Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

OBSTRUKSI JAUNDICE/IKTERUS

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi
Ikterus obstruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana
kondisi ini akan menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri
(Sherly, 2008). Ikterus obstruktif, disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang
sering terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus) atau
kerusakan sel hati (yang terjadi pada hepatitis), kecepatan pembentukan bilirubin
adalah normal, tapi bilirubin yang dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke dalam usus.
Dengan demikian, ikterus obstruktif merupakan jaundice atau kekuningan yang
disebabkan oleh obstruksi yang menghalangi bilirubin mengalir ke jejunum.
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu.
Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran
misalnya adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu empedu
dan cacing askaris sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan di dalam lumen
saluran. Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu atau anak sebar
tumor ganas di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu
dari luar menimbulkan gangguan aliran empedu. Beberapa keadaan yang jarang
dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista koledokus, abses amuba pada
lokasi tertentu, divertikel duodenum dan striktur sfingter papila vater.

Klasifikasi
Menurut Benjamin IS 1988, klasifikasi ikterus obstruksi terbagi atas 4 tipe yaitu :
a. Tipe I : Obstruksi komplit.
Obstruksi ini memberikan gambaran ikterus. Biasanya terjadi karena tumor
kaput pancreas, ligasi duktus biliaris komunis, kolangiokarsinoma, tumor
parenkim hati primer atau sekunder.
b. Tipe II : Obstruksi intermiten.Obstruksi ini memberikan gejala-gejala dan
perubahan biokimia yang khas serta dapat disertai atau tidak dengan serangan
ikterus secara klinik. Obstruksi dapat disebabkan oleh karena koledokolitiasis,
tumor periampularis, divertikel duodeni, papiloma duktus biliaris, kista
koledokus, penyakit hati polikistik, parasit intra bilier, hemobilia.
c. Tipe III : Obstruksi inkomplit kronis.
Dapat disertai atau tidak dengan gejala-gejala klasik atau perubahan biokimia
yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya perobahan patologi pada duktus
bilier atau hepar. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh karena striktur duktus
biliaris komunis (kongenital, traumatik, kolangitis sklerosing atau post
radiotherapy), stenosis anastomosis bilio-enterik, stenosis sfingter Oddi,
pankreatitis kronis, fibrosis kistik, diskinesia.
d. Tipe IV : Obstruksi segmental.
Obstruksi ini terjadi bila satu atau lebih segmen anatomis cabang biliaris
mengalami obstruksi. Obstruksi segmentalini dapat berbentuk obstruksi
komplit, obstruksi intermiten atau obstruksi inkomplit kronis. Dapat
disebabkan oleh trauma (termasuk iatrogenik), hepatodokolitiasis, kolangitis
sklerosing, kolangiokarsinoma.
2. Etiologi
Penyebab terjadinya jaundice obstruktif adalah adanya obstruktif post hepatik
yang antara lain disebabkan oleh 6 :
1. Obstruksi dalam lumen saluran empedu:
a. Batu
b. Parasit (ascaris)
2. Kelainan di dinding saluran empedu
a. Atresia bawaan
b. Striktur traumatic
c. Tumor saluran empedu
3. Penekanan saluran empedu dari luar
a. Tumor caput pancreas
b. Tumor ampula Vateri
c. Pankreatitis
d. Metastasis di dalam ligamentum hepaoduodenale
3. Gejala dan Tanda Klinis

Tanda dan gejala yang timbul antara lain:

a. Ikterus, hal ini disebabkan penumpukkan bilirubin terkonjugasi yang ada dalam

darah yang merupakan pigmen warna empedu.

b. Nyeri perut kanan atas, nyeri yang dirasakan tergantung dari penyebab dan

beratnya obstruktif. Dapat ditemui nyeri tekan pada perut kanan atas maupun

kolik bilier.

c. Warna urin gelap (Bilirubin terkonjugasi). Urin yang berwarna gelap karena

adanya bilirubin dalam urin.

d. Feces seperti dempul (pucat/akholis). Hal ini disebabkan karena adanya

sumbatan aliran empedu ke usus yang mengakibatkan bilirubin di usus

berkurang atau bahkan tidak ada sehingga tidak terbentuk urobilinogen yang

membuat feces berwarna pucat.

e. Pruritus yang menetap. Adanya pruritus menunjukkan terakumulasinya garam

empedu di subkutan yang menyebabkan rasa gatal.

f. Anoreksia, nausea dan penurunan berat badan. Gejala ini menunjukkan adanya

gangguan pada traktus gastrointestinal.

g. Demam

h. Pembesaran hepar dan kandung empedu (Courvoisier sign).


4. Patofisiologi
Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk
pencernaan dan penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen,
obat-obatan, dan metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam
komponen endogen dan produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai
hormon.
Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan
komponen empedu (yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus
halus, dan cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi sistemik. Feses
biasanya menjadi pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai usus halus.
Ketiadaan garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi, mengakibatkan
steatorrhea dan defisiensi vitamin larut lemak (A, D, K); defisiensi vitamin K bisa
mengurangi level protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan, seiring malabsorpsi
vitamin D dan Ca bisa menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia.
Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa
bilirubin terkonjugasi mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi
sirkulasi garam empedu berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan, pruritus.
Kolesterol dan retensi fosfolipid menyebabkan hiperlipidemia karena malabsorpsi
lemak (meskipun meningkatnya sintesis hati dan menurunnya esterifikasi kolesterol
juga punya andil); level trigliserida sebagian besar tidak terpengaruh.
Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik,
disfungsi mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam
empedu hidrofobik mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas dengan
perubahan sejumlah fungsi sel penting, seperti produksi energi mitokondria.
Gangguan metabolisme mitokondria dan akumulasi asam empedu hidrofobik
berhubungan dengan meningkatnya produksi oksigen jenis radikal bebas dan
berkembangnya kerusakan oksidatif.
5. Pathway
Adanya Batu atau parasit

Obtruksi dalam lumen saluran


empedu

Adanya gangguan aliran empedu

Penimbunan pigmen empedu

Penumpukan bilirubin

Warna kuning pada jaringan

Ikterus

Pre Operasi Konsetrasi asam empedu Kulit dan selaput lendir Pre Operasi
intraluminal menurun tampak kekuningan

Luka post
Hepar tidak mampu operasi
Nyeri Akut Pasien belum Penurunan kalsium mengubah bilirubin
mendapat terkonjugasi menjadi Adanya port d
bilirubin terkonjugasi entre
informasi
cukup Defisiensi vitamin
mengenai larut lemak
tindakan Peningkatan
Malnutrisi Peningkatan bilirubin
risiko infeksi
oleh kuman
Kurang
Pengetahuan Ketidakseimbangan Kulit gatal/ pruritus
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh Risiko Infeksi

Kerusakan Integritas
Kulit
Komplikasi

Salah satu penyulit dari drainase interna pada ikterus obstruktif adalah gagal
ginjal akut (GGA). GGA pada penderita ikterus obstruktif lanjut pasca drenase interna
sampai saat ini masih merupakan komplikasi klinis yang mempunyai risiko kematian
tinggi. Pada penderita ikterus obstruktif lanjut yang mengalami tindakan pembedahan
sering mengalami komplikasi pasca operatif. Komplikasi ini berhubunga dengan
endoktoksemia sistemik terjadi melalui 2 mekanisme yang pertama, tidak adanya
empedu pada traktus gastrointestinal yang bersifat “detergen like” sehingga terjadi
transolakasi endotoksin melalui mukosa usus. Dengan tidak adanya empedu dan
cinjugated bilirubin di traktus gastrointestinal akan menganggu funngsi barier usus
sehingga terjadi over growth bakteri, terutama bakteri gram negatif, yang dapat
menyebabkan translokasi bakteri maupun endotoksinnya kedalam sirkulasi.
Mekanisme kedua, ikterus obstruktif menyebabkan menurunnya fungsi kupffer
sebagai “clearance of endotoxin” sehingga endotoksin semakin meningkat di dalam
sirkulasi.
Perubahan hemodinamika ginjal yang terjadi pada pasien denga ikterus
obstruktif bersifat reversible. Oleh karena itu harus segera dilakukan intervensi
optimal untuk mencegah semakin memburuknya fungsi ginjal. Pencegahan terjadinya
gagal ginjal akut pada pembedahan ikterus obstruktif dengan melakukan ekspansi
volume cairan dari intaseluler menuju ekstraseluler dan menurunkan terjadinya
endotoksinemia.
Komplikasi yang terjadi pada ikterus obstruktif adalah sepsis primer,
perdarahan gastrointestinal, koagulopati, gangguan penyembuhan luka bedah dan
gagal ginjal akut (GGA).

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk

serum bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan

hitung sel darah lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi

ketika ada peningkatan produksi bilirubin atau menurunnya ambilan dan

konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi bilirubin (kolestasis intrahepatik)


atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan hiperbilirubinemia (direk)

terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya

ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya

meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya

biasanya berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin

serum (4 – 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif

pada obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien

dengan obstruksi bilier parsial.

Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih

mungkin disebabkan oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin

indirek yang jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di

dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui ginjal sedangkan

bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu

adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu

daripada kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya

perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran

empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen tidak dapat mencapai usus).

2. Hematologi

Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin

terkonjugasi. Serum gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat

pada kolestasis. Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu

hiperbilirubinemia lebih rendah dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna

ekstra-hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase

meningkat 10 kali jumlah normal. Transaminase juga mendadak meningkat 10

kali nilai normal dan menurun dengan cepat begitu penyebab obstruksi
dihilangkan. Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma

pankreas dan kanker obstruksi lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-

40 mg/dL, alkali fosfatase meningkat 10 kali nilai normal, namun transamin

tetap normal.

Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat

pada karsinoma pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula,

namun penanda tersebut tidak spesifik dan mungkin saja meningkat pada

penyakit jinak percabangan hepatobilier lainnya.

3. Pencitraan

Tujuan dibuat pencitraan adalah:

a. memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu membuktikan apakah

jaundice akibat post-hepatik dibandingkan hepatik),

b. untuk menentukan level obstruksi,

c. untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi,

d. memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang

mendasarinya (misal, informasi staging pada kasus malignansi).

4. USG

Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat

membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan

pemeriksaan penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum

pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan

parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan

diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu

empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa

tumor tinggi sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu


dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu,

sedangkan pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.

5. Pada pemeriksaan USG akan memperlihatkan ukuran duktus biliaris,

mendefinisikan level obstruksi, mengidentifikasi penyebab dan memberikan

informasi lain sehubungan dengan penyakit (mis, metastase hepatik, kandung

empedu, perubahan parenkimal hepatik). Identifikasi obstruksi duktus dengan

akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung empedu dan duktus biliaris yang

berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur. Juga

dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan struktur

yang mengelilinginya.

6. Pemeriksaan Radiologi

a. Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian


besar batu empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien
ikterus karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit.
b. CT-scan : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu,
pankreas, ginjal dan retroperitoneum; membandingkan antara obstruksi intra-
dan ekstrahepatik dengan akurasi 95%. CT dengan kontras digunakan untuk
menilai malignansi bilier.
c. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography) dan PTC
(Percutaneus Transhepatic Cholangiography) : menyediakan visualisasi
langsung level obstruksi. Namun prosedur ini invasif dan bisa menyebabkan
komplikasi seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis dan perdarahan.
d. EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging
malignansi gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan berkembang
menjadi modalitas penting dalam evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS juga
berguna untuk mendeteksi dan staging tumor ampula, deteksi mikrolitiasis,
koledokolitiasis dan evaluasi striktur duktus biliaris benigna atau maligna. EUS
juga bisa digunakan untuk aspirasi kista dan biopsi lesi padat.
e. MRCP (Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography): merupakan teknik
visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal ini
terutama berguna pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP.
Visualisasi yang baik dari anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari
ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP adalah murni diagnostik.

7. Penatalaksanaan

Pengobatan ikterus sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika penyebabnya


adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya ikterus akan menghilang sejalan
dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal
(pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik,pengobatan penyebab dasarnya sudah
mencukupi.
Pruritus pada keadaan irreversible (seperti sirosis bilier primer) biasanya responsive
terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat garam
empedu diusus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia
biasanya membaik setelah pemberian fitonandion (vitamin K1) 5-10 mg/hari SK untuk 2-
3 hari.
Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang
irreversible, namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan. Suplemen
vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorrhea yang
berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan medium chain
triglyceride. Jika penyebabnya adalah sumbatan biler ekstrahepatik biasanya
membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, atau insersi stent,
dan drainase via kateter untuk striktura (sering keganasan) atau daerah penyempitan
sebagian.
Untuk sumbatan maligna yang non-operabel, drainase bilier paliatif dapat dilakukan
melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik (ERCP).
Pada sejumlah pasien ikterus bedah yang mempunyai resiko tinggi dapat dilakukan “ERCP
terapeutik”. Prinsip ERCP terapeutik adalah memotong sfingter papila vateri dengan kawat
yang dialiri arus lisrik sehingga muara papila menjadi besar (spingterotomi endoskopik).
Kebanyakan tumor ganas yang menyebabkan obstruksi biliaris sering kali in-operabel pada
saat diagnosis ditegakkan. Pailotomi endoskopik dengan pengeluaran batu telah
menggantikan laparotomi pada pasien dengan batu diduktus kholedokus. Pemecahan batu
di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengeluaran batu disaluran
empedu.
1. Ikterus Obstruktif Intrahepatik
Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepetitis virus akut. Tirah baring selama fase akut
penting dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan
makanan yang paling dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara
intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien terus menerus muntah.
Aktifitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali
normal.
2. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik.
Operasi pengangkatan kandung empedu melalui pembedahan tradisional dianggap
sebagai cara pendekatan yang baku dalam penatalaksanaan penyakit ini. Namun
demikian, perubahan dramatis telah terjadi dalam penatalaksanaan bedah dan nonbedah
terhadap penatalaksanaan kandung empedu.
1) Penatalaksanaan Nonbedah
a) Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut biasanya dibatasi
pada makanan cair rendah lemak. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat
dapat diaduk ke dalam susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien
dapat menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak,
kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh.
Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya
mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala
gastrointestinal ringan.
b) Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil
dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan
dengan asam kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat
diberikan dengan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek yang sama.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan
sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu.
c) Pelarutan Batu Empedu
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (Monooktanion atau Metal Tertier Butil Eter
(MTBE) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
jalur berikut ini : melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke
dalam kandung empedu; melaui selang atau drain yang dimasukan melalui
saluran T-tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat
pembedahan; melalui endoskop ERCP (Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography); atau kateter bilier transnalas.
d) Pengangkatan Nonbedah
Beberapa metode nonbedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum
terangkat pada saat cholesistektomy atau yang terjepit dalam duktus koledokus.
Sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat
saluran T-tube atau lewat fistule yang terbentuk pada saat insersi T-tube, jaring
digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus
koledokus.
e) Extracorporeal Shock-Wafe Lithotripsy (ESWL)
Prosedur litotripsi atau ESWL ini telah berhasil memecah batu empedu tanpa
pembedahan. Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang
(repeated shock waves) kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau
duktus koledokus.
f) Litotripsi Intrakorporeal
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser
berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan
langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara
irigasi dan aspirasi.

2) Penatalaksanaan Bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan
untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan
penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat
efektif kalau gejala yang dirasakan klien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai
suatu prosedur darurat bilamana kondisi pasien mengharuskannya.
a) Kolesistektomi
Kolesistektomi merupakan salah satu prosedur yang paling sering dilakukan, di
Amerika lebih dari 600.000 orang menjalani pembedahan ini setiap tahunnya.
Dalam prosedur ini, kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus
diligasi.
b) Minikolesistektomi
Minikolesistektomi merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung
empedu lewat insisi selebar 4 cm.
c) Kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik)
Prosedur ini dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui
dinding abdomen pada umbilikus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik,
rongga abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum) untuk
membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat struktur
abdomen.
d) Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu.
e) Bedah Kolesistostomi
Kolesistostomi dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk
dilakukan operasi yang lebih luas atau bila reaksi infalamasi yang akut membuat
system bilier tidak jelas. (Smeltzer & Bare, 2002 )
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan obstruksi jaundice dilakukan mulai dari pengumpulan
data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat
kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari. Hal yang perlu
dikaji :
Aktivitas/istirahat  kelelahan.
 gelisah.
Sirkulasi  takikardia, berkeringat
Eliminasi  urin berwarna teh.
 feses berwarna pekat/lempung.
 distensi abdomen.
 teraba massa pada kuadran kanan atas.
Makanan/cairan  napsu makan menurun, tidak toleransi terhadap
lemak dan makanan "pembentuk gas"; regurgitasi
berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan,
flatus, dispepsia.
 anoreksia, mual/muntah.
 adanya penurunan BB.
Keamanan  kulit kekuningan, pruritus.
 kulit kering.
 sklera kekuningan.
 demam, menggigil.
Pernapasan  peningkatan frekuensi pernapasan.
 pernapasan tertekan ditandai oleh napas pendek,
dangkal.
 Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke
Nyeri/Kenyamanan punggung atau bahu kanan.
 kolik epigastrium tengah sehubungan dengan
makan.
 nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam
30 menit.
 Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran
kanan atas ditekan.
2. Diagnosa keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi saluran empedu


b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus.
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
e. Risiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi

3. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1 Nyeri akut NOC NIC:
berhubungan dengan  Pain Level Pain management
obstruksi saluran  Pain Control  Lakukan pengkajian
empedu  Comfort level nyeri secara
Kriteria Hasil : komprehensif
 Mampu termasuk lokasi,
mengontrol nyeri karakteristik, durasi,
(tahu penyebab frekuensi, kualitas
nyeri, mampu dan faktor presipitasi
menggunakan  Observasi reaksi
teknik nonverbal dari
nonfarmakologi ketidaknyamanan
untuk mengurangi  Gunakan tehnik
nyeri, mencari komunikasi
bantuan) terapeutik untuk
 Melaporkan mengetahui
bahwa nyeri pengalaman nyeri
berkurang dengan pasien
menggunakan  Kaji kultur yang
manajemen nyeri mempengaruhi
 Mampu mengenali respon nyeri
nyeri (skala,
intensitas,  Evaluasi pengalaman
frekuensi dan nyeri masa lampau
tanda nyeri)  Evaluasi bersama
 Menyatakan rasa pasien dan tim
nyaman setelah kesehatan lain
nyeri berkurang tentang
ketidakefektifan
kontrol nyeri masa
lampau
 Bantu pasien dan
keluarga untuk
mencari dan
menemukan
dukungan
 Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
 Kurangi faktor
presipitasi nyeri
 Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi,
nonfarmakologi dan
interpersonal)
 Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan
intervensi
 Ajarkan tentang
teknik
nonfarmakologi
 Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
 Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
 Tingkatkan istrihat
 Kolaborasikan
dengan dokter jika
ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
 Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic
administration
 Tentukan lokasi,
karakter, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian
obat
 Cek intruksi dokter
tentang jenis obat,
dosi, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesic yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesic ketika
pemberian lebih dari
satu
 Tentukan pilihan
analgesic tergantung
tipe dan beratnya
nyeri
 Tentukan analgesic
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
 Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian anlgesik
pertama kali
 Berikan analgesic
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
 Evalusi efektivitas
analgesic, tanda dan
gejala
2 Ketidakseimbangan NOC NIC
nutrisi kurang dari  Nutritional status Nutrition management
kebutuhan tubuh  Nutritional status:  Kaji adanya alergi
berhubungan dengan food and fluid intake makanan
penurunan nafsu  Nutritional status:  Kolaborasi dengan
makan nutritient intake ahli gizi untuk
 Weigh control menentukan jumlah
Kriteria hasil kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien
 Adanya  Anjurkan pasien
peningkatan berat untuk meningkatkan
badan sesuai tujuan intake Fe
 Berat badan ideal  Anjurkan pasien
sesuai dengan tinggi untuk meningkatkan
badan protein dan vitamin C
 Mampu  Berikan substansi
mengidentifikasi gula
kebutuhan nutrisi  Yakinkan diet yang
 Tidak ada tanda- dimakan mengandung
tanda malnutrisi tinggi serat untuk
 Menunjukkan mencegah konstipasi
peningkatan fungsi  Berikan makanan
pengecapan dan yang terpilih (sudah
menelan dikonsultasikan
 Tidak terjadi dengan ahli gizi)
penurunan berat  Ajarkan pasien
badan yang berarti bagaimana membuat
catatan makanan
harian
 Monitor jumlah
nutrisi dan kandungan
kalori
 Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
 Kaji kemampuan
pasien untuk
mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
Nutrition monitoring
 BB pasien dalam
batas normal
 Monitor adanya
penurunan berat
badan
 Monitor tipe dan
jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan
 Monitor interaksi
anak atau orang tua
selama makan
 Monitor lingkungan
selama makan
 Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak selama
jam makan
 Monitor kulit kering
dan perubahan
pigmentasi
 Monitor turgor kulit
 Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan
mudah patah
 Monitor mual dan
muntah
 Monitor kadar
albumin, total protein,
Hb dan kadar Ht
 Monitor pertumbuhan
dan perkembangan
 Monitor pucat,
kemerahan dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor kalori dan
intake nutrisi
 Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papilla lidah dan
cavitas oral
Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet.
3 Kerusakan integritas NOC NIC
kulit berhubungan Tissue integrity : skin Pressure management
dengan pruritus and mucous membranes a. Anjurkan pasien
Hemodyalisis akses untuk menggunakan
Kriteria hasil pakaian yang longgar.
 Integritas kulit yang b. Hindari kerutan pada
baik bisa tempat tidur
dipertahankan c. Jaga kebersihan kulit
(sensai, elastisitas, agar tetap bersih dan
temperature, hidrasi, kering.
pigmentasi) d. Mobilisasi pasien
 Tidak ada luka/lesi (ubah posisi pasien)
pada kulit setiap dua jam sekali
 Perfusi jaringan e. Monitor kulit akan
baik adanya kemerahan.

 Menunjukkan f. Oleskan lotion atau

pemahaman dalam minyak/baby oil pada

proses perbaikan daerah yang tertekan

kulit dan mencegah g. Monitor aktivitas dan

terjadinya cedera mobilisasi pasien

berulang h. Monitor status nutrisi

 Mampu melindungi pasien

kulit dan i. Memandikan pasien

mempertahankan dengan sabun dan air

kelembaban kulit hangat

perawatan alami Insision site care


a. Membersihkan,
memantau dan
meningkatkan proses
penyembuhan pada
luka yang ditutup
dengan jahitan, klip
atau straples
b. Monitor proses
kesembuhan area
insisi
c. Monitor tanda dan
gejala infeksi pada
area insisi
d. Bersihkan area sekitar
jahitan atau straples,
menggunakan lidi
kapas steril
e. Gunakan preparat
antiseptic sesuai
program
f. Ganti balutan pada
interval waktu yang
sesuai atau biarkan
luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program
Dialysis acces
maintenance
4 Kurang pengetahuan NOC NIC
berhubungan dengan  Knowledge : Teaching : disease
kurang informasi disease proces proces
 Knowledge : health  Berikan penilaian
behavior tentang tingkat
Kriteria hasil pengetahuan pasien
 Pasien dan tentang proses
keluarga penyakit yang spesifik
menyatakan  Jelaskan patofisiologi
tentang penyakit, dari penyakit dan
kondisi, prognosis bagaimana hal ini
dan program berhungan dengan
pengobatan anatomi dan fisiologi
 Pasien dan ,dengan cara yang
keluarga mampu tepat.
melaksanakan  Gambarkan tanda dan
prosedur yang gejala yang biasa pada
dijelaskan secara penyakit, dengan
benar. tanda yang tepat
 Pasien dan  Identifikasi
keluarga mampu kemungkinan
menjelaskan penyebab,dengan cara
kembali apa yang yang tepat
dijelaskan  Sediakan informasi
perawat/tim pada pasien tentang
kesehatan lainnya. kondisi,dengan cara
yang tepat
 Hindari jaminan yang
kosong
 Sediakan bagi
keluarga atau SO
informasi tentang
kemajuan pasien
dengan cara yang
tepat
 Diskusikan perubahan
gaya hidup yang
mungkin diperlukan
untuk mencegah
komplikasi yang akan
datang dan atau proses
pengontrolan
penyakit.
 Diskusikan pilihan
terapi atau
penanganan.
 Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
informasi atau opinion
dengan cara yang
tepat atau
diindikasikan.
 Rujuk pasien pada
grup atau agensi di
komunitas
lokal,dengan cara
yang tepat.
 Instruksikan pasien
mengenai tanda dan
gejala untuk
melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan,dengan cara
yang tepat
5 Risiko infeksi NOC NIC
berhubungan dengan Immune status Infection Control
luka post operasi Knowledge : infection a. Bersihkan lingkungan
control setelah dipakai pasien
Risk control lain
Kriteria hasil b. Pertahankan teknik
isolasi
a. Klien bebas dari c. Batasi pengunjung
tanda dan gejala bila perlu
infeksi d. Instruksikan pada
b. Mendeskripsikan pengunjung untuk
proses penularann mencuci tangan saat
penyakit, factor berkunjung
yang mempengaruhi meninggalkan pasien
penularan serta e. Gunakan sabun
penatalaksanaannya antimikroba untuk
c. Menunjukkan cuci tangan
kemampuan untuk f. Cuci tangan setiap
mencegah sebelum dan sesudah
timbulnya infeksi tindakan keperawatan
d. Jumlah leukosit g. Gunakan baju, sarung
dalam batas normal tangan sebagai alat
Menunjukkan perilaku penlindung
hidup sehat
h. Pertahankan
lingkunan aseptic
selama pemasangan
alat
i. Ganti letak IV perifer
dan line central dan
dressing sesuai
dengan petunjuk
umum
j. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
k. Tingkatkan intake
nutrisi
l. Berikan terapi
antibiotic bila perlu
Infection protection
a. Monitor tanda dan
gejala infeksi
sistemik dan local
b. Monitor hitung
granulosit, WBC
c. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik
aspesis pada pasien
yang beresiko
f. Pertahankan teknik
isolasi k/p
g. Berikan perawatan
kulit pada area
epidema
h. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
i. Terhadap kemerahan,
panas, dan drainase
j. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
k. Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
l. Dorong masukan
cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien
untuk minum
antibiotic sesuai resep
o. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
p. Ajarkan cara
menghindari infeksi
q. Laporkan kecurigaan
infeksi
Laporkan kultur positif
DAFTAR PUSTAKA

Lesmana L.: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384.
Price, Sylvia Anderston. Patofisiologi Konsep Klinis Preose-Proses Penyakit. Jilid 1.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994. Schwartz S, Shires G, Spencer F.
Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-579
NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC
NANDA. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan NANDA
Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 3. Yogyakarta: Mediaction

Anda mungkin juga menyukai