I. PENDAHULUAN
Spondilitis merupakan peradangan tulang belakang atau vertebrae akibat
kuman mikobakterium tuberkulosis, penyakit ini disebut juga penyakit Pott terutama
bila disertai paraplegia atau defisit neurologis, peradangannya sering ditemukan pada
vertebra torakalis akhir dan awal dari vertebra lumbal (Th8 – L3), hal ini dikarenakan
pada spondilitis terutama terjadi pada tulang – tulang yang menopang berat badan dan
bergerak aktif. Spondilitis tuberculosis juga sering mengenai korpus vertebra dan
jarang pada arcus vertebra.[1,2,3]
Angka kejadian penyakit tuberculosis (TB) menurut WHO pada tahun 2000
sebanyak 8 juta penduduk, dan Indonesia merupakan urutan ketiga setelah India dan
China[4], dan kematian akibat TB diperkirakan 3 juta penduduk per tahun.
Berdasarkan kejadian TB tersebut, 25 – 30% merupakan TB ekstrapulmoner pada
anak, dimana terdapat 5 – 10% di dalamnya merupakan spondilitis TB yang
kejadiannya pada anak dalam 1 tahun pertama atau dapat juga pada 2 – 3 tahun
kemudian[3]. Angka kejadian di setiap negara berbeda, sangat dipengaruhi kualitas
pelayanan kesehatan dan kondisi social suatu negara, dimana pada Negara
berkembang seperti Indonesia kejadian spondilitis TB puncaknya lebih sering terjadi
pada anak, sedangkan pada Negara maju puncak kejadian pada dekade kelima atau
keenam kehidupan[2,4]. Defisit neurologis seperti gangguan sensibilitas dan paraplegi
terjadi 10 – 47% pada setiap kasus spondilitis TB.[2]
Penyebaran kuman mikobakterium TB ke tulang dapat melalui hematogen,
dan limfogen, dimana pada anak focus sumbernya berasal dari paru sedangkan pada
orang dewasa dari ekstrapulmoner seperti (usus, ginjal, dan tonsil). Dari paru kuman
dapat mencapai tulang melalui pleksus venosus paravertebral Batson.
Kebanyakan pasien spondilitis TB yang datang berobat sudah pada tahap
adanya gangguan neurologis seperti kesulitan berjalan atau nyeri punggung belakang,
gangguan sensibilitas, bahkan deformitas tulang belakang sehingga untuk penegakan
diagnosis tidak terlalu mendapat kendala, namun dalam hal terapi terkadang tidak
memberikan hasil yang memuaskan karena deformitas yang terjadi sudah menetap
dan harus dilakukan langkah terapi bedah yang tentunya lebih memerlukan biaya
besar.[2]
II. KASUS
a. Anamnesis
Identitas :
Nama : An. VP
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 04 Juni 2011
Umur : 2 tahun 6 bulan
Tanggal Berobat : 12 November 2013
Identitas orang tua :
Nama ayah : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
Nama ibu : Ny. R
Umur ibu : 27 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT & Berjualan
Anak ke : Pertama
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Namusain
Keluhan utama :
Benjolan pada punggung
Riwayat Penyakit Sekarang :
Benjolan pada punggung yang mulai terlihat sejak 1 bulan sebelum datang berobat
dan periksa di Poli Anak, benjolan tidak semakin membesar hanya semakin menonjol
dan semakin terasa nyeri pada punggung terutama bagian benjolan. Benjolan yang
dirasakan keras. Pasien juga dikatakan kaku punggungnya terutama saat berjalan, dan
1 minggu terakhir mulai malas bermain dan berjalan bahkan hanya mau digendong,
karena akan terasa sangat nyeri pada punggung bila menggerakan punggung atau
berjalan. Diakui oleh ibu pasien bahwa pasien juga sedang batuk yang sudah terjadi
sejak lama kurang lebih 3 bulan, namun hilang timbul, berlendir, tidak pernah batuk
darah. Demam (+) tinggi pada sore sampai malam, hilang timbul sejak batuk. Pilek
(+) juga hilang timbul, nafsu makan pasien juga mulai menurun dan berat badan
pasien juga menurun karena sering sakit dan susah makan, nyeri menelan (-), mual
muntah (-), sakit perut (+) kadang – kadang nyeri muncul dan memang sering pasien
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
tampak sakit sedang, rewel, kesakitan terutama bila menggerakkan badan atau
punggung pasien. Kesadaran compos mentis, BB: 8,8kg, PB: 95cm (status gizi
kurang)
Tanda Vital
Nadi : 110x/menit, RR : 20 x/menit, suhu aksiler: 37,90C
Kulit
Warna kulit cokelat kehitaman dan kering, keringat (+), Sianosis (-), Ikterus (-),
anemis (-), skar BCG (+), lesi (-)
Kepala - Leher
Kepala : simetris, normocephal, rambut lurus warna hitam kemerahan, tumbuh merata
Wajah : simetris
Mata : conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), mata cekung (-), pupil (isokor/isokor)
Hidung : Rhinore (+) serous / bening, deviasi septum (-), napas cuping hidung (-).
Mulut : mukosa bibir pink kemerahan, kering (-), Tonsil T1 – T1, hiperemis (-)
Lidah : atropi (-), warna merah.
Leher : pembesaran KGB (-), tortikolis (-)
Thoraks :
Anterior
o Cor :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : iktus kordis tidak teraba.
Perkusi : pekak
Auskultasi : bunyi jantung I/II normal regular, murmur (-), gallop (-)
o Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada simetri, Retraksi (-)
Palpasi : tidak teraba massa, taktil fremitus D = S normal
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, Rhonki +/+ basah, Wheezing -/-
Posterior
Terdapat Gibus (+) setinggi vertebrae Th7, pasien tampak kifosis (+), palpasi
teraba keras dan nyeri tekan (-), peradangan sekitar gibus (-), otot punggung
spastis (+), sensibilitas (+) normal, keringat pada kulit punggung (+).
Abdomen :
Inspeksi : perut datar, masa (-), venetaksis (-)
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), turgor kulit normal
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal.
Ekstremitas :
Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening di aksila dan inguinal, akral hangat,
CRT < 2 detik, pembengkakan sendi (-). Simetris (+), Atrofi (-), spastik (-), flaccid (-)
Kekuatan motorik ekstremitas superior 5|5, ekstremitas inferior 5|5, sensibilitas (+)
Refleks fisiologis BPR +2|+2, TPR +2|+2, KPR +2|+2, APR +2|+2
c. Pemeriksaan penunjang
Terlihat hasil laboratorium yang terlampir pada status rawat jalan tanggal 18 Oktober
2013 Widal
AgO (+) 1/320
AgH (+) 1/80
d. Resume
Anak perempuan usia 2 tahun 6 bulan, keluhan utama benjolan pada punggung
sejak 1 bulan, disertai nyeri punggung saat bergerak, mulai sulit berjalan,
sebelumnya riwayat batuk lama, demam tinggi, pilek, sakit perut, nafsu makan
menurun, dan terjadi penurunan berat badan. BAB sulit akibat nyeri punggung,
BAK lancer seperti biasa.
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesakitan, dan rewel. Status gizi
kurang, Tanda vital (Nadi: 110x/mnt, RR: 20x/mnt, Suhu:37,9 0C). Kulit: sekresi
keringat (+), Auskultasi paru Ves +/+, Ronki +/+ basah, Wheezing -/-, Gibus (+)
setinggi vertebrae thorakalis 7. Kekuatan motorik keempat extremitas 5, tonus
normal, sensibilitas normal.
Hasil foto polos vertebrae posisi AP dan lateral focus torakolumbal, didapatkan
hasil kompresi corpus vertebrae Th 5 – Th 7, dengan kesimpulan spondilitis TB.
e. Diagnosis Kerja
Spondilitis tuberculosis
Gizi Kurang
f. Diagnosis Banding
Spondilitis non-tuberkulosis suspek infeksi piogenik atau enterik (post demam tifoid)
g. Terapi
Rawat Inap untuk tirah baring, pasien menolak.
OAT Intensif anak (HRZE) 2 bulan, dilanjutkan OAT lanjutan anak 6 bulan (H3R3)
Roborensia
Vitamin B6
Pulv batuk
h. KIE
Kurangi aktifitas anak, istirahatkan di tempat tidur
Awasi minum obat teratur pada anak, obat sebaiknya diminum saat perut kosong
yaitu dua jam setelah makan, efek samping dari obat TB seperti cairan tubuh yaitu
kencing akan berwarna kemerahan.
Berikan anak makanan bergizi, matang, dan bersih
Rajin kontrol ke RS untuk pantau penyembuhan penyakit, segera bawa anak ke
pelayanan kesehatan terutama apabila ada tanda bahaya seperti tidak dapat BAK
dan BAB
Cari sumber penular infeksi pada anak, keluarga yang batuk lama atau sering
demam tinggi untuk diperiksa dan dijauhkan dari anak.
III.PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan di atas pada bab sebelumnya, dapat kita
lihat mulai dari pengumpulan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang sampai
penegakkan diagnosis menjadi spondilitis tuberkulosis harus sesuai dengan langkah
penegakan diagnosis spondilitis tuberculosis, begitu pula dengan penatalaksanaan
pasien spondilitis tuberculosis harus sesuai dengan teori yang ada.
a. Manifestasi Klinis
Adanya riwayat penyakit tuberculosis. Gejala yang mendukung diagnosis
adanya nyeri yang meningkat pada malam hari, makin lama makin berat, terutama
pada pergerakan. Pada tulang belakang dapat ditemukan gibus, abses
retroperitoneal atau abses inguinal. Terdapat gangguan medulla spinalis berupa
paresis dan gangguan sensibilitas (anestesi, defekasi dan miksi). Yang khas adalah
paraplegia Pott yang merupakan komplikasi spondilitis tuberculosis, dimana
kedua kaki layu dan terjadi atrofi otot – otot tungkai bawah.[1]
Gejala klinis pada spondilitis ditentukan oleh beberapa factor dan onset dari
munculnya paraplegia Pott biasanya mendadak dan berevolusi lambat. Beberapa
hal yang sering dikeluhkan dan terlihat pada pasien spondilitis tuberculosis
sebagai berikut[1,3]:
b. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah termuat
beberapa di dalam manifestasi klinis, untuk itu dalam diagnosis kali ini lebih
dititikberatkan pada pemeriksaan penunjang dari spondilitis tuberculosis. Selain
itu juga dijelaskan beberapa klasifikasi dalam spondilitis tuberculosis.
1. Pemeriksaan Radiologi
d. Diagnosis Banding[3,5]
a. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih
corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
b. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
c. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma) Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan
spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara
radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus
sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
d. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut
superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
IV. KESIMPULAN
Pasien perempuan usia tiga tahun 4 bulan dengan diagnosis spondilitis
tuberculosis, yang ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan foto vertebrae
(sinar-x) posisi AP dan lateral ditemukan lesi angulasi kifotik/ Gibus pada daerah
thorakalis bawah ( Th 5 – Th7), berdasarkan kondisi tersebut pasien disarankan untuk
rawat inap, namun pasien menolak sehingga hanya dilakukan rawat jalan, dengan
diberikan terapi konservatif saja yaitu OAT intensif anak selama 2 bulan lalu dosis
lanjutan 4 bulan, komponen obat intensif yang diberikan 2HRZE dan pasien
dianjurkan untuk tirah baring dirumah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, dkk. Bedah Orthopedi – Spondilitis
Tuberkulosis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media
Aesculapius FK Universitas Indonesia, Jakarta. 2000 : 360.
2. Paramarta I. G. E, dkk. Spondilitis Tuberkulosis. Dalam Sari Pediatri. Vol.10. No.3.
Oktober 2008 : P 177 – 183.
3. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosis. Dalam Jurnal Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi. FK Universitas Indonesia, Jakarta. 2002: P 1 – 27.
4. Zuwanda, Janitra Raka. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis.
Dalam: Cermin Dunia Kedokteran-208. Vol. 40. No.9. 2013 : P 661 – 672.
5. Jain Sahilesh. Spinal Tuberkulosis and Management. pdf. 2013: S 1 - 27