Anda di halaman 1dari 3

Samudera Imajinasi

Karya Firizky Ardiansyah


Meswari melangkah pelan dan hati-hati. Beban yang ia pikul selama ini adalah dua buah
karung beras milik Pak Karmin. Meswari sudah berpengalaman agar setiap perjalanannya selamat.
Yakni berjalan perlahan sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada
telapak kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kanannya pun harus dilakukan
dengan baik. Meswari harus memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi
keseimbangan yang sempurna.
Meski demikian Meswari pagi ini sudah terjatuh tiga kali, pada saat itu trotoar tua basah
bekas jejak-jejak keringat itu lengang. Satu dua orang hanya melirik melihat tubuh tua itu tumbang,
lantas pergi, lalu berbaur kembali dengan dunianya. Meswari yang sedari tadi bergeming
kemudian bangkit. Dengan wajah pucat, pandangan kunang-kunang, dan nadi di lehernya yang
menonjol keluar dari kulitnya, ia berusaha berdiri, lantas mengambil kembali karung beras yang
isinya sebagian menggelinding ke jalan raya.
Entah mengapa itu terjadi hingga berulang-ulang, tapi kini anak manusia yang lebih mirip
orang orangan sawah itu berusaha melangkah lebih pelan dan berhati-hati. Wajah pucat itu dibalut
rasa gelisah membayangkan wajah Pak Karmin yang memerah, melihat beras-beras yang ia
panggul kini tinggal tiga perempat bagiannya. Tapi itu tidak masalah baginya. Setidaknya dia tidak
pingsan di trotoar itu.
“Hey, Meswari! Sudah berapa kali aku bilang, sudahi sajalah pekerjaan mu itu, lihatlah
matamu kini bahkan hanya bersisa bagian putihnya saja.” Teriak Bandi, memecah bayang bayang
wajah Pak Karmin. Kedai kopi yang cukup ramai itu membuat setiap orang yang bicara disana
harus sedikit berteriak ketika bicara. Sebenarnya Bandi sudah memerhatikan Meswari sejak tadi
siang, Bandi sudah menduga bahwa wajah yang dulunya ceria itu saat ini sedang di tutup kelabu
tak kasat mata. Sudah beberapa kali juga Bandi menasihati Meswari untuk berhenti bekerja. Tapi
Meswari tidak mendengarkan, lalu pergi meninggalkan kedai.
Masih lima ratus meter lagi kios Pak Karmin, tidak banyak yang dapat Meswari lakukan di
perjalanan kecuali mengangkat puluhan kilo beras di pundaknya atau terombang-ambing dalam
lautan imajinasinya itu. Samudera memorinya adalah musuh bebuyutan Meswari. Itu bahkan jauh
lebih buruk dibanding dengan wajah merah Pak Karmin saat marah, atau ketika karung beras itu
jatuh menimpa tubuhnya sekalipun, tetap saja memori tua itu jauh lebih kelam dari apapun. Luka
mendalam itu mungkin tidak akan pernah sembuh, semakin Meswari berusaha sembuh, semakin
parah juga luka itu berbekas dalam tubuhnya.
Sudah kesepuluh kalinya benak Meswari terjerembab dalam jebakan imajinya sendiri.
Contohnya tadi pagi, sebelum Meswari terjatuh untuk kedua kalinya di trotoar, wajah istrinya itu
tervisualisasikan begitu jelas tepat di hadapannya. Meswari membersihkan matanya yang tidak
kotor, memastikan bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Tapi itu memang halusanasinya saja.
Tidak berlangsung lama visualisasi itu. Wajah istrinya terlihat nyata, Tapi sayang, halusinasinya
tidak berlangsung lama. Bahkan Meswari tidak sempat menyentuhnya. Tubuhnya telanjur jatuh.
Kehilangan keseimbangan.
Sudah tujuh hari, Meswari ditinggal istrinya pergi selama-lamanya. Akal sehat Meswari
sebenarnya sudah terganggu sejak dua hari setelah kepergian istrinya, ditambah dengan masalah
pribadinya yang terus menerus muncul setiap harinya. mungkin itulah yang menyebabkan hari
demi hari halusinasinya itu semakin parah. Meswari sebenarnya sudah melakukan beberapa solusi-
solusi dari teman-temannya. Tapi tetap saja, mungkin pikiran yang menghantuinya itu sudah
tertancap dalam benaknya.
Sepuluh menit berlalu, tak terasa, samar-samar kios Pak Karmin sudah terlihat batang
hidungnya sejauh mata memandang. Terlihat dalam kios itu Pak Karmin sedang duduk menunggu
pelanggannya di depan kios. Meswari sudah siap dimarahi Pak Karmin untuk ketiga kalinya.
Meswari melangkahkan kakinya santai, mendekati bilik kios itu.
Ketika pijakan pertama kaki Meswari memijak lantai bersih kios milik Pak Karmin, wajah
Pak Karmin menyelidik, lalu menatap wajah Meswari. Meswari berkeringat. Tapi ada yang aneh,
wajah merah yang dia bayangkan tidak juga muncul dihadapannya itu.
“Sudah Mes, ini gajimu, kembalilah besok, lain kali jika kau kelelahan, jangan sekali-kali
kau bekerja di tempatku” gumam Pak Karmin, Meswari kaget, lantas membalas senyum wajah
Pak Karmin. Meswari sebenarnya masih ingin bekerja. Tapi dia tidak bisa menolak, karena jika
karung milik Pak Karmin itu terguling lagi, dia akan merepotkan banyak orang. Akhirnya lelaki
tua itu mengangguk dan berpamitan.
Sore itu, ketika langit bergurat oranye di ufuk barat itu tersulam dengan lautan asap hitam
yang menutup atmosfer bumi. Jaket peninggalan ayahnya sudah tepat dikenakan Meswari. Ular
ular keriput itu merogoh saku jaket hitam itu. Kios milik Pak Karmin sudah lenyap sejauh mata
memandang. Satu dua orang, tengah sibuk menutup tokonya. Sebagian berlarian menuju rumah-
rumah nya.
Ketika butiran sebesar kuaci itu menetes untuk pertama kalinya, ketika pesan berantai hawa
dingin yang semenjak tadi sore menjilat seluruh tubuhnya, ketika gemuruh mulai bersahutan satu
sama lain, Meswari sudah menduga hujan deras akan menerjang bumi hingga datang pagi hari
nanti, seperti hujan hujan tua lainnya yang telah ia lewati. Tubuh tua itu harus menepi, harus
menepi.
Di bawah tudung toko yang tutup itu, Meswari menyandarkan tubuhnya di ujung tembok.
Tangan keriput itu ia gosok, berharap akan timbul percikan api memancar keluar dari tangannya.
Hawa dingin itu berhasil menusuk-nusuk tubuh Meswari. Tapi dia berusaha kokoh. Tudung toko
itu lengang, walaupun satu dua kendaraan melintas, tapi tidak berlangsung lama. Kendaraan itu
hanya sedetik lalu lenyap menyisakan senyap.
Semakin malam, hujan itu tidak juga menunjukan tandanya semakin reda, sementara itu
kaki-kaki Meswari sudah tidak tahan lagi menahan beban tubuhnya. Hanya hitungan waktu
tubuhnya sudah sempurna ambruk menuju lantai toko itu. Makhluk basah yang menggenang di
lantai toko itu meresap masuk ke dalam pori-pori pantatnya. Tidak mengapa, tidak ada cara lain.
Itu satu-satunya cara sebelum tumbuhnya ambruk seluruhnya, lalu masuk ke dalam genangan air
di samping atau depannya.
Celana satu-satunya yang ia miliki kini sempurna basah bagian bawahnya, tapi itu tidak
masalah. Yang jadi masalah, saat ini dalam suasana senyap, visualisasi itu kembali muncul di
hadapan Meswari. Dimulai dengan wajah samar istrinya di seberang jalan, kemudian efek visual
itu semakin jelan.
Kini seluruh tubuh istrinya itu jelas terlihat dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Dalam
derasnya hujan, wanita cantik itu melambai ke arah Meswari. Meswari terhipnotis dengan wanita
itu. Ia seakan akan benar benar melihat istrinya yang memanggil-manggil Meswari, seakan tatapan
wajah wanita itu menarik Meswari untuk mendekat.
Tanpa sadar, tubuh Meswari kini sudah berdiri, bersiap mendekat. Kakinya melangkah
perlahan mendekati ujung trotoar, jalan raya itu masih juga senyap sejak istrinya datang, yang
terdengar hanyalah suara derasnya hujan yang tak berkesudahan. Kepala Meswari sudah sempurna
meninggalkan tudung toko, seketika jaket peninggalan ayahnya itu basah kuyup terlahap derasnya
hujan. Sementara itu, wanita di seberang jalan itu masih melambaikan tangannya yang indah.
Meswari kali ini mantap terhipnotis, sudah hilang akal sehatnya, kaki-kaki mungil itu
bergerak tanpa terkendali, ketika ujung kakinya tepat memijak ujung trotoar itu, halusinasi
Meswari semakin menjadi-jadi. Tempat yang asalnya basah karena hujan, berubah menjadi
wilayah hijau yang luas, wajah istrinya masih terlihat radius lima meter di depannya, kakinya terus
berjalan, melangkah tanpa kendali.
●●●
Tengah malam, Trotoar basah itu ramai dengan derasnya hujan yang menghujang bumi
semenjak sore tadi. Tapi keramaian itu bertambah, puluhan orang tampak mengepul. Payung
payung tampak bermekaran. Ditambah satu dua mobil ambulans datang mendekati. Begitu juga
mobil polisi yang menjaga suasana agar tetap terkendali.
Tubuh meswari diangkat tiga orang medis ke dalam mobil ambulans, di bawa pergi ke rumah
sakit terdekat. Sementara itu dua orang saksi dibawa ke kantor polisi, dimintai keterangan.
Sekaligus mobil sedan yang penyok bagian depannya juga ikut di amankan oleh polisi.

Anda mungkin juga menyukai