Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

LUPUS (SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS)

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak II
Dengan Dosen Pengampu Ns. Natalia Devi Oktarina, S.Kep.,M.Kep.Sp.Kep.An.

Disusun Oleh :
1. Nur Kholidah (010116A059)
2. Risa Lailatum M. (010116A069)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN
TAHUN 2018

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikumn Wr.Wb.
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan rahmat dan inayahnya kita dapat menyelesaikan makalah yang bertema
“Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Lupus(Lupus Eritematosus Sistemik)”
ini dengan tepat waktu. Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Anak II.

Atas keberhasilan dalam menyelesaikan tugas makalah ini, kami


mengucapkan terimakasih kepada teman-teman mendukung yang telah
mendukung dalam proses menyelesaikan makalah ini untuk mencapai sebuah
makalah yang baik dan benar.Dan juga tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
kepada dosen pembimbing yang telah memberi tugas ini kepada kami yang
akhirnya memberikan banyak pengalaman yang akan bermanfaat bagi kami.

Pada akhirnya,dari makalah ini kami berharap akan bermanfaat khususnya


bagi pembaca dan penulis makalah ini serta memberi inspirasi bagi
pembacanya.Dan kami telah berusaha sebisa mungkin dalam penyelesaian tugas
makalah ini, namun masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
menyempurnakan makalah ini dan tugas selanjutnya. Terimakasih
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Ungaran, September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB IPENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH .............................................................. 1
C. TUJUAN ....................................................................................... 2
BAB IIPEMBAHASAN ........................................................................... 3
A. DEFINISI ...................................................................................... 3
B. ETIOLOGI .................................................................................... 4
C. MANIFESTASI KLINIS .............................................................. 8
D. PATOFISIOLOGI ......................................................................... 11
E. DIAGNOSIS ................................................................................. 12
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG .................................................. 14
G. PENATALAKSANAAN MEDIS ................................................. 16
H. PENGKAJIAN .............................................................................. 19
I. ASUHAN KEPERAWATAN ...................................................... 22
BAB IIIPENUTUP ................................................................................... 28
A. KESIMPULAN ............................................................................. 28
B. SARAN ......................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit tidak menular diketahui sebagai faktor utama penyebab


kematian tahun 2012. Secara global, diperkirakan 56 juta orang meninggal
karena penyakit tidak menular. Saat ini angka kejadian penyakit tidak
menular terus meningkat, diantaranya yaitu penyakit lupus. Organisasi
kesehatan dunia atau WHO mencatat penyakit lupus rata-rata menyerang
wanita pada usia 15-50 tahun (usia produktif).
The lupus foundation of amerika memperkirakan sekitar 1,5 juta
kasus terjadi di amerika dan setidaknya terjadi 5 juta kasus di dunia. Setiap
tahun diperkirakan terjadi sekita 16rbu kasus baru lupus.Di Indonesia,
jumlah penderita penyakit lupus secara tepat belum diketahui. Prevalensi
Systemic Lupus Erythemotosus (SLE) di masyarakat berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Prof. Handono Kalim, dkk di Malang
memperlihatkan angka sebesar 0,5% terhadap total populasi.
Peningkatan jumlah lupus diwaspadai oleh masyarakat dengan
memberi perhatian khusus karena diagnosis penyakit lupus tidak mudah
dan sering terlambat. Lupus Erithematosus Sistemic (LES) atau Systemic
Lupus Erythemotosus (SLE) yang dikenal sebagai penyakit “seribu wajah”
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas
penyebabnya, dan memiliki sebaran gambaran klinis yang luas dan
tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Hal ini menyebabkan sering
terjadi kekeliruan dalam mengenali penyakit lupus, sampai dengan
menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan penatalaksanaan kasus.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi darilupus ?
2. Apakah etiologi lupus?

1
3. Apasaja manifestasi klinislupus ?
4. Bagaimana patofisiologi lupus ?
5. Apa saja diagnosa lupus ?
6. Apa saja pemeriksaan penunjangnya ?
7. Bagaimana penatalaksanaan medisnya lupus?
8. Bagaimana Pengkajian klien dengan lupus?
9. Apa saja Asuhan keperawatan pasien dengan lupus ?

A. TUJUAN
1. Menjelaskan definisi lupus !
2. Menjelaskan etiologi dari lupus!
3. Menyebutkan manifestasi klinis lupus !
4. Menjelaskan patofisiologi lupus!
5. Menyebutkan diagnosislupus!
6. Menyebutkan pemeriksaan penunjangpasien dengan lupus !
7. Menyebutkan dan menjelaskan penatalaksanaan medispasien dengan
lupus !
8. Menjelaskan pengkajian pasien dengan lupus !
9. Menyebutkan asuhan keperawatan pasien dengan lupus !

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
LES adalah suatu penyakit autoimun yang mengenai berbagai jaringan dan
organ ( Rudolph, 2006). Istilah Lupus eritematosus sistemik bersifat deskriptif dan
berasa dari gambaran “gigitan serigala” pada ruam wajah yang kronik, parah, dan
tidak diobati. tanda utama penyakit ini adalah pembentukan beragam autoantibodi
terhadap komponen subselular, antara lain DNA, RNA, protein, dan kompleks
protein asam nukleat.

Lupus Eritematosus Sistemik atau LES ( SLE ) adalah penyakit reumatik


autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi yang tersebar luas yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisiautoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan. Menurut Prof.DR.Dr. Marwali Harahap, Sp.KK (tahun 2000),
lupus eritematosis sistemik adalah penyakit sistemik yang mengenai berbagai organ sistemik,
karakteristik dengan adanya Antibody Antinuclear ( AAN).

Kriteria untuk SLE ringan adalah :


1. Secara klinis tenang.
2. Tidak terdapat tanda atau gejala mengancam nyawa.
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu : ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, SSP, sendi, hematologi, dan kulit.

Kriteria SLE dengan keparahan sedang adalah :


1. Nefritis ringan sampai sedang.
2. Trombositopenia (trombosit 20-50 x 103/mm3)
3. Serositis mayor.
Kriteria SLE berat adalah :
1. Jantung: endokarditis, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna.

3
2. Paru-paru : hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, fibrosis interstisial.
3. Gastrointestinal : pancreatitis, vaskulitis mesentrika.
4. Ginjal : nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit : vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh.
6. Neurologi : kejang, koma, stroke, mielopaty, mononeuritis, polyneuritis,
neuritis optic,psikosis, syndromi demielinasi.
7. Hematologi : Anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 1.000/ mm3),
trombositopenia , 20.000/ mm3, purpura trombotik trombositopenia,
thrombosis vena atau arteri.

B. Etiologi
Etiologi dari SLE ini sendiri masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti
contohnya faktor genetik, lingkungan dan faktor hormonal terhadap respo imun.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel
dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan
menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam
pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun
sistemik dengan kerusakan multiorgan.

1. Genetik
LES adalah suatu penyakit autoimun yang etiologinya tidak
diketahui, tetapi memiliki predisposisi genetik. Dihipotesiskan bahwa LES
seperti penyakit autoimun lain, terjadi bila orang yang rentan secara
genetik mengalami kontak dengan pemicu lingkungan yang sampai saat
ini belum teridentifikasi. LES dikaitkan dengan pewarisan haplotipe HLA
tertentu yang sering ditemukan pada pasien kulit putih, dan ditemukan
DR2 bukan DR3 dalam haplotipe LES yang sering dijumpai pada orang
Amerika keturunan Afrika. ( Rudolph, 2006)

Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus


dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar

4
monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang
berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks
histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen
lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin.

Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang


berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung
konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur
produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi
defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan
komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem
fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis
sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon autoimun.

2. Hormonal
Yang paling mencolok pada LES adalah predominasi perempuan
yang terlalu besar. Usia awitan memperlihatkan rasio perempuan : laki-laki
mendekati angka satu pada anak prapubertas dan, yang menarik terjadi
penurunan awitan pada perempuan menopouse.Temuan ini
mengindikasikan bahwa hormon perempuan (terutama esterogen) menjadi
faktor predisposisi LES dan berperan dalam memodifikasi ekspresi
penyakit. Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Autoantibodi pada
lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-
DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti
eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam

5
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan
ginjal. (Rudolph, M. Abraham, dkk. 2006)

3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. (Malleson,
Pete; Tekano, Jenny. 2007)
Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di
tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
4. Faktor stres fisik / kelelahan
Faktor pencetus gejala lupus yang teridentifikasi dalam penelitian
ini meliputi stres fisik (mayoritas), stres emosional, sinar matahari, makan
tidak teratur, kurang tidur dan perubahan hormon (terkait siklus menstruasi
dan proses kehamilan). Para responden penelitian menyatakan beberapa
kesulitan dalam usahanya mencegah paparan faktor-faktor pencetus ini
karena tuntutan peran, keterbatasan diri maupun sumber daya yang
dimiliki.
Hasil penelitian lain mendukung hasil penelitian Dias et al. (2014)
yang berpendapat bahwa tindakan yang ditujukan untuk meminimalisir
paparan faktor pencetus gejala lupus dapat mengurangi kekambuhan
lupus.Tindakan pencegahan ini diperlukan untuk mengendalikan

6
kekambuhan gejala lupus danmempertahankan status kesehatan odapus
tetap baik.
Tindakan pencegahan paparan faktor pencetus yang dilakukan oleh
odapus dapat memberi perbaikan yang bermakna pada kekambuhan gejala
lupus bila dilakukan dengan benar dan rutin. Namun demikian, ada
beberapa jenis faktor pencetus yang dirasa sulit dicegah, misalnya stres
fisik (tergantung tuntutan peran), stres emosional (tergantung mekanisme
koping), sinar matahari (tergantung aktivitas), dan lain-lain.

5. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
- Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
- Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi
menjadi tidak normal.
- Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T

7
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

C. Manifestasi Klinis

1. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada
penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang
dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja,
konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila
kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan
terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan
berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau
diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C
tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES
biasanya tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE),
Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus /
paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa
eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena
Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak
dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum,
bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.
3. Manifestasi Muskuloskeletal

8
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal.
Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau
merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi.
Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena
keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada
LES tidak meyebabkan kelainan deformitas. Pada 50% kasus dapat
ditemukan kaku pagi, tendinitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan
berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya
berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES<
5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan
terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan berhubungan
dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.
4. Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah
pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan
shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau
berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat
deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik
disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering
apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan
memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga
tindakan lasmafaresis atau pemberian sitostatika.
5. Manifestasi Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung.

9
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri
substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun
EKG, Echokardiografi.Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak
terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES
disertai endokarditis Libman- Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai
demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis.Wanita
dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi
dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun,
risiko ini meningkat sampai 50%.
6. Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar
terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan
kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30
tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan
menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan
silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens
kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas.
Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan
penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
7. Manifestasi Gastrointestinal
Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak
didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan
motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih
banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta
didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan
inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis,
pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran
organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan
serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.

10
8. Manifestasi Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan
anemia hemolitik autoimun.
9. Manifestasi Neuropsikiatrik
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain,neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama
tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan
psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan
serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi
(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak
kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.

D. Patofisiologi
Penyakit LES disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah halus (kapiler,
venula, dan arteriol kecil), disertai pengendapan kompleks imun yang
menyebabkan nekrosis fibrinoid pembuluh dan infiltrasi sel radang (neutrofil dan
sel mononukleus) di dalam dan di sekitar pembuluh yang terkena (vaskulitis
leukositoklastik) (Sudewi, I Putu, dkk. 2009). Endotel mengalami penebalan
disertai pengendapan kolagen sklerotik. Perubahan mikroskopik yang khas pada
LES mungkin dijumpai dikulit, jantung, limpa, pleksus koroideus, dan ginjal.
Pemeriksaan imunohistokimia biasanya memperlihatkan adanya imunoglobin dan
komplemen dalam pola bergumpal-gumpal yang khas untuk pengendapan
kompleks imun. ginjal, kemudian jantung, adalah organ internal yang paling
sering terkena. Walaupun semua lapisan jantung dapat terkena, namun lesi yang

11
paling sering teridentifikasi (umumnya post mortem) adalah endokarditis libman-
sacks. paru juga dapat terkena sehingga mengalami pnemonitis interstisialis (yang
harus dibedakan dari infeksi), otak mengalami serebritis (mungkin sulit dibedakan
dari yang disebabkan oleh kortikosteroid). Dikulit, pengendapan kompleks imun
dapat ditemukan di dermo-epidermis kulit baik yang terkena maupun yang sehat.
Distribusi ruam malar dan fotosensitivitas merupakan indikator LES yang cukup
handal, dengan demikian, biopsi kulit biasanya tidak banyak menambah informasi
unuk menegakkan diagnosis. (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.2007).

E. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis LES hendaknya dilakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik serta penunjang diagnosis yang cermat sebab manifestasi LES
sangat luas, dan seringkali mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis LES dapat
ditegakkan berdasarkangambaran klinik dan laboratorium.
Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 2012,
diagnosis SLE dapat ditegakkan secara pasti jika dijumpai empat kriteria atau
lebih dari 11 kriteria, yaitu:
Kriteria Definisi
Ruam malar Eritema yg menetap, rata atau menonjol, pada
daerah
malar, dan cenderung tidak melibatkan lipatan
nasolabial

Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan keratosis dan


sumbatan folikel. Pada SLE lanju ditemukan parut
atrofi

Fotosensitivitas Ruam kulit sebagai hasil reaksi sinar matahari yang


tidak biasa,baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter.

Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, biasanya tanpa rasa


sakit, dilihat oleh dokter pemeriksa

Arthritis Arthritis Nonerosif melibatkan ≥ 2 sendi perifer,


ditandai dengan nyeri, bengkak, atau efusi

12
Serositis 1. Pleuritis: riwayat nyeri atau gesekan pleura y
ang didengar oleh dokter atau terdapat bukti efusi
pleura, Atau

2. Perikarditis: terbukti dengan EKG atau adanya


gesekan pericardium, atau terdapat bukti efusi
perikardial

Gangguan ginjal (A) Persistent proteinuria > 0,5 g/dl/hari, atau >3 +
jika tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif,
Atau

3. Silinder seluler: Mungkin sel darah merah,


hemoglobin, granular, tubular, atau campuran

Gangguan neurologis 4. Kejang: bukan diakibatkan obat atau gangguan


metabolic (misalnya, uremia, ketoasidosis,
ketidakseimbangan elektrolit). Atau

5. Psikosis: bukan diakibatkan obat atau gangguan


metabolik (misalnya, uremia, ketoasidosis,
ketidakseimbangan elektrolit

Gangguan hematologi (A) Anemia Hemolitik dengan retikulositosis. Atau

(B) Leukopenia: <4000/mm3total pada ≥ 2 x


pemeriksaan

(C) Limfopenia: <1500/mm3pada ≥ 2 x pemeriksaan

(D) Trombositopenia: <100.000 / mm3tanpa


disebabkan obat-obatan

Gangguan imunologi (A)anti-DNA: antibody terhadap native DNA


dengan titer abnormal. Atau

(B)Anti-Sm: Adanya antibodi terhadap antigen


nuklear Sm ; Atau

(C)Temuan positif antibodi antifosfolipid


berdasarkan
1. kadar serum antibodi antikardiolipin IgG
atau IgM serum yang abnormal,
2. hasil tes positif lupus antikoagulan
menggunakan metode standar, atau
3. uji serologi sifilis positif palsu ≤6 bulan

13
dandikonfirmasi dengan imunomobilisasi
Treponema pallidumatau test fluoresensi
absorbsi antibodi treponema

Antibodi antinuclear Titer antibodi antinuklear abnormal melalui


positif imunoflouresensi atau pemeriksaan setingkat pada
setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berkaitan dengan
sindrom lupus yang diinduksi obat.
F. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, proil lipid)
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
6. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan
tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif
pada beberapa penyakit lain yang mempunyai ambaran klinis menyerupai LES
misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed
connective tissue disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun),
keganasan atau pada orang normal. Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan
setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik,
termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB),Scl-70 dan anti-Jo.
Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA.
 Radiology :
1. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
2. Foto polos thorax
- Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan
untukmonitoring

14
- Setiap 3-6 bulan bila stabil
- Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

G. Penatalaksanaan
Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
berkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:
1. Edukasi dan Konseling
Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien memerlukan
informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan
misalnya dengan cara melindungi kulit dari sinar matahari dengan
menggunakan tabir surya atau pakaian yang melindungi kulit, serta
melakukan latihan secara teratur. Informasi yang bisa diperlukan kepada
pasein adalah:
- Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
- Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyalit SLE
- Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama yang
terkait
2. Pemberian oksigen, diet dan latihan
Paparan sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan eksaserbasi ruam
lupus dan jugagejala-gejala sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan. Ada
laporan bahwa pasienyang secara teratur menggunakan tabir surya (SPF 15
atau lebih) telah secarasignifikan lebih rendah keterlibatan ginjal,
trombositopenia dan rawat inap, danmembutuhkan treatment siklofosfamid
yang menurun. Semua anak dengan SLE harusdisarankan untuk memakai tabir
surya setiap hari untuk semua kulit yang terbuka(termasuk telinga), tidak
hanya pada hari-hari cerah karena awan tidakmenghilangkan paparan sinar
UV (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Diit dan Latihan. Tidak ada persyaratan khusus diet tetapi karena
kortikosteroid- diinduksi berat badan, makanan tinggi kalori dan garam harus
dihindari. Latihan harus didorong. Cukup banyak anak berpartisipasi di

15
sekolah penuh waktu, kecuali selama periode penyakit aktif berat. Pasien
lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.
Fatique dan Tidur. Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling
umum. Hal ini biasanya akan membaik sebagaimana perbaikan penyakit.
Beberapa orang tua merasa sulit selama ini untuk memungkinkan anak-anak
mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Terapis okupasi dan fisik dapat
sangat membantu dalam membantu untuk mengembangkan kegiatan yang
lebih baik dan perilaku tidur. Beberapa pola tidur anak-anak bisa berubah
pada awal SLE. Hal ini biasanya berhubungan dengan kortikosteroid.
Beberapa anak menjadi hiperaktif dan murung, dan mengalami kesulitan
tidur. Hal ini dapat ditingkatkan dengan mengambil dosis kortikosteroid sore
hari lebih awal. Beberapa anak pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang
air kecil beberapa kali dimalam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk
tidur. Keterkaitan dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit
masalah (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.2007).
Pengobatan dengan Methylprednisolon 250 mg/12 jam/iv selama 3 hari,
dan dilanjutkan denganMethylprednisolon oral @4 mg dengan dosis 36
mg/hari, dibagi dalam 3 dosis (3-3-3) dan kemudian diturunkan secara
bertahap. Inj ondansetron 4mg/8jam, Chloroquin 1x250mg,omeprazole 1x20
mg, meloxicam 1x7,5 mg.
Selama perawatan di RSUPM, pasien mengalami perbaikan secara klinis
danlaboratorium Hb 10,0 g/dl, leukosit 3700/mm3, Trombosit 92.000/mm
(sebelumnya 15.000/mm3). Dan selanjutnya pasien dapat kontrol di poli
rawat jalan, dan direncanakan pemberian MMF.

3. Program Terapi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh


pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik,
terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.

16
Judul jurnal : B Lymphocyte Depletion Therapy in Children
With Refractory Systemic Lupus Erythematosus
Nama penulis : Stephen D. Marks, dkk.
Tahun terbit : 2005
Hasil penelitian :
Rituximab adalah monoklonal IgG1 tubuh anti chimeric
yang mengikat secara khusus untuk antigen CD20 dan memediasi
lisis sel B. Pengobatan protokol. Semua pasien menerima infus
rituximab pada dosis 750 mg / m 2 , dibulatkan ke terdekat 100
mg, dengan dosis pada dosis 750 mg / m 2 , dibulatkan ke terdekat
100 mg, dengan dosis pada dosis 750 mg / m 2 , dibulatkan ke
terdekat 100 mg, dengan dosis maksimal 1 gm) pada hari 1 dan 15.
Pasien premedikasi dengan klorfeniramin dan acet- aminophen 1
jam sebelum infus rituximab. Selain itu, dosis 100 mg
methylprednisolone intravena diberikan segera sebelum infus
rituximab, yang diencerkan untuk dosis yang diperlukan dengan
natrium klorida 0,9% atau 5% glukosa untuk konsentrasi akhir 1-4
mg / ml. Tingkat infus awal adalah 25 mg / jam dan meningkat
dengan pertambahan 25 mg / jam setiap 30 menit sampai maksimal
200 mg / jam, sebagai ditoleransi. Pasien menerima siklofosfamid
intravena di- fusi (dengan dosis 750 mg, atau 500 mg jika berat
kering pasien diperkirakan 50 kg) pada hari 750 mg, atau 500 mg
jika berat kering pasien diperkirakan 50 kg) pada hari 2 dan 16.
Setelah terapi rituximab diberikan, nisolone pred- oral diberikan
pada dosis 30 mg, 20 mg, dan 10 mg (pada hari-hari 2, 3, dan
4,masing-masing, dan pada hari-hari 16, 17, dan 18, masing-
masing). Pasien terus menerima semua terapi pemeliharaan rutin
mereka yang lain dan, setelah menerima dosis prednisolon lebih
tinggi, terus dirawat dengan perawatan biasa takaran prednisolon.
Pasien yang didiagnosis SLE dalam waktu 12 bulan sebelum
memulai terapi rituximab dan yang satunya lain sebelumnya

17
perawatan yang kortikosteroid dan siklofosfamid intravena
(kadang-kadang dengan pertukaran plasma) hanya menerima
kortikosteroid setelah rituximab / intravena protokol siklofosfamid
adalah admin- istered. Para pasien yang tersisa terus menerima
steroid-sparing mereka agen (azathioprine lisan atau
mycophenolate mofetil).
Hasil klinis. Pasien ditindaklanjuti selama minimal 6 bulan
(berarti ikutan 1,0 tahun). BILAG skor global meningkat secara
signifikan setelah pengobatan rituximab Penggunaan rituximab
/peredaran protokol phosphamide intravena mengakibatkan kedua
pasien ini yang berhasil disapih dari dialisis, dengan perbaikan
proteinuria.
4. Program pengobatan
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid,
imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang
dialami.
 NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE
pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa
sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin,
ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat
menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti
mual, muntah, diare dan perdarahan lambung. (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny.2007).
 Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci
utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat
terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk
pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan
secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh :

18
Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian
dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu
yang lama. Beberapa efek samping dari mengonsumsi
kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan
kulit, osteoporosis, meningkatnya esiko infeksi virus dan jamur,
perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.
(Rudolph, M. Abraham, dkk. 2006)
 Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri
dari hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon
lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek
samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk
SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi
ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas
pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif,
sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil.
Pasien dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap
enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan.
 Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi
untuk menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat
immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti
azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF),
methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.

H. Pengkajian
a. Data subyektif :
- Pasien mengeluh terdapat ruam-ruam merah pada wajah yang
menyerupai
- bentuk kupu-kupu.

19
- Pasien mengeluh rambut rontok.
- Pasien mengeluh lemas
- Pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada sendi.
- Pasien mengeluh sendi merasa kaku pada pagi hari.
- Pasien mengeluh nyeri
b. Data obyektif :
- Terdapat ruam – ruam merah pada wajah yang menyerupai bentuk
kupu-kupu.
- Nyeri tekan pada sendi.
- Rambut pasien terlihat rontok.
- Terdapat luka pada langit-langit mulut pasien.
- Pembengkakan pada sendi.
- Pemeriksaan darah menunjukkan adanya antibodi antinuclear.
-
c. Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam
eritematous. Plakeritematous pada kulit dengan skuama yang
melekat dapat terlihat pada kulit kepala, muka atau leher. Inspeksi
kulit kepala dilakukan untuk menemukan gejala alopesia, dan
inspeksi mulut serta tenggorok untuk ulserasi yang mencerminkan
gangguan gastrointestinal. Selain itu juga untuk melihat
pembengkakan sendi.
- Auskultasi : dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar
friction rub perikardium yang dapat menyertai miokarditis dan
efusi pleura. Efusi pleura serta infiltrasi mencerminkan insufisiensi
respiratorius dan diperlihatkan oleh suara paru yang abnormal.
- Palpasi : dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan,
dan sendi yang terasa hangat.

I. Asuhan Keperawatan
1. Masalah Keperawatan
- Nyeri akut, Factor yang berhubungan:Agen injuri fisik.

20
- Risiko infeksi, Factor risiko : Imunosupresi
- Gangguan citra tubuh, Karakteristik: Perilaku menghindari salah
satu bagian tubuh,Respon nonverbal, terhadap perubahan pada
tubuh
- Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,
Berhubungan dengan : Ketidakmampuan untuk memasukkan atau
mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis, psikologis atau
ekonomi.
- Keletihan, berhubungan dengan anemia dan penyakit Sistemik
Lupus Erithematosus
- Ansietas, berhubungan dengan stressor akibat penyakit SLE

2. Rencana Asuhan Keperawatan


NANDA NOC NIC
00132. Nyeri 1605. Kontrol nyeri 1400.Pain management
akut, Setelah dilakukan tindakan keperawatan Definisi: fasilitasi penggunaan dan
Factor yang 3X24 jam maka diharapkan : efektifitas resep yang aman serta
berhubungan:Agen - Menggunakan analgesik yang penggunaan obat bebas.
injuri fisik. direkomendasikan ditingkatkan dari Aktivitas:
skala 3 menjadi skala 4 - Melakukan pengkajian nyeri
- Melaporkan perubahan terhadap gejala termasuk lokasi,karateristik,
nyeri pada profesional kesehatan onset/durasi,frekuensi,
ditingkatkan dari skala 3 menjadi 4 kualitas ataukeparahan nyeri,
- Melaporkan gejala yang tidak terkontrol danfactor pencetus nyeri
pada profesional kesehatan ditingkatkan - Observasi tanda nonverbaldari
dari skala 3 menjadi 5 ketidaknyamanan,terutama
pada pasien yangtidak bisa
berkomunikasisecara efektif
- Gunakan strategikomunikasi
terapeutikuntuk
mengetahuipengalama nyeri

21
pasiendan respon pasien
terhadapnyeri
- Kaji pengetahuan
dankepercayaan pasiententang
nyeri
- Tentukan dampak darinyeri
terhadap kualitashidup (tidur,
sel era makan,aktivitas, dll)

2210. pemberian analgesik


Definisi: penggunaan agen
farmakologi untuk mengurangi
atau menghilangkan nyeri.
Aktivitasnya:
- monitor tanda vital sebelum
dan sesudah memberikan
analgesik
- berikan analgesik tambahn
dan atau pengobatan jika
diperlukan untuk
meningkatkan efek
pengurangan nyeri
- evaluasi keefektifan
analgesik dengan interval
yang teratur pada setiap
setelah pemberian khususnya
setelah pemberian pertama
kali.
00004. Risiko 0702. status imunitas 6540. Infection Control
Definisi: meminimalkan
infeksi, Setelah dilakukan tindakan keperawatan
penerimaan dan tranmisi agen
Factor risiko : 3X24 jam, diharapkan klien dapat memenuhi infeksi.

22
Imunosupresi kriteria: Aktivitas:
- Pertahankan teknik isolasi jika
- fungsi gastrointestinal
diperlukan
ditingkatkan dari skala 2 - Batasi jumlah pengunjung
- Ajarkan kepada tenaga
menjadi 4
kesehatan untuk meningkatkan
- integritas kulis ditingkatkan cuci tangan
- Ajarkan pasien dan
dari skala 2 menjadi 4
pengunjung untuk cuci tangan
- titer antibodi ditingkatkan - Cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan perawatan
dari skala 2 menjadi skala 4
kepada pasien
- kehilangan berat badan - Lakukan perawatan aseptic
pada IV line
ditingkatkan dari skala 2
- Tingkatkan asupan nutrisi
menjadi 4 yang adekuat
- Dorong pasien untuk istirahat
- keletihan kronis ditingkatkan
- -Ajarkan pada pasien dan
dari skala 3 menjadi 4 keluarga cara untuk mencegah
infeksi
00118. Gangguan 1200. citra tubuh 5220. Peningkatan citra tubuh
Definisi : meningkatkan persepsi
citra tubuh, Setelah dilakukan tindakan keperawatan dan sikap pasien baik yang
Dengan faktor 3X24 jam, diharapkan klien dapat memenuhi disadari maupun tidak disadari
terhadap tubuhnya.
yang berhubungan kriteria: Aktivitas:
:program - penyesuaian terhadap perubahan - Tentukan harapan pasien
tentang citra tubuhnya
pengobatan tampilan fisik ditingkatkan dari skala 2 berdasarkan tingkat
Karakteristik: menjadi 4 perkembangan
- Bantu pasien mendiskusikan
Perilaku - penyesuaian terhadap perubahan fungsi penyebab penyakit dan
menghindari salah tubuh ditingkatkan dari skala 2 menjadi penyebab terjadinya
perubahan pada tubuh
satu bagian 4 - Bantu pasien menetapkan
tubuh,Respon - penyesuaian terhadap perubahan status batasan perubahan actual pada
tubuhnya
nonverbal, kesehatan ditingkatkan dari skala 2 - Gunakan anticipatori guidance
terhadap menjadi 4 untuk menyiapkan pasien
untuk perubahan yang dapat
perubahan pada diprediksi pada tubuhnya
tubuh - Bantu pasien menentukan
pengaruh dari kelompok
sebaya dalam
mempresentasikan citra tubuh
- Bantu pasien mendiskusikan

23
perubahan yang disebabkan
karena masa pubertas
- Identifikasi
kelompokdukungan untuk
pasien
- Monitor frekuensi pernyataan
pasien tentang kritik terhadap
dirinya
- Gunakan latihan pengakuan
diri dengan kelompoksebaya

24
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Lupus Eritematosus Sistemik atau LES ( SLE ) adalah penyakit
reumatik autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi yang tersebar
luas yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit
ini berhubungan dengan deposisiautoantibodi dan kompleks imun
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. (Rudolph, M. Abraham, dkk.
2006). Masalah keperawatan klien dengan Lupus adalah Nyeri akut,
Factor yang berhubungan:Agen injuri fisik, Risiko infeksi, Factor risiko :
Imunosupresi, Gangguan citra tubuh, Karakteristik: Perilaku menghindari
salah satu bagian tubuh,Respon nonverbal, terhadap perubahan pada
tubuh.

B. SARAN
Diharapkan perawat profesional dapat memahami,
mengaplikasikan, dan menerapkan asuhan keperawatan kepada klien
anak dengan lupusdengan SOP yang baik dan benar.

25
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., dkk. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC).


Elsevier Inc.
Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007.Diagnosis and Management of Systemic
Lupus Erythematosus in Children. Journal of Pediatric and Child
Health;18:2. M
arks, Stephen D., dkk 2005..B Lymphocyte Depletion Therapy in Children With
Refractory Systemic Lupus Erythematosus
Moorhead, Sue, dkk. 2015.Nursing Outcomes Classification (NOC).Elsevier Inc.

Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2017. Situasi Lupus Di
Indonesia. Pusdatin.

Rudolph, M. Abraham, dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol 1. Ed.20.
Jakarta:EGC.

Rudolph, M. Abraham, dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol 2. Ed.20.
Jakarta:EGC.
Sari, I Putu Wulan Purnama. Faktor Pencetus Gejala Dan Perilaku Pencegahan
Systemic Lupus Erythematosus. Jurnal Ners Volume 1. Akultas
Keperawatan, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Sudewi, I Putu, dkk. 2009. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada
Anak. Vol 11. Jakarta : Sari Pediatri.
T.H. Herdinan & S. Kamitsuru. 2015. Diagnosa Keperawatan edisi 10. Jakarta :
EGC
Wong, D,dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume . Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta

26

Anda mungkin juga menyukai