Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bell’s palsy adalah paralisis saraf fasial unilateral akut yang pertama
kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah
bernama Sir Charles Bell. 1
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari
paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang
tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di
Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per
100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata
15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29%
lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan
wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok
umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih
sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan
2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.(10)
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan
terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada
pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin,
tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan. (10)

1
2

1.2 Tujuan Kasus

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui secara lebih
dalam mengenai definisi, struktur anataomi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, gejala klinis, penegakan dignosis, diangnose banding,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis bell’s palsy.

1.3 Manfaat kasus

Diharapkan dengan adanya referat ini dapat memberikan pengetahuan dan


iformasi tentang bell’s palsy sehingga dapat melakukan upaya dalam
pencengahan kondisi tersebut.
3

BAB II
TINJUAN PUSTAKA

Bell’s Palsy

2.1 Sejarah
Sir Charles Bell (1774-1842) ahli anatomi dan bedah asal Inggris, abad ke
19 mempublikasikan penemuannya bahwa nervus facial dalam otot wajah yang
memberikan ekspresi wajah. Laporan berikutnya bahwa nervus trigeminal
berperan penting dalam sensasi wajah dan beberapa gambaran kasus dari
kelumpuhan wajah disebabkan oleh trauma atau infeksi. Sebelum penemuan Bell
tentang fungsi nervus facial dan trigeminal masih kurang diketahui. Beberapa
percaya bahwa nervus facial dan trigeminal keduanya berperan pada sensasi dan
gerakan wajah. Pada pertengahan abad ke 19 sebutan “Bell’s Palsy” ditemukan.(2)
2.2 Anatomi
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf,
yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan
lebih lateral). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa
serabut - serabut motorik ke otot - otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang
berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis
ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga
membawa serabut - serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah
dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna.(6)

3
4

Gambar 1 : Fungsi a natomi dari nervus fasialis dan diagnosis


dari kelemahan wajah perifer

Dikutip dari : The New England Journal of Medicine Downloaded from


nejm.org on June 29, 2015. For personal use only. No other uses without
permission. Copyright © 2004 Massachusetts Medical Society. All rights
reserved.

Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan
secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf
vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1
centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan perineurium.
5

Gambar 2. Nukleus dan Saraf Fasialis


Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function.
In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square
textbook. Balckwell Publishing Ltd.

Gambar 3. Perjalanan saraf fasialis


6

Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi)


memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang
berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula
dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit
berada di segmen labirin ini (rata - rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi
pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada
ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang
sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum,
memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen
lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung
kelenjar lakrimal dan palatina.(4) (6)
Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding
medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke
musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat
percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas
foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling
besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum
telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian
berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke
dua pertiga anterior lidah.(4) (6)

2.3 Definisi

Bell’s palsy adalah paralisis saraf fasial unilateral akut yang pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama
Sir Charles Bell. (1)
7

2.4 Etiologi

Karena proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam
bahasa inggris “cold” N fasialis bisa sembab sehingga ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis tibe lower motor neuron
(LMN). Kelumpuhan tersebut dinamakan Bell’s Palsy.(3)

Walaupn etiologinya tidak diketahui ada 4 terori yang diajukan sebagai


penyebab Bell’s Palsy, yaitu : (3)

1. Teori Iskemik Vaskular


Teori ini sangat populer dan banayak menerimanya sebagai
penyebab dari Bell’s Palsy penyebab dari Bell’s Palsy. Menurut teori ini
terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. terjadi vasokontriksi
ateriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudin diikuti
oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan
akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar yang meningkat,
dengan akibat terjadinya transudasi. Cairan transudat yang keluar akan
menekan dinding kapiler sehingga menutup. Selanjutnya akan
menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan
venule dalam kanalis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian terjadi
keadaan circus vitiosus. Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat
menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan kontinuitas yang terputus.(3)
2. Teori Infeksi Virus
Menurut teori ini Bell’s Palsy diebabkan oleh virus, dengan bukti
secara tidak langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum
Bell’s Palsy. Juga dikatakan pejalanan klinis BP sangat menyerupai “viral
neuropathy” pada saraf perifer lainya.(3)

Walaupun etiologi dari Bell’s Palsy tidak diketahui, penyakit ini dipercaya
disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan gngglion genikulatum. Beberapa
kasusn Bell’s Palsy disebabkan oleh infeksi herpek simpleks yang laten.
8

Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terajadi
karena proses reaktivasi dari virus herpes (khususnya simpleks tipe I). Sesudah
suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe I dalam jangka waktu cukup
lama dapat berdiam didalam gangglion sensoris. Reaktifasi ini dapat terjadi jika
daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis/ neuropati denagan proses
peradangan/edema.(3)

Menurut Ador, lokasi nyeri dapat disepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya


sebagian ahli brpendapat bahwa lokasi primer dari edema N.VII pada Bell’s Palsy
adalah disekitar foramen stilomastoideum. Walaupun penyebab virus dicurigai,
ternyata beberapa studi prospektif untuk membuktikan peranan infeksi virus
sebagai etiologi Bell’s Palsy adalah negatif, berarti tidak dapat mendukung teori
infeksi virus.(3)

3. Teori Hereditar :

Willbrand, 1974, mendapatkan 6% penderita Bell’s Palsy yang


kausanya hereditar, yaitu autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis
falopii yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga
menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.(3)

4. Teori imunologi

Diakatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap


infeksi virus yang timbul sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi.
Berdasarkan teori ini maka penderita Bell’s Palsy diberikan kortikosteroid
dengan tujuan untuk menguragi inflamasi dan edema didalam kanalis
fasialis falopii dan juga sebagai imunosupresor.(3)

2.5 Patofisiologi

Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut
tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot - otot
9

wajah. Masing - masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah
terhadap derajat trauma yang berbeda. (4)
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat
mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ni menggambarkan kejadian
patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai
saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bell’s
palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma
tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf
yang mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal
yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh
dengan cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma,
kompresi dapat terjadi tiba - tiba atau lambat progresif dalam 5 - 10 hari. Pada
otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak
saraf daripada gangguan intraneural, namun hasil kompresi saraf tetap sama
seperti pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Diawali dengan
penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi
kompresi saraf dan kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan
endoneural tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada
derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube telah
dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan prineurium
dan epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan pernah
sebaik pada derajat pertama. (4)

Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada
akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2) akson-akson yang
baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson normal (3)
terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson-akson yang menginervasi
kembali kelompok-kelompok otot yang denervasi tanpa perlu menyesuaikan
dengan susunan badan sel- motor unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi.
Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter.
10

Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan den gan derajat


trauma saraf fasialis

Dikutip dari: May, M. 1986. Disorders of facial nerve. In: May, M (ed). The Facial Nerve.
Thieme. New York

Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut
dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari
gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada
myoneural junction. Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan
didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan
pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-faktor ini, dapat
menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan
mata menutup dan sudut mulut menarik, spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri.
11

2.6 Gejala Klinis

Pasien dengan Bell’s Palsy umumnya mengeluhkan lemahnya atau lemah


seluruhnya pada otot satu regio wajah. Lipatan wajah dan nasolabial menghilang,
kening tidak sejajar, dan sisi mulut turun ke bawah. Kelopak mata tidak akan
tertutup dan bagian bawah melengkung; mencoba untuk menutup, mata akan
bergerak ke atas (fenomena Bell’s). Iritasi mata sering disebabkan kurangngya
pelumasan dan paparan konstan. Produksi air mata berkurang; namun akan keluar
secara berlebihan karena kurangnya kontrol kelopak, yang memudahkan air mata
keluar bebas dari mata. Makanan dan saliva dapat menggenang di satu sisi mulut
dan keluar dari sisi lainnya. Pasien sering mengeluh merasa kebas dari daerah
yang lumpuh, tapi sensasi wajah masih terasa.(5)

Pasien dengan Bell’s Palsy proses biasanya dari onset gejala sampai ke
kelmpuhan maksimal dalam waktu tiga hari dan hampir sampai seminggu. Bila
dibiarkan, 85 pasien akan menunjukkan pemulihan 3 minggu setelah onset.

Gambar 5 : Tanda kelemahan wajah di medial dan perifer

\
12

2.7 Diagnosis
Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci
dalam mendiagnosis Bell’s palsy.
1. Anamesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan
perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang
menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan
penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan
yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset
mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit
yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3
minggu atau kurang
2. Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi
saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi
SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf
fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya
paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata
dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan
defisit neurologis lainnya, sekurang-kurangnya kelumpuhan
ekstremitas pada sisi yang kontralateral.
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan
pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki
manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien
dengan paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam
praktek klinis. Hal ini dikarenakan:
• Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup
bervariasi, mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur
alternatif bagi akson- akson untuk mencapai terminalnya.
• Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin
tidak secara tajam terletak pada level tertentu, karena suatu
13

lesi dapat mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf


pada tingkat yang beragam dan dengan derajat keparahan
yang berbeda- beda.
• Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi
dapat terjadi pada waktu yang berbeda- beda.
• Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf
fasialis tidak sepenuhnya dapat dipercaya.

Gambar 6. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer


(B) lesi supranuklear
14

Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain


yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis
rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis
dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy.(6)

Skala yang paling sering digunakan untuk menggambarkan tingkat


keparahan dari seluruh kelumpuhan wajah adalah skala House-Brackmann(HB),
yang pertama dikenalkan pada tahun 1985 dan telah membantu beberapa dokter
menentukan derajat kelumpuhan wajah dengan menggunakan sistem universal.(6)

Table 2. House-Brackmann Scale

Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan


penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut
dapat dianjurkan, seperti:

1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance


lmaging (MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan
15

paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf


kranial multipel dan tanda-tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik.
Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme yang mendahului
kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.

2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes


audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.

3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan


sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu.

2.8 Diagnosa Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi


sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai
kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di
hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai
perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis
multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis
optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.

Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media


supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan
foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila
ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna
dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-
zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut;
kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan
gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor
serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII;
tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus,
uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.
16

2.9 Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.
Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears),
pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau
tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). (7)

Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan
mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti
adanya efektivitas melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang
dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.(7)

Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan


setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis.
Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison
dan valasiklovir tanpa terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan
neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah.
Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit,
yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.(7)

Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-


berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh.
Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang
dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan
menghindari gerakan wajah berlebih.(7)

Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri


wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot
wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback
17

visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan
bertahap untuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak
minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari. (7)

Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien


dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi
sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular didepan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan
mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi
strategi meditasi-relaksasi. (7)

Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan


kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah
dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi
meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan
untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup
dilakukan 1-2 kali per hari.(7)

Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan,


pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani
kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial,
dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke
bagian kulit atau bedah plastik. (7)

Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan


kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop
atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada
pasien.(7)
18

1. Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin


dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi
kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis
yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset,
harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil Dosis pemberian prednison
(maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg
per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Bila stabil,
hentikan steroid tanpa tapering atau tapering cepat dalam 4 hari berikutnya sampai
total dosis 530 mg. Bila bertambah berat, tapering dalam 7 hari berkutnya sampai
total dosis 680 mg. Catatan: 5 mg prednisone equivalen dengan 0.6 mg 0.75 mg
betamethasone, 25 mg of cortisone, 0.75 mg dexamethasone, 20 mg
hydrocortisone, 4 mg methylprednisolone, 5 mg prednisolone, dan 4 mg
triamcinolon. (7) (8)

Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes,
ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi),
dan Cushing syndrome.(7)

Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat


antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan
kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif
dibandingkan kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan
bahwa hasil yang lebih baik pada pasien yang diterapi dengan
asiklovir/valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan
prednisolon. (7)

Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir dan


prednison memiliki hasil yang lebih baik. de Almeida et al menemukan bahwa
kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko
batas signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini
19

mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah
onset.(7)

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk
dewasa diberikan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali
pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar
dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari
secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada
penggunaan preparat, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah
mual, diare, dan sakit kepala.(7)(8)

2.10 Komplikasi

1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang


menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis
20

2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan


pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau
sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal)

3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis.


Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis
yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul
gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan
dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul
beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom,
contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3)
clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba
(shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium
awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).

2.11 Prognosis

Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini


sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko
sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular,
gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti
denervasi setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan
kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah
paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian
kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan
dalam minggu pertama. Kimura et al menggunakan blink reflex sebagai prediktor
kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali
terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif.
21

Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis,


House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk
mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bell’s
palsy. Caranya adalah dengan mengukur gerakan ke atas alis dan gerakan ke
samping dari sudut bibir. Setiap gerakan 0,25 cm diberikan 1 poin dengan
maksimal penilaian 1 cm untuk masing-masing bagian. Jadi total nilai
maksimalnya adalah 8. (9) (10)

 Grade I (Normal). 8 poin, fungsi 100%, fungsi perkiraan


100%
 Grade II (Slight). 7 poin, fungsi 76-99%, fungsi perkiraan
80%
 Grade III (Moderate). 5-6 poin, fungsi 51-75%, fungsi
perkiraan 60%
 Grade IV (Moderately Severe). 3-4 poin, fungsi 26-50%,
fungsi perkiraan 40%
 Grade V (Severe). 1-2 poin, fungsi 1-25%, fungsi perkiraan
20%
 Grade VI (Total). 0 poin, fungsi 0%, fungsi perkiraan 0%.
22

BAB III
KESIMPULAN

1. Bell’s Palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan


yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab
Bell’s Palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada
nervus fasialis.
2. Penyebab dari bell’s palsy untuk saat ini belum dapat diketahui, tetapi ada
teori yang menyatakan bahwa penyebab bell’s palsy adalah adanya infeksi
virus herpes zoster,
3. Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat
bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh
muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala
kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokasi keruskan.
4. Pengobatan pasien dengan Bell’s Palsy adalah dengan kombinasi obat-
obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang
berksesinambungan.
5. Prognosis pasien dengan Bell’s Palsy relative baik meskipun pada
beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi. Sekitar 80-90%
pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-
60% kasus membaik dalam 3 minggu.
23

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Lockhart P, Daly F, Pitkethly M, Comerford N, Sullivan F. Antiviral


treatment for Bell’s palsy (idiopathic facial paralysis). Cochrane Database
Syst Rev. 2009;(4):CD001869.

2. Axelsson S. Bell ’ s Palsy – Medical Treatment and Influence of Prognostic


Factors. 2013.

3. Subigiarta IW. Gambaran Elektromyografi sebagai faktor penentu


prognosis Bell’s Palsy. Diponogoro Semarang; 2001. p. 7–8.

4. Aadhayani F. Pasien, Perbandingan Efek Metil Prednisolon Tunggal


dengan Kombinasi Metil Prednisolon dan Rehabilitasi Kabat terhadap
Perbaikan klinis Bell’s Palsy. Sumatera Utara; 2013.

5. Gilden DH. Bell ’ s Palsy. 2004;1323–31.

6. Palsy B, Surgery N. Bell’s Palsy October 2012. 2012;(October):1–12.

7. Lowis H, Gaharu MN. Bell ’ s Palsy , Diagnosis dan Tata Laksana di


Pelayanan Primer. 2012;

8. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s Palsy: Diagnosis and Management.


2007;1.

9. Holland J. Bell ’ s palsy Search date February 2007 Neurological disorders


Bell ’ s palsy. 2008;(February 2007):1–8.

10. Danette C Taylor, DO, MS FACN, Medical Director, Movement Disorders


Program, Beaumont Health; Clinical Assistant Professor, Department of
Neurology and Ophthalmology, Michigan State University College of
Osteopathic Medicine

11. Textbook a QS. A Queen Square Textbook. 2008.


24

Anda mungkin juga menyukai