Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Varisela Merupakan penyakit infeksi akut primer dan menular yang,
disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV), yang menyerang kulit dan
mukosa, dan ditandai dengan adanya vesikel-vesikel.

B. ETIOLOGI

Varicella Zoster Virus (VZV) merupakan virus penyebab varisela.


Varicella Zoster Virus (VZV) termasuk kelompok virus herpes dengan ukuran
diameter kira-kira 140–200 nm. Berdasarkan Penamaan virus ini memberi
pengertian bahwa infeksi primer virus ini meyebabkan penyakit varicella,
sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster.1,2,6

Varicella-Zooster virus diklasifikasikan sebagai herpes virus alfa karena


kesamaannya dengan prototipe kelompok ini yaitu virus herpes simpleks. Inti
virus disebut Capsid, terdiri dari protein dan DNA dengan rantai ganda, yaitu
rantai pendek (S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan
berat molekul 100 juta yang disusun dari 162 capsomer dan sangat infeksius.
Genom virus mengkode lebih dari 70 protein, termasuk protein yang merupakan
sasaran imunitas dan timidin kinase virus, yang membuat virus sensitif terhadap
hambatan oleh asiklovir dan dihubungkan dengan agen antivirus.7
Gambar 1. Varicella zoster virus secara molekuler

VZV dapat pula menyebabkan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini


mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Kontak pertama dengan virus ini
akan menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut
primer, kemudian setelah penderita varicella tersebut sembuh, mungkin virus itu
tetap ada di akar ganglia dorsal dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis)
dan kemudian VZV diaktivasi oleh trauma sehingga menyebabkan Herpes
Zoster. (Hassan dan Alatas, 2007; White dan Fenner, 1994),7

VZV dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita
varicella sehingga mudah dibiakan dalam media yang terdiri dari fibroblast paru
embrio manusia (Hassan dan Alatas, 2007).

C. EPIDEMIOLOGI

Varicella tersebar merata di seluruh dunia dan dapat mengenai semua


golongan umur, termasuk neonates. Namun, angka kejadian varisela lebih sering
terjadi pada anak – anak. Bila terjadi pada orang dewasa, umumnya gejala
konstitusi lebih berat. Cara penyebaran penyakit ini berlangsung secara aerogen.
Varicella ditularkan terutama melalui kontak langsung, droplet atau aerosol dari
lesi vesikuler di kulit ataupun melalui saluran nafas, dan jarang melalui kontak
tidak langsung. Proses penularan berlangsung cepat, pasien dapat menularkan
penyakit selama 24-48 jam sebelum lesi kulit timbul sampai semua lesi timbul
krusta/keropeng, biasanya kurang lebih 6-7 hari dihitung dari timbulnya gejala
erupsi di kulit. seseorang hanya satu kali menderita varicella seumur hidup dan
Serangan kedua merupakan gambaran klinis dari herpes zoster.Varicella dapat
terjadi di sepanjang tahun. Di Negara Barat, prevalensi kejadian varicella
tergantung dari musim (musim dingin dan awal musim semi lebih banyak). Di
Indonesia belum pernah dilakukan penelitian, agaknya penyakit virus
menyerang pada musim peralihan. Angka kejadian di Negara kita belum pernah
diteliti, tetapi di Amerika dikatakan kira-kira 3,1-3,5 juta kasus dilaporkan tiap
tahun. (Hassan dan Alatas, 2007; White dan Fenner, 1994)

D. PATOFISIOLOGI

Varisela Zoster Virus (VZV) masuk ke dalam tubuh manusia melalui


mukosa saluran napas bagian atas dan orofaring. Di dalam mukosa virus
mengalami dan selanjutnya mengalami penyebaran virus dalam jumlah sedikit
melalui darah dan limfe (viremia primer). Virus VZV dimusnahkan/ dimakan
oleh sel-sel sistem retikuloendotelial, di sini terjadi replikasi virus lebih banyak
lagi (pada masa inkubasi). Selama masa inkubasi infeksi virus dihambat
sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh dan respon yang timbul (imunitas
nonspesifik). (harahap, 2000; White dan Fenner, 1994; traus, et all, 2008)
Pada sebagian besar individu replikasi virus lebih menonjol atau lebih
dominan dibandingkan imunitas tubuhnya yang belum berkembang, sehingga
dalam waktu dua minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah
yang lebih banyak. Hal ini menyebabkan panas dan malaise, serta virus
menyebar ke seluruh tubuh lewat aliran darah, terutama ke kulit dan membrane
mukosa. Lesi kulit muncul berturut-berturut, yang menunjukkan telah
memasuki siklus viremia, yang pada penderita yang normal dihentikan setelah
sekitar 3 hari oleh imunitas humoral dan imunitas seluler VZV. Virus beredar di
leukosit mononuklear, terutama pada limfosit. Bahkan pada varicella yang tidak
disertai komplikasi, hasil viremia sekunder menunjukkan adanya subklinis
infeksi pada banyak organ selain kulit. (harahap, 2000; straus, et all, 2008)
Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat
berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Imunitas humoral terhadap VZV
berfungsi protektif terhadap varicella. Pada orang yang terdeteksi memiliki
antibodi serum biasanya tidak selalu menjadi sakit setelah terkena paparan
eksogen. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga berkembang selama varicella,
berlangsung selama bertahun-tahun, dan melindungi terhadap terjadinya resiko
infeksi yang berat. (straus, et all, 2008)
Reaktivasi pada keadaan tubuh yang lemah sebagian idiopatik tanpa
diketahui penyebabnya, sebagian simptomatik (defisiensi imun melalui penyakit
system imun, neoplasia, supresi imun) (Rassner, 1995).

E. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi penyakit varicella berlangsung 14 sampai 21 hari
tergantung pada imunitas masing masing individu.1,9 Proses perjalanan penyakit
dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium prodromal dan stadium erupsi. Stadium
prodromal terjadi 1 hari sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala seperti
demam, malaise, kadang-kadang terdapat kelainan scarlatinaform atau
morbiliform. Stadium prodormal tidak muncul pada anak kecil, namun sering
muncul pada anak yang lebih besar serta orang dewasa. Stadium erupsi dimulai
dengan terjadinya papul merah, kecil, yang berubah menjadi vesikel yang berisi
cairan jernih dan mempunyai dasar eritematous. Permukaan vesikel tidak
memperlihatkan cekungan ditengah (unumbilicated). (Hassan dan Alatas, 2007)
Gejala klinis yang muncul meliputi demam yang tidak terlalu tinggi, 2-3
hari, kedinginan, malaise, anoreksia, sakit kepala, nyeri punggung, dan pada
beberapa pasien dapat disertai nyeri tenggorokan dan batuk kering, kemudian
dilanjutkan dengan timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam
waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa
tetesan embun (tear drops). 1 hari kemudian, Vesikel akan berubah menjadi
keruh (pustul) dan kemudian pecah menjadi krusta. Biasanya vesikel menjadi
kering sebelum isinya menjadi keruh. Kemunculan vesikel tidak bersamaan di
seluruh tubuh. Memerlukan waktu 3-4 hari untuk rupsi dapat tersebar disertai
perasaan gatal. Timbul lagi vesikel-vesikel yang baru di sekitar vesikula yang
lama, sehingga menimbulkan gambaran polimorfi. Stadium erupsi yang seperti
ini disebut sebagai stadium erupsi bergelombang. (Djuanda, 2011; , harahap,
2000, (Hassan dan Alatas, 2007)
Penyebaran terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata,
mulut, dan saluran napas bagian atas. Jika terdapat infeksi sekunder terdapat
pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini biasanya disertai gatal.
(Djuanda, 2011)
Pada pasien yang belum mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari muka dan
skalp, dan kemudian menyebar secara cepat ke badan dan sedikit ke ekstremitas.
Lesi baru muncul berturut-turut, dengan distribusi terutama di bagian sentral.
Ruam cenderung padat kecil-kecil di punggung dan antara tulang belikat
daripada skapula dan bokong dan lebih banyak terdapat pada medial daripada
tungkai sebelah lateral. Tidak jarang terdapat lesi di telapak tangan dan telapak
kaki, dan vesikula sering muncul sebelumnya dan dalam jumlah yang lebih besar
di daerah peradangan, seperti daerah yang terkena sengatan matahari. (straus, et
all, 2008)
Proses perubahan lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih
kurang dari 12 jam, dimana mula-mula berupa makula eritematosa yang
berkembang menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari varicella
berdiameter 2-3 mm, dan berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar
dengan lipatan kulit. Vesikel biasanya superfisial dan berdinding tipis, dan
dikelilingi daerah eritematosa sehingga tampak terlihat seperti “embun di atas
daun mawar”. Cairan vesikel cepat menjadi keruh karena masuknya sel radang,
sehingga mengubah vesikel menjadi pustul. Lesi kemudian mengering, mula-
mula di bagian tengah sehingga menyebabkan umbilikasi dan kemudian menjadi
krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu, meninggalkan bekas bekas cekung
kemerahan yang akan berangsur menghilang. Apabila terjadi superinfeksi dari
bakteri maka dapat terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah menyembuh dapat
meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat menetap selama beberapa
minggu/bulan. Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring,
trakea, saluran cerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat
pecah sehingga seringkali terlihat sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3 mm.
(straus, et all, 2008),14
Gambaran khas dari varicella adalah adanya lesi yang muncul secara
simultan (terus-menerus), di setiap area kulit, dimana lesi tersebut terus
berkembang Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan
tingginya demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39oC, tetapi
pada keadaan yang berat dengan jumlah lesi banyak dapat mencapai 40,5oC.
Demam yang berkepanjangan atau yang kambuh kembali dapat disebabkan oleh
infeksi sekunder bakterial atau komplikasi lainnya. Gejala yang paling
mengganggu adalah gatal yang biasanya timbul selama stadium vesikuler
(straus, et all, 2008),14
Infeksi yang timbul pada trimester pertama kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenital, sedangkan infeksi yang timbul beberapa hari
menjelang kelahiran dapat menyebabkan varicella kongenital pada neonatus.1
Diperkirakan 17% dari anak yang dilahirkan wanita yang mendapat varicella
ketika hamil akan menderita kelainan bawaan berupa bekas luka di kulit
(cutaneous scars), berat badan lahir rendah, hypoplasia tungkai, kelumpuhan
dan atrofi tungkai, kejang, retardasi mental, korioretinitis, atrofi kortikal, katarak
atau kelainan mata lainnya. Angka kematian tinggi.
Bila seorang wanita hamil mendapat varicella dalam 21 hari sebelum ia
melahirkan, maka 25% dari neonatus yang dilahirkan akan memperlihatkan
gejala varicella kongenital pada waktu dilahirkan sampai berumur 5 hari.
Biasanya varicella yang timbul berlangsung ringan dan tidak mengakibatkan
kematian. Sedangkan bila seorang wanita hamil mendapat varicella dalam waktu
4-5 hari sebelum melahirkan, maka neonatusnya akan memperlihatkan gejala
varicella kongenital pada umur 5-10 hari. Disini perjalanan penyakit varicella
sering berat dan menyebabkan kematian sebesar 25-30%. Mungkin ini ada
hubungannya dengan kurun waktu fetus berkontak dengan varicella dan
dialirkannya antibody itu melalui plasenta kepada fetus. (Hassan dan Alatas,
2007)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan
histopatologi. Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel
epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan percobaan Tzanck dengan cara membuat sediaan hapus
yang diwarnai, dimana bahan pemeriksaan diambil dari kerokan dari dasar
vesikel yang muncul lebih awal, kemudian diletakkan di atas object glass.
(Djuanda, 2011; straus, et all, 2008).

Gambar 2. Sel raksasa berinti banyak


Varicella zoster virus (VZV) polymerase chain reaction (PCR) adalah
metode pilihan untuk diagnosis varicella. VZV PCR adalah metode pilihan
untuk diagnosis klinis yang cepat. Real-time PCR metode tersedia secara luas
dan merupakan metode yang paling sensitif dan spesifik dari tes yang tersedia.
Hasil tersedia dalam beberapa jam. Jika real-time PCR tidak tersedia, antibodi
langsung metode (DFA) neon dapat digunakan, meskipun kurang sensitif
dibanding PCR dan membutuhkan pengambilan spesimen yang lebih teliti. VZV
juga dapat diisolasi dari kultur jaringan, meskipun kurang sensitif dan
membutuhkan beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya. (White dan Fenner,
1994; straus, et all, 2008)
Berbagai tes serologi untuk antibodi terhadap varicella tersedia secara
komersial termasuk uji aglutinasi lateks (LA) dan sejumlah enzyme-linked
immunosorbent tes (ELISA). Saat ini tersedia metode ELISA, dan ternyata tidak
cukup sensitif untuk mampu mendeteksi serokonversi terhadap vaksin, tetapi
cukup kuat untuk mendeteksi orang yang memiliki kerentanan terhadap VZV.
ELISA sensitif dan spesifik, sederhana untuk melakukan, dan banyak tersedia
secara komersial. Di samping itu LA juga tersedia secara sensitif, sederhana, dan
cepat untuk dilakukan. LA agak lebih sensitif dibandingkan ELISA komersial,
meskipun dapat menghasilkan hasil yang positif palsu, dan dapat menyebabkan
kegagalan untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak terbukti memiliki
imunitas terhadap varicella. Dimana salah satu dari tes ini akan berguna untuk
skrining kekebalan terhadap varicella. (White dan Fenner, 1994; Hambrosky,
et.all, 2015)

G. DIAGNOSIS
Varicella didiagnosa berdasarkan gambaran klinis yaitu penampilan dan
perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, terutama apabila ada
riwayat terpapar varicella 2-3 minggu sebelumnya. (straus, et all, 2008)
Varicella khas ditandai dengan erupsi papulovesikuler setelah fase
prodromal ringan atau bahkan tanpa fase prodromal, dengan disertai panas dan
gejala konstitusi ringan. Gambaran lesi bergelombang, polimorfi dengan
penyebaran sentrifugal. Sering ditemukan lesi pada membrane mukosa.
Penularannya berlangsung cepat. (harahap, 2000)
Diagnosis laboratorik sama seperti pada herpes zoster yaitu dengan
pemeriksaan sediaan hapus secara Tzanck (deteksi sel raksasa dengan banyak
nucleus/inti), pemeriksaan mikroskop electron cairan vesikel (deteksi virus
secara langsung) dan material biopsi (kultur), dan tes serologik (meningkatnya
titer). (harahap, 2000, (Rassner, 1995)

H. DIAGNOSIS BANDING
Varicella dapat dibedakan dengan beberapa kelainan kulit, antara lain
harus dibedakan dengan variola. Pada variola, penyakit lebih berat, memberi
gambaran lesi monomorf, dan penyebarannya sentripetal dimulai dari bagian
akral tubuh, yakni telapak tangan dan telapaka kaki, baru ke badan (Djuanda,
2011; harahap, 2000).
Bedakan juga dengan herpes zoster. Pada herpes zoster lesi monomorf,
nyeri, biasanya unilateral. Pada herpes zoster juga sama-sama biasanya
didahului oleh fase prodromal, setelah fase prodromal sering disertai dengan rasa
nyeri, perubahan pada kulit terjadi pada setengah bagian badan (unilateral) dan
berbentuk garis berkaitan dengan daerah dermatom dengan lesi yang berupa
gelembung-gelembung kecil yang berkelompok di aatas dasar eritematosa.
Dapat terjadi perkembangan yang berat yang meliputi keterlibatan mata (Zoster
trigeminus I), mukosa mulut (Zoster trigeminus II, III), telinga bagian dalam
(Zoster oticus). Herpes zoster pada penderita insufisiensi imun atau tumor, terapi
resisten dengan bahaya terjadi efek generalisasi pada kulit dan manifestasi
ekstrakutan. (Rassner, 1995; Siregar, 2004).
Dermatitis herpetiform biasanya simetris terdiri dari papula vesikuler yang
eritematosus, serta ada riwayat penyakit kronis, dan sembuh dengan
meninggalkan pigmentasi. Impetigo lesi impetigo yang pertama adalah vesikel
yang cepat menjadi pustula dan krusta. Distribusi lesi impetigo terletak dimana
saja. Impetigo tidak menyerang mukosa mulut. Skabies pada skabies terdapat
papula yang sangat gatal. Lokasi biasanya antara jari-jari kaki. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Sarcoptes Scabiei.

I. PENATALAKSANAAN
Pengobatan bersifat simptomatik dengan antipiretik dan analgesik. Untuk
kondisi demam dapat diberikan asetosal atau antipiretik lain seperti
asetaminofen, paracetamol atau metampiron. antihistamin oral atau sedative
dapat diberikan untuk mengurangi rasa gatal. Terapi topikal dapat diberikan
bedak yang ditambah zat anti gatal (mentol, kamfora) seperti bedak salisilat 1-
2% atau lotio kalamin untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini serta
menghilangkan rasa gatal. Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan
antibiotika berupa salep dan oral. Dapat pula diberikan obat-obat antivirus.
VZIG (varicella zoster immunoglobuline) dapat mencegah atau meringankan
varicella, diberikan intramuscular dalam 4 hari setelah terpajan. Yang penting
pada penyakit virus, umumnya adalah istirahat / tirah baring. (Djuanda, 2011;
harahap, 2000), (Hassan dan Alatas, 2007)
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus. Beberapa
analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, dan brivudin, dan
analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk mengobati infeksi VZV.
Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh
timidin kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-
enzim selular kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat yang
mengganggu sintesis DNA virus dengan menghambat DNA polimerase virus.
Dosis pemberian asiklovir adalah 5 x 800 mg per hari pada orang dewasa
diberikan selama 7 hari, dan 20 mg/kgbb x 4 dalam sehari untuk anak – anak
selama 7 hari. Acyclovir dapat digantikan dengan famciclovir, yang diberikan
dengan dosis 200 mg per oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis 1000
mg per oral setiap 8 jam. Efektivitas pemberian antivirus sistemik adalah
maksimal pada 24 jam setelah muncul ruam pertama kali. (straus, et all, 2008)
Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri.
Pengobatan topical dapat diberikan. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan
kompres dingin, atau lotion kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion yang
mengandung kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak
digunakan. Kadang diperlukan antipiretik, tetapi pemberian golongan salisilat
(aspirin) sebaiknya dihindari karena sering dihubungkan dengan terjadinya
sindroma Reye. Mandi rendam dengan air hangat dapat mencegah infeksi
sekunder bakterial. (straus, et all, 2008)
Banyak dokter tidak meresepkan acyclovir untuk varicella selama
kehamilan karena risiko bagi janin yang dalam pengobatan belum diketahui.
Sementara dokter lain merekomendasikan pemberian acyclovir secara oral untuk
infeksi pada trisemester ketiga ketika organogenesis telah sempurna, ketika
mungkin ada peningkatan terjadinya resiko pneumonia varicella, dan ketika
infeksi dapat menyebar ke bayi yang baru lahir. Pemberian acyclovir intravena
sering dipertimbangkan untuk wanita hamil dengan varicella yang disertai
dengan penyakit sistemik. (straus, et all, 2008)
Percobaan terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa imunokompeten
dengan pneumonia varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu
36 jam dari rumah sakit) dengan acyclovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam)
dapat mengurangi demam dan takipnea dan meningkatkan oksigenasi.
Komplikasi serius lainnya dari varicella pada orang yang imunokompeten,
seperti ensefalitis, meningoencephalitis, myelitis, dan komplikasi okular,
sebaiknya diobati dengan acyclovir intravena. (straus, et all, 2008)
Percobaan terkontrol pada pasien immunocompromised dengan varicela
menunjukkan bahwa pengobatan dengan asiklovir intravena menurunkan
insiden komplikasi yang mengancam kehidupan visceral ketika pengobatan
dimulai dalam waktu 72 jam dari mulai timbulnya ruam. Acyclovir intravena
menjadi standar perawatan untuk varicella pada pasien yang disertai dengan
imunodefisiensi substansial. Meskipun pemberian terapi oral dengan famciclovir
atau valacyclovir mungkin cukup untuk pasien dengan derajat ringan gangguan
kekebalan tubuh, tetapi tidak ada uji klinis terkontrol yang menunjukkan secara
pasti. Pada penyakit berat atau wanita hamil dapat diberikan acyclovir IV
10mg/kgBB tiap 8 jam selama 7 hari. (Siregar, 2004), (straus, et all, 2008)

J. PENCEGAHAN
Pencegahan dengan melakukan vaksinasi. Vaksin dapat diberikan aktif
ataupun pasif. Aktif dilakukan dengan memberikan vaksin varicella berasal dari
galur yang telah dilemahkan (live attenuated). Pasif dilakukan dengan
memberikan zoster imuno globulin (ZIG) dari zoster imun plasma (ZIP).
(Hassan dan Alatas, 2007)
ZIG ialah suatu globulin-gama dengan titer antibodi yang tinggi dan yang
didapatkan dari penderita yang telah sembuh dari infeksi herpes zoster.
Pemberian ZIG sebanyak 5 ml dalam 72 jam setelah kontak dengan penderita
varicella dapat mencegah penyakit ini pada anak sehat, tapi pada anak dengan
defisiensi imunologis, leukemia atau penyakit keganasan lainnya, pemberian
ZIG tidak menyebabkan pencegahan yang sempurna. Lagi pula diperlukan ZIG
dengan titer yang tinggi dan dalam jumlah yang lebih besar. (Hassan dan Alatas,
2007)
ZIP adalah plasma yang berasal dari penderita yang baru sembuh dari
herpes zoster dan diberikan secara intravena sebanyak 3-14,3 ml/kgBB.
Pemberian ZIP dalam 1-7 hari setelah kontak dengan penderita varicella pada
anak dengan defisiensi imunologis, leukemia atau penyakit keganasan lainnya
mengakibatkan menurunnya insidens varicella dan merubah perjalanan penyakit
varicella menjadi ringan dan dapat mencegah varicella untuk kedua kalinya.
Pemberian globulin-gama akan menyebabkan perjalanan varicella jadi ringan
tapi tidak mencegah timbulnya varicella. Dianjurkan untuk memberikan
globulin-gama kepada bayi yang dilahirkan dalam waktu 4 hari setelah ibunya
memperlihatkan tanda-tanda varicella. Ini dapat dilaksanakan pada jam-jam
pertama kehidupan bayi tersebut. (Hassan dan Alatas, 2007; White dan Fenner,
1994)
Vaksin aktif dianjurkan hanya diberikan kepada penderita leukemia,
penderita penyakit keganasa lainnya dan penderita dengan defisiensi imunologis
untuk mencegah komplikasi dan kematian bila kemudian terinfeksi oleh
varicella. Angka serokonversi mencapai 97-99%. Diberikan pada yang berumur
12 bulan atau lebih. Lama proteksi belum diketahui pasti, vaksinasi ulangan
dapat diberikan setelah 4-6 tahun.(Hassan dan Alatas, 2007; White dan Fenner,
1994)
Pemberiannya secara subkutan 0,5 ml pada yang berusia 12 bulan sampai
12 tahun. Pada usia di atas 12 tahun juga diberikan 0,5 ml, setelah 4-8 minggu
diulangi dengan dosis yang sama. Bila terpajannya baru kurang dari 3 hari
perlindungan vaksin yang diberikan masih terjadi, karena masa inkubasinya
antara 7-21 hari. Sedangkan antibody yang cukup sudah timbul antara 3-6 hari
setelah vaksinasi.1
Karakteristik vaksin varicella (Varivax, Merck) merupakan vaksin virus
hidup yang dilemahkan, yang berasal dari strain Oka VZV. Virus vaksin
diisolasi oleh Takahashi pada awal tahun 1970 dari cairan vesikular yang berasal
dari anak sehat dengan penyakit varicella. Vaksin varicella ini dilisensikan untuk
penggunaan umum di Jepang dan Korea pada tahun 1988. Vaksin ini diijinkan
di Amerika Serikat pada tahun 1995 untuk orang-orang usia 12 bulan dan yang
lebih tua. (straus, et all, 2008; Hambrosky, et.all, 2015)
Keefektifan vaksin, setelah pemberian satu dosis tunggal vaksin varicella
antigen, 97% dari anak yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun mengembangkan
titer antibodi yang dapat terdeteksi. Sedangkan lebih dari 90% dari responden
vaksin mempertahankan antibodi untuk setidaknya 6 tahun. Dalam studi di
Jepang, 97% dari anak-anak memiliki antibodi 7 sampai 10 tahun setelah
vaksinasi. Efikasi vaksin diperkirakan memiliki ketahanan 70% sampai 90%
terhadap infeksi, dan 90% sampai 100% terhadap penyakit sedang atau berat.
(Hambrosky, et.all, 2015; Soedarmo, 2002)
Di antara remaja yang sehat dan orang dewasa yang berusia 13 tahun dan
yang lebih tua, rata-rata 78% mengembangkan antibodi setelah pemberian satu
dosis, dan 99% mengembangkan antibodi setelah pemberian dosis kedua yang
diberikan 4 sampai 8 minggu kemudian. Antibodi bertahan selama minimal 1
tahun pada 97% dari pemberian vaksin varicella setelah dosis kedua yang
diberikan pada 4 sampai 8 minggu setelah dosis pertama. (Hambrosky, et.all,
2015)
Kekebalan tampaknya bertahan lama, dan mungkin permanen di sebagian
besar vaksin. Infeksi pada orang yang pernah mendapat vaksin secara signifikan
lebih ringan, dengan lesi sedikit (biasanya kurang dari 50), banyak yang
makulopapular daripada vesikuler. Dimana kebanyakan orang yang pernah
mendapat vaksinasi sebelumnya tidak terjadi demam. (Hambrosky, et.all, 2015;
Soedarmo, 2002)
Meskipun pada penemuan dari beberapa studi telah menyarankan
sebaliknya, penyelidikan sebagian belum diidentifikasi waktu sejak vaksinasi
sebagai faktor risiko untuk terobosan varicella. Beberapa, tetapi tidak semua,
penyelidikan baru-baru telah mengidentifikasi adanya asma, penggunaan
steroid, dan vaksinasi di lebih muda dari 15 bulan usia sebagai faktor risiko
untuk terobosan varicella. Terobosan infeksi varicella bisa menjadi hasil dari
beberapa faktor, termasuk gangguan replikasi virus vaksin oleh sirkulasi
antibodi, vaksin impoten akibat kesalahan penyimpanan atau penanganan, atau
pencatatan tidak akurat. Penelitian telah menunjukkan bahwa dosis kedua vaksin
varicella meningkatkan kekebalan dan mengurangi penyakit terobosan pada
anak-anak. (Hambrosky, et.all, 2015)
Jadwal vaksinasi dan penggunaan vaksin varicella dianjurkan untuk semua
anak tanpa kontraindikasi yang berusia 12 sampai 15 bulan. Vaksin ini dapat
diberikan kepada semua anak pada usia ini terlepas dari riwayat varicella.
(Hambrosky, et.all, 2015)
Dosis kedua vaksin varicella harus diberikan pada 4 sampai 6 tahun
kemudian . Dosis kedua dapat diberikan lebih awal dari 4 sampai 6 tahun jika
setidaknya 3 bulan telah berlalu setelah dosis pertama (yaitu, interval minimum
antara dosis vaksin varicella untuk anak-anak berusia di bawah 13 tahun adalah
3 bulan). Namun, jika dosis kedua diberikan setidaknya 28 hari setelah dosis
pertama, dosis kedua tidak perlu diulang. Dosis kedua vaksin varicella ini juga
dianjurkan bagi orang yang lebih tua, dimana vaksin varicella diberikan kepada
orang-orang 13 tahun atau lebih pada 4 sampai 8 minggu kemudian.
(Hambrosky, et.all, 2015)
Semua vaksin varicella harus diberikan melalui secara subkutan. Vaksin
varicella telah terbukti aman dan efektif pada anak-anak yang sehat bila
diberikan pada saat yang sama sebagai vaksin MMR di lokasi terpisah dan
dengan jarum suntik yang terpisah. Jika vaksin varicella dan MMR tidak
diberikan pada kunjungan yang sama, maka pemberian harus dipisahkan
setidaknya 28 hari. Vaksin varicella juga dapat diberikan simultan (tapi di lokasi
terpisah dengan jarum suntik yang terpisah) dengan semua vaksin anak lainnya.
(Hambrosky, et.all, 2015)
Data dari Amerika Serikat dan Jepang dalam berbagai penelitian
menunjukkan bahwa vaksin varicella ternyata efektif sekitar 70% sampai 100%
dalam mencegah penyakit atau terjadinya keparahan penyakit jika digunakan
dalam waktu 3 hari, dan mungkin sampai 5 hari, setelah paparan. ACIP
merekomendasikan vaksin untuk digunakan pada orang yang tidak terbukti
memiliki kekebalan terhadap varicella atau pada orang yang terpapar varicella.
Jika paparan terhadap varicella tidak menyebabkan infeksi, vaksinasi pasca
paparan harus diberikan untuk memberi perlindungan terhadap paparan
berikutnya. (Hambrosky, et.all, 2015)
Wabah varicella yang terjadi dalam beberapa keadaan (misalnya,pada
tempat penitipan anak, dan sekolah) dapat bertahan sampai dengan 6 bulan.
Tetapi vaksin varicella diketahui telah berhasil digunakan untuk mengendalikan
wabah. ACIP merekomendasikan pemberian dosis kedua vaksin varicella untuk
pengendalian wabah. Jadi selama wabah varicella, orang-orang yang telah
menerima satu dosis vaksin varicella harus menerima dosis kedua, yang
diberikan sesuai dengan interval vaksinasi yang telah berlalu sejak dosis pertama
(3 bulan untuk orang yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun dan setidaknya 4
minggu untuk orang yang berusia 13 tahun dan lebih tua). (Hambrosky, et.all,
2015)
Kontraindikasi vaksinasi pada seseorang dengan reaksi alergi yang parah
(anafilaksis) dengan komponen vaksin atau setelah dosis sebelumnya,
seharusnya tidak menerima vaksin varicella. Orang dengan imunosupresi karena
leukemia, limfoma, keganasan umum, penyakit defisiensi imun, atau terapi
imunosupresif tidak harus divaksinasi dengan vaksin varicella. Namun,
pengobatan dengan dosis rendah (kurang dari 2 mg/kg/hari), topikal,
penggantian, atau steroid aerosol bukan merupakan kontraindikasi untuk
vaksinasi. Orang yang imunosupresif yang diterapi dengan steroid telah
dihentikan selama 1 bulan (3 bulan untuk kemoterapi) dapat divaksinasi.
(Hambrosky, et.all, 2015; Soedarmo, 2002)
Orang dengan imunodefisiensi seluler sedang atau berat akibat infeksi
human immunodeficiency virus (HIV), termasuk orang-orang yang didiagnosis
dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) tidak boleh menerima
vaksin varicella. Anak yang terinfeksi HIV dengan persentase CD4 T-limfosit
15% atau lebih tinggi, dan anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa dengan
jumlah CD4 200 per mikroliter atau lebih tinggi dapat dipertimbangkan untuk
vaksinasi. (Hambrosky, et.all, 2015)
Wanita yang diketahui hamil atau mencoba untuk hamil sebaiknya tidak
menerima vaksin varicella. Sampai saat ini, tidak ada bukti yang merugikan
kehamilan atau janin yang dilaporkan di kalangan perempuan yang secara tidak
sengaja menerima vaksin varicella sesaat sebelum atau selama kehamilan. Tetapi
ACIP merekomendasikan kehamilan harus dihindari selama 1 bulan setelah
menerima vaksin varicella. (Hambrosky, et.all, 2015; Soedarmo, 2002)
Vaksinasi pada orang dengan penyakit akut, sedang atau berat sebaiknya
ditunda sampai kondisi telah membaik. Tindakan pencegahan ini dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien , seperti demam. Pada
penyakit yang cenderung ringan, seperti otitis media dan infeksi saluran
pernapasan atas, mendapat terapi antibiotik, dan paparan atau pemulihan dari
penyakit lain tidak kontraindikasi terhadap vaksin varicella. Meskipun tidak ada
bukti bahwa baik varicella atau vaksin varicella memperburuk tuberkulosis,
vaksinasi tidak dianjurkan untuk orang-orang yang dikenal memiliki TB aktif.
Pencegahan dapat dengan mencegah infeksi sekunder misalnya seperti
kuku digunting agar pendek, mengganti pakaian dan alas tempat tidur sesering
mungkin. (Hassan dan Alatas, 2007)

K. KOMPLIKASI
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang terjadi. Komplikasi lebih
sering terjadi pada orang dewasa, berupa ensefalitis, pneumonia,
glomerulonephritis, karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis,
dan kelainan darah (beberapa macam purpura). (Djuanda, 2011; harahap, 2000)
Pada anak sehat, varicella merupakan penyakit ringan dan jarang disertai
komplikasi. Angka mortalitas pada anak usia 1-14 tahun diperkirakan 2/100.000
kasus, namun pada neonates dapat mencapai hingga 30%. Komplikasi tersering
umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial pada lesi kulit, yang
biasanya disebabkan oleh Stafilokokus aureus atau Streptokokus beta
hemolitikus grup A, sehingga terjadi impetigo, furunkel, selulitis, atau erisipelas,
tetapi jarang terjadi gangren. Infeksi fokal tersebut sering menyebabkan jaringan
parut, tetapi jarang terjadi sepsis yang disertai infeksi metastase ke organ yang
lainnya. Vesikel dapat menjadi bula bila terinfeksi stafilokokus yang
menghasilkan toksin eksfoliatif. (straus, et all, 2008; Soedarmo, 2002)
Pneumonia varicella hanya terdapat sebanyak 0,8% pada anak, biasanya
disebabkan oleh infeksi sekunder dan dapat sembuh sempurna. Pneumonia
varicella jarang didapatkan pada anak dengan system imunologis normal,
sedangkan pada anak dengan defisiensi imunologis atau pada orang dewasa tidak
jarang ditemukan. (Hassan dan Alatas, 2007)
Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi dan
responsif terhadap antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga, superinfeksi
bakteri umum dijumpai dan berpotensi mengancam kehidupan pada pasien
dengan leukopenia. (straus, et all, 2008)
Pada orang dewasa demam dan gejala konstitusi biasanya lebih berat dan
berlangsung lebih lama, ruam varicella lebih luas, dan komplikasi lebih sering
terjadi. Pneumonia varicella primer merupakan komplikasi tersering pada orang
dewasa. Pada beberapa pasien gejalanya asimpomatis, tetapi yang lainnya dapat
berkembang mengenai sistem pernafasan dimana gejalanya dapat lebih parah
seperti batuk, dyspnea, tachypnea, demam tinggi, nyeri dada pleuritis, sianosis,
dan batuk darah yang biasanya timbul dalam 1-6 hari sesudah timbulnya ruam.
(straus, et all, 2008; Soedarmo, 2002)
Varicella pada kehamilan mengancam ibu dan janinnya. Infeksi yang
menyebar luas dan varicella pneumonia dapat mengakibatkan kematian pada
ibu, tetapi baik kejadian maupun keparahan pneumonia varicella tampaknya
meningkat secara signifikan pada kehamilan. Janin dapat meninggal karena
kelahiran prematur atau kematian ibu karena varicella pneumonia berat, tetapi
varicella selama kehamilan, tidak, jika tidak secara subtansial meningkatkan
kematian janin. Namun demikian, pada varicella yang tidak disertai komplikasi,
viremia pada ibu dapat menyebabkan infeksi intrauterin (kongenital), dan dapat
menyebabkan abnormalitas kongenital. Varicella perinatal (varicella yang
terjadi dalam waktu 10 hari dari kelahiran) lebih serius daripada varicella yang
terjadi pada bayi yang terinfeksi beberapa minggu kemudian. (straus, et all,
2008; Soedarmo, 2002)
Morbiditas dan mortalitas pada varicella secara nyata meningkat pada
pasien dengan defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang terus-
menerus dan menyebar luas mengakibatkan terjadinya viremia yang
berkepanjangan, dimana mengakibatkan ruam yang semakin luas, jangka waktu
yang lebih lama dalam pembentukan vesikel baru, dan penyebaran visceral klinis
yang signifikan. Pada pasien dengan defisiensi imun dan diterapi dengan
kortikosteroid mungkin dapat berkembang menjadi pneumonia, hepatitis,
encephalitis, dan komplikasi berupa perdarahan, dimana derajat keparahan
dimulai dari purpura yang ringan hingga parah dan seringkali mengakibatkan
purpura yang fulminan dan varicella malignansi. (straus, et all, 2008; Soedarmo,
2002)
Juga mungkin didapatkan komplikasi pada susunan saraf seperti
ensefalitis, ataksia, nistagmus, tremor, myelitis transversa akut, kelumpuhan
saraf muka, neuromielitis optika atau penyakit Devic dengan kebutaan
sementara, sindroma hipotalamus yang disertai dengan obesitas dan panas badan
yang berulang-ulang. Penderita varicella dengan komplikasi ensefalitis setelah
sembuh dapat meninggalkan gejala sisa seperti kejang, retardasi mental dan
kelainan tingkah laku. (Hassan dan Alatas, 2007)
Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1
diantara 1000 kasus. Varicella berhungan dengan sindroma Reye (ensepalopati
akut disertai degenerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah
timbulnya ruam. Dulu, dari 15-40% pada semua kasus sindroma Reye
berhubungan dengan varicella, khususnya pada penderita yang diterapi dengan
aspirin saat demam, dengan mortalitas setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih
umum terjadi daripada kelainan neurologi yang lainnya. Encephalitis lebih
jarang lagi terjadi yaitu pada 1 diantara 33.000 kasus, tetapi merupakan
penyebab kematian tertinggi atau menyebabkan kelainan neurologi yang
menetap. Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan ensephalitis tetap jelas,
dimana pada banyak kasus ditemukan adanya VZV antigen, VZV antibodi, dan
VZV DNA pada cairan cerebrospinal pada pasien, yang diduga menyebabkan
infeksi secara langsung pada sistem saraf pusat. (straus, et all, 2008)
Komplikasi yang jarang terjadi antara lain myocarditis, pancreatitis,
gastritis dan lesi ulserasi pada saluran pencernaan, artritis, vasculitis Henoch-
Schonlein, neuritis, keratitis, dan iritis. Patogenesa dari komplikasi ini belum
diketahui, tetapi infeksi VZV melalui parenkim secara langsung dan
endovascular, atau vasculitis yang disebabkan oleh VZV antigen-antibodi
kompleks, tampaknya menjadi penyebab pada kebanyakan kasus. (straus, et all,
2008), (Hambrosky, et.all, 2015)
Anak dengan sistem imunologis yang normal jarang mendapat komplikasi
tersebut di atas, sedangtkan anak dengan defisiensi imunologis, anak yang
menderita leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan anti metabolit atau
steroid (penderita sindrom nefrotik, demam reumatik) dan orang dewasa sering
mendapat komplikasi tersebut, kadang-kadang varicella pada penderita tersebut
dapat menyebabkan kematian. (Hassan dan Alatas, 2007)

L. PROGNOSIS
Dengan perawatan yang teliti dan memperhatikan higiene memberi
prognosis yang baik dan jaringan parut yang timbul sangat sedikit (Djuanda,
2011; harahap, 2000).
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda Adhi, dkk. 2011. Varisela. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi
Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Hamborsky J, Kroger A, Wolfe S. 2015. Centers for Disease Control and


Prevention Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.
eds. 13th ed. Washington D.C. : Public Health Foundation (Hambrosky, et.all,
2015)

Harahap Marwali. 2000. Varisela. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.

Hassan Rusepno, Alatas Husein. 2007.Varisela (cacar air,”chicken pox”). Dalam:


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid 2. Jakarta: INFOMEDIKA.

Rassner, Steinert. 1995. Penyakit virus varisela-zoster. Dalam: Buku Ajar dan Atlas
Dermatologi; edisi 4. Jakarta: EGC.

Siregar RS. 2004. Varisela. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit; edisi
2. Jakarta: EGC.

Soedarmo Sarmono S.P, dkk. 2002. Varisela. Dalam: Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis; edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. (Soedarmo, 2002)

Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E. 2008. Varicella. In:


Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine; seventh edition, vol 1 and 2.
2008.

White David, Fenner Frank. 1994.Varicella-zoster virus. In: Medical Virology;


Fourth Edition. United Kingdom: Academic Press.

Anda mungkin juga menyukai