Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA

MENGENAI
“ MELAKSANAKAN PENCEGAHAN TERHADAP KEKERASAN SEKSUAL “

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1


NAMA – NAMA : 1. ARUM WISKA
2. DEVI ARIYANI
3. DINDA RAMADONA
4. EKI NOPRIANTI
5. NURLIDIA
6. RINI YUFITA PRATIWI
7. RIZA PUTRI N
8. SEPTI KENCANA WATI
9. SITTAH RISMAN DELA
10. YUNI ELISA
TINGKAT : III REGULAR A
DOSEN PENGAJAR : VERATIWI, SST, M.KEB

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI D3 KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2018-2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
nya , sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Melaksanakan
Pencegahan Terhadap Kekerasan Seksual “.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan,
oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya pada
pembaca .

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Palembang , September 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 4

B. Tujuan .................................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 6

2.1 Pengertian Gender dan Seksualitas ....................................................................................... 6

2.2 Perbedaan Gender dan Seksualitas ....................................................................................... 7

2.3 Pengertian Kekerasan Seksual .............................................................................................. 8

2.4 Macam-macam Bentuk Kekerasan Seksual .......................................................................... 9

2.5 Dampak Kekerasan Seksual ................................................................................................ 15

2.6 Contoh Kasus Kekerasan Seksual Tsunami Aceh 2004 ..................................................... 19

2.7 Pencegahan Terhadap Kekerasaan seksual ......................................................................... 23

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 27

A. Kesimpulan.......................................................................................................................... 27

B. Saran .................................................................................................................................... 27

Tanya Jawab : ............................................................................................................................. 28

Kesimpulan dari Tanya Jawab .................................................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 34

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Realitas adanya perempuan dan laki-laki adalah salah satu sunnatullah kesetaraan.
Alasan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan bisa kita lihat dari kondisi biologis,
emosional, dan akalnya. Namun hal ini tergantung pada kondisi zaman. Bila kita lihat
saat ini, kita berada pada zaman informasi dan teknologi, di mana kekuatan fisik tidak
lagi mempunyai peran yang menentukan, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan
manajerial.
Anggapan laki-laki lebih berkuasa dan dominan dalam masyarakat di banyak
bidang sangat merugikan kaum perempuan. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa
keberadaan perempuan di tengah-tengah laki-laki, misalnya dalam suatu pekerjaan,
perempuan selalu mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan keprofesionalannya.
Laki-laki meragukan kemampuan yang dimiliki oleh perempuan. Kemampuan
perempuan dianggap tidak sepadan dengan laki-laki sehingga dalam suatu lembaga sulit
ditemukan perempuan sebagai pemegang kendali atau pimpinan tertinggi di lembaga
tersebut. Asumsi masyarakat beranggapan bahwa, perempuan itu lemah, selalu di bawah
laki-laki dan selalu menerima. Perempuan identic dengan urusan dapur saja, sedangkan
laki-laki adalah orang yang kuat, berfikir rasional dan sebagai penentu. Hal ini bisa
mendorong terjadinya transgender dan transeksual.
Gender adalah budaya yang terkonsep feminin atau maskulin yang diciptakan dari
aktivitas social bukan pada keaslian. Bukan asli atau murni dilakukan dari awal, tetapi
melalui konstruksi atau bentukan manusia itu sendiri. Ideologi gender dalam prosesnya
telah menciptakan berbagai konstruksi sosial. Konstruksi sosial ini berproses melalui
tradisi sehingga orang menjadi tidak sadar bahwa yang terjadi adalah buatan manusia.
Dalam proses sejarah manusia, masyarakat mencampuradukan pengertian jenis kelamin
atau seks sehingga terjadi salah pengertian.
Kemudian muncul yang namanya transgender (perubahan perilaku dari maskulin
menjadi feminine) dan transeksual (perubahan jenis kelamin). Lalu perbedaan antara
transgender dan transeksual itu apa? Jadi yang membedakan keduanya adalah transgender
4
5

belum pasti merupakan transeksual, karena orang yang mengubah sifat dan perilakunya
berbanding terbalik dengan kodratnya belum tentu mengubah jenis kelaminnya.
Misalnya: laki-laki yang tidak tegas dalam bertindak dan berperilaku, mereka terkesan
melambai, berbicara seperti perempuan, dan menyukai hal-hal yang disukai oleh
perempuan pada umumnya. Begitupun sebaliknya dengan yang terjadi pada perempuan
yang memiliki perilaku menyimpang dari kodratnya, mengubah semua penampilan dan
perilakunya seperti laki-laki. Sedangkan transeksual sudah pasti dapat dikatakan
transgender. Karena transeksual merupakan perilaku mengubah dirinya secara total
termasuk jenis kelamin yang dimiliki, karena factor ketidaknyamanan akhirnya
memutuskan untuk berganti jenis kelamin dan mengubah perilakunya secara menyeluruh.
Oleh karena itu berbicara gender berarti bicara tentang sebuah konsepsi yang
menunjuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang
tidak ditentukan oleh perbedaan biologis saja, melainkan juga dipengaruhi oleh
lingkungan sosial, politik dan juga ekonomi. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan
segala sesuatu yang normatif dan biologis dan segala sesuatu yang merupakan konstruksi
sosial budaya.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian gender dan seksualitas
2. Untuk mengetahui perbedaan gender dan seksualitas
3. Untuk mengetahui pengertian kekerasan seksual
4. Untuk mengetahui macam-macam bentuk kekerasan seksual
5. Untuk mengetahui dampak kekerasan seksual
6. Untuk mengetahui salah satu contoh kasus kekerasan seksual yang terjadi pada saat
terjadi bencana di Indonesia
7. Untuk mengetahui cara pencegahan terhadap kekerasaan seksual.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gender dan Seksualitas


a. Pengertian Gender
 Gender pada awalnya diambil dari kata dalam bahasa arab JINSIYYUN yang
kemudian di adopsi dalam bahasa perancis dan inggris menjadi Gender
 Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi,
hak, tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai social, budaya
dan adat istiadat (Badan Pemberdayaan Masyarakat, 2003)
 Gender adalah peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang
ditentukan secara social. Gender berhubungan dengan persepsi dan pemikiran
serta tindakan yang diharapkan sebagai perempuan dan laki-laki yang dibentuk
masyarakat, bukan karena perbedaan biologis (WHO, 1998).

b. Pengertian Seksualitas
 Seksualitas/jenis kelamin adalah karakteristik biologis-anatomis (khususnya
system reproduksi dan hormonal) diikuti dengan karakteristik fisiologis tubuh
yang menentukan seseorang adalah laki-laki atau perempuan (Depkes RI,
2002:2)
 Seksualitas/Jenis Kelamin (seks) adalah perbedaan fisik biologis yang mudah
dilihat melalui cirri fisik primer dan secara sekunder yang ada pada kaum laki-
laki dan perempuan(Badan Pemberdayaan Masyarakat, 2003)
 Seksualitas/Jenis Kelamin adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan
secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu 9handayani, 2002 :4)
 Seks adalah karakteritik genetic/fisiologis atau biologis seseorang yang
menunjukkan apakah dia seorang perempuan atau laki-laki (WHO, 1998)

6
7

2.2 Perbedaan Gender dan Seksualitas


No Karakteristik Gender Seks
1. Sumber pembeda Manusia (masyarakat) Tuhan
2. Visi, Misi Kebiasaan Kesetaraan
Kebudayaan (tingkah laku) Biologis (alat
3. Unsur pembeda
reproduksi)
Kodrat, tertentu
Harkat, martabat dapat
4. Sifat tidak dapat
dipertukarkan
dipertukarkan
Terciptanya norma- Terciptanya nilai-
norma/ketentuan tentang nilai :
“pantas” atau “tidak pantas” kesempurnaan,
laki-laki pantas menjadi kenikmatan,
5. Dampak
pemimpin, perempuan “pantas’ kedamaian dll.
dipimpin dll. Sering merugikan Sehingga
salah satu pihak, kebetulan menguntungkan
adalah perempuan kedua belah pihak.
Sepanjang masa
Dapat berubah, musiman dan dimana saja, tidak
6. Ke-berlaku-an
berbeda anra kelas mengenal
pembedaan kelas.

Menurut Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perbedaan antara Gender dan Jenis


Kelamin
Jenis Kelamin Gender
Dapat berubah, contohnya peran dalam
kegiatan sehari-hari, seperti banyak
Tidak dapat berubah, contohnya alat
perempuan menjadi juru masak jika
kelamin laki-laki dan perempuan
dirumah, tetapi jika di restoran juru
masak lebih banyak laki-laki.
8

Tidak dapat dipertukarkan,


contohnya jakun pada laki-laki dan Dapat dipertukarkan
payudara pada perempuan
Tergantung budaya dan kebiasaan,
contohnya di jawa pada jaman penjajahan
Berlaku sepanjang masa, contohnya
belanda kaum perempuan tidak
status sebagai laki-laki atau
memperoleh hak pendidikan.Setelah Indo
perempuan
merdeka perempuan mempunyai
kebebasan mengikuti pendidikan
Tergantung budaya setempat, contohnya
Berlaku dimana saja, contohnya di pembatasan kesempatan di bidang
rumah, dikantor dan dimanapun pekerjaan terhadap perempuan
berada, seorang laki-laki/perempuan dikarenakan budaya setempat antara lain
tetap laki-laki dan perempuan diutamakan untuk menjadi perawat, guru
TK, pengasuh anak
Merupakan kodrat Tuhan, contohnya
Bukan merupakan budaya setempat,
laki-laki mempunyai cirri-ciri utama
contohnya pengaturan jumlah a nak
yang berbeda dengan cirri-ciri utama
dalam satu keluarga
perempuan yaitu jakun.
Ciptaan Tuhan, contohnya Buatan manusia, contohnya laki-laki dan
perempuan bisa haid, hamil, perempuan berhak menjadi calon ketua
melahirkan dan menyusui sedang RT, RW, dan kepala desa bahkan
laki-laki tidak. presiden.

2.3 Pengertian Kekerasan Seksual


Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut
WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok
orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan
hak.
9

Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect
dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist
melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang
yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan
subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran,
istilah ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh, 1999).
Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse merupakan tindakan
melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan,
melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan
permanen atau kekerasan seksual.
Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak
diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan
psikologis atau fisik (O’Barnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis
kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual
tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin,
2008).

2.4 Macam-macam Bentuk Kekerasan Seksual


Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001- 2012), sedikitnya ada 35
perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada tahun 2012, setidaknya
telah tercatat 4,336 kasus kekerasan seksual, dimana 2,920 kasus diantaranya terjadi di
ranah publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan pencabulan
(1620). Sedangkan pada tahun 2013, kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629
kasus. Ini artinya dalam 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami kekerasan seksual.
Usia korban yang ditemukan antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun.Kekerasan Seksual
menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani dibanding kekerasan terhadap
perempuan lainnya karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat.
Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan, karenanya ia kemudian
dipandang menjadi aib ketika mengalami kekerasan seksual, misalnya perkosaan. Korban
juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Ini membuat
perempuan korban seringkali bungkam.
10

Ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil
pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu:
1. Perkosaan;
Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke
arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan ataubenda-
benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan,
tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan
dari lingkungan yang penuh paksaan.
Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum
Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan di luar pemaksaan
penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum
mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang
di bawah 18 tahun

2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;


Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau
penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan secara
langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain. Ancaman
atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.

3. Pelecehan Seksual;
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ
seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan
bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan
atau sentuhan di bagian :
Pelecehan Seksual tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksualsehingga
mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya,dan
mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
11

4. Eksploitasi Seksual;
Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan
dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap
ditemui adalah menggunakan kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam
prostitusi atau pornografi.
Praktik lainnya adalah tindakan mengimingimingi perkawinan untuk memperoleh
layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarkankan. Situasi ini kerap disebut juga
sebagai kasus “ingkar janji”. Imingiming ini menggunakan cara pikir dalam
masyarakat, yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya.
Perempuan menjadi merasa tak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti
kehendak pelaku, agar ia dinikahi.

5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;


Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau
menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaankekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan,
penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara
langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun
eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam Negara
maupun antar Negara.

6. Prostitusi Paksa;
Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan
untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun
untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari
prostitusi,
misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi
paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan
seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
12

7. Perbudakan Seksual;
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga
berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi
dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga
atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.

8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;


Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena
pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang
tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan
terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri. Pertama, ketika perempuan merasa
tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar dia
menikah, sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang
yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaksa
korban perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat
perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa
untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun,gugatan
cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak suami
maupun otoritas lainnya. Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan
perempuan untuk menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk
dengan mantan suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hokum
Islam). Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai
daerah.

9. Pemaksaan Kehamilan;
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan,
untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini misalnya dialami
oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali
melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk
13

menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur jarak


kehamilannya.
Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam
konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu situasi
pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara
paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk
melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya.

10. Pemaksaan Aborsi;


Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman,
maupun paksaan dari pihak lain.

11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;


Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan
sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi
yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan
persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk, sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan.
Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi biasa terjadi pada
perempuan dengan HIV/AIDS dengan alasan mencegah anak dengan HIV/AIDS.
Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya tuna grahita,
yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri, rentan
perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus kehamilannya.

12. Penyiksaan Seksual;


Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan
dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik
jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu
perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga.
14

Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk mengancam atau memaksanya,


atau orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun. Termasuk bentuk
ini apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan,
atau sepengetahuan pejabat public atau aparat penegak hukum.

13. Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual;


Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa
malu yang luar biasa yang tidakbisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk
hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk
merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.

14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi


perempuan;
Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya,
yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun
seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol
seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat
perempuan adalah salah satu contohnya.

15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama;
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol
moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan perempuan
“nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi
landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksual
mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung
maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan untuk
menginternalisasi simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-
baik’. Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling sering
ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat kewajiban busana,
jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu, larangan berada di
satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau perkawinan, serta aturan
15

tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada
kekerasan seksual.
Aturan yang diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun daerah dan
dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman
dalam bentuk peringatan, denda, penjara maupun hukuman badan lainnya.

Kelima belas bentuk kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada
kemungkinan sejumlah bentuk kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat
keterbatasan informasi mengenainya.

2.5 Dampak Kekerasan Seksual


Menurut Hawari (2013:95) dampak yang terjadi akibat kekerasan seksual yang
terjadi pada anak adalah :
1. Stres Pascatrauma
Pelecehan seksual, penyerangan seksual, kekerasan hingga perkosaan yang
dialami oleh seorang wanita dapat juga terhadap anak sebagai korban atau victim,
merupakan pengalaman traumatik. Kekerasan seksual tersebut lebih merupakan
trauma psikis dari pada trauma fisik, karena dapat menimbulkan gangguan jiwa yang
disebut sebagai stres pascatrauma. Adapun gejala-gejala stres pascatrauma itu adalah
sebagai berikut :
a. Terdapat stresor yang berat dan jelas (kekerasan perkosaan), yang akan
menimbulkan gejala penderitaan yang berarti yang berarti bagi hampir setiap
orang.
b. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh
terdapatnya paling sedikit atau dari hal ingatan berulang dan menonjol tentang
peristiwa itu, mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu, dan timbulnya secara
tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik itu sedang timbul
kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau stimulus/rangsangan
lingkungan.
16

c. Penumpalan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar


(phychic numbing atau anestesia emosional) yang mulai beberapa waktu sesudah
trauma, dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
1. Berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup
berarti.
2. Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain.
3. Afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif
(murung, sedih, putus asa).
d. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum
trauma terjadi, yaitu :
1. Kewaspadaan atau raksi terkejut berlebihan.
2. Gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan).
3. Perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak,
atau merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup.
4. Hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi.
5. Penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang
peristiwa traumatik itu.
6. Peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang
mensimbolisasikan atau menyerupai peristiwa traumatik itu.

2. Gangguan Jiwa Lainnya


a. Stres
Yaitu reaksi tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan atasnya
misalnya, mengalami trauma kejahatan atau kekerasan seksual.
b. Kecemasan
Yaitu gangguan alam perasaan (cemas, takut) sebagai dampak beban kehidupan
atasnya yaitu mengalami kejahatan atau kekerasan seksual.
c. Depresi
Yaitu gangguan alam perasaan (sedih, murung, putus asa, ingin bunuh diri)
sebagai akibat beban kehidupan atasnya yaitu mengalami kejahatan atau
kekerasan seksual.
17

d. Gangguan Jiwa Skizofrenia


Akibat beban kehidupan yang dirasakan terlampau berat dan memalukan yaitu
mengalami kejahatan atau kekerasan seksual, jiwanya tidak kuat mengatasinya
sehingga kepribadiannya retak (splitting personality). Yang bersangkutan
mengalami kepribadian ganda, menunjukkan perilaku, perasaan dan pikiran
yang tidak wajar.

3. Penyakit Kelamin
Penyakit kelamin (veneral diseases) disebut pula dengan istilah penyakit menular
seksual (sexually transmitted diseases), artinya jenis penyakit ini ditularkan melalui
hubungan seksual di luar nikah (perzinaan) misalnya, pelacuran, seks bebas,
perselingkuhan, homoseksual, perkosaan pada anak dan lain sejenisnya.
Jenis penyakit ini tidak saja merusak alat kelamin dan organ reproduksi tetapi
juga menimbulkan komplikasi di bidang medis, misalnya kemandulan, kecacatan,
gangguan kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker bahkan juga kematian. Adapun
penyakit kelamin yang sering dijumpai antara lain :
a. Kencing nanah (gonorrhoeae)
Penyakit ini disebabkan karena kuman yang berbentuk biji kopi. Masa tunas
(inkubasi) sangat singkat, pada pria umumnya berkisar 2-5 hari, kadang-kadang
lebih lama. Yang bersangkutan akan mengeluarkan nanah dari alat kelaminya,
terasa pedih sekali. Pada wanita seringkali tanpa gejala karena tidak menginfeksi
saluran seni melainkan pada saluran liang senggama.
b. Chlamydia Trachomatis
Penyakit ini disebabkan karena kuman obligat intraseluler. Pada pria inkubasi
infeksi ini biasanya terjadi 1-5 minggu sesudah hubungan seksual dengan
pasangan yang terinfeksi. Yang bersangkutan mengeluarkan cairan berupalendir
yang jernih sampai keruh dari alat kelaminya.
c. Herpes Genitalis
Penyakit ini disebabkan oleh virus herpes simplex yang menginfeksi alat
kelamin dengan gejala khas berupa gelembung kecil-kecil (vesikel) yang
18

berkelompok dengan dasar kemerah-merahan (eritema) dan seringkali kambuh


(rekurens).
d. HIV / AIDS
Penyakit ini disebabkan oleh virus Human Immunodeficiency virus (HIV)
yang menyebabkan penyakit yang disebut acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS), berupa kumpulan gejala-gejala penyakit infeksi lain atau kanker tertentu
kaibat menurunnya sistem kekebalan tubuh. Selain itu dampak yang dialami anak-
anak yang menjadi korban tindak kekerasan biasanya : (1) kurangnya
motivasi/harga diri, (2) problem kesehatan mental, misalnya kecemasan
berlebihan, problem dalam hal makan dan susah tidur, (3) problema kesehatan
seksual, misalnya kerusakan organ reproduksinya, kehamilan yang tidak
diinginkan, ketularan penyakit menular seksual, (5) mengembangkan perilaku
agresif (suka menyerang) atau jadi pemarah, atau bahkan sebaliknya menjadi
pendiam dan suka menarik diri dari pergaulan, (6) mimpi buruk dan serba
ketakutan, kehilangan nafsu makan, tumbuh dan belajar lebih lamban, dan (7)
tidak jarang tindak kekerasan terhadap anak juga berujung kepada kematian
(Suyanto, 2016:102). Robert D. Levitan dkk (dalam Suyanto, 2016:104) dari hasil
studinya memberikan sugesti adanya hubungan antara pengalaman yang traumatis
pada usia dini dan timbulnya kelompok gejala depresi mania pada masa dewasa.
Pada anak yang mengalami sexual abuse bisa mengalami gejala kejiwaan
tergantung pada kepekaan anak, cacat yang ditinggalkan dan macam
daripenganiayaan, kronisitas penganiayaan, usia anak, dan hubungan secara
menyeluruh antara anak dan pelaku. Anak yang menjadi korban sexual abuse
sering kali menunjukkan keluhan-keluhan somatis tanpa adanya dasar penyebab
organik, kesulitan di sekolah atau kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan
teman, gelisah, kehilangan kepercayaan diri, tumbuh rasa tidak percaya pada
orang dewasa, fobia, cemas, perasaan luka yang sifatnya permanen. Kurang dapat
mengontrol impuls-impulsnya dan sering menyakiti diri sendiri.
19

2.6 Contoh Kasus Kekerasan Seksual Tsunami Aceh 2004


Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 13 ribu, baik
pulau besar hingga pulaupulau kecil. Dengan lautan yang tiga kali lebih luas dari luas
daratan (± 1,9 juta km2), Selain wilayah yang luas, Indonesia juga memiliki jumlah
penduduk terbesar keempat di dunia. Menurut data BPS, jumlah penduduk di Indonesia
lebih dari 237 juta penduduk (Sensus penduduk Tahun 2010). Berdasarkan komposisi
jenis kelamin, penduduk Indonesia terdiri dari 119,5 juta penduduk laki laki dan 118
juta penduduk perempuan.
Kondisi geografis dan sumber daya manusia tersebut termasuk modal dalam
mempertahankan Indonesia dari segala tantangan, hambatan dan ancaman yang datang
dari dalam maupun dari luar yang dapat membahayakan integritas, identitas serta
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Di balik keindahan dan kesuburan alam
Indonesia, bahaya bencana alam mengancam dan dapat terjadi kapan saja. Kajian
penduduk terpapar bahaya bencana alam yang dilakukan oleh BNPB, BPS, UNFPA
tahun 2015 menunjukkan bahwa lebih dari 97% penduduk Indonesia tinggal di wilayah
rawan bencana.
Salah satu bencana besar yang sangat memilukan dan menjadi perhatian dunia
adalah Gempa bumi dan Tsunami Aceh. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Minggu
pagi, 26 Desember 2004 yang merupakan akibat dari interaksi lempeng Indo-Astralia
dan Eurasia Gempabumi dasar laut yang terjadi memicu tsunami.
Tsunami dan gempa bumi yang melanda aceh tahun 2004 tersebut menyebabkan lebih
dari 180.000 jiwa tewas dan hilang, kerugian lebih dari Rp 45 trilyun, Pemkab/Pemkot
dan Pemprov Aceh dan Sumut lumpuh sehingga bencana tersebut digolongkan sebagai
bencana nasional . Negara membutuhkan bantuan Internasional dalam penanganan
bencana tersebut agar proses tanggap darurat maupun saat proses reconstruksi dapat
segera ditangani. Hal ini tentu saja mempengaruhi ketahanan nasional Indonesia dalam
hal menghadapi bencana nirmilliter.
Penanganan bencana tsunami yang kurang cepat dapat menimbulkan berbagai
wabah penyakit, perekonomian menjadi terhenti, kehidupan sosial budaya masyarakat
terganggu dan yang paling mengkhawatirkan adalah dampak psikologis. Dampak
psikologis dapat dilihat dari rasa stres, khawatir, cemas, sering mengigau, melamun
20

bahkan bisa sampai pada tahap gila. biasanya dampak psikologis ini akan membutuhkan
waktu yang lama untuk penyembuhan dan selalu muncul apabila korban berada dalam
kondisi yang hampir sama dengan ketika terjadi tsunami.Walaupun telah ditangani oleh
pemerintah maupun bantuan Internasional penduduk yang terkena dampak tsunami di
Aceh pada tahun 2004, tinggal di daerah terbuka serta di dalam gedung dan lama
pengungsian mencapai 2tahun.Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh oxfarm pada empat di kabupaten Aceh
Besar dan Aceh Utara menunjukan bahwa dalam bencana gempa dan tsunami 2004,
proporsi korban meninggal lebih tinggi perempuan daripada laki-laki.
Tabel 1. Korban selamat dalam bencana gempa bumi dan
tsunami Aceh 2004 berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber : Oxfarm, 2015

Berdasarkan kajian yang dilakukan Oxfaram dan United Nations Office for Disaster
Risk Reduction tampak bahwa ternyata peran gender sangat mempengaruhi kondisi
bencana tersebut. Hal-hal tersebut antara lain:
1. Pembagian kerja domestik (dalam rumah) dan publik (di luar rumah) menyebabkan
akses informasi yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki yang
umumnya nelayan dan bekerja diluar rumah tentunya akan lebih mudah
mendapatkan informasi sistem deteksi dini tsunami dari gejala alam dan peringatan
dini ketimbang perempuan yang menghabiskan waktu didalam rumah.
2. Mobilitas perempuan dan laki-laki yang dipengaruhi oleh faktor budaya. Dalam
beberapa masyarakat, keputusan untuk meninggalkan rumah terletak pada pihak
21

suami, sehingga isteri cenderung menunggu suami dalam memutuskan melakukan


evakuasi. Faktor busana perempuan yang berupa terusan (sebagai bentuk orientasi
feminin) juga ditemukan sebagai salah satu alasan mengurangi kemampuan berlari
perempuan ditambah rasa malu ketika harus berlari mengangkat baju.
3. Adanya anggapan dan kebiasaan perempuan sebagai caregiver atau
penanggungjawab terhadap pengasuhan anak dan kaum manula menyebabkan
banyak perempuan yang membawa serta anak dan para lansia ketika evakuasi. Hal
ini memperlambat mobilitas mereka dalam melakukan evakuasi.
4. Secara kemampuan survival, banyak perempuan tidak memiliki kemampuan
berenang dan memanjat pohon sebaik laki-laki sehingga membuat posisinya
semakin sulit dalam melakukan penyelamatan diri. Ekspetasi perempuan untuk
menjadi feminin mengakibatkan adanya hal-hal yang dianggap pantas dan tidak
pantas dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa dampak bencana terhadap perempuan dan


laki-laki ternyata berbeda oleh karenanya dalam menyusun pendekatan kesiapsiagaan
bencana dan penanggulangannya pun tidak bisa menutup mata terhadap peran gender.
Apabila intervensi yang dilakukan buta terhadap isu gender, dapat menimbulkan bahkan
memperlebar kesenjangan gender yang sudah ada antara perempuan dan laki-laki.
Kekerasan Berbasis Gender pada fase tanggap darurat pun terjadi. Laporan dari
Komnas Perempuan tahun 2006 menyebutkan bahwa terdapat 4 kasus perkosaan selama
pengungsian pasca tsunami di Aceh. Serta menurut data UNFPA Indonesia, 2006
terdapat 97 kasus Kekerasan Berbasis Gender yang dilaporkan oleh Community Support
Center (CSC) selama respon tsunami di Aceh. Laporan UNFPA mengenai Kekerasan
Berbasis Gender pada fase tanggap darurat disebabkan oleh beberapa faktor yang
berkontribusi terhadap meningkatnya resiko tersebut yaitu
1. Selama proses evakuasi, keluarga terpisah dari komunitasnya. Kelompok rentan
seperti perempuan, gadis remaja dan anak-anak seringkali terpisah dari keluarganya.
Sistem Perlindungan sosial masyarakat juga terganggu sehingga mereka tidak bisa
melindungi satu sama lain.
22

2. Pengungsi harus tinggal di kamp yang sangat padat dengan sistem keamanan yang
terbatas, fasilitas mandi dan toilet yang tidak memadai dan kurangnya privasi.
Lokasi, jenis dan lama waktu pengungsian juga berkontribusi terhadap meningkatnya
resiko Kekerasan Berbasis Gender.
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan akses terhadap fasilitas untuk mandi,
mencuci, bahan untuk menjaga kebersihan, tidak adanya listrik di sebagian besar
daerah yang terkena dampak bencana, terganggunya keamanan pangan, dan
hilangnya mata pencaharian sekaligus kerentanan ekonomi. Terganggunya mata
pencaharian khususnya bagi laki-laki akan memicu tindakan kekerasan oleh laki-laki.
4. Bantuan kemanusian yang tidak sensitif gender yang tidak mempertimbangkan
kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Hal ini karena kurangnya
pemahaman dari pekerja kemanusiaan tentang pentingnya pendekatan gender di
dalam memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak bencana. Pada
umumnya keterlibatan dan partisipasi perempuan pada perencanaan dan pemberian
bantuan kemanusiaan adalah sangat terbatas.
Dalam kerangka nasional, UU NO 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana telah mengakomodir hal yang berkaitan dengan gender dalam Pasal 3, Bab 2
melalui prinsip nondiskrimintif dan keselarasan dan keserasian dalam penanggulangan
bencana. Prinsip-prinsip tersebut menekankan bahwa segala macam program didalam
manajemen bencana wajib tidak membeda-bedakan individu berdasarkan latar belakang
budaya, gender, status, agama dan ras.
Hal tersebut berarti dalam penanggulangan dan kesiapsiagaan bencana pun
perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memiliki akses informasi dan
berperan serta. Namun karena peran gender yang dimilikinya, perlu intervensi metode
yang berbeda yang lebih sensitif terhadap peran gender masing-masing, meskipun
hakekat tujuan akhirnya adalah kesamaan dan keadilan dalam berpartisipasi dalam upaya
kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana.
Penduduk yang memilih suatu wilayah untuk bertempat tinggal dan wilayah itu
bersifat ‘given’ harus memiliki kesadaran terhadap lingkungan sekitar. Mereka dapat
menilai mengenai wilayah dan bagaimana melakukan adaptasi dengan setiap potensi
ancaman bahaya. Risiko tidak hanya melihat faktor keterpaparan (exposure), tetapi juga
23

bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity). Masyarakat yang


terpapar tentu secara langsung memiliki risiko. namun demikian, mereka yang berisiko
harus memiliki daya lenting dan adaptasi meng hadapi ancaman bahaya. peningkatan
kapasitas menjadi sangat strategis dalam menyikapi kenyataan keterpaparan.
Apabila upaya-upaya kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana telah benar-
benar mempertimbangkan isu gender didalamnya, niscaya akan terwujud partisipasi yang
murni antara perempuan dan laki-laki sehingga seluruh lapisan masyarakat tua-muda,
kaya-miskin dapat terlibat dalam upaya-upaya kesiapsiagaan untuk meminimalisir resiko
bencana hingga penanggulangan bencana yang responsif terhadap peran perempuan dan
laki-laki.

2.7 Pencegahan Terhadap Kekerasaan seksual


Dalam setiap kasus darurat, banyak bentuk Kekerasan Berbasis Gender yang
terjadi. Pada tahap awal – ketika kehidupan masyarakat terganggu dengan terjadiny
perpindahan penduduk, dan sistem perlindungan tidak sepenuhnya berjalan – sebagian
besar Kekerasan Berbasis Gender yang dilaporkan adalah kekerasan seksual yang
melibatkan korban perempuan dan pelaku laki-laki. Kekerasan seksual adalah bentuk
Kekerasan Berbasis Gender yang paling sering terjadi dan paling berbahaya yang terjadi
dalam masa darurat yang parah. Kemudian – dalam tahap yang lebih stabil dan selama
masa pemulihan dan pembangunan – bentuk lain Kekerasan Berbasis Gender muncul
dan/atau semakin sering dilaporkan. Bentuk-bentuk kekerasan ini termasuk, antara lain,
kebiasaankebiasaan tradisi yang berbahaya (mutilasi alat kelamin perempuan,
pernikahan usia muda, pembunuhan untuk balas dendam, dll.) dan kekerasan dalam
rumah tangga. Walau pencegahan dalam tahap awal keadaan darurat seharusnya
berfokus pada kekerasan seksual, setiap situasi adalah unik dan bentuk lain Kekerasan
Berbasis Gender sebaiknya tidak diabaikan. Sebagai contoh, tingkat keparahan dan
jumlah kasus rumah tangga seringkali meningkat sesudah bencana alam (lihat contoh
statistik di bawah) dan karena itu membutuhkan campur tangan dari aktor kemanusiaan.
Analisis situasi yang terkoordinasi (dijelaskan dalam Lembar Tindakan 2.1, Analisis
mengenai tindakan dalam situasi cepat terkoordinasi) dapat memberikan informasi
mengenai bentuk Kekerasan Berbasis Gender yang lain yang mungkin terjadi, termasuk
24

frekuensi, risiko, dan seberapa mematikan. Bentuk-bentuk lain Kekerasan Berbasis


Gender tersebut tidaklah secara eksplisit dijelaskan dalam panduan ini tetapi dimasukkan
ke dalam bahan-bahan sumber dan ringkasan rekomendasi bagi kesiapan dan tahap-tahap
pencegahan dan tindakan yang menyeluruh.
Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dalam Keadaan Darurat Semasa krisis,
seperti saat konflik bersenjata atau bencana alam, institusi-institusi dan sistem-
sistemuntuk melindungi masyarakat secara fisik dan social dapat menjadi lemah atau
hancur. Polisi, hukum, kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial seringkali tidak
berjalan dengan baik, banyak orang yang meninggalkan rumah, dan mereka yang
bertahan tinggal bisa saja tidak lagi memiliki kemampuan atau peralatan untuk bekerja.
Keluarga dan masyarakat tercerai-berai, yang berakibat semakin hancurnya sistem
dukungan masyarakat dan mekanisme perlindungan.
Untuk menyelamatkan jiwa dan meningkatkan perlindungan, ada tindakan-
tindakan minimum yang harus segera dilaksanakan secara terkoordinasi untuk mencegah
dan menangani Kekerasan Berbasis Gender dari tahap awal keadaan darurat. Para korban
Kekerasan Berbasis Gender membutuhkan bantuan untuk menghadapi konsekuensi-
konsekuensi yang mengancam keselamatan mereka. Mereka membutuhkan perawatan
kesehatan, dukungan psikologi dan sosial, keamanan dan perlindungan hukum. Pada saat
yang sama, tindakan-tindakan pencegahan harus dilakukan untuk mengenali penyebab
dan faktor-faktor pendukung terjadinya Kekerasan Berbasis Gender dalam keadaan
tertentu. Mereka yang menyediakan pelayanan tersebut haruslah memiliki pengetahuan
luas, trampil, dan bersungguh-sungguh menolong korban, dan mengambil tindakan-
tindakan pencegahan yang efektif. Pencegahan dan penanganan atas Kekerasan Berbasis
Gender mensyaratkan tindakan terkoordinasi dari para pekerja di banyak sektor dan
badan-badan.
Anak-anak dalam keadaan darurat bisa berada di bawah risiko kekerasan
seksual karena tingkat ketergantungan mereka yang tinggi, dimana kemampuan untuk
melindungi diri sendiri terbatas sementara tidak dalam posisi untuk mengambil
keputusan untuk dirinya sendiri. Karena mereka memiliki sedikit pengalaman hidup,
anak-anak juga lebih mudah dieksploitasi, ditipu dan dipaksa dibandingkan dengan
orang dewasa. Tergantung dari tingkat perkembangan mereka, anak-anak tidak mengerti
25

secara keseluruhan sifat dasar seksual dari tindakan tertentu, dan mereka tidak mampu
memberikan persetujuan sendiri.
Perempuan remaja dan wanita muda bisa menjadi target kekerasan seksual
selama konflik bersenjata atau kesulitan ekonomi.
Kondisi bencana dan pengungsian dapat menyebabkan meningkatnya risiko
kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Kasus kekerasan seksual terjadi karena
kondisi di lokasi bencana yang tidak memadai, seperti: tenda dan toilet yang tidak
terpisah antara laki-laki dan perempuan, lokasi sumber air bersih yang jauh dari
pengungsian, penerangan yang kurang memadai, tidak adanya sistim ronda maupun
keamanan di pengungsian dan lain-lain.
Koordinator kesehatan reproduksi harus membahas masalah kekerasan seksual
didalam rapat koordinasi kesehatan bersama dengan penanggung jawab komponen
GBV dan tim kesehatan reproduksi lainnya. Pada situasi bencana, pelayanan pencegahan
dan penanganan kekerasan seksual adalah sebagai berikut:
Langkah langkah:
a. Melakukan koordinasi dengan BNPB/BPBD dan Dinas Sosial untuk menempatkan
kelompok rentan di pengungsian dan memastikan satu keluarga berada dalam tenda
yang sama. Perempuan yang menjadi kepala keluarga dan anak yang terpisah dari
keluarga dikumpulkan di dalam satu tenda
b. Memastikan terdapat pelayanan kesehatan reproduksi pada tenda pengungsian
c. Menempatkan MCK laki-laki dan perempuan secara terpisah di tempat yang aman
dengan penerangan yang cukup. Pastikan bahwa pintu MCK dapat di kunci dari
dalam
d. Melakukan koordinasi dengan penanggung jawab keamanan untuk mencegah
terjadinya kekerasan seksual
e. Melibatkan lembaga-lembaga/organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan
perempuan dan perempuan di pengungsian dalam pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual
f. Menginformasikan adanya pelayanan bagi penyintas perkosaan dengan nomor
telepon yang bisa dihubungi 24 jam. Informasi dapat diberikan melalui leaflet,
selebaran, radio, dll
26

g. Memastikan adanya petugas kompeten untuk penanganan kasus kekerasan seksual


h. Memastikan tersedianya pelayanan medis dan psikososial ada di organisasi/lembaga
yang terlibat dalam respon bencana serta memastikan adanya mekanisme rujukan,
perlindungan dan hukum yang terkoordinasi untuk penyintas
i. Menyediakan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan seksual bagi pasangan suami
istri yang sah, sesuai dengan budaya setempat atau kearifan lokal
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kekerasan seksual adalah setiap tindakan seksual yang dilakukan tanpa
persetujuan dari salah satu pihak termasuk pemerkosaan dan eksploitasi seksual.
Kekerasaan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis
kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesensaraan atau penderitaan baik secara
fisik, seksual, maupun psikologis termasuk ancaman atau tindakan tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang – wenang baik yang terjadi diranah
publik atau dalam kehidupan pribadi.
Pedoman prinsip berikut ini harus selalu dihormati sepanjang waktu oleh semua
pekerja kemanusiaan yang merespon kebutuhan korban :
 Keselamatan
 Kerahasiaan
 Menghormati
 Non-diskriminasi

B. Saran
Sebagai calon bidan yang profesional mahasiswa wajib mempelajari dan
memahami dari kesehatan reproduksi salah satunya tentang masalah kesehatan
reproduksi pada saat situasi darurat bencana, karena didalam materi ini kita dapat
mengetahui dan mempelajari bagaimana cara bekerja seorang bidan memberikan
penyuluhan tentang maslah kesehatan reproduksi kepada masyarakat setempat, agar
menjadi calon bidan yang baik dan professional dan kita juga dapat mengerti tentang
masalah kesehatan reproduksi pada saat situasi darurat bencana.

27
Tanya Jawab :

1. Bagaimana cara mengubah permasalahan gender terhadap perempuan dan cara


menanggulanginya ?(Navantri Muliyani)
Dengan cara bisa bekerja sama dengan lintas sektor. Peran bidan dalam kesetaraan gender
yaitu memberikan konseling dan membuat kerja sama dengan pemerintah
setempat.Contohnya membuat perkumpulan siap siaga dalam mencegah terjadinya bencana.

2. Jelaskan contoh dari 15 jenis bentuk kekerasan seksual ? (Kiky Widya Sari)
1. Perkosaan;
Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah
vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan ataubenda-benda
lainnya.
2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau
penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan secara
langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain.
3. Pelecehan Seksual;
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ
seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan
bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan
atau sentuhan di bagian tubuh.
4. Eksploitasi Seksual;
Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan
dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya.
5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau
menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaankekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan,

28
29

penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung
maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi
seksual lainnya.
6. Prostitusi Paksa;
Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk
menjadi pekerja seks. Misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman
kekerasan.
7. Perbudakan Seksual;
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak
untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan
atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi dimana perempuan
dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa
lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
Pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan
yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan
terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri. Pertama, ketika perempuan merasa tidak
memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar dia menikah,
sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak
dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaksa korban
perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat perkosaan
yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus
berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun,gugatan cerainya
ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas
lainnya. Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk
menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk dengan mantan
suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hokum Islam). Praktik ini
dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai daerah.
9. Pemaksaan Kehamilan;
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan,
untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini misalnya dialami
30

oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan
kehamilannya.
10. Pemaksaan Aborsi;
Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun
paksaan dari pihak lain.
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan
sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi
yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan.
Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi biasa terjadi pada
perempuan dengan HIV/AIDS dengan alasan mencegah anak dengan HIV/AIDS.
12. Penyiksaan Seksual;
Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan
dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani,
rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan
darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu perbuatan yang
telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga.
13. Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual;
Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa
malu yang luar biasa yang tidakbisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk
hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk
merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya,
yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun
seksual pada perempuan. Sunat perempuan adalah salah satu contohnya.
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama;
Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan
secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan
untuk menginternalisasi simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan
31

baik-baik’. Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling
sering ditemui.

3. Bagaimana cara kita sebagai bidan dalam menghadapi kekerasan seksual pasca
trauma? ( Mauwala Hutika)
Kita sebagai bidan bisa memberikan asuhan dan pengawasan. Asuhan disini dimaksud
yaitu konseling untuk korban pemerkosaan agar bidan juga bisa membantu dengan
mengupayakan untuk meminimalisir perasaan takut dan cemas yang dihadapi korban.

4. Mengapa dalam pencegahan terjadfinya kekerasan seksual lebih memilih memisahkan


antara tenda laki-laki dan perempuan? (Silvia Anggraini)
Karena untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual akan kemungkinan kecil yang
terjadi di dalam tenda tersebut dan didalam tenda tersebut perempuan semua dan bisa saling
jaga diri dan privasi perempuan terjaga juga. Dan di dalam tenda perempan, tidak bisa
sembarang pria bisa masuk ke dalam tenda tersebut.

5. Jelaskan maksud dari cerai gantung, dan berikan contohnya?(Diana Pratiwi)


Cerai gantung adalah ketika perempuan dipaksa untuk terus berada dalam ikatan
perkawinan padahal ia ingin bercerai. Contohnya gugatan seorang istri ditolak atau tidak
diproses dengan berbagai alasan, baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya.

6. Berikan contoh selain konseling dalam menghadapi kekerasan seksual pasca


trauma?dan berikan jenis lembaga yang mengayomi perempuan dan anak terhadap
kekerasan seksual? (Tika Mayasari)
Selain konseling, bidan bisa juga memberikan upaya rehabilitasi/pemulihan kepada
korban dengan cara berkoordinasi dengan LSSPA untuk membantu korban menemukan
teman bicara. Jika korban tidak mau berbicara dengan keluarganya, maka ia bisa
menemukan teman bicaranya di forum LSSPA yang akan membawa kenyama dan
terlindungi dari si pihak korban. Selanjutnya lembaga tersebut berkoordinasi dengan pihak
perwajib untuk melanjutkan pemberian hukuman kepada pelaku kekerasan seksual agar
pelaku tidak akan menambah korban kekerasan seksual lagi.
32

Lembaga-lembaga yang mengayomi perempuan dan anak terhadap kekerasan seksual:


1. LSSPA (Lembaga Studi Pengembangan Perempuan & Anak)
2. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
3. Tuha Peut di Aceh
Kesimpulan dari tanya jawab yaitu :

Peran bidan dalam kesetaraan gender yaitu memberikan konseling dan membuat
kerja sama dengan pemerintah setempat.Contohnya membuat perkumpulan siap siaga
dalam mencegah terjadinya bencana. Dari ke15 jenis kekerasan seksual didapat bahwa
tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesensaraan atau penderitaan baik secara fisik, seksual, maupun psikologis termasuk
ancaman atau tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang – wenang baik yang terjadi diranah publik atau dalam kehidupan pribadi.
Didalam mencegah kekerasan seksual, sebaiknya dilakukan pengarahan tentang
pemisahan posko antara pria dan wanita baik itu tenda maupun wc, agar memperaman
kondisi wanita dan anak dari si pelaku yang biasanya dari kaum laki-laki. Dalam
menghadapi kekerasan seksual pasca trauma, asuhan yang bidan bisa lakukan terhadap
korban yaitu memberikan konseling dan upaya rehabilitasi/pemulihan dengan cara
mengajak si korban berbicara, agar dia bisa sedikit terbuka dan mau membagi
masalahnya kepada orang lain dan konseling kepada keluarganya agar untuk
memberikan support/dukungan kepada korban agar korban bisa menghadap
kehidupannya tanpa rasa beban / ingatan yang buruk tentang peristiwa kelam yang
dialaminya.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ramadhani, Nurul. 2009. Gender dalam Bidang Kesehatan. Bandung : Alfa Beta

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/22787/Chapter%20II.pdf?sequenc e=4
Diakses pada tanggal 26 September 2018 pukul 12.30 WIB

https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/Kekerasan%20S
eksual/15%20BTK%20KEKERASAN%20SEKSUAL.pdf Diakses pada tanggal 26
September 2018 pukul 12.40 WIB

http://www.pustakauinib.ac.id/repository/files/original/598969a09a3ad96c03a9eef9791119d6.pd
f Diakses pada tanggal 26 September 2018 pukul 12.55 WIB

https://fisnaeyes.wordpress.com/2016/08/03/perempuan-bencana-belajar-dari-tsunami aceh-
2004perempuan-bencana-belajar-dari-tsunami-aceh-2004/ Diakses pada tanggal 26
September 2018 pukul 13.00 WIB

http://www.refworld.org/cgibin/texis/vtx/rwmain/opendocpdf.pdf?reldoc=y&docid=478f7ccb2
Diakses pada tanggal 26 September 2018 pukul 13.20 WIB

http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/PEDOMAN%20KESPRO%20PPAM.pdf Diakses
pada tanggal 26 September 2018 pukul 14.00 WIB

34
35

Anda mungkin juga menyukai