DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 14
1. ALIFIANA JATININGRUM (G0011012)
2. ARAFI AFRA LINDA P (G0011032)
3. CHRYSTINA YURITA P (G0011060)
4. GABRIELLA DIANDRA N (G0011098)
5. MIFTAH NURIZZAHID P (G0011138)
6. RIRIS ARIZKA W K (G0011176)
7. SRI RETNOWATI (G0011200)
8. ARIFA (G0011036)
9. LUTHFI SAIFUL ARIF (G0011128)
10. RIZAL NUR ROHMAN (G0011180)
11. SHEILLA ELFIRA SAN P (G0011196)
PEMBIMBING :
SLAMET RIYADI, dr., M.Kes.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian
Kesehatan Andi Muhadir mengatakan prevalensi penyakit malaria di
Indonesia masih tinggi, mencapai 417.819 kasus positif pada 2012. Andi
mengatakan saat ini 70 persen kasus melaria terdapat di wilayah Indonesia
Timur, terutama di antaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara,
Sulawesi dan Nusa Tenggara. Wilayah endemik malaria di Indonesia
Timur, ujar Andi, tersebar di 84 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk
berisiko 16 juta orang. Andi menjelaskan faktor geografis yang sulit
dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan
beberapa penyebab sulitnya pengendalian malaria di wilayah itu. Untuk
itu, menurut Andi, pihaknya terus melakukan terobosan untuk mengatasi
malaria di wilayah tersebut, diantaranya dengan melakukan pemeriksaan
darah massal dan membagikan kelambu berinsektisida kepada masyarakat.
Selain itu, pihaknya juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan
pembentukan pos malaria desa yang jumlahnya kini mencapai 1.325 pos,
ujar Andi.
“Jadi, kalau dulu kita hanya menunggu penderitanya di puskesmas,
sekarang kita aktif surveillance dan kemudian kita langsung layani dan
berikan pengobatan. Perlu dicatat obatnya sendiri gratis, jadi tidak ada
persoalan. Jadi kita akan melakukan pemeriksaan seluruhnya,” ujarnya di
Kementerian Kesehatan, Selasa (23/4). “Yang kedua, kita kampanyekan ke
semua masyarakat yang masih ada penularan harus menggunakan
kelambu.”
Satu-satunya daerah bebas malaria di Indonesia adalah Kepulauan
Seribu. Pada peringatan Hari Malaria Sedunia yang jatuh pada tanggal 25
April ini, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi memberikan sertifikat bebas
malaria untuk Kepulauan Seribu di Balai Kartini, Jakarta. Syarat sebuah
daerah bebas malaria adalah Annual Parasite Incident (API), atau insiden
parasit tahunan, di bawah satu per 1.000 penduduk dan tidak terdapat
kasus malaria pada penduduk lokal selama tiga tahun berturut-turut.
Kepulauan Seribu pada 2001 menghadapi kejadian luar biasa
(KLB) malaria. Saat itu tercatat 427 jumlah kasus malaria positif dan 10
persen penderitanya meninggal. Akan tetapi KLB tersebut cepat dapat
ditangani dengan melakukan langkah investigasi dan pengendalian wabah.
Kepala Seksi Pengendalian Masalah Kesehatan Kepulauan Seribu,
Suhendro mengatakan, saat itu pihaknya melakukan surveillance migrasi
dengan penegakan diagnosa dan pengobatan. Hal ini untuk mencegah
adanya kembali malaria di Kepulauan Seribu, ujarnya. “Jadi kita pastikan
dulu warga pulau sendiri yang baru pulang dari daerah endemis karena kan
mayoritas nelayan dan juga wisatawan yang dari daerah endemis. Kalau
wisatawan inap dan demam, maka pihak pemilik penginapan akan
melaporkan ke dinas kesehatan setempat lalu dinas kesehatan akan
langsung mengambil sampel darahnya untuk diperiksa, “ujarnya.
Pemerintah menargetkan Indonesia bebas malaria pada 2030.
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah
manusia yang ditularkan oleh nyamuk malaria betina.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa prevalensi penyakit malaria di Indonesia masih tinggi?
2. Mengapa Indonesia Timur menjadi wilayah endemik malaria?
Bagaimana mengatasinya?
3. Apa macam-macam tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi penyakit?
4. Bagaimana bentuk pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan
pos malaria desa?
5. Apa kategori Kejadian Luar Biasa (KLB)?
6. Apa tindakan yang dilakukan untuk mengatasi KLB?
7. Bagaimana melakukan surveillance aktif dan surveillance migrasi?
Mengapa dilakukan?
8. Bagaimana riwayat alamiah penyakit malaria dan tindakan
pencegahannya?
9. Apa itu trias epidemiologi?
C. Tujuan
1. Mengetahui prevalensi penyakit malaria di Indonesia
2. Menegtahui cara mengatasi endemik malaria di Indonesia
3. Mengetahui macam-macam tindakan pencegahan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi penyakit
4. Mengetahui bentuk pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan
pos malaria desa.
5. Mengetahui kategori Kejadian Luar Biasa (KLB)
6. Mengetahui tindakan yang dilakukan untuk mengatasi KLB
7. Mengetahui cara melakukan surveillance aktif dan surveillance
migrasi dan manfaatnya
8. Mengetahui riwayat alamiah penyakit malaria dan tindakan
pencegahannya
9. Mengetahui trias epidemiologi
D. Manfaat
1. Mahasiwa mampu menjelaskan prevalensi penyakit malaria di
Indonesia
2. Mahasiwa mampu menjelaskan cara mengatasi endemik malaria di
Indonesia
3. Mahasiwa mampu menjelaskan macam-macam tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit
4. Mahasiwa mampu menjelaskan bentuk pemberdayaan masyarakat
dengan pembentukan pos malaria desa.
5. Mahasiwa mampu menjelaskan kategori Kejadian Luar Biasa (KLB)
6. Mahasiwa mampu menjelaskan tindakan yang dilakukan untuk
mengatasi KLB
7. Mahasiwa mampu menjelaskan cara melakukan surveillance aktif dan
surveillance migrasi dan manfaatnya
8. Mahasiwa mampu menjelaskan riwayat alamiah penyakit malaria dan
tindakan pencegahannya
9. Mahasiwa mampu menjelaskan trias epidemiologi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Istilah
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan
distribusi (penyebaran) serta determinan masalah kesehatan pada
sekelompok orang/masyarakat. Berikut merupakan istilah yang sering
digunakan dalam epidemiologi:
1. Epidemi
Wabah atau epidemi adalah istilah umum untuk menyebut kejadian
tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang,
maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut. Epidemi
dipelajari dalam epidemiologi. Dalam epidemiologi, epidemi berasal
dari bahasa Yunani yaitu “epi” berarti pada dan “demos” berarti
rakyat. Dengan kata lain, epidemi adalah wabah yang terjadi secara
lebih cepat daripada yang diduga. Jumlah kasus baru penyakit di
dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu disebut incide
rate (laju timbulnya penyakit).
Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia, pengertian wabah
dapat dikatakan sama dengan epidemi, yaitu “kejadian berjangkitnya
suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.”
2. Endemi
Endemi adalah penyakit yang umum terjadi pada laju konstan
namun cukup tinggi pada suatu populasi. Berasal dari bahasa Yunani
“en” yang artinya di dalam dan “demos” yang artinya rakyat. Terjadi
pada suatu populasi dan hanya berlangsung di dalam populasi
tersebut tanpa adanya pengaruh dari luar.
3. Pandemi
Pandemi atau epidemi global atau wabah global adalah kondisi
dimana terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang dalam
daerah geografi yang luas. Berasal dari bahasa Yunani “pan” yang
artinya semua dan “demos” yang artinya rakyat. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), suatu pandemi dikatakan terjadi bila
ketiga syarat berikut telah terpenuhi :
a. Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal baru pada
populasi bersangkutan,
b. Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan
sakit serius,
c. Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan
berkelanjutan pada manusia.
Suatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai
pandemik hanya karena menewaskan banyak orang. Sebagai contoh,
kelas penyakit yang dikenal sebagai kanker menimbulkan angka
kematian yang tinggi namun tidak digolongkan sebagai pandemi
karena tidak ditularkan.
4. Insidensi
Insidensi adalah gambaran tentang frekuensi penderita baru suatu
penyakit yang ditemukan pada suatu waktu tertentu di suatu
kelompok masyarakat. Angka insidensi (Insiden rate) adalah jumlah
kasus baru penyakit tertentu yang dilaporkan pada periode waktu dan
tempat tertentu dibagi dengan jumlah penduduk dimana penyakit
tersebut berjangkit. Biasanya dinyatakan dalam jumlah kasus per
1000 kasus atau per 100.000 penduduk per tahun.
5. Prevalensi
Prevalensi adalah gambaran tentang frekuensi penderita lama dan
baru yang ditemukan dalam jangka waktu tertentu di sekelompok
masyarakat tertentu. Angka prevalensi adalah jumlah keseluruhan
orang yang sakit yang menggambarkan kondisi tertentu yang
menimpa sekelompok penduduk tertentu pada titik waktu tertentu
(Point prevalence) atau periode waktu tertentu (Period prevalence),
tanpa melihat kapan penyakit itu dimulai dibagi dengan jumlah
penduduk pada titik waktu dan periode waktu tertentu.
B. Trias Epidemiologi
Dalam epidemiologi selalu ada 3 faktor yang diselidiki : Host
(umumnya manusia), Agent (penyebab penyakit) dan Environment
(lingkungan).
Ditinjau dari sudut ekologis ada tiga faktor yang dapat
menimbulkan suatu kecacatan, kesakitan, ketidakmampuan dan
kematian yang disebut sebagai trias epidemiologi yaitu agent penyakit,
manusia dan lingkungan. Dalam keadaan normal terjadi suatu
keseimbangan yang dinamis di antara tiga komponen ini atau dengan
kata lain disebut sehat. Pada suatu keadaan terjadinya suatu gangguan
pada keseimbangan dinamis ini, misalnya akibat menurunnya kualitas
lingkungan hidup sampai pada tingkat tertentu maka akan memudahkan
agen penyakit masuk ke dalam tubuh manusia dan keadaan disebut sakit
(Chandra, 2009).
1. Konsep agen penyakit
Agen penyakit dapat berupa benda hidup atau mati dan faktor
mekanis, namun kadang kadang untuk penyakit tertentu,
penyebabnya tidak diketahui seperti pada penyakit ulkus peptikum,
penyakit jantung koroner dan lain-lain. Agen penyakit dapat di
klasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu:
a. Agen biologi: Bakteri, virus, riketsia, protozoa, metazoa
b. Agen nutrisi: Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan
lainnya.
c. Agen fisik: Panas, radiasi, kelembaban, dingin, tekanan, cahaya,
dan kebisingan.
d. Agen kimiawi: Dapat bersifat endogen seperti: asidosis, diabetes
(hiperglikemia), uremia dan bersifat eksogen seperti alergen,
debu, gas, debu dan lainnya.
e. Agen mekanis: Gesekan, benturan, pukulan yang dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan tubuh host (pejamu).
2. Konsep Host (pejamu)
Faktor manusia sangat komplek dalam proses terjadinya penyakit
dan tergantung pada karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing
individu antara lain:
a. Umur
Menyebabkan adanya perbedaan penyakit yang diderita seperti
penyakit campak pada anak-anak, penyakit kanker pada usia
pertengahan dan penyakit arteroklerosis pada usia lanjut.
b. Jenis kelamin
Frekuensi penyakit pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada
wanita dan penyakit tertentu seperti penyakit pada kehamilan
serta persalinan hanya terjadi pada wanita sebagaimana halnya
penyakit hipertrofi prostat hanya di jumpai pada laki-laki.
c. Ras
Hubungan antara ras dan penyakit tergantung pada tradisi, adat
istiadat dan perkembangan kebudayaan. Terdapat penyakit
tertentu yang hanya di jumpai pada ras tertentu seperti sicle cell
anemia pada ras negro.
d. Genetik
Ada penyakit tertentu yang diturunkan secara herediter seperti
mongolisme, buta warna, hemofilia dan lain-lain.
e. Pekerjaan
Status pekerjaan mempunyai hubungan erat dengan penyakit
akibat pekerjaan seperti: kecelakan kerja, keracunan, silikosis,
asbestosis dan lain lain.
f. Status nutrisi
Gizi buruk mempermudah seseorang menderita penyakit infeksi
seperti TBC dan kelainan gizi seperti obesitas, kolesterol tinggi
dan lainnya.
g. Status kekebalan
Reaksi tubuh pada penyakit tergantung pada status kekebalan
yang dimiliki sebelumnya seperti kekebalan terhadap penyakit
virus yang tahan lama dan seumur hidup.
h. Adat istiadat
Ada beberapa adat istiadat yang dapat menimbulkan penyakit
seperti kebiasaan makan ikan mentah dapat menyebabkan
penyakit cacing hati.
i. Gaya hidup
Kebiasaan minum alkohol, narkoba, merokok dapat
menimbulkan gangguan pada kesehatan.
j. Psikis
Faktor kejiwaan seperti stres, emosional dapat menyebabkan
penyakit hipertensi, ulkus peptikum, depresi, insomnia.
3. Konsep Environment
Lingkungan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian
yaitu lingkungan internal berupa keadaan yang dinamis dan
seimbang yang disebut hemostatis. Dan lingkungan hidup eksternal
di luar tubuh manusia. Lingkungan hidup eksternal terdiri dari tiga
komponen yaitu:
a. Lingkungan fisik
Bersifat abiotik atau benda mati seperti air, tanah, udara, cuaca,
makanan, rumah, panas dan lain lain. Lingkungan fisik ini
berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan
masa. serta memegang peran penting dalam proses terjadinya
penyakit pada masyarakat, seperti kekurangan persediaan air
bersih terutama pada musim kemarau dapat menimbulkan
penyakit diare dimana-mana.
b. Lingkungan biologis
Bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh-tumbuhan,
hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain lain yang
dapat berfungsi sebagai agen penyakit, reservoir infeksi, vektor
penyakit atau penjamu.
Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat
dinamis dan bila terjadi ketidakseimbangan antara hubungan
manusia dengan lingkungan biologisnya maka manusia akan
menjadi sakit.
c. Lingkungan sosial
Berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kultur, agama, sikap, gaya
hidup, pekerjaan, kehidupan masyarakat. Bila manusia tidak
dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial, maka
akan terjadi konflik yang bersifat kejiwaan dan menimbulkan
penyakit psikosomatik, stres, depresi dan lainnya.
4. Interaksi agen penyakit, host dan environment
Dalam usaha pencegahan dan kontrol yang efektif terhadap
penyakit perlu dipelajari mekanisme yang terjadi antara agen, host
dan environment yaitu:
a. Interaksi antara agen penyakit dan lingkungan
Suatu keadaan terpengaruhnya agen penyakit secara langsung
oleh lingkungan yang menguntungkan agen penyakit. Terjadi
pada saat prapatogenesis suatu penyakit, misalnya viabilitas
bakteri terhadap sinar matahari, stabilitas vitamin yang
terkandung dalam sayuran di dalam ruang pendingin dan
penguapan bahan kimia beracun oleh proses pemanasan bumi
global.
b. Interaksi antara manusia dan lingkungan
Suatu keadaan terpengaruhnya manusia secara langsung oleh
lingkungan dan terjadi pada saat prapatogenesis suatu penyakit,
misalnya udara dingin, hujan dan kebiasaan membuat dan
menyediakan makanan.
c. Interaksi antara host dengan agen penyakit
Suatu keadaan agen penyakit yang menetap, berkembangbiak
dan dapat merangsang manusia untuk menimbulkan respon
berupa tanda-tanda dan gejala penyakit berupa demam,
perubahan fisiologi jaringan tubuh dan pembentukan kekebalan
atau mekanisme pertahanan tubuh lainnya. Interaksi yang terjadi
dapat berupa sembuh sempurna, kecacatan atau kematian.
D. Surveilans
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis,
dan analisis data secara terus-menerus dan sistematis yang kemudian
didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang
bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan
lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan
kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada
populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan
reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut
kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah
pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001). Kadang digunakan
istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat
maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab
menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk
mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi
dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public
health).
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa.
Surveilans dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu),
sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik. Dengan
mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-
perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya
dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-
langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat (Murti,
2013)
1. Tujuan Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang
masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat
dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan
dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans:
a. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit
b. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk
mendeteksi dini outbreak
c. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit
(disease burden) pada populasi
d. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu
perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program
kesehatan
e. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan
f. Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002;
JHU, 2002).
2. Jenis Surveilans
a. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan
memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan
penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam
kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya
isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit
yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina
merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan
aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar
oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama
masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).
b. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi
penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi
terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan
lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit,
bukan individu (Murti, 2013).
c. Surveilans Sindromik
Surveilans sindromik (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala)
penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik
mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual
maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis.
Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu
sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan
laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum
diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit (Murti,
2013).
d. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan
menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang
ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan
sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri
tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih
segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan
sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
e. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan
memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi
(negara/provinsi/kabupaten/kota) sebagai sebuah pelayanan publik
bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan
personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi
yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun
pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan
kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001,
2002; Sloan et al., 2006).
f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi
manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi
penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah
yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di
dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global
(pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang
terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi
kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi
batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak
pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul
kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang
baru muncul (new emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu
burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif
melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan
pertahanan keamanan dan ekonomi (DCP2, 2008).
3. Manajemen Surveilans
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1)fungsi inti dan (2)
fungsi pendukung. Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan
surveilans dan langkah-langkah intervensi kesehatan masyarakat.
Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data,
analisis data, konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-
balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan masyarakat mencakup
respons segera (epidemic type response) dan respons terencana
(management type response). Fungsi pendukung (support activities)
mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan
laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi (WHO, 2001;
McNabb et al., 2002).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi
kesehatan. Karena itu sifat dari masalah kesehatan masyarakat
menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai
contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut,
misalnya SARS, maka manajer program kesehatan perlu melakukan
intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu
sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini
dari klinik dan laboratorium (Murti, 2013).
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti
kebiasaan merokok, berubah dengan lebih lambat. Para manajer
program kesehatan hanya perlu memonitor perubahan-perubahan
sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem
surveilans yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis
mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau lima
tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa
diperoleh dari survei rumah tangga (Murti, 2013).
4. Pendekatan Surveilans
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis:
(1)Surveilans pasif dan (2)Surveilans aktif (Gordis, 2000). Surveilans
pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan
sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan
surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit
internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif
dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan
cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan
kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi
dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut,
instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk
kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi
dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit,
dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian,
disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus
indeks.
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif,
sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk
menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat
mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih
mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut
community surveilance. Dalam community surveilance, informasi
dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga
memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi
kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali
dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan
tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih
menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan
konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi
kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).
5. Surveilans Efektif
Karakteristik surveilans yang efektif dapat dilihat sebagai berikut
(Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002; JHU,
2006) :
a. Kecepatan
b. Akurasi
c. Standar, seragam, reliable, kontinu
d. Representatif dan lengkap
e. Sederhana, fleksibel, dan akseptabel
f. Penggunaan (uptake)
-
Jumlah Malaria Klinis di suatu wilayah
AMI o/oo dalam kurun waktu tertentu
= ——————————————————– x 1000
Jumlah Penduduk Berisiko di wilayah yang sama
Pos malaria desa ini dikelola oleh kader. Kader yang telah
dipilih oleh masyarakat, memiliki tanggung jawab sebagai berikut :
Menemukan penderita baik yang dilakukan secara aktif maupun
pasif. Yang dimaksudkan dengan penemuan penderita secara aktif
yakni kader melakukan kegiatan kunjungan rumah untuk menemukan
penderita dengan gejala klinis malaria. Yang diharapkan disini adalah
kader menemukan penderita sebanyak-banyaknya dari kunjungan
rumah tersebut. Setelah ditemukan penderita, kader melakukan
kunjungan untuk mengetahui apakah penderita meminum obat secara
teratur atau tidak. Sedangkan penemuan penderita secara pasif yakni
kader menunggu penderita datang ke Posmaldes untuk berobat .
Selanjutnya, kader melakukan pemeriksaan klinis. Penderita
dengan gejala klinis seperti demam berkala, menggigil disertai sakit
kepala, pusing, mual dan muntah diberi obat anti malaria, yang
diminum setelah makan selama tiga hari. Pengobatan pencegahan
juga dilakukan kader kepada ibu hamil diatas 3 bulan dengan dosis
tunggal yakni dua tablet seminggu.
Kader juga melakukan rujukan penderita ke tempat pelayanan
terdekat baik Pustu, Puskesmas maupun Rumah Sakit. Penderita yang
dirujuk adalah penderita yang sudah minum obat sesuai petunjuk
selama tiga hari tetapi tidak ada perubahan. Gejala-gejala yang
dialami penderita rujukan adalah : kejang-kejang, tidak sadar,
mengigau, bicara salah, tidur terus, diam saja, tingkah laku berubah,
kuning pada mata, kencing warna teh tua, nafas cepat, panas tinggi,
pingsan, dan muntah terus menerus. Disamping itu penderita yang
dirujuk adalah ibu hamil dengan usia kehamilan kurang dari tiga
bulan.
Selain kegiatan pengobatan, kader juga memiliki fungsi
sebagai penyuluh malaria yakni memberikan penerangan atau
penjelasan tentang malaria kepada masyarakat baik yang dilakukan
dengan target perorangan maupun kelompok. Secara perorangan,
kader dapat melakukan penyuluhan pada saat penemuan dan
pengobatan kasus baik secara aktif maupun pasif dengan materi :
gejala klinis penyakit malaria, bagaimana minum obat yang benar,
penyebab malaria, cara penularan, pencegahan dan bahaya penyakit
malaria.
Penyuluhan kelompok biasanya dilakukan di tempat–tempat
umum seperti gereja, masjid, posyandu, sekolah, dan dalam kegiatan
PKK. Kegiatan penyuluhan ini bukan saja oleh kader tetapi juga bisa
oleh tokoh masyarakat dengan materi : gejala – gejala penyakit
malaria, cara minum obat yang benar, penyebab, cara penularan,
pencegahan dan bahaya malaria, manfaat Posmaldes bagi masyarakat,
pencegahan gigitan nyamuk, pemberantasan sarang nyamuk dengan
membersihkan lumpur pada genangan air, menebar ikan pemakan
jentik, mengalirkan genangan air, serta membersihkan semak – semak
di sekitar rumah.
Kegiatan lain yang juga menjadi tugas kader adalah
membantu petugas Puskesmas dalam pelaksanaan kegiatan
pemberantasan vektor malaria setelah dilakukan pemetaan dari
penemuan kasus. Pemberantasan vektor dilakukan berdasarkan
pertimbangan REESA .
Rasional yakni Lokasi kegiatan pemberantasan vektor yang
diusulkan memang terjadi penularan dan tingkat penularannya
memenuhi kriteria yang ditetapkan secara langsung dalam kegiatan
kerja bakti membersihkan tempat – tempat yang diduga merupakan
tempat perindukan vektor malaria setelah ada penemuan kasus.
Efektif yakni Dipilih salah satu metode/jenis kegiatan
pemberantasan vektor atau kombinasi kedua metode yang saling
menunjang, dan metode tersebut dianggap paling berhasil mencegah
atau menurunkan penularan. Pemilihan metode yang efektif perlu
didukung data epidemiologi, entomologi dan KAP masyarakat.
Efisien yakni Diantara beberapa metode kegiatan
pemberantasan vektor yang efektif harus dipilih metode yang
biayanya paling murah.
Sustainable yakni kegiatan pemberantasan vektor yang dipilih
harus dilaksanakan secara berkesinambungan sampai mencapai
tingkat penularan tertentu, dan hasil yang sudah dicapai harus dapat
dipertahankan dengan kegiatan yang lain yang biayanya lebih murah,
antara lain dengan penemuan dan pengobatan penderita.
Acceptable yakni kegiatan yang dilaksanakan harus dapat
diterima dan didukung oleh masyarakat setempat. (Upa dan Laure,
2007)
7. Pemberantasan Vektor
Usaha pemberantasan vektor meliputi: menghindari/mengurangi
gigitan nyamuk, membunuh jentik nyamuk,
menghilangkan/mengurangi tempat perindukan potensial.
Penyemprotan rumah dilakukan di Jawa – Bali dan di luar Jawa –
Bali hanya dilakukan di daerah prioritas yaitu: daerah transmigrasi,
daerah pembangunan ekonomi/pariwisata, daerah perbatasan, dan
daerah wabah.
8. Penemuan dan Pengobatan Penderita
Di daerah Jawa – Bali pencarian penderita dilakukan secara aktif
oleh petugas (Active Case Detection = ACD), dan secara pasif
(Passive Case Detection = PCD) mendatangi unit kesehatan,
sedangkan di derah di luar Jawa – Bali dilakukan secara pasif (PCD).
Di daerah Jawa – Bali pengobatan penderita dilakukan secara
pengobatan presumtif (klorokuin dosis tunggal satu kali), yaitu
bertujuan mencegah gejala klinik dan mencegah penularan selama
penderita menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Kemudian
dilakukan pengobatan radikal yang bertujuan untuk membasmi parasit
di dalam darah atau jaringan.
Sedangkan di luar Jawa – Bali pengobatan malaria klinis (demam
menggigil dan sakit kepala) diberikan untuk menekan gejala klinik.
Sebagai pengobatan profilaksis, diberikan kepada seseorang yang
memasuki daerah endemis satu minggu sebelum masuk, kemudian
setiap minggu selama tinggal di daerah itu dan dilanjutkan selama
empat minggu kemudian sesudah meninggalkan daerah tersebut
(Depkes RI, 1991).
9. Vaksinasi
Studi lapangan mengenai vaksin sudah dicoba pada binatang dan
juga manusia dengan berhasil. Namun tersedianya vaksin yang siap
pakai untuk program pemberantasan malaria masih memerlukan
beberapa waktu lagi (Depkes RI, 1991).
10. Pendidikan Pelatihan
Yang dimaksud dengan pendidikan dan pelatihan adalah
meningkatkan keterampilan profesional para petugas kesehatan.
Sedangkan untuk warga masyarakat terutama adalah penyuluhan
untuk meningkatkan pengetahuan dan peran sertanya dalam upaya
pemberantasan malaria.
11. Peningkatan Keterampilan Petugas
Berdasarkan pengamatan dari Seksi P2M Malaria Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah banyaknya kendala yang terjadi dalam
pemberantasan malaria disebabkan kurangnya tenaga berkualitas.
Untuk mengatasi hal tersebut, perlu ditingkatkan upaya penemuan
penderita melalui PCD dengan mengoptimalisasikan semua sarana
pelayanan kesehatan yang ada (Puskesmas, Puskesmas Pembantu,
Puskesmas Keliling, bidan desa, praktek swasta (P2M Malaria Jawa
Tengah, 1992).
Diperlukan peningkatan ketrampilan melalui penataran
pembinaan/supervisi agar dapat mempersiapkan tenaga yang
berkualitas dan berdisiplin tinggi dalam menjalankan tugasnya dengan
pelaporan tepat waktu guna mengantisipasi pengembangan program di
waktu mendatang dengan analisa epidemiologi yang baik. Selain itu
meningkatkan kemampuan dan sikap tanggap para petugas untuk
menemukan sedini mungkin gejala resistensi parasit di kalangan
masyarakat. Kekurangan tenaga dapat diatasi antara lain dengan
mengumpulkan tenaga para medis bidang lain yang ada untuk
kemudian diberi pendidikan tambahan dalam hal pemberantasan
malaria (P2M Malaria Jawa Tengah, 1992).
12. Penelitian dan Pengembangan
Tujuan peningkatan kemampuan penelitian dan pengembangan
diarahkan pada masalah: malaria klinis dan laboratorium, pengobatan
dan vaksin, pengendalian vektor, perilaku, lingkungan, epidemiologi,
dan penelitian lainnya. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan
antara lain mengenai:
a. Pengobatan penderita malaria resisten klorokuin dengan pemberian
klorokuin dosis tinggi
b. Penelitian pengobatan malaria serebral dengan deksametason dosis
tinggi
c. Kandang ternak sebagai zooprofilaksis untuk transmisi malaria
d. Pemberantasan vektor secara biologis
e. Penelitian penggunaan racun serangga baru
f. Peran serta masyarakat dalam penganggulangan penyakit malaria
di Jawa Tengah
g. Resistensi Plasmodium falciparum terhadap beberapa obat anti-
malaria di Indonesia (Hariyani, 1989; Hariyani & Arbani, 1991;
Siti-Sapardiyah et al., 1989; Depkes RI, 1990; Sekar-Tuti, 1992;
Nalim, 1985).
13. Pengendalian Vektor
Mengingat timbulnya resistensi nyamuk terhadap DDT maka
penggunaan insektisida jenis DDT sudah dihentikan karena
dampaknya yang berkepanjangan di alam (mencemari lingkungan),
kemudian diganti oleh insektisida jenis lain yang cepat terurai di alam.
Penggunaan insektisida dibedakan pada berbagai wilayah (pulau)
disesuaikan dengan keadan dan kondisi vektor setempat serta
mengantisipasi terjadinya resistensi vektor di kemudian hari.
Jenis insektisida yang dipakai dalam Program P2 Malaria untuk
penyemprotan rumah adalah:
a. Fentrothion 40 WP di daerah Jawa - Bali dan Sumatra, kecuali
Sabang, Batam, dan Bintan
b. Bendiocarb 80 WP untuk daerah Kalimantan, NTB, Sulawesi
(kecuali Sulawesi Utara), Sabang, Batam, dan Bintan
c. Sihalotrin 10 WP untuk daerah Sulawesi Utara, Maluku, Irian Jaya,
NTT, Jawa Barat, Nias.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
1. Wilayah Indonesia Timur masih menjadi wilayah endemis malaria
dikarenakan pola pikir masyarakat yang menganggap malaria adalah hal
yang wajar dan menjadi satu dengan keseharian mereka dan di wilayah
Indonesia Timur masih banyak lingkungan yang mendukung tempat
berkembang biaknya vector malaria.
2. Kejadian Luar Biasa adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi
ekspektasi normal secara mendadak pada suatu komunitas, di suatu
tempat terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota, atau institusi yang
tertutup (misalnya sekolah, tempat kerja, atau pesantren) pada suatu
periode waktu tertentu.
3. Kriteria suatu daerah dikatakan mengalami kejadian luar biasa adalah
jika ada unsur timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak
ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit terus-menerus
selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut penyakitnya, peningkatan
kejadian penyakit atau kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingakan
dengan periode sebelumnya dan jumlah penderita baru dalam satu bulan
menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan
angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
4. Proses terjadinya penyakit merupakan hasil interaksi antara agent (faktor
penyebab penyakit), host (penjamu), dan environment (lingkungan).
B. Saran
1. Sebaiknya diberikan penyuluhan mengenai bahaya penyakit malaria dan
pentingnya pencegahan malaria supaya kejadian luar biasa dapat
dihindari, khususnya di wilayah Indonesia Timur.
2. Pemerintah disarankan menyediakan dana, sarana dan prasarana yang
cukup agar dapat maksimal dalam mencegah terjadinya penyakit
menular, khususnya malaria.
3. Kepedulian dan keikutsertaan masyarakat turut memiliki peran penting
dalam kasus endemis malaria, sehingga sebaiknya masyarakat juga
memiliki kesadaran akan pentingnya pencegahan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics.
Disease Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-
surveillance.pdf
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Ditjen P2M & PLP, Malaria, No. 2
Pemberantasan Malaria, 1991: 3-6, 20.
Departemen Kesehatan RI, Ditjen P2M & PLP, Malaria. 1990. Pedoman Kegiatan
Kader No.13.
Seksi P2M MAL Dinkes Prop. Dati Jateng 1992, (Laporan). Siti-Sapardiyah S,
Rukmono B, Wita P, Rochadi R, Aswini H. 1989. Peran Serta Masyarakat
dalam Penanggulanan Penyakit Malaria se-Jawa Tengah. Cermin Dunia
Kedokteran 54: 10-5
Upa EEP dan Laure E (2007). Studi tentang Peran Kader Pos Malaria Desa
(Posmaldes) di Kota Kupang. MKM; 3(2)