Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 25 KEDOKTERAN KOMUNITAS


SKENARIO 1
“KASUS MALARIA DI INDONESIA MASIH TINGGI”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 14
1. ALIFIANA JATININGRUM (G0011012)
2. ARAFI AFRA LINDA P (G0011032)
3. CHRYSTINA YURITA P (G0011060)
4. GABRIELLA DIANDRA N (G0011098)
5. MIFTAH NURIZZAHID P (G0011138)
6. RIRIS ARIZKA W K (G0011176)
7. SRI RETNOWATI (G0011200)
8. ARIFA (G0011036)
9. LUTHFI SAIFUL ARIF (G0011128)
10. RIZAL NUR ROHMAN (G0011180)
11. SHEILLA ELFIRA SAN P (G0011196)

PEMBIMBING :
SLAMET RIYADI, dr., M.Kes.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian
Kesehatan Andi Muhadir mengatakan prevalensi penyakit malaria di
Indonesia masih tinggi, mencapai 417.819 kasus positif pada 2012. Andi
mengatakan saat ini 70 persen kasus melaria terdapat di wilayah Indonesia
Timur, terutama di antaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara,
Sulawesi dan Nusa Tenggara. Wilayah endemik malaria di Indonesia
Timur, ujar Andi, tersebar di 84 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk
berisiko 16 juta orang. Andi menjelaskan faktor geografis yang sulit
dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan
beberapa penyebab sulitnya pengendalian malaria di wilayah itu. Untuk
itu, menurut Andi, pihaknya terus melakukan terobosan untuk mengatasi
malaria di wilayah tersebut, diantaranya dengan melakukan pemeriksaan
darah massal dan membagikan kelambu berinsektisida kepada masyarakat.
Selain itu, pihaknya juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan
pembentukan pos malaria desa yang jumlahnya kini mencapai 1.325 pos,
ujar Andi.
“Jadi, kalau dulu kita hanya menunggu penderitanya di puskesmas,
sekarang kita aktif surveillance dan kemudian kita langsung layani dan
berikan pengobatan. Perlu dicatat obatnya sendiri gratis, jadi tidak ada
persoalan. Jadi kita akan melakukan pemeriksaan seluruhnya,” ujarnya di
Kementerian Kesehatan, Selasa (23/4). “Yang kedua, kita kampanyekan ke
semua masyarakat yang masih ada penularan harus menggunakan
kelambu.”
Satu-satunya daerah bebas malaria di Indonesia adalah Kepulauan
Seribu. Pada peringatan Hari Malaria Sedunia yang jatuh pada tanggal 25
April ini, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi memberikan sertifikat bebas
malaria untuk Kepulauan Seribu di Balai Kartini, Jakarta. Syarat sebuah
daerah bebas malaria adalah Annual Parasite Incident (API), atau insiden
parasit tahunan, di bawah satu per 1.000 penduduk dan tidak terdapat
kasus malaria pada penduduk lokal selama tiga tahun berturut-turut.
Kepulauan Seribu pada 2001 menghadapi kejadian luar biasa
(KLB) malaria. Saat itu tercatat 427 jumlah kasus malaria positif dan 10
persen penderitanya meninggal. Akan tetapi KLB tersebut cepat dapat
ditangani dengan melakukan langkah investigasi dan pengendalian wabah.
Kepala Seksi Pengendalian Masalah Kesehatan Kepulauan Seribu,
Suhendro mengatakan, saat itu pihaknya melakukan surveillance migrasi
dengan penegakan diagnosa dan pengobatan. Hal ini untuk mencegah
adanya kembali malaria di Kepulauan Seribu, ujarnya. “Jadi kita pastikan
dulu warga pulau sendiri yang baru pulang dari daerah endemis karena kan
mayoritas nelayan dan juga wisatawan yang dari daerah endemis. Kalau
wisatawan inap dan demam, maka pihak pemilik penginapan akan
melaporkan ke dinas kesehatan setempat lalu dinas kesehatan akan
langsung mengambil sampel darahnya untuk diperiksa, “ujarnya.
Pemerintah menargetkan Indonesia bebas malaria pada 2030.
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah
manusia yang ditularkan oleh nyamuk malaria betina.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa prevalensi penyakit malaria di Indonesia masih tinggi?
2. Mengapa Indonesia Timur menjadi wilayah endemik malaria?
Bagaimana mengatasinya?
3. Apa macam-macam tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi penyakit?
4. Bagaimana bentuk pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan
pos malaria desa?
5. Apa kategori Kejadian Luar Biasa (KLB)?
6. Apa tindakan yang dilakukan untuk mengatasi KLB?
7. Bagaimana melakukan surveillance aktif dan surveillance migrasi?
Mengapa dilakukan?
8. Bagaimana riwayat alamiah penyakit malaria dan tindakan
pencegahannya?
9. Apa itu trias epidemiologi?

C. Tujuan
1. Mengetahui prevalensi penyakit malaria di Indonesia
2. Menegtahui cara mengatasi endemik malaria di Indonesia
3. Mengetahui macam-macam tindakan pencegahan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi penyakit
4. Mengetahui bentuk pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan
pos malaria desa.
5. Mengetahui kategori Kejadian Luar Biasa (KLB)
6. Mengetahui tindakan yang dilakukan untuk mengatasi KLB
7. Mengetahui cara melakukan surveillance aktif dan surveillance
migrasi dan manfaatnya
8. Mengetahui riwayat alamiah penyakit malaria dan tindakan
pencegahannya
9. Mengetahui trias epidemiologi

D. Manfaat
1. Mahasiwa mampu menjelaskan prevalensi penyakit malaria di
Indonesia
2. Mahasiwa mampu menjelaskan cara mengatasi endemik malaria di
Indonesia
3. Mahasiwa mampu menjelaskan macam-macam tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit
4. Mahasiwa mampu menjelaskan bentuk pemberdayaan masyarakat
dengan pembentukan pos malaria desa.
5. Mahasiwa mampu menjelaskan kategori Kejadian Luar Biasa (KLB)
6. Mahasiwa mampu menjelaskan tindakan yang dilakukan untuk
mengatasi KLB
7. Mahasiwa mampu menjelaskan cara melakukan surveillance aktif dan
surveillance migrasi dan manfaatnya
8. Mahasiwa mampu menjelaskan riwayat alamiah penyakit malaria dan
tindakan pencegahannya
9. Mahasiwa mampu menjelaskan trias epidemiologi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Istilah
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan
distribusi (penyebaran) serta determinan masalah kesehatan pada
sekelompok orang/masyarakat. Berikut merupakan istilah yang sering
digunakan dalam epidemiologi:
1. Epidemi
Wabah atau epidemi adalah istilah umum untuk menyebut kejadian
tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang,
maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut. Epidemi
dipelajari dalam epidemiologi. Dalam epidemiologi, epidemi berasal
dari bahasa Yunani yaitu “epi” berarti pada dan “demos” berarti
rakyat. Dengan kata lain, epidemi adalah wabah yang terjadi secara
lebih cepat daripada yang diduga. Jumlah kasus baru penyakit di
dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu disebut incide
rate (laju timbulnya penyakit).
Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia, pengertian wabah
dapat dikatakan sama dengan epidemi, yaitu “kejadian berjangkitnya
suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.”
2. Endemi
Endemi adalah penyakit yang umum terjadi pada laju konstan
namun cukup tinggi pada suatu populasi. Berasal dari bahasa Yunani
“en” yang artinya di dalam dan “demos” yang artinya rakyat. Terjadi
pada suatu populasi dan hanya berlangsung di dalam populasi
tersebut tanpa adanya pengaruh dari luar.
3. Pandemi
Pandemi atau epidemi global atau wabah global adalah kondisi
dimana terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang dalam
daerah geografi yang luas. Berasal dari bahasa Yunani “pan” yang
artinya semua dan “demos” yang artinya rakyat. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), suatu pandemi dikatakan terjadi bila
ketiga syarat berikut telah terpenuhi :
a. Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal baru pada
populasi bersangkutan,
b. Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan
sakit serius,
c. Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan
berkelanjutan pada manusia.
Suatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai
pandemik hanya karena menewaskan banyak orang. Sebagai contoh,
kelas penyakit yang dikenal sebagai kanker menimbulkan angka
kematian yang tinggi namun tidak digolongkan sebagai pandemi
karena tidak ditularkan.
4. Insidensi
Insidensi adalah gambaran tentang frekuensi penderita baru suatu
penyakit yang ditemukan pada suatu waktu tertentu di suatu
kelompok masyarakat. Angka insidensi (Insiden rate) adalah jumlah
kasus baru penyakit tertentu yang dilaporkan pada periode waktu dan
tempat tertentu dibagi dengan jumlah penduduk dimana penyakit
tersebut berjangkit. Biasanya dinyatakan dalam jumlah kasus per
1000 kasus atau per 100.000 penduduk per tahun.
5. Prevalensi
Prevalensi adalah gambaran tentang frekuensi penderita lama dan
baru yang ditemukan dalam jangka waktu tertentu di sekelompok
masyarakat tertentu. Angka prevalensi adalah jumlah keseluruhan
orang yang sakit yang menggambarkan kondisi tertentu yang
menimpa sekelompok penduduk tertentu pada titik waktu tertentu
(Point prevalence) atau periode waktu tertentu (Period prevalence),
tanpa melihat kapan penyakit itu dimulai dibagi dengan jumlah
penduduk pada titik waktu dan periode waktu tertentu.

B. Trias Epidemiologi
Dalam epidemiologi selalu ada 3 faktor yang diselidiki : Host
(umumnya manusia), Agent (penyebab penyakit) dan Environment
(lingkungan).
Ditinjau dari sudut ekologis ada tiga faktor yang dapat
menimbulkan suatu kecacatan, kesakitan, ketidakmampuan dan
kematian yang disebut sebagai trias epidemiologi yaitu agent penyakit,
manusia dan lingkungan. Dalam keadaan normal terjadi suatu
keseimbangan yang dinamis di antara tiga komponen ini atau dengan
kata lain disebut sehat. Pada suatu keadaan terjadinya suatu gangguan
pada keseimbangan dinamis ini, misalnya akibat menurunnya kualitas
lingkungan hidup sampai pada tingkat tertentu maka akan memudahkan
agen penyakit masuk ke dalam tubuh manusia dan keadaan disebut sakit
(Chandra, 2009).
1. Konsep agen penyakit
Agen penyakit dapat berupa benda hidup atau mati dan faktor
mekanis, namun kadang kadang untuk penyakit tertentu,
penyebabnya tidak diketahui seperti pada penyakit ulkus peptikum,
penyakit jantung koroner dan lain-lain. Agen penyakit dapat di
klasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu:
a. Agen biologi: Bakteri, virus, riketsia, protozoa, metazoa
b. Agen nutrisi: Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan
lainnya.
c. Agen fisik: Panas, radiasi, kelembaban, dingin, tekanan, cahaya,
dan kebisingan.
d. Agen kimiawi: Dapat bersifat endogen seperti: asidosis, diabetes
(hiperglikemia), uremia dan bersifat eksogen seperti alergen,
debu, gas, debu dan lainnya.
e. Agen mekanis: Gesekan, benturan, pukulan yang dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan tubuh host (pejamu).
2. Konsep Host (pejamu)
Faktor manusia sangat komplek dalam proses terjadinya penyakit
dan tergantung pada karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing
individu antara lain:
a. Umur
Menyebabkan adanya perbedaan penyakit yang diderita seperti
penyakit campak pada anak-anak, penyakit kanker pada usia
pertengahan dan penyakit arteroklerosis pada usia lanjut.
b. Jenis kelamin
Frekuensi penyakit pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada
wanita dan penyakit tertentu seperti penyakit pada kehamilan
serta persalinan hanya terjadi pada wanita sebagaimana halnya
penyakit hipertrofi prostat hanya di jumpai pada laki-laki.
c. Ras
Hubungan antara ras dan penyakit tergantung pada tradisi, adat
istiadat dan perkembangan kebudayaan. Terdapat penyakit
tertentu yang hanya di jumpai pada ras tertentu seperti sicle cell
anemia pada ras negro.
d. Genetik
Ada penyakit tertentu yang diturunkan secara herediter seperti
mongolisme, buta warna, hemofilia dan lain-lain.
e. Pekerjaan
Status pekerjaan mempunyai hubungan erat dengan penyakit
akibat pekerjaan seperti: kecelakan kerja, keracunan, silikosis,
asbestosis dan lain lain.
f. Status nutrisi
Gizi buruk mempermudah seseorang menderita penyakit infeksi
seperti TBC dan kelainan gizi seperti obesitas, kolesterol tinggi
dan lainnya.
g. Status kekebalan
Reaksi tubuh pada penyakit tergantung pada status kekebalan
yang dimiliki sebelumnya seperti kekebalan terhadap penyakit
virus yang tahan lama dan seumur hidup.
h. Adat istiadat
Ada beberapa adat istiadat yang dapat menimbulkan penyakit
seperti kebiasaan makan ikan mentah dapat menyebabkan
penyakit cacing hati.
i. Gaya hidup
Kebiasaan minum alkohol, narkoba, merokok dapat
menimbulkan gangguan pada kesehatan.
j. Psikis
Faktor kejiwaan seperti stres, emosional dapat menyebabkan
penyakit hipertensi, ulkus peptikum, depresi, insomnia.
3. Konsep Environment
Lingkungan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian
yaitu lingkungan internal berupa keadaan yang dinamis dan
seimbang yang disebut hemostatis. Dan lingkungan hidup eksternal
di luar tubuh manusia. Lingkungan hidup eksternal terdiri dari tiga
komponen yaitu:
a. Lingkungan fisik
Bersifat abiotik atau benda mati seperti air, tanah, udara, cuaca,
makanan, rumah, panas dan lain lain. Lingkungan fisik ini
berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan
masa. serta memegang peran penting dalam proses terjadinya
penyakit pada masyarakat, seperti kekurangan persediaan air
bersih terutama pada musim kemarau dapat menimbulkan
penyakit diare dimana-mana.
b. Lingkungan biologis
Bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh-tumbuhan,
hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain lain yang
dapat berfungsi sebagai agen penyakit, reservoir infeksi, vektor
penyakit atau penjamu.
Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat
dinamis dan bila terjadi ketidakseimbangan antara hubungan
manusia dengan lingkungan biologisnya maka manusia akan
menjadi sakit.
c. Lingkungan sosial
Berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kultur, agama, sikap, gaya
hidup, pekerjaan, kehidupan masyarakat. Bila manusia tidak
dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial, maka
akan terjadi konflik yang bersifat kejiwaan dan menimbulkan
penyakit psikosomatik, stres, depresi dan lainnya.
4. Interaksi agen penyakit, host dan environment
Dalam usaha pencegahan dan kontrol yang efektif terhadap
penyakit perlu dipelajari mekanisme yang terjadi antara agen, host
dan environment yaitu:
a. Interaksi antara agen penyakit dan lingkungan
Suatu keadaan terpengaruhnya agen penyakit secara langsung
oleh lingkungan yang menguntungkan agen penyakit. Terjadi
pada saat prapatogenesis suatu penyakit, misalnya viabilitas
bakteri terhadap sinar matahari, stabilitas vitamin yang
terkandung dalam sayuran di dalam ruang pendingin dan
penguapan bahan kimia beracun oleh proses pemanasan bumi
global.
b. Interaksi antara manusia dan lingkungan
Suatu keadaan terpengaruhnya manusia secara langsung oleh
lingkungan dan terjadi pada saat prapatogenesis suatu penyakit,
misalnya udara dingin, hujan dan kebiasaan membuat dan
menyediakan makanan.
c. Interaksi antara host dengan agen penyakit
Suatu keadaan agen penyakit yang menetap, berkembangbiak
dan dapat merangsang manusia untuk menimbulkan respon
berupa tanda-tanda dan gejala penyakit berupa demam,
perubahan fisiologi jaringan tubuh dan pembentukan kekebalan
atau mekanisme pertahanan tubuh lainnya. Interaksi yang terjadi
dapat berupa sembuh sempurna, kecacatan atau kematian.

Dalam kasus malaria pada skenario ini, trias epidemiologinya adalah:


a. Faktor Host
Penyakit malaria mempunyai keunikan karena ada dua macam host
yakni manusia sebagai host intermediate (di mana siklus aseksual
parasit terjadi) dan nyamuk anopheles betina sebagai host definitive
(tempat siklus seksual parasit berlangsung).
1) Manusia (Host Intermediate)
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap
orang dapat terkena malaria. Setiap orang rentan terhadap
penularan kecuali pada mereka yang mempunyai galur
genetika spesifik. Toleransi atau daya tahan terhadap
munculnya gejala klinis ditemukan pada penduduk dewasa
yang tinggal di daerah endemis di mana gigitan nyamuk
anopheles berlangsung bertahun-tahun. Faktor-faktor yang
berpengaruh pada manusia ialah:
a) Kekebalan / Imunitas
Kekebalan pada penyakit malaria dapat didefinisikan
sebagai adanya kemampuan tubuh manusia untuk
menghancurkan plasmodium yang masuk atau membatasi
perkembangbiakannya. Ada dua macam kekebalan, yaitu
kekebalan alamiah dan kekebalan yang didapat. Kekebalan
alamiah timbul tanpa memerlukan infeksi lebih dahulu.
Kekebalan yang didapat ada yang merupakan kekebalan
aktif sebagai akibat dari infeksi sebelumnya atau vaksinasi,
dan ada juga kekebalan pasif didapat melalui pemindahan
antibodi dari ibu kepada anak atau pemberian serum dari
seseorang yang kebal penyakit. Penelitian Karunaweera
dkk tahun 1998 di Srilanka, penderita malaria di daerah
endemis memiliki densitas parasit yang lebih rendah
(mean=0,06%) daripada yang tidak di daerah endemis
(mean=0.12%). Faktor imunitas berperan penting
menentukan beratnya infeksi. Hal tersebut dibuktikan pada
penduduk di daerah endemis. Pada penduduk di daerah
endemis ditemukan parasitemia berat namun asimtomatik,
sebaliknya pasien non-imun dari daerah non-endemis lebih
mudah mengalami malaria berat. Hal ini mungkin
dikarenakan pada individu di daerah endemis imun sudah
terbentuk antibodi protektif yang dapat membunuh parasit
atau menetralkan toksin parasit.
b) Umur dan Jenis Kelamin
Perbedaan angka kesakitan malaria pada laki-laki dan
wanita atau pada berbagai kelompok umur sebenarnya
disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti pekerjaan,
pendidikan, perumahan, migrasi penduduk, kekebalan dan
lain-lain. Penelitian Askling, dkk tahun 1997-2003 di
Swedia dengan desain penelitian kasus kontrol
menunjukkan bahwa wisatawan penderita malaria
kemungkinan 1,7 dan 4,8 kali adalah pria dan anak-anak
umur <1-6 tahun dibandingkan dengan wisatawan yang
tidak menderita malaria dengan nilai OR 1,7 (95% CI:1,3–
2,3) dan OR 4,8 (95% CI:1,5–14,8).
c) Status Gizi
Faktor nutrisi mungkin berperan terhadap malaria berat.
Menurut Nugroho dalam Harijanto, dkk (2009), malaria
berat sangat jarang ditemukan pada anak-anak malnutrisi.
Penelitian Nyakeriga tahun 2004 di Kenya dengan desain
penelitan kohort, diketahui bahwa insidens malaria klinis
secara signifikan lebih rendah pada anak-anak yang
menderita defisiensi zat besi dengan Relative Risk (RR)
0,7 (95% CI:0,51–0,99).26 Defisiensi besi, riboflavin,
para-amino-benzoic acid (PABA) mungkin mempunyai
efek protektif terhadap malaria berat, karena menghambat
pertumbuhan parasit.
2) Nyamuk (Host Definitive)
Penelitian Friaraiyatini dkk tahun 2005, spesies nyamuk
yang diidentifikasi berperan dalam penularan malaria di
Kabupaten Barito Selatan adalah Anopheles latifer (56,9 %)
mulai menggigit manusia mulai jam 18.00, Anopheles
maculatus (32,8 %) mulai menggigit manusia mulai jam 19.00,
dan Anopheles balabacensis (10,3 %) mulai menggigit
manusia jam 20.00 waktu setempat. Puncak aktivitas gigitan
nyamuk terjadi pada jam 22.00 waktu setempat.
a) Perilaku nyamuk.
Beberapa perilaku nyamuk yang penting, yaitu tempat
hinggap atau istirahat (di luar atau dalam rumah), tempat
menggigit (di luar atau dalam rumah), objek yang digigit
(manusia atau manusia). Nyamuk anopheles hanya
mengigit satu orang setiap kali mengisap darah, berbeda
dengan nyamuk aedes yang bisa menggigit banyak orang
saat mengisap darah.
b) Umur nyamuk (longevity)
Diperlukan waktu untuk perkembangbiakan gametosit
dalam tubuh nyamuk menjadi sporozoit yakni bentuk
parasit yang siap menginfeksi manusia sehat. Apabila umur
nyamuk lebih pendek dari proses sporogoni, yakni replikasi
parasit dalam tubuh nyamuk (sekitar 5 hingga 10 hari),
maka dapat dipastikan nyamuk tersebut tidak dapat
menjadi vektor.
c) Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit
Nyamuk yang terlalu banyak parasit dalam perutnya tentu
bisa melebihi kapasitas perut nyamuk itu sendiri. Perut bisa
meletus dan mati karenanya.
d) Frekuensi menggigit manusia
Semakin sering seekor nyamuk yang membawa sporozoit
dalam kelenjar ludahnya, semakin besar kemungkinan
nyamuk berperan sebagai vektor penular penyakit malaria.
e) Siklus gonotrofik
Waktu yang diperlukan untuk matangnya telur sebagai
indikator untuk mengukur interval menggigit nyamuk pada
objek yang digigit (manusia).
b. Faktor Agent
Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia family
plasmodiidae dan ordo coccidiidae. Sampai saat ini di Indonesia
dikenal 4 macam parasit malaria yaitu:
1) Plasmodium vivax
2) Plasmodium malariae
3) Plasmodium ovale
4) Plasmodium falciparum.
c. Faktor Environment
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan di mana
manusia dan nyamuk berada, lingkungan tersebut terbagi atas
lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan biologik dan
lingkungan sosial budaya.
1) Lingkungan fisik meliputi :
a) Suhu udara, sangat mempengaruhi panjang pendeknya
siklus sporogoni atau masa inkubasi ekstrinsik. Makin
tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa
inkubasi ekstrinsik.
b) Kelembaban udara, kelembaban yang rendah
memperpendek umur nyamuk.
c) Hujan, hujan yang diselingi oleh panas akan
memperbesar kemungkinan perkembangbiakan
anopheles.
d) Angin, jarak terbang nyamuk dapat diperpendek arau
diperpanjang tergantung kepada arah angin.
e) Sinar matahari, pengaruh sinar matahari terhadap
pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda.
f) Arus air, An. barbirostris menyukai tempat perindukan
dengan air yang statis atau mengalir sedikit, sedangkan
An. minimus menyukai aliran air cukup deras.
2) Lingkungan kimiawi, dari lingkungan ini yang baru
diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat
perindukan.
3) Lingkungan biologik, tumbuhan bakau, lumut, ganggang
dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena dapat
menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi
dari serangan makhluk hidup lain.
4) Lingkungan sosial budaya, kebiasaan untuk berada di luar
rumah sampai larut malam, di mana vektornya lebih
bersifat eksofilik (lebih suka hinggap/ istirahat di luar
rumah) dan eksofagik (lebih suka menggigit di luar rumah)
akan memperbesar jumlah gigitan nyamuk, penggunaan
kelambu, kawat kasa dan repellent akan mempengaruhi
angka kesakitan malaria dan pembukaan lahan dapat
menimbulkan tempat perindukan buatan manusia sendiri
(man made breeding places).

C. Riwayat Alamiah Penyakit


Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah
deskripsi tentang perjalanan waktu dan perkembangan penyakit pada
individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan agen kausal hingga
terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau kematian, tanpa
terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun terapetik (CDC,
2010c).
Riwayat alamiah penyakit merupakan salah satu elemen utama
epidemiologi deskriptif (Bhopal, 2002, dikutip Wikipedia, 2010).
Pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit sama pentingnya dengan
kausa penyakit untuk upaya pencegahan dan pengendalian penyakit.
Dengan mengetahui perilaku dan karakteristik masing-masing penyakit
maka bisa dikembangkan intervensi yang tepat untuk mengidentifikasi
maupun mengatasi problem penyakit tersebut (Gordis, 2000; Wikipedia,
2010). Gambar 1 menyajikan kerangka umum riwayat alamiah penyakit.
Gambar 1. Riwayat Alamiah Penyakit
Perjalanan penyakit dimulai dengan terpaparnya individu sebagai
penjamu yang rentan (suseptibel) oleh agen kausal. Paparan (exposure)
adalah kontak atau kedekatan (proximity) dengan sumber agen penyakit.
Konsep paparan berlaku untuk penyakit infeksi maupun non-infeksi.
Contoh, paparan virus hepatitis B (HBV) dapat menginduksi terjadinya
hepatitis B, paparan stres terus-menerus dapat menginduksi terjadinya
neurosis, paparan radiasi menginduksi terjadinya mutasi DNA dan
menyebabkan kanker, dan sebagainya. Arti “induksi” itu sendiri
merupakan aksi yang mempengaruhi terjadinya tahap awal suatu hasil,
dalam hal ini mempengaruhi awal terjadinya proses patologis. Jika
terdapat tempat penempelan (attachment) dan jalan masuk sel (cell entry)
yang tepat maka paparan agen infeksi dapat menyebabkan invasi agen
infeksi dan terjadi infeksi. Agen infeksi melakukan multiplikasi yang
mendorong terjadinya proses perubahan patologis, tanpa penjamu
menyadarinya.
Periode waktu sejak infeksi hingga terdeteksinya infeksi melalui
tes laboratorium/skrining disebut “window period”. Dalam “window
period” individu telah terinfeksi, sehingga dapat menularkan penyakit,
meskipun infeksi tersebut belum terdeteksi oleh tes laboratorium.
Implikasinya, tes laboratorium hendaknya tidak dilakukan selama
“window period”, sebab infeksi tidak akan terdeteksi. Contoh, antibodi
HIV (human immuno-deficiency virus) hanya akan muncul 3 minggu
hingga 6 bulan setelah infeksi. Jika tes HIV dilakukan dalam “window
period”, maka sebagian besar orang tidak akan menunjukkan hasil positif,
sebab dalam tubuhnya belum diproduksi antibodi. Karena itu tes HIV
hendaknya ditunda hingga paling sedikit 12 minggu (3 bulan) sejak waktu
perkiraan paparan. Jika seorang telah terpapar oleh virus tetapi hasil tes
negatif, maka perlu dipertimbangkan tes ulang 6 bulan kemudian.
Selanjutnya berlangsung proses promosi pada tahap preklinis, yaitu
keadaan patologis yang ireversibel dan asimtomatis ditingkatkan
derajatnya menjadi keadaan dengan manifestasi klinis (Kleinbaum et al.,
1982; Rothman, 2002). Melalui proses promosi agen kausal akan
meningkatkan aktivitasnya, masuk dalam formasi tubuh, menyebabkan
transformasi sel atau disfungsi sel, sehingga penyakit menunjukkan tanda
dan gejala klinis. Dewasa ini telah dikembangkan sejumlah tes skrining
atau tes laboratorium untuk mendeteksi keberadaan tahap preklinis
penyakit (US Preventive Services Task Force, 2002; Barratt et al., 2002;
Champion dan Rawl, 2005).
Waktu sejak penyakit terdeteksi oleh skrining hingga timbul
manifestasi klinik, disebut “sojourn time”, atau detectable preclinical
period (Brookmeyer, 1990; Last, 2001; Barratt et al., 2002). Makin
panjang sojourn time, makin berguna melakukan skrining, sebab makin
panjang tenggang waktu untuk melakukan pengobatan dini (prompt
treatment) agar proses patologis tidak termanifestasi klinis. Kofaktor yang
mempercepat progresi menuju penyakit secara klinis pada sojourn time
(detectable preclinical period) disebut akselerator atau progresor
(Achenbach et al., 2005). Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen
kausal hingga timbulnya manifestasi klinis disebut masa inkubasi
(penyakit infeksi) atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit
belum menampakkan tanda dan gejala klinis, disebut penyakit subklinis
(asimtomatis). Masa inkubasi bisa berlangsung dalam hitungan detik pada
reaksi toksik atau hipersentivitas. Contoh, gejala kolera timbul beberapa
jam hingga 2-3 hari sejak paparan dengan Vibrio cholera yang toksigenik.
Pada penyakit kronis masa inkubasi (masa laten) bisa berlangsung sampai
beberapa dekade. Kovariat yang berperan dalam masa laten (masa
inkubasi), yakni faktor yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit
secara klinis, disebut faktor risiko. Sebaliknya, faktor yang menurunkan
risiko terjadinya penyakit secara klinis disebut faktor protektif.
Selanjutnya terjadi inisiasi penyakit klinis. Pada saat ini mulai
timbul tanda (sign) dan gejala (symptom) penyakit secara klinis, dan
penjamu yang mengalami manifestasi klinis disebut kasus klinis. Gejala
klinis paling awal disebut gejala prodromal. Selama tahap klinis,
manifestasi klinis akan diekspresikan hingga terjadi hasil akhir/resolusi
penyakit, baik sembuh, remisi, perubahan beratnya penyakit, komplikasi,
rekurens, relaps, sekuelae, disfungsi sisa, cacat, atau kematian. Periode
waktu untuk mengekspresikan penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir
penyakit disebut durasi penyakit. Kovariat yang mempengaruhi progresi
ke arah hasil akhir penyakit, disebut faktor prognostic (Kleinbaum et al.,
1982; Rothman, 2002). Penyakit penyerta yang mempengaruhi fungsi
individu, akibat penyakit, kelangsungan hidup, alias prognosis penyakit,
disebut ko-morbiditas (Mulholland, 2005). Contoh, TB dapat menjadi ko-
morbiditas HIV/AIDS yang meningkatkan risiko kematian karena AIDS
pada wanita dengan HIV/AIDS (Lopez-Gatell et al., 2007)
Selain pembagian di atas, ada yang membagi riwayat alamiah
penyakit menjadi empat fase, (1)fase rentan (2)fase subklinis (3)fase klinis
(4)fase penyembuhan, cacat dan kematian. Atau juga dibuat dalam tiga
tahap, yaitu : (1)prepatogenesis, (2)patogenesis dan (3)pascapatogenesis.
1. Prepatogenesis
Periode prepatogenesis adalah adanya interaksi awal antara faktor-
faktor host, agent, environment. Pada tahapan ini kondisi host masih
sehat. Namun, sudah terjadi interaksi antara host dan agent meskipun
agent belum masuk ke tubuh host tersebut. Jika ada perubahan pada
host, agent maupun environment seperti jika host lebih rentan dan
agent lebih virulen maka agent akan masuk ke host dan berubah
menjadi patogenesis. Artinya, pada fase ini penyakit belum
berkembang tapi kondisi yang melatarbelakangi telah ada. Fase rentan
termasuk ke dalam tahapan prepatogenesis.
Fase rentan adalah tahap berlangsungnya etiologis, dimana faktor
penyebab pertama untuk pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Di
sini, faktor penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi
telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan penyakit.
Contohnya kolesterol LDL (low Density Lipoprotein) yang tinggi
meningkatkan kemungkinan penyakit jantung koroner, kebiasaan
merokok dapat meningkatkan probabilitas kejadian kanker paru.
2. Patogenesis
Periode patogenesis adalah periode dimana telah dimulai terjadinya
kelainan atau gangguan pada tubuh manusia akibat interaksi antara
stimulus penyakit dengan manusia sampai terjadinya kesembuhan,
kematian, kelainan yang menetap dan cacat. Pada referensi yang lain
memisahkan proses kesembuhan, kematian, kelainan yang menetap
dan cacat dalam satu tahap yang disebut fase pascapatogenesis.
Pertama dikenal sebagai tahap inkubasi yaitu tahap dimana mulai
masuknya agent ke host, sampai timbul gejala sakit.Yang kedua adalah
tahap penyakit dini dimana sudah mulai timbul gejala penyakit dengan
tingkatan rendah. Ketiga adalah tahapan penyakit lanjut. Dalam tahap
ini penyakit ini telah berkembang pesat dan menyebabkan perubahan
pada patologis seseorang. Periode patogenesis dapat dibagi menjadi
fase subklinis, fase klinis dan fase penyembuhan.
a. Fase Subklinis
Fase ini disebut juga dengan pre-symptomatic, dimana
perubahan fa’ali atau sistem dalam tubuh manusia (proses
terjadinya sakit) telah terjadi, namun perubahan yang timbul
tidak cukup untuk menimbulkan keluhan sakit. Tapi apabila
dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat-alat
kesehatan seperti pap smear (alat yang mendeteksi adanya
kelainan pada serviks uterus), atau mammografi (alat yang
mendeteksi adanya kelainan pada payudara) maka akan
ditemukan kelainan pada tubuh mereka.
b. Fase Klinis
Pada fase ini perubahan-perubahan yang terjadi pada
jaringan tubuh telah cukup untuk memunculkan gejala-gejala
(symptomps) dan tanda-tanda (sign) penyakit. Fase ini dapat
dibagi menjadi fase akut dan kronis.
c. Fase Konvalensen
Merupakan tahap akhir dari fase klinis yang dapat berupa
fase konvalenses (penyembuhan) dan meninggal. Fase
konvalens dapat berkembang menjadi sembuh total, sembuh
dengan cacat atau gejala sisa (disabilitas atau sekuele) dan
penyakit menjadi kronis.
Disabilitas (kecacatan/ketidakmampuan) dapat terjadi
apabila terdapat penurunan fungsi sebagian atau keseluruhan
dari struktur/organ tubuh tertentu sehingga menurunkan fungsi
aktivitas seseorang secara keseluruhan. Disabiltas dapat
bersifat sementara (akut) kronis dan memetap.
Sekuele lebih cenderung kepada adanya defect/cacat pada
struktural jaringan shingga menurunkan fungsi jaringan,akan
tetapi tidak sampai mengganggu aktivitas seseorang.

D. Surveilans
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis,
dan analisis data secara terus-menerus dan sistematis yang kemudian
didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang
bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan
lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan
kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada
populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan
reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut
kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah
pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001). Kadang digunakan
istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat
maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab
menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk
mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi
dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public
health).
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa.
Surveilans dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu),
sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik. Dengan
mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-
perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya
dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-
langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat (Murti,
2013)
1. Tujuan Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang
masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat
dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan
dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans:
a. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit
b. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk
mendeteksi dini outbreak
c. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit
(disease burden) pada populasi
d. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu
perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program
kesehatan
e. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan
f. Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002;
JHU, 2002).
2. Jenis Surveilans
a. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan
memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan
penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam
kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya
isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit
yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina
merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan
aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar
oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama
masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).
b. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi
penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi
terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan
lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit,
bukan individu (Murti, 2013).
c. Surveilans Sindromik
Surveilans sindromik (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala)
penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik
mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual
maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis.
Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu
sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan
laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum
diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit (Murti,
2013).
d. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan
menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang
ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan
sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri
tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih
segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan
sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
e. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan
memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi
(negara/provinsi/kabupaten/kota) sebagai sebuah pelayanan publik
bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan
personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi
yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun
pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan
kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001,
2002; Sloan et al., 2006).
f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi
manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi
penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah
yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di
dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global
(pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang
terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi
kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi
batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak
pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul
kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang
baru muncul (new emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu
burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif
melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan
pertahanan keamanan dan ekonomi (DCP2, 2008).
3. Manajemen Surveilans
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1)fungsi inti dan (2)
fungsi pendukung. Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan
surveilans dan langkah-langkah intervensi kesehatan masyarakat.
Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data,
analisis data, konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-
balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan masyarakat mencakup
respons segera (epidemic type response) dan respons terencana
(management type response). Fungsi pendukung (support activities)
mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan
laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi (WHO, 2001;
McNabb et al., 2002).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi
kesehatan. Karena itu sifat dari masalah kesehatan masyarakat
menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai
contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut,
misalnya SARS, maka manajer program kesehatan perlu melakukan
intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu
sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini
dari klinik dan laboratorium (Murti, 2013).
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti
kebiasaan merokok, berubah dengan lebih lambat. Para manajer
program kesehatan hanya perlu memonitor perubahan-perubahan
sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem
surveilans yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis
mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau lima
tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa
diperoleh dari survei rumah tangga (Murti, 2013).
4. Pendekatan Surveilans
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis:
(1)Surveilans pasif dan (2)Surveilans aktif (Gordis, 2000). Surveilans
pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan
sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan
surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit
internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif
dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan
cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan
kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi
dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut,
instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk
kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi
dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit,
dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian,
disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus
indeks.
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif,
sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk
menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat
mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih
mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut
community surveilance. Dalam community surveilance, informasi
dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga
memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi
kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali
dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan
tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih
menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan
konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi
kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).
5. Surveilans Efektif
Karakteristik surveilans yang efektif dapat dilihat sebagai berikut
(Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002; JHU,
2006) :
a. Kecepatan
b. Akurasi
c. Standar, seragam, reliable, kontinu
d. Representatif dan lengkap
e. Sederhana, fleksibel, dan akseptabel
f. Penggunaan (uptake)

E. KLB dan Wabah


1. Wabah
Menurut Undang-Undang Wabah, 1969, wabah adalah peningkatan
kejadian kesakitan/kematian, yang meluas secara cepat baik dalam
jumlah kasus maupun luas daerah penyakit, dan dapat menimbulkan
malapetaka
2. KLB (Kejadian Luar Biasa)
a. Undang-Undang Wabah, 1969
Timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau
meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna
secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam
kurun waktu tertentu
b. Permenkes RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004
Timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian
yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu
Kriteria KLB (Keputusan Dirjen PPM No. 451/91) tentang
Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa:
a. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal
b. Peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 3 kurun
waktu berturut-turut menurut penyakitnya (jam, hari, minggu)
c. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu,
bulan, tahun)
d. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan
2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata
perbulan dalam tahun sebelumnya

Perbedaan definisi antara wabah dan KLB


Wabah harus mencakup:
a. Jumlah kasus yang besar
b. Daerah yang luas
c. Waktu yang lebih lama
d. Dampak yang ditimbulkan lebih berat

F. Langkah Investigasi KLB


Langkah pencegahan kasus dan pengendalian outbreak dapat dimulai
sedini mungkin (do early) setelah tersedia informasi yang memadai. Bila
investigasi outbreak telah memberikan fakta yang jelas mendukung
hipotesis tentang kausa outbreak, sumber agen infeksi, dan cara
transmisi yang menyebabkan outbreak, maka upaya pengendalian dapat
segera dimulai tanpa perlu menunggu pengujian hipotesis oleh studi
analitik yang lebih formal. Berikut ini adalah langkah-langkah
investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB):
1. Identifikasi outbreak
Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih
banyak daripada ekspektasi normal di di suatu area atau pada suatu
kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Informasi
tentang potensi outbreak biasanya datang dari sumber-sumber
masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien,
kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang
potensi outbreak bisa juga berasal dari petugas kesehatan, hasil
analisis data surveilans, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan
laboratorium, atau media lokal (surat kabar dan televisi). Hakikatnya
outbreak merupakan deviasi (penyimpangan) dari keadaan rata-rata
insidensi yang konstan dan melebihi ekspektasi normal karena itu
outbreak ditentukan dengan cara membandingkan jumlah kasus
sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan variasinya di masa lalu
(minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar deviasi yang masih berada
dalam “ekspektasi normal” bersifat arbitrer, tergantung dari tingkat
keseriusan dampak yang diakibatkan bagi kesehatan masyarakat di
masa yang lalu. Sebagai ancar-ancar kuantitatif, pembuat kebijakan
dapat menggunakan mean +3SD sebagai batas untuk menentukan
keadaan outbreak. Batas mean+/- 3SD lazim digunakan dalam
biostatistik untuk menentukan observasi ekstrim yang disebut outlier
(Duffy dan Jacobsen, 2001), jadi suatu kondisi yang sesuai dengan
definisi epidemi/outbreak. Sumber data kasus untuk menenetukan
terjadinya outbreak: (1)Catatan surveilans dinas kesehatan;
(2)Catatan morbiditas dan mortalitas di rumah sakit; (3)Catatan
morbiditas danmortalitas di puskesmas; (4)Catatan praktik dokter,
bidan, perawat; (5)Catatan morbiditas upaya kesehatan sekolah
(UKS).
2. Investigasi kasus
Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan
telah didiagnosisdengan benar (valid). Peneliti outbreak
mendefinisikan kasus dengan menggunakan seperangkat kriteria
sebagai berikut: (1)Kriteria klinis (gejala, tanda, onset); (2)Kriteria
epidemiologis (karakteristik orang yang terkena, tempat dan waktu
terjadinya outbreak); (3)Kriteria laboratorium (hasil kultur dan waktu
pemeriksaan) (Bres, 1986). Definisi kasus harus valid (benar), baku,
dan sebaiknya seragam. Definisi kasus yang baku dan seragam
penting untuk memastikan bahwa setiap kasus didiagnosis dengan
cara yang sama, konsisten, tidak tergantung pada siapa yang
mengidentifikasi kasus, maupun di mana dan kapan kasus tersebut
terjadi. Definisi kasus yang baku memungkinkan dilakukannya
perbandingan jumlah kasus penyakit yang terjadi di suatu waktu atau
tempat dengan jumlah kasus yang terjadi di waktu atau tempat
lainnya. Sebagai contoh, dengan definisi kasus baku dapat
dibandingkan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang
terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada
Februari 2010 di kota itu. Demikian pula dapat dibandingkan jumlah
kasus DBD yang terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan
jumlah kasus pada Januari 2010 di Jakarta. Dengan definisi kasus
standar, maka jika ditemukan perbedaan jumlah kasus maka
merupakan perbedaan yang sesungguhnya, bukan karena perbedaan
dalam mendiagnosis. Penggunaan definisi kasus seperti yang
direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan
pertukaran informasi tentang kejadian penyakit-penyakit secara
internasional. Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu
yang diduga mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu
klasifikasi kasus. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis,
kasus dapat diklasifikasikan menjadi: (1)kasus suspek (suspected
case, syndromic case), (2)kasus mungkin (probable case,
presumptive case), dan (3)kasus pasti (confirmed case, definite case)
3. Investigasi kausa (wawancara kasus)
Intinya, tujuan wawancara dengan kasus dan narasumber terkait
kasus adalah untuk menemukan kausa outbreak. Dengan
menggunakan kuesioner dan formulir baku, peneliti mengunjungi
pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan wawancara dan
dokumentasi untuk memperoleh informasi berikut: (1)Identitas diri
(nama, alamat, nomer telepon jika ada); (2)Demografis (umur, seks,
ras, pekerjaan); (3)Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa;
(4)Faktor-faktor risiko; (5)Gejala klinis (verifikasi berdasarkan
definisi kasus, catat tanggal onset gejalauntuk membuat kurva
epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit);
(6)Pelapor(berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan
balik hasil investigasi). Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan
terhadap kasus yang meragukan atau tidak didiagnosis dengan benar
(misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium). Informasi
tentang masing-masing kasus yang diwawancara/ ditemui
dimasukkan dalam “tabel outbreak” (line listing). Dalam tabel
outbreak, variabel-variabel tentang informasi kasus diletakkan pada
kolom, sedang urutan kasus diletakkan pada baris. Ikhtisar informasi
tentang kasus yang dicatat dalam tabel outbreak berguna untuk
merumuskan teori/hipotesis tentang sumber, kausa, dan cara
penyebaran penyakit.
4. Melakukan pencegahan dan pengendalian
Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di
pelupuk mata tentang kausa, sumber, dancara transmisi, maka
langkah pengendalian hendaknya segera dilakukan, tidak perlu
melakukan studi analitik yang lebih formal. Prinsipnya, makin cepat
respons pengendalian, makin besar peluang keberhasilan
pengendalian. Makin lambat repons pengendalian, makin sulit upaya
pengendalian, makin kecil peluang keberhasilan pengendalian,
makin sedikit kasus baru yang bisa dicegah. Prinsip intervensi untuk
menghentikan outbreak sebagai berikut: (1)Mengeliminasi sumber
patogen; (2)Memblokade proses transmisi; (3)Mengeliminasi
kerentanan (Greenberg et al., 2005;Aragon et al., 2007). Sedang
eliminasi sumber patogen mencakup: (1)Eliminasi atau inaktivasi
patogen; (2)Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source
reduction); (3)Pengurangan kontakantara penjamu rentan dan orang
atau binatang terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus, dan
sebagainya); (4)Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber
(higiene perorangan, memasak daging dengan benar, dan
sebagainya); (5)Pengobatan kasus. Blokade proses transmisi
mencakup: (1)Penggunaan peralatan pelindung
perseorangan(masker, kacamata, jas, sarung tangan, respirator);
(2)Disinfeksi/sinar ultraviolet; (3)Pertukaran udara/ dilusi;
(4)Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara;
(5)Pengendalian vektor (penyemprotan insektisida nyamuk
Anopheles, pengasapan nyamuk Aedes aegypti, penggunaan
kelambu berinsektisida, larvasida, dan sebagainya). Eliminasi
kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup: (1) Vaksinasi;
(2) Pengobatan (profilaksis, presumtif); (3) Isolasi orang-orang atau
komunitas tak terpapar (reverse isolation); (4)Penjagaan jarak sosial
(meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).
5. Melakukan studi analitik (jika perlu)
Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan
kepada teka-teki menyangkut sejumlah kandidat agen penyebab.
Fakta yang diperoleh dari investigasi kasus dan investigasi kausa
kadang belum memadai untuk mengungkapkan sumber dan kausa
outbreak. Jika situasi itu yang terjadi, maka peneliti perlu melakukan
studi analitik yang lebih formal. Desain yang digunakan
lazimnyaadalah studi kasus kontrol atau studi kohor retrospektif.
Seperti desain studi epidemiologi analitik lainnya, studi analitik
untuk investigasi outbreak mencakup: (1)pertanyaan penelitian;
(2)signifikansi penelitian; (3)desain studi; (4)subjek; (5)variabel-
variabel; (6)pendekatan analisis data; (7)interpretasi dan kesimpulan.
Contoh, 75 orang menghadiri sebuah acara kenduri di sebuah desa.
Terdapat 5 jenis makanan dihidangkan. Esok harinya mulai
berjatuhan sejumlah kasus penyakit, sehingga disimpulkan terjadi
outbreak karena makanan terkontaminasi (foodborne disease).
Karena sebagian besar kasus telah terjadi, maka peneliti melakukan
studi kohor retrospektif untuk menjawab pertanyaan tersebut. Data
yang dikumpulkan disajikan dalam.
6. Mengkomunikasikan temuan
Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan
kepada berbagai pihak pemangkukepentingan kesehatan masyarakat.
Dengan tingkat rincian yang bervariasi, pihak-pihak yang perlu
diberitahu tentang hasil penyelidikan outbreak mencakup pejabat
kesehatan masyarakat setempat, pejabat pembuat kebijakan dan
pengambil keputusan kesehatan, petugas fasilitas pelayanan
kesehatan, pemberi informasi peningkatan kasus, keluarga kasus,
tokoh masyarakat, dan media. Penyajian hasil investigasi dilakukan
secara lisan maupun tertulis (laporan awal dan laporan akhir).
Pejabat dinas kesehatan yang berwewenang hendaknya hadir pada
penyajian hasil investigasi outbreak. Temuan-temuan disampaikan
dengan bahasa yang jelas, objektif dan ilmiah, dengan kesimpulan
dan rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Peneliti
outbreak memberikan laporan tertulis dengan format yang lazim,
terdiri dari: (1)introduksi, (2)latar belakang, (3)metode, (4)hasil-
hasil, (5)pembahasan, (6)kesimpulan, dan (7)rekomendasi. Laporan
tersebut mencakup langkah pencegahan dan pengendalian, catatan
kinerja sistem kesehatan, dokumen untuk tujuan hukum, dokumen
berisi rujukan yang berguna jika terjadi situasi serupa di masa
mendatang.
7. Mengevaluasi dan meneruskan surveilans
Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten dan peneliti outbreak perlu melakukan evaluasi
kritis untuk mengidentifikasi berbagai kelemahan program maupun
defisiensi infrastruktur dalam sistem kesehatan. Evaluasi tersebut
memungkinkan dilakukannya perubahan-perubahan yang lebih
mendasar untuk memperkuat upaya program, sistem kesehatan,
termasuk surveilans itu sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan
identifikasi populasi-populasi yang terabaikan atau terpinggirkan,
kegagalan strategi intervensi, mutasi agen infeksi, ataupun peristiwa-
peristiwa yang terjadi di luar kelaziman dalam program kesehatan.
Evaluasi kritis terhadap kejadian outbreak memberi kesempatan
kepada penyelidik untuk mempelajari kekurangan-kekurangan dalam
investigasi outbreak yang telah dilakukan, dan kelemahan-kelemahan
dalam sistemkesehatan, untuk diperbaiki secara sistematis di masa
mendatang, sehingga dapat mencegah terulangnya outbreak.
G. Malaria di Indonesia
1. Malaria
Berdasarkan The World Malaria Report tahun 2011, melaporkan
bahwa setengah dari penduduk dunia berisiko terkena malaria. Hal ini
tentu saja berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia
yang dapat menimbulkan berbagai masalah seperti masalah sosial,
ekonomi bahkan berpengaruh terhadap ketahanan nasional. Untuk
mengatasi masalah malaria, dalam pertemuan WHA 60 tanggal 18
Mei 2007 menghasilkan komitmen global tentang Eliminasi Malaria
bagi setiap negara, adapun petunjuk pelaksanaan eliminasi malaria
tersebut telah dirumuskan oleh WHO dalam Global Malaria
Programme (GMP).
Di dalam Global Malaria Programme (GMP) menyatakan bahwa
malaria merupakan penyakit yang harus terus menerus dilakukan
pengamatan, monitoring dan evaluasi, serta diperlukan formulasi
kebijakan dan strategi yang tepat. GMP menargetkan 80% penduduk
terlindungi dari penyakit malaria dan mendapatkan pengobatan
Arthemisin based Combination Therapy (ACT). Di Indonesia, malaria
masih tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang
berbeda-beda dan dapat menyebar ke daerah dengan ketinggian 1.800
meter diatas permukaan laut, sehingga malaria di Indonesia masih
ditemukan sepanjang tahun (Harijanto, 2010). Menurut Sistem
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 terdapat sekitar 15 juta
penderita klinis malaria yang mengakibatkan 38.000 orang meninggal
dunia setiap tahunnya. Pada tahun 2007 di Indonesia terdapat 396
kabupaten yang endemis malaria dari 495 kabupaten yang ada dengan
perkiraan 45% penduduk bertempat tinggal di daerah yang berisiko
tertular malaria, adapun jumlah penderita malaria pada tahun 2007
sebanyak 1.774.845 kasus klinis malaria (Soedarto, 2011).
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2011 mencatat
Annual Parasite Incidence (API) malaria menurut laporan catatan
yang dikumpulkan dari 33 provinsi, Indonesia merupakan salah satu
negara yang masih terjadi transmisi malaria atau berisiko malaria
(Risk Malaria) dengan rincian angka API tahun 2007 (2,89/1.000
penduduk), tahun 2008 API (2,47/1.000 penduduk), dan tahun 2009
API (1,85/1.000 penduduk), sedangkan jumlah kasus dan angka
kesakitan malaria pada tahun 2010 tercacat jumlah penderita malaria
sebanyak 229.819 jiwa yang positif malaria dari 1.848.999 kasus
suspek malaria yang diperiksa sediaan darahnya, dengan Annual
Parasite Incidence 1,96/1.000 penduduk (Kemenkes RI, 2012).
Departemen Kesehatan RI tahun 2011 melaporkan sekitar 374
Kabupaten endemis malaria dengan jumlah kasus 256.592 yang positif
malaria dari 1.322.451 kasus suspek malaria yang diperiksa sediaan
darahnya, dengan Annual Parasite Insidence 1,75/1000 penduduk,
sedangkan angka kematian akibat malaria tahun 2011 mengalami
sedikit penurunan dibandingkan tahun 2010 dari 432 jiwa menjadi 388
jiwa. Penurunan angka Annual Parasite Incidence (API) dari
4,3/1.000 penduduk tahun 2005 menjadi 1,75/1.000 penduduk tahun
2011, hal ini menunjukkan Indonesia telah berhasil menekan Annual
Parasite Incidence 1,75/1.000 penduduk dan sejalan dengan target
Millenium Development Goals (MDGs) yang menarget pada tahun
2015 diperkirakan API menjadi 1/1.000 penduduk.
2. Kesulitan Pemberantasan Malaria di Indonesia
Malaria menjadi masalah yang sulit untuk ditanggani karena
berbagai alasan. Berikut beberapa alasan mengapa malaria sulit
dibasmi antara lain :
a. Parasit malaria dapat bertahan hidup pada dua tubuh makhluk
hidup, yaitu manusia sebagai tuan rumah yang menderita atau
inang dan nyamuk Anopheles betina, hewan yang
menyebarkan penyakit. Hal ini membuat pengendalian malaria
harus melibatkan tiga makhluk hidup, yaitu parasit itu sendiri,
manusia dan nyamuk penyebar parasit.
b. Parasit malaria memiliki kemampuan besar untuk melarikan diri
dari pertahanan manusia. Parasit malaria memliki sistem
kekebalan tubuh yang kuat dan dapat bertahan dalam tubuh inang
selama bertahun-tahun tanpa merugikan diri sendiri dan menyebar
melalui nyamuk. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa
vaksin terhadap malaria mungkin tidak efektif.
c. Obat antimalaria belum mampu mengendalikan parasit malaria
Obat antimalaria lini pertama yang murah dan aman, tidak begitu
efektif di berbagai belahan dunia. Sedangkan obat yang baru
masih sangat sedikit, mahal (untuk sebagian besar populasi yang
menderita malaria) dan lebih toksik (beracun atau tidak aman).
d. Host atau manusia selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain
Manusia sebagai host (tuan rumah yang menderita malaria) selalu
bergerak dan berpindah, membuat penyebaran malaria menyebar
dari orang satu ke orang lainnya, tempat ke tempat lainnya,
bahkan lintas benua.
e. Nyamuk sebagai pembawa parasit sangat banyak dan lebih
beradaptasi dari manusia. Jumlah nyamuk setidaknya 40 kali lipat
dibandingkan manusia. Mereka dapat hidup di banyak tempat
seperti genangan air dan di sekitar pemukiman manusia. Beberapa
nyamuk bahkan telah mengembangkan resistensi terhadap
insektisida (pembasmi serangga).

Selain itu, untuk di Indonesia sendiri, beberapa alasan sulitnya


memberantas malaria, yaitu:
a. Perusakan lingkungan yang menyebabkan meluasnya tempat
perindukan nyamuk
b. Perpindahan nyamuk untuk bekerja dari tempat non endemis ke
tempat endemis malaria
c. Adanya krisis ekonomi dan terbatasnya dana menyebabkan
kurangnya sumber daya (tenaga, sarana, biaya operasional dll)
d. Kemiskinan dan kurang nutrisi menyebabkan lemahnya sistem
imunitas
e. Adanya resistensi parasit terhadap obat antimalaria yang ada
(kloroquin)
f. Resistensi nyamuk terhadap insektisida.

3. Prevalensi Malaria di Indonesia


Prevalensi malaria atau angka kesakitan malaria adalah banyaknya
kasus (kasus baru maupun lama) malaria per 100.000 penduduk yang
diukur dengan Annual Parasite Incidence (API) dan Annual Malaria
Incidence (AMI). Digunakan untuk memonitor daerah yang
mengalami endemi tinggi malaria yang disinyalir meningkat pada dua
dekade terakhir karena sistem kesehatan yang buruk, meningkatnya
resistensi terhadap pemakaian obat dan insektisida, pola perubahan
iklim, gaya hidup, migrasi dan pemindahan penduduk.
Definisi operasional malaria klinis adalah kasus dengan gejala
malaria klinis (demam, menggigil dan berkeringat dan dapat disertai
sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal–pegal).
Malaria positif adalah kasus malaria yang didiagnosis (pemeriksaan
spesimen/sediaan darahnya) secara mikroskopist atau rapid diagnosis
test hasil positif mengandung plasmodium.
Penduduk berisiko adalah penduduk yang tinggal di daerah
berisiko terjadi penularan malaria atau endemis malaria pada satuan
wilayah terkecil seperti desa/dusun dalam kurun waktu satu tahun.
Annual Parasite Incidence atau API (o/oo) adalah jumlah penderita
positif malaria per seribu penduduk. Annual Malaria Incidence atau
AMI (o/oo) adalah jumlah penderita malaria klinis per seribu
penduduk.
Rumus
Jumlah Malaria Positif di suatu wilayah
dalam kurun waktu tertentu
API o/oo
= —————————————————– x 1000
Jumlah penduduk Berisiko di wilayah yang sama

-
Jumlah Malaria Klinis di suatu wilayah
AMI o/oo dalam kurun waktu tertentu
= ——————————————————– x 1000
Jumlah Penduduk Berisiko di wilayah yang sama

API digunakan pada kasus malaria yang terdapat di pulau


Jawa dan Bali saja, sedangkan AMI digunakan untuk kasus malaria
selain di kedua pulau tersebut. Hal ini dilakukan sesuai dengan
kondisi pelayanan kesehatan di daerah setempat. Apabila tidak dapat
dilakukan tes darah maka menggunakan tanda-tanda klinis malaria
(AMI).
Angka kematian yang disebabkan oleh malaria adalah Jumlah
kematian/penderita meninggal karena malaria per 1000 atau 100.000
penduduk (berisiko) dalam satu tahun. Angka kematian malaria di
masyarakat sulit dideteksi karena tidak semua kejadian kematian
diketahui sebabnya. Hanya angka kematian yang dilaporkan ke sarana
kesehatan yang tercatat.
Rumus

Jumlah kematian tersangka malaria


Angka = ——————————————- x 1000
malaria Jumlah penduduk berisiko
pada kurun waktu 1 tahun

Sumber datanya dapat diperoleh dari catatan Program


Pemberantasan Penyakit Menular (P2.Malaria) di Puskesmas dan di
rumah sakit, Juga bisa didapatkan pada Program Pemberantasan
Penyakit Menular (P2.Malaria) di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
termasul juga Laporan KLB Malaria (Kemenkes R1, 2010).
4. Pemberantasan Malaria
Setelah diketahui rantai penularan parasit malaria (daur hidupnya)
maka cara pemberantasan malaria adalah dengan memutuskan rantai
penularan pada salah satu/lebih mata rantai dengan cara sebagai
berikut: memberantas vektor (nyamuk penular malaria); menemukan
dan mengobati penderita malaria, dan vaksinasi untuk melindungi
tubuh dari penularan malaria (Depkes RI, 1991).
5. Program Pemberantasan Malaria di Indonesia
Dengan terbatasnya sarana, biaya, tenaga yang ada, dan sulitnya
medan, maka Program Pemberantasan Malaria di Indonesia dalam
segi operasionalnya dibedakan:
a. Program Pemberantasan Malaria Jawa – Bali
b. Program Pemberantasan Malaria di Luar Jawa – Bali yang
dibedakan:
1) Daerah prioritas dilakukan penyemprotan dan pengobatan
2) Daerah non-prioritas dilakukan pengobatan saja (Depkes RI,
1991).
6. Pos Malaria Desa
Pos malaria desa adalah wadah pemberdayaan masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan malaria yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan. Tujuan
pembentukan pos malaria desa:
a. Tujuan umum
Menurunkan angka kematian/kesakitan malaria terutama di
daerah yang jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan
b. Tujuan khusus
Menampung seluruh kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
dalam penanggulangan malaria agar dapat terlaksana, terencana,
terarah, terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan sehingga
dapat memberi hasil optimal dalam penemuan dan pengobatan
penderita serta penularan malaria.
Syarat berdirinya pos malaria desa:
a. Desa/dusun yang endemis malaria tinggi
b. Daerah sulit memperoleh pelayanan kesehatan (puskesmas)
karena transportasi sulit
c. Diutamakan untuk masyarakat marginal (kurang mampu)

Pos malaria desa ini dikelola oleh kader. Kader yang telah
dipilih oleh masyarakat, memiliki tanggung jawab sebagai berikut :
Menemukan penderita baik yang dilakukan secara aktif maupun
pasif. Yang dimaksudkan dengan penemuan penderita secara aktif
yakni kader melakukan kegiatan kunjungan rumah untuk menemukan
penderita dengan gejala klinis malaria. Yang diharapkan disini adalah
kader menemukan penderita sebanyak-banyaknya dari kunjungan
rumah tersebut. Setelah ditemukan penderita, kader melakukan
kunjungan untuk mengetahui apakah penderita meminum obat secara
teratur atau tidak. Sedangkan penemuan penderita secara pasif yakni
kader menunggu penderita datang ke Posmaldes untuk berobat .
Selanjutnya, kader melakukan pemeriksaan klinis. Penderita
dengan gejala klinis seperti demam berkala, menggigil disertai sakit
kepala, pusing, mual dan muntah diberi obat anti malaria, yang
diminum setelah makan selama tiga hari. Pengobatan pencegahan
juga dilakukan kader kepada ibu hamil diatas 3 bulan dengan dosis
tunggal yakni dua tablet seminggu.
Kader juga melakukan rujukan penderita ke tempat pelayanan
terdekat baik Pustu, Puskesmas maupun Rumah Sakit. Penderita yang
dirujuk adalah penderita yang sudah minum obat sesuai petunjuk
selama tiga hari tetapi tidak ada perubahan. Gejala-gejala yang
dialami penderita rujukan adalah : kejang-kejang, tidak sadar,
mengigau, bicara salah, tidur terus, diam saja, tingkah laku berubah,
kuning pada mata, kencing warna teh tua, nafas cepat, panas tinggi,
pingsan, dan muntah terus menerus. Disamping itu penderita yang
dirujuk adalah ibu hamil dengan usia kehamilan kurang dari tiga
bulan.
Selain kegiatan pengobatan, kader juga memiliki fungsi
sebagai penyuluh malaria yakni memberikan penerangan atau
penjelasan tentang malaria kepada masyarakat baik yang dilakukan
dengan target perorangan maupun kelompok. Secara perorangan,
kader dapat melakukan penyuluhan pada saat penemuan dan
pengobatan kasus baik secara aktif maupun pasif dengan materi :
gejala klinis penyakit malaria, bagaimana minum obat yang benar,
penyebab malaria, cara penularan, pencegahan dan bahaya penyakit
malaria.
Penyuluhan kelompok biasanya dilakukan di tempat–tempat
umum seperti gereja, masjid, posyandu, sekolah, dan dalam kegiatan
PKK. Kegiatan penyuluhan ini bukan saja oleh kader tetapi juga bisa
oleh tokoh masyarakat dengan materi : gejala – gejala penyakit
malaria, cara minum obat yang benar, penyebab, cara penularan,
pencegahan dan bahaya malaria, manfaat Posmaldes bagi masyarakat,
pencegahan gigitan nyamuk, pemberantasan sarang nyamuk dengan
membersihkan lumpur pada genangan air, menebar ikan pemakan
jentik, mengalirkan genangan air, serta membersihkan semak – semak
di sekitar rumah.
Kegiatan lain yang juga menjadi tugas kader adalah
membantu petugas Puskesmas dalam pelaksanaan kegiatan
pemberantasan vektor malaria setelah dilakukan pemetaan dari
penemuan kasus. Pemberantasan vektor dilakukan berdasarkan
pertimbangan REESA .
Rasional yakni Lokasi kegiatan pemberantasan vektor yang
diusulkan memang terjadi penularan dan tingkat penularannya
memenuhi kriteria yang ditetapkan secara langsung dalam kegiatan
kerja bakti membersihkan tempat – tempat yang diduga merupakan
tempat perindukan vektor malaria setelah ada penemuan kasus.
Efektif yakni Dipilih salah satu metode/jenis kegiatan
pemberantasan vektor atau kombinasi kedua metode yang saling
menunjang, dan metode tersebut dianggap paling berhasil mencegah
atau menurunkan penularan. Pemilihan metode yang efektif perlu
didukung data epidemiologi, entomologi dan KAP masyarakat.
Efisien yakni Diantara beberapa metode kegiatan
pemberantasan vektor yang efektif harus dipilih metode yang
biayanya paling murah.
Sustainable yakni kegiatan pemberantasan vektor yang dipilih
harus dilaksanakan secara berkesinambungan sampai mencapai
tingkat penularan tertentu, dan hasil yang sudah dicapai harus dapat
dipertahankan dengan kegiatan yang lain yang biayanya lebih murah,
antara lain dengan penemuan dan pengobatan penderita.
Acceptable yakni kegiatan yang dilaksanakan harus dapat
diterima dan didukung oleh masyarakat setempat. (Upa dan Laure,
2007)
7. Pemberantasan Vektor
Usaha pemberantasan vektor meliputi: menghindari/mengurangi
gigitan nyamuk, membunuh jentik nyamuk,
menghilangkan/mengurangi tempat perindukan potensial.
Penyemprotan rumah dilakukan di Jawa – Bali dan di luar Jawa –
Bali hanya dilakukan di daerah prioritas yaitu: daerah transmigrasi,
daerah pembangunan ekonomi/pariwisata, daerah perbatasan, dan
daerah wabah.
8. Penemuan dan Pengobatan Penderita
Di daerah Jawa – Bali pencarian penderita dilakukan secara aktif
oleh petugas (Active Case Detection = ACD), dan secara pasif
(Passive Case Detection = PCD) mendatangi unit kesehatan,
sedangkan di derah di luar Jawa – Bali dilakukan secara pasif (PCD).
Di daerah Jawa – Bali pengobatan penderita dilakukan secara
pengobatan presumtif (klorokuin dosis tunggal satu kali), yaitu
bertujuan mencegah gejala klinik dan mencegah penularan selama
penderita menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Kemudian
dilakukan pengobatan radikal yang bertujuan untuk membasmi parasit
di dalam darah atau jaringan.
Sedangkan di luar Jawa – Bali pengobatan malaria klinis (demam
menggigil dan sakit kepala) diberikan untuk menekan gejala klinik.
Sebagai pengobatan profilaksis, diberikan kepada seseorang yang
memasuki daerah endemis satu minggu sebelum masuk, kemudian
setiap minggu selama tinggal di daerah itu dan dilanjutkan selama
empat minggu kemudian sesudah meninggalkan daerah tersebut
(Depkes RI, 1991).
9. Vaksinasi
Studi lapangan mengenai vaksin sudah dicoba pada binatang dan
juga manusia dengan berhasil. Namun tersedianya vaksin yang siap
pakai untuk program pemberantasan malaria masih memerlukan
beberapa waktu lagi (Depkes RI, 1991).
10. Pendidikan Pelatihan
Yang dimaksud dengan pendidikan dan pelatihan adalah
meningkatkan keterampilan profesional para petugas kesehatan.
Sedangkan untuk warga masyarakat terutama adalah penyuluhan
untuk meningkatkan pengetahuan dan peran sertanya dalam upaya
pemberantasan malaria.
11. Peningkatan Keterampilan Petugas
Berdasarkan pengamatan dari Seksi P2M Malaria Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah banyaknya kendala yang terjadi dalam
pemberantasan malaria disebabkan kurangnya tenaga berkualitas.
Untuk mengatasi hal tersebut, perlu ditingkatkan upaya penemuan
penderita melalui PCD dengan mengoptimalisasikan semua sarana
pelayanan kesehatan yang ada (Puskesmas, Puskesmas Pembantu,
Puskesmas Keliling, bidan desa, praktek swasta (P2M Malaria Jawa
Tengah, 1992).
Diperlukan peningkatan ketrampilan melalui penataran
pembinaan/supervisi agar dapat mempersiapkan tenaga yang
berkualitas dan berdisiplin tinggi dalam menjalankan tugasnya dengan
pelaporan tepat waktu guna mengantisipasi pengembangan program di
waktu mendatang dengan analisa epidemiologi yang baik. Selain itu
meningkatkan kemampuan dan sikap tanggap para petugas untuk
menemukan sedini mungkin gejala resistensi parasit di kalangan
masyarakat. Kekurangan tenaga dapat diatasi antara lain dengan
mengumpulkan tenaga para medis bidang lain yang ada untuk
kemudian diberi pendidikan tambahan dalam hal pemberantasan
malaria (P2M Malaria Jawa Tengah, 1992).
12. Penelitian dan Pengembangan
Tujuan peningkatan kemampuan penelitian dan pengembangan
diarahkan pada masalah: malaria klinis dan laboratorium, pengobatan
dan vaksin, pengendalian vektor, perilaku, lingkungan, epidemiologi,
dan penelitian lainnya. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan
antara lain mengenai:
a. Pengobatan penderita malaria resisten klorokuin dengan pemberian
klorokuin dosis tinggi
b. Penelitian pengobatan malaria serebral dengan deksametason dosis
tinggi
c. Kandang ternak sebagai zooprofilaksis untuk transmisi malaria
d. Pemberantasan vektor secara biologis
e. Penelitian penggunaan racun serangga baru
f. Peran serta masyarakat dalam penganggulangan penyakit malaria
di Jawa Tengah
g. Resistensi Plasmodium falciparum terhadap beberapa obat anti-
malaria di Indonesia (Hariyani, 1989; Hariyani & Arbani, 1991;
Siti-Sapardiyah et al., 1989; Depkes RI, 1990; Sekar-Tuti, 1992;
Nalim, 1985).
13. Pengendalian Vektor
Mengingat timbulnya resistensi nyamuk terhadap DDT maka
penggunaan insektisida jenis DDT sudah dihentikan karena
dampaknya yang berkepanjangan di alam (mencemari lingkungan),
kemudian diganti oleh insektisida jenis lain yang cepat terurai di alam.
Penggunaan insektisida dibedakan pada berbagai wilayah (pulau)
disesuaikan dengan keadan dan kondisi vektor setempat serta
mengantisipasi terjadinya resistensi vektor di kemudian hari.
Jenis insektisida yang dipakai dalam Program P2 Malaria untuk
penyemprotan rumah adalah:
a. Fentrothion 40 WP di daerah Jawa - Bali dan Sumatra, kecuali
Sabang, Batam, dan Bintan
b. Bendiocarb 80 WP untuk daerah Kalimantan, NTB, Sulawesi
(kecuali Sulawesi Utara), Sabang, Batam, dan Bintan
c. Sihalotrin 10 WP untuk daerah Sulawesi Utara, Maluku, Irian Jaya,
NTT, Jawa Barat, Nias.
BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario pertama blok kedokteran komunitas ini membahas


mengenai epidemiologi penyakit, dalam kasus ini dikhususkan kepada penyakit
malaria. Penyakit ini menjadi sebuah masalah di Indonesia terutama pada
Indonesia bagian timur, walaupun tidak memungkiri adanya wilayah endemik di
bagian barat Indonesia. Hal ini dapat terjadi akibat adanya berbagai faktor yang
melatarbelakanginya, baik dari sisi sosial ekonomi berupa kebiasaan serta kondisi
ekonomi masyarakat wilayah timur yang masih rendah, faktor demografi yaitu
kepadatan dan persebaran penduduk pada sebuah wilayah. Hal ini juga didukung
faktor geografi yang merupakan faktor lingkungan tempat berkembangnya
penyakit tersebut, yang dalam kasus ini dapat berupa wilayah Indonesia timur
yang masih berupa daerah pedalaman dan lokasinya yang berada di dataran
rendah.
Faktor-faktor penyebab terjadinya suatu penyakit serta persebarannya
dapat diketahui dengan dua jenis penelitian yaitu deskriptif dan analitik. Kedua
jenis penelitian ini akan memiliki perbedaan pada poin-poin penyusunnya serta
tujuan yang akan dicapai. Penelitian deskriptif akan berpoin pada lokasi, orang
dan waktu sehingga dapat disimpulkan penelitian ini akan berfokus pada
pencarian jumlah penyebaran penyakit tanpa memperdulikan hubungan sebab
akibat. Kontras dengan penelitian deskriptif, penelitian analitik akan berfokus
pada penilaian hubungan sebab akibat sehingga poin penelitian yang akan dibahas
adalah host, agent, dan environment. Perbedaan ini membuat jenis rancangan
penelitian yang dilakukan pun akan berbeda. Penelitian deskriptif akan
menggunakan jenis rancangan penelitian cross sectional dan case control
sedangkan penelitian analitik akan menggunakan rancangan penelitian kohort.
Person Host

Time Place Agent Enviroment


Penelitian deskriptif Penelitian Analitik
Gambar 2. Trias epidemiologi

Adanya kedua jenis penelitian ini akan membantu pemerintah dalam


menentukan status suatu penyakit, baik menjadi endemik, epidemik atau sudah
berkembang menjadi kejadian luar biasa dan wabah. Status ini menjadi penting
karena tatalaksana yang diberikan akan berbeda. Rencana serta tindakan
penanganan yang tepat akan menyelamatkan banyak jiwa serta dapat menekan
persebaran penyakit. Selain itu pula dapat digunakan sebagai upaya eradikasi pada
tahap selanjutnya.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Wilayah Indonesia Timur masih menjadi wilayah endemis malaria
dikarenakan pola pikir masyarakat yang menganggap malaria adalah hal
yang wajar dan menjadi satu dengan keseharian mereka dan di wilayah
Indonesia Timur masih banyak lingkungan yang mendukung tempat
berkembang biaknya vector malaria.
2. Kejadian Luar Biasa adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi
ekspektasi normal secara mendadak pada suatu komunitas, di suatu
tempat terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota, atau institusi yang
tertutup (misalnya sekolah, tempat kerja, atau pesantren) pada suatu
periode waktu tertentu.
3. Kriteria suatu daerah dikatakan mengalami kejadian luar biasa adalah
jika ada unsur timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak
ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit terus-menerus
selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut penyakitnya, peningkatan
kejadian penyakit atau kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingakan
dengan periode sebelumnya dan jumlah penderita baru dalam satu bulan
menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan
angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
4. Proses terjadinya penyakit merupakan hasil interaksi antara agent (faktor
penyebab penyakit), host (penjamu), dan environment (lingkungan).

B. Saran
1. Sebaiknya diberikan penyuluhan mengenai bahaya penyakit malaria dan
pentingnya pencegahan malaria supaya kejadian luar biasa dapat
dihindari, khususnya di wilayah Indonesia Timur.
2. Pemerintah disarankan menyediakan dana, sarana dan prasarana yang
cukup agar dapat maksimal dalam mencegah terjadinya penyakit
menular, khususnya malaria.
3. Kepedulian dan keikutsertaan masyarakat turut memiliki peran penting
dalam kasus endemis malaria, sehingga sebaiknya masyarakat juga
memiliki kesadaran akan pentingnya pencegahan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Aragón T, Enanoria W, Reingold A (2007). Conducting an outbreak investigation


in 7 steps (or less). Center for Infectious Disease Preparedness, UC
Berkeley School of Public Health. http://www.idready.org.

Azwar Azrul (2001). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Binarupa

Bres P (1986). Public health action in emergencies caused by epidemics: a


practical guide. Geneva: World Health Organization.

C Noor (1997). Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: PT. Rineaka


Cipta

Chandra Budiman, (2009). Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics.
Disease Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-
surveillance.pdf

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Ditjen P2M & PLP, Malaria, No. 2
Pemberantasan Malaria, 1991: 3-6, 20.

Departemen Kesehatan RI, Ditjen P2M & PLP, Malaria. 1990. Pedoman Kegiatan
Kader No.13.

Duffy ME, Jacobsen BS (2001). Univariate descriptive statistics. In: Barbara


Hazard Munro (ed.):Statistical methods for health care research.
Philadelphia, PA: Lippincott.

Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.

Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.


GreenbergRS, Daniels SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical
epidemiology. New York: Lange Medical Books/ McGraw-Hill.

Harijanto PN dkk (2010). Malaria dari Molekuler ke Klinis. Edisi Kedua.


Jakarta: EGC.
Hariyani AW, Arbani PR. 1991. Forest Malaria in Indonesia, Proceedings of an
Informed Consultative Metting WHO. 18-22 Pebruari 1991. Forest Malaria
in South East Asia, New Delhi.

Hariyani AW. 1989. Penelitian Pemberantasan Malaria. Cermin Dunia


Kedokteran 54: 7-9

JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD:


The Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.

Kemenkes RI (2010). Profil Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan


2009. Jakarta: Dirjen P2M dan PLP.

Kemenkes RI (2012). Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.


Ditjen P2M dan PLP, Jakarta

Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University


Press, Inc.

McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-


Kulis V, Rodier G (2002). Conceptual framework of public health
surveillance and action and its application in health sector reform. BMC
Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral. Com

Murti (2013). Riwayat Alamiah Penyakit.


http://fk.uns.ac.id/static/materi/Riwayat_Alamiah_Penyakit_-
_Prof_Bhisma_Murti.pdf

Murti (2013). Surveilans Kesehatan Masyarakat.


http://fk.uns.ac.id/static/materi/Surveilans_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf

Nalim S. 1985. Pemberantasan Vektor Penyakit Malaria secara Biologik dengan


Menggunakan Ikan. Seminar Parasitologi Nasional IV, Yogyakarta, 1985:
485.

Sekar-Tuti. 1992. Resistensi Plasmodium Falciparum terhadap Beberapa Obat


Anti Malaria di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 76: 49-52.

Seksi P2M MAL Dinkes Prop. Dati Jateng 1992, (Laporan). Siti-Sapardiyah S,
Rukmono B, Wita P, Rochadi R, Aswini H. 1989. Peran Serta Masyarakat
dalam Penanggulanan Penyakit Malaria se-Jawa Tengah. Cermin Dunia
Kedokteran 54: 10-5

Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber


DJ, Howard K (2006). Syndromic surveillance for emerging infections in
office practice using billing data. Ann Fam Med 2006;4:351-358.

Soedarto (2011). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Sagung seto.

Upa EEP dan Laure E (2007). Studi tentang Peran Kader Pos Malaria Desa
(Posmaldes) di Kota Kupang. MKM; 3(2)

WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance.


Weekly epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer_____
(2002). Surveillance: slides. http://www.who.int

Wibowo TA (2010). Investigasi wabah.


http://www.kmpk.ugm.ac.id/images/Semester_1/Epidemiologi/Investigasi_
Wabah.pdf (Diakses pada 7 September 2014)

Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002).


Assessment of the infectious diseases surveillance system of the Republic of
Armenia: an example of surveillance in The Republics of the former Soviet
Union. BMC Public Health, 2:3 http://www.biomedcentral.com.

Anda mungkin juga menyukai