Askep Psikologis Bencana Alam
Askep Psikologis Bencana Alam
LATAR BELAKANG
Anak-anak merupakan salah satu kelompok yang rentan terjadinya trauma akibat
bencana alam. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu keberadaan anak-anak masih
dibawah risiko dan ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya, tingkat
ketergantungan hidup yang masih tinggi terhadap orang dewasa, belum memiliki banyak
pengalaman hidup, kemampuan untuk melindungi diri sendiri masih terbatas, dan mereka
tidak dalam posisi yang dapat mengambil keputusan atas dirinya sendiri (Lubis, 2012).
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada anak-anak memang tidak sesederhana
dampaknya bagi perkembangan dan pertumbuhan remaja itu sendiri. Ada beberapa faktor
yang berkontribusi pada pengembangan PTSD pada anak-anak dan remaja. Tiga faktor yang
paling penting adalah keparahan trauma, reaksi orangtua untuk trauma, dan kedekatan
temporal trauma. Tentu saja, semakin parah trauma (bencana alam, perkosaan, serangan fsiik,
yang mengancam jiwa kecelakaan, dan kematian orang tua), semakin besar kemungkinan
PTSD. Hal ini tentu saja akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dalam
menjalani kehidupan sehari-harinya (The United Stated Departement Veterans Affairs, 2007).
Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat
tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan juga dituntut
mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan antara keadaan
siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara
skill dan teknik dalam menghadapi kondisi seperti ini.
Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat
dilakukan oleh profesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk.
Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan pentingnya peran perawat dalam asuhan
keperawatan anak dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bencana adalah sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor
alam dan/ atau faktor non- alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Ps 1). Bencana
menimbulkan trauma psikologis bagi semua orang yang mengalaminya.
Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan kecemasan yang dapat
terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatis. PTSD dapat
terjadi secara akut (gejala berlangsung <3 bulan), kronis (gejala berlangsung> 3 bulan),
atau onset tertunda (selang 6 bulan dari acara untuk onset gejala).
Banyak korban menunjukkan gejala terjadinya PTSD segera sesudah terjadinya
bencana, sementara sebagian lainnya baru berkembang gejala PTSD beberapa bulan
ataupun beberapa tahun kemudian. Pada sebagian kecil orang, PTSD dapat menjadi suatu
gangguan kejiwaan yang kronis dan menetap beberapa puluh tahun bahkan seumur hidup.
2.2 Patofisiologi
2.2.1 Biologis
Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci
dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian
tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang
mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan
berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan
nucleus,mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-
hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal)
sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu
pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini
mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.
Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini
kemudian memicu respon emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan
perubahan dalam hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks
prefrontal medial mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon
ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita
mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan
adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,denyut jantung,
glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang maka tubuh akan memulai
proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon
kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi
reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari
adrenalin.
Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki
hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal.
Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah
sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya
menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan
konsentrasi kortisol rendah orang dengan post-traumatic stress disorder dan
berlawanan menanggapi penindasan deksametason tes daripada yang terlihat
dengan depresi berat.
2.2.2 Psikososial
Pengalaman hidup yang dialami seseorang sepanjang hidupnya juga merupakan
salah satu penyebab terjadinya PTSD. Pengalaman hidup ini mencakup pengalaman
yang dialami dari masa kecil sampai dengan dewasa. Selain itu pengalaman hidup
yang dialami, jumlah dan tingkat keparahan peristiwa traumatik yang dialami oleh
individu tersebut juga memberikan pengaruh. Smith dan Segal menyebutkan
peristiwa traumatik yang dapat mengarah kepada munculnya PTSD termasuk
bencana alam ( natural disaster ), kecelakaan mobil atau pesawat, penyerangan
fisik, prosedur medikal terutama pada anak – anak.
Faktor psikologis lain yang ikut berkontribusi adalah faktor yang dibawa oleh
individu dari lahir, yaitu sifat bawaan atau yang sering disebut dengan kepribadian
seseorang
PATHWAY
Biologis Psikososial
Koping defensif
2.3 Gejala utama PTSD
Gejala utama PTSD terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Re-experience phenomena
1. Munculnya kembali perasaan tertekan atau terancam baik dalam imajinasi,
pikiran ataupun persepsi.
2. Munculnya mimpi-mimpi yang menakutkan.
3. Adanya reaksi psikologis yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa
trauma.
4. Adanya reaksi fisik yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.
b. Avoidance or numbing reaction
1. Menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan yang berkaitan dengan
peristiwa traumatic.
2. Menghindari kegiatan, tempat atau orang-orang yang terkait dengan trauma.
3. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4. Berkurangnya minat atau partisipasi dalam kegiatan yang terkait.
5. Kekakuan perasaan atau ketidakmampuan mengekspresikan perasaan seperti
kasih sayang.
6. Kehilangan harapan seperti tidak memiliki minat terhadap karir, perkawinan,
keluarga atau kehidupan jangka panjang.
c. Symptoms of increased arousal: peningkatan gejala distress
Adapun kriterianya adalah :
1. Seseorang biasanya mengalami atau dihadapkan pada ancaman yang serius
termasuk bencana, kematian, kecelakan luar biasa, ancaman fisik terhadap diri
maupun orang lain.
2. Individu mengalami kondisi ketakutan, tidak berdaya dan selalui dihantui oleh
peristiwa tersebut. Pada kasus anak sering terjadi perilaku yang disorganized
atau agitasi. Jika kedua kriteria tersebut muncul maka dapat dilakukan
pengelompokan gejala kedalam tiga gejala utama tadi.
2.5 Penanganan
a. Farmakologi
1. Terapi anti depresan: Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium,
camcolit dan zat pemblok beta– seperti propranolol, klonidin, dan
karbamazepin. Dosis contoh, estazolam 0,5-1 mg per os, Oksanazepam10-30
mg per os, Diazepam (valium) 5-10 mg per os, Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per
os, atau Lorazepam 1-2 mg per os atau IM.
2. Antiansietas: alprazolam digunakan untuk mengatasi depresi dan panik pada
pasien PTSD, buspirone dapat meningkatkan serotonin.
b. Non- farmakologi
Psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD yaitu
dengan Anxiety Management diamana terapis akan mengajarkan beberapa
keterampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1. Relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik
seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
2. Breathing retraining, belajar bernafas dengan perut secara perlahan, santai.
Menghindari bernafas tergesa-gesa yang merasakan tidak nyaman.
3. Positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal– hal yang
membuat stress (stresor).
4. Assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan,
opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.
5. Thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita
sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.
6. Cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak
rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan. Tujuan kognitif
terapi adalah mengidentifikasi pikiran- pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan
pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk
membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
7. Exposure therapy: para terapis membantu menghadapi situasi yang khusus,
orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan
menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat
berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada
penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami
hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi
situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan
ketakutan yang sangat kuat.
8. Terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak
dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD.
Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai
secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman
3.1 Pengkajian
Pengkajian untuk klien dengan PTSD meliputi empat aspek yang akan bereaksi
terhadap stress akibat pengalaman traumatis, yaitu :
a. Pengkajian Perilaku ( Behavioral Assessment )
Yang dikaji adalah :
1. Dalam keadaan yang bagaimana klien mengalami perilaku agresif yang berlebihan.
2. Dalam keadan yang seperti apa klien mengalami kembali trauma yang dirasakan.
3. Bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau aktifitas yang akan
mengingatkan klien terhadap trauma.
4. Seberapa sering klien terlibat aktivitas sosial.
5. Apakah klien mengalami kesulitan dalam masalah pekerjaan semenjak kejadian
traumatis.
b. Pengkajian Afektif ( Affective Assessment )
1. Berapa lama waktu dalam satu hari klien merasakan ketegangan dan perasaan
ingin cepat marah.
2. Apakah klien pernah mengalami perasaan panik.
3. Apakah klien pernah mengalami perasaan bersalah yang berkaitan dengan trauma.
4. Tipe aktivitas yang disukai untuk dilakukan.
5. Apa saja sumber - sumber kesenangan dalam hidup klien.
6. Bagaima hubungan yang secara emosional terasa akrab dengan orang lain.
c. Pengkajian Intelektual ( Intellectual Assessment )
1. Kesulitan dalam hal konsentrasi.
2. Kesulitan dalam hal memori.
3. Berapa frekuensi dalam satu hari tentang pikiran yang berulang yang berkaitan
dengan trauma.
4. Apakah klien bisa mengontrol pikiran – pikiran berulang tersebut
5. Mimpi buruk yang dialami klien.
6. Apa yang disukai klien terhadap dirinya dan apa yang tidak disukai klien terhadap
dirinya.
3.2 Diagnosa Keperawatan untuk PTSD
1. Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap
peristiwa traumatik yang penuh tekanan.
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan
aktifitas sebelumnya.
3. Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
4. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya..
5. Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
6. Disfungsi proses keluarga berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada usia
dini.
3.3 Tujuan
1. Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap
peristiwa traumatik yang penuh tekanan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu merespon adaptif terhadap
peristiwa trauma yang ia alami.
NOC :
1. Pemulihan dari trauma.
2. Pengendalian impuls: kemampuan untuk menahan diri dari perilaku impulsive.
4. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien diharapkan cemas dan stress yang
dialami klien menurun atau menghilang.
NOC : Kontrol cemas
1. Intensitas kecemasan berkurang atau hilang.
2. Tidak ditemukan tanda – tanda kecemasa.
3. Menunjukkan relaksasi.
4. Menunjukkan pemecahan masalah dan menggunakan sumber-sumber secara
efektif.
4. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
NIC : Penurunan kecemasan
1. Tenangkan klien
2. Berusaha memahami keadan klien
3. Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkn rasa takut
4. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang menciptakan cemas
5. Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri dengan cara yang tepat
6. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
7. Gunakan pendekatan dan sentuhan, verbalissi untuk meyakinkan pasien tidak
sendiri dan mengajukan pertanyaaan.
8. Sediakan aktivitas untuk menurunkan ketegangan.
9. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.
6. Disfungsi proses keluarga berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada usia
dini.
NIC : Dukungan Keluarga
1. Tingkatkan harapan yang realistis
2. Dengarkan keluhan, perasaan , dan pertanyaan keluarga
3. Fasilitasi pengkomunikasian keluhan/persaan antra pasien dan keluarga atau antar
anggota keluarga
4. Berikan perawatan kepada pasien selain keluarga untuk mengurangi beban mereka
dab/ atau saat keluarga tidak mampu untuk memberikan perawatan
5. Berikan umpan balik kepada keluarga yang berkaitan dengan koping mereka
3.5 Evaluasi
Skala :
1. Tidak pernah dilakukan/menunjukan.
2. Jarang dilakukan/menunjukan.
3. Kadang dilakukan/menunjukan.
4. Sering dilakukan/menunjukan.
5. Selalu dilkukan/menunjukan
DP 1 :
Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap
peristiwa traumatik yang penuh tekanan.
NOC :
1. Pemulihan dari trauma.
2. Pengendalian impuls: kemampuan untuk menahan diri dari perilaku impulsive.
DP 2 :
Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan
aktifitas sebelumnya.
NOC : Kepercayaan Kesehatan
1. Mengungkapkan dengan kata-kaa tentang segala perasaan ketidakberdayaan.
2. Mengidentifikasi tindakan yang berada dalam kendalinya.
3. Mengungkapkan dengan kata-kata kemampuan untuk melakukan tindakan yang
diperlukan
4. Melaporkan dukungan yang adekuat dari orang dekat, teman-teman dan tetangga.
DP 3 :
Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
NOC : Ketakutan dapat di kontrol
1. Klien mampu mencari informasi untuk menurunkan ketakutan
2. Klien mampu menghindari sumber ketakutan bila mungkin
3. Kilin mamapu mengendalikan respon ketakutan
4. Klien mamapu mempertahankan penampilan peran dan hubungan social
DP 4 :
Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
NOC : Kecemasan dapat di kontrol
1. Intensitas kecemasan berkurang atau hilang.
2. Tidak ditemukan tanda – tanda kecemasa.
3. Menunjukkan relaksasi.
4. Menunjukkan pemecahan masalah dan menggunakan sumber-sumber secara
efektif.
DP 5 :
Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
NOC: Koping
1. Koping efektif.
2. Harga diri positif.
3. Keterampilan interaksi sosial positif.
4. Menyadari masalah atau konflik spesifik yang mempengaruhi interaksi atau
hubungan sosial.
5. Mengekspresikan perasaan harga diri.
6. Menunjukan penurunan kedefensifan.
DP 6 :
Disfungsi proses keluarga berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada usia
dini.