Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Krisis adrenal (KA) merupakan komplikasi insufisiensi adrenal (IA), yaitu


sebuah manifestasi klinis yang disebabkan oleh kekurangan produksi atau
kinerja dari glukokortikoid. Kelainan berbahaya ini dapat diakibatkan oleh
kegagalan adrenal primer atau penyakit adrenal sekunder yang disebabkan oleh
kelainan pada axis hipotalamus-pituitari.

Axis hipotalamus-pituitari-adrenal berperan penting dalam kerja tubuh


mempertahankan diri dari tekanan stress seperti infeksi, hipotensi dan operasi.
Hipotalamus dipengaruhi oleh otak, terutama sistem limbik dalam melakukan
regulasi hormonal. Salah satu dari hormon tersebut adalah kortisol, yang
dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon kortisol berguna untuk metabolisme
karbohidrat, protein dan sistem imun. Kerusakan dari korteks adrenal
merupakan penyebab IA primer. Di lain hal, IA sekunder disebabkan oleh
kelainan pituitari/hipotalamus.

Prevalensi krisis adrenal pada pasien insufisiensi adrenal memiliki nilai


yang tinggi. Berdasarkan penelitian pada tahun 2009 yang dilakukan oleh
European Society of Endocrinology, didapatkan prevalensi krisis adrenal
sebanyak 6.3 dari 100 pasien IA kronis. Faktor utama pencetus KA pada pasien
IA kronis adalah infeksi, terutama infeksi gastrointestinal.

Pada referat ini akan dilakukan pembahasan secara spesifik mengenai krisis
adrenal sebagai salah satu kegawat daruratan penyakit dalam. Referat ini disusun
berdasarkan dari sumber-sumber yang membahas mengenai definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, tanda, gejala, diagnosis banding, langkah diagnosa, dan
tatalaksana penyakit.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan kepada dr. Widya Wirawan Sp. PD sebagai pembimbing dalam pembuatan referat
tentang krisis adrenal ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

1
Jakarta, 1 Juni 2014

Table of Contents

Table of Contents
Pendahuluan....................................................................................................................... 3
Latar Belakang.......................................................................................................................... 3
Tujuan.......................................................................................................................................... 4
Tinjauan Pustaka............................................................................................................... 5
Hipotalamus dan Kelenjar Pituitari.................................................................................... 5
Kelenjar Adrenal....................................................................................................................... 6
Mineralokortikoid.................................................................................................................................. 7
Glukokortikoid........................................................................................................................................ 7
Krisis Adrenal.................................................................................................................. 10
Definisi...................................................................................................................................... 10
Epidemiologi........................................................................................................................... 11
Etiologi...................................................................................................................................... 12
Patofisiologi............................................................................................................................. 13
Temuan Klinis......................................................................................................................... 15
Anamnesa............................................................................................................................................... 15
Pemeriksaan Fisik............................................................................................................................... 16
Pemeriksaan Penunjang...................................................................................................... 16
Laboratorium........................................................................................................................................ 16
Pencitraan.............................................................................................................................................. 16
Lain-lain.................................................................................................................................................. 16
Diagnosa Banding.................................................................................................................. 17
Tatalaksana Gawat Darurat................................................................................................. 18
Medikasi.................................................................................................................................... 18
Tatalaksana Lanjutan.............................................................................................................................. 19

2
Pendahuluan

Latar Belakang

3
Tujuan

Referat ini dibuat untuk tujuan sebagai berikut:


a. Memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Penyakit Dalam
Rumah Sakit Marinir Cilandak yang merupakan salah satu syarat
kelulusan.
b. Mendapatkan penjelasan mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, tanda,
gejala, diagnosis, tatalaksana dan prognosis dari krisis adrenal.

4
Tinjauan Pustaka

Hipotalamus dan Kelenjar Pituitari

Kelenjar pituitari terdiri dari dua lobus utama, yaitu pituitari posterior
dan pituitari anterior. Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang
mengeluarkan sembilan hormon peptida. Dua dari hormon tersebut disimpan di
pituitari posterior (oksitosin dan vasopresin), dan tujuh sisanya (TRH, CRH,
GnRH, GHRH, GHIH, PRH, dan PIH) dibawa melalui hubungan vaskular spesial
(sistem portal hipotalamus-hipofisis) ke pituitari anterior, dimana mereka
mengatur pelepasan dari hormon-hormon pituitari anterior.

Vasopresin (antidiuretic hormone/ADH) memiliki dua efek utama yaitu:


(1) meningkatkan retensi air oleh nefron ginjal selama pembuatan urine (efek
antidiuresis), dan (2) menyebabkan kontraksi otot polos arteriol (efek pressor).
Efek pertama memiliki peran lebih besar dalam kondisi fisiologis. Pada saat
keadaan normal, vasopresin merupakan faktor endokrin primer yang mengatur
pembuangan air pada urin dan keseimbangan air secara keseluruhan.

Oksitosin menstimulasi kontraksi otot polos uterin untuk membantu


mengeluarkan bayi pada saat proses kelahiran, serta mendorong ejeksi susu dari
glandula mammae ketika ibu menyusui. Sekresi oksitosin meningkat jika ada
peningkatan refleks yang berasal dari proses kelahiran atau ada stimulasi
menyedot puting susu.

Lain halnya dengan pituitari posterior, yang melepaskan hormon produksi


hipotalamus, pituitari anterior memproduksi sendiri hormon yang dilepaskan.
Hormon-hormon tersebut akan dijelaskan secara singkat dalam paragraf ini.
Growth hormone merupakan hormon primer yang bertanggung jawab untuk
mengontrol pertumbuhan tubuh serta kerja metabolisme tubuh. Thyroid
Stimulating Hormone/TSH berguna untuk menstimulasi pelepasan hormon tiroid
dan pertumbuhan kelenjar tiroid. Adrenocorticotropic hormone/ACTH

5
merupakan hormon yang menstimulasi sekresi kortisol oleh korteks adrenal dan
mendorong pertumbuhan dari korteks adrenal. Follicle Stimulating
Hormone/FSH membantu regulasi gamet (ova dan sperma) pada kedua jenis
kelamin. Pada perempuan, FSH menstimulasi pertembuhan dan perkembangan
dari folikel ovaria, yang di dalamnya terdapat sel telur. Hal tersebut juga
mempromosi sekresi dari hormon estrogen oleh ovarium. Pada laki-laki, FSH
dibutuhkan dalam produksi sperma. Luteinizing Hormone/LH membantu
mengontrol sekresi hormon seks pada kedua jenis kelamin, selain fungsi-fungsi
penting lainnya bagi perempuan. Pada perempuan, LH berguna untuk ovulasi
dan luteinisasi (yaitu, formasi dari korpus luteum di ovarium pada saat ovulasi).
LH juga meregulasi sekresi estrogen dan progesteron. Pada laki-laki, hormon
yang sama menstimulasi sel Leydig di testis untuk mensekresi testosteron.
Prolactin/PRL berguna untuk menyokong pertumbuhan payudara dan produksi
susu (laktasi) pada perempuan. Fungsinya pada laki-laki belum diketahui pasti,
walau terdapat bukti bahwa PRL dapat memicu produksi reseptor LH pada testis.
Studi-studi terkini juga menyimpulkan bahwa prolaktin memperkuat sistem
imun dan mendukung pertubuhan pembuluh darah baru.

Kelenjar Adrenal

Ada dua kelenjar adrenal, masing-masing terletak diatas ginjal di dalam


kapsul lemak (ad berarti “sebelah”; renal berarti “ginjal”). Setiap kelenjar adrenal
terdiri dari dua bagian: bagian luar, korteks adrenal mengeluarkan berbagai
macam hormon steroid; bagian dalam, medulla adrenal memproduksi
katekolamin.

Korteks adrenal terdiri dari tiga bagian: zona glomerulosa, bagian terluar;
zona fasikulata, bagian tengah; dan zona retikularis, bagian terdalam. Korteks
adrenal memproduksi beberapa jenis hormon adrenokortikal, semuanya
merupakan steroid yang berasal dari satu molekul yaitu kolesterol. Berdasarkan
kerjanya, steroid adrenal dapat dibagi menjadi tiga kategori:

6
1. Mineralokortikoid, terutama aldosteron, mempengaruhi keseimbangan
mineral (elektrolit), spesifiknya adalah keseimbangan Na + dan K+.
2. Glukokortikoid, terutama kortisol, berperan penting dalam metabolisme
glukosa, protein, dan lemak serta adaptasi terhadap stres.
3. Hormon seks sama seperti yang diproduksi oleh gonad (testis pada laki-
laki, ovari pada perempuan). Hormon seks adrenokortikal yang terbanyak
dan terpenting adalah dehydroepiandrosterone, sebuah androgen, atau
hormon seks “pria”.

Mineralokortikoid

Aksi dan regulasi dari mineralokortikoid yang utama, aldosteron adalah


sebagai berikut. Aldosteron bekerja terutama pada tubulus distal ginjal, dimana
ia mendorong retensi Na+ dan meningkatkan eliminasi K+ saat pembentukan urin.
Retensi sodium oleh aldosteron tersebut membuat peningkatan retensi air yang
kemudian juga meningkatkan volume ECF, hal ini berguna bagi regulasi tekanan
darah jangka panjang.

Mineralokortikoid sangat berguna bagi kehidupan manusia. Tanpa adanya


aldosterone, seseorang dapat meninggal karena syok sirkulatorik yang
disebabkan oleh penurunan volume plasma secara drastis karena tidak ada
retensi sodium.

Sekresi aldosteron meningkat ketika (1) aktivasi dari sistem renin-


angiotensin-aldosteron oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan
Na+ dan penurunan tekanan darah, dan (2) stimulasi langsung kepada korteks
adrenal oleh peningkatan konsentrasi K+ plasma darah.

Glukokortikoid

Kortisol, glukokortikoid utama, berperan penting dalam metabolisme


karbohidrat, protein dan lemak; mengontrol kinerja hormon lainnya; dan
membantu orang mengatasi stres.

7
Secara keseluruhan, efek metabolisme kortisol adalah untuk
meningkatkan konsentrasi gula darah dengan mengorbankan simpanan protein
dan lemak. Secara spesifik, kortisol menjalankan fungsi-fungsi berikut:
 Stimulasi glukoneogenesis pada liver; perubahan molekul non-
karbohidrat (yaitu, asam amino) menjadi karbohidrat di dalam liver
(gluko berarti “glukosa”; neo berarti “baru”; genesis berarti
“produksi”). Diantara makan atau ketika saat berpuasa, glikogen
(simpanan glukosa) dalam liver cenderung habis. Otak kita hanya
dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi, oleh karena itu
glukoneogenesis berperan penting dalam menyediakan sumber energi
bagi otak ketika glikogen sudah habis.
 Inhibisi penggunaan glukosa oleh jaringan selain otak, hal ini
membantu meningkatkan konsentrasi glukosa darah dari
glukoneogenesis.
 Stimulasi degradasi protein oleh jaringan, terutama jaringan otot.
Dengan terjadinya degradasi protein menjadi asam amino oleh
jaringan, maka asam amino tersebut dapat digunakan sebagai bahan
mentah oleh liver untuk proses glukoneogenesis.
 Membantu lipolisis, yaitu penghancuran lipid (lemak) yang disimpan
di dalam jaringan adiposa, kemudian menjadi asam lemak bebas di
dalam darah. Hal ini dapat digunakan oleh jaringan sebagai pengganti
gula untuk energi sementara, selagi otak menggunakan sisa gula yang
ada untuk energinya.

Kortisol berguna juga sebagai pendamping dalam suatu reaksi hormonal.


Sebagai contoh, kortisol harus ada dalam jumlah yang cukup untuk mengijinkan
katekolamin melakukan vasokonstriksi. Seseorang yang tidak memiliki cukup
kortisol, jika tidak ditangani, maka dapat mengalami syok sirkulatori karena
tubuhnya tidak dapat melakukan vasokonstriksi.

Kortisol berperan penting dalam adaptasi tubuh terhadap stres. Stres


berbagai jenis adalah salah satu stimuli utama dalam peningkatan sekresi

8
kortisol. Walaupun peran spesifik kortisol dalam adaptasi terhadap stres belum
diketahui, tetapi ada teori yang menyebutkan bahwa sejak zaman primitif, ketika
manusia dalam keadaan dibawah tekanan, sehingga ia harus menahan makan
saat sedang bertarung. Kortisol membuat protein dan lemak yang tersimpan
berubah menjadi karbohidrat, yang berguna sebagai makanan bagi otak. Asam
amino yang bebas karena degradasi protein juga berguna sebagai blok
pembangun jika terjadi kerusakan terhadap jaringan di tubuh.
Efek anti-inflamasi dan supresi imun yang diberikan oleh kortisol berguna untuk
menahan dan mengecek keseimbangan dari sistem imun tubuh. Imunitas tubuh
yang berlebihan dapat menyebabkan bahaya, oleh karena itu peran kortisol
dalam reaksi imun berguna untuk menjaga homeostasis. Sebagai contoh, kortisol
menghentikan sebagian produksi mediator kimia seperti prostaglandin dan
leukotrien; kortisol menekan migrasi neutrofil ke daerah luka dan menghambat
kerja fagositik; dan kortisol juga menghentikan proliferasi dari fibroblas pada
penyembuhan luka. Kortisol juga menurunkan respons imun tubuh dengan cara
menghambat produksi antibodi oleh limfosit.

Pemberian glukokortikoid dalam dosis besar menginhibisi hampir


seluruh rangkaian respons imun tubuh, membuat steroid menjadi obat yang
ampuh dalam menangani penyakit dimana sistem respons tubuh sendiri menjadi
berbahaya, contohnya dalam kasus rheumatoid arthritis. Walaupun steroid dapat
diberikan sebagai terapi penyakit, tetapi penggunaannya harus teliti dan terus
diawasi, karena ada beberapa alasan yang dapat membuat steroid menjadi
berbahaya bagi penggunanya. Pertama, karena obat-obat ini menurunkan
respons inflamasi dan imun yang normal, pengguna glukokortikoid akan lebih
rentan terhadap infeksi. Kedua, penggunaan glukokortikoid lama dapat
menyebabkan efek-efek samping yang sifatnya dari mengganggu hingga merusak.
Efek-efek tersebut adalah munculnya ulkus gastrik, tekanan darah meningkat,
aterosklerosis, mens ireguler, dan penipisan tulang. Ketiga, tingginya level
glukokortikoid dalam darah akan memberikan umpan balik yang bersifat negatif
terhadap axis hipotalamus-pituitari-adrenal. Adrenal tidak akan memproduksi
glukokortikoid karena umpan balik negatif tersebut, hal ini dapat menyebabkan

9
atrofi ireversibel dari sel yang memproduksi kortisol sehingga lama-lama tubuh
tidak akan dapat memproduksi kortisolnya sendiri.

10
Krisis Adrenal

Definisi
Krisis adrenal akut adalah keadaan mengancam nyawa yang disebabkan
oleh kekurangan kortisol di dalam darah yang diproduksi oleh kelenjar adrenal.
Ketika seseorang diduga memiliki insufisiensi adrenal dan menunjukkan gejala-
gejala seperti otot melemah, tekanan darah rendah atau syok, dan sangat
mengantuk atau koma maka orang tersebut diduga memiliki krisis adrenal atau
krisis Addison.

Insufisiensi adrenal adalah keadaan yang disebabkan ketika kelenjar


adrenal gagal memproduksi kortisol dan aldosteron dalam jumlah yang cukup,
atau bahkan tidak memproduksi sama sekali. Kekurangan kortisol dalam jangka
lama dapat menyebabkan lesu berat, lelah kronis, depresi, kehilangan nafsu
makan, dan penurunan berat badan. Kekurangan aldosteron menyebabkan
tekanan darah untuk drop, terutama saat berdiri secara cepat, juga menyebabkan
kelainan konsentrasi garam di dalam tubuh. Kortisol sangat berguna dalam
proses metabolisme tubuh, terutama ketika tubuh berada dalam kondisi “stres”,
seperti operasi, trauma, atau infeksi berat. Jika kelenjar adrenal tidak dapat
memproduksi kortisol dalam jumlah cukup, maka tubuh tidak dapat menghadapi
kondisi diatas, dan tubuh dapat mengalami syok yang disebut krisis adrenal.

11
Epidemiologi

Hahner et. al telah melakukan studi yang mempelajari frekuensi dan


penyebab, serta faktor resiko untuk krisis adrenal pada pasien dengan
insufisiensi adrenal kronis. Menggunakan kuesioner spesifik terhadap
penyakitnya, para penulis menganalisa data dari 444 pasien, termasuk 254
pasien dengan insufisiensi adrenal primer dan 190 dengan insufisiensi adrenal
sekunder. Setidaknya 1 kasus krisis adrenal dilaporkan oleh 42% pasien,
termasuk 47% dari pasien insufisiensi adrenal primer dan 35% oleh pasien
dengan insufisiensi adrenal sekunder. Infeksi gastrointestinal dan demam
merupakan penyebab krisis adrenal. Faktor resiko lain yang teridentifikasi
menyebabkan krisis adrenal adalah pasien dengan insufisiensi adrenal primer,
penyakit nonendokrin konkomitan (odd ratio = 2.02), dan untuk pasien dengan
insufisiensi adrenal sekunder, jenis kelamin wanita (odd ratio = 2.18), dan
diabetes insipidus (odd ratio = 2.71).1

Insidens dari insufisensi adrenal primer bervariasi dan bergantung


kepada tingkat kortisol dalam darah serta metode uji yang digunakan (contoh:
stimulasi ACTH versus uji level kortisol tunggal acak). Penyakit asli pasien juga
merupakan faktor. Studi dari pasien yang kritis dengan syok sepsis memberikan
insidens de novo (eksklusi pasien-pasien dengan insufisiensi adrenal yang
diketahui atau yang menggunakan terapi glukokortikoid) sejumlah 19-54%.
Insufisiensi adrenal sekunder telah menunjukkan 31% pasien masuk ke unit
perawatan intensif.

Studi yang dilakukan Annane et al pada tahun 2002 menunjukkan 76%


pasien datang dengan syok sepsis. Pada populasi perioperatif secara umum,
dalam 62.473 pemberian anastesi, hanya 419 (0.7%) orang yang membutuhkan
suplementasi glukokortikoid dan hanya 3 kejadian hipotensif yang diasosiasikan
dengan kekurangan glukokortikoid.2 Studi dari pasien yang menjalani operasi
kardiak atau urologis menunjukkan tingkat insidens sebanyak 0.01-0.1%. Pada
studi yang dilakukan tahun 2000 pada autopsi rumah sakit umum secara

12
konsekutif, hanya 22 (1.1%) yang menunjukkan perdarahan adrenal bilateral
(PAB); tetapi, hanya sebanyak 15% yang meninggal dalam keadaan syok yang
memiliki PAB.

Tidak ada penjelasan atau data mengenai perbedaan ras, jenis kelamin
ataupun usia di dalam literatur.
Jika tidak ada PAB, tingkat keselamatan pasien dengan krisis adrenal akut
yang didiagnosa dan ditangani secara tepat, mendekati tingkat keselamatan
pasien tanpa krisis adrenal yang memiliki keparahan yang sama. Pasien yang
memiliki PAB sebelum tersedianya tes hormon atau computed tomography (CT)
scan jarang selamat. Pada satu studi, pasien yang didiagnosa menggunakan CT
memiliki tingkat keselamatan sebesar 85%. Karena angka insidens asli dari krisis
adrenal dan PAB tidak diketahui, maka tingkat mortalitasnya tidak diketahui.

Etiologi

Penyebab dari krisis adrenal yang diketahui adalah sebagai berikut:


 Penghentian tiba-tiba dari penggunaan terapi steroid jangka panjang
 Syok sepsis
 Ketokonazol
 Fenitoin
 Rifampin
 Mitotan

13
Patofisiologi

Korteks adrenal memproduksi tiga hormon steroid: glukokortikoid


(kortisol), mineralokortikoid (aldosteron, 11-deoxykortikosteron), dan androgen
(dehidroepiandrosteron/DHEA). Androgen secara relatif tidak berperan penting
pada orang dewasa, dan 11-deoksikortikosteron terhitung lemah jika
dibandingkan dengan aldosteron. Hormon utama yang penting pada krisis
adrenal akut adalah kortisol; produksi aldosteron adrenal bersifat relatif minor.

Kortisol memperbanyak glukoneogenesis dan menyediakan substrat


melalui proteolisis, inhibisis sintesis protein, mobilisasi asam lemak, dan
meningkatkan serapan asam amino hepar. Kortisol secara tidak langsung
menyebabkan sekresi insulin untuk menyeimbangkan hiperglikemia, tetapi juga
menurunkan sensitivitas insulin. Kortisol memberikan efek anti-inflamasi yang
signifikan dengan menyeimbangkan lisosom, mengurangi respons leukosit, dan
menahan produksi sitokin. Aktivitas fagosit terus berjalan, tetapi cell-mediated
immune berkurang dalam situasi kekurangan kortisol. Kortisol membantu
pembuangan air, meningkatkan nafsu makan, dan menekan sintesis hormon
adrenokortikotropis (ACTH).

Aldosteron dilepaskan sebagai respons terhadap stimulasi angiotensin II


melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, hiperkalemia, hiponatremia, dan
antagonis dopamin. Efeknya terhadapa target organ primer, ginjal, adalah untuk
memperbanyak reabsorpsi sodium dan sekresi kalium dan hidrogen. Mekanisme
aksi tidak jelas; diperkirakan bahwa ada peningkatan enzim Na +/K+ ATPase yang
berguna untuk transport sodium, serta peningkatan aktivitas enzim karbonik
anhidrase. Efek akhir dari proses diatas adalah peningkatan tekanan
intravaskular. Sistem renin-angiotensin-aldosteron tidak dipengaruhi oleh
glukokortikoid eksogenus, dan defisiensi ACTH memiliki dampak minor terhadap
jumlah aldosteron.

14
Defisiensi hormon adrenokortikal menyebabkan kemunduran dari efek-
efek hormonal diatas, menyebabkan temuan klinis dari krisis adrenal.
Insufisiensi adrenal dibagi menjadi dua jenis, yaitu primer dan sekunder.

Insufiensi adrenal primer terjadi ketika kelenjar adrenal gagal


mengeluarkan hormon-hormon diatas dalam jumlah yang cukup untuk menutup
kebutuhan fisiologis, meskipun adanya pelepasan ACTH dari pituitari. Kelainan
autoimun atau infiltratif merupakan penyebab paling sering, tetapi kelelahan
adrenal dari penyakit kronis yang parah juga dapat menjadi penyebabnya.

Insufisiensi adrenal sekunder terjadi ketika steroid eksogen telah


menekan kinerja dari aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Penghentian tiba-tiba
dari penggunaan steroid eksogen dapat mencetuskan krisis adrenal, atau stres
tiba-tiba dapat meningkatkan kebutuhan kortisol yang melebihi kemampuan
kelenjar adrenal. Dalam penyakit akut, level kortisol normal dapat menunjukkan
insufisiensi adrenal karena level kortisol seharusnya meningkat.

Perdarahan adrenal bilateral (PAB) terjadi saat ada stres fisiologis berat
(contoh: infark myokardial, syok sepsis, rumitan kelahiran) atau seiring dengan
kelainan koagulopati atau tromboemboli.

15
Temuan Klinis

Anamnesa

 Konsumsi steroid sebelumnya:


o Steroid oral; konsumsi prednison atau setara sebanyak minimum
20 mg per hari selama 5 hari dalam 1 tahun terakhir. Pasien yang
menerima dosis menyerupai dosis fisiologis normal membutuhkan
1 bulan untuk mengembalikan fungsi adrenal ke tingkat normal.
o Steroid topikal; penggunaan secara luas dan dalam jangka waktu
panjang obat steroid poten dapat menyebabkan efek sama seperti
konsumsi steroid diatas
o Steroid inhalasi; penggunaan dosis tinggi (>0.8mg/hari)
dalam jangka lama dapat meningkatkan resiko supresi adrenal
 Stres fisiologis berat3 (contoh: sepsis, trauma, luka bakar, operasi)
 Terapi adrenokortikotropin atau memiliki riwayat penyakit insufisiensi
adrenal baik primer maupun sekunder
 Infeksi, biasa disebabkan oleh bakteri (contoh: H. influenzae, S. aureus, S.
pneumonia) ataupun jamur
Berikut adalah penemuan klinis pada pasien dengan adrenal krisis
berdasarkan Hahner et al4:
 Rasa lemah atau kelemahan pada pasien (99%)
 Pigmentasi kulit (98%)
 Penurunan berat badan (97%)
 Nyeri perut (34%)
 Salt craving (22%)
 Diare (20%)
 Konstipasi (19%)
 Sinkop (16%)
 Vitiligo (9%)

16
Pemeriksaan Fisik

 Hiperpigmentasi dapat ditemukan, terutama pada bagian yang sering


terpapar sinar matahari atau gesekan atau tekanan
 Takikardia, hipotensi ortostatik (disebabkan oleh deplesi cairan dan
sodium)
 Mual, muntah, nyeri perut atau punggung bawah
 Hipertermia atau hipotermia

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

 Hitung darah rutin (Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)


 Serum elektrolit
 Level BUN (Blood Urea Nitrogen)
 Kreatinin
 Jumlah kortisol/ACTH
 Serum kalsium
 Fungsi tiroid

Pencitraan

 Foto X-ray dada


 Foto CT scan:
o Kepala – dapat terlihat kelainan pada pituitari (empty sella
syndrome) atau massa pituitari pada krisis atau insufisiensi
adrenal sekunder
o Abdomen – dapat terlihat kelainan pada kelenjar adrenal,
kalsifikasi adrenal (pada kasus tuberkulosis), atau metastasis

Lain-lain

 Tes stimulasi ACTH:

17
o Catatan: dalam keadaan gawat darurat, jangan tunda penanganan
dengan asumsi insufisiensi adrenal. Penanganan dengan
deksametason tidak mengganggu tes stimulasi ACTH ataupun
pengukuran level kortisol serum
o Tentukan nilai dasar serum kortisol dan ACTH
o Berikan 0.25 mg kosintropin (ACTH sintesis) secara intravenus
atau intramuskular
o Hitung level kortisol setiap 30 menit setelah pemberian
kosintropin
o Respons normal ditandai ketika level kortisol mencapai 18 g/dL
setelah pemberian ACTH
o Pada insufisiensi adrenal, level kortisol serum tidak dapat
meningkat walaupun telah diberikan ACTH
 Tes rekam jantung/elektrokardiografi
o Dapat ditemukan peningkatan gelombang T yang menunjukkan
hiperkalemia
 Kortisol urin 24 jam
o Hanya dilakukan pada kondisi tidak gawat darurat

Diagnosa Banding
 Addison’s disease
 Anorexia nervosa
 Asidosis metabolik
 Hiperkalsemia
 Hiperkalemia
 Hipoglikemia
 Hiponatremia
 Hipopituitarism
 Hipotiroid

18
Tatalaksana Gawat Darurat

 Jaga dan stabilkan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi pada pasien krisis
adrenal
 Gunakan terapi penggantian cairan secara agresif (gunakan dekstros 5%
dalam larutan salin normal).
 Tangani kelainan elektrolit berikut:
o Hipoglikemi
o Hiponatremi
o Hiperkalemi
o Hiperkalsemi
 Gunakan dekstros 50% jika terjadi hipoglikemia
 Berikan hidrokortison (100 mg) intravena selama 6 jam. Pada saat
pemeriksaan stimulasi ACTH, deksametason (4 mg) intravena dapat
digunakan sebagai pengganti hidrokortison agar tidak mengganggu tes
level kortisol
 Berikan fludrokortison setiap hari sebagai penggati mineralokortikoid
 Selalu tangani underlying disease yang menyebabkan kondisi pasien

Medikasi

 Inti dari pengobatan pasien krisis adrenal maupun insufisiensi adrenal


adalah penggantian glukokortikoid. Kelainan elektrolit, metabolik, dan
hipovolemia harus ditangani. Terakhir, tangani komplikasi lain yang dapat
keluar sebagai bentuk dekompensasi tubuh pasien.
 Kortikosteroid:
o Hidrokortison – drug of choice karena aktivitas mineralkortikoid
dan efek glukokortikoid yang dimiliki
o Kortison – drug of choice oleh sebagian dokter
o Prednison – menangani berbagai macam penyakit, termasuk
insufisiensi adrenal. Mengandung zat kimia tidak aktif, menjadi

19
aktif setelah melalui metabolisme oleh hepar. Tidak dianjurkan
pada pasien yang mengalami penurunan fungsi hati.
o Deksametason – merupakan alternatif hidrokortison, berguna
sebagai pengganti saat dilakukan tes kortisol serum, agar tidak
mengganggu pembacaan hasil
o Fludrokortison asetat – berguna sebagai pengganti sementara
pada kasus insufisiensi adrenal primer dan sekunder.

Tatalaksana Lanjutan

 Berikan terapi suportif lanjutan sesuai dengan kebutuhan


 Lakukan perbaikan elektrolit
 Terapi pengganti cairan terus dilanjutkan
 Monitor tingkat glukosa darah dan berikan jika kurang
 Ketika pasien sudah stabil, biasanya pada hari kedua, dosis kortikosteroid
dapat dikurangi dan lakukan tapering off. Penanganan oral dapat mulai
dilakukan pada hari keempat atau kelima.
 Pemberian mineralokortikoid biasanya tidak dibutuhkan kecuali dengan
kortikosteroid rendah aktivitas mineralokortikoid (contoh:
deksametason) atau pemberian kortikosteroid sudah mendekati level
pemeliharaan. Mineralokortikoid tidak sering digunakan pada pasien
dengan insufisiensi adrenal sekunder.
 Cari dan tangani faktor pencetus dari krisis adrenal ataupun insufisiensi
adrenal pasien. Biasanya faktor infeksi merupakan pencetus krisis
adrenal.
 Stabilisasi level kortisol dapat dicapai dengan pemberian hidrokortison
15-20 mg secara oral setiap pagi dan 5-10 mg secaral oral pada sore hari
antara jam 16.00-18.00
 Stabilisasi level mineralokortikoid dapat dicapai dengan pemberian 9-alfa
fluorokortisol 0.05-0.1 mg setiap hari. Penanganan ini hanya penting
untuk pasien dengan insufisiensi adrenal primer.

20
 Lakukan pemeriksaan tekanan darah, berat badan, dan elektrolit secara
reguler
 Berikan edukasi terhadap pasien mengenai penyakitnya, dan terutama
untuk meningkatkan dosis steroid ketika berada di bawah kondisi stres
fisiologis.

21
1
Hahner S, Loeffler M, Bleicken B, et al. Epidemiology of adrenal crisis in chronic adrenal
insufficiency: the need for new prevention strategies. Eur J Endocrinol. Mar 2010;162(3):597-602.
2
Annane D, Sebille V, Charpentier C, et al. Effect of treatment with low doses of hydrocortisone
and fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA. Aug 21 2002;288(7):862-
71.
3
Weant KA, Sasaki-Adams D, Dziedzic K, et al. Acute relative adrenal insufficiency after
aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Neurosurgery. Oct 2008;63(4):645-9; discussion 649-50.
4
Hahner S, Loeffler M, Bleicken B, Drechsler C, Milovanovic D, Fassnacht M, et al. Epidemiology of
adrenal crisis in chronic adrenal insufficiency: the need for new prevention strategies. Eur J
Endocrinol. Mar 2010;162(3):597-602.

Anda mungkin juga menyukai