Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS RAWAT JALAN

SPONDILITIS TUBERKULOSIS ANAK


Rambu Belinda Kapita, S.Ked
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang

I. PENDAHULUAN
Spondilitis merupakan peradangan tulang belakang atau vertebrae akibat
kuman mikobakterium tuberkulosis, penyakit ini disebut juga penyakit Pott terutama
bila disertai paraplegia atau defisit neurologis, peradangannya sering ditemukan pada
vertebra torakalis akhir dan awal dari vertebra lumbal (Th8 – L3), hal ini dikarenakan
pada spondilitis terutama terjadi pada tulang – tulang yang menopang berat badan dan
bergerak aktif. Spondilitis tuberculosis juga sering mengenai korpus vertebra dan
jarang pada arcus vertebra.[1,2,3]
Angka kejadian penyakit tuberculosis (TB) menurut WHO pada tahun 2000
sebanyak 8 juta penduduk, dan Indonesia merupakan urutan ketiga setelah India dan
China[4], dan kematian akibat TB diperkirakan 3 juta penduduk per tahun.
Berdasarkan kejadian TB tersebut, 25 – 30% merupakan TB ekstrapulmoner pada
anak, dimana terdapat 5 – 10% di dalamnya merupakan spondilitis TB yang
kejadiannya pada anak dalam 1 tahun pertama atau dapat juga pada 2 – 3 tahun
kemudian[3]. Angka kejadian di setiap negara berbeda, sangat dipengaruhi kualitas
pelayanan kesehatan dan kondisi social suatu negara, dimana pada Negara
berkembang seperti Indonesia kejadian spondilitis TB puncaknya lebih sering terjadi
pada anak, sedangkan pada Negara maju puncak kejadian pada dekade kelima atau
keenam kehidupan[2,4]. Defisit neurologis seperti gangguan sensibilitas dan paraplegi
terjadi 10 – 47% pada setiap kasus spondilitis TB.[2]
Penyebaran kuman mikobakterium TB ke tulang dapat melalui hematogen,
dan limfogen, dimana pada anak focus sumbernya berasal dari paru sedangkan pada
orang dewasa dari ekstrapulmoner seperti (usus, ginjal, dan tonsil). Dari paru kuman
dapat mencapai tulang melalui pleksus venosus paravertebral Batson.
Kebanyakan pasien spondilitis TB yang datang berobat sudah pada tahap
adanya gangguan neurologis seperti kesulitan berjalan atau nyeri punggung belakang,
gangguan sensibilitas, bahkan deformitas tulang belakang sehingga untuk penegakan
diagnosis tidak terlalu mendapat kendala, namun dalam hal terapi terkadang tidak
memberikan hasil yang memuaskan karena deformitas yang terjadi sudah menetap
dan harus dilakukan langkah terapi bedah yang tentunya lebih memerlukan biaya
besar.[2]

II. KASUS
a. Anamnesis
 Identitas :
Nama : An. VP
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 04 Juni 2011
Umur : 2 tahun 6 bulan
Tanggal Berobat : 12 November 2013
Identitas orang tua :
Nama ayah : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
Nama ibu : Ny. R
Umur ibu : 27 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT & Berjualan
Anak ke : Pertama
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Namusain
 Keluhan utama :
Benjolan pada punggung
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Benjolan pada punggung yang mulai terlihat sejak 1 bulan sebelum datang berobat
dan periksa di Poli Anak, benjolan tidak semakin membesar hanya semakin menonjol
dan semakin terasa nyeri pada punggung terutama bagian benjolan. Benjolan yang
dirasakan keras. Pasien juga dikatakan kaku punggungnya terutama saat berjalan, dan
1 minggu terakhir mulai malas bermain dan berjalan bahkan hanya mau digendong,
karena akan terasa sangat nyeri pada punggung bila menggerakan punggung atau
berjalan. Diakui oleh ibu pasien bahwa pasien juga sedang batuk yang sudah terjadi
sejak lama kurang lebih 3 bulan, namun hilang timbul, berlendir, tidak pernah batuk
darah. Demam (+) tinggi pada sore sampai malam, hilang timbul sejak batuk. Pilek
(+) juga hilang timbul, nafsu makan pasien juga mulai menurun dan berat badan
pasien juga menurun karena sering sakit dan susah makan, nyeri menelan (-), mual
muntah (-), sakit perut (+) kadang – kadang nyeri muncul dan memang sering pasien

Spondilitis Tuberkulosis Anak Page 2


mengeluh sakit perut, mencret (-), BAB mulai sejak benjolan muncul dan nyeri
punggung pasien mulai jarang BAB, BAK lancer seperti biasa.
 Riwayat penyakit dahulu :
Kurang lebih 1 bulan yang lalu ( 18 – 28 oktober 2013) pasien sempat MRS dengan
diagnosis demam tifoid, keluhan pasien saat itu demam tinggi dan sakit perut. Sudah
keluar RS dan sembuh dari demam tifoid.
Pasien sering berobat ke Poli Anak beberapa kali dengan keluhan batuk, pilek, dan
sesak napas. Pasien sering diberikan obat puyer dan sirup, yang mebuat keluhan
berkurang, riwayat diuap pernah 1 kali. Riwayat asma (-), riwayat alergi makanan (-).
 Riwayat penyakit keluarga :
Dalam keluarga, tidak ada yang menderita batuk lama atau sedang berobat TB, pasien
sering dititipkan di tetangga, pada tetangga disekitar tempat titip anak ada yang batuk,
namun tidak diketahui pasti apakah anak berkontak dengan orang tersebut.
Riwayat alergi (-), Riwayat asma (-)
 Riwayat kehamilan :
G1P1A0, pasien merupakan anak pertama, dan tidak punya saudara, karena ibu pasien
sebagai orang tua tunggal, ibu tidak ada gangguan selama proses kehamilan, demam
atau sakit lainnya. Riwayat ANC teratur.
 Riwayat persalinan :
Lahir normal, ditolong bidan di Puskesmas Alak, lahir cukup bulan, berat lahir
normal, langsung menangis, dan langsung dilakukan IMD pada bayi beberapa saat
setelah lahir.
 Riwayat imunisasi :
Lengkap sesuai umur anak.
 Riwayat makan :
Minum ASI sampai 1 tahun, karena ASI ibu berkurang. Selanjutnya, Minum susu
formula kadang – kadang, dan diberikan bubur atau nasi, lauk pauk, sayur dan buah –
buahan. Sering jajan snack dan ciki – ciki.

b. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum
tampak sakit sedang, rewel, kesakitan terutama bila menggerakkan badan atau
punggung pasien. Kesadaran compos mentis, BB: 8,8kg, PB: 95cm (status gizi
kurang)
 Tanda Vital
Nadi : 110x/menit, RR : 20 x/menit, suhu aksiler: 37,90C
 Kulit
Warna kulit cokelat kehitaman dan kering, keringat (+), Sianosis (-), Ikterus (-),
anemis (-), skar BCG (+), lesi (-)
 Kepala - Leher
Kepala : simetris, normocephal, rambut lurus warna hitam kemerahan, tumbuh merata
Wajah : simetris
Mata : conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), mata cekung (-), pupil (isokor/isokor)
Hidung : Rhinore (+) serous / bening, deviasi septum (-), napas cuping hidung (-).
Mulut : mukosa bibir pink kemerahan, kering (-), Tonsil T1 – T1, hiperemis (-)
Lidah : atropi (-), warna merah.
Leher : pembesaran KGB (-), tortikolis (-)
 Thoraks :
 Anterior
o Cor :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : iktus kordis tidak teraba.
Perkusi : pekak
Auskultasi : bunyi jantung I/II normal regular, murmur (-), gallop (-)

o Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada simetri, Retraksi (-)
Palpasi : tidak teraba massa, taktil fremitus D = S normal
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, Rhonki +/+ basah, Wheezing -/-
 Posterior
Terdapat Gibus (+) setinggi vertebrae Th7, pasien tampak kifosis (+), palpasi
teraba keras dan nyeri tekan (-), peradangan sekitar gibus (-), otot punggung
spastis (+), sensibilitas (+) normal, keringat pada kulit punggung (+).

 Abdomen :
Inspeksi : perut datar, masa (-), venetaksis (-)
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), turgor kulit normal
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal.
 Ekstremitas :
Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening di aksila dan inguinal, akral hangat,
CRT < 2 detik, pembengkakan sendi (-). Simetris (+), Atrofi (-), spastik (-), flaccid (-)
Kekuatan motorik ekstremitas superior 5|5, ekstremitas inferior 5|5, sensibilitas (+)
Refleks fisiologis BPR +2|+2, TPR +2|+2, KPR +2|+2, APR +2|+2

c. Pemeriksaan penunjang
Terlihat hasil laboratorium yang terlampir pada status rawat jalan tanggal 18 Oktober
2013 Widal
AgO (+) 1/320
AgH (+) 1/80

Spondilitis Tuberkulosis Anak Page 4


AgAo (+) 1/80
AgBo (+) 1/160
WBC = 33, 83 x 103 (peningkatan)
Tanggal 12 November 2013 berdasarkan keluhan pasien dilakukan pemeriksaan foto
polos vertebrae fokus thorakolumbal posisi AP dan lateral, diperoleh hasil spondilitis
TB, terlihat terdapat kompresi corpus vertebrae segmen Th5 – Th7. Abses
paravertebrae (-).

d. Resume
 Anak perempuan usia 2 tahun 6 bulan, keluhan utama benjolan pada punggung
sejak 1 bulan, disertai nyeri punggung saat bergerak, mulai sulit berjalan,
sebelumnya riwayat batuk lama, demam tinggi, pilek, sakit perut, nafsu makan
menurun, dan terjadi penurunan berat badan. BAB sulit akibat nyeri punggung,
BAK lancer seperti biasa.
 Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesakitan, dan rewel. Status gizi
kurang, Tanda vital (Nadi: 110x/mnt, RR: 20x/mnt, Suhu:37,9 0C). Kulit: sekresi
keringat (+), Auskultasi paru Ves +/+, Ronki +/+ basah, Wheezing -/-, Gibus (+)
setinggi vertebrae thorakalis 7. Kekuatan motorik keempat extremitas 5, tonus
normal, sensibilitas normal.
 Hasil foto polos vertebrae posisi AP dan lateral focus torakolumbal, didapatkan
hasil kompresi corpus vertebrae Th 5 – Th 7, dengan kesimpulan spondilitis TB.

e. Diagnosis Kerja
Spondilitis tuberculosis
Gizi Kurang

f. Diagnosis Banding
Spondilitis non-tuberkulosis suspek infeksi piogenik atau enterik (post demam tifoid)

g. Terapi
Rawat Inap untuk tirah baring, pasien menolak.
OAT Intensif anak (HRZE) 2 bulan, dilanjutkan OAT lanjutan anak 6 bulan (H3R3)
Roborensia
Vitamin B6
Pulv batuk

h. KIE
 Kurangi aktifitas anak, istirahatkan di tempat tidur
 Awasi minum obat teratur pada anak, obat sebaiknya diminum saat perut kosong
yaitu dua jam setelah makan, efek samping dari obat TB seperti cairan tubuh yaitu
kencing akan berwarna kemerahan.
 Berikan anak makanan bergizi, matang, dan bersih
 Rajin kontrol ke RS untuk pantau penyembuhan penyakit, segera bawa anak ke
pelayanan kesehatan terutama apabila ada tanda bahaya seperti tidak dapat BAK
dan BAB
 Cari sumber penular infeksi pada anak, keluarga yang batuk lama atau sering
demam tinggi untuk diperiksa dan dijauhkan dari anak.

III.PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan di atas pada bab sebelumnya, dapat kita
lihat mulai dari pengumpulan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang sampai
penegakkan diagnosis menjadi spondilitis tuberkulosis harus sesuai dengan langkah
penegakan diagnosis spondilitis tuberculosis, begitu pula dengan penatalaksanaan
pasien spondilitis tuberculosis harus sesuai dengan teori yang ada.

a. Manifestasi Klinis
Adanya riwayat penyakit tuberculosis. Gejala yang mendukung diagnosis
adanya nyeri yang meningkat pada malam hari, makin lama makin berat, terutama
pada pergerakan. Pada tulang belakang dapat ditemukan gibus, abses
retroperitoneal atau abses inguinal. Terdapat gangguan medulla spinalis berupa
paresis dan gangguan sensibilitas (anestesi, defekasi dan miksi). Yang khas adalah
paraplegia Pott yang merupakan komplikasi spondilitis tuberculosis, dimana
kedua kaki layu dan terjadi atrofi otot – otot tungkai bawah.[1]
Gejala klinis pada spondilitis ditentukan oleh beberapa factor dan onset dari
munculnya paraplegia Pott biasanya mendadak dan berevolusi lambat. Beberapa
hal yang sering dikeluhkan dan terlihat pada pasien spondilitis tuberculosis
sebagai berikut[1,3]:

Spondilitis Tuberkulosis Anak Page 6


1. Gambaran adanya penyakit sistemik yaitu kehilangan berat badan, keringat
malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan
malam. Pada pasien anak terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar
rumah. Gambaran ini juga tergantung keadaan gizi anak pada anak dengan
gizi baik gejala tidak sejelas pada anak dengan gizi kurang.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada.
3. Pada beberapa kasus dapat ditemukan pembesaran dari nodus limfatikus,
tuberkel di subkutan, dan pembesaran organ hati dan limpa.
4. Nyeri yang dirasakan dapat terlokalisir pada satu region tulang belakang
atau berupa nyeri yang menjalar. Misalnya pada cervical akan
menyebabkan nyeri di telinga dan tangan, pada thorakal atas akan
menyebabkan nyeri menjalar yang terasa pada dada dan intercostals, lesi
pada thorakal bawah nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut.
Nyeri ini hanya menghilang dengan istirahat.
5. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah
kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri punggung.
6. Pada daerah lesi bisa terjadi abses dimana gejala yang muncul tergantung
daerah lesi.
 pada cervical, abses akan menyebabkan pembesaran di kedua sisi
leher, abses yang besar pada anak akan mendorong trakea ke sternal
notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya
stridor respiratoar, dapat juga menyebabkan kompresi medulla spinalis
yang dapat menyebabkan tetraparesis.
 Pada daerah thorakal, abses berjalan ke kiri dan kanan rongga dada dan
terlihat sebagai pembengkakan jaringan lunak, dan bila corda spinalis
tertekan akan menyebabkan paralisis.
 Pada lumbar : abses akan tampak sebagai suatu
pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah
lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel
dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi
panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip
dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya
dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya
kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi
sendi panggul.
7. Tampak deformitas seperti kifosis (gibus/angulasi vertebrae), skoliosis,
bayonet deformitas, subluksasi dan dislokasi. Defornitas pada 80% kasus
berupa kifosis yang kemudian muncul gibus dan angulasi tulang belakang,
kifosis dibagi menjadi 2 tipe kifosis yaitu mobile dan rigid. Angulasi yang
terjadi pada kifosis 80% kurang dari 10 0 , 20% lebih dari 100, dan hanya
sekitas 4% kejadian dengan angulasi lebih dari 300.[3]
Pada pasien kasus ini, walaupun belum jelas memiliki riwayat
tuberculosis, namun manifestasi klinis yang muncul pada pasien
sangat mendukung ke arah spondilitis tuberculosis, dimana pasien
punya riwayat batuk lama, demam lama, penurunan berat badan,
nyeri punggung, dan berkurangnya niat untuk berjalan dan bermain
dan tubuh yang cenderung kaku.
Pada pasien juga tampak jelas deformitas berupa kifosis dengan
adanya gibus setinggi thorakal 5 – 7 (bagian thorakal bawah) yang
menyebabkan pasien juga sering nyeri perut selain mungkin
gangguan system gastrointestinal pasien namun dapat juga nyeri
akibat penjalaran dari lesi. Walaupun pada pasien tidak ditemukan
adanya pembesaran kelenjar getah bening, ataupun organ seperti
hepar dan lien, dan tidak tampak tanda adanya gejala abses pada
lesi dan perjalarannya, bukan berarti tidak ada, mungkin
dikarenakan belum munculnya gejala tersebut, tidak menutup
kemungkinan hal tersebut bias muncul beberapa waktu ke depan
bila tidak segera diterapi. Dengan demikian pada kasus pasien ini
memenuhi manifestasi klinis dari spondilitis tuberculosis.

b. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah termuat
beberapa di dalam manifestasi klinis, untuk itu dalam diagnosis kali ini lebih
dititikberatkan pada pemeriksaan penunjang dari spondilitis tuberculosis. Selain
itu juga dijelaskan beberapa klasifikasi dalam spondilitis tuberculosis.
1. Pemeriksaan Radiologi

Spondilitis Tuberkulosis Anak Page 8


Terdapat beberapa modalitas yang dapat digunakan yaitu sinar – x, ct – scan,
dan MRI. Berikut dijelaskan tiap modalitas tersebut:
 Sinar-X, merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak
lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis
regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan
terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya
memberikan gambaran fusiformis. Pada fase lanjut, kerusakan bagian
anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifotik (gibbus).
Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang
merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat
mencitrakan cold abscess dengan baik. Trias tanda spondilitis tuberculosis
pada foto rontgen[5], yaitu :
 Lesi primer vertebrae
 Penyempitan antar diskus
 Paravertebral abses, terlihat adanya erosi konkaf di sekitar anterior
corpus vertebra membentuk scalloped appearance (aneurismal
fenomena) atau bayangan fusiform pada paraspinal dan sedikit
kalsifikasi.
Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur
dengan metode Konstam, sebagai berikut[2,3,4] :
Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam.
Pertama, tarik garis khayal sejajar end-plate superior badan vertebra yang
sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua garis tersebut diperpanjang ke
anterior sehingga bersilangan. Di dapatkan dua sudut yaitu; Sudut K pada
gambar adalah sudut Konstam, sedangkan Sudut A adalah angulasi aktual
yang dihitung. Pada contoh gambar dibawah ini angulasi kifotik adalah
sesuai sudut A yaitu 300.
 CT-Scan; dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi
badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan
kanalis spinalis CT myelography juga dapat menilai dengan akurat
kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI.
Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke
dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan. Selain hal yang
disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu tindakan
biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang.
Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk
visualisasi jaringan lunak.
 MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi
badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang,
termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan
ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan
MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah
terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal-T1 pada sumsum
tulang mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh
jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.
MRI juga dapat membedakan spondilitis dengan penyebab selain kuman
mikobakterium tuberculosis.
2. Pemeriksaan Laboratorium[2]
o Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.

Spondilitis Tuberkulosis Anak Page 10


o Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam
setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus dengan
tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas
selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai
penyakit lain)
o Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),
sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu
yang aktif)
o Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relatif.
o Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang
sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih untuk
menyingkirkan diagnosa banding.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang sudah ada pada pasien, yaitu foto
vertebrae focus Thorakolumbal, dengan posisi AP dan lateral, di dapatkan
kompresi corbus vertebrae Th5 – Th7, bagian anterior yang membentuk angulasi
atau gibus, menandakan lesi yang terjadi sudah pada fase lanjutan, kesimpulan
hasil sinar-x pada anak menunjukan spondilitis tuberculosis. Pada pasien belum
dilakukan pemeriksaan laboratorium, sehingga jika mungkin pasien dilakukan
rawat inap pemeriksaan laboratorium sudah harus digunakan, dan bila mampu dan
ingin lebih menilai kerusakan jaringan lunak sekitar vertebrae, dapat dianjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan MRI maupun CT-scan, namun modalitas MRI
belum tersedia di rumah sakit.
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan beberapa pihak dengan tujuan
untuk menentukan deskripsi keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana.
Klasifikasi Pott’s paraplegia (Tabel 1) disusun untuk mempermudah komunikasi
antar klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan gejala klinis pasien
spondilitis TB[4].
Klasifikasi klinikoradiologis (Tabel 2) untuk memperkirakan durasi perjalan
penyakit berdasarkan temuan klinis dan temuan radiologis pasien. Selain
berdasarkan pada klasifikasi di atas juga berdasarkan tingkat keparahan defisit
neurologis dimana untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis,
dan memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis,
dapat digunakan klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA)
impairment scale (Tabel 3), dan hubungan kondisi klinis pasien dengan terapi
terbaik yang diberikan berdasarkan klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi
(GATA) pada (Tabel 4). Berikut penjabaranya:

(Tabel 1. Klasifikasi Pott’s Paraplegia)

(Tabel 2 Klasifikasi Klinikoradiologis)

Spondilitis Tuberkulosis Anak Page 12


(Tabel 3. ASIA Impairment Scale)

(Tabel 4. Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi untuk spondilitis TB)


Pada pasien bila dikelompokkan ke dalam klasifikasi yang ada maka,
berdasarkan tingkat keparahan dengan klasifikasi Pott’s paraplegia adalah stadium
II yaitu ringan karena pasien tidak menyadari adanya gangguan neurologis dan
masih dapat berjalan dengan bantuan, namun pada pasien kemungkinan lebih
berat karena anak selalu harus digendong. Berdasarkan klinikoradiologis masuk
pada stadium III kifosis ringan dimana terdapat 2 – 3 vertebrae pada pasien
terkena 3 vertebrae dari Th5 – Th7, kemungkinan durasi penyakit sudah 3 – 9
bulan. Berdasarkan ASIA scale pasien masuk dalam stadium E normal tanpa
cedera medulla spinalis hal ini karena fungsi motorik dan sensorik pasien tidak
terganggu. Sedangkan klasifikasi berdarkan GATA pasien masuk pada tipe II
karena lesi pada pasien sudah terdapat kolaps vertebrae, kifosis, deformitas,
walaupun tanpa adanya cold abses sehingga penatalaksanaan yang baik dilakukan
yaitu debridemen dan fusi anterior, dekompresi jika terdapat, defisit neurologis
tandur strut kortikal untuk fusi.

Spondilitis Tuberkulosis Anak Page 14


c. Penatalaksanaan
Spondilitis tuberculosis termasuk ke dalam tuberculosis ekstrapulmoner
sehingga penanganannya juga mengikuti penanganan tuberculosis ekstrapulmoner.
Pada spondilitis tuberculosis dilakukan terapi konservatif dan terapi operatif
sebagai berikut:
1. Terapi Konservatif
 Kemoterapi dengan obat anti tuberculosis (OAT), sampai saat ini
pengobatan dengan OAT merupakan pilihan utama berdasarkan
kesepakatan para ahli, namun sampai saat ini belum ada kesepakatan
mengenai durasi waktu pemberian OAT pada spondilitis TB. WHO
menganjurkan untuk terapi selama 6 bulan, sedangkan menurut British
Medical Research Council menyarankan untuk spondilitis pada daerah
thorakolumbal harus selama 6 – 9 bulan, apalagi dengan lesi multiple, atau
lesi pada cervical, dan adanya deficit neurologis, lama pengobatan
mencapai 9 – 12 bulan[1,2,4].
Perhimpuna Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi OAT
untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru kasus baru
dengan TB ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS)
fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan, atau 2HRZE(HRZS) fase inisial
dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan, atau 2RHZE(HRZS) fase inisial
dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang
sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori II, yaitu
kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial
dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan
5H3R3E3 fase lanjutan[4].
Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus dengan defisit
neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun, belum ada
studi yang menguji efektivitasnya pada kasus spondilitis TB, berikut Tabel
dosis obat OAT :
(Tabel 5. Dosis OAT)
 Tirah Baring atau bidai, sebelum ditemukannya OAT, hal ini merupakan
terapi utama, namun kecenderungan relaps penyakit tinggi, sehingga saat
ini dilakukan kombinasi keduanya. Hal ini dapat dilakukan dengan
memasang gips pada punggung pasien dan tirah baring selama 3 – 4
minggu, sampai diperoleh keadaan tenang. Sedangkan untuk imobilisasi
selama 6 bulan sejak pasien mulai dilakukan perawatan rawat jalan[4].
2. Terapi Operatif
Tidak semua spondilitis TB memerlukan tindakan operatif, beberapa
mekanisme operasi yang dapat dilakukan sesuai dengan klasifikasi GATA,
diantaranya sebagai berikut[4,5]:
 Pembedahan drainase abses
 Debridemen dan koreksi kifosis
 Debridement anterior dan fusi tanpa instrumentasi
 Debridement anterior diikuti instrumentasi anterior atau posterior
 Dekompresi transpedikular
 Tandur Tulang
Pada anak-anak, meskipun lesi akibat spondilitis TB dapat sembuh dengan
terapi non-operatif, namun kifosis cenderung terus bertambah seiring dengan
berjalannya pertumbuhan, oleh karena itu perlu dilakukan koreksi kifosis
secara cepat dan stabilisasi vertebra pada fase aktif penyakit. Penatalaksanaan
spondilitis TB anak harus secara agresif. Koreksi deformitas tulang belakang
pada pasien anak adalah imperatif. Angulasi 15o saja cukup untuk
menyebabkan gangguan pertumbuhan tinggi. Pada pasien ini berdasarkan
klasifikasi GATA memerlukan tindakan debridement dan koreksi kifosis,

Spondilitis Tuberkulosis Anak Page 16


namun karena pasien menolak rawat inap sehingga tindakan ini tidak dapat
dilakukan, padahal dapat sangat memberikan hasil yang optimal dengan
tindakan ini.[4]

d. Diagnosis Banding[3,5]
a. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih
corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
b. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
c. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma) Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan
spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara
radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus
sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
d. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut
superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

IV. KESIMPULAN
Pasien perempuan usia tiga tahun 4 bulan dengan diagnosis spondilitis
tuberculosis, yang ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan foto vertebrae
(sinar-x) posisi AP dan lateral ditemukan lesi angulasi kifotik/ Gibus pada daerah
thorakalis bawah ( Th 5 – Th7), berdasarkan kondisi tersebut pasien disarankan untuk
rawat inap, namun pasien menolak sehingga hanya dilakukan rawat jalan, dengan
diberikan terapi konservatif saja yaitu OAT intensif anak selama 2 bulan lalu dosis
lanjutan 4 bulan, komponen obat intensif yang diberikan 2HRZE dan pasien
dianjurkan untuk tirah baring dirumah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, dkk. Bedah Orthopedi – Spondilitis
Tuberkulosis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media
Aesculapius FK Universitas Indonesia, Jakarta. 2000 : 360.
2. Paramarta I. G. E, dkk. Spondilitis Tuberkulosis. Dalam Sari Pediatri. Vol.10. No.3.
Oktober 2008 : P 177 – 183.
3. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosis. Dalam Jurnal Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi. FK Universitas Indonesia, Jakarta. 2002: P 1 – 27.
4. Zuwanda, Janitra Raka. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis.
Dalam: Cermin Dunia Kedokteran-208. Vol. 40. No.9. 2013 : P 661 – 672.
5. Jain Sahilesh. Spinal Tuberkulosis and Management. pdf. 2013: S 1 - 27

Spondilitis Tuberkulosis Anak Page 18

Anda mungkin juga menyukai