BLEFARITIS MARGINALIS
Disusun Oleh :
Pembimbing :
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat berjudul
“Blefaritis Marginalis” dengan tepat waktu. Referat ini disusun guna memenuhi
tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata di RSU UKI.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………….................... 2
DAFTAR ISI……..…………………………………………................. 3
BAB I PENDAHULUAN………………………..................…………. 5
2.2. Blefaritis
2.2.1 Definisi.......................................................................... 7
2.2.2 Klasifikasi...................................................................... 8
2.2.3 Epidemiologi................................................................. 10
2.2.5 Patofisiologi.................................................................. 13
2.2.9 Tatalaksana.............................................................. 21
2.2.10 Komplikasi.................................................................. 23
2.2.11 Prognosis..................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA………………………………………................. 28
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Anatomi Palpebra
5
maupun akibat adanya obyek yang bergerak ke arah mata. Ia juga berperan
pada saat tidur, karena saat tidur kontraksi m. orbikularis okuli berkontraksi
sehingga kelopak mata menutup dan mencegah kornea mengalami
kekeringan. Saat terjaga juga terjadi kedipan spontan untuk menjaga kornea
tetap licin dan meratakan air mata. Perlu diketahui bahwa pada saat kelopak
menutup secara volunter, masih terdapat cahaya yang masuk mata sebesar
kira-kira 1%.5
2.2.Blefaritis
2.2.1. Definisi
7
Blefaritis adalah suatu peradangan subakut atau menahun
tepi kelopak mata. Blefaritis kronis (blefaritis marginal kronis)
adalah penyebab yang sangat umum dari ketidaknyamanan okular
dan iritasi. Korelasi yang buruk antara gejala dan tanda-tanda,
etiologi pasti, dan mekanisme proses penyakit menjadikan
tatalaksana menjadi sulit.1
2.2.2. Klasifikasi
Secara anatomis, blefaritis dapat dibagi menjadi blefaritis
anterior dan posterior. Blefaritis anterior adalah peradangan pada
bulu mata dan folikel, sedangkan blefaritis posterior melibatkan
kelenjar Meibom. Blefaritis anterior biasanya menular dan dapat
disebabkan oleh bakteri (Staphylococcal), virus (Moluskum
kontagiosum), dan parasit (Phthiriasis) atau seboroik. Blefaritis
posterior umumnya disebabkan karena metabolik.7
Blefaritis dapat dibagi menjadi anterior dan posterior,
meskipun ada tumpang tindih dan kedua jenis sering terjadi
bersamaan (mixed blepharitis). Blefaritis anterior mengenai daerah
sekitarnya dasar bulu mata dan mungkin sebuah bentuk dari
blefaritis stafilokokus atau seboroik. Sebuah faktor etiologi pada
blefaritis staphylococcal mungkin merupakan respon diperantarai
sel abnormal terhadap komponen dinding sel S. aureus, yang
mungkin juga bertanggung jawab untuk mata merah dan infiltrat
kornea perifer terlihat pada beberapa pasien; itu lebih umum dan
lebih ditandai pada pasien dengan dermatitis atopik. Blefaritis
seboroik sangat terkait dengan dermatitis seboroik umum yang khas
melibatkan kulit kepala, lipatan nasolabial, kulit belakang telinga
dan tulang dada.1
8
Terdapat 2 bentuk blefaritis yaitu blefaritis seboroik
(blefaritis skuamosa) dan blefaritis ulseratif (blefaritis stafilokokal).
Blefaritis seboroik merupakan peradangan kelenjar kulit didaerah
bulu mata, sering pada orang yang kulitnya berminyak,
penyebabnya biasanya kelainan metabolik atau jamur. Ada
hubungannya dengan penyakit kulit karena jamur, contohnya
ketombe pada kepala. Blefaritis seboroik dapat merupakan bagian
dermatitis seboroik. Secara klinis ditemukan sisik halus, putih,
penebalan kelopak mata disertai madarosis (hilangnya bulu mata),
dibawah sisik kulit hiperemi, tidak berulserasi. Berbeda dengan
blefaritis ulserativa yang diduga penyebab utamanya adalah
stafilokokus. Secara klinis terdapat keropeng kekuningan merekat
bulu mata menjadi satu. Bila keropeng dibuang akan terjadi ulkus
kecil mudah berdarah. Ulkus ini kalau sembuh dapat menyebabkan
sikatriks. Bila tidak diobati dengan baik ulkus bisa meluas merusak
akar rambut sehingga bulu mata rontok. Ia juga bisa menyebabkan
konjungtivitis menahun. Selain itu dapat menyebabkan trikiasis
karena terbentuk sikatriks pada palpebra. 1
Blefaritis posterior disebabkan oleh disfungsi kelenjar
Meibom dan perubahan sekresi kelenjar Meibom. Lipase bakteri
dapat mengakibatkan pembentukan asam lemak bebas. Hal ini
meningkatkan titik leleh Meibom, mencegah ekspresi dari kelenjar,
yang berkontribusi terhadap iritasi permukaan mata dan
memungkinkan pertumbuhan S. aureus. Kehilangan fosfolipid film
air mata yang bertindak sebagai surfaktan mengakibatkan
peningkatan penguapan air mata dan osmolaritas, dan film air mata
tidak stabil. Blefaritis posterior umumnya dianggap sebagai kondisi
peradangan persisten dan kronis dari blefaritis anterior.1
Blefaritis marginalis adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan koeksistensi blefaritis anterior dan posterior.
Karena sering ada tumpang tindih yang signifikan antara blefaritis
9
anterior dan posterior, banyak etiologi blefaritis yang tidak spesifik
untuk satu jenis blefaritis. Tungau Demodex adalah parasit
intrakutan yang menghambat folikel rambut dan kelenjar sebasea.
Infestasi Demodex telah dikaitkan dengan kedua blefaritis baik
anterior maupun posterior. Phthirus pubis adalah infeksi parasit lain
pada kelopak mata yang dapat menyebabkan blefaritis (walaupun
jarang terjadi).2
2.2.3. Epidemiologi
Secara khusus, sangatlah sedikit data prevalensi dan
insidensi yang tersedia dalam literatur mengenai blefaritis.
Walaupun dalam praktik klinis, blefaritis adalah salah satu
gangguan okular paling sering ditemui. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Hom dan rekan kerja berupa ekspresi kelenjar
Meibom pada 398 pasien yang dipilih secara acak tampak normal
untuk pemeriksaan visus rutin. Hasilnya terdapat 155 pasien dinilai
memiliki disfungsi kelenjar Meibom. Dalam penelitian ini,
prevalensi meningkat seiring dengan usia tetapi tidak berkorelasi
dengan faktor lain.3
Pada tahun 2003, sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Venturino dan koleganya mengumpulkan dan menganalisis data dari
1.148 pasien yang melakukan pemeriksaan mata karena alami
ketidaknyamanan atau iritasi mata. Mereka menemukan bahwa
blefaritis posterior (24%) adalah kondisi yang paling sering
terdiagnosis diantara pasien yang diteliti, diikuti dengan penyakit
mata kering (21%), dan blefaritis anterior (12%). Mereka lebih
lanjut mencatat bahwa secara keseluruhan penatalaksanaan yang
digunakan adalah tidak spesifik untuk diagnosis dan memberikan
hasil yang buruk.3
10
Walaupun blefaritis adalah salah satu gangguan okuler yang
paling banyak ditemukan, data epidemiologi berupa insidensi dan
prevalensi masih kurang. Salah satu studi pusat tunggal pada 90
pasien dengan blefaritis kronik tercatat rata-rata usia pasien adalah
50 tahun. Pasien dengan blefaritis staphylococcal ditemukan pada
relatif usia muda (42 tahun) dan paling sering ditemukan pada
wanita (80%). Sebuah penelitian U.S pada orang dewasa (n= 5000)
terungkap bahwa gejala khas blefaritis cukup sering ditemukan,
lebih sering gejala ditemukan pada usia individu lebih muda
dibanding dengan usia individu yang lebih tua. Prevalensi diagnosis
klinis disfungsi kelenjar Meibomian sangatlah bervariasi
dipublikasikan di literatur dunia, paling sering ditemukan diantara
populasi Asia dibanding populasi kaukasian.4
11
blepharitis kronis. Masih kontroversial dan beberapa penulis
percaya D. folliculorum tidak berbahaya.7
Berdasarkan penelitian Thygeson (1946) didapatkan hal-hal
yang menjadi penyebab dan factor terjadinya blefaritis adalah 9
(1) bakteri, termasuk staphylococci, streptococci dan diplobacilli;
(2) alergi terhadap berbagai zat;
(3) jamur;
(4) kesalahan pembiasan;
(5) seborrhea;
(6) parasit hewan;
(7) kekurangan vitamin;
(8) gangguan endokrin, dan
(9) predisposisi keturunan.
Faktor Risiko4
1. Mata Kering
Mata kering telah dilaporkan pada 50% pasien dengan
Blefaritis staphylococcal. Disisi lain dari 66 pasien dengan mata
kering, 75% mengalami staphylococcal konjungtivitis atau
blefaritis. Hal itu memungkinkan dikarenakan menurun nya
lokal lysozyme dan immunoglobulin yang berhubungan dengan
menurunnya air mata.
Dua puluh lima persen dari 40% total pasien blefaritis seboroik
dan MGD (Meibomian gland dysfunction) dan 37%-52% pasien
dengan ocular rosacea juga mengalami defisiensi air mata. Hal
ini terjadi dari peningkatan evaporasi air mata yang disebabkan
defisiensi komponen lipid pada air mata.
12
2. Kondisi Kulit
Kondisi kulit berhubungan dengan blefaritis seboroik dan
MGD yang mempunyai etiologi dan faktor predisposisi yang
sama. Dalam satu studi, 95% pasien dengan blefaritis seboroik
juga mengalami dermatitis seboroik.
3. Demodicosis
Demodex folliculorum ditemukan pada 30% pasien kronik
blefaritis.
4. Rosacea
Rosacea adalah penyakit kronis yang ditandai dengan
adanya telangiektasis, eritema, papula, pustula, dan kelenjar
sebaceous hipertrofik di area wajah kemerahan. Rosacea
biasanya dimulai sekitar 30 hingga 40 tahun dan tanda-tanda dan
gejala sering terjadi dan terjadi pada awal proses penyakit.
Semua tersangka harus segera dirujuk ke dokter kulit untuk
memastikan diagnosis dan membantu mengidentifikasi pemicu.
2.2.5. Patofisiologi
Blefaritis biasanya disfungsi sekunder akibat perubahan
struktural pada kelenjar meibom. Ada 30 hingga 40 kelenjar di tarsus
atas dan 20 hingga 25 pada tarsus bawah. Mereka membentuk
lobulus yang berpusat di sekitar tubulus utama di tarsus atas dan
bawah. Lipid yang diproduksi di kelenjar ini diekspresikan melalui
bukaan meibom yang terletak di antara kulit epitel dan garis abu-abu
di dalam tarsus dan akan membentuk lapisan lipid dari air mata.
Lapisan lipid mencegah penguapan air mata, mencegah kontaminasi
dan membantu membentuk permukaan optik pada kornea dan
bertindak sebagai penghalang terhadap setiap partikulat. McCulley
et al. melaporkan bahwa di antara pasien dengan disfungsi kelenjar
meibom, jumlah produksi air mata sering menurun.7
13
Kelopak mata melindungi permukaan mata dan kelenjar
pada kelopak mata, terutama kelenjar meiobom, yang berfungsi
penting dalam sekresi air mata. Infeksi pada kelopak mata
(blefaritis) dapat menyebabkan obstruksi dan mencegah kelenjar ini
mensekresikan lipid yang berkontribusi membentuk air mata.
Termasuk dalam air mata adalah lapisan atas terpenting dari lipid
yang secara luas berasal dari kelenjar meibom yang membatasi
penguapan air sehingga membantu mencegah perkembangan mata
yang kering.8
Lipase dari kedua host dan bakteri dapat melepaskan asam
lemak bebas, kolesterol, dan lipid lainnya yang terakumulasi dalam
saluran yang berkontribusi terhadap penyumbatan saluran dan
berkumpulnya neutrofil dan komponen inflamasi lainnya ke
kelenjar.8
Lipase bakteri mengubah sekresi kelenjar meibom,
meningkatkan konsentrasi kolesterol dan mendukung pertumbuhan
dan proliferasi bakteri. Residu beracun dari bakteri, invasi jaringan
langsung, dan kerusakan dimediasi kekebalan memainkan peran
penting dalam perkembangan penyakit.8
Blefaritis dengan mata kering menjadi dua hal yang saling
berhubungan. Istilah baru yang diperkenalkan adalah dry eye
blepharitis syndrome (DEBS). Fakta bahwa ada beberapa gejala
tumpang tindih dan patologi yang saling terkait dalam sindrom mata
kering. 8
Hal ini sekarang dapat menghubungkan mata kering dan
blefaritis bersama dengan satu sumber patologi umum. Yang
menjadi jelas adalah bahwa mata kering dan blepharitis menjadi satu
kesatuan, yaitu dry eye blepharitis syndrome (DEBS), yang
mencerminkan pada kenyataannya satu proses penyakit, bukan dua
hal yang berbeda.8
14
Pada kelopak mata terdapat bakteri flora normal, terutama
Staphylococcus aureus dan Staphylococcal epidermidis, flora
normal ini menjadi overcolonized dan mengalami perubahan
patogenisitas selama masa hidup pasien. Thygeson pada tahun 1946
mengakui bahwa "kolonisasi Staphylococcus abnormal" dikaitkan
dengan blepharitis. Biofilm merupakan hal yang mendasari terjadi
nya overcolonized dan perubahan patogenisitas dari flora normal.8
Penyakit pada kelopak mata melibatkan enam langkah yang
berkaitan dengan perubahan bakteri :8
1. Bakteri survival
2. Pembentukan biofilm
3. Over-Colonization
4. Quorum-sensing gene activation
5. Produksi faktor virulensi
6. Peradangan.
Biofilm terbukti menjadi struktur pertahanan yang sangat
baik dengan memungkinkan bakteri untuk menghindari kekeringan,
menghindari respon pertahanan tuan rumah pada atau di dalam
sistem kehidupan lain, menghasilkan faktor virulensi, membebaskan
dan memusatkan nutrisi, dan berkomunikasi dengan spesies bakteri
lainnya, sehingga meningkatkan strategi bertahan hidup di seluruh
spesies.8
Telah diketahui dengan baik bahwa kelopak mata adalah
rumah bagi bakteri flora normal yang terdiri dari S. aureus, S.
epidermidis, dan pada tingkat yang lebih rendah Corynebacterium
spp. dan Propionobacterium spp. Juga diketahui bahwa kedua
spesies Staphylococcus adalah pembentuk biofilm yang produktif,
terutama S. epidermidis.8
15
Gambar 2.1 Enam langkah terjadi nya DEBS.8
16
mencegah akumulasi biofilm yang signifikan pada konjungtiva
palpebra atau bulbar. Tentu saja, protein antibakteri dari air mata,
laktoferin, dan lisozim, memainkan peran penting. Sel goblet,
bagaimanapun, mungkin memainkan bagian yang lebih signifikan
dalam pencegahan mekanik akumulasi biofilm serta secara fisik
melindungi epitelium.8
2. Pemeriksaan2
Pemeriksaan pada ata dan adneksa meliputi pengukuran
ketajaman visual, pemeriksaan luar. Pemeriksaan luar harus
dilakukan pada kondisi lampu yang cukup dengan perhatian
khusus dalam hal-hal berikut :
Kulit
Perubahan kosistensi kulit dengan rosasea seperti
rhinophyma, eritema, telangiectasia, papul, pustul, dan
hipertropik glandula sebaseus di area malar
Kelopak mata
a. Posisi abnormal pada kelopak mata (ektropion
dan entropion, penutupan kelopak mata
(lagoftalmus), respon mengedip
b. Hilang, kerusakan, dan bentuk kelopak mata
yang salah
18
c. Vaskularisasi atau hiperemis pada kelopak mata
marginal
d. Kelainan pada bawah kelopak mata
e. Ulserasi
19
dengan cara meletakkan bulu mata diatas kaca pemeriksaan, dengan
menambahkan fluorescein dan menutupnya. Infestasi demodex
diasosiasikan dengan ketombedan biasa ditemukan pada pasien
disfungsi kelenjar meibom, inflamasi konjungtiva, dan rosasea
okuler. Dapat juga ditemukan pada pasien dengan tanda kornea,
seperti infiltrate marginal, phlytenule, vaskularisasi superfisial,
opasitas superfisial, dan jaringan parut nodular. Walaupun kejadian
ditemukannya Demodex sudah cukup sering, namun perannya
sebagai agen etiologi kasus blefarokonjungtivitis belum sepenuhnya
dipahami.4
Kemungkinan terjadinya karsinoma perlu dipertimbangkan
pada pasien dengan blefaritis kronik yang tidak berespon terhadap
terapi, terutama jika hanya satu mata yang terlibat. Pemeriksaan
biosi kelopak mata dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan karsinoma, resistensi obat, atau kalazia rekuren
unifokal yang tidak berespon terhadap terapi. Tanda lainnya adalah
hilangnya batas normal kelopak mata dan anatomi konjungtiva dan
madarosis siliaris. Jaringan segar mungkin dibutuhkan untuk
mendeteksi lipid menggunakan pewarna khusus minyak merah O.4
Pemeriksaan dermatologis mungkin diperlukan, kulit wajah
atau kulit kepala yang terkelupas harus dinilai untuk menyingkirkan
dermatitis seboroik. Pemeriksaan untuk rosacea mungkin
diperlukan; bengkak atau kemerahan pada hidung atau pipi.11
Ketika curiga staphylococcal blepharitis, kultur bakteri
menggunakan sampel kulit dapat dilakukan untuk mengonfirmasi
diagnosis.11
20
2.2.8. Diagnosis Banding
Blefaritis sering kurang terdiagnosis dalam praktik klinis.
Pasien sering hadir dengan berbagai tanda dan gejala yang membuat
diagnosis bermasalah (Tabel 1). Perbedaannya termasuk karsinoma
sel basal kelopak mata, rosacea okular, kalazion, herpes (simplex
atau zoster), sindrom mata kering dan trakoma.11
2.2.9. Tatalaksana
Pada umumnya pengobatan blefaritis didasarkan pada
kebersihan kelopak mata, antibiotik sistemik atau antibiotik topikal,
dan pada beberapa kasus membutuhkan agen antiinflamasi topikal
seperti kortikosteroid atau siklosporin A.12
1. Menjaga Keberihan Kelopak Mata
Pengobatan rutin berupa membersihkan kelopak mata adalah
hal utama dalam pengeobatan Blefaritis. Kompres hangat
direkomendasikan untuk tatalaksana Blefaritis dengan tujuan
mencairkan lipid pada kelenjar Meibom sehingga membantu
sekresi kelenjar Meibom. Cara kompres hangat yang
21
direkomendasikan yaitu kompres dipanaskan hingga 45OC
selama kurang lebih 4 menit, kemudian kompres diganti setelah
2 menit untuk mempertahankan suhu. Kompres hangat dapat
dilakukan 2 kali dalam sehari. Menjaga kebersihan kelopak mata
secara mekanis juga merupakan langkah awal dalam tatalaksana
Blefaritis, yaitu dengan menggosokkan tea tree oil atau minyak
pohon teh setiap minggu dan menggosokkan tea tree shampoo
atau sampo pohon teh setiap hari. 2,12
2. Terapi Farmakologi
a. Antibiotik
Antibiotik topikal sering digunakan untuk terapi
lokal. Agen topikal yang sering digunakan adalah Bacitacin
dan Salep Eritromisin, namun karena penggunaan yang luas
sehingga terjadi resistensi terhadap Eritromisin. Agen
topikal ini pada umumnya digunakan Agen topikal lain yang
dapat digunakan adalah asam fusidat, metronidazol dan
fluoroquinolones. Preparat ini diaplikasikan pada kelopak
mata 1 sampai 4 kali dalam sehari selama 2 minggu, lalu
digunakan lebih jarang dalam beberapa minggu ketika reaksi
inflamasi sudah teratasi. Antibiotika sistemik jarang
diperlukan kecuali bila tidak respon terhadap terapi
antibiotik yang adekuat atau terjadi infeksi sekunder pada
glandula Meibom. 12
b. Steroid
Penggunaan steroid topikal dapat bermanfaat untuk
mengendalikan eksaserbasi akut dan digunakan pada kasus
peradangan berat dan komplikasi seperti phlyctenules,
injeksi konjungtiva berat, dll. Namun, penggunaan steroid
jangka panjang dihindari karena berisiko tinggi
meningkatkan Tekanan Intra Okular (TIO). Studi Hosseini
dkk menunjukkan penggunaan kombinasi Azitromisin dan
22
Deksametason lebih efektif dibandingkan terapi dengan
Azitromisin saja atau dengan Dexametason saja.
Penggunaan steroid untuk Blefaritis harus dibatasi hanya
untuk penggunaan jangka pendek, dan penggunaan steroid
potensi rendah. 2,12
c. Penghambat Calcineurin
Penghambat Calcuneurin adalah agen
immunomodulator yang digunakan untuk mengurangi
peradangan pada Blefaritis tanpa efek samping seperti
steroid. Contoh Penghambat Calcineurin adalah
Cyclosporin. 2
d. Terapi intervensi
Berbagai terapi intervensi sedang dalam
pengembangan. Maskin dkk mengembangkan pembukaan
dan dilatasi kelenjar Meibom menggunakan stainless steel
kecil. Penelitian awal melaporkan bahwa 25 pasien yang
menjalani prosedur ini mengalami perbaikan gejala setelah 4
minggu. 2
1. Konjungtivitis Kronis
23
2. Hordeolum internal dan Hordeolum eksternal
3. Trikiasis
4. Keratitis Epitel13
5. Keratitis Phlytenular13
Prognosis
Blefaritis merupakan penyakit yang tidak mengancam
kesehatan atau fungsi seseorang. Secara keseluruhan, prognosis
penyakit Blefaritis adalah baik. Blefaritis Kronis terjadi berulang
dan dapat menjadi resisten terhadap pengobatan. Meskipun
eksaserbasi penyakit ini membuat pasien merasa tidak nyaman,
pasien mampu memiliki hidup yang normal dan sehat tanpa
ketakutan kehilangan penglihatan yang permanen.11
24
BAB III
KESIMPULAN
Walaupun blefaritis adalah salah satu gangguan okuler yang paling banyak
ditemukan, data epidemiologi berupa insidensi dan prevalensi masih kurang. Salah
satu studi pusat tunggal pada 90 pasien dengan blefaritis kronik tercatat rata-rata
usia pasien adalah 50 tahun. Pasien dengan blefaritis staphylococcal ditemukan
pada relatif usia muda (42 tahun) dan paling sering ditemukan pada wanita (80%).4
26
Blefaritis merupakan penyakit yang tidak mengancam kesehatan atau fungsi
seseorang. Secara keseluruhan, prognosis penyakit Blefaritis adalah baik. Blefaritis
Kronis terjadi berulang dan dapat menjadi resisten terhadap pengobatan. Meskipun
eksaserbasi penyakit ini membuat pasien merasa tidak nyaman, pasien mampu
memiliki hidup yang normal dan sehat tanpa ketakutan kehilangan penglihatan
yang permanen.11
27
DAFTAR PUSTAKA
28
12. Jackson WB. Blepharitis: current strategies for diagnosis and management.
Can J Ophthalmol 2008;43;170-179.
13. Thygeson P. Complications of staphylococcic blepharitis. American Journal Of
Ophthalmology 1969;64;446-449.
29