Anda di halaman 1dari 8

A.

Epidemiologi
Perkiraan prevalensi keratokonjungtivitis sika atau dry eye
syndrome menjadi sulit karena tidak adanya consensus mengenai uji
diagnostic yang reliable. Beberapa penelitian epidemiologi menggunakan
kuisioner untuk mengetahui prevalensi gejala keratokonjungtivitis sika.
Penelitian di Amerika dan Australia menunjukan prevalensi sebesar 5-16%
sedangka penelitian di Asia menunjukan prevalensi yang lebih tinggi,
yaitu 27-33% (Craig et al, 2017).
Beberapa factor risiko yang berhubungan dengan terjadinya
keratokonjungtivitis sika diantaranya usia tua, jenis kelamin (wanita >
pria), ras, disfungsi glandula meibom, penyakit jaringan ikat, sindrom
Sjorgen, defisiensi androgen, penggunaan computer, penggunaan lensa
kontak, terapi pengganti estrogen, transplantasi hematopoietic stem cell,
dan keadaan lingkungan seperti polusi, kelembaban yang rendah, dan sick
building syndrome, serta penggunaan obat-obatan seeprti antihistamin,
antidepresan, anxiolytic dan isotretinoin. Faktor risiko lain yang
memungkinkan terjadinya keratokonjungtivitis sika diantaranya
pterygium, infeksi virus, gangguan tiroid, gangguan psikiatrik, alergi,
operasi mata, konjungtivitis, dan obat-obatan seperti beta blocker, diuretic,
anti kolinergik (Stapleton et al, 2017).

B. Klasifikasi
Hasil dari International Dry Eye Workshop (DEWS) pada 2007
membuat algoritma klasifikasi keratokonjungtivitis sika.
Keratokonjungtiviti sika dibagi ke dalam dua jenis, yaitu mata kering
akibat kekurangan aqueous dan mata kering akibat evaporasi (Findlay,
2018).
1. Mata kering defisiensi aqueous
Gangguan sekresi air mata dapat diakibatkan oleh non sindrom
Sjorgen (NSTD) dan sindrom Sjorgen (Rao et al, 2014).
a. Non sindrom sjorgen (NTSD)
Defisiensi air mata akibat non-Sjorgen dapat terjadi akibat
defisiensi glandula lakrimalis primer atau sekunder, obsturksi
saluran lakrimaslis, atau reflex hiposkresi. Defisiensi glandula
lakrimaslis primer meliputi mata kering akibat usia, akralima
kongenital, dan disautonomia familial (Riley-Day Syndrome).
Penyebab NSTD paling sering yaitu mata kering karena usia, yang
berhubungan dengan fibrosis ductus dan interasinar dan obstruksi
pada glandula lakrimalis, kemungkinan karena adanya inflamasi
kronik low grade. Aklarima kongenital merupakan fenomena yang
jarang terjadi pada masa muda, yang terjadi akibat glandula
lakrimaslis yang hilang atau hypoplasia. Familial disautonomia
merupakan gangguan multisistem autosomal resesif yang
mengeneralisasikan insensitivitas nyeri disertai dengan hilangnya
reflex emosional dan menangis. Terjadi defek inervasi saraf
simpatis dan parasimpatis glandula lakrimalis dan defek inervasi
sensori pada permukaan mata (Rao et al, 2014).
Defisiensi glandula lakrimalis sekunder akibat infiltrasi dan
kerusakan pada glandula lakrimalis pada lesi limfoepitelial jinak
(Mikulicz’s disease) limfoma, sarcoidosis,
hemokromatosis,amyloidosis, HIV/AIDS dan penyakit graft-vs-
host dapat mengakibatkan mata kering. Kerusakan akibat operasi
atau radiasi atau denervasi jaringan lakrimal dapat menyebabkan
defieinsi air mata sekunder. Obstruksi sekunder pada ductus
glandula lakrimalis dapat terjadi pada trakoma, pemfigoid sikatrik
ocular, pemfigoid membrane mukosa, eritema multiformis/steven
Johnson syndrome, luka bakar kimia atau thermal (Rao et al,
2014).
Hiposekresi reflex secara konseptual dapat dibagi menjadi
dua, yaitu blok reflex sensoris (kerusakan pada nervus aferen) dan
blok reflex motoric (kerusakan pada nervus eferen atau
sekremotor). Blok reflex sensoris dapat terjadi pada keadaan
dimana terdapat penurunan sensasi ocular yang dapat terjadi pada
pengguaan anestesi local, penggunaan kontak lensa, diabetes
mellitus, penuaan, dan keratitis neurotropik (Rao et al, 2014).
Gangguan pada stimulus aferen produksi air mata, atau
sensory loss (denervasi) dapat menyebabkan penurunan sekresi air
mata dan penurunan blink rate. Kerusakan pada serabut saraf
sensoris dapat terjadi setelah operasi insisi kornea (penetrasi atau
anterior lamellar keratopalsty, radial keratotomy, dan limbal
cataract incision) dan setelah kerusakan pada cabang pertama
nervus trigeminus akibat trauma,tumor, herpes simplex atau zoster
yang dapat menurunkan produksi air mata. Obat-obatan sistemik
juga dapat menyebabkan inhibisi stimulasi eferen glandula
lakrimalis melalui aktivitas antikolinergik atau dehridrasi sistemik
(Rao et al, 2014).
b. Sindrom Sjorgen
Sindrom Sjorgen merupakan kondisi klinis penurunan
aqueous air mata disertai dengan mulut kering. Sindrom ini dibagi
menjadi dua jenis, yaitu primer (pasien tanpa adanya penyakit
jaringan ikat lainnya) atau sekunder (pasien dengan penyakit
jaringan ikat). Sindrom Sjorgen primer yaitu adanya defisiensi air
mata aqueous disertai dengan mulut kering, adanya antibody
terhadap antigen Ro (SSA) atau La (SSB), penurunan sekresi
saliva, dan adnaya focus limfotik pada biopsy glandula saliva.
Sindrom Sjorgen sekunder berkaitan dengan rheumatoid arthritis,
systemic lupus erythematous, primary biliary cirrhosis, dan mixed
connective tissue disease. Kedua subtype sindrom Sjorgen
dicirikan dengan adanya infiltasi lymfositik progresif pada
glandula lakrimalis dan saliva, dan dapat disertai dengan nyeri
hebat pada mata dan mulut. Patogenesis deficit air mata pada
sindrom sjorgen yaitu adanya infiltrasi glandula lakrimalis oleh
limfosit B dan CD4 (dengan beberapa sel CD8) dan sel plasma,
dengan pembentukan fibrosis (Rao et al, 2014).
Konsensus American-European mengenai diagnosis dan
klasifikasi Sjorgen syndrome, kategori untuk diagnosis Sjorgen
syndrome yaitu:
1) Gejala ocular : gejala mata kering setiap hari selama lebih dari
3 bulan, iritasi ocular, penggunaan air mata buatan lebih dari 3
kali sehari
2) Gejala oral : mulut kering selama lebih dari 3 bulan, adanya
pembengkakan glandula saliva, sering minum untuk membantu
menelan
3) Tanda ocular : tes Schimmer I (tanpa anestesi) <5mm pada
5menit, skor rose Bengal ≥4 menurut skoring van Bijsterbeld.
4) Histopatologi : biopsy gladula saliva minor menunjukan
adanya inflamasi dengan focus limfatik
5) Tanda oral : penurunan aliran saliva <1.5 ml dalam 5menit,
parotid sialography menunjukan dilatasi ductus saliva tanpa
obstruksi, salivary scintigraphy menunjukan adanya tanda
penurunan produksi saliva.
6) Autoantibodi : adanya antibody anti-Ro (SSA) atau anti-La
(SSB)
Diagnosis sindrom sjorgen primer ditegakan apabila
terdapat minimal 4 dari 6 kategori (termasuk adanya temuan
histopatologi atau autoantibodi) atau 3 dari 4 kategori objektif
(tanda ocular, histopatologi,tanda oral, dan autoantibodi).
Diagnosis sindrom sjorgen sekunder, pada pasien dengan penyakit
jaringan ikat, harus ada satu gejala (ocular atau oral) dan dua dari
tiga kategori objektif (tanda ocular, histopatologi, dan tanda oral)
(Rao et al, 2014).
2. Mata kering evaporative
Evaporasi berlebihan yang terjadi pada gangguan periocular dapat
menyebabkan mata kering dengan atau tanpa concurrent aqueous tear
deficiency. Evaporasi dapat menyebabkan penurunan volume air mata
dan penurunan air yang disproporsional, sehingga terjadi
hiperosmolaritas air mata. Penyebab environmental seperti ketinggian,
kekeringan, atau cuaca panan mempercepat evaporasi meski pada mata
yang norma. Penyebab mata kering dapat berupa penyebab intrinsic
maupun ekstrinsik (Bowling, 2016):
a. Intrinsik
1) Defisiensi glandula meibom, seperti pada blefaritis posterior,
rosacea. Disfungsi glandula meibom (MGD) dapat
menyebabkan penurunan sekresi dan komposisi air mata yang
abnormal pada lapisan lemak air mata. Komposis abnormal
tersebut menyebabkan penghambatan glandula meibom dan
gangguan fungsi lapisan air mata, sehingga dapat terjadi
inflamasi pada permukaan ocular maupun palpebral. Infeksi
akibat kolonisasi bakteri komensal seperti Staphylococcus
aureus, Propionobacterium acnes dapat mengubah sekresi lipid
(membentuk ester dan lipase (Meibomian foam)) dan
mengakibatkan inflamasi.
2) Gangguan pada tepi palpebral, seperti retraksi palpebral,
proptosis dan parase nervus VII. Paparan permukaan ocular
yang meningkat dapat meningkatkan risiko terjadinya mata
kering.
3) Low blink rate, seperti pada Parkinson disease, penggunaan
computer jangka panjang, membaca, dan menonton televisi.
4) Defisiensi musin pada kerusakan konjungtiva akibat penyakit
sikatrik atau trauma operasi tidak hanya menyebabkan
defisiensi air mata aqueous, namun juga pada depopulasi sel
goblet penghasil musin dan terbentuknya abnormalitas anatomi
pada konjungtiva dapat menyebabkan distribusi air mata yang
abnormal.
b. Ekstrinsik
Defisiensi vitamin A dapat mengakibatkan hilangnya dan
disfungsi sel goblet yang dapat menyebabkan lapisa air mata yang
tidak stabil serta mata kering berat (Xerophtalmia). Pengawet pada
berbagai tetes mata (khususnya benzalkonium klorida) dapat
menyebabkan toksisitas permukaan mata dan mata kering.
Penggunaan lensa kontak juga berhubungan dengan gejala mata
kering. Alergi ocular dapat menyebabkan berbagai ireguralitas
konjungtiva dan kornea dengan penurunan stabilitas lapisan air
mata dan mata kering (Bowling, 2016).

C. Diagnosis Banding
Diagnosa banding dry eye disease atau keratokonjungtivitis sika
sangat beragam. Beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam
mendiagnosis keratokonjungtivitis sika yaitu konjungtivitis (alergi,
bacterial, giant palillary, viral, dan keratokonjungtivitis atopi serta vernal),
keratitis filamentosa, penyakit infeksi (Chlamydia, herpes simplex, dan
keratitis herpes simplex dan herpes zoster), abnormalitas kornea (abrasi,
erosi, corpus alineum, dan plak mucus) dan keratitis lainnya.
Tabel . Beberapa diagnose banding keratokonjungtivitis sika (Ilyas, 2010;
Garcia-Ferre et al, 2018)

Keratokonjungtivitis Keratonjungtivitis Keratokonjungtivi Keratoonjungtivtis


sika atopi tis vernal epidemi
Keringnya permukaan Konjungtivitis akibat Penyakit alergi Akibat reaksi
kornea dan konjungtiva. reaksi immediate pada mata yang peradangan kornea
humoral terjadi bilateral, dan konjungtiva
hypersensitivity biasanya muncul karena infeksi
Riwayat dermatitis pada pasien Adenovirus tipe 8
atopi (eczema) prepubertas.
Terjadi Riwayat
alergi, musiman
Gejala: Gejala: Gejala: Gejala:
Mata gatal Mata terasa panas Mata gatal Demam
Mata terasa kering Photophobia Sekret mucoid Mata terasa
Mata terasa seperti Red eye mengganjal
berpasir Pengelihatan kabur Terkadang terasa
Silau bila melihat cahaya nyeri periorbital
Pengelihatan kabur Penurunan
pengelihatan
Tanda: Tanda: Tanda : Tanda:
Blefaritis posterior Discharge mucoid Papilla pada Edema palpebral
Injeksi konjungtiva Eritem pada tepi konjungtiva dan konjungtiva
Gangguan/hilangnya palpebral palpebral Pseudomembran
meniscus air mata Milky appearance Cobblestone pada konjungtiva
Abnormalitas lapisan air conjunctiva appearance tarsal
mata (terdapat kumpulan Papilla pada palpebral Discharge Infiltrat halus
debris) Dapat terjadi injeksi conjungtiva bertitik-titik pada
Erosi epitel pungtata  uji kornea gejala Pseudomembran permukaan epitel
fluorosein seperti keratitis fibrious (Maxwell- Kekeruhan epitel
Adanya filament yang superfisial Lyons sign) Pembesaran
menempel pada Mikropannus pada kelenjar
permukaan kornea palpebral dan periaurikuler
Infiltrat pada permukaan limbus
kornea
Plak mucus pada kornea

D. Komplikasi
Pada awal terjadinya sindrom mata kering, pengelihatan akan
sedikit terganggu. Pada stadium lanjut, dapat terbentuk ulkus kornea,
penipisan kornea, dan perforasi. Infeksi sekunder oleh bakteri dapat
menyebabkan penurunan pengelihatan. Terapi dini dapat mencegah
terjadinya kondisi tersebut (Garcia-Ferre et al, 2018).

Dapus:
Garcia-Ferrer, FJ, Augsburger, JJ, dan Corrêa, ZM. 2018. Conjunctiva and Tears.
Dalam: Riordan-Eva, P, Ausburger, JJ. Vaughan and Asbury’s
General Opthalmology. McGraw-Hill, New York
Craig, JP, Nelson, JD, Azar, DT, et al.2017. TFOS DEWS II Report Executive
Summary. The Ocular Surface. Vol xxx: 1-11
Findlay, Q, Reid, K. 2018. Dry eye disease: when to treat and when to refer.
Australian prescriber. Vol 41: 160-163
Stapleton, F., Alves, M, Bunya, VM, et al. 2017. TFOS DEWS II Epidemiology
report. The Ocular Surface. Vol xxx: 334-350
Rao, NK, Goldstein MH, Tu, EY.2014. Dry Eye. Dalam: Yanoff, M., Duker, JS.
2014. Opthalmology. Pp 274-27 Elsevier, Philadelphia
Bowling, B. 2018. Dry Eye. Dalam: Bowling, B.2018. Kanski’s Clinical
Opthalmology. Pp 120-129. Elsevier, China

Anda mungkin juga menyukai