikan dapat dimintakan
pembatalannya. Pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan apabila dapat
dibuktikan bahwa debitur dan dengan siapa perbuatan tersebut merugikan
kreditor.
Dalam Pasal 19 Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 jo Pasal 21
Und a n g -u nd an g K ep ai l i t a n No. 37 Tahun 2004, kepailitan meliputi seluruh
harta kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu diputuskan beserta semua
kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu. Yang dimaksud dengan semua
kekayaan yang diperoleh selama kepailitan, misalnya warisan. Menurut Pasal 40
Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004, segala warisan yang selama

39
kepailitan menjadi hak debitur pailit, tidak boleh diterima oleh Kurator,
kecuali apabila mengguntungkan harta pailit. Sedangkan untuk menolak warisan,
Kurator memerlukan izin dari Hakim Pengawas.

C. Akibat Kepailitan Terhadap Kewenangan Berbuat Debitur Pailit Dalam Bidang


Hukum Kekayaan

Setelah keputusan pernyataan pailit, debitur dalam batas-batas tertentu


masih dapat melakukan perbuatan hukum kekayaan sepanjang perbuatan
tersebut akan mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Sebaliknya apabila
perbuatan hukum tersebut akan merugikan harta pailit Kurator dapat diminta
pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit. Pembatalan
tersebut bersifat relatif, artinya hal itu hanya dapat digunakan untuk
kepentingan harta pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUK No.37 Tahun
2004.
Orang yang mengadakan transaksi dengan debitur tidak dapat
mempergunakan alasan itu untuk meminta pembatalan. Tindakan Kurator tersebut
disebut Actio Paulina. Pengaturan tentang Actio Paulina tersebut ada dalam
Pasal 1341 KUHPerdata dan Pasal 41-45 Undang-undang Kepailitan. Dalam
Pasal 41, menyebutkan bahwa untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan
pembatalan atas segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang
merugikan kreditur, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit di tetapkan.
Pembatalan tersebut hanya dilakukan, apabila dapat dibuktikan bahwa,
pada saat perbuatan hukum tersebut itu dilakukan, debitur dan pihak dengan
siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur
(ayat 2). Oleh debitur berdasarkan Undang-undang, misalnya kewajiban
membayar pajak, tidak dapat dimintakan pembatalan (ayat 3).
Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditor dilakukan dalam jangka
1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapakan, sedangkan
perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor, kecuali dapat dibuktikan
sebalikanya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan

40
dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
Perbuatan yang dimaksud menurut Pasal 42 Undang-undang Kepailitan No.
37 Tahun 2004 adalah :
1) Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitor jauh melebihi kewajiban
pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat : misalnya debitur menjual barang
jauh dibawah harga.
2) Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang
belum jatuh tempo dan atau belum atau tidak dapat di tagih.
3) Dilakukan oleh debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan :
a. Suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat
ketiga.
b. Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud
pada (angka 1) adalah anggota direksi, atau pengurus atau apabila pihak
tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara
langsung atau tidak langsung dalam kepailitan badan hukum tersebut lebih
dari 50 % dari modal yang disetor atau dalam pengendalian badan hukum
tersebut.

4) Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk
kepentingan :
a. Anggota direksi atau pengurus dari debitor, suami atau istri, anak
angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota direksi atau
pengurus.
b. Perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri,
anak anggkat atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta
secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih
dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum
tersebut.
d. Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat
ketiga, ikut serta secara langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari

41
50% dari modal disetor atau dalam pengedalian badan hukum tersebut.

5) Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau untuk
kepentingan badan hukum lainnya, apabila :
a. Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha
tersebut adalah orang yang sama.
b. Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari
perorangan anggota direksi atau pengurus debitor yang juga merupakan
anggota direksi atau pengurus debitor yang juga merupakan anggota direksi
atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebalikanya.
c. Perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan
pengawas pada debitur, atau suami, atau istri, anak angkat, atau keluarga
sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara
langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50 % (lima
puluh persen) dari modal atau dalam pengendalian badan hukum tersebut,
atau sebaliknya.
d. Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada bahan hukum
lainnya, atau sebaliknya
e. Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama,
atau tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya
dan keluarganya sampai derajat ketig ikut serta langsung atau tidak
langsung dalam kedua badan tersebut paling kurang sebesar 50 % dari
modal yang disetor.

6) Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap
badan hukum lain dalam satu grup dimana debitor adalah dalam penerapan
ketentuan ini, suatu badan hukum yang merupakan anggota direksi yang
berbentuk badan hukum diperlukan sebagai direksi yang berbentuk badan hukum
tersebut.

42
7) Ketentuan dalam angka 3, 4, 5,dan 6 berlaku mutatis mutandis dalam hal
dilakukan oleh debitor dengan atau untuk kepentingan :
a. Anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau istri, anak
angkat atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut.
b. Perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau
istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ktiga yang ikut serta secara
langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut.
Menurut Pasal 43 UUK No. 37 Tahun 2004, hibah yang dilakukan
debitur dapat dimintakan pembatalannya, apabila Kurator dapat
membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, debitur
mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
Dengan ketentuan tersebut, maka Kurator tidak perlu membuktikan
bahwa penerima hibah mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Kecuali apabila dapat
dibuktikan sebaliknya, debitur dianggap mengetahui atau patut mengetahui
bahwa hibah tersebut merugikan kreditur apabila hibah tersebut dilakukan
dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit
ditetapkan.
Selanjutnya dalam Pasal 45 Undang-undang Kepailitan No.37 Tahun
2004, ditentukan mengenai pembatalan pembayaran utang oleh debitur pailit
hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa penerima
pembayaran itu mengetahui bahwa debitur pailit telah mengajukan laporan
permohonan pernyataan pailit, atau bila pembayaran itu merupakan akibat
suatu perundingan antara debitur dan kreditur, serta pembayaran itu
memberikan keuntungan kepada kreditur yang bersangkutan yang
mendahulukan pembayaran di atas para kreditur lainnya.
Akan tetapi penagihan kembali tersebut tidak dapat dilakukan dari
seseorang pemegang surat perintah pembayaran atau surat perintah
pembayaran atau surat pemegang-pemegangnya dahulu, diwajibkan
menerima pembayaran. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa surat-surat

43
berharga tersebut dikeluarkan karena penerima pembayaran mengetahui
bahwa debitur telah mengajukan permohonan paiit atau surat beharga
tersebut dikeluarkan atas perundingan antara debitur dan kreditur, maka
dalam hal ini orang yang mendapat keuntungan dari pengeluaran surat
berharga itu wajib mengembalikan jumlah tersebut kepada harta pailit.

3.11 Penundaan Pembayaran

Permohonan penundaan pembayaran itu harus diajukan oleh debitur


kepada pengadilan dan oleh penasihat Hukumnya, disertai dengan :
1. Daftar-daftar para kreditor beserta besar piutangnya masing-masing;
2. Daftar harta kekayaan (aktiva/pasiva) dari si debitur.
Surat permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di kepaniteraan
pengadilan agar dapat dilihat oleh semua pihak yang berkepentingan.
Selanjutnya, prosedur permohonan penundaan pembayaran tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Setelah pengadilan menerima permohonan penundaan pembayaran,
secara langsung atau seketika pengadilan harus mengabulkan
permohonan untuk sementara dengan memberikan izin penundaan
pembayaran.
2. Hakim pengadilan paling lambat 45 hari melalui panitera harus
memanggil para kreditor, debitur dan pengurus untuk diadakan
sidang.
3. Dalam sidang tersebut akan diadakan pemungutan suara (jika perlu)
untuk memutuskan apakah penundaan pembayaran tersebut
dikabulkan atau ditolak. Berdasarkan hasil pemungutan suara inilah
pengadilan akan dapat memutuskan secara definitif terhadap
permohonan penundaan pembayaran.
a. Permohonan penundaan pembayaran utang akan dikabulkan
atau ditetapkan apabila disetujui lebih dari setengah kreditor
konkuren yang hadir dan mewakili paling sedikit dua pertiga

44
bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara
diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam
sidang tersebut.
b. Permohonan penundaan pembayaran utang tidak akan
dikabulkan apabila :
1) Adanya alasan yang mengkhawatirkan bahwa debitur
selama penundaan pembayaran akan mencoba merugikan
kreditor-kreditornya.
2) Apabila tidak ada harapan bagi debitur, selama
penundaan pembayaran dan setelah itu, untuk memenuhi
kewajibannya kepada kreditor.
4. Dalam putusan hakim yang mengabulkan penundaan pembayaran
definitif tersebut, ditetapkan pula lamanya waktu penundaan
pembayaran paling lama 270 hari terhitung sejak penundaan sementara
ditetapkan.
5. Pengurus wajib segeramengumumkan putusan penundaan kewajiban
pembayaran utang sementara dalam berita Negara Republik
Indonesia, dan paling sedikit dalam dua surat kabar harian yang
ditunjuk oleh Hakim Pengawas, dan pengumuman tersebut harus
memuat undangan untuk hadir dalam persidangan yang merupakan
rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu
siding tersebut, nama Hakim Pengawas, dan nama serta alamat
pengurus.
6. Setelah pengadilan mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran
utang, panitera pengadilan wajib mengadakan daftar umum perkara
penundaan kewajiban pembayaran utang dengan mencantumkan untuk
setiap penundaan kewajiban pembayaran utang, di antaranya:
1) Tanggal putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara
dan tetap berikut perpanjangannya
2) Kutipan putusan pengadilan yang menetapkan penundaan kewajiban
pembayaran utang sementara maupun tetap dan perpanjangannya

45
3) Nama hakim pengawas dan pengurus yang diangkat
4) Ringkasan isi perdamaian dan pengesahan perdamaian tersebut oleh
pengadilan,dan
5) Pengakhiran perdamaian
Sepanjang jangka waktu yang ditetapkan untuk penundaan pembayaran,
atas permintaan pengurus, kreditor, hakim pengawas atau atas prakarsa
pengadilan, penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diakhiri dengan
alasan-alasan berikut ini (pasal 255 UU No. 37 Th 2004)
1. Debitur selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang bertindak
dengan iktikad tidak baik dala melakukan pengurusan terhadap hartanya.
2. Debitur mencoba merugika para kreditornya
3. Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan
hak atas sesuatu bagian dari hartanya
4. Debitur lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh pengadilan dan
yang disyaratkan oleh pengurus
5. Keadaan harta debitur selama penundaan pembayaran tidak memungkinkan
lagi bagi debitur untuk melakukan kewajibannya pada waktunya. Dengan
dicabutnya penundaan kewajiban pembayaran utang, hakim dapat
menetapkan si debitur dalam keadaan pailit sehingga ketentuan kepailitan
berlaku bagi si debitur. Debitur yang memohon penundaan kewajiban
pembayaran utang dapat mengajukan rencana perdamaian melalui
pengadilan. Perdamaian itu diajukan pada saat atau setelah mengajukan
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Hal ini berbeda
dengan perdamaian pada kepailitan, yaitu sebagai berikut:
1. Dari segi waktu, akor penundaan pembayaran diajukan pada saat atau
setelah permohonan penundaan pembayaran, sedangkan akor pada
kepailitan diajukan setelah adanya putusan hakim
2. Pembicaraan (penyelesaian) akor dilakukan pada siding pengadilan
memeriksa permohonan penundaan pembayaran, sedangkan akor
kepailitan dibicarakan pada saat rapat verifikasi, yaitu setelah adanya
putusan pengadilan

46
3. Syarat penerimaan akor pada penundaan pembayaran haruslah disetujui
setengah dari jumlah kreditor konkuren yang diakui atau sementara diakui
yang hadir pada rapat permusyawaratan hakim, yang bersama-sama
mewakili dua pertiga bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau
sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam
rapat tesebut, dan mewakili tiga perempat dari jumlah piutang yang diakui.
Sementara itu, akor pada kepailitan harus disetujui oleh dua pertiga dari
kreditor konkuren, yang mewakili tiga perempat jumlah semua tagihan yang
tidak mempunyai tagihan istimewa.
4. Kekuatan mengikatnya akor pada penundaan kewajiban pembayaran utang
berlaku pada semua kreditor (baik konkuren maupun prepent), sedangkan
akor kepailitan hanya berlaku bagi kreditor konkuren. Akibat hukum apabila
akor penundaan kewajibanpembayaran utang ditolak adalah hakim dapat
langsung menyatakan debitur dalam pailit. Sementara itu, apabila akor
diterima, harus dimintakan pengesahan kepada hakim. Dengan tercapainya
penyelesaian melalui perdamaian (akor) yang telah disahkan, berakhirlah
penundaan kewajiban pembayaran utang.

47
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Krisis moneter membuat hutang menjadi membengkak luar biasa sehingga
menyebabkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utang –
utangnya. Disamping itu, kredit macet di perbankan dalam negri juga makin
membumbung tinggi luar biasa (sebelum krisis moneter perbankan indonesia
memang juga telah menghadapi masalah kredit berdmasalah yaitu sebagai
akibat terpuruknya sektor riil akibat krisis moneter.
Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat
diandalkan. Banyak debitor yang dihubungi oleh para kreditornya karena
berusaha untuk mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utang –
utangnya. Sedangkan restrukturisasi utang hanyalah mungkin ditempuh
apabila debitor bertemu dan duduk berunding dengan para kreditornya atau
sebaliknya.
Disamping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis debitor harus
masih memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan revenue, sebagai
sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Dengan demikian
diharapkan adanya umpan balik antara kreditor dan debitor dengan baik.
Sehingga dirasakan dapat menguntungkan kedua belah pihak.

3.2 Saran
Seyogyanya Majelis Hakim pengadilan niaga dalam memeriksa perkara
kepailitan harus tetap memperhatikan kaidah – kaidah hukum yang berlaku
seperti memperhatikan subyek yang menjadi persengketaan.

48
DAFTAR PUSTAKA

Jono. 2010. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika


Hartini, Rahayu. 2008. Hukum kepailitan. Malang : UMM Press
Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Kepailitan. Bogor : Ghalia Indonesia
Fuady, Munir. 2002. Hukum Pailit 1998 (dalam teori dan praktek). Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti

49

Anda mungkin juga menyukai