Lapkas Bell's Palsy
Lapkas Bell's Palsy
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui secara lebih
dalam mengenai definisi, struktur anataomi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, gejala klinis, penegakan dignosis, diangnose banding,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis bell’s palsy.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Bell’s Palsy
2.1 Sejarah
Sir Charles Bell (1774-1842) ahli anatomi dan bedah asal Inggris, abad ke
19 mempublikasikan penemuannya bahwa nervus facial dalam otot wajah yang
memberikan ekspresi wajah. Laporan berikutnya bahwa nervus trigeminal
berperan penting dalam sensasi wajah dan beberapa gambaran kasus dari
kelumpuhan wajah disebabkan oleh trauma atau infeksi. Sebelum penemuan Bell
tentang fungsi nervus facial dan trigeminal masih kurang diketahui. Beberapa
percaya bahwa nervus facial dan trigeminal keduanya berperan pada sensasi dan
gerakan wajah. Pada pertengahan abad ke 19 sebutan “Bell’s Palsy” ditemukan.(2)
2.2 Anatomi
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf,
yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan
lebih lateral). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa
serabut - serabut motorik ke otot - otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang
berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis
ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga
membawa serabut - serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah
dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna.(6)
3
4
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan
secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf
vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1
centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan perineurium.
5
2.3 Definisi
Bell’s palsy adalah paralisis saraf fasial unilateral akut yang pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama
Sir Charles Bell. (1)
7
2.4 Etiologi
Karena proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam
bahasa inggris “cold” N fasialis bisa sembab sehingga ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis tibe lower motor neuron
(LMN). Kelumpuhan tersebut dinamakan Bell’s Palsy.(3)
Walaupun etiologi dari Bell’s Palsy tidak diketahui, penyakit ini dipercaya
disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan gngglion genikulatum. Beberapa
kasusn Bell’s Palsy disebabkan oleh infeksi herpek simpleks yang laten.
8
Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terajadi
karena proses reaktivasi dari virus herpes (khususnya simpleks tipe I). Sesudah
suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe I dalam jangka waktu cukup
lama dapat berdiam didalam gangglion sensoris. Reaktifasi ini dapat terjadi jika
daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis/ neuropati denagan proses
peradangan/edema.(3)
3. Teori Hereditar :
4. Teori imunologi
2.5 Patofisiologi
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut
tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot - otot
9
wajah. Masing - masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah
terhadap derajat trauma yang berbeda. (4)
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat
mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ni menggambarkan kejadian
patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai
saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bell’s
palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma
tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf
yang mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal
yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh
dengan cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma,
kompresi dapat terjadi tiba - tiba atau lambat progresif dalam 5 - 10 hari. Pada
otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak
saraf daripada gangguan intraneural, namun hasil kompresi saraf tetap sama
seperti pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Diawali dengan
penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi
kompresi saraf dan kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan
endoneural tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada
derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube telah
dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan prineurium
dan epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan pernah
sebaik pada derajat pertama. (4)
Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada
akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2) akson-akson yang
baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson normal (3)
terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson-akson yang menginervasi
kembali kelompok-kelompok otot yang denervasi tanpa perlu menyesuaikan
dengan susunan badan sel- motor unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi.
Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter.
10
Dikutip dari: May, M. 1986. Disorders of facial nerve. In: May, M (ed). The Facial Nerve.
Thieme. New York
Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut
dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari
gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada
myoneural junction. Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan
didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan
pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-faktor ini, dapat
menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan
mata menutup dan sudut mulut menarik, spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri.
11
Pasien dengan Bell’s Palsy proses biasanya dari onset gejala sampai ke
kelmpuhan maksimal dalam waktu tiga hari dan hampir sampai seminggu. Bila
dibiarkan, 85 pasien akan menunjukkan pemulihan 3 minggu setelah onset.
\
12
2.7 Diagnosis
Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci
dalam mendiagnosis Bell’s palsy.
1. Anamesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan
perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang
menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan
penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan
yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset
mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit
yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3
minggu atau kurang
2. Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi
saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi
SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf
fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya
paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata
dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan
defisit neurologis lainnya, sekurang-kurangnya kelumpuhan
ekstremitas pada sisi yang kontralateral.
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan
pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki
manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien
dengan paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam
praktek klinis. Hal ini dikarenakan:
• Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup
bervariasi, mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur
alternatif bagi akson- akson untuk mencapai terminalnya.
• Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin
tidak secara tajam terletak pada level tertentu, karena suatu
13
2.9 Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.
Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears),
pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau
tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). (7)
Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan
mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti
adanya efektivitas melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang
dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.(7)
visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan
bertahap untuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak
minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari. (7)
1. Terapi Farmakologis
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes,
ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi),
dan Cushing syndrome.(7)
mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah
onset.(7)
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk
dewasa diberikan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali
pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar
dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari
secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada
penggunaan preparat, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah
mual, diare, dan sakit kepala.(7)(8)
2.10 Komplikasi
2.11 Prognosis
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA